Sunday, July 21, 2019

TAFSIR BIL MA’TSUR DAN TAFSIR BIL RA’YI


BAB I
PENDAHULUAN
TAFSIR BIL MA’TSUR DAN TAFSIR BIL RA’YI

A.  Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan kalamullah yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibril, dan Nabi Muhammad SAW menyampaikannya kepada umatnnya. Oleh karena itu para sahabat yang hidup bersama Nabi tidak kesulitan dalam memahami Al-Qur’an. Disamping karena Al-Qur’an menggunakan bahasa mereka, juga karena mereka sering mendapatkan pengajaran dan penjelasan dari Nabi[1]. Sehingga usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi sendiri. Ali ibn Abi Thalib (w. 40 H), Abdullah ibn Abbas (w. 68 H), Abdullah Ibn Mas’ud (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain[2].
Syariat Islam adalah norma-norma aturan yang datang dari Allah untuk dipedomani manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Norma-norma itu disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad melalui wahyu-Nya yang termaktub dalam al-Qur’an. Akan tetapi pada kenyataannya tidak semua ayat al-Qur’an yang ketentuan hukumnya sudah siap pakai, sebab di dalamnya masih banyak terdapat hal-hal yang global dan perlu penjelasan lebih lanjut. Karena banyak ayat-ayat al-Qur’an yang perlu penjelasan dalam penerapannya, maka Rasulullah diberikan rekomendasi untuk menjelaskan apa yang ada dalam al-Qur’an lewat perkataan, perbuatan maupun taqrirnya[3].
Pada masa pasca Rasulullah persoalan-persoalan umat menjadi lebih banyak dan komplek,Setelah nabi wafat, dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an para sahabat pertama-tama menelitinya dalam Al-Qur’an sendiri, karena ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain saling menafsirkan; Kedua, merujuk kepada penafsiran Nabi Muhammad SAW, sesuai dengan fungsi beliau sebagai mubayyin terhadap ayat-ayat Al-Qur’an; Ketiga, apabila mereka tidak menemukan keterangan tentang ayat tertentu dalam Al-Qur’an dan tidak sempat menanyakannya kepada Rasulullah SAW, para sahabat berijtihad dengan bantuan pengetahuan bahasa Arab, pengenalan terhadap tradisi arab dan keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Arabia pada waktu ayat turun atau latar belakang ayat tersebut diturunkan, dan dengan menggunakan kekuatan penalaran mereka sendiri[4]. Baru yang terakhir, sebagian sahabat ada pula menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur’an kepada tokoh-tokoh Ahlul Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti ‘Abdullah ibn Salam (w. 43 H), Ka’ab Al-Ahbar (w. 32 H).
Dengan memperhatikan semakin maju pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan baik bersifat keagamaan atau umum. Dan disini yang paling pokok mengenai tafsir Al-qur’an, yang mana bila dikembalikan kepesatnya perkembangan ilmu pendidikan yang saat ini kita rasakan adalah rasio (akal) lah yang menjadi tolak ukur terhadap suatu hal. Yang itu dinilai dari kemaslahatanya, maka kalau dikenakan pada Al-qur’an dengan tujuan Li-tafsir, maka itu tidak pas. Karena kita masih memiliki hadits nabi dan juga qoul sahabat dan tabi’in yang menjelaskan atau menerangkan tentang isi kandungan Al-qur’an dan juga guna mempertegas perbedaan antara Tafsir dengan riwayat dan juga dengan akal. Maka dari keterangan diatas pemakalah membahas “tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi”.
B.  Rumusan Masalah
1.    Pengertian tafsir
2.    Pengertian tafsir bil ma’tsur
3.    Pengertian tafsir bil ra’yi
4.    Perbedaan tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi
5.    Pendapat ulama’ tentang tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi
6.    Contoh tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi
C.  Tujuan Masalah
1.    Untuk mengetahuai pengertian tafsir
2.    Untuk mengetahuai pengertian tafsir bil ma’tsur
3.    Untuk mengetahuai pengertian tafsir bil ra’yi
4.    Untuk mengetahuai perbedaan tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi
5.    Untuk mengetahuai pendapat ulama’ tentang tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi
6.    Untuk mengetahuai Contoh tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi


































BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Tafsir Bil Ma’tsur dan Tafsir Bil Ra’yi
1.    Pengertian Tafsir
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan Taf'il, keduanya berasal dari akar bahasa, yaitu : Pertama : Berasal dari akar kata " al-Fasr " yang artinya Al-Bayan : penjelasan atau keterangan. Kata kerjanya mengikuti wazan ( dharaba, yadhribu, dharban ) atau mengikuti wazan ( nashara, yansuru, nasran ), yang memiliki arti Al-Ibanah : penjelasan. Kedua : Berasal dari akar kata " At-Tafsir " mengikuti wazan fa'ala ditambah tasydid pada Ain Fi'ilnya, yang mengikuti wazan ( Fassara, Yufassiru, Tafsiran ) yang mempunyai arti Al-Ibana dan Al-Kasyfu, yang artinya ; menerangkan atau mengungkap. Dengan demikian, dari dua kata tafsir tersebut, dapat diartikan juga, bahwa tafsir dari akar Al-Fasr berarti memiliki kata Kasyful Mughatta', yaitu : mengingkap sesuatu yang abstrak. Sedangkan yang berasal dari akar kata At-Tafsir, berarti memiliki kata ( Kasyful Murad Anil Lafadz Al-Musykil ), yang artinya : menyingkap suatu lafazd yang musykil ( pelik ) Istilah Tafsir merujuk kepada Al-Qur’an sebagaimana tercantum di dalam QS. Al-Furqan : 33   وَلَا يَأۡتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئۡنَٰكَ بِٱلۡحَقِّ وَأَحۡسَنَ تَفۡسِيرًا ٣٣ yang artinya “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar  dan penjelasan (tafsir) yang terbaik”. Maksudnya : paling baik penjelasan dan perinciannya[5]. Pengertian inilah yang dimaksud dalam Lisan al-‘Arab dengan “Kasyf Al-Mughaththa” (membukakan sesuatu yang tertutup).
Sedangkan tafsir menurur Ibn Manzhur ialah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafadz[6]. Sebagian ulama pun banyak yang mengartikan tafsir sependapat dengan Ibn Manzhur yaitu menjelaskan dan menerangkan.


2.    Pengertian Tafsir Bil Ma’tsur
Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Farmawi, tafsir bil ma’tsur disebut pula tafsir bi-riwayah dan an-nagl adalah penafsiran yang mendasarkan pada penjelasan al-qur’an itu sendiri, penjelasan rasul, penjelasan para sahabat melalui ijtihatnya dan aqwan tabi’in[7]. Tafsir bil ma’tsur adalah metode penafsiran dengan cara mengutip atau mengambil rujukan pada Al-Qur’an, hadist nabi, kutipan sahabat serta tabi’in[8]. Jadi, bila merujuk pada definisi diatas, ada empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran. Pertama: Al-Quran yang dipandang sebagai penafsir terbaik terhadap Al-Quran itu sendiri. Kedua: otoritas hadist nabi yang memang berfungsi sebagai penjelas Al-Quran. Ketiga: otoritas pejelasan shahabat yang dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui Al-Quran[9]. Keempat: otoritas penjelasan tabii’in yang dianggap orang yang bertemu langsung dengan sahabat, Metode ini mengharuskan mufasir menelusuri shahih tidaknya riwayat yang digunakannya. Tafsir Bil Ma’tsur telah ada sejak zaman sahabat. Pada zamannya Tafsir Bil Ma’tsur dilakukan dengan cara menukil penafsiran dari Rasulullah SAW, atau dari sahabat oleh sahabat, serta dari sahabat oleh tabi’in dengan tata cara yang jelas periwayatannya, cara seperti ini biasanya dilakukan secara lisan. Setelah itu ada periode dimana penukilannya menggunakan penukilan pada zaman sahabat yang telah dibukukan dan dikodifikasikan, pada awalnya kodifikasi ini dimasukkan dalam kitab-kitab hadits, namun setelah tafsir menjadi disiplin ilmu tersendiri, maka ditulis dan terbitlah buku-buku yang memuat khusus tafsir bil ma’tsur lengkap dengan jalur sanad kepada nabi muhammad SAW, para sahabat, tabi’in al tabi’in[10].
Sedangkan menurut istilah para ulama mendefinisikan tafsir bil ma’tsur diantaranya, menurut Manna’ Al-Qaththan,  tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang berdasarkan kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Hadits Nabi yang berfungsi untuk menjelaskan Kitab Allah, dan juga dengan perkataan sahabat karena merekalah yang lebih mengetahui kitab Allah atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat[11].
Menurut Muhammad Al-Zarqani, tafsir bil ma’tsur adalah penafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Sunnah Nabi, dan para sahabat[12]. Sedangkan menurut  Muhammad Husein Adz-Dzahabi, tafsir bil ma’tsur adalah penafsiran yang bersumber ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Quram, dengan Hadits nabi, perkataan sahabat dan juga tabiin, termasuk dalam kerangka tafsir riwayat meskipun mereka tidak secara langsung menerima tafsir dari Rasullullah SAW[13]
3.    Pengertian Tafsir bil ra’yi
Kata al-Ra’y berarti pemikiran, pendapat dan ijtihad. Sedangkan menurut definisinya, Tafsir bir-ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an yang didasarkan pada pendapat pribadi mufassir[14]. Secara etimologi, ra’yi berarti keyakinan (I’tiqod), analogi (Qiyas dan Ijtihat[15]. Dan ra’yi dalam terminologi tafsir adalah ijtihad[16]. Dengan demikian, tafsir bil ra’yi (disebut juga tafsir bi al-dirayah) sebagaimana didefinisikan Husen Adz Dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah dahulu mengetahui bahasa arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti asbabun nuzul, nasikh mansukh, dan sebagainya.[17]Sedangkan menurut Al-Farmawi adalah mentafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad setelah terlebih dahulu mengetahui kosa kata bahasa arab ketika digunakan berbicara beserta muatan-muatan artinya[18]. Untuk menafsirkan Al-Qura’an denfan Ijtihat, mufassir pun dibantu oleh syi’ir Jahiliyah, asbabun nuzul, nasikh mansukh[19] sebagaimana dijelaskan tentang syarat-syarat menjadi mufasir.
Adapun syarat-syarat mufassir bi al-Ra’yi ini diantaranya:
1.    Memiliki pengetahuan bahasa Arab dan seluk beluknya.
2.    Menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an.
3.    Menguasai ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu al-Qur’an, seperti Hadits dan Ushul Fiqh.
4.    Beraqidah yang benar.
5.    Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam.
6.    Menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok-pokok agama Islam.
7.    Menuasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat yang ditafsirkan.
Kriteria-kriteria diatas haruslah dipenuhi para mufassir, agar tidak menimbulkan kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an. Sementara itu Dr. Ali Hasan al-‘Aridh menambahkan mengenai 6 hal yang harus dihindari oleh Mufassir bi al-Ra’yi yaitu:
1.    Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki oleh Allah pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
2.    Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah (otoritas Allah semata).
3.    Menafsirkan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya).
4.    Menafsirkan ayat-ayat dengan makna-makna yang tidak dikandungnya.
5.    Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu mazhab, dengan cara menjadikan faham mazhab sebagai dasar, sedangkan penafsiran mengikuti paham mazhab tersebut.
6.    Menafsirkan dengan disertai memastikan, bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian, tanpa didukung oleh dalil.
Selama mufassir bi al-Ra’yi memenuhi persyaratan dan menjauhi keenam hal tersebut, dibarengi pula dengan niat dan tujuan yang ikhlas karena Allah, maka penafsirannya dapat diterima dan pendapatnya dikatakan rasional. Namun bila ia tidak memenuhi kriteria diatas berarti ia telah menyimpang dan oleh karena itu penafsirannya ditolak.
Di samping persyaratan diatas, tafsir bi al-Ra’yi juga harus sesuai dengan tujuan syara’, jauh dari kesesatan dan kebodohan, serta bersandar pada sesuatu yang wajib dijadikan sandaran, sebagaimana yang dikemukakan oleh as-Suyuthi bahwa sandaran yang harus dipedomi tersebut yaitu:
a.    Naql dari Rasulullah, berpegang pada hadits-hadits yang bersumber dari Rasulullah SAW, dengan ketentuan ia harus waspada terhadap riwayat yang dhaif (lemah) dan maudhu’ (palsu).
b.    Perkataan sahabat, berpegang pada ucapan sahabat nabi, karena yang mereka ucapkan menurut peristilahan hadits, hukumnya mutlak marfu’ (shahih atau hasan), khususnya yang berkaitan dengan asbab an nuzul dan hal-hal lain yang tidak dapat dicampuri oleh ra’yu.
c.    Berpegang pada kaidah bahasa Arab, dan harus senantiasa berhati-hati untuk tidak menafsirkan ayat-ayat yang menyimpang dari makna lafadz yang semestinya.
Selain ketiga sandaran diatas, Subhi as-Shalih juga menambahkan: berpegang teguh pada maksud ayat, dan terjamin kebenarannya menurut aturan dan hukum syara’.
Dari uraian diatas terlihat jelas kompleksnya kualifikasi yang harus dimiliki oleh para mufassir bi al-Ra’yi, sehingga bisa dikatakan bahwa mereka harus memiliki nilai lebih dari mufassir biasa, karena selain harus memiliki keahlian dibidang ilmu tafsir mereka juga harus memiliki daya nalar yang tinggi.
B.  Perbedaan Tafsir Bil Ma’tsur dan Tafsir Bil Ra’yi
Ilmu tafsir Al-Qur’an terus menerus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Al-Qur’an dapat bermakna bagi umat Islam di segala waktu dan segala tempat. Pada perkembangan terbaru mulai diadopsilah metode-metode baru guna memenuhi tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa metode dalam ilmu filsafat yang digunakan untuk membaca teks Al-Qur’an maka dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai Al-Qur’an. Melihat sejarah awal perkembangan tafsir, muncul dua jenis penafsiran Al-Qur’an secara estafet, yaitu tafsir bi al-ma’tsur atau disebut juga dengan tafsir bi al-riwayah dan tafsir bi al-ra’yi atau tafsir bi al-dirayah. Untuk meminimalisir perdebatan tentang bentuk kedua jenis tafsir ini, penulis lebih memahami keduanya  tidak sebagai sebuah metode ataupun corak tafsir melainkan jenis-jenis penafsiran yang muncul dalam sejarah awal usaha pemahaman terhadap Al-Qur’an [20]
1.    Tafsir bil ma’tsur
Tafsir ini merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam sejarah khazanah intelaktual Islam. Sedikit sekali terjadi perbedaan pendapat dalam produk-produk penafsirannya. Sebagian besar perbedaan yang ditemukan adalah pada aspek pemahaman redaksional terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Ini disebabkan relativitas kualitas intelektual shahabat dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.[21]sehingga wajar ditemukan perbedaan. Sebagai sebuah contoh dalam Mabahits fi Ulum al-Qur’an, seorang mufassir pada masa itu mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi yang berbeda dengan redaksi mufassir yang lain dan masing-masing redaksi itu menunjuk makna yang juga berbeda namun maksud semuanya adalah sama. Seperti penafsiran terhadap kata Shirat Al-Mustaqim, sebagian menafsirkannya sebagai Al-Qur’an dan sebagian yang lain menafsirkannya dengan Islam. Kedua tafsiran ini berbeda namun senada karena Islam didasari oleh Al-Qur’an hanya saja masing-masing penafsiran itu menggunakan sifat yang tidak digunakan oleh yang lain.
2.    Tafsir Bir-Ra’yi
Tafsir bir-ra’yi muncul sebagai sebuah jenis tafsir pada periode akhir pertumbuhan tafsir bil-ma’tsur sebagai periode awal perkembangan tafsir. Pada masa ini, islam semakin maju dan berkembang, maka berkembanglah berbagai madzhab dan aliran dikalangan umat Islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan paham mereka. Untuk maksud tersebut mereka mencari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi, lalu mereka tafsirkan sesuai keyakinan yang mereka anut.[22]
Meskipun telah terdapat upaya sebagian Muslim yang menunjukkan bahwa mereka telah melakukan penafsiran dengan ijtihad, khususnya pada zaman shahabat dan tabi’in sebagai tonggak munculnya ijtihad namun tidak menutup kemungkinan bahwa sejak zaman Nabi, benih-benih tafsir bir-ra’yi telah tumbuh dikalangan umat Islam. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa sebenarnya tafsir bir-ra’yi tidak semata-mata didasari penalaran akal, dengan mengabaikan sumber-sumber riwayat secara mutlak[23]. akan tetapi lebih selektif terhadap riwayat tersebut. Dalam sumber lain Tafsir bir-ra’yi bukan berarti menafsirkan ayat dengan menggunakan akal seluas-luasnya, tetapi tafsir yang didasarkan pada pendapat yang mengikuti kaidah-kaidah bahasa Arab yang bersandar pada sastra jahiliah berupa syair, prosa, tradisi bangsa Arab, dan ekspresi percakapan mereka serta pada berbagai peristiwa yang terjadi pada masa Rasul menyangkut perjuangan, perlawanan, pertikaian, hijrah, dan peperangan yang beliau lakukan selain itu juga menyangkut berbagai fitnah yang pernah terjadi dan hal-hal yang terjadi saat itu, yang mengharuskan adanya hukum-hukum dan diturunkannya ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian, tafsir bir-ra’yi adalah tafsir dengan cara memahami berbagai kalimat Al-Qur’an melalui pemahaman yang ditunjukkan oleh berbagai informasi yang dimiliki seorang ahli tafsir seperti bahasa dan berbagai peristiwa.
C.  Pendapat Ulama Tentang Tafsir Bil Ma’tsur Dan Tafsir Bil Ra’yi
Secara garis besar, penafsiran pada masa ini kukuh beracuan pada aspek riwayat-riwayat yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an karena dianggap sebagai jalan pengetahuan yang benar dan paling aman untuk tetap terjaga dari ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami al-Qur’an. Namun bukan berarti tidak terjadi ijtihad karena hal ini dapat dilihat dari sumber-sumber kajian tafsir yang digunakan selain al-Qur’an dan Sunnah juga menggunakan Ijtihad shahabat dalam beberapa hal yang mutlak memerlukan ijtihad. Dalam bahasa Quraish Shihab disebut sebagai keterpaksaan melakukan ijtihad karena Nabi telah wafat. Bahkan ditemukan juga riwayat Ahl Kitab Yahudi dan Nashrani[24] yang telah masuk Islam[25]. Kelemahan Tafsir bil-ma’tsur (1) Banyak ditemukan riwayat-riwayat yang disisipkan oleh orang-orang yahudi dan persi dengan tujuan merusak islam melalui informasi yang tidak dipertanggungjawabkan kebenarannya. (2) Banyak ditemukan usaha-usaha penyusupan kepentingan yang dilakukan oleh aliran-aliran yang dianggap menyimpang seperti kaum Syi’ah. (3) Tercampur aduknya riwayat-riwayat yang shahih dengan riwayat-riwayat hadits yang sanadnya lemah. (4) Banyak ditemukan riwayat Isra’iliyyat yang mengandung dongeng-dongeng yang tidak dapat dipertanggungjawabkan[26]
Semua kitab tafsir ini biasanya memuat hanya tentang tafsir bil ma’tsur kecuali kitab yang dikarang Ibn Jarir yang menyertakan pendapat dan menganalisannya serta mengambil istinbath yang mungkin ditarik dari ayat Al-Qur’an. Pada perkembangan selanjutnya, ada banyak tokoh yang mengkodifikasikan tafsir bil ma’tsur tanpa mengemukakan periwayatan sanadnya dan hanya mengemukakan pendapat-pendapatnya sendiri serta tidak membedakan periwayatan yang shahih atau tidak. Karena adanya kecurigaan pemalsuan, muncullah studi-studi kritis yang berhasil menemukan dan menyingkap sebagian riwayat palsu sehingga para mufasir dapat berhati-hati. Hal ini kita temukan ketika menafsirkan Al-Qur’an pada ayat yang mujmal ditafsirkan oleh ayat lain yang mufasshal, ayat Al-Qur’an yang mutlaq dengan ayat Al-Qur’an yang muqayyad[27].
Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H. Dan peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka berkembanglah berbagai mazhab dan aliran di kalangan umat Islam. masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-ayat al-Qur'an dan hadis hadis Nabi SAW, lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Ketika inilah berkembang apa yang disebut dengan tafsir bir ra'yi ( tafsir melalui pemikiran atau ijtihad)[28]. Pendek kata, berbagai corak tafsir bir ra'yi muncul di kalangan ulama-ulama mutaakhirin, sehingga di abad modern lahir lagi tafsir menurut tinjauan sosiologis dan sains seprti tafsir Al-Manar dan Al-Jawahir. melihat perkembangan tafsir bir ra'yi yang demikian pesat, maka tepatlah apa yang dikatakan Manna' Al-Qathtan bahwa tafsir bir ra'yi mengalahkan perkembangan al-ma'tsur.
Meskipun tafsir bir ra'yi berkembang dengan pesat, namun dalam menerimanya para ulama terbagi dua: ada yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya. Tapi seletah diteliti, ternyata pendapat yang bertentangn itu hanya bersifat lafzi (redaksional). maksudnya kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran yang berdasarkan ra'yi ( pemikiran) semata (hawa nafsu) tanpa mengindahkan kaedah-kaedah dan cerita yang berlaku. penafsiran inilah yang diharamkan oleh Ibn Taimiyah. sebaliknya, keduanya sepakat membolehkan penafsiran al-Qur'an denagn ijtihad yang berdasarkan al-Qur'an dan sunnah rasul serta kaedah-kaedah yang mu'tabarat (diakui sah secara bersama)[29]
Sedangkan tafsir bi ra’yi terdapat banyak perdebatan (pro dan kontra) mengenai boleh atau tidaknya menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan Al-Ra’yi (akal). Diantara sekian banyak ulama yang ada, mayoritas ulama enggan menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan Al-Ra’yi. Karena hal ini berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Jundab yang artinya : barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan Ra’yunya kebetulan tepat, niscaya ia telah melakukan kesalahan.
Dari perdebatan yang ada, tidak berarti pendekatan tafsir Al-Qur’an dengan Ra’yu tidak mendapat tempat dikalangan ulama. Sebagian ulama yang menerima menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan al-Ra’yu ini memberikan syarat-syarat dan kaidah-kaidah yang ketat. Diantara syarat-syaratnya adalah : (1) Menguasai Bahasa Arab dan cabang-cabangnya (2) Menguasai Ilmu-ilmu Al-Qur’an (3) Berakidah yang baik dan benar (4) Mengetahui prinsip-prinsip pokok-pokok agama Islam dan menguasai imu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan[30].
D.  Contoh Tafsir Bil Ma’tsur Dan Tafsir Bil Ra’yi
1.    Contoh Tafsir Bil Ma’tsur
a)        Al- Qur’an dengan Al-Qur’an
1)   Penafsiran bagian ayat Al-Qur’an dengan bagian ayat lain dalam satu ayat dan surat yang sama, terdapat pada Q.S.al-Baqarah ayat 187:
 أُحِلَّ لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمۡ كُنتُمۡ تَخۡتَانُونَ أَنفُسَكُمۡ فَتَابَ عَلَيۡكُمۡ وَعَفَا عَنكُمۡۖ فَٱلۡـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبۡتَغُواْ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقۡرَبُوهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ ١٨٧ 
Artinya : Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa (Q.S.al-Baqarah ayat 187)
Kata Al-Fajr pada ayat di atas menerangkan maksud dari ungkapan Al-Khaith Al-Aswad pada ayat yang sama[31]
2)   Penafsiran ayat yang satu dengan ayat yang lain yang terdapat pada surat yang sama yaitu terdapat pada Q.S al-Fatihah ayat 7:
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ ٧.
Artinya (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat
Ayat tersebut menafsirkan ayat sebelumnya, (Q.S Al Fatihah ayat: 6)[32]
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ٦ 
Artinya : Tunjukilah Kami jalan yang lurus
3)   Penafsiran ayat dengan ayat dalam surat yang berbeda ada pada Q.S al-A’raf ayat 23[33]:
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمۡنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَنَا وَتَرۡحَمۡنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٢٣ 
Artinya :keduanya berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami telah Menganiaya diri Kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni Kami dan memberi rahmat kepada Kami, niscaya pastilah Kami Termasuk orang-orang yang merugi.
Doa Nabi Adam dan Hawa di atas merupakan jawaban atas kata Kalimatin pada ayat Fatalaqqa Adamu Min Rabbihi Kalimatin Fa Taba ‘Alaih Innahu Huwa At Tawwabu Ar Rahim, yang terdapat pada Q.S al-Baqarah ayat 37:
فَتَلَقَّىٰٓ ءَادَمُ مِن رَّبِّهِۦ كَلِمَٰتٖ فَتَابَ عَلَيۡهِۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ ٣٧ 
Artinya : Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

b)       Tafsir Al-Qur’an dengan Sunnah          
Penafsiran al Qur’an dengan Sunnah yang dimaksud adalah penafsiran Al-Qur’an dengan Hadits Nabi Muhammad[34]. Misalnya, Nabi menafsirkan kata Al-Maghdlub dengan orang-orang Yahudi dan Al-Dhallin dengan orang-orang Nasrani, yang terdapat pada Q.S Al-Fatihah ayat 6-7:
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ٦ 
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ ٧ 
Artinya :Tunjukilah Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
c)        Tafsir Al Qur’an dengan pendapat Sahabat
Para sahabat, dimana mereka menyaksikan wahyu dan turunnya ayat Al-Qur’an, mereka juga mengetahui Asbabun Nuzul suatu ayat, mereka telah memiliki kemampuan dalam memahami kalam Allah dan mengetahui rahasia Al-Qur’an. Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak mengatakan bahwa tafsir sahabat yang menyaksikan proses turunnya wahyu al-Qur’an layak untuk diposisikan sebagai Hadits Marfu’.
Contoh yang dapat dirujuk di sini di antaranya adalah penafsiran terhadap ayat Idza Ja’a Nashr Allah. Beberapa sahabat menjelaskan makna ayat tersebut, adalah: ”Bahwa kita diperintah untuk memuji Allah dan meminta ampun kepada-Nya tatkala Ia telah menolong kita menaklukan (Makkah)” Beberapa sahabat yang lain tidak memberi komentar apa-apa. Namun, menurut Ibnu Abbas, ayat tersebut menunjukkan kepada para sahabat akan dekatnya ajal nabi[35].
d)       Kitab-Kitab Tafsir bi al-Ma’tsur.
Adapun kitab- kitab Tafsir bial-Ma’tsur antara lain[36]
1)        Tafsir ibn Abbas, dinisbatkan kepada Ibnu Abbas dengan judul Tanwir al-Miqyas min Tafsir ibn Abbas
2)        Tafsir Ibnu Jarir, karya Abu Ja’far Muhammad Ibnu Yazid al-Thabar
3)        Tafsir Abu Laits al-Samarqandi, karya Abu Laits al-Samarqandi
4)        Tafsir Ibnu Katsir, karya Imamuddin Abu al-Fida Ismail Ibnu al-Khatib Abu Hafsh Umar Quraisy al-Dimisyqi al-Syafi’i
5)        Tafsir al-Baghawi, karya Abu Muhammad al-Husain Ibnu Mas’ud al-Baghawi al-Syafi’i
6)        Tafsir Baqi’ bin Makhlad, karya Baqi’ bin Makhlad bin Yazid bin Abdir Rahman al-Andalusi al-Qurthuby.
2.    Contoh Tafsir bil Ra’yi
a)    Tafsir ayat Al-Qur’an dengan pendekatan Ra’yu adalah pada
(Q.S. al Isra : 72) وَمَن كَانَ فِي هَٰذِهِۦٓ أَعۡمَىٰ فَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ أَعۡمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلٗا ٧٢ 
kalau memahami ayat tersebut secara tekstual, tentunya akan terdapat kekeliruan dalam memahaminya. Sebab dalam ayat itu menjelaskan bahwa setiap orang yang buta adalah celaka dan rugi serta akan masuk neraka jahanam. Padahal yang dimaksud dengan buta pada ayat tersebut adalah bukanlah buta mata, akan tetapi buta hati. Hal ini kemudian didukung dengan penjelaasan ayat lainnya. Yakni Q.S. Al Hajj : 46. pada ayat ini dijelaskan dengan tegas ”bukanlah matanya yang buta, akan tetapi yang buta ialah buta hati. Terkait dengan tafsir Al Qur’an dengan pendekatan Ra’yu ini tidak luput dari adanya kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihannya adalah sebagai berikut :
b)   Contoh tafsir bir-ra’yi, dari tafsir Jalalain Surat Al-Fatihah:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الحمد لله جملة خبرية قصد بها الثناء على الله بمضمونها على أنه تعالى : مالك لجميع الحمد من الخلق آو مستحق لأن يحمدوه والله علم على المعبود بحق رب العالمين أي مالك جميع الخلق من الإنس والجن والملائكة والدواب وغيرهم وكل منها يطلق عليه عالم يقال عالم الإنس وعالم الجن إلى غير ذلك وغلب في جمعه بالياء والنون أولي العلم على غيرهم وهو من العلامة لأنه علامة على موجده
Artinya:
(Segala puji bagi Allah) Lafal ayat ini merupakan kalimat berita, dimaksud sebagai ungkapan pujian kepada Allah berikut pengertian yang terkandung di dalamnya, yaitu bahwa Allah Taala adalah yang memiliki semua pujian yang diungkapkan oleh semua hamba-Nya. Atau makna yang dimaksud ialah bahwa Allah Taala itu adalah Zat yang harus mereka puji. Lafal Allah merupakan nama bagi Zat yang berhak untuk disembah. (Tuhan semesta alam) artinya Allah adalah yang memiliki pujian semua makhluk-Nya, yaitu terdiri dari manusia, jin, malaikat, hewan-hewan melata dan lain-lainnya. Masing-masing mereka disebut alam. Oleh karenanya ada alam manusia, alam jin dan lain sebagainya. Lafal 'al-`aalamiin' merupakan bentuk jamak dari lafal '`aalam', yaitu dengan memakai huruf ya dan huruf nun untuk menekankan makhluk berakal/berilmu atas yang lainnya. Kata 'aalam berasal dari kata `alaamah (tanda) mengingat ia adalah tanda bagi adanya yang menciptakannya
الرحمن الرحيم أي ذي الرحمة وهي إرادة الخير لأهله
(Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang) yaitu yang mempunyai rahmat. Rahmat ialah menghendaki kebaikan bagi orang yang menerimanya.
مالك يوم الدين أي الجزاء وهو يوم القيامة وخص بالذكر لأنه لا ملك ظاهرا فيه لأحد إلا لله تعالى بدليل { لمن الملك اليوم ؟ لله } ومن قرأ مالك فمعناه مالك الأمر كله في يوم القيامة أو هو موصوف بذلك دائما كغافر الذنب فصح وقوعه صفة لمعرفة
(Yang menguasai hari pembalasan) di hari kiamat kelak. Lafal 'yaumuddiin' disebutkan secara khusus, karena di hari itu tiada seorang pun yang mempunyai kekuasaan, kecuali hanya Allah Taala semata, sesuai dengan firman Allah Taala yang menyatakan, "Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini (hari kiamat)? Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan." (Q.S. Al-Mukmin 16) Bagi orang yang membacanya 'maaliki' maknanya menjadi "Dia Yang memiliki semua perkara di hari kiamat". Atau Dia adalah Zat yang memiliki sifat ini secara kekal, perihalnya sama dengan sifat-sifat-Nya yang lain, yaitu seperti 'ghaafiruz dzanbi' (Yang mengampuni dosa-dosa). Dengan demikian maka lafal 'maaliki yaumiddiin' ini sah menjadi sifat bagi Allah, karena sudah ma`rifah (dikenal).
إياك نعبد وإياك نستعين أي نخصك بالعبادة من توحيد وغيره ونطلب المعونة على العبادة وغيرها
(Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan) Artinya kami beribadah hanya kepada-Mu, seperti mengesakan dan lain-lainnya, dan kami memohon pertolongan hanya kepada-Mu dalam menghadapi semua hamba-Mu dan lain-lainnya.
اهدنا الصراط المستقيم أي أرشدنا إليه ويبدل منه
(Tunjukilah kami ke jalan yang lurus) Artinya bimbinglah kami ke jalan yang lurus, kemudian dijelaskan pada ayat berikutnya, yaitu:
صِرَاطَ الذين أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ بالهداية ويبدل من الذين بصلته غَيْرِ المغضوب عَلَيْهِمْ وهم اليهود وَلاَ وغير الضالين وهم النصارى ونكتة البدل إفادة أن المهتدين ليسوا يهوداً ولا نصارى والله أعلم بالصواب، وإليه المرجع والمآب وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا دائما أبدا، وحسبنا الله ونعم الوكيل، ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
(Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka), yaitu melalui petunjuk dan hidayah-Mu. Kemudian diperjelas lagi maknanya oleh ayat berikut: (Bukan (jalan) mereka yang dimurkai) Yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi. (Dan bukan pula) dan selain (mereka yang sesat.) Yang dimaksud adalah orang-orang Kristen. Faedah adanya penjelasan tersebut tadi mempunyai pengertian bahwa orang-orang yang mendapat hidayah itu bukanlah orang-orang Yahudi dan bukan pula orang-orang Kristen. Hanya Allahlah Yang Maha Mengetahui dan hanya kepada-Nyalah dikembalikan segala sesuatu. Semoga selawat dan salam-Nya dicurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. beserta keluarga dan para sahabatnya, selawat dan salam yang banyak untuk selamanya. Cukuplah bagi kita Allah sebagai penolong dan Dialah sebaik-baik penolong. Tiada daya dan tiada kekuatan melainkan hanya berkat pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.[37]
c)    Karya-karya Kitab Tafsir bir-ra’yi :
1)   Tafsir Abdurrahman bin Kaisan al-Asam
2)   Tafsir Abu ‘Ali al-Juba’i
3)   Tafsir Abdul Jabbar
4)   Tafsir az-Zamakhsyari, al-Kasyaf ‘an Haqa’iqi Gawamidit Tanzil wa “uyanil Aqawil fi Wujuhit Ta’wil
5)   Tafsir Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Ghaib
6)   Tafsir an-Nasafi, Madarikut Tanzil wa Haqaiqut Ta’wil
7)   Tafsir al-Khazin, Lubabut Ta’wil fi Ma’ani Tanzil
8)   Tafsir Abu Hayyan, al-Bahrul Muhit
9)   Tafsir al-Baidlawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil
10)         Tafsir al-Jalalain, jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi
3.    Al-tafsir bi al-ra’yi terbagi dalam dua bagian yaitu
a.    Tafsir mahmud (terpuji)
Tafsir mahmud ialah tafsir yang sesuai dengan tujuan syara’, jauh dari kejahilan dan kesesatan, sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami teks Al-Qur’an. Barangsiapa menafsirkan Al-Qur’an menurut ra’yunya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut dengan berpegang pada makna-makna Al-qur’an maka penafsirannya dapatdiambil serta patut dinamai dengan tafsir mahmud atau tafsir masyru (berdasarkan syari’at)
b.   Tafsir mazmum (tercela)
Tafsir mazmum yaitu bila Al-Qur’an ditafsirkan tanpa ilmu atau menurut sekehendak hatinya tanpa mengetahui dasar-dasar bahasa dan syariat, atau Kalam Allah ditafsirkan menurut pendapat yang salah dan sesat. Ash-shaabuuny mengatakan; Bila seseorang tidak memahami kaidah-kaidah dan pokok-pokoknya, ia akan berjalan sebagaimana unta buta yang otaknya miring dan pemahamannya picik. Begitu pula orang yang tidak memahami tujuan syara’, ia pun akan terjerumus dalam lembah kejahatan dan kesesatan.
Contohnya orang yang mengambil kesimpulan ayat secara lahir dari firman Allah:
ومن كان فى هذه اعمى فهو فى الاخرة اعمى واضل سبيلا (الاسراء :)
Artinya;
“Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nant)i ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan yang benar”.(QS. Al-Isra: 72)
Ia menetapkan bahwa setiap orang yang buta adalah celaka dan rugi serta akan masuk neraka jahanam. Padahal yang dimaksud buta disini bukanlah buta mata, tetapi buta hati, berdasarkan alasan firman Allah:
فانها لا تعمى الابصار ولكن تعمى القلوب التى فى الصدور (الحج:)
Artinya;
“... Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46)
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.    Tafsir bil ma'tsur diartikan sebagai tafsir yang dilakukan dengan jalan riwayat, yakni tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an, hadits, pendapat sahabat, atau tabi'in. Tafsir bir ra'yi didefinisikan sebagai upaya menyingkap isi kandungan al-Qur'an dengan ijtihad yang dilakukan dengan mengapresiasi eksistensi akal.
2.    Dalam tafsir bil ma’tsur, penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an atau haidts dan sahabat tidak ada beda pendapat tentang kevalidannya di kalangan ulama’, namun tafsir para tabi'in ada perbedaan pendapat dikalangan ulama'. sebagain ulama' berpendapat, tafsir itu termasuk ma'tsur karena para tabi'in berjumpa dengan para sahabat. Ada pula yang berpendapat, tafsir itu sama saja dengan tafsir bir ra'yi (penafsiran dengan pendapat). Artinya, para tabi'in itu mempunyai kedudukan yang sama dengan mufassir yang hanya menfsirkan berdasarkan kaidah bahasa Arab
3.    Tafsir bi al-Ra'yi adalah  upaya untuk memahami nash al-Qur'an atas dasar ijtihad seorang ahli tafsir (mufassir ) yang memahami betul bahasa Arab dari segala sisinya, mengerti betul lafadz-lafadznya dan dalalahnya, mengerti syair syair Arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui betul ashab nuzul, mengerti nasikh dan mansukh di dalam al-Qur'an, dan menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang mufassir
4.    Tafsir dibedakan menjadi 2: (1) Tafsir bir ra'yi mahmudah (terpuji) yaitu tafsir yang sesuai dengan tujuan pembuat hukum (Allah), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sejalan engan kaidah-kaidah bahasa Arab, berpegang pada uslub (susunan) bahasa Arab dalam memahami nash al-Qur'an (2) Tafsir bir ra’yi madzmumah adalah tafsir dianggap tercela bila menafsirkan qur'an menurut selera penafsir sendiri, disamping tidak mengetahui kaidah bahasa dan hukum, atau membawa firman Allah kepada mazhabnya yang menyimpang atau rusak, atau kepada bid'ah dhalalah, atau mendalami firman Allah SWT dengan ilmunya tapi tidak mengetahui kaidah bahasa Arab
5.    Tafsir bir-ra'yi bukanlah sekedar berdasarkan pendapat atau ide semata, atau hanya sekedar gagasan yang terlintas dalam pikiran seseorang, apalagi hanya semaunya saja. Jika menfsirkan al-Qur'an dengan ra'yu (rasio) dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan, oleh karena itu para ulama’ beda pendapat tentang penggunaan tafsir bir ra’yi ada yang menerima dan ada yang menolak.
B.     Sikap Pemakalah dalam menyikapi Tafsir bil Ma’tsur dan bir Ra’yi
1.    Bahwa harus dipahami tafsir hanyalah tafsir, banyak sudut pandang yang harus di pahami, berbeda dengan Al-Qur’an, tingkat kebenarannya yang mutlak dan bisa menjawab dalam keadaan zaman.
2.    Penulis sependapat dengan argumen yang mengatakan hadis bil ma’tsur derajatnya lebih tinggi dari pada hadis bir ra’yi karena hadis bil ma’tsur ini lebih mengedepankan riwayat dan tidak mengedepankan akal.
3.    Dalam menyikapi pendapat yang mengatakan tafsir bil ma’tsur para tabi’in ada yang kurang setuju, penulis kira hal itu perlu di kaji dan di teliti lebih dalam, karena penulis beranggapan tentunya para tabi’in tidak serta menerta menafsrikan al-Qur’an jika tidak ada dasar yang kuat dan tentunya juga mengacu kepada pendahulunya yakni sahabat, karena dalam masa tabi’in ini juga masih bisa menjumpai masa-masa sahabat
4.    Tafsir bir Ra’yi tentunya tidak hanya mengandalkan rasio belaka karena tentunya hasil tafsirnya tidak diterima, namun dalam hal ini tafsir bir ra’yi selain juga menggunakan akal juga dikuatkan beberapa dasar seperti al-Qur’an, hadis, pendapat sabahat dan lain-lain
5.    Penggunaan tafsir bir ra’yi pun harus selektif, karena ini bisa dimungkinkan isi dari tafsirnya terdapat subjektifitas dari penulis sehingga perlu dilakukan telaah dan kajian yang mendalam terdahap isi tafsir bir Ra’yi tersebut.
6.    Penulis berpendapat antara tafsir bil ma’tsur dengan tafsir bir Ra’yi ada titik temunya karena ketika tafsir itu di tinjau dari riwayatnya tidak valid dan ada keragu-raguan, tentunya bisa digunakan penafsiran dengan jalan ijtihad (tafsir bir ’ra’yi) namun ijtihad tersebut di dukung dengan dasar yang menguatkan, seperti al-Qur’an, hadis, dan lain-lain
C.    Daftar Pustaka                                                                       
1.      Nashruddin Baidan, Wawasan baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
2.      Abdul Qadir Muhamad Shaleh, At-Tafsir Wa Al-Mufassirun Fi Ash Al-Hadits, ( Beirut : Dar Al-Ma'rifah, 1424H/ 2003 M, Cet. Ke-1
3.      Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Humaniora, 2007)
4.      Al- Farmawi, abd Havy, Al Bidayah fi at-tafsir al-Maudhu’I, Maktabah Al-jumhuriyah, Mesir.
5.      Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005)
6.      Ali Hasan Al-‘Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj.Ahmad Akrom (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 1994)
7.      Basuni faudah, tafsir-tafsir al-qur’an,terj,. Pustaka Bandung,1987, adz-dzahabi, At-Tafsir,
8.      E-book Terjemah Tafsir Jalalain di kompilasi oleh Dani Hidayat. http://myface-online.blogspot.com
9.      Hasbi ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an (Jakarta: Bulan BIntang, 1972)
10.  Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an /Tafsir.(Jakarta:Bulan Bintang, 1980)
11.  Mahmud Basuni Faudah, Tafsir- tafsir al Qur’an (Bandung: Pustaka, 1987),
12.  Manna’ Al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.terjemah Muzakkir AS (Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa, 1996)
13.  Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I. 
14.  Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Tafsir wal Mufassirun (Mesir:Dar Al-Kutub wa Al-Hadits,1996)
15.  Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Mizan : Bandung, 1996)
16.  Muhammad Zaini, Ulumul Quran Suatu Pengantar ( Banda Aceh:Yayasan PeNA Banda Aceh,2005)
17.  Muhammd Al-Zarqani, Manahil Irfan Fi Ulum Al-Qur’an,
18.  Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)
19.  Q.S. al-Hasyr (59):7 dan al-Nahl (16):44
20.  Siti Amanah, Pengantar Ilmu al Qur’an dan Tafsir (Semarang: asy-Syifa, 1993)
21.  Supriana, dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002)
22.  Tim Penyusun STAIN Jember, Studi Islam di Perguruan Tinggi (Jember: STAIN Jember Press, 2010
23.  Yunahar Ilyas “Kuliah Ulumul Qur’an”( Yogyakarta: ITQAN Publishing)Al-Hafizh Jalâl ad-Din ‘Abd ar-Rahman as-Suyuthi, Al-Itqân fi ‘Ulum Al-Qur’an (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah, 2003), juz 1.



[1] Muhammad Zaini, Ulumul Quran Suatu Pengantar ( Banda Aceh:Yayasan PeNA Banda Aceh,2005), hal.109
[2] Yunahar Ilyas “Kuliah Ulumul Qur’an”( Yogyakarta: ITQAN Publishing)Al-Hafizh Jalâl ad-Din ‘Abd ar-Rahman as-Suyuthi, Al-Itqân fiUlum Al-Qur’an (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah, 2003), juz 1 hlm. 187.
[3] Lihat Q.S. al-Hasyr (59):7 dan al-Nahl (16):44
[4] Ibid, Hal 271
[5] Abdul Qadir Muhamad Shaleh, At-Tafsir Wa Al-Mufassirun Fi Ash Al-Hadits, ( Beirut : Dar Al-Ma'rifah, 1424H/ 2003 M, Cet. Ke-1 h. 80-81.
[6] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) hlm. 33
[7] Al- Farmawi, abd Havy, Al Bidayah fi at-tafsir al-Maudhu’I, Maktabah Al-jumhuriyah, Mesir. Hal 25
[8] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an /Tafsir.(Jakarta:Bulan Bintang, 1980) hlm. 227
[9] Terdapat banyak indikasiyang menunjukkan keluasan ilmu pengetahuan sahabat, khususnya berkaitan dengan Al-Quran. Ali bin Abi Thalib, misalnya, pernah berkata, “bertanyalah kalian kepadaku. Demi Allah, pasti aku akan menjawabnya. Bertanyalah kalian kepadaku tentang kitab Allah. Demi Allah! Tidak ada satu ayat pun kecualii aku mengetahui waktu dan tempat turunnya, malam hari atau siang hari:didataran atau pegunungan” perkataan serupa diutarakan ibnu mas’ud (w.33/653)demi zat yang tidak ada tuhan selainnya, tidak ada suatu ayatpun yang turun kecuali aku mengetahui untuk siapa dan dimana ayat itu turun. Bila ada seseorang yang lebih mengetahuai kitab Allah dari pada ku, aku pasti akan mendatanginya, “juga terdapat tradisi dikalangan mereka untuk tidak mempelajari ayat lain, jika sedang ayat ynag dipelajari belum benar-benar difahami dan diamalkan. . lihat Al_qothan, Op.Cit hlm.343-347. Meskipun demikian tidak semua arti-arti tata al-quran diketahui kata, misalnya Al-Abb pada surat abasa. Lihat Al-Arid, op.cit hlm 43
[10] Ibid, hlm 226-236
[11] Manna’ Al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.terjemah Muzakkir AS (Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa, 1996), hal.482-483
[12] Muhammd Al-Zarqani, Manahil Irfan Fi Ulum Al-Qur’an, hal.12
[13] Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Tafsir wal Mufassirun (Mesir:Dar Al-Kutub wa Al-Hadits,1996), hal. 45
[14] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an… hlm. 488
[15] Basuni faudah, tafsir-tafsir al-qur’an,terj,. Pustaka Bandung,1987, Hlm 62, adz-dzahabi, At-Tafsir, hlm 254
[16] Ibid, 62 dan 254
[17] Ibid, 62 dan 254
[18] Al- Farmawi, abd Havy, Al Bidayah fi at-tafsir al-Maudhu’I, Maktabah Al-jumhuriyah, Mesir. Hal 26-27
[19] Op.cit hal 265
[20] Ibid. hlm. 49
[21] Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I. hlm. 34.
[22]Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an… hlm. 46.
[23] Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), hlm. 113
[24] Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I. hlm. 37
[25] Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Mizan : Bandung, 1996), hlm. 71
[26] Hasbi ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an (Jakarta: Bulan BIntang, 1972), hlm. 220
[27] ‘Ali Hasan Al-‘Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj.Ahmad Akrom (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 1994) hlm. 42
[28] Nashruddin Baidan, Wawasan baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) hlm 446
[29] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002), hlm 46
[30] Supriana, dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002)hal. 308
[31] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Humaniora, 2007),hal. 58
[32] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir- tafsir al Qur’an (Bandung: Pustaka, 1987),hal. 25
[33] Op.Cit hal. 61
[34] Op.Cit hal. 64
[35] Tim Penyusun STAIN Jember, Studi Islam di Perguruan Tinggi (Jember: STAIN Jember Press, 2010), hal. 85.
[36] Siti Amanah, Pengantar Ilmu al Qur’an dan Tafsir (Semarang: asy-Syifa, 1993),hal. 313
[37] E-book Terjemah Tafsir Jalalain di kompilasi oleh Dani Hidayat. http://myface-online.blogspot.com

No comments:

Post a Comment