Friday, December 5, 2014

FATIMIYAH DAN PERANNYA DALAM PENGEMBANGAN PERADABAN MESIR




  
  
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I       PENDAHULUAN ...............................................................................
1.1  Latar Belakang........................................................................... .1
1.2  Rumusan Masalah....................................................................... 2..  
1.3  Tujuan ........................................................................................ .2
BAB II      PEMBAHASAN …...........................................................................
2.1 Riwayat hidup Ibnu sina........................................................... 3
2.2  Pemikiran Ibnu sina tentang pendidikan................................... 5
       a.   Tahapan masa-masa menurut Ibnu sina................................6
       b.   Pandangan Ibnu sina tentang  pendidikan.............................8
       c.   Komunikasi dengan ilmuwan pada masanya.......................10
2.4 Hubungan pemikiran pendidikan islam dan pendidikan Nasional.....11     

BAB III    PENUTUP .........................................................................................
3.1  Kesimpulan...................................... ............................ ............... 13           
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….... 









FATIMIYAH DAN PERANNYA DALAM PENGEMBANGAN PERADABAN MESIR

A.    PENDAHULUAN
Dinasti Fatimiyah  atau disebut juga al-Fathimiyyun  adalah satu-satunya Dinasti Shi’ah dalam Islam yang penamaannya dinisbatkan kepada Fatimah al-Zahra, putri nabi Muhammad SAW.  Kebangkitan Dinasti ini berasal dari suatu tempat yang kini dikenal sebagai Tunisia (Ifriqiyyah) ketika Dinasti Abbasiah di baghdad mulai melemah. Dinasti Fatimiyah ini adalah salah satu dinasti Islam yang beraliran Syi’ah Isma’iliyah yang lahir di Afrika utara pada tahun 909 M setelah mengalahkan Dinasti Aghlabiyah di Sijilmasa.
Dalam sejarah, kejayaan Dinasti Fatimiyah datang setelah pusat kekuasaanya dipindahkan dari tunisia (al-Mahadiah) ke Mesir. Kekhalifahan Fatimiyah lahir sebagai manisfestasi dari idealisme orang-orang Syi’ah yang beranggapan bahwa yang berhak memangku jabatan imamah adalah keturunan dari Fatimah binti Rosulullah. Kekhalifahan ini lahir di antara dua kekuatan politik kekhalifahan, Abbasiah di Baghdad, dan Umayyah II di Cordova.
Sebenarnya golongan Syi’ah sudah lama mencita-citakan berdirinya kekholifahan sejak pudarnya kekhalifahan Ali bin Abi Tholib di Kufah. Mereka selalu mendapat tekanan-tekanan politik semasa periode Kekhalifahan Umayah maupun Abbasiah. Dalam kegiatan politiknya, mereka melakukan gerakan taqiyah yang kelihatannya taat terhadap penguasa tetapi sebenarnya mereka menyusun kekuatan secara diam-diam.
Adapun Loyalitas terhadap Ali bin Abi Thalib adalah isu terpenting bagi komunitas Syi’ah untuk mengembangkan konsep Islamnya, melebihi isu hukum dan mistisme. Pada abad ke- VII dan ke- VIII M, isu tersebut mengarah kepada gerakan politis dalam bentuk perlawanan kepada Khalifah Umaiyah dan Khilafah Abbasiyah. Meski Khilafah Abbasiyah mampu berkuasa dalam tempo yang begitu lama, akan tetapi periode keemasannya hanya berlangung singkat. Puncak kemerosotan kekuasaan khalifah-khalifah Abbasiyah ditandai dengan berdirinya khilafah-khilafah kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan politik Khalifah Abbasiyah.
Khilafah-khilafah yang memisahkan diri itu salah satu diantaranya adalah Fatimiyah yang berasal dari golongan Syi’ah sekte Ismailiyah, yakni sebuah aliran sekte di Syi’ah yang lahir akibat perselisihan tentang pengganti imam Ja’far al-Shadiq yang hidup antara tahun 700-756 M. Fatimiyah hadir sebagai tandingan bagi penguasa Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang tidak mengakui kekhalifahan Fatimiyah sebagai keturunan Rasulullah dari Fatimah. Karena mereka menganggap bahwa merekalah ahlul bait sesungguhnya dari Bani Abbas.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan membahas tentang pusat peradaban Islam di mesir dengan penglima perang dinasti Fatimiyah.
B.     SUBSTANSI KAJIAN
1.         Peran Fatimiyah dalam Pengembangan Peradaban Mesir
a.         Berdirinya Dinasti Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah  atau disebut juga al-Fathimiyyun  adalah satu-satunya Dinasti Shi’ah dalam Islam yang penamaannya dinisbatkan kepada Fatimah al-Zahra, putri nabi Muhammad SAW.  Kebangkitan Dinasti ini berasal dari suatu tempat yang kini dikenal sebagai Tunisia (Ifriqiyyah) Kemunculan Dinasti ini seperti yang dikatakan  JJ. Sounders adalah diakibatkan oleh tuntutan Imamah sebagai Khalifah atau pengganti Rasulallah setelah wafat. Lebih jauh ia mengatakan gerakan Shi’ah tersebut merupakan sebuah protes politik terhadap penguasa. dan sebagai tandingan bagi penguasa dunia Islam pada saat itu yang terpusat di Baghdad. Protes politik tersebut dilakukan dengan jalan konfrontasi, sehingga para penguasa (Mu’awiyah dan Abbasiyah) tidak ragu-ragu membunuh keluarga Ahl al-Bayt dan mengintimidasi para pengikutnya[1]
Salah satu sekte Shi’ah yang mampu menampakkan diri pada abad X M. Tepatnya mulai 5 Januari 910 M/ 297 H. hingga 1171M / 567 H.[2] adalah Shi’ah Isma’iliyah. Sekte Shi’ah ini menisbatkan dirinya kepada Imamiyah dan menyetujui penetapan ke enam para Imam yang pertama dari dua belas Imam. Menurut mereka, sesudah Ja’far al-Shadiq (Imam ke enam), Imamah tidaklah berpindah kepada putranya yang bernama Musa al-Kazim, akan tetapi berpindah kepada puteranya yang lain yakni Isma’il. Karena itulah mereka disebut dengan sekte Shi’ah Isma’iliyah. Namun para Imam yang mereka yakini dari garis keturunan Isma’il tersebut tidak pernah muncul, justru yang muncul hanyalah juru dakwah (propagandis/ misionaris). Oleh karena itu, para Imam tersebut dinamakan al-Aimmah al-Masturun. Para Imam Isma’iliyah baru akan muncul kembali setelah keadaan mereka bertambah kuat di Afrika utara pada tahun 297 H. / 909 M.[3]
a)        Peradaban Mesir Kuno

Mesir merupakan satu-satuna pusat kebudayan tertua di Benua Afrika yang verasal dari tahun 4000 SM. Hal ini diketahui melalui penemuan sebuah batu tulis di daerah Rosetta oleh pasukan Perancis yang di pimpin Napoleon Bonaparte. Batu tulis itu berhasil dibaca oleh seorang Perancis yang bernama Jean Francois Champollion (1800) sehingga sejak tahun itu terbukalah tabir sejarah Mesir Kuno yang berasal dari tahun 4000 SM.
Peradapan mesir kuno didasari atar control keseimbangan yang baik antara sumber daya alam dan manusia, ditandai terutama oleh:
1)      Irigasi teratur terhadap Lembah Nil
2)      Eksploitasi mineral dari lembah dan wilayah gurun di sekitarnya
3)      Perkembangan awal system tulisan dan literature independen
4)      Organisasi proyek kolektif

b)        Letak Geografis

Daerah Mesir terletak di bagan utara Benua Afrika. Di sebelah utara berbatasan dengan Laut Tengah, di sebelah timur berbatasan dengan Laut Merah, di sebelah selatan berbatasan dengan Sudan dan disebelah barat berbatasan dengan Libya.
Berkat adanya Sungai Nil, daerah Mesir menjadi daerah yang sangat subur. Sungai Nil bersumber dari suatu mata air yang terletak jauh di tanah tinggi Afrika Timur. Sungai Nil mengalir ke utera dan setiap tahun mendatangkan banjir. Banjir inilah yang mengubah pandang pasir menjadi lembah-lembah ang subur. Lembah-lembah itu antara 15km sampai 50 km. Herodotus ( ahli sejarah yunani) menjuluki daerah Mesir hadiah dari Sungi Nil. Dimuara Sungai Nil terdapat ruatu delta yang luas dan disitulah terletak kota-kota penting seperti Kairo, Iskandaria, Abusir, dan Rosetta.


c)         Sejarah Masuknya Islam di Mesir
Mesir merupakan negara Islam yang cukup besar di Afrika. Jumlah penduduknya 41.990.000 jiwa, sebagian besar penduduknya beragama Islam, sedangkan sisanya 3 juta jiwa beragama Kristen.
Pada masa Khalifah Umar Bin Khattab, Mesir dalam penjajahan bangsa Romawi Timur, dan yang menjadi Gubernur Mesir pada saat itu ialah Mauqauqis. Pada saat itu bangsa Mesir sangat menderita karena penjajahan yang tidak kenal belas kasihan. Oleh Karena itu, Amr Bin Ash selaku panglima perang mengusulkan kepada Khalifah Umar Bin Khattab untuk membebaskan Mesir dari penjajahan Romawi. Usul ini diterima dan pasukan Islam yang membawa 4000 orang siap membebaskan Mesir. Pasukan yang dipimpin Amr ini memasuki daerah Mesir melalui padang pasir terus mamasuki kota kecil bernama Al Arisy, dengan mudah pasukan islam menaklukan kota itu. Dari situ pasukan Islam memasuki kota Al Farma. Di kota ini pasukan Islam mendapat perlawanan. Amr Bin Ash memerintahkan untuk mengepung kota ini dan setelah 1 bulan kota ini berhasil direbut. [4]
Dari kota itu pasukan Islam melanjutkan ke kota Bilbis. Di sini pasukan Islam mendapat bantuan dari rakyat Mesir. Di kota ini pasukan islam menangkap putri Mauqauqis yang terkenal sebagai pelindung rakyat Mesir. Putri ini diantar kerumahnya dengan segala hormat. Dari kota Bilbis pasukan Islam menuju ke Tondamis yang terletak di tepi sungai Nil.
Di sini Amr Bin Ash mendapat kesulitan karena banyak pasukan sudah gugur dan pasukan yang masih hidup merasakan rasa lelah yang luar biasa. Amr Bin Ash pun meminta bantuan ke Khalifah Umar Bin Khattab. Kepada pasukan yang ada Amr Bin Ash memberikan pidato yang berapi-api sehingga pasukan Islam dapat menghancurkan benteng Tondamis dan melanjutkan ke kota Ainu Syam, di perjalanan kota ini pasukan Islam baru mendapat bantuan sebanyak 4000 orang. Setelah Ainu Syam dapat ditaklukan pasukan Islam mempersiapkan penyerangan ke benteng Babil. Selama 7 bulan benteng Babil dikepung dan akhirnya benteng terbaru di Mesir dapat di kuasai.
Setelah itu pasukan Islam merebut kota Iskandaria, maka diadakan perjanjian antara Amr Bin Ash dan Mauqauqis dan sejak itu Mesir menjadi daerah Islam sepenuhnya. Nama Amr Bin Ash diabadikan menjadi nama mesjid tertua di Mesir.
d)        Gerakan Syi’ah Isma’iliyah
Kelahiran dinasti ini dimulai dengan adanya gerakan dari cabang kaum Syi’ah Imamiyah – yaitu Syi’ah Isma’iliyah – yang bereaksi terhadap khalifah-khalifah Abbasiyah yang mengadakan penyelidikan kepada kaum Syi’ah Isma’iliyah. Penyelidikan itu mengharuskan golongan yang setia kepada Isma’il bin Ja’far harus meninggalkan kota kecil di wilayah Hamah daerah Syria menuju Afrika Utara.
Kaum Syi’ah Isma’iliyah itu sendiri muncul karena berselisih paham dengan Syi’ah Imamiyah tentang imam yang ketujuh. Menurut kaum Imamiyah, imam yang ketujuh adalah Putra Ja’far yang bernama Musa al-Kazhim, sedangkan menurut Isma’iliyah imam yang ketujuh adalah Putra Ja’far yang bernama Isma’il. Sehingga meskipun Isma’il sudah meninggal, kaum Isma’iliyah tidak mau mengakui penobatan Musa al-Kazhim sebagai imam. Menurut mereka hak atas Isma’il sebagai imam tidak dapat dipindahkan kepada yang lain walaupun sudah meninggaL.[5]
Pemimpin gerakan Syi’ah Isma’iliyah adalah Abu Abdullah al-Husain. Berkat propagandanya yang penuh semangat, Abu Abdullah al-Husain berhasil menarik suku Barbar yang terkenal keras, khususnya dari kalangan suku Khithamah, menjadi pengikut setia gerakan ini.
e)         Penobatan Ubaidillah al-Mahdi

Setelah memperoleh banyak dukungan dan berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara, Abu Abdullah al-Husain menobatkan Sa’id ibn Husain al-Salamiyah sebagai penggantinya. Selanjutnya Sa’id berhasil merebut kekuatan dan berhasil mengusir penguasa dinasti Aghlabiyah yang terakhir yaitu Ziyadatullah III dari Tunisia disusul dengan pendudukannya pada tahun 909 M. Inilah awal berdirinya Dinasti Fatimiyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh Sa’id Husain al-Salamiyah yang bergelar “Ubaidillah al-Mahdi”[6]

f)          Ideologi Dinasti Fathimiyah

Nama Fathimiyah dinisbatkan kepada Fatimah al-Zahra yaitu putri Nabi Muhammad Saw yang juga merupakan istri Ali Ibn Abi Thalib ra. Ubaidaillah al-Mahdi mengaku sebagai keturunan Ali ra dan Fatimah RA melalui garis Isma’il, putra Ja’far al-Shadiq.[7] Penisbatan ini memperkuat klaim dan legitimasi dinasti ini yang menganggap bahwa merekalah yang sebenarnya paling berhak mengambil kendali dan memerintah seluruh kerajaan Islam. Di samping itu berdirinya Dinasti Fathimiyah jelas-jelas merupakan tandingan bagi Dinasti Abbasiyah yang sedang berkuasa.

Setelah resmi mengukuhkan diri sebagai dinasti baru, Fathimiyah memulai pekerjaannya dengan mengambil kepercayaan umat Islam bahwa mereka adalah benar-benar keturunan Fathimah putri Rasul dan istri Ali bin Abi Thalib. Mereka mengklaim bahwa mereka memiliki hak dari Tuhan untuk berkuasa.

Dinasti Fathimiyah mengklaim sebagai pemimpin Islam yang sebenarnya. Fathimiyah mewakili simbolisme otoritas politik Abbasiyah, Bizantium, filsafat, dan Isma’iliyah. Mereka menegaskan bahwa mereka adalah imam-imam yang sebenarnya; dengan demikian mereka memutuskan hubungan dengan tradisi Syi’ah yang tengah berkembang sebelumnya bahwa Imam Syi’ah adalah tersembunyi.[8]

Pencitraan diri sebagai kekhalifahan dan institusi imamah yang sah merupakan tanda untuk menegaskan keberlanjutan otoritas politik dan spiritual yang dimiliki nabi karena Syi’ah Isma’iliyah sebagai pendiri Dinasti Fathimiyah menunjukkan  keyakinan bahwa kepala negara yang sah adalah wakil Tuhan di muka bumi.






g)        Perluasan Wilayah Kekuasaan
Ubaidillah menegakkan pemerintahannya di istana Aghlabiyah, yaitu di Raqqadah yang terletak di pinggiran kota Kairawan. Ia membuktikan dirinya sebagai penguasa yang paling mampu dan berbakat. Ia memperluas kekuasaannya sampai hampir meliputi wilayah Afrika, dari Maroko sampai perbatasan-perbatasan Mesir[9]
Setelah wafat tahun 934 M, Ubaidillah al-Mahdi digantikan oleh putranya Abu al-Qasim dengan gelar al-Qa’im selama 15 tahun. Pada tahun 934 atau 935 Al-Qa’im mengirim armadanya untuk menyerbu Pantai Utara Prancis, dan berhasil menguasai Genoa dan sepanjang pesisir Calabria.
Al-Qa’im meninggal pada tahun 949 M ketika berusaha menaklukkan Mesir. Pengganti beliau adalah putranya bernama al-Mansyur. Al-Manshur berhasil mengalahkan pasukan Abu Yazid Makad di Mesir.[10] Setelah meninggal beliau digantikan oleh Abu Tamim Ma’ad yang bergelar al-Mu’iz.
h)         Qahirah Menjadi Ibu Kota
Pada masa pemerintahan al-Mu’iz, Dinasti Fathimiyah berhasil menaklukkan Maroko, Sisilia, Mesir, Palestina, Suriah, dan Hijaz. Periode Dinasti Fathimiyah di Mesir dimulai ketika Jauhar, komandan pasukan al-Mu’iz (Imam Syi’ah Dinasti Fathimiyah untuk periode 953-975), kepala perang yang gagah berani asal Sicilia, menaklukkan negeri itu dan memasuki ibu kotanya Fusthat pada tahun 969. Ia berhasil merampasnya dari keturunan Ikhsyid. Keturunan Ikhsyid tidak dapat mempertahankan kekuatannya, sehingga terpaksa melarikan diri
Setelah menduduki kota Fusthat, dia membangun kota baru dengan nama ‘al-qahirah’ yang berarti ‘gagah perkasa’ sebagai lambang kemenangannya[11] Di Mesir, yang telah direbutnya dalam waktu singkat, Jauhar memiliki tugas utama, yaitu:
a.    Mendirikan ibu kota baru yaitu Kairo
b.    Membina suatu universitas Islam yaitu Al-Azhar
c.    Menyebarluaskan ideologi Fathimiyah yaitu Syi’ah ke Palestina, Syria, dan Hijaz.[12]
Setelah empat tahun dikuasai, barulah al-Mu’iz datang ke Mesir, tepatnya tahun 973 M dengan terlebih dahulu memasuki kota Iskandariyah. Di Iskandariyah beliau disambut dengan upacara besar oleh penduduk, selanjutnya beliau memasuki Qahirah. Tiga tahun kemudian al-Mu’iz meninggal dan digantikan oleh putranya al-Aziz.
b.        Para Penguasa Dinasti Fatimiyah
Dari metode pergantian khalifah, dapat dikatakan bahwa bentuk pemerintahan pada masa dinasti Fathimiyah adalah berbentuk monarki atau sistem kerajaan, yaitu sistem pergantian kepala negara atau pemerintahan secara turun menurun. Didalam perjalanan pemerintahannya, Daulah Fathimiyyah melalui dua fase, yaitu:
1.      Fase Konsolidasi (969-1021 M)
Pada fase ini sempat terjadi perang saudara antara Turki dan Barbar, yang keduanya merupakan kelompok yang turut mendirikan Dinasti Fathimiyyah. Barbar memberikan dukungan sepenuhnya kepada Daulah Fathimiyyah karena awalnya Barbar-lah yang mengusai anggota pemerintahan. Banyak diantara bangsa Barbar yang diangkat menjadi pemerintahan. Keadaan ini berlangsung sampai masa pemerintahan Al – Muizz li Dinillah. Sedangkan pada masa pemerintahan Az Zahir dan Al – Munthasir Khalifah lebih dekat dengan keturunan Turki. Sehingga muncullah dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar, sejak saat itulah Barbar kehilangan kedudukan dalam pemerintahan. Untuk lebih mengenal keadaan dalam fase ini, baik tentang pemimpin/Khalifah, roda pemerintahan, kebijakan pemerintah, dan situasi yang dihadapinya, akan dijelaskan sebagai berikut :
1)   Al-Mahdi ( 909-934 M. / 297-322 H. )
Penguasa sekaligus pendiri Dinasti Fatimiyah ini mempunyai nama asli  Sa’id bin al-Husayn al-Salmiyah dengan gelar Ubayd Allah al-Mahdi yang menegakkan pemerintahannya di istana Aghlabiyah yaitu Raqqadah (terletak di pinggiran kota Qairawan) setelah dapat mengusir Ziyadatullah pada tahun 909 M/297 H., penguasa Aghlabi yang terakhir.[13] Al-Mahdi merupakan penguasa fathimiyah yang cakap. Dua tahun semenjak penobatannya, ia menghukum mati pimpinan propagandanya yakni Abu Abdullah Al-Husain karena terbukti bersekongkol dengan saudaranya yang bernama Abdul Abbas untuk melancarkan perebutan jabatan khalifah. Kemudian Al-Mahdi melancarkan gerakan perluasan wilayah kekuasaan ke seluruh Afrika yang terbentang dari mesir sampai dengan wilayah Fes Maroko. Pada tahun 914 M, ia menduduki Alexandria. Kota-kota lainnya seperti Malta, Syria, Sardinia, Corsica, dan sejumlah kota lain jatuh ke dalam kekuasaannya.[14]
Al-Mahdi ingin menaklukan Spanyol dari kekuasaaan Umayyah. Oleh karena itu, ia menerima hubungan persahabatan dan kerja sama dengan Muhammad bin Hafsun, pimpinan pergerakan pemberontakan di Spanyol. Namun, ambisinya ini belum berhasil sampai ia meninggal dunia pada tahun 934 M.
2)   Al-Qaim ( 934-946 M. / 322-334 H. )
Al-Mahdi wafat pada tahun 934 M./322 H. dan digantikan oleh putra tertuanya Abu al-Qasim yang bergelar al-Qaim bi Amr Allah. Ia meneruskan gerakan ekspansi yang telah dimulai oleh ayahnya. Pada tahun 934 M, ia mengerahkan pasukan dalam jumlah besar ke daerah selatan pantai prancis.Ia adalah pemimpin pemberani, hampir setiap ekspsdisi militer ia pimpin sendiri, sehingga dalam tahun pertama kekhalifannya, ia berhasil menduduki Genoa dan wilayah sepanjang pantai Calabria. Mereka melancarkan pembunuhan, penyiksaan, pembakaran kapal-kapal, dan merampas budak-budak. pada tahun yang sama ia mengerahkan pasukan ke Mesir namun dapat dikalahkan oleh dinasti Ikhsidiyah sehingga mereka terusir dari Iskandariyah. [15]
Di tengah kesuksesannya dalam ekspansi, Al-qa’im mendapat perlawanan dari kalangan khawarij yang melancarkan pemberontakan di bawah pimpinan Abu Yazid makad. Berkali-kali gerakan pemberontak ini mampu menahan serangan pasukan fathimiyah dalam peperangan yang berlangsung hamper tujuh tahun.[16]
Al-Qa’im meninggal dunia pada tahun 946 M. ketika itu sedang terjadi pemberontakan di Susa’ yang dipimpin oleh Abu Yazid. Al-Qa’im digantikan oleh putranya bernama Al-Manshur.
3)   Al-Mansur ( 946-952 M. / 334-341 H. )
Al-Mansur adalah pemuda yang lincah dan berani, ia menggantikan ayahnya dalam usia 27 tahun. Meskipun hanya memerintah selama 7 tahun 6 hari, ia masih bisa menjaga kedaulatan Dinasti Fatimiyah meskipun putra Abu Yazid Makad dan sejumlah pengikutnya senantiasa menimbulkan keributan. Ia juga membangun sebuah kota  di wilayah  perbatasan Susa’ pada tahun 337 H./949M. yang diberi nama al-Mansuriyyah,
4)   Al-Mu’izz ( 952-975 M. /341-365  H. )
Setelah al-Mansur meninggal dunia pada hari Jum’at akhir Shawal 341 H/952 M., ia digantikan putranya, Abu Tamim Ma’ad dengan gelar al-Mu’izz li Din Allah. Penobatan  al-Mu’izz sebagai khalifah keempat menandai era baru Dinasti Fatimiyah, karena di samping pusat pemerintahan sudah berpindah dari al-Mahdiyah ke al-Qahirah yang dibangun oleh panglima perangnya, Jawhar al-Siqilli (al-Saqali).
Banyak keberhasilan yang dicapainya, pertama kali ia menetapkan untuk mengadakan peninjauan ke seluruh penjuru wilayah kekuasaan-nya untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya. Selanjutnya, Mu’iz menetapkan langkah-langkah yang harus ditempuh demi terciptanya keadilan dan kemakmuran. Ia menghadapi gerakan pemberontakan secara tuntas hingga mereka bersedia tunduk ke dalam kekuasaan Mu’iz. Mu’iz menempuh kebijakan damai terhadap para pimpinan dan gubernur dengan menjanjikan penghargaan kepada mereka yang menunjukkan loyalitasnya. Oleh karena itu, dalam tempo singkat, masyarakat seluruh negeri mengenyam kehidupan yang damai dan makmur.
Setelah berhasil dalam program konsolidasi, Mu’iz mengerahkan perhatiannya pada program ekspansi kekuasaan. Ketika itu di spanyol sedang terjadi permusuhan antara Abdur Rahman III dan penguasa franka, maka Mu’iz memanfaatkan kesempatan ini dengan mengerahkan ekspansi militer ke Maroko dengan pimpinan Jauhar. Gubernur umayah gagal mempertahankan wilayah ini sehingga maroko diduduki pasukan Mu’iz.
Penaklukan Mesir merupakan cita-cita terbesar gerakan ekspansi Mu’iz. Mu’iz telah lama menanti datangnya kesempatan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Maka ketika Mesir dilanda kerusuhan serius pada tahun 968 M. Mu’iz segera memerintahkan Jauhar untuk mengerahkan menaklukan Mesir. Pada tahun 968 m, jauhar berhasil menduduki Fusfat tanpa suatu perlawanan. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Dinasti Fathimiyah. Jauhar segera membangun kota Fusfat menjadi kota baru dengan Qahirah (Kairo). Semenjak tahun  973 M kota ini dijadikan sebagai ibu kota pemerintahan Dinasi Fathimiyah. Selanjutnya Mu’iz mendirikan masjid Al-Azhar. Masjid ini oleh khalifah Al-Aziz dijadikan sebagai pendidikan tinggi Al-Azhar.  Universitas Al-Azhar yang berkembang di masa sekarang ini bermula dari pendidikan tinggi ini.[17]
Khalifah Mu’iz meninggal pada tahun 975 M, setelah memerintah selama 23 tahun. Ia merupakan khalifah yang terbesar. Ia adalah pendiri dinasi fathimiyah di Mesir. Kecakapannya sebagai negarawan terbukti oleh perubahan fathimiyah sebagai dinasi kecil menjadi imperium besar.



5)   Al-‘Aziz ( 975-996 M. / 365-386 H. )
Abu Mansur Nizar (lahir pada tahun 344 H./954 M.) menggantikan ayahnya pada bulan Rabi’ al-Awwal 365 H. memasuki  tahun ke-22 dari umurnya dengan gelar al-‘Aziz bi Allah, ia terkenal sangat pemurah dan bijaksana bahkan terhadap musuh-musuhnya sekalipun. Puncak kekuasaan Dinasti Fatimiyah adalah pada saat pemerintahannya yang meliputi dari wilayah Euprat sampai Atlantik, melampaui kekuasaan dinasti Abbasiyah di Baghdad yang sedang memasuki masa kemunduran dibawah kekuasaan Buwaihiyah
Dalam pemerintahannya, ia sangat liberal dan memberi kebebasan kepada setiap agama untuk berkembang, kerukunan antar umat beragama terjalin dengan sangat baik, bahkan seorang wazirnya, Isa ibn Nastur adalah beragama kristen dan Manasah seorang Yahudi menjadi salah seorang pejabat tinggi di istananya. Pembangunan fisik dan seni arsitektur merupakan lambang kemajuan pemerintahannya, karena ia juga ahli Sha’ir dan pendidikan seperti The Golden Palace, The Pearl Pavillion dan masjid Karafa, masjid al-Azhar dijadikan al-Jami’ah/Universitas.
6)   Al-Hakim ( 996-1021 M. / 386-411 H. )
Al-‘Aziz digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Ali  Mansur (lahir pada bulan Rabi’ al-Awwal 875 H./985 M.) dengan gelar al-Hakim bi Amr Allah yang masih berumur 11 tahun. Selama tahun-tahun pertama, ia berada dibawah pengaruh Gubernurnya yang bernama Barjawan yang sedang terlibat koinflik dengan panglima militer Ibn ‘Ammar, setelah berhasil menyingkirkan sang panglima, Barjawan menjadi pelaku utama dalam pemerintahannya meskipun pada tanggal 26 Rabi’ Al-Thani 390 H./1000 M. Bajarwan dibunuh karena tuduhan penyalah-gunaan kekuasaan negara. Pemerintahannya ditandai dengan tindakan-tindakan kejam yang menakutkan, ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja, orang kristen dan orang yahudi harus memakai jubah hitam dan hanya dibolehkan menunggangi keledai, ia mengeluarkan maklumat untuk menghancurkan seluruh gereja  di Mesir dan menyita tanah serta seluruh harta kekayaan mereka sehingga mereka merasa kehilangan hak-haknya sebagai warga negara.
Prestasi besar dalam pemerintahannya adalah pembangunan sejumlah masjid, perguruan-perguruan dan pusat observatorium astrologi, tahun 395 H./1005 M. ia merampungkan pembangunan Dar al-Hikmah sebagai sarana penyebaran ajaran-ajaran Shi’ah dan pada tahun 403 H./1013 M.. ia mendirikan al-Jam’iyyah al-‘IlmiyyahAkademia” dari berbagai disiplin ilmu seperti Fiqh, mantiq, Filsafat, matematika, kedokteran dan lainnya, setelah itu seluruh kitab yang ada di Dar al-Hikmah ia pindahkan ke masjid al-Azhar. Tetapi pada tangaal 13 Pebruari 1021 M./411 H. Ia terbunuh di Mukatam, kemungkinan konspirasi yang dipinpin oleh adik perempuannya yang bernama Sitt al-Mulk yang telah diperlakukan tidak hormat oleh khalifah.
7)    al-Zahir ( 1021-1035 M. / 411-427 H. )
Al-Hakim digantikan oleh putranya  yang bernama Abu Hashim dengan gelar al-Zahir li I’zaz din Allah (lahir 10 Ramad}an 395 H./1005 M.), ia naik tahta pada usia 16 tahun sehingga pemerintahannya dipegang oleh bibinya Sitt al-Mulk, sepeninggal bibinya (tahun 415 H./1025 M.), ia menjadi raja boneka dari menteri-menterinya.
Peristiwa yang paling terkenang pada masa ini adalah penyelesaian persengketaan kegamaan pada tahun 1025 di mana tokoh-tokoh madzhab Malikiyah diusir dari Mesir. Sekalipun demikian, secara umum Az-zahir cukup toleran terhadap kelompok sunni. Ia bersedia membuat perjanjian dengan kaisar Romawi, yakni kaisar Constantine VIII. Sang kaisar diizinkan membangun kembali gereja Yerusalem yang roboh akibat kerusuhan yang terjadi disana. Ia meninggal pada 1036 M, setelah memerintah selama 16 tahun.
8)   al-Mustansir ( 1035-1094 M. / 427-487 H. )
Al-Zahir diganti oleh anaknya yang bernama Abu Tamim Muhammad dengan gelar al-Mustansir bi Allah, ia menjabat sebagai khalifah selama enam puluh tahun empat bulan yang merupakan pemerintahan terpanjang dalam sejarah. Masa awal pemerintahannya dipegang oleh ibunya, karena ketika dinobatkan sebagai khalifah ia masih berumur tujuh tahun.
Pada masa al-Mustansir, kekuasaan Dinasti Fatimiyah mengalami kemunduran secara drastis, relatif tidak ada perkembangan  kecuali pembangunan teropong bintang, beberapa kali terjadi perebutan perdana menteri dan terjadi pemberontakan dan peperangan seperti Marokko menyatakan bebas dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah pada tahun 443 H., Mekkah dan Madinah memisahkan diri pada tahun 462 H. dan di Yaman nama Khalifah telah tidak disebut-sebut lagi pada waktu khatbah jum’atnya melainkan ia mengantikan dengan menyebut nama khalifah Abbasyiah.  Namun, Al-Mustansir tidak tertarik untuk memerangi Muiz bin Badis di Afrika. Sang khalifah lebih tertarik dengan pemberontakan Al-Bassasiri terhadap pemerintahan Abbasiyah, dan menjadikannya sebagai kesempatan untuk menegakkan kembali kekuasaannya di Asia barat setelah Turghil menegakkan kekuasaan Abbasiyah di wilayah ini.
Sepeninggal Al-Muntasir pada tahun 1095 M, imperium fathimiyah dilanda konflik dan permusuhan. Tidak seorang pun khalifah sesudah Al-Muntasir mampu mengendalikan kemerosotan imperium ini.
9)   Al-Musta’li ( 1094-1101 M. / 487-495 H. )
Putra termuda dari al-Mustansir yaitu Abu al-Qasim Ahmad yang bergelar al-Musta’li bi Allah menduduki jabatan khalifah sepeninggal ayahnya, tetapi putra al-Mustansir yang tertua, Nizar menolak penobatan adiknya lalu ia bangkit di Ikandariyah setelah memecat  Gubernur wilayah tersebut, disana ia memproklamirkan diri sebagai khalifah dengan gelar al-Mustafa li Din Allah. Ketika  al-Musta’li tahu kejadian tersebut, maka al-Malik al-Afdal sebagai orang yang mengangkat al-Musta’li membawa bala tentara untuk menangkap Nizar dan memenjarakannya sampai meninggal.
Dengan kejadian ini, rakyat terpoecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Musta’li dan Nizari. Kaum Nizari Isma’iliyah sebagian berada di Shiria dan sebagian di pegunungan Persia Barat dibawah pinpinan Hassan assabah, gerakan inilah yang kemudian dikenal dengan Asasin yang berasal dari kata Hasyasyin.
10)         Al-Amir ( 1101-1130 M. / 495-524 H. )
Setelah al-Musta’li meninggal dunia, anaknya yang masih berumur lima tahun dinobatkan oleh al-Malik al-Afdal sebagai khalifah dengaan gelar kehormatan al-Amir li Ahkam Allah . al-Malik al-Afdal adalah perdana menteri yang berkuasa secara absolut selama 20 tahun, termasuk ketika al-Amir telah dewasa dan merupakan raja Mesir yang sesungguhnya selama 50 tahun
11)     Al-Hafiz ( 1130-1149 M. / 524-544 H. )
Setelah menjadi korban pembunuhan kelompok Nizariyyah/batiniyyah, sepupunya yang bernama Abu al-Maymun Abd al-Majid al-Hafiz memproklamirkan diri sebagai khalifah. Pemerintahanmya banyak diwarnai dengan perpecahan antara unsur-unsur kemiliteran.
12)         Al-Zafir ( 1149-1154 M. / 544-549 H. )
Setelah kematian al-Hafiz, Putranya yang bernama Abu Mansur Isma’il  dengan gelar al-Zafir. Ia masih berumur tujuh belas tahun ketika dinobatkan menjadi khalifah. Ia adalah seorang pemuda yang tampan dan sembrono yang lebih memikirkan urusan perempuan dan musik dari pada urusan politik dan pertahanan, meskipun sebenarnya ia hanyalah seorang boneka dari seorang wazir dari Kurdistan, Abu al-Hasari bin al-Sallar  yang menyebut dirinya al-Malik al-‘Adil yang kemudian terbunuh dan posisi wazir digantikan oleh Abbas. Pada tahun 1153 M./548 H. al-Zafir dibunuh oleh Nasr ibn Abbas.
13.   Al-Faiz ( 1154-1160 M. / 549-555 H. )
Dua hari setelah kematian al-Zafir, putranya yang masih berumur empat tahun, Abu al-Qasim Isa dinobatkan sebagai khalifah oleh Abbas dengan gelar al-Faiz, khalifah kecil ini meninggal dunia pada usia sebelas tahun, lalu digantikan oleh sepupunya al-‘Adid.

14.   Al-‘Adid ( 1160-1171 M. / 555-567 H. )
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abd Allah al-‘Adid, ia masih berumur sembilan tahun ketika dinobatkan sebagai khalifah yang ke empat belas (khalifah terakhir dari Dinasti Fatimiyah), karena segera disusul penyerangan Almaric, Raja Yerusalem ke Mesir pada tahun 1167 M./562 H. dan terus menerus terjadi perebutan kekuasaan sampai datang  Salah al-Din al-Ayyubi yang menggantikan pamannya, Syirkuh sebagai wazir  pada tahun 1169 M./564 H.

2.      Fase Parlementer
Setelah melalui fase konsolidasi, selanjutnya Dinasti Fathimiyyah memasuki fase parlementer. Suatu fase dimana banyak sekali muncul permasalahan–permasalahan yang rumit sebagai suatu kelanjutan dari kekuasaan/kejayaan yang dicapai pada fase konsolidasi. Masa ini disebut juga dengan “Ahdu Mufuzil Awzara” atau masa pengaruh menteri-menteri mulai dari Az Zahir, sampai dengan Al ‘Adhid.
Pada fase ini memperlihatkan kemunduran tatanan politik, yakni periode peperangan antar fraksi-fraksi militer dan pembagian negeri ini menjadi sejumlah iqta’ yang dikuasai oleh pejabat-pejabat-pejabat militer yang berpengaruh.
Sebuah peperangan telah terjadi dalam fase ini yakni perang Salib. Perang yang terjadi di awal kekuasaan al-Munthasir ini diawali dengan ekspansi yang dilakukan Fathimiyyah dari Mesir sampai ke Palestina dan Syiria.[18]
2.         Masa Kemajuan dan Kemunduran dan Kontribusi Dinasti Fatimiyah Terhadap Peradaban Islam di Mesir
a.    Masa kemajuan
Sejak awal pemerintahannya, Al-Mahdi sudah berusaha menaklukkan Mesir, ia melakukan ekspansi tersebut sampai tiga kali yaitu pada tahun 913 M/301 H. ,919 M./307 H. dan tahun 933 M./321 H yang dipinpin oleh putranya Abu al-Qasim tetapi tidak pernah berhasil. Menurut Hasan Ibrahim
ekspansi tersebut didorong beberapa faktor yang antara lain adalah:
  1. Faktor Ekonomi :  yaitu keadaan alam Mesir yang agraris dan subur serta kaya dengan  beberapa penghasilan dan kerajinan.
  2. Faktor Geografis: letak Mesir yang strategis, jauh dari pusat pemerintahan dawlah Abbasiyah di Baghdad, berada di tengah-tengah timur dan barat, dekat dengan Sham, Palestina dan Hijaz yang merupakan daerah-daerah yang subur dan potensial.
  3. Faktor Politis: Dinasti Fatimiyah mendapat sambutan yang simpatik dari rakyat Mesir.
1.      Bidang Keagamaan
Ketika al-Muiz berhasil menguasai Mesir, di tempat ini berkembang empat madzhab fikih; Maliki, Hanafi, Syafi’I, dan Hanbali. Sedangkan al-Muiz mmenganut faham Syi’ah. Oleh karena itu, al-Muiz mengayomi dua kenyataan ini dengan mengangkat hakim dari kalangan sunni dan syi’ah. Akan tetapi, jabatan-jabatan penting diserahkan kepada ulama’ syi’ah; dan sunni hanya menduduki jabatan-jabatan penting rendah.
Pada tahun 379 M, semua jabatan diberbagai bidang  politik, agama dan militer dipegang oleh Syi’ah. Oleh karena itu, sebagian pejabat Fatimiyah yang sunni beralih ke Syi’ah supaya jabatannya meningkat.[19]
Doktrin Imamah bagi Syi’ah yang dikembangkan oleh pemerintahan syi’ah tidak hanya berkonotasi theologi, tetapi juga berdimensi politis. Para pengikut Syi’ah berpendirian bahwa jabatan Imamah (Khilafah di kalangan Sunni) merupakan hanya Ahl al-Bait, yakni keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah. Oleh karenanya, mereka tidak mau tunduk pada pemerintahan para khalifah tersebut. Selain itu, mereka tidak pernah berhenti memperjuangkan apa yang mereka anggap sebagai haknya itu melalui berbagai jalan termasuk pemberontakan dan peperangan. Berdirinya Dinasti Bani Fathimiyah di Mesir ini juga antara lain dilatarbelakangi oleh doktrin di atas.
Pemerintahan Fathimiyah ini dapat dimasukkan ke dalam model pemerintahan yang bersifat keagamaan. Dalam arti bahwa hubungan-hubungan dengan agama sangatlah kuat, simbol-simbol keagamaan, khususnya. Dalam hubunganya dengan keluarga Ali, sangat ditonjolkan dalam mengurus pemerintahan. Seperti dinyatakan oleh Moh Nurhakim (2003;106-107).[20]
bahwa Fatimiyah membangun masjid-masjid., seperti Al Azhar dan Al Hakim, dengan menara serta kubahnya vang menjulang bagaikan ketinggian para Imam, dan mengingatkan terhadap kota suci Makkah dan Madinah  Sebagai suatu cara memuliakan terhadap khalifah karena kesungguhannya dalam berbakti kepada Tuhan.
Selain itu, menurut Nur Hakim, memuliakan terhadap Imam yang hidup disejajarkan dengan memuliakan terhadap kalangan Svuhada’ dari keluarga Nabi. Fatimiyah membangun sejumlah makam keluarga Ali, seperti makam Husein di Mesir, dalam rangka meningkatkan peziarah serta memberi kesan mendalam kepada masyarakat atas tempat-tempat suci dan keramat. Maka, pada 1153 M. kepala Husein, yang dipenggal dalam peperangan melawan Yazid bin Muawivah, dipindahkan dari Ascalon ke Kairo, lalu di bangunlah makam Sayyaidina Husein yang sekarang disebut perkampungan Husein.
Salah satu doktrin keimaman yang lain adalah bahwa Imam mesti dijaga oleh Allah dari kesalahan-kesalahan yang biasa dilakukan oleh manusia biasa. Selanjutnya, doktrin ini bisa dimanfaatkan oleh para khalifah untuk membuat legitimasi keagamaan pada dirinva. MisaInva, Ubaidillah Al Mahdi, pendiri Fatimiyah, adalah gelar dari Said bin Husain al-Salamiyah, sekaligus dengan gelar ini dia menyatakan diri sebagai Imam dari Syi’ah Isma’iliyah. Dengan gelar ini, maka setidaknya akan menimbulkan kesan umum bahwa sang kholifah adalah seorang imam yang terjaga dari kesalahan-kesalahan fatal.
Imam dalam doktrin Syiah juga bersifat messianistik (Mahdiisme), yakni, ia dipahami sebagai figur penyelamat di kala suatu bangsa yang mengalami keadaan konflik yang berkepanjangan yang tak terselesaikan.
Sebagai akibat dari doktrin-doktrin Syi’ah, maka pemerintahan Fathimiyah mempunyai corak yang militan, khususnya di masa awal kemunculannya. Usaha para pemimpin Syi’ah yang kemudian diwakili oleh Ubaidillah untuk mewujudkan dinasti Fathimiyah dilakukan di bawah tanah dalam waktu yang panjang dengan penuh militansi. Selanjutnya, pemerintahannya bercorak keagamaan, dalam arti penggunaan simbol-simbol ritus maupun mitos dalam agama sangatlah kental. Untuk memperoleh dukungan rakyat, make khalifah sering menggunakan simbol-simbol keagamaan. Hal yang terakhir ini juga membawa pengaruh kepada corak kebuday’aannya yang religius.
2.      Bidang Administrasi dan Pemerintahan
Kekuasaan Pemerintahan Dinasti Fatimiyah mencakup wilayah yang sangat luas sekali meliputi Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah, Yaman, dan Hijaz.
Bentuk pemerintahan Dinasti Fatimiyah adalah bentuk yang dianggap pola baru dalam sejarah Mesir, karena dalam pelaksanaannya, khalifah adalah kepala negara yang bersifat temporal dan spritual, pemecatan pejabat tinggi berada dibawah kontrol kekuasaan khalifah.
Dalam bidang Kemiliteran dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu:
  1. Amir-amir yang terdiri dari para perwira tertinggi dan para pengawal khalifah
  2. Para perwira istana yang terdiri atas para ahli (ustadh) dan para kasim
Komando-komando resimen yang masing-masing menyandang nama berbeda sepertii hafiziyyah, Juyushiyyah dan    sudaniyyah atau yang dinamai dengan  nama khalifah, wazir dan suku.
Di luar jabatan-jabatan istana diatas, terdapat jabatan tingkat daerah yang meliputi tiga daerah yaitu Mesir, Shiria dan daerah-daerah di Asia kecil. Khusus daerah Mesir terdiri dari empat provinsi, yaitu  provinsi Mesir bagian atas, provinsi Mesir wilayah timur, provinsi Mesir wilayah barat dan wilayah Iksandariyyah, segala urusan yang berkaitan dengan daerah tersebut diserahkan kepada penguasa setempat.[21]
3.      Perkembangan Ilmu
Dinasti Fatimiyah pada puncak kejayaannya perkembangan ilmu telah mencapai yang sangat mengagumkan, hal ini disebabkan adanya penerjemah dan kutipan-kutipan dari bahasa asing, seperi bahasa Yunani, Persia, dan India kedalam bahasa Arab sehingga banyak ulama yang belajar sastr dan penulisan. Diantara tempat perkembangan ilmu pengetahuan adalah dengan berdirinya masjid dan istan yang ditempatkan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Diceritakan salah seorang wazir dinasti ini Ya’qub ibn Yusuf ibn Killis sangan mencitai ilmu pengetahuan dan seni.[22]
Diantara khalifah Fatimiyah adalah tokoh pendidikan dan orang yang bereradaban tinngi. Al-Aziz adalah khalifah yang ahli syair dan mencintai kegiatan pengajaran. Ia telah mengubah masjid agung Al-Azhar menjadi sebuah lembaga pendidikan tinggi. Khalifah Fatimiyah mendirikan sejumlah sekolah dan perguruan, mendirikan perpustakaan umum dan lembaga ilmu pengetahuan. Dar-alhikmah merupakan prakrsa terbesar untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Para khalifah Fatimiyah pada umumnya juga mencitai berbagai seni termasuk seni arsitektur yang telah dibahas sedikit diatas.
Beberapa khalifah pertama dinasti Fatimiyah dikenal sebagai khalifah berbudaya, periode mereka bisa dibilang tidak melahirkan ilmuwan dan penulis yang kondang dalam sains dan sastra. Seperti khalifah-khalifah lainnya di baghdaad dan Kordova. Salah satu fondasi terpenting yang dibangun pada masa Fatimiyah adalah pembangunan Dar-Hikmah (rumah kebijaksanaan) Dar al-‘Ilm (rumah ilmu) yang didirikan oleh al-Hakim pada 1005 sebagai pusat pembelajaran dan penyebaran Syiah ekstrim.[23]
4.      Bidang Politik
Pada masa pemerintahan Fatimiyah, kepada Negara dipimpin oleh seorang imam atau khalifah, para imam bagi fatimiyah memang sesuatu yang diwajibkan, ini merupakan penerapan kekuasaan yang turun temurun, mulai dari Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib, kemudian selanjutnya di teruskan oleh para imam. Imamah ini diwariskan dari seorang bapak kepada anak laki-laki yang paling tua dari keturunan mereka. Dan menjadi syarat penting yang harus dipenuhi dalam pengangkatan seorang imam adalah adanya nash atau wasiat khusus dari imam sebelumnya.[24] Baik wasiat yang di kemukakan di hadapan umat islam secara umum, atau hanya diketahui oleh orang-orang tertentu sebagian dari mereka saja.

Para imam didinasti fatimiyah, mereka anggap sebagai penjelmaan Allah di bumi, meraka menjadikan Imam-imam sebagai tempat rujukan utama dalam syariat, dan orang paling dalam ilmunya.

Selanjutnya dari segi politik juga daulat fatimiyah membentuk wazir-wazir (wazir tanfiz dan wazir tafwid). Wazir ini dibentuk pada masa Aziz billah  pada bulan Ramadhan tahun 367H/979 M.Disamping itu daulat fatimiyah juga membentuk dewan-dewan dalam pemerintahannya diantaranya, dewan majlis , dewan nazar, dewan tahkik (sekretaris)dewan barid (pos), dewan tartib (keamanan), dewan kharraj (pajak) dan lain-lainnya.[25]

Bentuk pemerintahan pada masa Fatimiyah merupakan suatu bentuk pemerintahan yang dianggap sebagai pola baru dalam sejarah Mesir. Dalam pelaksanaannya Khalifah adalah kepala yang bersifat temporal dan spiritual. Pengakatan dan pemecatan penjabat tinggi berada di bawah kontrol kekuasaan Khalifah.

Mentri-mentri Wazir kekhalifahan dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok Militer dan Sipil. Yang dibidangi oleh kelompok Militer diantaranya: urusan tentara, perang, pengawal rumah tangga khalifah dan semua permasalahan yang menyangkut keamanan. Yang termasuk kelompok Sipil diantaranya:
a.    Qadi, yang berfungsi sebagai hakim dan direktur percetakan uang
b.    Ketua dakwah, yang memimpin Darul Hikmah
c.    Inspektur pasar, yang membidangi bazar, jalan dan pengawasan timbangan
d.    Bendaharawan Negara, yang membidangi Baitul Mal
e.    Wakil kepala urusan rumah tangga Khalifah
f.     Qori, yang membaca al-Qur’an bagi Khalifah kapan saja dibutuhkan.

Selain dari penjabat di istana ini ada beberapa pejabat lokal yang diangkat oleh Khalifah untuk mengelola bagian wilayah Mesir, Siria, dan Asia kecil. Ketentaraan dibagi ke dalam tiga kelompok:
a)      Amir-amir yang berdiri dari pejabat-pejabat tinggi dan pengawal Khalifah
b)      Para Obsir Jaga
c)      Resimen yang bertugas sebagai Hafizah Juyudsiah dan Sudaniyah.

5.      Sains dan kebudayaan.
Dinasti Fatimiyyah di Mesir dapat dikatakan mengungguli prestasi Bani’Abbas di Baghdad dan Bani Umayyah di Spanyol pada saat yang sama, terutama prestasi dalam bidang ilmu pengetahuan (sains). Pengembangan sains di sana bermula dari tradisi yang berhasil dirintis oleh khalifah Al-Aziz. Ia adalah seorang sastrawan yang mempunyai perhatian besar dalam bidang sains, seperti Al-Makmun di Bani Abbas. Tidak heran jika istana dijadikan sebagai pusat kegiatan keilmuwan, tempat diskusi para ulama, fuqaha, qurra, nuhat, ahli hadis dan para pejabat yang ikut juga terlibat di dalamnya. Sebagian para pejabat dan pegawai terdiri dari para ilmuwan dalam berbagai disiplin i1mu.
Al-Aziz memberi gaji yang besar kepada para pengajar, sehingga banyak para ulama besar pindah dari Baghdad ke Kairo. Al-Azhar dijadikan pusat studi ilmu-ilmu dari berbagai disiplin ilmu. Di samping Al-Azhar, pada 1005 M. Al-Hakim mendirikan Dar al-Hikmah, sebagai pusat studi pada tingkat tinggi, di dalamnya dilakukan diskusi, penelitian, penulisan dan penerjemahan, serta pendidikan.
Pada masa ini muncul sejumlah ulama besar, diantaranya; Muhammad al-Tamimi (ahli fisika dan kedokteran), Al Kindi (ahli sejarah dan filsafat), al-Nu’man (ahli hokum dan menjabat sebagai hakim), Ali Ibn Yunus (Ahli Astronomi), Ali al-hassan Ibn al-Khaitami (Ahli fisika dan optik).[26]
Sektor pertanian sangat digalakkan, karena tanah negeri Mesir sangat subur berkat aliran sungai Nil yang sangat melimpah. Karenanya, sistem pengairan melalui perbaikan irigasi dan kanal­-kanal dapat meningkatkan produktivitas pertanian: gandum, kurma, kapas, bawang putih dan merah, serta kayu-kayu hutan untuk industri kapal-kapal dagang dan perang.
Dari sektor industri dan perdagangan, Mesir tekenal dengan hasil tenunan, kain sutra, wol dan sebagainya yang diekspor ke Eropa. Selain textil, dibangun pula industri kristal, keramik, kerajinan tangan, serta tambang besi, baja dan tembaga. Dengan dibangunnya armada laut yang tangguh serta kapal-kapal dagang, maka sektor perdagangan pun sangat maju. Kota Fusthat, Kairo, Qaus, dan Dimyati menjadi pusat perdagangan di Mesir. Iskandariyah adalah kota pelabuhan internasional yang menjadi tulang punggung dan pusat pertemuan kapal-kapal dagang Barat dan Timur. Pajak dari sektor perdagangan ini menjadi andalan utama bagi pemasukan dan penunjang ekonomi negara.
Tradisi yang terbangun dalam dinasti Fatimiyah ini, doktrin Syi’ah begitu kental. Mereka mengadakan hari-hari perayaan, termasuk hari perayaan kaum syi’ah seperti Maulud Nabi, hari jadi sayyidina Hassan dan Husein serta hari jadi Siti Fatimah. Pada malam hari perayaan ini semua masjid dinyalakan lampu dan tilawah turut diadakan di masjid-massjid.[27]
6.      Pemikiran dan Filsafat
Dalam menyebarkan tentang kesyi’ahannya Dinasti Fatimiyah banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya.[28] Kelompok ahli filsafat yang paling terkenal pada Dinasti Fatimiyah adalah ikhwanu shofa. Dalam filsafatnya kelompok ini lebih cendrung membela kelompok Syi’ah Islamiyah, dan kelompok inilah yang menyempurnakan pemikiran-pemikiran yang telah dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah.

Beberapa tokoh filsuf yang muncul pada masa Dinasti Fatimiyah ini adalah:
a)      Abu Hatim Ar-Rozi, dia adalah seorang da’i Ismaliyat yang pemikirannya lebih banyak dalam masalah politik, Abu Hatim menulis beberapa buku dia ntaranya kitab Azzayinahyang terdiri dari 1200 halaman. Di dalamnya banyak membahas masalah Fiqh, filsafat dan aliran-aliran dalam agama.
b)      Abu Abdillah An-Nasafi, dia adalah seorang penulis kitab Almashul. Kitab ini lebih banyak membahas masalah al-Ushul al-Mazhab al-Ismaily. Selanjutnya ia menulis kitabUnwanuddin Ushulus syar’i, Adda’watu Manjiyyah. Kemudian ia menulis buku tentang falak dan sifat alam dengan judul Kaunul Alam dan al-Kaunul Mujrof .
c)      Abu Ya’qup as Sajazi, ia merupakan salah seorang penulis yang paling banyak tulisannya
d)     Abu Hanifah An-Nu’man Al-Magribi
e)      Ja’far Ibnu Mansyur Al-Yamani
f)       Hamiduddin Al-Qirmani.[29]




7.      Pendidikan dan Iptek
Seorang ilmuan yang paling terkenal pada masa Fatimiyah adalah Yakub Ibnu Killis. Ia berhasil membangun akademi-akademi keilmuan yang mengahabiskan ribuan Dinar perbulannya. Pada masanya, ia berhasil membesarkan seorang ahli fisika yang bernama Muhammad Attamimi. Disamping Attamimi ada juga seorang ahli sejarah yang bernama Muhammad Ibnu Yusuf Al Kindi dan Ibnu Salamah Al Quda’i. seorang ahli sastra yang muncul pada masa Fatimiyah adalah Al Aziz yang berhasil membangun masjid Al Azhar.[30]
Kemajuan keilmuan yang peling fundamental pada masa Fatamiyah adalah keberhasilannya membangun sebuah lembaga keilmuan yang disebut Darul Hikam atau Darul Ilmi yang dibangun oleh Al Hakim pada tahun 1005 Masehi.

Ilmu astronomi banyak dikembangkan oleh seorang astronomis yaitu Ali Ibnu Yunus kemudian Ali Al Hasan dan Ibnu Haitam. Dalam masa ini kurang lebih seratus karyanya tentang matematika, astronomi, filsafat dan kedokteran telah dihasilkan.

Pada masa pemerintahan Al Hakim didirikan Bait Al Hikmah, terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh Al Makmun di Bahgdad. Pada masa Al Muntasir terdapat perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000 buku dan 2.400 Illuminated Al-Qur’an  ini merupakan bukti kontribusi Dinasti Fatimiyah bagi perkembangan budaya Islam.
8.      Ekonomi dan Perdagangan
Mesir mengalami kemakmuran ekonomi dan fitalitas kultural yang mengungguli Irak dan daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan dunia non Islam dibina dengan baik termasuk dengan India dan negeri-negeri mediterania yang beragama Kristen.

Pada suatu festival, Khalifah kelihatan sangat cerah dan berpakaian indah. Istana Khalifah yang dihuni oleh 30.000 orang terdiri dari 1.200 pelayan dan pengawal juga terdapat masjid-masjid, perguruan tinggi, rumah sakit dan pemondokan Khalifah yang berukuran sangat besar menghiasi kota Kairo baru. Pemandian umum yang dibangun dengan baik terlibat sangat banyak disetiap tempat di kota itu. Pasar yang mempunyai 20.000 toko luar biasa besarnya dan dipenuhi berbagai produk dari seluruh dunia. Keadaan ini menunjukkan bahwa kemakmuran yang begitu berlimpah dan kemajuan ekonomi yang begitu hebat pada masa Fatimiyah di Mesir.

Disegi pertanian Dinasti Fatimiyah juga mengalami peningkatan, keberhasilan pertanian di mesir pada masa ini bisa di kelompokkan kepada dua sektor  
a)      Daerah pinggiran-pinggiran sungai Nil
b)      Tempat-tempat yang telah ditentukan pemerintah untuk dijadikan lahan pertanian.

Sungai Nil merupakan sebagian pendukung bagi kelansungan hidup orang-orang Mesir, kadang-kadang sungai nil ini menuai penyusutan air sehingga masyarakat merasa kesulitan untuk mengambil air untuk diminum, untuk binatang ternak, maupun untuk pengairan tanam-tanaman mereka, namun sebaliknya adakalanya sungai nil ini pasang naik, sehingga dataran-dataran Mesir kebanjiran, menyebabkan kerusakan lahan dan tanaman. Untuk mengatasi hal tersebut mereka membikin gundukan-gundukan dari tanah dan batu sebatas tinggi air takkala banjir.[31]
Mereka membagi waktu untuk bercocok tanam dalam dua musim :
1)      Musim dingin, (bulan Desember sampai bulan maret) dengan aliran-aliran dari selokan sungai nil, pada musim ini mereka biasa menanam gandum, kapas, pohon rami.
2)      Musim panas, (bulan april sampai bulan juli) karena air sungai nil mulai surut, maka mereka mengairi sawah ladang dengan mengangkat air dengan alat. Pada musim ini mereka menanam padi, tebu, semangka, anggur, jeruk, dan lain-lain.

Dibidang perdagangan mereka melakukan perdagangan dengan mengunjungi beberapa daerah seperti Asia, Eropa, dan daerah-daerah sekitar laut tengah.

Pada masa dinasti Fatimiyah mereka menjadikan kota Fustat sebagai kota perdagangan, dari sini semua barang akan dikirim baik dari dalam maupun dari luar Mesir.
9.      Sosial Kemasyarakatan
Mayoritas khalifah Fathimiyah bersikap moderat dan penuh perhatian kepada urusan agama nonmuslim. Selama masa ini pemeluk Kristen diperlakukan secara bijaksana, hanya Khalifah Al-Hakim yang bersikap agak keras terhadap mereka. Orang-orang Kristen Kopti dan Armenia tidak pernah merasakan kemurahan dan keramahan melebihi sikap pemerintah muslim. Pada masa Al-Aziz bahkan mereka lebih diuntungkan dari pada umat Islam di mana mereka ditunjuk menduduki jabatan-jabatan tinggi di istana. Demikian pula pada masa Al-Mustansir dan seterusnya, mereka hidup penuh dengan kedamaian dan kemakmuran. Sebagian besar jabatan keuangan dipegang oleh orang-orang Kopti. Pada khalifah generasi akhir, gereja-gereja Kristen banyak yang dipugar, pemeluk Kristen pula semakin banyak yang diangkat sebagai pegawai pemerintah. Demikianlah semua ini menunjukkan kebijaksanaan pengusa Fathimiyah terhadap umat kristiani. [32]

Mayoritas khalifah Fathimiyah berpola hidup mewah dan santai. Al-Mustansir, menurut satu informasi, mendirikan semacam pavillun di istananya sebagai tempat memuaskan kegemaran berfoya-foya bersama sejumlah penari rupawan.

Nasir Al-Khusraw, salah seorang pengembara Ismailiyah berkebangsaan Persia, yang mengunjungi Mesir antara tahun 1046-1049 M, meninggalkan catatan tentang kehidupan kota Kairo ibu kota Dinasi Fathimiyah. Pada saat itu ia mendapatkan kota kairo sebagai kota makmur dan aman. Menurutnya, Toko-toko perhiasan dan pusat-pusat penukaran uang ditinggalkan oleh pemiliknya begitu saja tanpa kunci, rakyat menaruh kepercayaan penuh terhadap pemerintah, jalan-jalan raya diterangi beragam lampu. Penjaga toko menjual barang dengan harga jual yang telah diputuskan dan jika seseorang terbukti melanggar ketentuan harga jual akan dihukum dengan diarak di atas unta sepanjang jalan dengan diiringi bunyi-bunyian.

Nasir Al-khusraw menulis catatan bahwa ia menyaksikan khalifah pada sebuah festival tampak sangat mempesona dengan pakaian kebesarannya. Istana khalifah dihuni 30.000 orang, di antara mereka terdapat 12.000 orang pembantu dan 1.000 orang pegawal berkuda dan pengawal jalan kaki. Kota kairo dihiasi dengan sejumlah masjid, perguruan, rumah sakit, dan perkampungan khafilah. Tempat-tempat pemandian umum yang cukup indah dapat dijumpai diberbagai penjuru kota, baik pemandian khusus untuk laki-laki maupun untuk perempuan. Pasar-pasar yang menjual 20.000 pertokoan padat dengan produk-produk dunia. Nasir Al-Khusraw sangat takjub atas kesejahteraan dan kemakmuran negeri ini, sehingga dengan sangat menarik ia mengatakan.” Saya tidak sanggup menaksir kesejahteraan dan kemakmuran negeri ini, dan saya belum pernah melihat kemakmuran sebagaimana yang terdapat di negeri ini.

Dinasi Fathimiyah berhasil dalam mendirikan sebuah Negara yang sangat luas dan peradaban yang berlainan semacam ini di dunia timur, hal ini sangat menarik perhatian karena sistem Administrasinya yang sangat baik sekali, aktivitas artistik, luasnya toleransi relijiusa, efisiensi angkatan perang dan angkatan laut, kejujuran pengadilan, dan terutama perlindungannya terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan.[33]

10.  Militer dan Pertahanan
Sejak awal berdirinya daulah fatimiyah dapat membangun imperium yang kuat dengan dukungan militer yang tangguh di sekitar Laut Tengah membentang dari Samudra Atlantik di sebelah barat dan Sungai Euphrat di sebelah Timur, Pulau Sisilia di sebelah utara dan Yaman di sebelah selatan. Ini membuktikan secara politis Dinasti Fatimiyah sudah memiliki salah satu konsep pemerintahan.

Para penguasa awal khilafah Fatimiyah dengan menempuh kebijakan-kebijakan penting semata-mata untuk memperlancar stabilitas politik diantaranya Sistem pemerintahan Dinasti Fatimiah dengan beberapa pencapaian dari segi politis dan tata atur kebijakan pemerintahan dari segala bidang. Khilafah Al-Mahdi, hal yang pertama dalam usaha pemerintahannya adalah pembersihan figur-figur yang dicurigai atau dianggap sebagai penghalang pemerintahannya termasuk tokoh-tokoh penting meski sangat besar jasa dalam pembentukan khilafah fatimah. Selain kebijakan tersebut dilkukan pula pengembangan militer sebagai tulang punggung pemerintahan.

Pemerintahan sipil dan militer ini meliputi urusan tentara, perang, pengawal khalifah dan keamanan, Qadi (hakim), dakwah, inspektur pasar, bendahara, wakil kepala urusan rumah tangga khalifah, Qari (pembaca Al-Qur’an), kebijakan penukaran duta (persahabatan) dengan Dinasti Buwaihiyah, dan pembentukan wazir tanfiz (bertanggung jawab terhadap pembagian kekuasaan pusat dan daerah). [34]
11.  Universitas Islam Al Azhar Kairo
Jami Al Azhar didirikan bersamaan dengan masuknya kekuasaan Fatimiyin di Kairo, tepatnya setelah beberapa bulan kekuatan fatimiyin memasuki Kairo, pembangunan jami Al Azhar memakan waktu kurang lebih dua tahun, yang kemudian dibuka secara resmi oleh Jauhar al Shaqali29 dengan shalat jumat pada tanggal 7 Ramadhan 361 H / 21 Juni 972 M. Sedang Al Muiz Lidinillah baru datang dari Maroko masuk Kairo setahun kemudian.

Jami Al Azhar mempunyai penghargaan tersendiri dari para khalifah fatimiyin, dibalik itu mereka ingin menjadikannya markas penyebaran faham syiah. Di sekitarnya dibangun rumah bagi mereka yang mengajar pada Al azhar, dari sinilah dimulainya pengajaran di jami Al Azhar.

Dalam blantika dunia keilmuan, Al Azhar merupakan universitas tertua, tidak hanya di dunia Islam, namun di seluruh dunia. Karena universitas-universitas di Amerika dan Eropa baru didirikan dua abad setelah berdirinya Al Azhar, seperti Universitas Paris didirikan pada abad ke-12 Masehi, Universitas Oxford di Inggris pada abad ke-13, demikian juga universitas-universitas Eropa lainnya. Universitas yang mengimbangi Al Azhar dari segi sejarahnya adalah Universitas Qarawain di Kota Fas Maroko, bahkan ada yang mengatakan bahwa Jami Al Qarawain adalah Universitas tertua di dunia, karena pengajarannya sudah bermula sejak didirikannya yaitu sejak tahun 245 H/ 859 M. dan sampai sekarang masih eksis.

Al Azhar merupakan Univesitas pertama yang para pengajarnya didanai oleh negara, serta posisi Mesir yang strategis di tengah dunia Islam, menjadikan Al Azhar tempat tujuan menimba ilmu agama dari para masyayikhnya, hanya saja besarnya kedudukan Al Azhar bukan karena tertua atau tidaknya, namun karena mutunya yang unggul.
Dalam kekuasaan daulah Fatimiah Jami Al Azhar mengalami beberapa kali renovasi, seperti pada masa al Hakim Biamrillah, al Mustanshir Billah, dan Al Hafidz Lidinillah. Terlihat hingga sekarang hasil renovasi yang dilakukan oleh Al Hafidz Lidinillah dengan peninggalannya qubah yang dihiasi dengan tulisan ayat-ayat Al Quran dengan khath kufi dan bermacam-macam hiasan yang indah.

12.  Perluasan Wilayah Daulah Fatimiyah
Dalam  kebijakan pemerintah dilkukan pengembangan militer sebagai tulang punggung pemerintahan.  Pemerintahan sipil dan militer ini meliputi urusan tentara, perang, pengawal khalifah dan keamanan, Qadi (hakim), dakwah, inspektur pasar, bendahara, wakil kepala urusan rumah tangga khalifah, Qari (pembaca Al-Qur’an), kebijakan penukaran duta (persahabatan) dengan Dinasti Buwaihiyah, dan pembentukan wazir tanfiz (bertanggung jawab terhadap pembagian kekuasaan pusat dan daerah).

Hal lain dapat dilihat dari pembangunan kota Mahdiyah yang terletak sebelah selatan kota Qoiruwan, dan menjadikan kota ini sebagai pangkalan armada laut khilafah fatimah. Dan tidak terkecuali dalam usaha mengembangkan wilayah kekuasaan, dan uasaha ini berkaiatan erat dengan kemiliteran. Dengan adanya perluasan kekuasaan tersebut mengarahkan untuk dapat menguasai daerah-daerah strategis dan mengantisipasi gerakan-gerakan yang dapat menbahayakan posisi khalifah.

Maka dari itu stabilitas politik Daulah Fatimiyah tetap terjaga dengan terlihatnya  pemerintahan yang berjalan dengan baik karena hampir seluruh Afrika Utara wilayah barat dapat dikuasai. Salah satu wilayah yang dikuasai Khilafah Fatimiah adalah bekas kekuasaan Bani Aghlab yang berpusat di Tunisia, Rustamiah Khariji di Tabart, Indrisiah di Fez dan Pulau Sisilia juga termasuk daerah kekuasaan Daulah Fatimiah. Sedangkan pada puncak kejayaannya wilayah kekuasaanya mencakup seluruh daerah-daerah Afrika Utara, Sisilia, Mesir, Syiria, dan Arabia Barat yang tidak bisa dilepaskan dari penguasaan awal wilayah Mesir yang cukup strategis dalam melakukan ekspansi-ekspansi selanjutnya.[35]
b.    Masa Kemunduran
Gejala-gejala yang menunjukkan kemunduran Dinasti Fatimiyah telah terlihat dipenghujung masa pemerintahan Al-Aziz namun baru kelihatan wujudnya pada masa pemerintahan Al-Muntasir yang terus berlanjut hingga berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah pada masa pemerintahan Al-Adid 567 H/1171 M.

Menjelang pertengahan abad ke-11 bani Fatimiyah mulai dibingungkan oleh masalah yang tidak bisa berhasil diselesaikan oleh berbagai dinasti di Timur. Masalah bagaimana mengendalikan tentara profesional. Bahkan di Mesir tentara Turki menguasai keadaan, walau terdapat juga orang-orang Sudan, Berber dan Armenia. Terdapat persaingan sengit antara kelompok-kelompok ini, yang kadang-kadang ecah mnjadi pertempuran. Setelah 1058 kekuasaan boleh dikata berada ditangan klik-klik militer, yang tidak memahami kebutuhan negara yang sebenarnya. Setelah suatu bencana kelaparan yang hebat dari 1065 sampai 1072 khalifah al-Mustansir (1035-1094) meminta bantuan seorang Jendral dari suku Armenia bernama Badr al-Jamali, yang menjabat gubernur Acre. Orang ini segera berlayar ke Mesir dengan pengawal armenia dan sepasukan tentara yang setia. Sebelum maksud pemanggilannya oleh Mustansir diketahui dia telah menangkap dan menghukum mati para Jendral Turki dan pejabat-pejabat Mesir yang mungkin menimbulkan masalah.

Dengan tindakan-tindakan tegas lainnya dan kekuasaan yang kuat dia memperbaiki kemakmuran sekedarnya. Dia biasanya disebut sebagai pemimpin militer (amir al-juyush), walau dia mengurusi pemerintahan dan dakwah, yaitu propaganda religio-politis. Tahun 1094 putranya Al-Afdal, atau Al-Malik Al-Afdal, menggantikannya dan meneruskan kemakmuran negara sampai wafatnya tahun 1121. Setelah itu keadaan merosot dengan cepat, dan tahun 1171 Bani Fatimiyah digantikan oleh Salahuddin Al-Ayyubi.[36]
Adapun faktor yang menyebabkan kemunduran dan runtuhnya Dinasti Fatimiyah dapat dilihat dari faktor internal dan eksternal:

1.      Faktor internal
Faktor internal yang paling besar dalam menghantarkan kemunduran Dinasti Fatimiyah adalah dikarenakan lemahnya kekuasaan pemerintah. Menurut Ibrahim Hasan, para khalifah tidak lagi memiliki semangat juang yang tinggi seperti yang ditunjukkan para pendahulu mereka ketika mengalahkan tentara Berber di Qairawan. Kehidupan para khalifah yang bermewah-mewah merupakan penyebab utama hilangnya semangat untuk melakukan ekspansi.

2.      Faktor eksternal
Adapun faktor eksternal yang menjadi penyebab runtuhnya Dinasti Fatimiyah adalah menguatnya kekuasaan Nur al-Din al-Zanki adalah gubernur Syiria yang masih berada dibawah kekuasaan bani Abbasiyah. Popularitas Al-Zanki menonjol pada saat ia mampu mengalahkan pasukan salib atas permohonan khalifah Al-Zafir yang tidak mampu mengalahkan tentara salib.

Dinasti Fatimiyah berakhir pada tahun 567 H/1171 M. Untuk mengantisipasi perlawanan dari kalangan Fatimiyah, Salah al-Din membangun benteng bukit di Muqattam dan dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan militer, yang kini bangunan benteng tersebut masih berdiri kokoh di kawasan pusat Mishral Qadim (Mesir Lama) yang terletak tidak jauh dari Universitas dan juga dekat dengan perumahan Mahasiswa Asia di Qatamiyah.

Dinasti Fatimiyah merupakan salah satu imperium besar sepanjang sejarah Islam. Pada awalnya, dinasti ini hanya berupa dinasti kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Mereka mampu memerintah lebih dua abad sebelum ditaklukan oleh Dinasti Ayyubiyah dibawah kepemimpinan Salah al-Din al-Ayyubi.

Dalam masa pemerintahannya, Dinasti Fatimiyah sangat konsern dengan pengembangan paham Syi’ah Ismailiyah. Untuk kesuksesannya, mereka mewajibkan seluruh aparat di jajaran pemerintah dan warga masyarakat untuk menganut paham tersebut. Upaya ini cukup berhasil yang ditandai dengan banyaknya masyarakat yang bersedia menerimanya meskipun berasal dari non muslim.
Kemunduran Dinasti Fatimiyah dikarenakan tidak efektifnya kekuasaan pemerintah dikarenakan para khalifah hanya sebagai raja boneka sebab roda pemerintah didominasi oleh kebijakan para wazir sementara para khalifah hanya hidup menikmati kekuasaanya dalam istana yang megah.

A.    Analisis Kritis
1.    Sumbangan terbesar Dinasti Fatimiyah yang cukup signifikan adalah menyatukan Dunia Barat dan Timur, karena letak Mesir (Iskandariyah) yang sangat strategis untuk tercapainya hal tersebut.
2.    Selama dua abad lebih menguasai Mesir, keberadaan Dinasti Fathimiyah telah memberikan sumbangan peradaban yang besar. Kemajuan terbesar adalah memberikan ruang berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam yang melahirkan banyak ilmuwan dengan didirikannya Dar al-hikmah dan Dār al-‘Ilmi dan keberadaan Universitas al-Azhar sebagai pusat pengkajian ilmu pengetahuan yang  masih terasa hingga kini.
3.    tertatanya sistem administrasi pemerintahan yang membuahkan kemakmuran. Catatan sejarawan tentang kecemerlangan Mesir saat itu dan  jejak peninggalannya berupa karya-karya seninya yang bernilai sangat tinggi, membuktikan kebenaran fakta tersebut.
4.    Dinasti Fathimiyah juga terkenal dengan toleransi beragamanya. Para penguasa Fathimiyah tidak mencoba melakukan tekanan agar penganut Sunni menyeberang ke Syi’ah Ismailiyah. Mereka juga sangat menghargai kemerdekaan agama Kristen maupun Yahudi. Satu-satunya pengecualian adalah pada masa khalifah al-Hakim.
5.    Dalam segala aspek kehidupan secara umum, Dinasti Fatimiyah memberikan kelonggaran kepada semua orang untuk melakukan kegiatan sosial, keagamaan dan bahkan politik, meskipun disisi lain dinasti ini mempunyai misi menanamkan paham keagamaan, yaitu Shi’ah sekte Isma’iliyah
6.    Kemunduran Dinasti Fathimiyah bukan hanya disebabkan oleh faktor eksternal berupa serangan dari pasukan luar, melainkan juga karena masalah internal yang tidak dapat diselesaikan seperti berkurangnya kesetiaan publik kepada penguasa yang dianggap berprilaku aneh, banyaknya campur tangan para wazir akibat penguasa yang belum cukup umur, dan timbulnya perselisihan dalam suksesi pemerintahan.
7.    khalifah hanya sebagai raja boneka sebab roda pemerintah didominasi oleh kebijakan para wazir sementara khalifah hanya hidup menikmati kekuasaannya didalam istana yang megah
8.    Dinasti Fatimiyah adalah dinasti yang dibangun atas dasar protes politik terhadap kekuasaan pada saat itu dengan legitimasi agama yaitu tuntutan Imamah sebagai pengganti Rasulallah SAW. Karena sebuah hadith al-aimmah min quraysh dengan keyakinan bahwa Ali ibn Abi Talib (suami Fatimah al-Zahro putri Rasulallah) dan keturunannya sebagai pewaris kekhalifahan / Nabi
9.    Terlepas klaim sebagai keturunan nabi yang masih diperdebatkan dan salah seorang khalifah tidak mencerminkan kepemimpinan yang ideal, namun yang jelas sumbangan dinasti ini merupakan sumbangan berharga. (maspalah_aagun)
10.     Dinasti Fatimiyah adalah satu-satunya dinasti Shi’ah dalam Islam yang eksis selama kurang lebih dua setengah abad dan bisa berjaya melampaui capaian wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam terdahulu, dan telah memberi banyak sumbangan peradaban terhadap dunia Islam, khususnya Mesir, karena pada masa Dinasti Fatimiyah ini, Mesir mengalami tingkat kemakmuran dan vitalitas kultural yang mengungguli Irak dan Baghdad
C.    SKEMATIKA
A.  Proses Berdirinya Dinasti Fathimiyah


 


Rounded Rectangle: Syiah                                                

Rounded Rectangle: Imam ke 7Rounded Rectangle: Ismail bin Ja’far Ash-Shidiq (Imam ke 6)

                          
 
























B.  Pemerintahan Dinasti Fathimiyah

 
























                                                                                                                       

C.  Kemajuan Peradaban Islam dinasti Fathimiyah
 


















 













 





Rounded Rectangle: Sastra Arab                                                                                                                                               
 

D.  Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Fathimiyah
 
























D.    PENUTUP
Dari pemaparan diatas dapat kami simpulkan bahwa Dinasti Fatimiyah juga disebut dengan Dinasti Ubaidillah, dengan pendirinya yaitu Ubaidillah al-Mahdi yang datang dari Syria ke Afrika Utara. Dinasti ini beraliran Syi’ah Islami’ilah, pusat pemerintahannya di Cairo. Dinasti ini mengalami kejayaannya pada masa khalifah Abu Mansur Nizar Al-Aziz
Dan pada masa itulah, dengan prestasi gemilangnya dalam bidang pemerintahan, ekonomi sosial, di bidang ilmu dan perkembangan intelektual islam, syiah Ismailiyah sebagai doktrin teologi dan madzhab tata Negara Negara Fatimiyah mengalami masa keemasan.
Dinasti Fathimiyyah merupakan penguasa negara yang besar berpusat di lembah Nil, Kairo. Kekhalifahan ini berkuasa selama lebih kurang 203 tahun yaitu sejak tahun 909 sampai tahun 1171 M. Cikal bakal dari keKhalifahan Fathimiyyah ini adalah Gerakan Bani Fathimiyyah yang berasal dari kelompok Syi’ah Ismailiyah, mereka mengasingkan diri ke kota Salamah guna menyelamatkan diri dari pengejaran Bani Abbasiyah di bawah pimpinan Khalifah Al-Ma'mun.

Pola pemerintahan yang dijalankan Fathimiyyah mengikuti pola pemerintahan bani Abbasiah di Bahgdad. Kepemimpinan dikonsentrasikan kepada Khalifah dan dibai'ah lewat seremoni yang megah. Berbagaikemajuan diraih pada masa dinastiFathimiyyah ini,mulai darikemajuan dalambidang ekonomi, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan yang lainnya hingga dapat berdiri perguruan tinggipertama didunia yaitu Universitas Al-Azhar yang bermarkas di Kairo, Mesir sampai sekarang.

Runtuhnya dinasti ini berawal pada tahun 558 H/1163 M, yang mana panglima Asasuddin Shirkuh membawa Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menundukkan Daulat Fatimiyah di Mesir. Usahanya berhasil. Khalifah Daulat Fatimiyah terakhir Adhid Lidinillah dipaksa oleh Asasuddin Syirkuh untuk menandatangani perjanjian. Akan tetapi, Wazir besarnya Shawar merasa iri melihat kekuasan Syirkuh semakin besar. Dengan sembunyi-sembunyi Shawar pergi ke Baitul Maqdis, meminta bantuan pasukan Salib untuk menghalau Syirkuh dari Mesir.

Dinasti Fatimiyah dengan segala prestasi dan kemundduranya dalam tinta sejarah peradaban dunia Islam telah menjadi perjalanan dinamika umat Islam di Mesir. Dalam rentang beberapa periode dinasti ini telah mengukirkan nama harumnya bagi kemajuan dan kebesaran serta kejayaan Islam.

Dinasti Fatimiyah merupakan salah satu imperium besar sepanjang sejarah Islam. Pada awalnya, daulah ini hanya berupa dinasti kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan dinasti Abbasiyah. Mereka mampu memerintah lebih dua abad sebelum ditaklukkan oleh dinasti Ayyubiyah dibawah kepemimpinan Salah al-Din al-Ayyubi.

Dalam masa pemerintahannya, daulah Fatimiyah sangat konsen dengan pengembangan paham Syi’ah Isma’iliyah. Untuk kesuksesannya, mereka mewajibkan seluruh aparat di jajaran pemerintahan dan warga masyarakat untuk menganut paham tersebut. Upaya ini cukup berhasil yang ditandai dengan banyaknya masyarakat yang bersedia menerimanya meskipun berasal dari non muslim.





































DAFTAR PUSTAKA

JJ. Sounders, 1981 , A History of Medival Islam London, Redwood Book.

Philip K. Hitti, 2006, Hirtory of The Arabs, terj. Jakarta, PT. Serambi Ilmu Semesta.

Ahmad


 Salabi, 1979, Mawsu’ah al-Tarikh al-islam wa al-Hadaroh al-Islamiya jld 5 Kairo,  Makbah al-Nahdah  al-Misriyah.

Musyrifah Sunanto, 2007,  Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta, Kencana.

Siti Maryam dkk., 2003, Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern Cet. I, Yogyakarta LESFI.

Jaih Mubarok, 2008, Sejarah Peradaban Islam, Cet. I, Bandung: Pustaka Islamika

Ira M. Lapidus, 2002, A History of Islamic Societies New York: Cambridge University Press.

Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, 1429 H/2008, History of Arabs, Cet. I, Jakarta, PT Serambi Ilmu Sentosa.

Jaih Mubarok, 2008, Sejarah Peradaban Islam , Cet. I, Bandung: Pustaka Islamika

Hamka, 2005, Sejarah Umat Islam ,Cet. V, Singapura Pustaka Nasional PTE LTD.

Zainal Abidin Ahmad, 1979, Sejarah Islam dan Ummatnya , Jakarta Bulan Bintang.

Ajid Thohir, 2004, Perkembangan Peradaban di Dunia Islam Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada.

K. Ali, 2003, Sejarah Islam:Tarikh Pramodern, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada


Jaih Mubarak, 2008, Sejarah Peradaban Islam, Bandung, Pustaka Islamika.

Moh Nurhakim, 2003, Sejarah Peradaban Islam, Malang, UMM Press

http://id.wikipedia.org/ wiki/ Bani Fatimiyah. (di Akses pada tanggal 14 oktober 2014)

D rs. Samsul Munir Amin, M.A, 2009, Sejarah Peradaban Islam. Amzah.

Philip K. Hitti, 2005, History Arab, Serambi Ilmu Semesta.

Dr. Aiman Fuad Sayyid, 1992,  Daulat Fatimiyah Fi Misr Tafsir Jadid., Dar El-Masriyah lil-Bananiyah.

Muhammad Jamal al-Din, 1979,  Al Dawlat Al-Fatimiyah Fi Mishr, Kairo Dar al-Fikr al-‘Arabi.

Mahayudin Hj. Yahaya, 1995,  Sejarah Islam, Kuala Lumpur; Fajar Bakti Sdn, Bhd.

Ahmad Amin, Dhuhal al-Islam, Kairo, Lajnah Ta’wa al  Nasyr. Tt

Hasan Ibrahim, 1958, Tarikh al-Daulah al-Fatimiah, Kairo: Jannatut Ta’lif.

Ajid Thohir,  2004, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

W.Montgomery Watt, penterjemah Hartono Hadikusumo, 1990,  Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari tokoh Orientalis, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Azzabi, 1989, mahmud sunni yang sunni ter al-bayyinat fi al rodh ala abatil al muraja’at, bandung,  pustaka.

Su’ud abu, 1993,  Islamologi Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Islam, Ed. 1, Cet. 3. Jakarta,  PT Grafindo Persada.



[1] JJ. Sounders, A History of Medival Islam (London: Redwood Book, 1981) hal 125. 
[2] Philip K. Hitti, Hirtory of The Arabs, terj. (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006),hal 787.
[3] Ahmad Salabi, Mawsu’ah al-Tarikh al-islam wa al-Hadaroh al-Islamiya jld 5 (Kairo: Makbah al-Nahdah  al-Misriyah, 1979), 231.
[4] www.caraIslam.com/2013/08/sejarah-Islam-di-Mesir.html?m=1 di akses pada jam 10.30 tgl 5 November 2014

[5] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Cet. 3, Jakarta, Kencana, 2007) h. 141
[6] Siti Maryam dkk., Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern (Cet. I, Yogyakarta: LESFI, 2003) hal. 264
[7] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam (Cet. I, Bandung: Pustaka Islamika, 2008) hal. 190
[8] Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (New York: Cambridge University Press, 2002) hal. 285
[9] . Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi dengan History of Arabs (Cet. I; Jakarta: PT Serambi Ilmu Sentosa, 1429 H/2008 H), hal. 789
[10] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam (Cet. I, Bandung: Pustaka Islamika, 2008) hal. 190
[11] Hamka, Sejarah Umat Islam (Cet. V, Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 2005), hal. 333
[12] Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya (Jakarta: Bulan Bintang, 1979) hal. 109
[13] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Dunia Islam (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004),hal 113.
[14] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: kota kembang, 1989, hal 229
[15] K. Ali, Sejarah Islam:Tarikh Pramodern, terj., (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal 492-493.
[16] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Amzah, 2013), hal  256
[17] Ibid hal 257
[19] Jaih Mubarak, Sejarah Peradaban Islam,(Bandung; Pustaka Islamika, 2008), hal 191-192.
[20] Moh Nurhakim, Sejarah Peradaban Islam (Malang, UMM Pres, 2003) hal 106-107
[21] http://id.wikipedia.org/ wiki/ Bani Fatimiyah. (di Akses pada tanggal 14 oktober 2014)
[22]D rs. Samsul Munir Amin, M.A. Sejarah Peradaban Islam.( Amzah. 2009). hal 265
[23]  Philip K. Hitti. History Arab.( Serambi Ilmu Semesta. 2005). hal 800-801
[24] Dr. Aiman Fuad Sayyid. Daulat Fatimiyah Fi Misr Tafsir Jadid. (Dar El-Masriyah lil-Bananiyah. 1992). hal 249
[25] ibid, hal 250
[26] Muhammad Jamal al-Din, Al Dawlat Al-Fatimiyah Fi Mishr, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1979), hal 68.
[27] Mahayudin Hj. Yahaya, Sejarah Islam, (Kuala Lumpur; Fajar Bakti Sdn, Bhd. 1995),hal 336.
[28] Ahmad Amin, Dhuhal al-Islam, (Kairo: Lajnah Ta’wa al  Nasyr. Tt ), hal. 188
[29] Hasan Ibrahim, Tarikh al-Daulah al-Fatimiah, (Kairo: Jannatut Ta’lif, 1958), hal. 469
[30] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), hal 222
[31] W.Montgomery Watt, penterjemah Hartono Hadikusumo, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hal 239
[32] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Amzah, 2013), hal  265

[33] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: kota kembang, 1989, hal 285

[34]  Azzabi, mahmud sunni yang sunni ter al-bayyinat fi al rodh ala abatil al muraja’at (bandung pustaka 1989),hal 76
[35]  Ibid, 89
[36] Su’ud abu, Islamologi Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Islam.( Ed. 1, Cet. 3. Jakarta:1993, PT Grafindo Persada.) hal 81

No comments:

Post a Comment