Sunday, July 9, 2017

PENJAMIN PENGEMBANGAN BUDAYA AGAMA di SEKOLAH SMP/SMU/SMK








BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah  merupakan bentuk penjabaran dari amanat UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini secara jelas dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sebagai penjabaran dari tujuan pendidikan nasional, pemerintah melalui peraturan menteri pendidikan nasional nomor 23 tahun 2006 tentang standar isi, menyatakan bahwa pendidikan agama Islam di sekolah bertujuan : Pertama, menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanannya dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Kedua, mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin ibadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan, secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.[1]
Pengembangan PAI harus dilakukan dan menjadi tanggung jawab bersama seiring dengan kedudukan PAI dalam kurikulum sekolah yang sebenarnya menjadi “core” atau inti kurikulum sekolah. Hal ini paling tidak didasarkan falsafah negara “pancasila” terutama pada sila pertama, UU No. 20 tentang Sisdiknas pada pasal 1 ayat 1, UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, serta Permendiknas, No. 22 tahun 2006.
Selanjutnya, agama dianggap memiliki peran penting dalam mengembangkan moral spiritual peserta didik. Pendidikan agama merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional (UU sisdiknas pasal 12) memiliki kontribusi yang besar dalam penanaman nilai-nilai moral spiritual dan perilaku keberagamaan peserta didik. Penanaman nilai-nilai keagamaan ini sangat diprioritaskan dalam pembelajaran pendidikan agama karena pendidikan agama berperan penting dalam pembentukan sikap dan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kaitan ini maka keberhasilan penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah harus mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan seperti pemerintah, masyarakat maupun lembaga sosial keagamaan yang ada.
B.     Rumusan Masalah
 1      Bagaimana pengertian mutu dalam pendidikan?
 2      Bagaimana pengertian budaya agama?
 3      Bagaimana strategi mewujudkan buadaya agama disekolah?
C.    Tujuan
 1      Untuk mengetahui pengertian mutu dalam pendidikan
 2      Untuk mengetahui pengertian budaya agama
 3      Untuk mengetahui strategi mewujudkan buadaya agama disekolah

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Mutu Pendidikan
Mutu (Quality) adalah memenuhi atau melibihi keinginan pelanggan dan stakeholders secara konsisten. Mutu adalah kesesuaian fungsi dengan tujuan, kesesuaian dengan spesifikasi dan standar yang ditentukan/berlaku, sesuai dengan kegunaannya, produk yang memuaskan pelanggan, sifat dan karakteristik produk atau jasa yang memenuhi kebutuhan/harapan pelanggan.
Mutu juga dapat didefinisikan sebagai suatu yang memuaskan atau melampaui keinginan dan kebutuhan pelanggan. Definisi ini disebut juga sebagai mutu sesuai persepsi (Quality in Perception). Mutu ini bisa disebut sebagai mutu yang ada di mata orang yang melihatnya. Ini merupakan devinisi yang sangat penting sebab ada satu resiko yang sering kali kita abaikan dari devinisi ini, yaitu kenyataan bahwa para pelanggan adalah pihak yang membuat keputusan terhadap mutu dan mereka melakukan penilaian tersebut dengan merujuk pada produk terbaik yang bisa bertahan dalam persaingan. Menurut Sallis mutu dapat diartikan sebagai derajat kepuasan luar biasa yang diterima oleh costumer sesuai dengan kebutuhan dan keinginan.[2]
Penjaminan Mutu (Quality Assurance) adalah proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan secara konsisten dan berkelanjutan sehingga stakeholders memperoleh kepuasan. Quality Management System (sistem manajemen mutu) adalah suatu sistem manajemen untuk mengarahkan dan mengendalikan suatu organisasi/institusi dalam penetapan kebijakan, sasaran, rencana dan proses/prosedur mutu serta pencapaiannya secara berkelanjutan (continous improvement). Sistem manajemen mutu adalah suatu sistem manajemen yang menjamin kesesuaian antara proses dengan output yang dihasilkan yang akan memberikan kepuasan stakeholders.


B.     Pengertian Budaya Religius Sekolah
Istilah “budaya” mula-mula datang dari disiplin Ilmu Antropologi Sosial. Apa yang tercakup dalam definisi budaya sangatlah luas. Istilah budaya dapat diartikan sebagai totalitas, pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan dan semua produk lain dari karya dan pemikiran manusia yang mencirikan kondisi suatu masyarakat atau penduduk yang transmisikan bersama.[3]
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, budaya (cultural) di artikan sebagai: pikiran, adat istiadat, sesuatu yang suda berkembang, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah.[4] Dalam pemakaian sehari-hari, orang biasanya mensinonimkan pengertian budaya dengan tradisi (tradision). Dalam hal ini, tradisi diartikan sevagai ide-ide umum, sikap dan kebiasaan dari masyarakat yang nampak dari perilaku sehari-hari yang menjadi kebiasaan dari kelompok dalam masyarakat tersebut.[5]
Budaya merupakan suatu kesatuan yang unik dan bukan jumlah dari bagian-bagian suatu kemampuan kreasi manusia yang immaterial, berbentuk kemampuan psikologi manusia yang immeterial, berbentuk kemampuan psikologis seperti ilmu pengetahuan, teknologi, kepercayaan, keyakinan, seni dan sebagainya.[6]
Agar budaya menjadi nilai-nilai yang tahan lama, maka harus ada proses internalisasi budaya. Dalam bahasa Inggris, Internalized berarti to incorporate in oneself. Jadi, internalisasi berarti proses menanamkan dan menumbuhkembangkan suatu nilai atau budaya menjadi bagian diri (self) orang yang bersangkutan. Penanaman dan penumbuhkembangan nilai tersebut dilakukan melalui berbagai didaktik metodik pendidikan dan pengajaran. Seperti pendidikan, pengarahan, indoktrinasi, brain washing dan lain sebagainya.[7]
Budaya Religius adalah sekumpulan nilai-nilai agama yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yan di praktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas, dan tenaga kependidikan lainnya, siswa, atau warga sekolah pada umumnya. Sebab itu budaya tidak hanya berbentuk simbolik semata sebagaimana yang tercermin diatas, tetapi didalamnya penuh dengan nilai-nilai. Perwujudan budaya juga tidak hanya muncul begitu saja tetapi melalui proses pembudayaan.
Religious culture dalam konteks ini berarti pembudayaan nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan di sekolah dan di masyarakat, yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai agama Islam yang diperoleh siswa dari hasil pembelajaran di sekolah, agar menjadi bagian yang menyatu dalam perilaku siswa sehari-hari dalam lingkungan sekolah atau masyarakat. Bentuk kegiatan pengamalan budaya agama Islam di sekolah, di antaranya adalah; membiasakan salam, membiasakan berdoa, membaca al-Qur’an sebelum pelajaran dimulai, membiasakan kultum, membiasakan shalat dhuha, shalat dhuhur berjamaah, dzikir setelah shalat, menyelenggarakan PHBI, menyantuni anak yatim, acara halal bi halal, dan sebagainya.[8]
Budaya keagamaan merupakan kebiasaan yang dilakukan secara rutin dan spontan dalam kehidupan sehari-hari yang mencerminkan pelaksanaan nila-inilai agama dan  moral. Kemampuan guru PAI untuk mampu meyakinkan seluruh civitas akademika di lembaga pendidikan, terutama kepala sekolah, akan pentingnya budaya keagamaan adalah kuncinya. Ketika seorang kepala sekolah sebagai pemegang kebijakan sekaligus penanggung jawab di sekolah sudah memiliki komitmen yang sama dalam menciptakan budaya keagamaan, maka dalam pelaksanannya akan lebih mudah.
Dengan semikian, budaya religius sekolah pada hakikatnya adalah terwujudnya nilai-nilai ajaran agama sebagai tradisi dalam berperilaku dan budaya organisasi yang diikuti oleh seluruh warga sekolah. Dengan menjadikan agama sebagai tradisi dalam sekolah maka secara sadar maupun tidak ketika warga sekolah mengikuti tradisi yang telah tertanam tersebut sebenarnya warga sekolah sudah melakukan ajaran agama.[9]
Saat ini, usaha penanaman nilai-nilai religius dalam rangka mewujudkan budaya religius sekolah dihadapkan pada berbagai tantangan baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, pendidikan dihadapkan pada keberagaman siswa, baik dari sisi keyakinan beragama maupun keyakinan dalam satu agama. Lebih dari itu, setiap siswa memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Adapaun secara eksternal, pendidikan agama dihadapkan pada satu realitas masyarakat yang sedang mengalami krisis moral.
C.    Landasan Perlunya Pengembangan Budaya  Religius  Di  Sekolah/Madrasah
a)      Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU No. 20/2003 ttg Sisdiknas, Ps. 1 ayat 1)
b)      Tujuan PAI di sekolah/madrasah a.l. : mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama  dan berakhlak mulia  yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah/madrasah.
c)      Di era globalisasi ini masalah dekadensi moral semakin meningkat, sehingga para orang tua semakin khawatir terhadap pengaruh negatif dari  globalisasi, yaitu semakin mudahnya nilai-nilai moral yang negatif mempengaruhi anak-anak didik baik melalui media cetak maupun elektronik.

D.    Terbentuknya Budaya Religius Sekolah
Secara umum budaya dapat terbentuk secara prescriptive (ascriptive) dan dapat juga secara terprogram sebagai learning process atau solusi terhadap suatu masalah. Yang pertama adalah pembentukan atau terbentuknya budaya agama di sekolah melalui penurutan, peniruan, penganutan dan penataan suatu skenario (tradisi, perintah) dari atas atau dari luar pelaku budaya yang bersangkutan. Pola ini disebut pola pelakonan, modelnya sebagai berikut:

Pentagon: PenurutanPentagon: PeniruanPentagon: PenganutanPentagon: PenataanFlowchart: Multidocument: Skenario dari luar, dari atasTradisi Perintah





Gambar: 1 Pola Pelakonan

Yang kedua adalah pembentukan budaya secara terprogram melalui learning process. Pola ini bermula dari dalam diri pelaku budaya, dan suara kebenaran, keyakinan, anggapan dasar atau kepercayaan dasar yang dipegang teguh sebagai pendirian, dan diaktualisasikan menjadi kenyataan melalui sikap dan perilaku. Kebenaran itu diperoleh melalui pengalaman atau pengkajian trial and error dan pembuktiannya adalah peragaan pendiriannya tersebut. itulah sebabnya pola aktualisasinya ini disebut pola peragaan. Berikut ini modelnya:[10]









Flowchart: Multidocument: PENDIRIAN di dalam diri perilaku budaya







 






Tradisi, Perintah
Gambar: 2 Pola Peragaan

Budaya agama yang telah terbentuk di sekolah, beraktualisasi ke dalam dan ke luar pelaku budaya menurut dua cara. Aktualisasi budaya ada yang berlangsung secara covert (samar/tersembunyi) dan ada yang overt (jelas/terang). Yang pertama adalah aktualisasi budaya yang berbeda antara aktualisasi ke dalam dengan ke luar, ini disebut covert yaitu seseorang yang tidak berterus terang, berpura-pura, lain di mulut lain dihati, penuh kiasan dalam bahasa lambing, ia diselimuti rahasia. Yang kedua adalah aktualisasi budaya yang tidak menunjukkan perbedaan antara aktualisasi ke dalam dengan aktualisasi ke luar, ini disebut dengan overt. Pelaku overt ini selalu berterus terang dan langsung pada pokok pembicaraan.
E.     Strategi Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah
Proses perwujudan budaya religius dilakukan dengan dua strategi, yaitu instructive sequential strategy dan structive sequential strategy. Pada strategi pertama, upaya perwujudan budaya religius menekankan pada asek struktural yang bersifat instruktif, yang mengandalkan komitmen pemimpin untuk melakukan upaya sistematis melalui force untuk mewujudkan budaya religius, sehingga punishment dijadikan sebagai salah satu cara untuk mewujudkan budaya religius sekolah. Adapun proses perwujudannya sebagai berikut: (1) penciptaan suasana religius (2) internalisasi nilai (3) keteladanan (4) pembiasaan dan (5) pembudayaan. Pada straegi kedua, upaya perwujudan budaya religius sekolah lebih menekankan pada pentingnya membangun kesadaran diri (self awareness), sehingga diharapkan akan tercipta sikap, perilaku dan kebiasaan religius yang pada akhirnya akan membentuk budaya religius sekolah. Adapun prosesnya sebagai berikut: (1) penciptaan suasana religius (2) sikap (3) perilaku (4) kebiasaan dan (5) pembudayaan.  Agar budaya religius disekolah dapat terwujud maka diperlukan komitmen dan dukungan dari warga sekolah, disamping itu perlu adanya upaya pengawasan dan pengendalian terhadap proses pembudayaan di sekolah dengan cara membuat buku kendali untuk para siswa.[11]
Dengan demikian tujuan pendidikan agama Islam seperti yang diamanahkan oleh pemerintah dapat dicapai dengan baik. Selain itu, tidaklah adil apabila pendidikan agam Islam hanya menjadi tugas dan tanggung jawab guru pendidikan agama Islam saja, tanpa didukung oleh pihak-pihak yang terkait di lingkungan sekolah. Oleh sebab itu, pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah merupakan tanggung jawab bersama yakni kepala sekolah, guru agama Islam, guru mata pelajaran umum, karyawan, komite sekolah, siswa, dan pihak-pihak lain yang terkait. Dengan alasan-alasan seperti tersebut di atas, maka pengembangan dan pengamalan budaya agama Islam dalam komunitas sekolah sangat penting untuk diimplementasikan.
Sedangkan strategi dalam mengembangkan budaya religius di sekolah, menurut Koentjaraningrat tentang wujud kebudayaan, meniscayakan upaya pengembangan dalam tiga tataran yaitu tataran nilai yang dianut, tataran praktik keseharian, dan tataran simbol-simbol budaya.[12]
Pada tataran nilai yang dianut, dirumuskan secara bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan dalam lingkungan sekolah, untuk salanjutnya dibangun komitmen bersama diantara semua warga sekolah khususnya para siswa terhadap pengembangan nilai-nilai yang telah disepakati. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hicman dan Silva[13] bahwa terdapat tiga langkah untuk mewujudkan budaya yaitu: Commitment, Competence, dan Consistency. Nilai-nilai tersebut ada yang bersifat vertikal dan horizontal. Nilai-nilai yang bersifat vertikal berwujud hubungan manusia atau warga sekolah dengan Allah (habl min Allah), dan yang horizontal berwujud hubungan manusia atau warga sekolah dengan sesamanya (hablu min an-nas), dan hubungan mereka dengan lingkungan alam sekitar.
Dalam tataran praktik keseharian, nilai-nilai keagamaan yang telah disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku keseharian oleh semua warga sekolah. Proses pengembangan tersebut dapat dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: Pertama, sosialisasi nilai-nilai agama yang disepakati sebagai sikap dan perilaku ideal yang ingin dicapai pada masa mendatang di sekolah. Kedua, penetapan action plan mengguan atau bulanan sebagai tahapan dan langkah sistematis yang akan dilakukan oleh semua pihak sekolah dalam mewujudkan nilai-nilai agama yang telah disepakati, Ketiga, pemberian penghargaan terhadap prestasi warga sekolah.
Dalam tataran simbol-simbol budaya, pengembangan yang perlu dilakukan adalah mengganti simbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai agama dengan simbol budaya yang agamis.
F.     Pentingnya Pengembangan Pendidikan Agama Islam sebagai Budaya Sekolah
Istilah pengembangan dapat bermakna kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif bagaimana menjadikan pendidikan agama Islam yang hanya dua atau tiga jam pelajaran itu dapat lebih meluas dan merata pengaruhnya baik di dalam maupun di luar sekolah. Secara kualitatif bagaimana menjadikan pendidikan agama Islam lebih baik, bermutu dan labih maju sejalan dengan ide-ide dasar atau nilai-nilai Islam itu sendiri yang seharusnya selalu berada di depan dalam merespon dan mengantisipasi berbagai tantangan hidup dan kehidupan.
Berfikir pegembangan mengajak seseorang untuk berfikir kreatif dan inovatif dalam melakukan perubahan (change) sebagai akibat dari keprihatinan terhadap kondisi dan eksistensi pendidikan agama Islam yang ada yang diikuti dengan perubahan (growth) dan pembaruan atau perbaikan (reform) serta ditingkatkan secara terus menerus (continuity) untuk di bawa ke yang lebih ideal. Namun demikian perubahan dan pembaruan pendidikan agama Islam itu disamping memerlukan sensitivitas terhadap meinstream dari perkembangan yang ada, jua perlu mempertimbangkan dimensi-dimensi fondasionalnya, sehingga tidak terlepas dari akar-akar atau tidak kehilangan ruh atau spirit Islam.
Pengembangan pendidikan agama Islam dengan demikian perlu membidik berbagai wilayah kajian secara simultan yang pada dasarnya bermuara pada tiga problem pokok yaitu (1) foundational problem dan empiric foundational problems yang menyangkut dimensi-dimensi historis, sosiologis, psikologis, antropologis, ekonomi dan politik. (2) structural problems, baik ditinjau dari struktur demografis dan geografis, struktur perkembangan, struktur perkembangan jiwa manusia, struktur ekonomi, maupun struktur atau jejang pendidikan, (3) operational problems, yang secara mikro menyangkut keterkaitan berbagai faktor/unsur/komponen dalam pendidikan agama Islam. Sedangkan secara makro, menyangkut keterkaitan pendidikan agama Islam dengan sistem sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama dan agama baik yang bersifat nasional maupun transnasional.[14]
Berbicara tentang budaya sekolah mengajak seseorang untuk mendudukkan sekolah sebagai suatu organisasi yang didalamnya terdapat individu-individu yang memiliki hubungan dan tujuan bersama (suara organisasi itu). Tujuan ini diarahkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu-individu atau memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder). Budaya sekolah merupakan perpaduan nilai-nilai keyakinan, asumsi, pemahaman, dan harapan-harapan yang diyakini oleh warga sekolah serta dijadikan pedoman bagi perilaku pemecahan masalah (internal dan eksternal) yang mereka hadapi. Dengan perkataan lain budaya sekolah merupakan semangat, sikap dan perilaku pihak-pihak yang terkait dengan sekolah, atau pola perilaku serta kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh warga sekolah secara konsisten dalam menyelesain masalah.[15]
Menurut Deal dan Peterson budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan, kesehetan dan simbol-simbol yang dipraktekkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, peserta didik dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah ini merupakan seluruh pengalaman psikologis para peserta didik baik yang bersifat sosial, emosional, maupun intelektual yang diserap oleh mereka selama berada dilingkungan sekolah.
Budaya sekolah akan menumbuhkan motivasi belajar siswa menjadi manusia yang penuh optimis, berani tampil, disiplin, berperilaku kooperatif, bertanggung jawab dan memiliki rasa kebersamaan yang baik. Motivasi belajar siswa akan memberikan pengalaman bagi tumbuhkembangnya kecerdasan, ketrampilan, dan aktivitas siswa yang pada akhirnya berpengaruh terhadap mutu pendidikan pada umumnya.
Pengembangan pendidikan agama Islam sebagai budaya sekolah berarti bagaiamana mengembangkan PAI disekolah, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, sebagai pijakan nilai, semangat, sikap, dan perilaku bagai para aktor sekolah seperti kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya, orang tua murid dan pesrta didik itu sendiri.[16]
Beberapa manfaat yang bisa diambil dari upaya pengembangan budaya sekolah, diantaranya: (1) Menjamin kualitas kerja yang lebih baik; (2) Membuka seluruh jaringan komunikasi dari segala jenis dan level baik komunikasi vertikal maupun horisontal; (3) Lebih terbuka dan transparan; (4) Menciptakan kebersamaan dan rasa saling memiliki yang tinggi; (4) Meningkatkan solidaritas dan rasa kekeluargaan; (5) Jika menemukan kesalahan akan segera dapat diperbaiki; dan (6) Dapat beradaptasi dengan baik terhadap perkembangan IPTEK.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Budaya Religius adalah sekumpulan nilai-nilai agama yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yan di praktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas adsministrasi, peserta didik, dan masyarakat sekolah. Sebab itu budaya tidak hanya berbentuk simbolik semata sebagaimana yang tercermin diatas, tetapi didalamnya penuh dengan nilai-nilai. Perwujudan budaya juga tidak hanya muncul begitu saja tetapi melalui proses pembudayaan.
Sedangkan sekolah adalah lembaga pendidikan formal yang bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi manusia yang berkualitas sebagaimana tujuan pendidikan nasional. Sehingga dalam pengembangan budaya agama ini di kembangkan dari kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler, muatan lokal, serta iklim religius yang diciptakan di sekolah.




DAFTAR PUSTAKA

Agustin, Ary Ginanjar. 2003. Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power, Sebuah Inner Journey Melauli Ihsan. Jakarta: ARGA
Budiningsih, Asri. 2004. Pembelajaran Moral Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya. Jakarta: Rineka Cipta
Dhara, Talizhidu. 1997. Budaya Organisasi. Jakarta: Rineke Cipta
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Balai Pustaka
Departemen Agama Badan dan Diklat Balai Penelitian dan Pengembangan Agama. 2008. Pendidikan Agama di Era Reformasi. Jakarta: Penamas; Jurnal Penelitian Agama dan Kemasyarakatan
Hicman dan Silva dan Purwanto. 1984. Budaya Perusahaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Indrafcrudi, Soekarto. 1994. Bagaimana Mengakrabkan Sekolah dengan Orang Tua Murid dan Masyarakat. Malang: IKIP Malang.
J.P. Kotter & J.L.Heskket.  1992. Dampak Budaya Perusahaan Terhadap Kinerja. Terjemahan oleh Benyamin Molan. Jakarta: Prenhallindo
Koentjaraningrat. 2006. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, dalam Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Muhaimin. 1999. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: Rosdakarya
Muhaimin. 2006. Nuansa Baru Pendidikan Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo
Madjid, Nurcholis. 1997. Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina
Ndara, Talizuhu. 2005. Teori Budaya Organisa. Jakarta: Rineke Cipta
Raji al-Faruqi,  Ismail. 1982. Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan. Washington DC, International institute of Islamic Thoungt
Sebagai Bahan Bandingan  HDI (Human Development Index) yang dikeluarkan oleh UNDP melaporkan bahwa  indonesia berada pada ranking 111 pada tahun 2004, lihat E. Mulyasa. 2007. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Sahlan, Asmaun.  2009. Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah, Upaya Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi. Malang: UIN-Maliki Press
Sallis, Adward. 2007. Total Quality Manajemen In Education. Jogjakarta: IRCiSoD
Zamroni. 2007. Meningkatkan Mutu Sekolah. Jakarta: PSAP Muhammadiyah


[2] Adward Sallis, Total Quality Manajemen In Education (Jogjakarta: IRCiSoD, 2007) hlm: 56
[3] J.P. Kotter & J.L.Heskket, Dampak Budaya Perusahaan Terhadap Kinerja. Terjemahan oleh Benyamin Molan, (Jakarta: Prenhallindo, 1992) hlm: 4
[4] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1991) hlm: 149
[5] Soekarto Indrafcrudi, Bagaimana Mengakrabkan Sekolah dengan Orang Tua Murid dan Masyarakat, (Malang: IKIP Malang, 1994) hlm: 20
[6] Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004) hlm: 18
[7] Talizhidu Dhara, Budaya Organisasi, (Jakarta: Rineke Cipta, 1997) hlm: 82
[9] Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah, Upaya Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi, (Malang: UIN-Maliki Press, 2009) hlm: 77
[10] Talizuhu Ndara, Teori Budaya Organisa, (Jakarta: Rineke Cipta,2005) hlm: 24.
[11] Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah..... hlm: 154
[12] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, dalam Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006) hlm: 157
[13] Hicman dan Silva dan Purwanto, Budaya Perusahaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 1984) hlm: 67
[14] Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2006 ) hlm: 132
[15] Ibid,
[16] Ibid,