Sunday, July 21, 2019

Tasawuf Irfani


BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam dinamika modernitas, yang dibarengi dengan akselerasi-akselerasi sains dan teknologi canggih. Keadaan ini membuat manusia lengah sehingga demensi spiritualnya lambat laun terkikis. Kita sering menyaksikan tercerabutnya akar spriritualitas di panggung kehidupan. Salah satu penyebabnya adalah pola hidup global yang dilayani oleh perangkat teknologi yang serba canggih.
Tasawuf bukan ilmu yang stagnan di tempat. Walaupun nama tasawuf baru terdengar mulai awal-awal abad ke II hijriyah, tetapi dalam perjalanannya mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Hadirnya berbagai tokoh tasawuf  memperkaya cara pandang ilmu tasawuf.
Pembagian tasawuf dikategorikan sesuai dengan tokoh-tokohnya serta menurut pemikiran dan konsep ajarannya. Pertama, tasawuf akhlaki (tasawuf sunni) adalah tasawuf yang berusaha mewujudkan akhlak mulia dalam diri sufi, sekaligus menghindarkan diri dari akhlak tercela. Tokoh-tokohnya antara Hasan al-Basri, al-Muhasibi, al-Qusyairi, Abdul Qadir al-Jailani, al-Ghazali dan lain-lain, Kedua, tasawuf falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada keterpaduan teori-teori tasawuf dan filsafat. Tokoh-tokohnya antara lain al-Hallaj, ibn ‘Arabi, al-Jili, ibn Sab’in, dan lain-lain. Ketiga, Tasawuf irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat atau makrifat yang diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran, tetapi melalui pemberian tuhan (mauhibah) tokoh-tokohya antara lain Rabi’ah al-Adawiyah, Dzunnun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami, Junaid al-Bhagdadi, Abu Mansur al-Hallaj, Jalaluddin Rumi dan lain-lain.[1]
Dalam pembahasan makalah ini, penulis mengambil judul Biografi dan pemikiran Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani. Penulis mencoba mengurai biografi dan pemikiran dari tokoh-tokoh tasawuf irfani yaitu Rabi’ah al-adawiyah, Dzu An-nun al-Mishri, Abu Yazid al-Bushtami dan abu Mansur al-Hallaj.

























B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Apa pengertian Tasawuf Irfani ?
2.      Bagaimana Biografi  dan Pemikiran Rabi’ah al-Adawiyah ?
3.      Bagaimana Biografi dan Pemikiran Dzu an-Nun al-Mishri ?
4.      Bagaimana Biografi dan Pemikiran Abu Yazid al-Bushtami ?
5.      Bagaimana Biografi dan Pemikiran Abu Manshur al-Hallaj ?

C.     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :
1.      Untuk mengetahui pengertian dari Tasawuf Irfani.
2.      Untuk mengetahui Biografi  dan Pemikiran Rabi’ah al-Adawiyah.
3.      Untuk mengetahui Biografi dan Pemikiran Dzu an-Nun al-Mishri.
4.      Untuk mengetahui Biografi dan Pemikiran Abu Yazid al-Bushtami.
5.      Untuk mengetahui Bagaimana Biografi dan Pemikiran Abu Manshur al-Hallaj.








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tasawuf Irfani
Tasawuf Irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberian Tuhan secara langsung (mauhibah).[2]
Secara bahasa, kata irfan berasal dari bahasa arab yang merupakan bentuk mashdar dari kata arafa semakna dengan ma‟rifah, atau dalam istilah Yunani disebut gnosis, yaitu pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh melalui berfikir (tafakkur) dan kontemplasi (tadabbur). Dalam bahasa arab, ma‟rifah berbeda dengan ilmu. Kalau ma‟rifah dihasilkan melalui keterhubungan langsung dengan objek pengetahuan dalam artian subjek mengalami keterhubungannya dengan objek. Sementara ilmu dihasilkan melalui transformasi (naql) ataupun rasionalitas (aql). Menurut Alparslan keduanya berbeda karena lahir dari instrument batin manusia yang berbeda juga, jika ‘ilm dihasilkan dari akal sedangkan ma‟rifah dari hati (qalb).[3]
Sementara itu, ‘irfan teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud (ontologi), mendiskusikan manusia, serta Tuhan alam semesta. Dengan sendirinya, bagian ini menyerupai teosofi (falsafah Illahi) yang juga memberikan penjelasan tentang wujud. Seperti halnya filsafat, bagian ini mendefinisikan berbagai prinsip dan problemnya. Namun, jika filsafat hanya mendasarkan argumennya pada prinsip-prinsip rasional, ‘irfan mendasarkan diri pada ketersibakan mistik yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya.
Di samping ada tasawuf yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan, dan perkataan yang benar, yang dinamakan tasawuf akhlaqi, ada juga tasawuf yang mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi, yang di sebut tasawuf irfani. Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungaan antarmanusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi.






















B.     Biografi dan Pemikiran Tokoh-tokoh Tasawuf Irfani
1.      Rabi’ah Adawiyah
a.       Biografi
Nama lengkap Rabiah adalah rabiah bin Ismail Al Adawiyah Al Bashriyah Al Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H / 713 M disuatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185/801 M. Ia dilahirkan sebagai putri keempat, orang tuanya menamakan Rabiah. Kedua orang tuannya meninggal ketika ia masih kecil. Konon pada saat perang di basyrah, ia dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga atik dari suku Qais Banu Adwah. Pada kelurga inilah, ia bekerja  keras, tetapi akhirnya dibebaskan lantaran melihat cahaya yang memancar diatas kepala Rabiah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah.
Setelah dimerdekakan tuannya, Rabiah hidup menyendiri menjalani kehidupannya sebagai seorang zahidah dan sufiah. Ia menjalani sisa hidupnya hidupnya hanya beribadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai kekasihnya. Ia memperbanyak tobat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Bahkan, dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi
Pendapat ini dipersoalkan oleh Badawi. Rabiah, menurutnya, sebelum bertobat, pernah menjalani kehidupan duniawi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, rabiah tidak mendapatkan jalan lain, kecuali menjadi penyanyi dan penari sehingga bgitu terbenam dalam kehidupan duniawi. Alasan badawi untuk menguatkan pendapatnya adalah intensitas tobat rabiah itu sendiri. Menurut badawi, tidak mungkin iman dan kecintaan Rabiah kepada Allah SWT begitu ekstremnya, kecuali jika ia pernah sedemikian jauh di dalam menjalani dan mencintai kehidupan duniawinya.[4]

b.      Pemikiran Rabi’ah Adawiyah
Rabiah dinilai tokoh tasawuf pertama yang menyatakan doktrin cinta tanpa pamrih kepada Allah atau pelopor agama cinta (mahabbah). Di dalam sejarah perkembangan tasawuf, hal ini merupakan konsepsi baru di kalangan sufi kala itu. Karena itulah ia disebut “The Mother of The Grand Master”/ Ibu para sufi besar.
Pada suatu waktu Rabiah ditanya pendapatnya tentang batasan konsepsi cinta. Rabiah menjawab : “Cinta berbicara dengan kerinduan dan perasaan. Cinta muncul dari keazalian (azl) dan menuju keabadian (abad)’’. Ada dua batasan cinta yang sering dinyatakan Rabiah, yaitu:
1)      Sebagai ekspresi cinta hamba kepada Allah, maka cinta itu harus menutup seling Sang Kekasih atau Yang Dicinta. Dengan kata lain, maka:
a)      dia harus memalingkan punggungnya dari dunia dan segala daya tariknya.
b)      dia harus memisahkan dirinya
c)      dia harus meninggalkan semua keinginan nafsu duniawi dan tidak memberikan peluang adanya kesenangan dan kesengsaraan. Karena kesenangan dan kesengsaraan dikhawatirkan mengganggu perenungan pada Yang Maha Suci.
2)       Kadar cinta kepada Allah itu harus tidak ada pamrih apapun. Artinya, seseorang tidak dibenarkan mengharap balasan dari Allah, baik  baik ganjaran (pahala maupun pembebasan hukuman, dan melalui jalan cinta inilah jiwa yang mencintai akhirnya mampu menyatu dengan yang dicintai dan di dalam kehendak-Nya itulah akan ditemui kedamaian.
Karya-karya Rabi’ah Adawiyah merupakan aliran Muhabbah atau al-hubb yang berhubungan tentang cinta. Beberapa karya yang diciptakannya yakni berupa larik sya’ir ataupun ucapannya yang berhubungan tentang rasa cintanya kepada Allah memang sangat menunjukkan dan membuktikan bahwa cintanya hanya untuk Allah. Selain itu ia juga betul-betul hidup dalam Zuhud, diantara ucapannya yang terkenal tentang zuhud adalah, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hujwiri dalam kitabnya Kasyf al-Mahjub :
“ suatu ketika aku membaca cerita bahwa seseorang hartawan berkata kepada Rabi’ah : “mintalah kepadaku segala kebutuhanmu!”  Rabi’ah menjawab “ aku ini begitu malu meminta hal-hal duniawi kepada pemiliknya. Maka bagaimana bisa aku meminta hal itu kepada orang yang bukan pemiliknya”.[5]
Selain ucapan diatas, dia juga pernah berucap tentang cintanya kepada Allah, baginya Allah merupakan zat yang dicintai, bukan sesuatu yang harus dicintai, adapun ucapannya adalah sebagai berikut :
Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena aku takut masuk neraka, bukan   pula karena aku ingin masuk surga, tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya. Tuhanku, Jika ku puja engkau karena takut neraka, bakarlah aku didalamnya; dan jika ku puja engkau karena mengharap surga, jauhkanlah aku daripadanya; tetapi jika kupuja engkau semata-mata karena engkau, maka janganlah sembunyikan kecatikan-Mu yang kekal itu dariku”.[6]
itulah kiramya beberapa karya Rabi’ah Adawiyah yang seakan menjelaskan kecintaannya kepada Allah SWT.











2.      Dzu An-Nun al-Mishri
a.       Biografi
Dzu An- Nun al-Mishri memiliki nama lengkap Abu al-Faid Tsauban bin Ibrahim. Dilahirkan di salah satu kawasan di Mesir bernama Ekhmim pada tahun 180 H (798). Dan wafat pada tahun 246 H(856M). Julukan  Dzu An-Nun diberikan kepadanya berhubungan dengan berbagai kelebihan yang diberikan Allah kepadanya, Di antaranya ia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya dalam keadaan selamat di sungai Nil atas permintaan ibu dari anak tersebut.
Asal mula Al-Mishri tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya sebagai seorang sufi banyak diutarakan. Al-Mishri dalam perjalanan hidupnya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait Al-Maqdis, Baghdad, Mekah, Hijaz, Syria, Pegunungan Libanon, Anthokiah, dan Lembah kan’an. Hal ini menyebabkan ia memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam. Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqh, ilmu hadis, dan guru sufi, sehingga dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Hanbal. Ia mengambil riwayat hadis dari Malik, Al-Laits, dan lain-lainnya. Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya, antara lain Al-Hasan bin Mush’ib An-Nakha’iy. Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syaqran Al-‘Abd atau Israfil Al-Maghribiy. Ini yang menjadikan ia seorang alim, baik dalam ilmu syariat maupun tasawuf.
Posisi Al-Mushri dalam tasawuf dilihat penting karena dia lah orang pertama di Mesir yang membicarakan masalah ahwal dan maqamat para wali. Dia juga dipandang sebagai bapak faham  ma’rifah. [7]


b.      Pemikiran Dzu An-Nun Al-Mishri
1)      Maqamat
Maqam dari segi bahasa berarti kedudukan, tempat berpijak dua telapak kaki. Bentuk jamaknya adalah  Maqamat. Dalam ilmu tasawuf, istilah maqam mengandung arti “ kedudukan hamba dalam pandangan Allah, menurut apa yang diusahakan berupa ibadah, latihan,dan perjuangan menuju Allah “Azza wa jalla”.
Dalam bahasa al-Thusi pendapat al-Mishri tentang maqamat dikemukakan dalam beberapa hal yaitu: al-tawbah, al-sabr,al tawakal, danal-ridla. Menurut Al-Mishri al-tawbah dibedakan atas tiga tingkatan, yaitu:
a)      Orang yang bertobat dari dosa dan keburukannya.
b)      Orang yang bertobat dari kelalaian mengingat Allah.
c)      Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.
Keterangan Al-Mishri tentang al-sabr dikemukaan dalam bentuk kepingan dialong dari sebuah riwayat. Berikut contoh ucapan Al-Mishri  selagi kedua tangan dan kaki nya dibelenggu sambil dibawa ke hadapan penguasa dengan disaksikan oleh banyak orang. Ia berkata “ ini adalah salah satu pemberian Tuhan dan Karunia-Nya, semua perbuatan Tuhan nikmat dan baik.”
Al tawakal menurut Al-Mishri adalah berhenti memikirkan diri sendiri dan tidak merasa memiliki daya dan kekuatan. Intinya penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah disertai perasaan tidak memiliki kekuatan. Sedangkan  al-ridla menurut Al-Mishri adalah kegembiraan hati karena berlakunya ketentuan Tuhan.[8]


2)      Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari hal, yang dari segi bahasa berarti sifat dan keadaan sesuatu. “Hal” merupakan pemberian yang berasal dari Tuhan kepada hamba-Nya yang dikendaki-Nya.
Dalam bagian ini al-Mishri membahas tentang cinta kepada Tuhan. Cinta kepada Tuhan oleh al-Mishri, dijadikan sebagai pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf, karena ia melihat sebagai dari tanda-tanda orang yang mencintai Allah dengan mengikuti kekasih Allah, yakni Nabi dalam hal akhlak, perbuatan, segala perintah dan sunnahnya. Artinya orang-orang yang mencintai Allah senantiasa mengikuti sunnah Rasul , tidak mengabaikan syariat.[9]
3)      Ma’rifat
Ma’rifah secara etimologi berarti pengetahuan atau mengetahui sesuatu yang seyakin-yakinnya. Sedangkan secara terminologi ma’rifah adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Zun Nun al-Mishri di dalam kitabnya al-Qalam ‘alam al-Basmalah  membagi ma’rifah atau pengetahuan menjadi tiga klasifikasi. Pertama, ma’rifah untuk seluruh umat muslim. Kedua, Pengetahuan Khusus untuk para filosof dan ulama. Ketiga, Pengetahuan Khusus untuk para wali Allah.
Menurut Harun Nasution, pengetahuan jenis pertama dan kedua belum masuk kedalam kategori pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya belum disebut dengan ma’rifat. Tetapi disebut sebagai ilmu. Adapun pengetahuan jenis ketiga baru bisa dikatakan sebagai ma’rifat, jelaslah bahwa pengetahuan tingkat auliya’ lah yang paling tinggi, karena mereka mencapai tingkatan musyahadah. Para ulama dan filosof tidak bisa mencapai maqam ini sebab mereka masih menggunakan akal untuk mengetahui Tuhan, dan arena akal punya keterbatasan dan kelemahan.[10]
            Al-Mishri melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesarannya yang terdapat di alam semesta. Suatu ungkapan puitisnya adalah :
“ya Rabbi, aku mengenalmu melalui bukti-bukti karya-mu dan tindakanmu, tolonglah daku, ya Rabbi, dalam mencari ridhamu dengan ridhaku dengan semangat engkau dalam kecintaan-Mu, dengan kesentosaan dan niat teguh”.
Ketika ditanya tentang cara bagaimana memperoleh ma’rifat, al-Mishri menjawab “ saya mengenal Tuhan dengan (bantuan) Tuhan, kalau bukan karena bantuan-Nya, saya tidak mungkin mengenal-Nya. (“Aroftu Rabbi bi Rabbi wa laula Rabbi lama ‘aroftu Rabbi”) ungkapan itu menunjukan bahwa ma’rifat tidak diperoleh begitu saja. Tetapi merupakan pemberian Tuhan, Rahmat dan Nikmat-Nya.
Adapun tanda-tanda seseorang ‘arif menurut al-Mishri, adalah sebagai berikut :
a)      Cahaya ma’rifat tidak memadamkan cahaya kewaraannya.
b)      Ia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin meruak ilmu lahir.
c)      Banyaknya nikmat Tuhan tidak mendorongnya menghancurkan tirai-tirai larangan tuhan.
Paparan al-Mishri menunjukan bahwa seorang ‘arif yang sempurna selalu melaksanakan perintah Allah, terikat hanya kepada-Nya, senantiasa mersama-Nya dalam kondisi apapun, dan semakin dekat serta menyatu kepadanya.[11]


3.      Abu Yazid al-Bushtami
a.       Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 dan wafat tahun 947 M. Nama kecilnya adalah Thaifur. Kakeknya bernama Sursuryan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu yazid termasuk orang kaya di daerahnya, tetapi lebih memilih hidup sederhana.[12] Sejak dalam kandungan ibunya, Abu Yazid telah mempunyai kelebihan. Menurut ibunya, bayi yang dalam kandungan akan memberontak sampai sang ibu muntah jika sang ibu memakan makanan yang diragukan kehalalannya.[13]
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid juga terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti ajaran agama, serta berbakti kepada  orang tuanya. Suatu hari gurunya menerangkan suatu surat dari Al-Qur’an surat Al-Luqman, “Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang kerumahnya untuk menemui ibunya. Itulah suatu gambaran bagaimana ia memenuhi setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memerlukan puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seoran fakih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali Al-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu-ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja, ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku. Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahunAbu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, dengan sedikit sekali tidur, makan dan minum.[14]

b.      Pemikiran Abu Yazid al-Bushtami
1)      Fana dan baqa’
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’. Dari segi bahasa fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana’ setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah. seperti tampak dalam ceritanya,
“Setelah Allah menaksikan kesucian hatiku yang terdalam, maka aku mendengar puas dari-Nya. maka, diriku dicap dengan keridhaan-Nya. Mintalah kepada-Ku semua yang kau inginkan, kata-Nya. ‘Engkaulah yang aku inginkan,’jawabku, Karena Engkau lebih utama daripada anugerah, lebih besar daripada kemurahan, dan melalui Engkau aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu . . .” [15]
jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai kepada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (nafsu)mu dan kemarilah.” Abu Yazid pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya,
“Aku tahu pada Tuhan melalui dirikuhingga aku fana’, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup”.
Adapun baqa’, berasal dari kata baqiya , dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah akhlak tasawuf, baqa’ berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah SWT . Paham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan paham fana’. Kedunya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’ , ketika itu juga ia mengalami baqa’.

2)      Ittihad
Ittihad adalah tahapan selanjutnya dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan baqa’. Hanya saja dalam literature klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan. Apakan karena pertimbangan keselamatan jiwa atau ajaran ini sangat sulit dipraktikan dan masih perlu pembahasan, merupakan pertanyaan yang perlu di analisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution, uraian tentang itthad banyak terdapat dalam buku karangan orientalis. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupun perbuatannya.
Dalam ittihad,”identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu”. Sufi bersangkutan, karena fana’nya telah tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan. Dengan fana’nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada Tuhan dapat dilihat dari Syahadat yang diucapkannya. Syahadat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittihad.[16]
Syathahat adalah ucapan-ucapannya yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada dipintu-pintu gerbang ittihad. Ucapan-ucapan yang demikian belum pernah didengar dari sufi sebelum Abu Yazid, umpamanya:
“aku tidak heran terhadap cintaku kepada-Mu
Karena aku adalah hamba yang hina
Tetapi aku heran terhadap cinta-Mu kepadaku
Karena engkau adala raja maha kuasa”[17]    



4.      Abu Manshur al-Hallaj
a.       Biografi
Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/ 855 M. Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Pada usia 16 tahun, ia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin Abdullah At-tusturi di Ahwaz. Dua tahun kemudian , ia pergi ke Bashroh dan berguru pada ‘Amr Al-Maliki yang juga seorang sufi, dan pada tahun 878 M, Ia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada al-Junaid. Setelah itu ia pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain. Ia diberi gelar al-Hallaj karena penghidupannya yang diperoleh dari memintal wol.[18]
Dalam sebuah perjalanan dan pengembaraannya ke berbagai kawasan islam, al-Hallaj banyak memperoleh pengikut. Ia kemudian kembali ke Baghdad pada Tahun 296 H/ 909 M. Di Baghdad pengikutnya semakin bertambah banyak karena kecaman-kecamannya terhadap kebobrokan pemerintah yang berkuasa pada waktu itu. secara kebetulan ia bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nashr al-Qusyairi, yang mengingatkan sistem usaha yang baik, pemerintahan yang bersih.
Al-Hallaj selalu mendorong sahabatnya pelakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi. Gagasan “pemerintahan yang Bersih” dari Nashr Al-Qusyairi dan Al-Hallaj ini jelas berbahaya karena Khalifah boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang nyata dan hanya merupakan lambang saja. Pada waktu yang sama, aliran-aliran keagamaan dan tasawuf tumbuh dengan subur. Pemerintah sangat khawatir terhadap kecaman-kecamannya yang sangat keras dan pengaruh sufi terhadap pengaruh politik . oleh karena itu, ucapan al-Hallaj “ana al-Haqq”, yang konon tidak bisa dimaafkan para ulama fiqh dan dianggap sebagai ucapan kemurtadan, dijadikan alasan untuk menangkap dan memenjarakannya. Setahun kemudian, ia dapat meloloskan diri dari penjara berkat pertolongan sopir penjara, akan tetapi setelah 4 tahun ia ditangkap lagi di kota Sus.
Setelah dipenjara selama 8 tahun, Al-Hallaj dihukum gantung. Sebelum digantung, ia dicambuk seribu kali tanpa mengaduh kesakitan, lalu dipenggal kepalanya. Akan tetapi, sebelum dipancung, ia meminta waktu untuk shalat dua raka’at. Setelah itu, kaki dan tangannya dipotong, badannya digulung dalam tikar bambu lalu dibakar dan abunya dibuang ke sungai, sedangkan kepalanya dibawa ke Khurasan untuk dipertontonkan. Al-Hallaj wafat pada tahun 922 M. Kematian tragis al-Hallaj yang tampak seperti dongeng tidak membuat gentar pada pengikutnya. Ajarannya masih tetap berkembang. Terbukti setelah satu abad kematiannya, di Irak ada 4000 orang yang menamakan dirinya Hallajiyah. Disisi lain, pengaruhnya sangat besar terhadap pengikutnya. Ia dianggap mempunyai hubungan dengan gerakan Qaramitah. [19]












b.      Pemikiran Abu Manshur al-Hallaj
Di antara ajaran Al-Hallaj yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat as-syudut yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud  (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibnu ‘Arabi . Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan Tuhan (hulul). Kata al-hulul, berdasarkan pengertian bahasa berarti menempati suatu tempat . adapun menurut istilah ilmu tasawuf al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. 
Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia terdapat sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan ayat yang artinya :
“dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam!’ maka merekapun sujud, kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan kafir.” (Q.S Al-Baqarah : 34).
Pada ayat di atas, Allah memberi perintah kepada malaikat untuk bersujud kepada Adam. Karena yang berhak diberi sujud hanya Allah SWT. Al-Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsur ketuhanan. Ia berpendapat demikian karena sebelum menjadikan makhluk, Tuhan melihat Dzat-Nya, cinta yang tidak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab dari yang banyak in. Ia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk copy diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk copy ini adalah Adam. Pada diri Adamlah Allah SWT muncul.
Menurut al-Hallaj, pada hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak Ilahi sehingga setiap kehendaknya adlah kehendak Tuhan. Demikian juga tindakannya. Pada pihak lain, al-Hallaj mengatakan,
“Barang siapa yang mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, kafirlah ia. Sebab, Allah SWT mandiri dalam Dzat maupun Sifat-Nya dari Dzat dan Sifat makhluk. Ia tidak sekali-kali menyerupai makhluk-Nya dan merekapun tidak sekali-kali menyerupai-Nya,”
Dapat ditarik kesimpulan bahwa hulul yang terjadi pada al-Hallaj tidaklah real karena memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara Hamba dan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang terjadi hanya kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana’, yaitu menurut ungkapannya, sekedar terlebarnya nasut dalam lahut, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan, seperti dalam syairnya, air tidak dapat menjadi anggur meskipun keduanya telah bercampur. [20]


















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini dapat disimpulkan bahwa, di samping ada tasawuf yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan, dan perkataan yang benar, yang dinamakan tasawuf akhlaqi, ada juga tasawuf yang mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi, yang di sebut tasawuf irfani. Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungaan antarmanusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi.
Terdapat banyak tokoh yang termasuk tokoh tasawuf irfani, diantaranya Rabi’ah Al-Adawiyah, yang tercatat dengan perkembangan mistisme Islam sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta (mahabbah) kepada Allah. Dzu An-Nun Al-Mishri, yang terkenal sebagai pelopor paham makrifat. Abu Yazid Al-Bustami dengan ajaran tasawuf terpentingnya adalah fana’ dan baqa’. Abu Manshur Al-Hallaj, dengan ajaran taswufnya yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibn ‘Arabi.










DAFTAR RUJUKAN

Abu al-Wafa’ al-Ghanimi at-Taftazani, 1995 ,sufi dari zaman ke zaman, terj. Ahmad Rofi’, Bandung: Pustaka.
al-Aththar Fariduddin,1983. Warisan para aulia, bandung: Pustaka.
Alba Cecep, 2012. Tasawuf dan Tarekat (Dimensi Esoteris Ajaran Islam), PT. Remaja Rosdakarya.
al-Kalabadzi Muhammad, 1990, at- Ta;aruf li madzhab ahl at- Tashawuf.
Anwar Rosihan, 2010,  Akhlak Tasawuf , Bandung : CV Pustaka Setia
Asmaran, 2002, pengantar Tasawuf edisi Revisi, jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Jamil, 2013. Akhlak Tasawuf, Medan:Referensi..
M.M Syarif, 1996. A History of Muslim Philosophy, Otto Harrassowitz.Wiesbadden, Vol. I.
Nasution Harun,1973, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Raizha Gafna, 2003. Warisan Para Sufi, Yogyakarta : Pustaka Sufi.
Ruslin Ris’an, 2013. Tasawuf dan Tarekat , Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
Ryandi, 2015. Epistimologi Irfani dalam Tasawuf.  Analytica Islamica, Vol. 4, No. 1.
Thusi,1998. warisan para aulia, pustaka: bandung.

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN TOKOH TASAWUF IRFANI
Makalah Ini Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah
Filsafat Islam dan Tasawuf
Dosen Pengampu:
Dr. H. Mohammad Asrori, M. Ag.

Description: F:\s2 uin\logo warna.png

Penyusun:
Solehah Muchlas       17770028

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
12 April 2018



[1] Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat (Dimensi Esoteris Ajaran Islam), (PT. Remaja Rosdakarya:2012), h.46.
[2] Gafna Raizha , Warisan Para Sufi,(Yogyakarta : Pustaka Sufi,2003), hlm.73
[3] Ryandi. Epistimologi Irfani dalam Tasawuf. ( Analytica Islamica, Vol. 4, No. 1, 2015),h. 84-105.
[4] Rosihan Anwar, Akhlak Tasawuf , (Bandung : CV Pustaka Setia, 2010) , h.253-254.
[5] Asmaran, “pengantar Tasawuf edisi Revisi”, (jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2002), h. 275.
[6] Ibid, h.278.
[7]  Jamil, Akhlak Tasawuf, (Medan:Referensi,2013)  hlm.121-122.
[8] Thusi, warisan para aulia, (pustaka, bandung: 1998),h.68.
[9] Ris’an Ruslin, Tasawuf dan Tarekat , (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2013), h.54.
[10] Ibid, h.66-67.
[11] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi at-Taftazani, sufi dari zaman ke zaman, terj. Ahmad Rofi’ (Bandung: Pustaka,1995), h. 86.
[12] Fariduddin al-Aththar, Warisan para aulia, (bandung: Pustaka, 1983), h. 128.
[13] Ibid, h.128.
[14] M.M Syarif, 1996. A History of Muslim Philosophy, Otto Harrassowitz.Wiesbadden, Vol. I, h. 342.
[15] Abu bakar Muhammad al-Kalabadzi, at- Ta;aruf li madzhab ahl at- Tashawuf, (1990), h. 147.
[16] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h.83.
[17] Ibid, h.84.
[18] Rosihan Anwar, Akhlak Tasawuf …, h. 267.
[19] Ibid, h.271.
[20] Ibid, h.273-274.

No comments:

Post a Comment