Saturday, August 22, 2020

Kearifan Lokal dan lemahnya Nasionalisme

Kearifan lokal (local wisdom) kini menjadi sesuatu yang mulai pudar, jarang lagi terdengar. Di ruang publik apalagi, rasanya kering. Kecuali untuk kepentingan studi-studi ilmiah, kalimat kearifan lokal terdengar. Dengan jarang dibincangkannya tema kearifan lokal, tampaknya kita mulai lalai melestarikan peninggalan sejarah. Padahal dari kearifan lokal itulah kehidupan damai dan kompak terlahir.

Dalam pembelajaran sejarah, pengakuan terhadap kearifan lokal perlu terus-menerus diangkat. Menjadi gagasan sentral bila perlu. Ya, tentu dengan tujuan memotivasi dan membangkitkan kecintaan kita terhadap kondisi lokalitas. Peninggalan atau warisan leluruh akan terus hidup. Bukan semata dalam kata dan ucapan, melainkan tindakan.

Jangan berlebihan kita memimpikan nasionalisme, jikalau kearifan lokal dilangkahi. Mestinya, bermula dari pembelajaran tentang kecintaan terahdap kearifan lokal kita kuatkan. Selanjutnya, kita dengan efektif, tidak telalu sulit membangkitkan kesadaran nasionalisme. Sebab, nasionalisme kebangsaan itu terlahir dari solidaritas masyarakat lokal.

Kekuatan nasionalisme tak boleh tersekat. Apalagi diputuskan rantainya dengan sejarah kearifan lokal. Jika direview, sejarah nasionalisme Indonesia itu belakangan lahir. Setelah kearifan lokal, barulah nasionalisme menyusul. Karena jauh sebelum Indonesia terbentuk dengan doktrin nasionalismenya agar masyarakat bersatu, kearifan lokal lebih dulu dihidupkan.

Kearifan lokal itu berkorelasi dengan nilai luhur yang menjadi produksi sejarah, ide, kebaikan, solidaritas, kolektifisme masyarakat, sikap saling peduli dan tenggang rasa (tolerance). Di era modern semua spirit itu mulai luntur. Masyarakat akhirnya terbiasa dengan tema pluralisme, liberalisme dan Hak Asasi Manusia (HAM), yang kesemuanya itu berbau kebarat-baratan (Amerika sentris). Kita seolah lupa, produk lokalitas kita lebih unggul.

Jauh sebelum kita mengenali wacana dan narasi besar yang disisipkan kelompok Asing, kita telah mengenali kerja gotong royong. Semangat tolong menolong, berbagi dan menerapkan kebaikan telah menjadi identitas leluhur kita. Tanpa ada agenda yang diselundupkan, hal itu lebih murni. Kearifan lokal yang ditinggalkan para pendahulu kita mesti digelorakan.

Kurangi mengadopsi cara pandang Eropa atau Amerika yang kapitalis. Kiblat pemikiran kita harusnya diletakkan pada tradisi kebaikan yang pernah ditunjukkan para nenek moyang kita. Beteng sekaligus kekuatan perlawanan kita terhadap gelombang ekspansi pemikiran liberal Barat ada pada nilai kearifan lokal.

Mulai terasa sekarang, dimana masyarakat kita disibukkan dengan konflik komunal, konflik suku dan isu-isu primordial lainnya. Akankan kita terus dibenturkan?. Tentu, jika tidak segera sadar diri maka kita dibentur-benturkan terus. Padahal kita semua adalah satu, kita bersaudara. Yang ada hanyalah mudharat dan kerugian yang didapati, bila soal perbedaan primordial kita jadikan perbedaan sampai melahirkan konflik.

Segera sadar, lalu kita rubah haluan berfikir kita. Kitalah masyarakat Indonesia yang punya kearifan lokal. Jangan berlebihan atau bahkan salah tafsir terhadap nasionalisme, yang akhirnya berbuntut pada pengabaian nilai-nilai lokalitas. Kita seolah-olah lebih mendewakan nasionalisme, lalu menyingkirkan kearifan lokal. Disitulah kesesatan berfikir kita. Lekas sadar dan balik arah. Kedepankan, bahwa kearifan local yang perlu diprioritaskan.

Sepantasnya kearifan lokal menjadi di depan dan pengikat persatuan. Melalui kearifan lokal kita menumbuhkan nasionalisme. Jangan dibolak-balik nalarnya. Jangan sampai kita dituding sebagai generasi ahistoris. Sedari awal pemahaman soal integrasi itu terlahir dan dibudayakan dari pelosok-pelosok Desa.

Masyarakat di daerah terisolir di Nusantara ini telah terbiasa dengan hidup rukun dan damai, tanpa mengenal gagasan nasionalisme pun mereka telah damai. Kini saat modernitas datang, teknologi mulai dikenalkan ke masyarakat Desa, semua kenyamanan dan ketenteraman itu seperti menghilang.