BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam dinamika modernitas, yang
dibarengi dengan akselerasi-akselerasi sains dan teknologi canggih. Keadaan ini
membuat manusia lengah sehingga demensi spiritualnya lambat laun terkikis. Kita
sering menyaksikan tercerabutnya akar spriritualitas di panggung kehidupan.
Salah satu penyebabnya adalah pola hidup global yang dilayani oleh perangkat
teknologi yang serba canggih.
Tasawuf bukan ilmu yang stagnan di
tempat. Walaupun nama tasawuf baru terdengar mulai awal-awal abad ke II
hijriyah, tetapi dalam perjalanannya mengalami perkembangan yang cukup
signifikan. Hadirnya berbagai tokoh tasawuf memperkaya cara pandang
ilmu tasawuf.
Pembagian tasawuf dikategorikan
sesuai dengan tokoh-tokohnya serta menurut pemikiran dan konsep ajarannya. Pertama,
tasawuf akhlaki (tasawuf sunni) adalah tasawuf yang berusaha mewujudkan akhlak
mulia dalam diri sufi, sekaligus menghindarkan diri dari akhlak tercela.
Tokoh-tokohnya antara Hasan al-Basri, al-Muhasibi, al-Qusyairi, Abdul Qadir
al-Jailani, al-Ghazali dan lain-lain, Kedua, tasawuf falsafi adalah
tasawuf yang didasarkan kepada keterpaduan teori-teori tasawuf dan filsafat.
Tokoh-tokohnya antara lain al-Hallaj, ibn ‘Arabi, al-Jili, ibn Sab’in, dan
lain-lain. Ketiga, Tasawuf irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap
hakikat atau makrifat yang diperoleh dengan tidak melalui logika atau
pembelajaran, tetapi melalui pemberian tuhan (mauhibah) tokoh-tokohya antara
lain Rabi’ah al-Adawiyah, Dzunnun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami, Junaid
al-Bhagdadi, Abu Mansur al-Hallaj, Jalaluddin Rumi dan lain-lain.[1]
Dalam pembahasan makalah ini,
penulis mengambil judul Biografi dan pemikiran Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani.
Penulis mencoba mengurai biografi dan pemikiran dari tokoh-tokoh tasawuf irfani
yaitu Rabi’ah al-adawiyah, Dzu An-nun al-Mishri, Abu Yazid al-Bushtami dan abu
Mansur al-Hallaj.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Apa pengertian Tasawuf Irfani ?
2. Bagaimana Biografi dan
Pemikiran Rabi’ah al-Adawiyah ?
3. Bagaimana Biografi dan Pemikiran Dzu an-Nun al-Mishri ?
4. Bagaimana Biografi dan Pemikiran Abu Yazid al-Bushtami ?
5. Bagaimana Biografi dan Pemikiran Abu Manshur al-Hallaj ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian dari Tasawuf Irfani.
2. Untuk mengetahui Biografi
dan Pemikiran Rabi’ah al-Adawiyah.
3. Untuk mengetahui Biografi dan Pemikiran Dzu an-Nun al-Mishri.
4. Untuk mengetahui Biografi dan Pemikiran Abu Yazid
al-Bushtami.
5. Untuk mengetahui Bagaimana Biografi dan Pemikiran Abu Manshur
al-Hallaj.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf Irfani
Tasawuf Irfani adalah tasawuf yang
berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat diperoleh dengan tidak
melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberian Tuhan
secara langsung (mauhibah).[2]
Secara bahasa, kata irfan berasal dari bahasa arab yang
merupakan bentuk mashdar dari kata arafa semakna dengan ma‟rifah,
atau dalam istilah Yunani disebut gnosis, yaitu pengetahuan tentang
sesuatu yang diperoleh melalui berfikir (tafakkur) dan kontemplasi (tadabbur).
Dalam bahasa arab, ma‟rifah berbeda dengan ilmu. Kalau ma‟rifah dihasilkan
melalui keterhubungan langsung dengan objek pengetahuan dalam artian subjek mengalami
keterhubungannya dengan objek. Sementara ilmu dihasilkan melalui transformasi (naql)
ataupun rasionalitas (aql). Menurut Alparslan keduanya berbeda karena
lahir dari instrument batin manusia yang berbeda juga, jika ‘ilm dihasilkan
dari akal sedangkan ma‟rifah dari hati (qalb).[3]
Sementara itu, ‘irfan teoritis
memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud (ontologi), mendiskusikan manusia,
serta Tuhan alam semesta. Dengan sendirinya, bagian ini menyerupai teosofi
(falsafah Illahi) yang juga memberikan penjelasan tentang wujud. Seperti halnya
filsafat, bagian ini mendefinisikan berbagai prinsip dan problemnya. Namun,
jika filsafat hanya mendasarkan argumennya pada prinsip-prinsip rasional,
‘irfan mendasarkan diri pada ketersibakan mistik yang kemudian diterjemahkan
dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya.
Di samping ada tasawuf yang membahas
moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan, dan perkataan yang
benar, yang dinamakan tasawuf akhlaqi, ada juga tasawuf yang mempunyai
tingkatan lebih tinggi lagi, yang di sebut tasawuf irfani. Tasawuf irfani tidak
hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungaan antarmanusia, tetapi lebih jauh
menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan.
Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi.
B. Biografi dan Pemikiran
Tokoh-tokoh Tasawuf Irfani
1. Rabi’ah Adawiyah
a. Biografi
Nama lengkap Rabiah adalah
rabiah bin Ismail Al Adawiyah Al Bashriyah Al Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir
pada tahun 95 H / 713 M disuatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan
wafat di kota itu pada tahun 185/801 M. Ia dilahirkan sebagai putri keempat,
orang tuanya menamakan Rabiah. Kedua orang tuannya meninggal ketika ia masih
kecil. Konon pada saat perang di basyrah, ia dilarikan penjahat dan dijual
kepada keluarga atik dari suku Qais Banu Adwah. Pada kelurga inilah, ia
bekerja keras, tetapi akhirnya dibebaskan lantaran melihat cahaya
yang memancar diatas kepala Rabiah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada
saat ia sedang beribadah.
Setelah dimerdekakan tuannya,
Rabiah hidup menyendiri menjalani kehidupannya sebagai seorang zahidah dan
sufiah. Ia menjalani sisa hidupnya hidupnya hanya beribadah dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai kekasihnya. Ia memperbanyak tobat dan menjauhi hidup duniawi. Ia
hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang
kepadanya. Bahkan, dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi
Pendapat ini dipersoalkan oleh Badawi. Rabiah,
menurutnya, sebelum bertobat, pernah menjalani kehidupan duniawi. Untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, rabiah tidak mendapatkan jalan lain, kecuali
menjadi penyanyi dan penari sehingga bgitu terbenam dalam kehidupan duniawi.
Alasan badawi untuk menguatkan pendapatnya adalah intensitas tobat rabiah itu
sendiri. Menurut badawi, tidak mungkin iman dan kecintaan Rabiah kepada Allah
SWT begitu ekstremnya, kecuali jika ia pernah sedemikian jauh di dalam
menjalani dan mencintai kehidupan duniawinya.[4]
b. Pemikiran Rabi’ah Adawiyah
Rabiah dinilai tokoh tasawuf pertama yang
menyatakan doktrin cinta tanpa pamrih kepada Allah atau pelopor agama cinta
(mahabbah). Di dalam sejarah
perkembangan tasawuf, hal ini merupakan konsepsi baru di kalangan sufi kala
itu. Karena itulah ia disebut “The Mother of The Grand Master”/ Ibu para
sufi besar.
Pada suatu waktu Rabiah ditanya pendapatnya tentang batasan
konsepsi cinta. Rabiah menjawab : “Cinta
berbicara dengan kerinduan dan perasaan. Cinta muncul dari keazalian (azl) dan
menuju keabadian (abad)’’. Ada dua batasan cinta yang sering dinyatakan Rabiah, yaitu:
1) Sebagai ekspresi cinta
hamba kepada Allah, maka cinta itu harus menutup seling Sang Kekasih atau Yang
Dicinta. Dengan kata lain, maka:
a) dia harus memalingkan
punggungnya dari dunia dan segala daya tariknya.
b) dia harus memisahkan
dirinya
c) dia harus meninggalkan
semua keinginan nafsu duniawi dan tidak memberikan peluang adanya kesenangan
dan kesengsaraan. Karena kesenangan dan kesengsaraan dikhawatirkan mengganggu
perenungan pada Yang Maha Suci.
2) Kadar cinta kepada Allah itu harus tidak ada pamrih apapun.
Artinya, seseorang tidak dibenarkan mengharap balasan dari Allah,
baik baik ganjaran (pahala maupun pembebasan hukuman, dan melalui
jalan cinta inilah jiwa yang
mencintai akhirnya mampu menyatu dengan yang dicintai dan di dalam kehendak-Nya
itulah akan ditemui kedamaian.
Karya-karya Rabi’ah Adawiyah merupakan aliran Muhabbah
atau al-hubb yang berhubungan tentang cinta. Beberapa karya yang diciptakannya
yakni berupa larik sya’ir ataupun ucapannya yang berhubungan tentang rasa
cintanya kepada Allah memang sangat menunjukkan dan membuktikan bahwa cintanya
hanya untuk Allah. Selain itu ia juga betul-betul hidup dalam Zuhud, diantara
ucapannya yang terkenal tentang zuhud adalah, sebagaimana diriwayatkan oleh
al-Hujwiri dalam kitabnya Kasyf al-Mahjub :
“ suatu ketika aku membaca cerita bahwa
seseorang hartawan berkata kepada Rabi’ah : “mintalah kepadaku segala
kebutuhanmu!” Rabi’ah menjawab “ aku ini
begitu malu meminta hal-hal duniawi kepada pemiliknya. Maka bagaimana bisa aku
meminta hal itu kepada orang yang bukan pemiliknya”.[5]
Selain ucapan diatas, dia juga pernah
berucap tentang cintanya kepada Allah, baginya Allah merupakan zat yang
dicintai, bukan sesuatu yang harus dicintai, adapun ucapannya adalah sebagai
berikut :
“ Aku mengabdi kepada Tuhan
bukan karena aku takut masuk neraka, bukan pula karena aku ingin masuk surga, tetapi aku
mengabdi karena cintaku kepada-Nya. Tuhanku, Jika ku puja engkau karena takut
neraka, bakarlah aku didalamnya; dan jika ku puja engkau karena mengharap
surga, jauhkanlah aku daripadanya; tetapi jika kupuja engkau semata-mata karena
engkau, maka janganlah sembunyikan kecatikan-Mu yang kekal itu dariku”.[6]
itulah kiramya beberapa
karya Rabi’ah Adawiyah yang seakan menjelaskan kecintaannya kepada Allah SWT.
2. Dzu An-Nun
al-Mishri
a. Biografi
Dzu An- Nun al-Mishri memiliki nama lengkap
Abu al-Faid Tsauban bin Ibrahim. Dilahirkan di salah satu kawasan di Mesir
bernama Ekhmim pada tahun 180 H (798). Dan wafat pada tahun 246 H(856M).
Julukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya berhubungan
dengan berbagai kelebihan yang diberikan Allah kepadanya, Di antaranya ia pernah mengeluarkan
seorang anak dari perut buaya dalam keadaan selamat di sungai Nil atas
permintaan ibu dari anak tersebut.
Asal mula Al-Mishri tidak banyak
diketahui, tetapi riwayatnya sebagai seorang sufi banyak diutarakan. Al-Mishri
dalam perjalanan hidupnya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ia pernah
menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait Al-Maqdis, Baghdad,
Mekah, Hijaz, Syria, Pegunungan Libanon, Anthokiah, dan Lembah kan’an. Hal ini
menyebabkan ia memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam. Ia hidup pada
masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqh, ilmu hadis, dan
guru sufi, sehingga dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia
pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Hanbal. Ia mengambil riwayat hadis dari
Malik, Al-Laits, dan lain-lainnya. Adapun yang pernah mengambil riwayat
darinya, antara lain Al-Hasan bin Mush’ib An-Nakha’iy. Gurunya dalam bidang
tasawuf adalah Syaqran Al-‘Abd atau Israfil Al-Maghribiy. Ini yang menjadikan
ia seorang alim, baik dalam ilmu syariat maupun tasawuf.
Posisi Al-Mushri dalam tasawuf
dilihat penting karena dia lah orang pertama di Mesir yang membicarakan masalah ahwal dan maqamat para wali. Dia juga
dipandang sebagai bapak faham ma’rifah. [7]
b. Pemikiran Dzu An-Nun Al-Mishri
1) Maqamat
Maqam dari segi bahasa berarti kedudukan, tempat berpijak dua
telapak kaki. Bentuk jamaknya adalah Maqamat. Dalam ilmu
tasawuf, istilah maqam mengandung arti “ kedudukan hamba dalam pandangan Allah,
menurut apa yang diusahakan berupa ibadah, latihan,dan perjuangan menuju Allah
“Azza wa jalla”.
Dalam bahasa al-Thusi
pendapat al-Mishri tentang maqamat dikemukakan dalam beberapa hal
yaitu: al-tawbah, al-sabr,al tawakal, danal-ridla. Menurut
Al-Mishri al-tawbah dibedakan atas tiga tingkatan, yaitu:
a) Orang yang bertobat dari
dosa dan keburukannya.
b) Orang yang bertobat dari
kelalaian mengingat Allah.
c) Orang yang bertobat karena
memandang kebaikan dan ketaatannya.
Keterangan Al-Mishri
tentang al-sabr dikemukaan dalam bentuk kepingan dialong dari
sebuah riwayat. Berikut contoh ucapan Al-Mishri selagi kedua tangan
dan kaki nya dibelenggu sambil dibawa ke hadapan penguasa dengan disaksikan
oleh banyak orang. Ia berkata “ ini adalah salah satu pemberian Tuhan
dan Karunia-Nya, semua perbuatan Tuhan nikmat dan baik.”
Al
tawakal menurut Al-Mishri
adalah berhenti memikirkan diri sendiri dan tidak merasa memiliki daya dan
kekuatan. Intinya penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah disertai perasaan
tidak memiliki kekuatan. Sedangkan al-ridla menurut
Al-Mishri adalah kegembiraan hati karena berlakunya ketentuan Tuhan.[8]
2) Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari hal, yang dari segi
bahasa berarti sifat dan keadaan sesuatu. “Hal” merupakan pemberian yang
berasal dari Tuhan kepada hamba-Nya yang dikendaki-Nya.
Dalam bagian ini al-Mishri membahas tentang cinta kepada
Tuhan. Cinta kepada Tuhan oleh al-Mishri, dijadikan sebagai pertama dari empat
ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf, karena ia melihat sebagai dari
tanda-tanda orang yang mencintai Allah dengan mengikuti kekasih Allah, yakni
Nabi dalam hal akhlak, perbuatan, segala perintah dan sunnahnya. Artinya
orang-orang yang mencintai Allah senantiasa mengikuti sunnah Rasul , tidak
mengabaikan syariat.[9]
3) Ma’rifat
Ma’rifah secara etimologi berarti pengetahuan
atau mengetahui sesuatu yang seyakin-yakinnya. Sedangkan secara terminologi ma’rifah adalah mengetahui Tuhan
dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Zun Nun al-Mishri di
dalam kitabnya al-Qalam ‘alam
al-Basmalah membagi ma’rifah atau pengetahuan menjadi tiga
klasifikasi. Pertama, ma’rifah untuk seluruh
umat muslim. Kedua, Pengetahuan Khusus untuk para filosof dan ulama.
Ketiga, Pengetahuan Khusus untuk para wali Allah.
Menurut Harun Nasution, pengetahuan jenis pertama dan
kedua belum masuk kedalam kategori pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya
belum disebut dengan ma’rifat. Tetapi disebut sebagai ilmu. Adapun pengetahuan
jenis ketiga baru bisa dikatakan sebagai ma’rifat, jelaslah bahwa pengetahuan
tingkat auliya’ lah yang paling tinggi, karena mereka mencapai tingkatan
musyahadah. Para ulama dan filosof tidak bisa mencapai maqam ini sebab mereka
masih menggunakan akal untuk mengetahui Tuhan, dan arena akal punya
keterbatasan dan kelemahan.[10]
Al-Mishri melihat Tuhan melalui
tanda-tanda kebesarannya yang terdapat di alam semesta. Suatu ungkapan
puitisnya adalah :
“ya
Rabbi, aku mengenalmu melalui bukti-bukti karya-mu dan tindakanmu, tolonglah
daku, ya Rabbi, dalam mencari ridhamu dengan ridhaku dengan semangat engkau
dalam kecintaan-Mu, dengan kesentosaan dan niat teguh”.
Ketika ditanya tentang cara
bagaimana memperoleh ma’rifat, al-Mishri menjawab “ saya mengenal Tuhan dengan
(bantuan) Tuhan, kalau bukan karena bantuan-Nya, saya tidak mungkin mengenal-Nya.
(“Aroftu Rabbi bi Rabbi wa laula Rabbi lama ‘aroftu Rabbi”) ungkapan itu
menunjukan bahwa ma’rifat tidak diperoleh begitu saja. Tetapi merupakan
pemberian Tuhan, Rahmat dan Nikmat-Nya.
Adapun tanda-tanda seseorang ‘arif
menurut al-Mishri, adalah sebagai berikut :
a) Cahaya ma’rifat tidak memadamkan cahaya kewaraannya.
b) Ia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin meruak ilmu lahir.
c) Banyaknya nikmat Tuhan tidak mendorongnya menghancurkan
tirai-tirai larangan tuhan.
Paparan al-Mishri menunjukan bahwa
seorang ‘arif yang sempurna selalu melaksanakan perintah Allah, terikat hanya
kepada-Nya, senantiasa mersama-Nya dalam kondisi apapun, dan semakin dekat
serta menyatu kepadanya.[11]
3. Abu Yazid al-Bushtami
a. Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu
Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia)
tahun 874 dan wafat tahun 947 M. Nama kecilnya adalah Thaifur. Kakeknya bernama
Sursuryan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk
Islam di Bustam. Keluarga Abu yazid termasuk orang kaya di daerahnya, tetapi
lebih memilih hidup sederhana.[12]
Sejak dalam kandungan ibunya, Abu Yazid telah mempunyai kelebihan. Menurut
ibunya, bayi yang dalam kandungan akan memberontak sampai sang ibu muntah jika
sang ibu memakan makanan yang diragukan kehalalannya.[13]
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid
juga terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti
ajaran agama, serta berbakti kepada orang tuanya. Suatu hari gurunya
menerangkan suatu surat dari Al-Qur’an surat Al-Luqman, “Berterima kasihlah
kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu
Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang kerumahnya untuk menemui ibunya.
Itulah suatu gambaran bagaimana ia memenuhi setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang
sufi memerlukan puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang
sufi, ia terlebih dahulu menjadi seoran fakih dari madzhab Hanafi. Salah
seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali Al-Sindi. Ia mengajarkan ilmu
tauhid, ilmu hakikat dan ilmu-ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja, ajaran
sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku. Dalam menjalani
kehidupan zuhud, selama 13 tahunAbu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di
Syam, dengan sedikit sekali tidur, makan dan minum.[14]
b. Pemikiran Abu Yazid al-Bushtami
1) Fana dan baqa’
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’.
Dari segi bahasa fana’ berasal dari kata faniya yang berarti
musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai
keadaan moral yang luhur. Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana’ setelah
meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah. seperti tampak
dalam ceritanya,
“Setelah Allah menaksikan kesucian hatiku yang terdalam, maka
aku mendengar puas dari-Nya. maka, diriku dicap dengan keridhaan-Nya. Mintalah
kepada-Ku semua yang kau inginkan, kata-Nya. ‘Engkaulah yang aku
inginkan,’jawabku, Karena Engkau lebih utama daripada anugerah, lebih besar
daripada kemurahan, dan melalui Engkau aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu . .
.” [15]
jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid
dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya, “Bagaimana caranya agar
aku sampai kepada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (nafsu)mu dan
kemarilah.” Abu Yazid pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya,
“Aku tahu pada Tuhan melalui
dirikuhingga aku fana’, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka
akupun hidup”.
Adapun baqa’, berasal dari kata baqiya
, dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah akhlak tasawuf,
baqa’ berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah SWT . Paham baqa’
tidak dapat dipisahkan dengan paham fana’. Kedunya merupakan paham yang
berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’ , ketika itu juga ia
mengalami baqa’.
2) Ittihad
Ittihad adalah tahapan selanjutnya dialami
seorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan baqa’. Hanya saja dalam
literature klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan. Apakan
karena pertimbangan keselamatan jiwa atau ajaran ini sangat sulit dipraktikan
dan masih perlu pembahasan, merupakan pertanyaan yang perlu di analisis lebih
lanjut. Namun, menurut Harun Nasution, uraian tentang itthad banyak terdapat
dalam buku karangan orientalis. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu
dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi
maupun perbuatannya.
Dalam ittihad,”identitas telah hilang,
identitas telah menjadi satu”. Sufi bersangkutan, karena fana’nya telah tak
mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan. Dengan
fana’nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Bahwa ia
telah berada dekat pada Tuhan dapat dilihat dari Syahadat yang diucapkannya.
Syahadat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai
berada di pintu gerbang ittihad.[16]
Syathahat adalah ucapan-ucapannya yang dikeluarkan seorang sufi
ketika ia mulai berada dipintu-pintu gerbang ittihad. Ucapan-ucapan yang
demikian belum pernah didengar dari sufi sebelum Abu Yazid, umpamanya:
“aku tidak heran terhadap cintaku kepada-Mu
Karena aku adalah hamba yang hina
Tetapi aku heran terhadap cinta-Mu kepadaku
4. Abu Manshur al-Hallaj
a. Biografi
Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu
Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi, lahir di Baida,
sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/ 855 M. Ia tumbuh dewasa
di kota Wasith, dekat Baghdad. Pada usia 16 tahun, ia belajar pada seorang sufi
terkenal saat itu, yaitu Sahl bin Abdullah At-tusturi di Ahwaz. Dua tahun
kemudian , ia pergi ke Bashroh dan berguru pada ‘Amr Al-Maliki yang juga
seorang sufi, dan pada tahun 878 M, Ia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada
al-Junaid. Setelah itu ia pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain. Ia
diberi gelar al-Hallaj karena penghidupannya yang diperoleh dari memintal wol.[18]
Dalam sebuah perjalanan dan pengembaraannya ke berbagai kawasan
islam, al-Hallaj banyak memperoleh pengikut. Ia kemudian kembali ke Baghdad
pada Tahun 296 H/ 909 M. Di Baghdad pengikutnya semakin bertambah banyak karena
kecaman-kecamannya terhadap kebobrokan pemerintah yang berkuasa pada waktu itu.
secara kebetulan ia bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nashr
al-Qusyairi, yang mengingatkan sistem usaha yang baik, pemerintahan yang
bersih.
Al-Hallaj selalu mendorong sahabatnya pelakukan perbaikan dalam
pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan-penyelewengan
yang terjadi. Gagasan “pemerintahan yang Bersih” dari Nashr Al-Qusyairi dan
Al-Hallaj ini jelas berbahaya karena Khalifah boleh dikatakan tidak memiliki
kekuasaan yang nyata dan hanya merupakan lambang saja. Pada waktu yang sama,
aliran-aliran keagamaan dan tasawuf tumbuh dengan subur. Pemerintah sangat
khawatir terhadap kecaman-kecamannya yang sangat keras dan pengaruh sufi
terhadap pengaruh politik . oleh karena itu, ucapan al-Hallaj “ana al-Haqq”,
yang konon tidak bisa dimaafkan para ulama fiqh dan dianggap sebagai ucapan
kemurtadan, dijadikan alasan untuk menangkap dan memenjarakannya. Setahun
kemudian, ia dapat meloloskan diri dari penjara berkat pertolongan sopir
penjara, akan tetapi setelah 4 tahun ia ditangkap lagi di kota Sus.
Setelah dipenjara selama 8 tahun, Al-Hallaj dihukum gantung.
Sebelum digantung, ia dicambuk seribu kali tanpa mengaduh kesakitan, lalu
dipenggal kepalanya. Akan tetapi, sebelum dipancung, ia meminta waktu untuk
shalat dua raka’at. Setelah itu, kaki dan tangannya dipotong, badannya digulung
dalam tikar bambu lalu dibakar dan abunya dibuang ke sungai, sedangkan
kepalanya dibawa ke Khurasan untuk dipertontonkan. Al-Hallaj wafat pada tahun
922 M. Kematian tragis al-Hallaj yang tampak seperti dongeng tidak membuat
gentar pada pengikutnya. Ajarannya masih tetap berkembang. Terbukti setelah
satu abad kematiannya, di Irak ada 4000 orang yang menamakan dirinya Hallajiyah.
Disisi lain, pengaruhnya sangat besar terhadap pengikutnya. Ia dianggap
mempunyai hubungan dengan gerakan Qaramitah. [19]
b. Pemikiran
Abu Manshur al-Hallaj
Di antara ajaran Al-Hallaj yang paling terkenal
adalah al-hulul dan wahdat as-syudut yang kemudian
melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang
dikembangkan Ibnu ‘Arabi . Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan Tuhan
(hulul). Kata al-hulul, berdasarkan pengertian bahasa
berarti menempati suatu tempat . adapun menurut istilah ilmu tasawuf al-hulul
berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia
tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan
yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia
terdapat sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan ayat yang artinya :
“dan (ingatlah) ketika kami
berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam!’ maka merekapun
sujud, kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk
golongan kafir.” (Q.S Al-Baqarah : 34).
Pada
ayat di atas, Allah memberi perintah kepada malaikat untuk bersujud kepada
Adam. Karena yang berhak diberi sujud hanya Allah SWT. Al-Hallaj memahami bahwa
dalam diri Adam sebenarnya ada unsur ketuhanan. Ia berpendapat demikian karena
sebelum menjadikan makhluk, Tuhan melihat Dzat-Nya, cinta yang tidak dapat
disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab dari yang banyak in. Ia
mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk copy diri-Nya
yang mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk copy ini adalah
Adam. Pada diri Adamlah Allah SWT muncul.
Menurut al-Hallaj, pada hulul terkandung
kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak Ilahi sehingga setiap
kehendaknya adlah kehendak Tuhan. Demikian juga tindakannya. Pada pihak lain,
al-Hallaj mengatakan,
“Barang siapa yang mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu
dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, kafirlah ia.
Sebab, Allah SWT mandiri dalam Dzat maupun Sifat-Nya dari Dzat dan Sifat
makhluk. Ia tidak sekali-kali menyerupai makhluk-Nya dan merekapun tidak
sekali-kali menyerupai-Nya,”
Dapat ditarik kesimpulan bahwa hulul yang
terjadi pada al-Hallaj tidaklah real karena memberi pengertian secara jelas
adanya perbedaan antara Hamba dan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang terjadi
hanya kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana’, yaitu menurut ungkapannya,
sekedar terlebarnya nasut dalam lahut, atau dapat dikatakan antara keduanya
tetap ada perbedaan, seperti dalam syairnya, air tidak dapat menjadi anggur
meskipun keduanya telah bercampur. [20]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini dapat
disimpulkan bahwa, di samping ada tasawuf yang membahas moralitas yang terukur,
seperti kejujuran, keikhlasan, dan perkataan yang benar, yang dinamakan tasawuf
akhlaqi, ada juga tasawuf yang mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi, yang di
sebut tasawuf irfani. Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam
hubungaan antarmanusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita
lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang
paling tinggi.
Terdapat banyak tokoh yang termasuk tokoh
tasawuf irfani, diantaranya Rabi’ah Al-Adawiyah, yang tercatat dengan
perkembangan mistisme Islam sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta
(mahabbah) kepada Allah. Dzu An-Nun Al-Mishri, yang terkenal sebagai pelopor
paham makrifat. Abu Yazid Al-Bustami dengan ajaran tasawuf terpentingnya adalah
fana’ dan baqa’. Abu Manshur Al-Hallaj, dengan ajaran taswufnya yang paling
terkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham
wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibn ‘Arabi.
DAFTAR RUJUKAN
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi at-Taftazani, 1995 ,sufi dari zaman ke
zaman, terj. Ahmad Rofi’, Bandung: Pustaka.
al-Aththar Fariduddin,1983. Warisan para aulia, bandung:
Pustaka.
Alba Cecep, 2012. Tasawuf dan Tarekat (Dimensi Esoteris Ajaran
Islam), PT. Remaja Rosdakarya.
al-Kalabadzi Muhammad, 1990, at- Ta;aruf li madzhab ahl at-
Tashawuf.
Anwar Rosihan, 2010, Akhlak Tasawuf , Bandung : CV Pustaka
Setia
Asmaran, 2002, pengantar Tasawuf edisi Revisi, jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Jamil, 2013. Akhlak
Tasawuf, Medan:Referensi..
M.M
Syarif, 1996. A History of Muslim Philosophy, Otto Harrassowitz.Wiesbadden,
Vol. I.
Nasution Harun,1973, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta:
Bulan Bintang.
Raizha Gafna, 2003. Warisan Para Sufi,
Yogyakarta : Pustaka Sufi.
Ruslin Ris’an, 2013. Tasawuf dan Tarekat , Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
Ryandi,
2015. Epistimologi Irfani dalam Tasawuf. Analytica Islamica, Vol. 4, No. 1.
Thusi,1998. warisan para aulia, pustaka: bandung.
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN TOKOH TASAWUF IRFANI
Makalah Ini Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah
Filsafat Islam dan Tasawuf
Dosen Pengampu:
Dr. H. Mohammad Asrori, M. Ag.
Penyusun:
Solehah Muchlas 17770028
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
12 April 2018
[1]
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat (Dimensi Esoteris Ajaran Islam), (PT.
Remaja Rosdakarya:2012), h.46.
[2] Gafna Raizha , Warisan Para Sufi,(Yogyakarta
: Pustaka Sufi,2003), hlm.73
[3] Ryandi. Epistimologi
Irfani dalam Tasawuf. (
Analytica Islamica, Vol. 4, No. 1, 2015),h. 84-105.
[11] Abu
al-Wafa’ al-Ghanimi at-Taftazani, sufi dari zaman ke zaman, terj. Ahmad Rofi’
(Bandung: Pustaka,1995), h. 86.
[12]
Fariduddin al-Aththar, Warisan para aulia, (bandung: Pustaka, 1983), h.
128.
[13]
Ibid, h.128.
[14] M.M Syarif, 1996. A History of Muslim Philosophy, Otto
Harrassowitz.Wiesbadden, Vol. I, h. 342.
[17] Ibid,
h.84.
[20]
Ibid, h.273-274.
No comments:
Post a Comment