Tuesday, December 29, 2015

Shalahuddin Al-Ayyubi



Bab I
Pendahuluan

1.1  Latar Belakang
Shalahuddin Al-Ayyubi atau Salah ad-Din yang mempunyai nama asli Yusuf bin Najmuddin dijuluki sebagai kesatria padang pasir terlahir dari keluarga Kurdish di kota Tikrit (140km barat laut kota Baghdad) dekat sungai Tigris pada tahun 1137M. Ia dipandang sebagai kesatria sejati baik oleh lawan maupun kawan karena soal kepiawaiannya dalam taktik pertempuran dan tentang kesalehan dan kemuliaan hatinya.. Keberanian dan kepahlawanannya tercatat sejarah di kancah perang salib.
Sebagian besar kisah Shalahuddin Al-Ayyubi yang tersebar baik di Barat maupun di Timur dari sejarah Perang Salib yang panjang di abad ke-12 itu  adalah cerita tentang seorang yang pemberani dalam pertempuran, yang sebenarnya tak ingin menumpahkan darah. Dimana ketika Shalahuddin Al-Ayyubi ingin merebut kembali Yerusalem di musim panas 1187. Tapi menjelang serbuan, ia memberi kesempatan penguasa Kristen kota itu untuk menyiapkan diri agar mereka bisa melawan pasukannya dengan terhormat. Dan setelah pasukan Kristen sudah siap dengan segala persenjatan dan pertahanan barulah Shalahuddin Al-Ayyubi memerintahkan untuk berperang tapi akhirnya pasukan Kristenpun kalah juga. Kemudian setelah peperangan dimenangkan oleh pasukan Muslim dan banyak tawanan perang yang berhasil ditangkap tapi yang dilakukan Shalahuddin Al-Ayyubi terhadap tawanan perang dan penduduk Nasrani bukanlah menjadikan mereka budak-budak. Shalahuddin Al-Ayyubi malah membebaskan sebagian besar mereka, tanpa dendam, meskipun dulu, di tahun 1099, ketika pasukan Perang Salib dari Eropa merebut Yerusalem, 70 ribu orang muslim kota itu dibantai dan sisa-sisa orang Yahudi digiring ke sinagog untuk dibakar.
Banyak kisah-kisah unik dan menarik tentang Shalahuddin al-Ayyubi yang layak dijadikan teladan, terutama sikap kesatria dan kemuliaan hatinya.
Kita tahu, bagaimana pemimpin pasukan Islam ini bersikap baik kepada Raja Richard berhati Singa yang datang dari Inggris untuk menghancurkan pasukan muslim. Tapi Ketika raja Richard sakit dalam pertempuran, Shalahuddin Al-Ayyubi malah mengiriminya buah pir yang segar dingin dalam salju, dan juga seorang dokter. Lalu raja Richard pun tersentuh dan bersedia melakukan perdamaian yang ditandatangani pada 1 September 1192, dan pesta pun diadakan dengan berbagai pertandingan, dan orang Eropa takjub bagaimana agama Islam bisa melahirkan orang sebaik itu.
Shalahuddin Al-Ayyubi sebenarnya tidak ingin ada pertumpahan darah atau peperangan karena dia pernah berpesan menjelang wafat kepada anaknya Az-Zahir : “Jangan Tumpahkan Darah, Sebab Darah yang Terpercik Tak Akan Pernah Tertidur."
Kita sekarang juga mungkin takjub bagaimana masa lalu bisa melahirkan orang sebaik itu. Terutama ketika orang hanya mencoba menghidupkan kembali apa yang gagah berani dari abad ke- 12 tapi meredam apa yang sabar dan damai dari sebuah zaman yang penuh peperangan. Bahkan ketika Shalahuddin Al-Ayyubi wafat dan rakyat membuka peti hartanya ternyata hartanya tak cukup untuk biaya pemakamannya, karena hartanya banyak ia berikan kepada rakyatnya yang membutuhkan.

“Ada orang yang baginya uang dan debu sama saja.”

Itulah kata-kata sebagai bukti Kezuhudan dan kesahajaan dari seorang Shalahuddin Al-Ayyubi. Mungkin kata-kata mutiara inilah yang harus dipegang oleh para penguasa sekarang ini dan Kepemimpinan seperti Shalahuddin Al-Ayyubi yang kita harapkan muncul dizaman millennium yang serba berantakan seperti ini, walaupun itu sebuah pengharapan yang hampir mustahil terwujud, tapi kita tetap berharap saja ada Shalahuddin – Salahuddin baru yang akan memimpin dengan sebuah kebijaksanaan yang luar biasa. Kisah Kepemimpinan dan ke Suri Tauladannya masih tetap dikenang banyak orang tak terkecuali orang-orang barat baik itu melalui puisi, novel dan sebuah saksi sejarah.
Shalahudin Al Ayyubi atau sering juga di sebut sebagai “Saladin” di dunia barat, merupakan panglima perang Muslim yang dikagumi kepiawaian berperang serta keshalihannya baik kepada kawan dan lawan-lawannya. Keberanian dan kepahlawanannya tercatat sejarah di kancah perang salib.
Shalahuddin Al Ayyubi adalah seorang pejuang islam tersohor yang dilahirkan pada tahun 1137 Masehi. Pendidikan pertama diterimanya dari ayahnya sendiri yang namanya cukup tersohor, yakni Najmuddin al-Ayyubi. Di samping itu pamannya yang terkenal gagah berani juga memberi andil yang tidak kecil dalam membentuk kepribadian Salahuddin, yakni Asaduddin Syirkuh. Kedua-duanya adalah pembantu dekat Raja Syria Nuruddin Mahmud.
Juli 1192 sepasukan muslim dalam perang salib menyerang tenda-tenda pasukan salib diluar benteng kota Jaffa, termasuk didalamnya ada tenda Raja Inggris, Richard I. Raja Richard pun menyongsong serangan pasukan muslim dengan berjalan kaki bersama para prajuritnya. Perbandingan pasukan muslim dengan Kristen adalah 4:1. Shalahudin Al Ayyubi yang melihat Richard dalam kondisi seperti itu berkata kepada saudaranya : ” Bagaimana mungkin seorang raja berjalan kaki bersama prajuritnya? Pergilah ambil kuda arab ini dan berikan kepadanya, seorang laki-laki sehebat dia tidak seharusnya berada di tempat ini dengan berjalan kaki “. Fragmen diatas dicatat sebagai salah satu karakter yang pemurah dari Shalahudin, bahkan kepada musuhnya sekalipun. Walalupun sedang diatas angin tetap berlaku adil dan menghormati lawan-lawannya.

1.2  Rumusan Masalah

1.      Siapakah Shalahuddin Al Ayyubi?
2.      Bagaimana jejak peperangan Shalahuddin Al Ayyubi?
3.      Bagaimana peran Shalahuddin Al Ayyubi dalam perang salib?

1.3  Tujuan
1.      Agar pembaca mengetahui Sejarah Shalahuddin Al Ayyubi
2.      Agar pembaca mengetahui jejak peperangan Shalahuddin Al Ayyubi
3.      Agar pembaca mengetahui peran Shalahuddin dalam perang salib


















Bab II
Pembahasan

2.1 Biografi Shalahuddin Al Ayyubi.
Shalahuddin Al-Ayyubi berasal dari bangsa Kurdi. Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah (migrasi) meninggalkan kampung halamannya dekat Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit (Irak). Shalahuddin lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M, ketika ayahnya menjadi penguasa Seljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanky, gubernur Seljuk untuk kota Mousul, Irak. Ketika Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Shalahuddin) diangkat menjadi gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Raja Suriah Nuruddin Mahmud. Selama di Balbek inilah, Shalahuddin mengisi masa mudanya dengan menekuni teknik perang, strategi, maupun politik. Setelah itu, Shalahuddin melanjutkan pendidikannya di Damaskus untuk mempelajari teologi Sunni selama sepuluh tahun, dalam lingkungan istana Nuruddin. Pada tahun 1169, Shalahudin diangkat menjadi seorang wazir (konselor).
Di sana, dia mewarisi peranan sulit mempertahankan Mesir melawan penyerbuan dari Kerajaan Latin Jerusalem di bawah pimpinan Amalrik I. Posisi ia awalnya menegangkan. Tidak ada seorangpun menyangka dia bisa bertahan lama di Mesir yang pada saat itu banyak mengalami perubahan pemerintahan di beberapa tahun belakangan oleh karena silsilah panjang anak khalifah mendapat perlawanan dari wazirnya. Sebagai pemimpin dari prajurit asing Syria, dia juga tidak memiliki kontrol dari Prajurit Shiah Mesir, yang dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui atau seorang Khalifah yang lemah bernama Al-Adid. Ketika sang Khalifah meninggal bulan September 1171, Saladin mendapat pengumuman Imam dengan nama Al-Mustadi, kaum Sunni, dan yang paling penting, Abbasid Khalifah di Baghdad, ketika upacara sebelum Salat Jumat, dan kekuatan kewenangan dengan mudah memecat garis keturunan lama. Sekarang Saladin menguasai Mesir, tapi secara resmi bertindak sebagai wakil dari Nuruddin, yang sesuai dengan adat kebiasaan mengenal Khalifah dari Abbasiyah. Saladin merevitalisasi perekonomian Mesir, mengorganisir ulang kekuatan militer, dan mengikuti nasihat ayahnya, menghindari konflik apapun dengan Nuruddin, tuannya yang resmi, sesudah dia menjadi pemimpin asli Mesir. Dia menunggu sampai kematian Nuruddin sebelum memulai beberapa tindakan militer yang serius: Pertama melawan wilayah Muslim yang lebih kecil, lalu mengarahkan mereka melawan para prajurit salib.
Dengan kematian Nuruddin (1174) dia menerima gelar Sultan di Mesir. Disana dia memproklamasikan kemerdekaan dari kaum Seljuk, dan dia terbukti sebagai penemu dari dinasti Ayyubiyah dan mengembalikan ajaran Sunni ke Mesir. Dia memperlebar wilayah dia ke sebelah barat di maghreb, dan ketika paman dia pergi ke Nil untuk mendamaikan beberapa pemberontakan dari bekas pendukung Fathimiyah, dia lalu melanjutkan ke Laut Merah untuk menaklukan Yaman. Dia juga disebut Waliullah yang artinya teman Allah bagi kaum muslim Sunni.
Aun 559-564 H/ 1164-1168 M. Sejak itu Asaduddin, pamannya diangkat menjadi Perdana Menteri Khilafah Fathimiyah. Setelah pamannya meninggal, jabatan Perdana Menteri dipercayakan Khalifah kepada Shalahuddin Al-Ayyubi.
Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil mematahkan serangan Tentara Salib dan pasukan Romawi Bizantium yang melancarkan Perang Salib kedua terhadap Mesir. Sultan Nuruddin memerintahkan Shalahuddin mengambil kekuasaan dari tangan Khilafah Fathimiyah dan mengembalikan kepada Khilafah Abbasiyah di Baghdad mulai tahun 567 H/1171 M (September). Setelah Khalifah Al-'Adid, khalifah Fathimiyah terakhir meninggal maka kekuasaan sepenuhnya di tangan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Sultan Nuruddin meninggal tahun 659 H/1174 M, Damaskus diserahkan kepada puteranya yang masih kecil Sultan Salih Ismail didampingi seorang wali. Dibawah seorang wali terjadi perebutan kekuasaan di antara putera-putera Nuruddin dan wilayah kekuasaan Nuruddin menjadi terpecah-pecah. Shalahuddin Al-Ayyubi pergi ke Damaskus untuk membereskan keadaan, tetapi ia mendapat perlawanan dari pengikut Nuruddin yang tidak menginginkan persatuan. Akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi melawannya dan menyatakan diri sebagai raja untuk wilayah Mesir dan Syam pada tahun 571 H/1176 M dan berhasil memperluas wilayahnya hingga Mousul, Irak bagian utara.
            Sultan al-Malik al-Nashir Shalah al-Din al-Ayyubi meninggal dunia pada tanggal 19 Februari 1193 M. Setelah beberapa waktu lama dengan gigih memimpin pasukan Islam menghadapi tentara Salib, menyelesaikan pekerjaan besar dengan mengembalikan dan mempertahankan Bait al-Maqdis.
2.2. Jejak Peperangan Shalahuddin Al Ayyubi
Pada tanggal 8 Januari 1169 M Syirkuh sampai di Kairo dan Khalifah Fathimiyah Al-Adhid melantik panglima Asaduddin Syirkuh menjadi Wazir Besar menggantikan Shawar. Wazir baru itu segera melakukan perbaikan dan pembersihan setiap institusi kerajaan secara berperingkat. Sementara anak saudaranya, panglima Shalahuddin al-Ayyubi diperintahkan membawa pasukannya mengadakan pembersihan di kota-kota sepanjang Sungai Nil hingga Assuan di sebelah Utara dan bandar-bandar lain termasuk bandar perdagangan Iskandariah. Tetapi sayang, Syirkuh tidak ditakdirkan untuk lama menikmati hasil perjuangannya. Dua bulan setelah pengangkatannya itu, dia berpulang ke rahmatullah. Sepeninggal Syirkuh, keponakannya Shalahuddin al-Ayyubi pada tahun 1169 diangkat menjadi Perdana Menteri Mesir (Wazir) dengan mendapat persetujuan pembesar-pembesar Kurdi dan Saljuk Irak. Walaupun berkhidmat di bawah Khalifah Daulat Fathimiyah, Shalahuddin tetap menganggap Emir Nuruddin Mahmud sebagai pemimpinnya. Tidak begitu lama ia telah disenangi oleh rakyat Mesir karena sifat-sifatnya yang pemurah dan adil bijaksana.
Pada tahun itu pula Shalahuddin menerima tugas sulit mempertahankan Mesir dari serangan Raja Latin Yerusalem King Almeric I dan Tentara Templarnya yang bersekutu dengan Byzantium. Pada awalnya kedudukan beliau cukup sulit, sedikit sekali orang yang optimis bahwa ia akan bertahan lama di Mesir mengingat dalam beberapa tahun terakhir telah banyak terjadi pergantian kekuasaan disebabkan bentrok yang terjadi antar anak-anak Khalifah untuk posisi wazir. Sebagai pemimpin dari pasukan asing Syiria, dia juga tidak memiliki kekuasaan atas pasukan Syi’ah Mesir yang masih berada di bawah Khalifah yang lemah, Al-‘Adhid. Namun Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil mematahkan serangan Tentara Salib King Almeric I dan pasukan Romawi Byzantium yang melancarkan invasi terhadap Mesir.
Sultan Nuruddin memerintahkan Shalahuddin mengambil kekuasaan dari tangan Khilafah Fathimiyah dan mengembalikan kepada Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Setelah Khalifah Al ’Adhid, Khalifah Fathimiyah terakhir meninggal maka kekuasaan sepenuhnya berada di tangan Shalahuddin al-Ayyubi.
Ketika sang Khalifah meninggal bulan September 1171 M / 567 H, Shalahuddin mengambil alih kekuasaan Dinasty Fathimiyah di Mesir. Beliau menutup riwayat Khilafah Fathimiyah Syi’iyah itu dan mengembalikan Mesir kepada Ahlussunnah. Beliau saat itu secara resmi bertindak sebagai wakil dari Nuruddin Mahmud Penguasa Syiria, yang berada dibawah Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Maka doa untuk Khalifah Al-Adhid pada khutbah Jumat hari itu ditukar kepada doa untuk Khalifah Al-Mustadhi dari Daulat Abbasiyah. Setelah menjadi pemimpin Mesir, Shalahuddin merevitalisasi perekonomian Mesir, mengorganisir ulang kekuatan militer, dan mengikuti nasihat ayahnya untuk menghindari konflik apapun dengan Nuruddin, pemimpinnya yang resmi.
Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Daulat Fathimiyah yang dikuasai oleh kaum Syi’ah selama 270 tahun. Keadaan ini memang telah lama ditunggu-tunggu oleh golongan Ahlussunnah di seluruh negara Islam, lebih-lebih lagi di Mesir sendiri, setelah Wazir Besar Shawar berkomplot dengan Kaum Salib musuh Islam. Pengembalian kekuasaan kepada golongan Sunni itu telah disambut meriah di seluruh wilayah-wilayah Islam, terutama di Baghdad dan Syiria atas restu Khalifah Al-Mustadhi dan Emir Nuruddin Mahmud.
Mereka sangat berterima kasih kepada Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi yang dengan kebijaksanaan dan kepintarannya telah menukar suasana itu secara aman dan damai. Serentak dengan itu pula, Wazir Besar Shalahuddin al-Ayyubi meresmikan Universitas Al-Azhar yang selama ini dikenal sebagai pusat pendidikan Syi’ah menjadi pusat pendidikan Ahlussunnah Wal Jamaah. Semoga Allah membalas jasa-jasa Shalahuddin.
Pada tahun 1174 Amelric I meninggal dunia dengan mewariskan tahta Kerajaan Yerusalem kepada putranya yang baru berusia 13 tahun, Baldwin IV yang menderita penyakit lepra. Walaupun demikian, ia adalah seorang pimpinan militer yang aktif dan efektif. Di tahun yang sama (659 H/1174 M) Nuruddin Mahmud penguasa Saljuk di Syiria yang termasyhur itu juga meninggal dunia dan digantikan oleh putranya yang berumur 11 tahun bernama Malikus Saleh.
Sultan muda ini diperalat oleh pejabat tinggi yang mengelilinginya, terutama seorang wali yang bernama Gumushtagin. Dibawah seorang wali terjadilah perebutan kekuasaan diantara putra-putra Nuruddin dan wilayah kekuasaan Nurruddin menjadi terpecah-pecah. Shalahuddin mengirimkan utusan kepada Malikus Saleh dengan menawarkan jasa baktinya dan ketaatannya.
Shalahuddin bahkan melanjutkan untuk menyebutkan nama raja itu dalam khotbah-khotbah Jum’at dan mata uangnya. Tetapi segala macam bentuk perhatian ini tidak mendapat tanggapan dari raja muda itu berserta segenap pejabat di sekelilingnya yang penuh ambisi. Shalahuddin al-Ayyubi pergi ke Damaskus untuk membereskan keadaan, tetapi ia mendapat perlawanan dari pengikut Nuruddin yang tidak menginginkan persatuan. Akhirnya Shalahuddin al-Ayyubi melawan dan menghancurkan mereka.
Selanjutnya, Shalahuddin menyerahkan kekuasaan di Syiria kepada Malikus Saleh dan memproklamasikan kemerdekaan Mesir dari Kesultanan Seljuk serta menyatakan diri sebagai sultan untuk wilayah Mesir pada tahun 571 H/1176 M. Beliau melakukan beberapa tindakan militer yang serius, diantaranya menaklukkan wilayah Muslim yang lebih kecil, lalu mengarahkan mereka melawan para Prajurit Salib.
Sementara itu suasana yang tidak menentu dan kelemahan Malikus Saleh memberi angin kepada Tentara Salib Perancis dari Yerussalem untuk menyerang Damaskus yang selama ini dapat ditahan oleh Nuruddin Mahmud dan panglimanya yang gagah berani, Jenderal Syirkuh. Atas nasihat Gumushtagin, Malikus Saleh mengundurkan diri ke kota Aleppo, dengan meninggalkan Damaskus diserbu oleh tentara Perancis dibawah pimpinan Baldwin IV.
Tentara Salib dengan segera menduduki ibukota kerajaan itu, dan hanya bersedia untuk meninggalkan kota itu setelah menerima uang tebusan yang sangat besar. Peristiwa itu menimbulkan amarah Shalahuddin al-Ayyubi yang segera datang ke Damaskus dengan sebuah pasukan yang kecil dan merebut kembali kota itu.
Setelah berhasil menduduki Damaskus ia tidak terus memasuki istana rajanya Nuruddin Mahmud, melainkan bertempat di rumah orang tuanya. Umat Islam sebaliknya sangat kecewa akan tingkah laku Malikus Saleh, dan mengajukan tuntutan kepada Shalahuddin untuk memerintah daerah mereka. Tetapi Shalahuddin hanya mau memerintah atas nama raja muda Malikus Saleh. Ketika Malikus Saleh meninggal dunia pada tahun 1182 Masehi, kekuasaan Shalahuddin telah diakui oleh semua raja-raja di Asia Barat.
Shalahuddin menyatukan Syria dengan Mesir dan membangun Dinasty Al-Ayyubiyah dengan beliau sendiri sebagai sultannya yang pertama. Tidak lama kemudian, Sultan Shalahuddin dapat menggabungkan negeri-negeri An-Nubah, Sudan, Yaman, Maghrib, Mousul dan Hijaz ke dalam kekuasaannya yang besar. Negara di Afrika yang telah diduduki oleh Laskar Salib dari Normandia juga telah dapat direbutnya dalam masa yang singkat. Dengan ini kekuasaan Shalahuddin telah cukup besar dan kekuatan tentaranya cukup banyak untuk mengusir tentara Kristen yang menduduki Baitul Maqdis berpuluh tahun merebut Kota Yerussalem. Sekarang Shalahuddin menghadapkan perhatian sepenuhnya terhadap kota Yerussalem yang diduduki Pasukan Salib Templar dengan kekuatan melebihi enam puluh ribu prajurit. Siasat yang mula-mula dijalankannya adalah mengajak Tentara Salib Templar untuk berdamai. Pada lahirnya, Kaum Salib mengira bahwa Shalahuddin telah menyerah kalah, lalu mereka menerima perdamaian ini dengan sombong.
Sultan sudah menyangka bahwa orang-orang Kristen itu akan mengkhianati perjanjian, maka hal ini akan menjadi alasan bagi beliau untuk melancarkan serangan. Untuk itu, beliau telah membuat persiapan secukupnya. Menurut ahli sejarah Perancis Michaud: "Kaum Muslimin memegang teguh perjanjiannya, sedangkan golongan Nasrani memberi isyarat untuk memulai lagi peperangan."
Ternyata dugaan Sultan Shalahuddin tidak meleset, baru sebentar perjanjian ditandatangani, Kaum Salib telah mengadakan pelanggaran. Penguasa Nasrani Renanud atau Count Rainald de Chatillon penguasa Benteng Akkra menyerang suatu kafilah Muslim yang lewat di dekat istananya, membunuh sejumlah anggotanya dan merampas harta bendanya.
Maka Sultan Shalahuddin, segera bergerak melancarkan serangan kepada Pasukan Salib yang dipimpin oleh Count Rainald de Chatillon dan Baldwin IV Raja Yerussalem, tapi kali ini masih gagal dan beliau sendiri hampir tertawan. Perang ini terkenal dengan nama Battle of Montgisard yang terjadi pada tahun 1177. Beliau mengadakan gencatan senjata dan kembali ke markasnya serta menyusun kekuatan yang lebih besar.
Suatu kejadian yang mengejutkan Sultan adalah Count Rainald de Chatillon yang bergerak dengan pasukannya untuk menyerang kota Suci Makkah dan Madinah. Akan tetapi pasukan ini hancur binasa digempur mujahid Islam di laut Merah dan Count Rainald dan sisa pasukannya kembali ke Yerussalem. Dalam perjalanan, mereka berjumpa dengan satu iring-iringan kafilah kaum Muslimin yang didalamnya terdapat seorang saudara perempuan Sultan Shalahuddin. Tanpa berpikir panjang, Count Rainald dan prajuritnya menyerang kafilah tersebut dan menawan mereka, termasuk saudara perempuan Shalahuddin.
Dengan angkuh Count Rainald berkata: “Apakah Muhammad, Nabi mereka itu mampu datang untuk menyelamatkan mereka?”. Seorang anggota kafilah yang dapat meloloskan diri terus lari dan melapor kepada Sultan Shalahuddin tetang apa yang telah terjadi. Sultan sangat marah terhadap pengkhianatan gencatan senjata itu dan mengirim utusan ke Yerussalem agar semua tawanan dibebaskan. Tapi mereka tidak memberikan jawaban. Buntut kejadian ini, Sultan keluar membawa pasukannya untuk menghukum kaum salib yang sering mengkhianati janji itu dengan mengepung kota Tiberias. Maka terjadilah pertempuran yang sangat besar di gunung Hittin sehingga dikenal dengan Perang Hittin. Pasukan Salib dipimpin oleh Rainald de Chatillon dan Raja Guy de Lusignan, Raja Yerussalem sesudah kematian Baldwin IV (1185).
Dalam pertempuran ini Tentara Salib Templar yang berjumlah 45.000 orang ini tidak sanggup menahan serbuan pasukan Sultan Shalahuddin dan menyerah pada tahun 1187. Seluruh Pasukan Salib hancur binasa dan hanya tinggal beberapa ribu saja yang sebagian besarnya menjadi tawanan termasuk Count Rainald de Chatillon sendiri. Pasukan Salib yang tertawan diperlakukan dengan sangat baik oleh Shalahuddin.
Sikap penuh perikemanusiaan Sultan Shalahuddin dalam memperlakukan Tentara Nasrani itu merupakan suatu gambaran yang berbeda seperti langit dan bumi, dengan perlakuan dan pembunuhan secara besar-besaran yang dialami kaum Muslimin ketika dikalahkan oleh Tentara Salib sekitar satu abad sebelumnya.
Setelah pertempuran ini, dua pemimpin Tentara Salib, Count Rainald de Chatillon yang telah menawan saudara perempuan Sultan dan mengejek Nabi Muhammad, dan Guy de Lusignan dibawa ke hadapan Shalahuddin. Beliau menghukum mati Rainald de Chatillon, yang telah begitu keji karena kekejamannya yang hebat yang ia lakukan kepada orang-orang Islam dan penghinaannya kepada Nabi Muhammad. Namun beliau membiarkan Guy de Lusignan pergi, karena ia tidak melakukan kekejaman yang serupa. Palestina sekali lagi menyaksikan arti keadilan yang sebenarnya.
Kekalahan tentara salib ini berdampak besar terhadap kekuatan tentara Islam. Sebaliknya, tentara salib semakin lemah, karena yang ditawan bukan saja prajurit biasa, melainkan juga panglima-panglimanya, Guy dan Reginald. Oleh karena itu, penaklukkan kota-kota lainnya, seperti benteng Tabariyyah, Akkra, Al-Nasiriyyah, Qisariyah, Haifa, Saida, dan Beirut dilakukan dengan mudah, dan merupakan kulminasi atau puncak reputasi Shalahuddin yang makin ditakuti oleh pihak salib
Tiga bulan setelah pertempuran Hittin, dan pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad SAW diperjalankan dari Mekah ke Yerussalem untuk perjalanan mi’rajnya ke langit, Shalahuddin memasuki Yerusalem dan mengepungnya selama empat puluh hari. Hal ini membuat penduduk di dalam kota itu tidak dapat berbuat apa-apa dan kekurangan makanan. Waktu itu Yerussalem dipenuhi dengan kaum pelarian dan orang-orang yang selamat dalam Perang Hittin. Tentara pertahanannya sendiri tidak kurang dari 60.000 orang yang terdiri dari Kesatria Templar.
Pada hari Minggu, tanggal 20 September 1187, Shalahuddin mencapai Yerusalem dengan banyak pasukan mendirikan kemah dan memulai pengepungan. Pada tanggal 21 September pasukan Shalahuddin mulai ke utara dan barat laut tembok mulai menyerang Yerusalem. Karena mendapat perlawanan sengit dan matahari yang menyilaukan penyerang serta benteng Kerajaan Yerusalem terbukti terlalu kuat Shalahuddin harus menunda serangan. Pada malam 25 sampai 26 September, ia pindah kemahnya di Bukit Zaitun di sisi timur laut kota akhirnya pada tanggal 29 September pasukan Shalahuddin telah telah berhasil merobohkan dinding benteng. Pertempuran ini berakhir dengan menyerahnya Yerusalem pada 2 Oktober 1187. Shalahuddin berhasil merebut Yerusalem pada 2 Oktober 1187 setelah usia 88 tahun dikuasai Kristen. Tanggal itu juga memiliki makna simbolis khusus bagi Muslim karena bertepatan dengan tanggal 27 Rajab yaitu tanggal peringatan Isra dan Mikraj.
2.3 Peran Shalahuddin dalam perang salib
Shalahuddin al-Ayyubi, yang dikenal oleh Orang Eropa dengan nama Saladin, ia juga bergelar Sultan al-Malik al-Nashir ( Raja Sang Penakluk).Ia adalah pendiri dinasti Ayyubiyyah di Mesir yang bertahan selama 80 tahun. Shalahuddin berasal dari keluarga  Kurdi di Azerbaijan, yang berimigrasi ke Irak. Shalahuddin al-Ayyubi merupakan pahlawan paling mengagumkan, yang pernah dipersembahkan oleh peradaban Islam di sepanjang abad VI dan VII Hijriah. Berkat Shalahuddin, umat dan peradaban Islam terselamatkan dari kehancuran, akibat serangan dari kaum Salib.
Pada periode Kedua (1144-1187 M.) dari Perang Salib, Bait al-Maqdis kembali direbut oleh pasukan Salib. Peristiwanya berawal dari jatuhnya beberapa wilayah kekuasaan Islam ke tangan kaum Salib, membangkitkan kesadaran umat Islam untuk menghimpun kekuatan untuk menghadapi mereka. Di bawah komando Imaduddin Zanqi, Gubernur Mosul (Halab), kaum muslimin bergerak maju membendung serangan pasukan Salib.
Pasukan Imaduddin berhasil merebut kembali Aleppo dan Edessa pada tahun 1144 M. Sebelum pasukannya merebut kembali daerah-daerah Islam lainnya, Imaduddin gugur dalam pertempuran pada tahun 1146, posisinya digantikan oleh putranya, Nuruddin Zanqi. Di bawah kepemimpinannya, ia meneruskan cita-cita ayahnya untuk membebaskan wilayah Islam di Timur dari cengkraman kaum Salib. Kota-kota yang berhasil dibebaskannya, antara lain: Damaskus (1147), Antiokia (1149),  Edessa (1151), dan Mesir pada tahun 1169 M.
Kejatuhan Edessa, menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib II. Paus Eugenius III menyerukan perang suci yang disambut positif oleh Raja Perancis, Louis VII dan Raja Jerman, Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syiria. Namun gerak maju mereka dihambat oleh Nuruddin Zanqi. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus, bahkan Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri ke negerinya. Nuruddin wafat tahun 1174 M, pimpinan perang kemudian dipegang oleh Salahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyyah di Mesir tahun 1175 M.
Shalahudddin al-Ayyubi yang terkenal gagah perkasa, meneruskan perjuangannya melawan tentara Salib pada tahun 1180 M. Akhirnya, pasukan Salib tidak mampu menghadapi pasukan Islam, maka mereka terpaksa mengajukan permintaan damai. Dengan adanya permintaan damai itu, Shalahuddin menghentikan peperangan. Namun karena tahun 1186 M. tentara Salib mengkhianatinya dengan menyerang umat Islam yang akan menunaikan haji, maka pertempuran kembali berkobar dan tentara Salib menderita kekalahan serta kebanyakan di antara mereka menjadi tawanan. Akhirnya Shalahuddin al-Ayyubi berhasil merebut kembali Bait al-Maqdis, Yerussalem pada tanggal 2 Oktober 1187 M.
Pada periode ketiga (1189-1192 M.), Shalahuddin berhasil mempertahankan Bait al-Maqdis dan kekalahan kaum Salib. Kejadiannya berawal dari jatuhnya Bait al-Maqdis ke tangan orang Islam, menggerakkan semangat  yang meluap-luap di kalangan Kristen Eropa untuk merebut kembali kota suci itu. Dengan kekalahan itu, maka  dibangunlah angkatan Perang Salib III  pada tahun 1189 M. dengan pimpinan perangnya antara lain Kaisar Frederick Barbarosa dari Jerman, Philip Augustus dari Perancis dan Richard Leeuwen Hart dari Inggris. Angkatan Perang Salib III ini berhasil merebut Accon (Aka), namun sesudah itu pasukan Salib pecah, karena Philip berselisih dengan Richard, yang berakhir dengan pulangnya Philip ke Perancis, serta sebelum terjadi penaklukan Aka itu, Kaisar Barbarosa telah meninggal di tengah perjalanan.
Setelah itu, Shalahuddin berperang melawan Richard yang dikenal sebagai panglima yang tindakannya sangat berani sehingga diberi gelar “Berhati Singa”. Ternyata dalam peperangan di Arsuf, Shalahuddin berhasil dikalahkan Richard pada tahun 1191 M, namun Bait al-Maqdis  belum berhasil dikuasainya. Maka dibuatlah perjanjian perdamaian di Ramlah antara Shalahuddin dengan Richard pada tanggal 2 November 1192 M., yang isinya sebagai berikut :
  1. Yerussalem tetap berada di tangan umat Islam, dan umat Kristen diijinkan untuk menjalankan ibadah di tanah suci.
  2. Orang-orang Salib akan mempertahankan pantai Syiria dan Tyre sampai ke Jaffa.
  3. Umat Islam akan mengembalikan relics (tanda-tanda agama) Kristen kepada umat Kristen.
Setahun berikutnya, Sultan al-Malik al-Nashir Shalah al-Din al-Ayyubi meninggal dunia pada tanggal 19 Februari 1193 M. Setelah beberapa waktu lama dengan gigih memimpin pasukan Islam menghadapi tentara Salib, menyelesaikan pekerjaan besar dengan mengembalikan dan mempertahankan Bait al-Maqdis.










Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Shalahuddin Al-Ayyubi berasal dari bangsa Kurdi. Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah (migrasi) meninggalkan kampung halamannya dekat Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit (Irak). Shalahuddin lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M, ketika ayahnya menjadi penguasa Seljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanqi, gubernur Seljuk untuk kota Mousul, Irak. Ketika Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Shalahuddin) diangkat menjadi gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Raja Suriah Nuruddin Mahmud. Selama di Balbek inilah, Shalahuddin mengisi masa mudanya dengan menekuni teknik perang, strategi, maupun politik. Beliau meninggal dunia pada tanggal 19 Februari 1193 M. Setelah beberapa waktu lama dengan gigih memimpin pasukan Islam menghadapi tentara Salib, menyelesaikan pekerjaan besar dengan mengembalikan dan mempertahankan Bait al-Maqdis.
Shalahuddin Al Ayyubi memiliki sifat bijaksana dalam kehidupan sehari-hari dan bersikap adil dalam menyelesaikan masalah. Ketika perangpun beliau sangat gagah berani dan perkasa mengalahkan musuhnya, meskipun begitu beliau juga sangat berperikemanusiaan terhadap lawan dan tidak semena-mena, padahal mereka memperlakukan umat islam sebelumnya dengan penuh kebencian, karena sifat inilah beliau disegani musuh-musuhnya.



3.2 Saran
Saya selaku penulis menyadari bahwa makalah yang berjudul “SHALAHUDDIN AL AYYUBI” masih banyak kesalahan atau sangat jauh dari hasil yang diharapkan, maka dari itu kami mohon saran dan kritik yang membangun agar dalam makalah berikutnya saya bias mengetahui kekurangan dalam makalah sebelunnya.Dengan demikian hasil yang terbaik selalu diharapkan. Dalam pepatah yaitu, “TAK ADA GADING YANG TAK RETAK”.
















Daftar Pustaka
·         http://id.wikipedia.org/wiki/Pengepungan_Yerusalem_%281187%29
·         http://esq-news.com/2011/berita/11/24/shalahuddin-al-ayyubi-pemimpin-perang-yang-cerdas-nurani.html
·         http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/02/biografi-salahudin-al-ayubi-1138-1193-m.html
·         http://www.kisah.web.id/tokoh-islam/sholahuddin-al-ayyubi-532-589-h.html

ISLAMISASI DI INDONESIA




BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Islam sebagai agama yang sempurna dan merupakan Rahmatan lil Alamin telah memberikan sebuah pedoman dan petunjuk bagi kemaslahatan seluruh umat manusia terutama bagi siapa saja yang  menganut dan mengaplikasikannya dalam kehidupan. Dalam perkembangannya, agama Islam telah berhasil menjadi agama besar di dunia dan telah menyebar ke seluruh pelosok belahan bumi. Islam juga telah memberikan banyak kontribusi keilmuan diberbagai bidang, tidak hanya mengenai kehidupan beribadah, namun juga mengatur tentang kehidupan dalam segala aspek kegiatan sehari – hari kita. Jika dilihat dari aspek sejarah Islam telah mencapai sebuah peradaban yang sangat mengagumkan dengan kemajuannya di segala bidang. Pengaruh Islam pada masa itu tidak hanya meliputi Jazirah Arab saja namun juga telah sampai ke Eropa bahkan syiarnya telah mencapai Timur Jauh.
Merupakan sebuah sejarah yang mencengangkan dimana Indonesia yang dulu memiliki keyakinan kuat mengenai agama Hindu , Budha, Animisme, dan Dinamisme dapat begitu mudahnya berubah menjadi agama Islam bahkan sekarang ini telah menjadi negara dengan populasi Islam terbanyak di dunia. Dibutuhkan sebuah stretegi khusus untuk dapat mensyiarkan dakwah Islam ke Indonesia yang memiliki masyarakat majemuk dan terdiri dari beragam suku, ras, dan adat. Juga dibutuhkan pengetahuan bagaimana sesungguhnya keadaan masyarakat Indonesia saat Islam masuk dan menyebar di Indonesia. Dalam metode penyebarannya, Islam Indonesia merupakan sesuatu yang memang unik dan perlu dikaji lebih lanjut. Jika dibandingkan dengan daerah yang lebih dulu menganut sistem Islam (misal : Andalusia / Spanyol) Indonesia dapat mempertahankan bahkan memperluas kedudukan Islam serta peradaban dan budayanya. Padahal secara geografis Indonesia jauh dari tempat Islam muncul dan dibawakan oleh Muhammad SAW.

Atas latar belakang tersebut maka sangat perlu bagi kita untuk mengkaji lebih dalam lagi mengenai bagaimana sebenarnya proses Islamisasi di Indonesia sehingga nilai – nilai dari agama ini dapat diterapkan begitu lama dan dalam masyarkat yang majemuk. Juga perlu diketahui bagaimana keadaan politik dan masyarakat saat itu yang dapat dijadikan faktor pendukung ataupun penhambat Islam dalam proses penyebarannya di Indonesia. Maka dalam bahasan kali ini kita akan lebih mengkonsentrasikan kepada pembahasan Islamisasi itu sendiri, keadaan lembaga sosial dan politik (kerajaan – kerajaan), serta perkembangan Intelektual masyarakat saat itu.

1.2  Rumusan Masalah
a)      Bagaimana proses Islamisasi di Indonesia?
b)      Bagaimana pertumbuhan Lembaga Sosial dan Politik (Kerajaan – kerajaan) pada saat Islam datang di Indonesia?
c)      Bagaimana keadaan Intelektual masyarakat Indonesia saat kedatangan Islam?

1.3  Tujuan
a)      Mengetahui proses Islamisasi di Indonesia.
b)      Memahami bagaimana pertumbuhan Lembaga Sosial dan Politik (Kerajaan – kerajaan) pada saat Islam masuk di Indonesia.
c)      Memahami keadaan Intelektual masyarakat Indonesia saat Islam masuk di Indonesia.





BAB II
ISI

2.1  Masuknya Islam di Indonesia
Dalam hal ini terdapat tiga teori tentang masuknya Islam di Indonesia, yaitu : Teori Gujarat, Teori Makkah, dan Teori Persia. Ketiga teori ini pun sebenarnya tidak membahas masuknya Islam ke setiap pulau, melainkan hanya menganalisis masuknya agama Islam ke Sumatra dan Jawa. Ketiga teori ini mencoba memberikan jawaban permasalahan tentang masuknya agama Islam ke Nusantara dengan perbedaan pendapatnya. Pertama, mengenai waktu masuknya Islam. Kedua, tentang asal negara yang menjadi perantara atau sumber tempat pengambilan ajaran agama Islam. Ketiga, tentang pelaku penyebar atau pembawa Islam ke Nusantara.
Teori Gujarat
     Dinamakan Teori Gujarat bertolak dari pandangan teori ini yang menyatakan asal negara yang membawa Islam ke Nusantara adalah dari Gujarat. Adapun peletak dasar teori ini adalah Snouck Hurgronje, dalam bukunya L’Arabie et les Indes Neerlandaises, atau Revue de l’Histoire des Religious, jilid [vi]. Snouck Hurgronje lebih menitikberatkan pandangannya ke Gujarat berdasarkan : Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara, hubungan dagang Indonesia dan Indioa telah terjalin lama, inskripsi tertua tentang islam yang terdapat di Sumatra memberikan gambaran hubungan antara Sumatra dengan Gujarat.
     Sejalan dengan pendapat diatas, W.F. Sutterheim, dalam bukunya De Islam en Zijn Komst In de Archipel menyatakan masuknya agama Islam ke Nusantara terjadi pada abad ke 13. Pendapatnya juga didasarkan pada bukti batu nisan Sultan pertama dari Kerajaan Samudera, yakni Malik Al Saleh yang wafat pada 1297. Relief nisan tersebut bersifat Hinduistis yang mempunyai dengan nisan yang terdapat di Gujarat. Atas alasan inilah W.F. Stutterheim berpendapat bahwa Islam masuk berasal dari Gujarat.
     Berbeda dengan pendapat diatas, J.C van Leur dalam bukunya Inonesia, Trade and Society, menyatakan bahwa pada tahun 674 di pantai Barat Sumatra telah terdapat perkampungan Arab Islam. Denga pertimbangan bangsa Arab telah mendirikan perkampungannya di Kanton pada abad ke 4. Perkampungan atau pemukiman ini mulai dibicarakan lagi pada tahun 618 dan 626. Tahun – tahun berikutnya perkembangan perkampungan perdagangan ini mulai mempraktikan  ajaran Islam. Hal ini mempengaruhi pula perkampungan Arab yang ada di sepanjang jalan perdagangan di Asia Tenggara.
     Bernard H.M Vlekke juga berpendapat denga sejarawan sebelumnya bahwa nisan tersebut selain mempunyai kesamaan denga yang ada di Cambay, juga diimpor dari sana pula. Karena Cambay merupakan pusat perdagangan Islam sejak abad ke-13. Dengan adanya persamaan nisan dan persamaan ajaran mistik Islam Indonesia dengan India, Bernard H.M. Vlekke berkesimpulan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui Gujarat.
     Clifford Geertz dalam The Religion of Java juga masih berpendapat masuknya Islam ke Nusantar berasal dari India. Perkembangan ajaran Islam di Indonesia diwarnai oleh ajaran Hindu, Budha, bahkan Animisme sebagai ajaran – ajaran yang telah lama berkembang di Indonesia sebelum Islam. Hal ini akibat putusnya hubungan Indonesia dengan negara sumber Islam, yakni Makkah dan Kairo. Sehingga terlihat praktik mistis Budha yang dinamai Arab, Raja yang dinamai Sulthan, sedangkan rakyat kebanyakan masih mempraktikan ajaran animisme.
     Dari berbagai argumen Teori Gujarat yang dikemukakan oleh beberapa sejarawan, ahli antropologi, dan ahli ilmu politik, analisis mereka terlihat Hindu Sentris, karena beranggapan bahwa seluruh perubahan sosial, ekonomi, budaya dan agama di Nusantara tidak mungkin terlepas dari pengaruh India. Teori Gujarat ini tentu terdapat kelemahannya bila dibandingkan dengan Teori Makkah.



Teori Makkah
     Teori Gujarat sejak tahun 1958 mendapatkan koreksi dan kritik dari Hamka yang melahirkan teori baru yakni Teori Makkah. Koreksinya ini disampaikan dalam pidatonya di Dies Natalis Perguruan Tinggi Agma Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta, pada 1958. Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 dan berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan pandangannya pada peranan bangsa Arab sevagai pembawa Islam ke Indonesia. Gujarat dinyatakan sebagai tempat singgah, dan Makkah sebagai pusat, atau Mesir sebagai pengambilan ajaran Islam. Selain itu, Hamka menolak pendapat yang menyatakan bahwa agama Islam baru masuk ke Nusantara pada abad ke-13, karena di Nusantara abad ke-13 telah berdiri kekuasaan politik Islam. Jadi masuknya Islam ke Nusantara terjadi jauh sebelumnya yakni pada abad ke-7.
     T.W. Arnold menyatakan bahwa bangsa Arab sejak abad ke-2 sebelum Masehi telah menguasai perdagangan di Ceylon. Memang tidak dijelaskan lebih lanjut tentang sampainya ke Indonesia. Tetapi bila dihubungkan dengan penjelasan kepustakaan Arab kuno yang menyebutkan Al Hind berarti India atau pulau – pulau sebelah timurnya sampai ke Cina, dan Indonesia pun disebut sebagai pulau – pulau Cina, besar kemungkinan pada abad ke-2 sebelum Masehi bangsa Arab telah samapai ke Indonesia. Hanya penyebutannya sebagai pulau – pulau Cina atau Al Hind.
     Bila memang benar telah ada hubungan antara bangsa Arab dengan Indonesia sejak abad ke-2 sebelum Masehi, maka bangsa Arab merupakan bangsa asing pertama yang datang ke Nusantara, karena bangsa India dan Cina baru mengadakan hubungan dengan Indonesia pada abad ke-1 M. Sedangkan hubungan Arab dengan Cina terjadi jauh lebih lama, melalui jalan darat yang sering disebut sebagai “jalan sutera”, berlangsung sejak 500 SM.
     Timbulnya perkampungan perdagangan Arab baik di pantai barat Sumatra ataupun di Asia Tenggara dan Kanton, ditunjang oleh kekuatan laut Arab. Penulis – penulis Arab, Ibnu Rusta (900), Sulaiman (850), dan Abu Zaid (950) menjelaskan bahwa pelaut – pelaut Arab Islam telah mengenal sekali lautan Indonesia. Selain itu dijelaskan pula bahwa bangsa Arab telah mengenat pertambangan timah. Kala itu, sebagai pertambangan yang dikuasai Zabaj. Adapun yang dimaksudkan Zabaj menurut Sir Thomas adalah Sriwijaya. Dari ahli geografi Arab seperti Abu Zaid Al-Balkhi (934), Ibnu Hauqal (985), Istakhri (950), dan Maqdisi (985), kita mendapatkan informasi tentang peta bumi yang telah dimiliki oleh bangsa Arab, yang didalamnya pula menggambarkan Samudera Indonesia. Sedangkan bangsa Eropa saat itu masih menganggap Samudera Indonesia saat itu sebagai jurang laut. Dan lagi peta yang demikian itu tidak dimiliki oleh bangsa Eropa dan hanya dimiliki oleh navigator bangsa Arab Muslim.
     Jadi kesimpulannya menurut Teori Makkah, masuknya  Islam ke Nusantara terjadi pada abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi. Pelaku pembawa Islam adalah saudagar Arab, diikuti oleh orang Persia dan Gujarat, mereka bukanlah anggota missi, meski hakikatnya setiap orang Islam memiliki kewajiban missi.
Teori Persia
     Pembangun teori ini adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat. Fokus pandangan teori ini tentang masuknya agama Islam ke Indonesia berbeda dengan teori Gujarat dan Makkah, sekalipun mempunyai maslah kesamaan mengenai Gujaratnya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya pada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia.
     Kesamaan budaya ini dapat dilihat pada mayarakat Islam Indonesia antara lain :
     Pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syi’ah atas kematian syahidnya Husain. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan – Husain. Di Sumatra Tengah bagian Barat, disebut bulan Tabut, dan diperingati dengan mengarak keranda Husain untuk dilemparkan ke sungai atau ke dalam perairan lainnya. Keranda tersebut disebut tabut berasal dari bahasa Arab.
     Kedua, adanya kesamaan ajaran antara Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran Al-Hallaj, sekalipun Al-Hallaj telah meninggal pada 310H / 922M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya.



Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk tanda–tanda bunyi harakat dalam pengajian Al Qur’an tingkat awal :
Bahasa Iran
Bahasa Arab
Jabar – zabar
Fathah
Jer – ze-er
Kasrah
P’es – py’es
Dhammah

     Keempat, nisan pada makam Malikus Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini Teori Persia mempinyai kesamaan mutlak dengan Teori Gujarat.
     Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia terhadap Mazhab Syafi’i sebagai mahzab yang paling utama di daerah Malabar. Dalam masalah mahzab Syafi’i, P.A Hosein Djajadiningrat disatu pihak melihat saah satu budaya Islam Indonesia kemudian dikaitkan dengan kebudayaan Islam Persia, tetapi tetap berpandangan Mazhab Syafi’i berhenti di Malabar, tidak berlanjut dihubungkan dengan pusat Mazhab Syafi’i di Makkah.
Seminar Masuknya Islam di Indonesia
     Dari berbagai teori diatas maka ditarik sebuah kesimpulan yaitu yanng disampaikan dalam “Seminar Masuknya Islam di Indonesiadi Medan tahun 1963. Menghasilkan rumusan sebagai berikut :
1.      Menurut sumber – sumber yang diketahui, Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah (abad ke 7 Masehi) dan langsung dari Arab.
2.      Daerah yang pertama didatangi oleh Islam ialah pesisir Sumatra, dan bahwa setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka raja Islam yang pertama berada di Aceh.
3.      Dalam proses pengislaman selanjutnya, orang – orang Indonesia ikut aktif mengambil bagian.

4.      Mubaligh – mubaligh Islam yang pertama – pertama itu selain sebagai penyiar Islam juga sebagai Saudagar.
5.      Penyiaran Islam di Indonesia dilakukan dengan cara damai.
6.      Kedatangan Islam ke Indonesia, membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia.

2.2 Jalur penyebaran Islam di Indonesia(influence)
Sejak Islam dikenal di Indonesia itulah, Islam terus berkembang dengan pesat. Menurut para sejarawn, Islam masuk ke Indonesia melalui beberapa jalur, sehingga dengan cepat dapat diterima oleh masyarakat Indonesia yang waktu itu masih kuat menganut paham lama, yaitu agama Hindu, Budha, bahkan Animisme dan Dinamisme.
Jalurjallur yang dilakukan oleh penyebar Islam yang mula – mula di Indonesia adalah sebagai berikut :
1.      Melaui jalur perdagangan
Pada tahap permulaan, saluran Islamisasi adalah perdagangan. Kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-14 M membuat para pedagang Muslim (Arab, Persia, dan India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri – negeri bagian barat, timur, dan tenggara benua Asia. Islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan. Mereka yang melakukan dakwah Islam, sekaligus juga menjadi pedagang yang menjajakan dagangannya kepada penduduk pribumi.
2.      Melalui jalur perkawinan
Dari sudut ekonomi, pedagang muslim memiliki status sosial yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, terutama putri – putri bangsawan tertarik untuk menjadi istri saudagar – saudagar itu. Sebelum menikah mereka diislamkan terlebih dahulu. Setelah mereka memiliki keturunan, lingkungan semakin luas. Akhirnya timbul kampung – kampung, daerah – daerah, dan kerajaan – kerajaan muslim.

3.      Melalui jalur tasawuf
Para penyebar Islam juga dikenal sebagai pengajar – pengajar tasawuf. Mereka mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam hal magis dan memiliki kekuatan – kekuatan menyembuhkan. Diantara mereka ada juga uang menikahi putri – putri bangsawan setempat. Dengan tasawuf. “bentuk” Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agamna Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan mudah diterima. Kehidupan mistik bagi masyarakat Indonesia sudah menjadi bagian dari kepercayaan mereka, oleh karena itu, penyebaran Islam pada masyarakat Indonesia melalui jalur tasawuf atau mistik ini mudah diterima karena sesuai dengan alam pikiran masyarakat Indonesia. Misalnya, menggunakan ilmu – ilmu riyadath dan kesaktian dalamproses [enyebaran agama Islam kepadapenduduk setempat.
4.      Melalui jalur pendidikan
Dalam islamisasi di Indonesia ini, juga dilakukan melalui jalur pendidikan seperti pesantren, surau, masjid, dan lain – lain yang dilakukan oleh guru – guru agama. Kiai, dan ulama. Jalur pendidikan digunakan oleh para wali khususnnya di Jawa dengan membuka lembaga pendidikan pesantren sebagai tempat kaderisasi mubaligh – munaligh Islam di kemudian hari. Setelah keluar dari pesantren atau pondik, mereka kembali ke kampung masing – masing atau berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya pesantren yang didirikan Raden Rahmat di Ampel Delta Surabaya dan Pesantren Giri yang didirikan oleh SunanGiri di Gresik. Keluaran Giri ini banyak diundang ke Maluku untuk berdakwah disana.
5.      Melalui jalur kesenian
Para penyebar Islam juga menggunakan kesenian dalam rangka penyebaran Islam, antara wayang, sastra, dan berbagai kesenian lainnya. Pendekatan jalur kesenian dilakukan oleh para penyebar Islam seperti waliongo untuk menarik perhatian di kalangan mereka, sehingga dengan tanpa merasa mereka telah tertarik kepada ajaran – ajaran Islam sekalipun pada awalnya mereka tertarik dikarenakan media kesenian itu. Misalnya, Sunan Kalijaga adalah tokoh seniman wayang. Ia tidak pernah meminta bayaran perunjukan seni, tetapi meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi didalam cerita itu disisipkan ajaran – ajaran dan nama pahlawan Islam. Kesenian – kesenian lain juga dijadikan media islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad, dan sebagainya), seni arsitektur, dan seni ukir.
6.      Melalui jalur politik.
Para penyebar Islam juga menggunakan pendekatan politik dalam penyebaran Islam. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di Indonesia. Sebagaimana diketahui, melalui jalur para politik walisongo melakukan strategi dakwah mereka di kalangan para pembesar kerajaan seperti Majapahit, Pajajaran, bahkan para walisongo juga mendirikan kerajaan Demak, Sunan Gunungjati juga mendirikan Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten. Kesemuanya dilakukan untuk melakukan pendekatan dalam rangka penyebaran Islam. Baik di Sumatra, Jawa maupun di Indonesia bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan – kerajaan Islam memerangi kerajaan – kerajaan non-Islam. Kemenangan – kemenangan secara politis banyak menarik penduduk kerajaan yang bukan Islam itu masuk Islam.
2.3 Kondisi Kerajaan Indonesia Pra Islam
Cikal bakal kekuasaan Islam telah dirintis pada abad ke-7 dan ke-8 Masehi, tetapi semuanya tenggelam dalam hemegoni maritim Sriwijaya yang berpusat di Palembang dan Kerajaan Hindu-Jawa seperti Singasari dan Majapahit di Jawa Timur. Pada periode ini para pedagang dan mubaligh muslim membentuk komunitas – komunitas Islam. Mereka memperkenalkan Islam yang mengajarkan toleransi dan persamaan derajat diantara sesama. Sementara antara Hindu – Jawa menekankan perbedaan derajat manusia. Ajaran Islam ini sangat menarik perhatian penduduk setempat. Oleh karena itu, Islam tersebar di kepulauan Indonesia terhitung cepat, meski penyebarannya dengan cara damai.
Masuknya Islam ke daerah – daerah di Indonesia tidak dalam waktu yang bersamaan. Di samping itu, keadaan politik dan sosial budaya daerah ketika didatangi Islam juga berlainan. Datangnya orang – orang Islam ke daerah – daerah yang baru disinggahi sama sekali belum memperlihatkan dampak – dampak politik, karena pada awalnya mereka datang hanya untuk usaha pelayaran dan perdagangan.
Kemajuan politik dan Ekonomi Sriwijaya berlangsung samapai abad ke 12 M. Pada akhir abad ke 12 M, kerajaan mulai memasuki masa kemunduran di bidang politik dan ekonomi. Kemunduran Sriwijaya ini dipercepat oleh usaha – usaha Kerajaan Singasari yang sedang bangkit di Jawa. Kelemahan Sriwijaya dimanfaatkan oleh para pedagang muslim untuk mendapatkan keuntungan politik dan perdagangan. Mereka mendukung daerah – daerah yang muncul, dan daerah yang menyatakan diri sebagai kerajaan yang bercorak Islam, yaitu Kerajaan Samudra Pasai di pesisir timur Laut Aceh. Daerah ini sudah disinggahi pedagang muslim sejak abad ke-7 dan ke-8 M. Proses islamisasi tentu sudah berjalan disana sejak abad tersebut, baik dalam bidang politik maupin perdagangan.
Karena kekacauan dalam negeri sendiri akibat perebutan kekuasaan di istana, Kerajaan Singasari, juga pelanjutnya Majapahit, tidak mampu mengontrol daerah Melayu dan Selat Malaka dengan baik, sehingga Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka dapat berkembang dan mencapai puncak kekuasaanya hingga abad ke-16 M.
Demikian pula kerajaan Majapahit ketika Hayam Wuruk dengan Patih Gadjah Mada masih berkuasa, situasi politik pusat Nusantara mengakui berada dibawah perlindungannya. Akan tetapi, sejak Gajah Mada meninggal dunia pada 1364 M disusul Hayam Wuruk pada tahun 1389 M, situasi Majapahit kembali mengalami keguncangan. Kelemahan – kelemahan yang semakin lama semakin memuncak, akhirnya membuat kerajaan Majapahit semakin melemah.
Akhirnya, Kerajaan Sriwijaya, Singasari, dan Majapahit menjadi melemah dan tidak memiliki kekuatan yang berarti tidak lama kemusian muncul beberapa kerajaan Islam yang juga bersama dengan pengembangan agama Islam di Indonesia, yaitu Kerajaan Samudera Pasai (abad ke 13 M) di Aceh. Kemudian diteruskan kerajaan Aceh Darussalam (abad ke 15 M).




2.4 Kerajaan Islam di Indonesia
a)      Kerajaan Perlak
Perlak adalah kerajaan Islam tertua di Indonesia. Perlak adalah sebuah kerajaan dengan masa pemerintahan cukup panjang. Kerajaan yang berdiri pada tahun 840 ini berakhir pada tahun 1292 karena bergabung dengan Kerajaan Samudra Pasai. Sejak berdiri sampai bergabungnya Perlak dengan Samudrar Pasai, terdapat 19 orang raja yang memerintah. Raja yang pertama ialah Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah (225 – 249 H / 840 – 964 M). Sultan bernama asli Saiyid Abdul Aziz pada tanggal 1 Muhharam 225 H dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Perlak. Setelah pengangkatan ini, Bandar Perlak diubah menjadi Bandar Khalifah. Kerajaan ini mengalami masa jaya pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H/1225-1263 M).
Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Perlak mengalami kemajuan pesat terutama dalam bidang pendidikan Islam dan perluasan dakwah Islamiah. Sultan mengawinkan dua putrinya: Putri Ganggang Sari (Putri Raihani) dengan Sultan Malikul Saleh dari Samudra Pasai serta Putri Ratna Kumala dengan Raja Tumasik (Singapura sekarang). Perkawinan ini dengan parameswara Iskandar Syah yang kemudian bergelar Sultan Muhammad Syah. Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat kemudian digantikan oleh Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat (662-692 H/1263-1292 M). Inilah sultan terakhir Perlak. Setelah beliau wafat, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai dengan raja Muhammad Malikul Dhahir yang adalah Putra Sultan Malikul Saleh dengan Putri Ganggang Sari.
Perlak merupakan kerajaan yang sudah maju. Hal ini terlihat dari adanya mata uang sendiri. Mata uang Perlak yang ditemukan terbuat dari emas (dirham), dari perak (kupang), dan dari tembaga atau kuningan.



b. Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan ini didirikan oleh Sultan Malik Al-saleh dan sekaligus sebagai raja pertama pada abad ke-13. Kerajaan Samudera Pasai terletak di sebelah utara Perlak di daerah Lhok Semawe sekarang (pantai timur Aceh). Sebagai sebuah kerajaan, raja silih berganti memerintah di Samudra Pasai. Raja-raja yang pernah memerintah Samudra Pasai adalah seperti berikut.
(1) Sultan Malik Al-saleh berusaha meletakkan dasar-dasar kekuasaan Islam dan berusaha mengembangkan kerajaannya antara lain melalui perdagangan dan memperkuat angkatan perang. Samudra Pasai berkembang menjadi negara maritim yang kuat di Selat Malaka.
(2) Sultan Muhammad (Sultan Malik al Tahir I) yang memerintah sejak 1297-1326. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Perlak kemudian disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai.
(3) Sultan Malik al Tahir II (1326 – 1348 M). Raja yang bernama asli Ahmad ini sangat teguh memegang ajaran Islam dan aktif menyiarkan Islam ke negeri-negeri sekitarnya. Akibatnya, Samudra Pasai berkembang sebagai pusat penyebaran Islam. Pada masa pemerintahannya, Samudra Pasai memiliki armada laut yang kuat sehingga para pedagang merasa aman singgah dan berdagang di sekitar Samudra Pasai. Namun, setelah muncul Kerajaan Malaka, Samudra Pasai mulai memudar. Pada tahun 1522 Samudra Pasai diduduki oleh Portugis. Keberadaan Samudra Pasai sebagai kerajaan maritim digantikan oleh Kerajaan Aceh yang muncul kemudian.
Catatan lain mengenai kerajaan ini dapat diketahui dari tulisan Ibnu Battuta, seorang pengelana dari Maroko. Menurut Battuta, pada tahun 1345, Samudera Pasai merupakan kerajaan dagang yang makmur. Banyak pedagang dari Jawa, Cina, dan India yang datang ke sana. Hal ini mengingat letak Samudera Pasai yang strategis di Selat Malaka. Mata uangnya uang emas yang disebur deureuham (dirham).
Di bidang agama, Samudera Pasai menjadi pusat studi Islam. Kerajaan ini menyiarkan Islam sampai ke Minangkabau, Jambi, Malaka, Jawa, bahkan ke Thailand. Dari Kerajaan Samudra Pasai inilah kader-kader Islam dipersiapkan untuk mengembangkan Islam ke berbagai daerah. Salah satunya ialah Fatahillah. Ia adalah putra Pasai yang kemudian menjadi panglima di Demak kemudian menjadi penguasa di Banten.
c. Kerajaan Aceh
Kerajaan Islam berikutnya di Sumatra ialah Kerajaan Aceh. Kerajaan yang didirikan oleh Sultan Ibrahim yang bergelar Ali Mughayat Syah (1514-1528), menjadi penting karena mundurnya Kerajaan Samudera Pasai dan berkembangnya Kerajaan Malaka. Pusat pemerintahan Kerajaan Aceh ada di Kutaraja (Banda Acah sekarang). Corak pemerintahan di Aceh terdiri atas dua sistem: pemerintahan sipil di bawah kaum bangsawan, disebut golongan teuku; dan pemerintahan atas dasar agama di bawah kaum ulama, disebut golongan tengku atau teungku.Sebagai sebuah kerajaan, Aceh mengalami masa maju dan mundur. Aceh mengalami kemajuan pesat pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607- 1636). Pada masa pemerintahannya, Aceh mencapai zaman keemasan. Aceh bahkan dapat menguasai Johor, Pahang, Kedah, Perak di Semenanjung Melayu dan Indragiri, Pulau Bintan, dan Nias. Di samping itu, Iskandar Muda juga menyusun undang-undang tata pemerintahan yang disebut Adat Mahkota Alam.
Setelah Sultan Iskandar Muda, tidak ada lagi sultan yang mampu mengendalikan Aceh. Aceh mengalami kemunduran di bawah pimpinan Sultan Iskandar Thani (1636- 1641). Dia kemudian digantikan oleh permaisurinya, Putri Sri Alam Permaisuri (1641- 1675). Sejarah mencatat Aceh makin hari makin lemah akibat pertikaian antara golongan teuku dan teungku, serta antara golongan aliran syiah dan sunnah sal jama’ah. Akhirnya, Belanda berhasil menguasai Aceh pada tahun 1904.
Dalam bidang sosial, letaknya yang strategis di titik sentral jalur perdagangan internasional di Selat Malaka menjadikan Aceh makin ramai dikunjungi pedangang Islam. Terjadilah asimilasi baik di bidang sosial maupun ekonomi. Dalam kehidupan bermasyarakat, terjadi perpaduan antara adat istiadat dan ajaran agama Islam.


d. Kerajaan Demak dan Kerajaan Pajang dengan Peninggalannya
Demak adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kerajaan yang didirikan oleh Raden Patah ini pada awalnya adalah sebuah wilayah dengan nama Glagah atau Bintoro yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Majapahit mengalami kemunduran pada akhir abad ke-15. Kemunduran ini memberi peluang bagi Demak untuk berkembang menjadi kota besar dan pusat perdagangan. Dengan bantuan para ulama Walisongo, Demak berkembang menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa dan wilayah timur Nusantara.
Sebagai kerajaan, Demak diperintah silih berganti oleh raja-raja. Demak didirikan oleh Raden Patah (1500-1518) yang bergelar Sultan Alam Akhbar al Fatah. Raden Patah sebenarnya adalah Pangeran Jimbun, putra raja Majapahit. Pada masa pemerintahannya, Demak berkembang pesat. Daerah kekuasaannya meliputi daerah Demak sendiri, Semarang, Tegal, Jepara dan sekitarnya, dan cukup berpengaruh di Palembang dan Jambi di Sumatera, serta beberapa wilayah di Kalimantan. Karena memiliki bandar-bandar penting seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik, Raden Patah memperkuat armada lautnya sehingga Demak berkembang menjadi negara maritim yang kuat. Dengan kekuatannya itu, Demak mencoba menyerang Portugis yang pada saat itu menguasai Malaka. Demak membantu Malaka karena kepentingan Demak turut terganggu dengan hadirnya Portugis di Malaka. Namun, serangan itu gagal.
Di bidang keagamaan, Raden Patah dan dibantu para wali, Demak tampil sebagai pusat penyebaran Islam. Raden Patah kemudian membangun sebuah masjid yang megah, yaitu Masjid Demak .Dalam bidang perekonomian, Demak merupakan pelabuhan transito (penghubung) yang penting. Sebagai pusat perdagangan Demak memiliki pelabuhan-pelabuhan penting, seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik. Bandar-bandar tersebut menjadi penghubung daerah penghasil rempah-rempah dan pembelinya. Demak juga memiliki penghasilan besar dari hasil pertaniannya yang cukup besar. Akibatnya, perekonomian Demak berkembang degan pesat.


e. Kerajaan Mataram dan Peninggalannya
Sutawijaya yang mendapat limpahan Kerajaan Pajang dari Sutan Benowo kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke daerah kekuasaan ayahnya, Ki Ageng Pemanahan, di Mataram. Sutawijaya kemudian menjadi raja Kerajaan Mataram dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama.
Pemerintahan Panembahan Senopati (1586-1601) tidak berjalan dengan mulus karena diwarnai oleh pemberontakan-pemberontakan. Kerajaan yang berpusat di Kotagede (sebelah tenggara kota Yogyakarta sekarang) ini selalu terjadi perang untuk menundukkan para bupati yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Mataram, seperti Bupati Ponorogo, Madiun, Kediri, Pasuruan bahkan Demak. Namun, semua daerah itu dapat ditundukkan. Daerah yang terakhir dikuasainya ialah Surabaya dengan bantuan Sunan Giri.
Setelah Senopati wafat, putranya Mas Jolang (1601-1613) naik tahta dan bergelar Sultan Anyakrawati. Dia berhasil menguasai Kertosono, Kediri, dan Mojoagung. Ia wafat dalam pertempuran di daerah Krapyak sehingga kemudian dikenal dengan Pangeran Sedo Krapyak. Mas Jolang kemudian digantikan oleh Mas Rangsang (1613-1645). Raja Mataram yang bergelar Sultan Agung Senopati ing Alogo Ngabdurracham ini kemudian lebih dikenal dengan nama Sultan Agung. Pada masa pemerintahannya, Mataram mencapai masa keemasan. Pusat pemerintahan dipindahkan ke Plered. Wilayah kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. Sultan Agung bercita-cita mempersatukan Jawa. Karena merasa sebagai penerus Kerajaan Demak, Sultan Agung menganggap Banten adalah bagian dari Kerajaan Mataram. Namun, Banten tidak mau tunduk kepada Mataram. Sultan Agung kemudian berniat untuk merebut Banten.
Namun, niatnya itu terhambat karena ada VOC yang menguasai Sunda Kelapa. VOC juga tidak menyukai Mataram. Akibatnya, Sultan Agung harus berhadapan dulu dengan VOC. Sultan Agung dua kali berusaha menyerang VOC: tahun 1628 dan 1629. Penyerangan tersebut tidak berhasil, tetapi dapat membendung pengaruh VOC di Jawa.

Sultan Agung membagi sistem pemerintahan Kerajaan Mataram seperti berikut. (1) Kutanegara, daerah pusat keraton. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh Patih Lebet (Patih Dalam) yang dibantu Wedana Lebet (Wedana Dalam). (2) Negara Agung, daerah sekitar Kutanegara. Pelaksanaan pemerintahan dipegang Patih Jawi (Patih Luar) yang dibantu Wedana Jawi (Wedana Luar). (3) Mancanegara, daerah di luar Negara Agung. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh para Bupati. (4) Pesisir, daerah pesisir. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh para Bupati atau syahbandar. Sultan Agung wafat pada tahun 1645 dan digantikan oleh Amangkurat I (1645-1677). Amangkurat I menjalin hubungan dengan Belanda. Pada masa pemerintahannya. Mataram diserang oleh Trunojaya dari Madura, tetapi dapat digagalkan karena dibantu Belanda.
Amangkurat I kemudian digantikan oleh Amangkurat II (1677-1703). Pada masapemerintahannya, wilayah Kerajaan Mataram makin menyempit karena diambil oleh Belanda. Setelah Amangkurat II, raja-raja yang memerintah Mataram sudah tidak lagi berkuasa penuh karena pengaruh Belanda yang sangat kuat. Bahkan pada tahun 1755, Mataram terpecah menjadi dua akibat Perjanjian Giyanti:
Ngayogyakarta Hadiningrat (Kesultanan Yogyakarta) yang berpusat di Yogyakarta dengan raja Mangkubumi yang bergelar Hamengku Buwono I dan Kesuhunan Surakarta yang berpusat di Surakarta dengan raja Susuhunan Pakubuwono III. Dengan demikian, berakhirlah Kerajaan Mataram.
Kehidupan sosial ekonomi Mataram cukup maju. Sebagai kerajaan besar, Mataram maju hampir dalam segala bidang, pertanian, agama, budaya. Pada zaman Kerajaan Majapahit, muncul kebudayaan Kejawen, gabungan antara kebudayaan asli Jawa, Hindu, Buddha, dan Islam, misalnya upacara Grebeg, Sekaten. Karya kesusastraan yang terkenal adalah Sastra Gading karya Sultan Agung. Pada tahun 1633, Sultan Agung mengganti perhitungan tahun Hindu yang berdasarkan perhitungan matahari dengan tahun Islam yang berdasarkan perhitungan bulan.

f. Kerajaan Banten
Kerajaan yang terletak di barat Pulau Jawa ini pada awalnya merupakan bagian dari Kerajaan Demak. Banten direbut oleh pasukan Demak di bawah pimpinan Fatahillah. Fatahillah adalah menantu dari Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah adalah salah seorang wali yang diberi kekuasaan oleh Kerajaan Demak untuk memerintah di Cirebon. Syarif Hidayatullah memiliki 2 putra laki-laki, pangeran Pasarean dan Pangeran Sabakingkin. Pangeran Pasareaan berkuasa di Cirebon. Pada tahun 1522, Pangeran Saba Kingkin yang kemudian lebih dikenal dengan nama Hasanuddin diangkat menjadi Raja Banten.
Setelah Kerajaan Demak mengalami kemunduran, Banten kemudian melepaskan diri dari Demak. Berdirilah Kerajaan Banten dengan rajanya Sultan Hasanudin (1522- 1570). Pada masa pemerintahannya, pengaruh Banten sampai ke Lampung. Artinya, Bantenlah yang menguasai jalur perdagangan di Selat Sunda. Para pedagang dari Cina, Persia, Gujarat, Turki banyak yang mendatangi bandar-bandar di Banten. Kerajaan Banten berkembang menjadi pusat perdagangan selain karena letaknya sangat strategis, Banten juga didukung oleh beberapa faktor di antaranya jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511) sehingga para pedagang muslim berpindah jalur pelayarannya melalui Selat Sunda. Faktor lainnya, Banten merupakan penghasil lada dan beras, komoditi yang laku di pasaran dunia.
g. Kerajaan Cirebon
Kerajaan yang terletak di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah didirikan oleh salah seorang anggota Walisongo, Sunan Gunung Jati dengan gelar Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah membawa kemajuan bagi Cirebon. Ketika Demak mengirimkan pasukannya di bawah Fatahilah (Faletehan) untuk menyerang Portugis di Sunda Kelapa, Syarif Hidayatullah memberikan bantuan sepenuhnya. Bahkan pada tahun 1524, Fatahillah diambil menantu oleh Syarif Hidayatullah. Setelah Fatahillah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa, Syarif Hidayatullah meminta Fatahillah untuk menjadi Bupati di Jayakarta.
Syarif Hidayatullah kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Pangeran Pasarean. Inilah raja yang menurunkan raja-raja Cirebon selanjutnya.Pada tahun 1679, Cirebon terpaksa dibagi dua, yaitu Kasepuhan dan Kanoman.
Dengan politik de vide at impera yang dilancarkan Belanda yang pada saat itu sudah berpengaruh di Cirebon, kasultanan Kanoman dibagi dua menjadi Kasultanan Kanoman dan Kacirebonan. Dengan demikian, kekuasaan Cirebon terbagi menjadi 3, yakni Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Cirebon berhasil dikuasai VOC pada akhir abad ke-17.
h. Kerajaan Gowa-Tallo
Kerajaan yang terletak di Sulawesi Selatan sebenarnya terdiri atas dua kerjaan: Gowa dan Tallo. Kedua kerajaan ini kemudian bersatu. Raja Gowa, Daeng Manrabia, menjadi raja bergelar Sultan Alauddin dan Raja Tallo, Karaeng Mantoaya, menjadi perdana menteri bergelar Sultan Abdullah. Karena pusat pemerintahannya terdapat di Makassar, Kerajaan Gowa dan Tallo sering disebut sebagai Kerajaan Makassar.
Karena posisinya yang strategis di antara wilayah barat dan timur Nusantara, Kerajaan Gowa dan Tallo menjadi bandar utama untuk memasuki Indonesia Timur yang kaya rempah-rempah. Kerajaan Makassar memiliki pelaut-pelaut yang tangguh terutama dari daerah Bugis. Mereka inilah yang memperkuat barisan pertahanan laut Makassar.
Raja yang terkenal dari kerajaan ini ialah Sultan Hasanuddin (1653-1669).Hasanuddin berhasil memperluas wilayah kekuasaan Makassar baik ke atas sampai ke Sumbawa dan sebagian Flores di selatan. Karena merupakan bandar utama untuk memasuki Indonesia Timur, Hasanuddin bercita-cita menjadikan Makassar sebagai pusat kegiatan perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini merupakan ancaman bagi Belanda sehingga sering terjadi pertempuran dan perampokan terhadap armada Belanda. Belanda kemudian menyerang Makassar dengan bantuan Aru Palaka, raja Bone. Belanda berhasil memaksa Hasanuddin, Si Ayam Jantan dari Timur itu menyepakati Perjanjian Bongaya pada tahun 1667. Isi perjanjian itu ialah: Belanda mendapat monopoli dagang di Makassar, Belanda boleh mendirikan benteng di Makassar, Makassar harus melepaskan jajahannya, dan Aru Palaka harus diakui sebagai Raja Bone.
Tata kehidupan yang tumbuh di Makassar dipengaruhi oleh hukum Islam. Kehidupan perekonomiannya berdasarkan pada ekonomi maritim: perdagangan dan pelayaran. Sulawesi Selatan sendiri merupakan daerah pertanian yang subur. Daerah-daerah taklukkannya di tenggara seperti Selayar dan Buton serta di selatan seperti Lombok, Sumbawa, dan Flores juga merupakan daerah yang kaya dengan sumber daya alam. Semua itu membuat Makassar mampu memenuhi semua kebutuhannya bahkan mampu mengekspor.
Karena memiliki pelaut-pelaut yang tangguh dan terletak di pintu masuk jalur perdagangan Indonesia Timur, disusunlah Ade’Allapialing Bicarana Pabbalri’e, sebuah tata hukum niaga dan perniagaan dan sebuah naskah lontar yang ditulis oleh Amanna Gappa.
i. Kerajaan Ternate dan Tidore
Ternate merupakan kerajaan Islam di timur yang berdiri pada abad ke-13 dengan raja Zainal Abidin (1486-1500). Zainal Abidin adalah murid dari Sunan Giri di Kerajaan Demak. Kerajaan Tidore berdiri di pulau lainnya dengan Sultan Mansur sebagai raja. Kerajaan yang terletak di Indonesia Timur menjadi incaran para pedagang karena Maluku kaya akan rempah-rempah. Kerajaan Ternate cepat berkembang berkat hasil rempah-rempah terutama cengkih.
Ternate dan Tidore hidup berdampingan secara damai. Namun, kedamaian itu tidak berlangsung selamanya. Setelah Portugis dan Spanyol datang ke Maluku, kedua kerajaan berhasil diadu domba. Akibatnya, antara kedua kerajaan tersebut terjadi persaingan. Portugis yang masuk Maluku pada tahun 1512 menjadikan Ternate sebagai sekutunya dengan membangun benteng Sao Paulo. Spanyol yang masuk Maluku pada tahun 1521 menjadikan Tidore sebagai sekutunya.
Dengan berkuasanya kedua bangsa Eropa itu di Tidore dan Ternate, terjadi pertikaian terus-menerus. Hal itu terjadi karena kedua bangsa itu sama-sama ingin memonopoli hasil bumi dari kedua kerajaan tersebut. Di lain pihak, ternyata bangsa Eropa itu bukan hanya berdagang tetapi juga berusaha menyebarkan ajaran agama mereka. Penyebaran agama ini mendapat tantangan dari Raja Ternate, Sultan Khairun (1550-1570). Ketika diajak berunding oleh Belanda di benteng Sao Paulo, Sultan Khairun dibunuh oleh Portugis.
Setelah sadar bahwa mereka diadu domba, hubungan kedua kerajaan membaik kembali. Sultan Khairun kemudian digantikan oleh Sultan Baabullah (1570-1583). Pada masa pemerintahannya, Portugis berhasil diusir dari Ternate. Keberhasilan itu tidak terlepas dari bantuan Sultan Tidore. Sultan Khairun juga berhasil memperluas daerah kekuasaan Ternate sampai ke Filipina. Sementara itu, Kerajaan Tidore mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Sultan Nuku. Sultan Nuku berhasil memperluas pengaruh Tidore sampai ke Halmahera, Seram, bahkan Kai di selatan dan Misol di Irian.
Dengan masuknya Spanyol dan Portugis ke Maluku, kehidupan beragama dan bermasyarakat di Maluku jadi beragam: ada Katolik, Protestan, dan Islam. Pengaruh Islam sangat terasa di Ternate dan Tidore. Pengaruh Protestan sangat terasa di Maluku bagian tengah dan pengaruh Katolik sangat terasa di sekitar Maluku bagian selatan.
Maluku adalah daerah penghasil rempah-rempah yang sangat terkenal bahkan sampai ke Eropa. Itulah komoditi yang menarik orang-orang Eropa dan Asia datang ke Nusantara. Para pedagang itu membawa barang-barangnya dan menukarkannya dengan rempah-rempah. Proses perdagangan ini pada awalnya menguntungkan masyarakat setempat. Namun, dengan berlakunya politik monopoli perdagangan, terjadi kemunduran di berbagai bidang, termasuk kesejahteraan masyarakat.




2.5 Perkembangan Intelektual dan Peradaban Islam di Indonesia
1.      Sistem Birokrasi Keagamaan
Oleh karena penyebaran Islam di Indoneisa pertama – tama dilakukan oleh para pedagang, pertumbuhan komunitas bermula di berbagai pelabuhan penting di Sumatra, Jawa dan pulau lainnya. Kerajaan – kerajaan Islam yang pertama berdiri juga di daerah pesisir. Demikian halnya dengan kerajaan Samudra Pasai, Aceh, Demak, Banten dan Cirebon, Ternate, dan Tidore.
Ibukota kerajaan selain merupakan pusat politik dan perdagangan, juga tempat berkumpul para ulama dan mubaligh Islam. Ibnu Baitutah menceritakan Sultan Kerajaan Samudra Pasai, Sultan Al-Malik Az-Zahir, dikelilingi oleh ulama dan mubaligh Islam, dan raja sendiri sangat menggemari diskusi mengenai masalah – masalah keagamaan. Raja – raja Aceh mengangkat para ulama menjadi penasehat dan pejabat di bidang keagamaan.
Adapun disamping sebagai penasehat raja, para ulama juga duduk dalam jabatan – jabatan keagamaan yang mempunyai tingkat dan istilah berbeda – beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, pada umumnya disebut qadhi. Meskipun dengan istilah yang berbeda, tetapi penerapan hukum Islam di kerajaan lebih jelas bila dibandingkan dengan kerajaan lain. Kedudukan jabatan ulama yang terkuat diantaranya adalah di Aceh dan di Banten.
2.      Peran Para Ulama dan Karya – Karyanya
Penyebaran dan pertumbuhan kebudayaan umat Islam di Indonesia terutama terletak di pundak para ulama. Paling tidak ada dua cara yang dilakukan: Pertama, membentuk para kader ulama yang akan bertugas sebagai mubaligh ke berbagai daerah yang lebih luas. Cara ini dilakukan didalam lembaga – lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan pesantren di Jawa, dayah di Aceh, dan surau di Minangkabau. Kedua, melalui karya – karya yang tersebar dan dibaca diberbagai tempat yang jauh. Karya – karya tersebut mencerminkan perkembangan pemikiran dan ilmu – ilmu keagamaan di Indonesia pada masa itu. Pada abad ke – 16 dan 17 banayak sekali bermunculan tulisan para cendikiawan Islam di Indonesia. Syedd Muhammad Naquib Al-Attas menyatakan, abad – abad itu menyatakan suatu kesuburan dalam penulisan sastra, filsafat, metafisika, dan teologi rasional yang tidak terdapat bandingya dimana – mana di zaman apa pun di Asia Tenggara. Akan tetapi perlu juga diketahui bahwa ketika tradisi pemikiran Islam mulai terbentuk di kepulauan Indonesia ini, di pusat dunia Islam, bidang pemikiran itu telah mapan. Bahkan, disana dikenal dengan masa kebekuan, masa kemunduran pemikiran dalam bidang agama karena digalakkannya taklid. Dunia pemikiran berkembang di Indonesia, bagaimanapun mempunyai akar pada tradisi yang telah berkembang di pusat dunia Islam tersebut sebelumnya.
3.      Corak Bangunan Arsitek
Oleh karenanya perbedaan latar belakang budaya, arsitektur bangunan – banguna Islam di Indonesia berbeda dengan yang terdapat di dunia Islam lainnya. Hasil seni bangunan pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia antara lain masjid kuno Demak, Masjid Agung Ciptarasa Kesepuhan di Cirebon, Masjid Agung Banten, Baiturrahman di Aceh, Masjid Ampel di Surabaya, dan derah – daerah lain. Masjid – masjid itu menunjukkan keistimewaan dalam denahnya yang berbentuk persegi empat atau bujur sangkar dengan bagian kaki yang tinggi serta pejal, dengan atapnya bertumpang dua, tiga, lima, atau lebih, dikelilingi parit atau kolam air di bagian depan atau sampingnya yang berserambi. Bagian – bagian lain seperti mihrab dengan lengkung pola kalamakara, mimbar yang mengingatkan ukiran – ukiran pola teratai, mastaka atau memolo, menunjukkan seni bangunan yang tradisional yang telah di kenal di Indonesia sebelum datangnya Islam.
Beberapa masjid kuno mengingatkan kita pada seni bangunan candi, menyerupai bangunan meru pada zaman Indonesia Hindu. Ukiran – ukiran pada mimbar, hiasan lengkung pola kalamakara, mihrab, bentuk beberapa mastaka atau memolo menunjukkan hubungan yang erat dengan meru, atau kekayon gunungan atau tempat dewa – dewa yang dikenal dalam cerita keagamaan Hindu. Beberapa ukiran pada masjid kuno di Mantingan, Sendang Duwur, menunjukkan pola yang diambil dari dunia tumbuhan dan hewan yang diberi corak tertentu dan mengingatkan pola ukiran yang sudah dikenal pada Candi Prambanan dan beberapa candi lainnya.
4.      Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga – lembaga pendidikan Islam sudah berkembang dalam beberapa bentuk sejak zaman penjajahan Belanda. Salah satu bentuk pendidikan Islam tertua di Indonesia adalah pesantren yang telah tersebar di berbagi pelosok. Lembaga pesantren dipimpin oleh seorang ulama atau kiai. Untuk tingkat lanjutan, tidak ada kurikulum yang jelas pada lembaga ini. Kemajuan seorang penuntut sangat ditentukan oleh kerajinan, kesungguhan, dan ketekunan masing – masing. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam pembentukan budaya masyarakat Islam di Indonesia.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Para walisongo – penyebar Islam di Jawa – mengembangkan pesantren sebagai lembaga kaderisasi tenaga dakwah yang akan meneruskan perjuangan agama Islam. Para juga menjadi tenaga inti dalam penyebaran agama Islam di berbagai daerah melalui lembaga pendidikan pesantren.



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Islam ternyata telah masuk di Indonesia sejak abad pertama Hijriyah (abad ke -7 M) yang berarti pada zaman Rasulullah SAW berdakwah. Hal ini mengindikasikan bahwa ternyata Islam berkembang sangat pesat melalui metode – metode dakwah yang diterapkan. Di Indonesia sendiri, pengenalan dan penyebaran Islam tidak dilakukan dengan cara kekerasan, namun dengan cara perdamaian seperti yang telah kami jelaskan diatas. Hal ini lah yang membuat Islam mudah diterima oleh masyarakat Indonesia.
Selain itu, corak Islam yang ada di Indonesia juga disesuaikan oleh keadaan masyarakat yang saat itu sangat menganut mistisme sebagai pengaruh dari agama – agama sebelumnya. Kerajaan – kerajaan Islam di Indonesia yang banyak pada waktu itu, menunjukkan bahwa Islam yang dibawa oleh pedagang Arab juga telah berhasil mempengaruhi tidak hanya masyarakat bawah, namun juga kepada bangsawan – bangsawan kerajaan.
Keadaan sosial dan lembaga politik (kerajaan) pada masa itu juga sebagai faktor Islam dapat berkembang dengan mudah di Indonesia. Kekacauan – kekacauan politik kerajaan – kerajaan besar pada zamannya (Sriwijaya, Singasari, Majapahit) yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan di dalam istana, membuat kerajaan tersebut tidak mempunyai kekuatan yang berarti lagi jika dibandingkan dengan kedigdayaannya pada waktu itu. Hal ini yang memberikan peluang bagi Imperialisme Islam di Indonesia.
Dalam perkembangannya, Islam telah banyak memberikan kontribusi – kontribusi dalam tatana kehidupan bermasyarakat. Keunikan Islam Indonesia yang khas menghasilkan peradaban Islam yang tidak ada duanya di Asia Tenggara. Penghapusan sekat – sekat sosial, atau yang biasa disebut kasta sebagai peninggalan dari ajaran Hindu – Budha, telah berhasil melakukan harmonisasi sosial antara masyarakat dengan pejabat kerajaan pada waktu itu. Peninggalan – peninggalan budaya Islam tersebar di seluruh Indonesia sebagai bentuk keunikan tersendiri bagi Islam Indonesia, mulai dari bangunan sampai kesenian yang mengasimilasikan antara ajaran Islam dan kesesuaian budaya masyarakat Indonesia. Lembaga pendidikan pondok pesantren, juga salah satu bukti peradaban Islam di Indonesia, yang bertahan hingga sekarang. Lembaga pendidikan Islam ini telah berhasil memberikan banyak kontribusi dalam proses penyebaran Islam di Indonesia dan telah menghasilkan tokoh – tokoh ulama yang gigih dalam memperjuangkan Islam.

3.2 Saran
Dalam kehidupan sekarang ini, telah banyak orang yang tidak mau tahu tentang sejarahnya, sehingga mereka cenderung tidak mempunyai semangat untuk meneruskan sebuah peradaban yang dibangun. Padahal pada kenyataanya, sejarah telah memberikan banyak kontribusi terhadap pembentukan dan keberlanjutan identitas kita sebagai muslim dan negeri ini sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia.
Sudah selayaknya kita mengetahui dan mengamalkan nilai – nilai sejarah Peradaban Islam di Indonesia, bahwa perkembangannya yang unik dan semangat juang para mujahid dakwah Islam pada waktu itu, telah memberikan warna tersendiri dalam pencerahan keadaa masyarakat dan juga telah membangun sebuah peradaban Islam yang unik dengan mengasimilasian budaya sebagai metodenya. Dengan mengetahui hal tersebut, diharapkan kita dapat mempertahankan dan melanjutkan Islam Indonesia kita yang khas dan membangun peradaban Islam yang lebih dahsyat dari sebelumnya.



DAFTAR PUSTAKA

Mansur Suryanegara, Ahmad. 1995. Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
Yatim, Badri. 1998. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press.
Abdullah, Taufik, Sharon Siddique. 1988.  Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
Burger, D.H. dan Atmosudirdjo, Prajudi. 1960. Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jakarta: Pradinja Paramita.
Husein, P.A. Djajadiningrat. 1963. “Islam di Indonesia”, dalam Islam Djalan Mutlak. Jakarta: P.T Pembangunan.
Amin,M.A., Drs. Samsul Munir. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Zuhri, KH Saifudin.1981. Sejarah Masuknya Islam di Indonesia. Bandung: Al-Ma’arif.
Stutterheim,W.F. 1962. Cultuurgeschuedenis van Indonesia. Jakarta: Wolters.
Van Leur, J.C. 1955. Indonesian: Trade and Society. Bandung: The Hague.
Arnold, Sir Thomas. dan Guillaume, Alfred. 1965. The Legacy of Islam. London: Oxford University Press.
www.wilkipedia/sejarahperadabanislam/kerajaanislamdiindonesia.com//