DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1.1 Latar
Belakang........................................................................... .1
1.2 Rumusan
Masalah....................................................................... 2..
1.3 Tujuan
........................................................................................ .2
BAB II PEMBAHASAN …...........................................................................
2.1 Riwayat hidup Ibnu sina........................................................... 3
2.2 Pemikiran Ibnu sina tentang pendidikan................................... 5
a.
Tahapan masa-masa menurut Ibnu sina................................6
b.
Pandangan Ibnu sina tentang
pendidikan.............................8
c.
Komunikasi dengan ilmuwan pada masanya.......................10
2.4 Hubungan pemikiran pendidikan islam dan
pendidikan Nasional.....11
BAB III PENUTUP .........................................................................................
3.1 Kesimpulan......................................
............................ ............... 13
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………....
FATIMIYAH
DAN PERANNYA DALAM PENGEMBANGAN PERADABAN MESIR
A.
PENDAHULUAN
Dinasti Fatimiyah atau
disebut juga al-Fathimiyyun adalah satu-satunya Dinasti Shi’ah dalam
Islam yang penamaannya dinisbatkan kepada Fatimah al-Zahra, putri nabi Muhammad
SAW. Kebangkitan Dinasti ini berasal dari suatu tempat yang kini dikenal
sebagai Tunisia (Ifriqiyyah) ketika Dinasti Abbasiah di baghdad mulai
melemah. Dinasti Fatimiyah ini adalah salah satu dinasti Islam yang beraliran
Syi’ah Isma’iliyah yang lahir di Afrika utara pada tahun 909 M setelah
mengalahkan Dinasti Aghlabiyah di Sijilmasa.
Dalam sejarah, kejayaan
Dinasti Fatimiyah datang setelah pusat kekuasaanya dipindahkan dari tunisia
(al-Mahadiah) ke Mesir. Kekhalifahan Fatimiyah lahir sebagai manisfestasi dari
idealisme orang-orang Syi’ah yang beranggapan bahwa yang berhak memangku
jabatan imamah adalah keturunan dari Fatimah binti Rosulullah. Kekhalifahan ini
lahir di antara dua kekuatan politik kekhalifahan, Abbasiah di Baghdad, dan
Umayyah II di Cordova.
Sebenarnya golongan Syi’ah
sudah lama mencita-citakan berdirinya kekholifahan sejak pudarnya kekhalifahan
Ali bin Abi Tholib di Kufah. Mereka selalu mendapat tekanan-tekanan politik
semasa periode Kekhalifahan Umayah maupun Abbasiah. Dalam kegiatan politiknya,
mereka melakukan gerakan taqiyah yang kelihatannya taat terhadap penguasa
tetapi sebenarnya mereka menyusun kekuatan secara diam-diam.
Adapun Loyalitas terhadap Ali
bin Abi Thalib adalah isu terpenting bagi komunitas Syi’ah untuk mengembangkan
konsep Islamnya, melebihi isu hukum dan mistisme. Pada abad ke- VII dan ke-
VIII M, isu tersebut mengarah kepada gerakan politis dalam bentuk perlawanan
kepada Khalifah Umaiyah dan Khilafah Abbasiyah. Meski Khilafah Abbasiyah mampu
berkuasa dalam tempo yang begitu lama, akan tetapi periode keemasannya hanya
berlangung singkat. Puncak kemerosotan kekuasaan khalifah-khalifah Abbasiyah
ditandai dengan berdirinya khilafah-khilafah kecil yang melepaskan diri dari
kekuasaan politik Khalifah Abbasiyah.
Khilafah-khilafah yang
memisahkan diri itu salah satu diantaranya adalah Fatimiyah yang berasal dari
golongan Syi’ah sekte Ismailiyah, yakni sebuah aliran sekte di Syi’ah yang
lahir akibat perselisihan tentang pengganti imam Ja’far al-Shadiq yang hidup antara
tahun 700-756 M. Fatimiyah hadir sebagai tandingan bagi penguasa Abbasiyah yang
berpusat di Baghdad yang tidak mengakui kekhalifahan Fatimiyah sebagai
keturunan Rasulullah dari Fatimah. Karena mereka menganggap bahwa merekalah
ahlul bait sesungguhnya dari Bani Abbas.
Oleh karena itu, dalam makalah
ini penulis akan membahas tentang pusat peradaban Islam di mesir dengan
penglima perang dinasti Fatimiyah.
B.
SUBSTANSI KAJIAN
1.
Peran Fatimiyah dalam Pengembangan Peradaban
Mesir
a.
Berdirinya Dinasti Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah atau
disebut juga al-Fathimiyyun adalah satu-satunya Dinasti Shi’ah dalam
Islam yang penamaannya dinisbatkan kepada Fatimah al-Zahra, putri nabi Muhammad
SAW. Kebangkitan Dinasti ini berasal dari suatu tempat yang kini dikenal
sebagai Tunisia (Ifriqiyyah) Kemunculan Dinasti ini seperti yang
dikatakan JJ. Sounders adalah diakibatkan oleh tuntutan Imamah
sebagai Khalifah atau pengganti Rasulallah setelah wafat. Lebih jauh ia
mengatakan gerakan Shi’ah tersebut merupakan sebuah protes politik terhadap
penguasa. dan sebagai tandingan bagi penguasa dunia Islam pada saat itu yang
terpusat di Baghdad. Protes politik tersebut dilakukan dengan jalan
konfrontasi, sehingga para penguasa (Mu’awiyah dan Abbasiyah) tidak ragu-ragu
membunuh keluarga Ahl al-Bayt dan mengintimidasi para pengikutnya[1]
Salah satu sekte Shi’ah yang
mampu menampakkan diri pada abad X M. Tepatnya mulai 5 Januari 910 M/ 297 H.
hingga 1171M / 567 H.[2] adalah
Shi’ah Isma’iliyah. Sekte Shi’ah ini menisbatkan dirinya kepada Imamiyah dan
menyetujui penetapan ke enam para Imam yang pertama dari dua belas Imam.
Menurut mereka, sesudah Ja’far al-Shadiq (Imam ke enam), Imamah
tidaklah berpindah kepada putranya yang bernama Musa al-Kazim, akan tetapi
berpindah kepada puteranya yang lain yakni Isma’il. Karena itulah mereka
disebut dengan sekte Shi’ah Isma’iliyah. Namun para Imam yang mereka yakini
dari garis keturunan Isma’il tersebut tidak pernah muncul, justru yang muncul
hanyalah juru dakwah (propagandis/ misionaris). Oleh karena itu, para Imam
tersebut dinamakan al-Aimmah al-Masturun. Para Imam Isma’iliyah baru
akan muncul kembali setelah keadaan mereka bertambah kuat di Afrika utara pada
tahun 297 H. / 909 M.[3]
a)
Peradaban Mesir Kuno
Mesir
merupakan satu-satuna pusat kebudayan tertua di Benua Afrika yang verasal dari
tahun 4000 SM. Hal ini diketahui melalui penemuan sebuah batu tulis di daerah
Rosetta oleh pasukan Perancis yang di pimpin Napoleon Bonaparte. Batu tulis itu
berhasil dibaca oleh seorang Perancis yang bernama Jean Francois Champollion (1800)
sehingga sejak tahun itu terbukalah tabir sejarah Mesir Kuno yang berasal dari
tahun 4000 SM.
Peradapan
mesir kuno didasari atar control keseimbangan yang baik antara sumber daya alam
dan manusia, ditandai terutama oleh:
1)
Irigasi teratur terhadap Lembah
Nil
2)
Eksploitasi mineral dari lembah
dan wilayah gurun di sekitarnya
3)
Perkembangan awal system
tulisan dan literature independen
4)
Organisasi proyek kolektif
b)
Letak Geografis
Daerah
Mesir terletak di bagan utara Benua Afrika. Di sebelah utara berbatasan dengan
Laut Tengah, di sebelah timur berbatasan dengan Laut Merah, di sebelah selatan
berbatasan dengan Sudan dan disebelah barat berbatasan dengan Libya.
Berkat
adanya Sungai Nil, daerah Mesir menjadi daerah yang sangat subur. Sungai Nil
bersumber dari suatu mata air yang terletak jauh di tanah tinggi Afrika Timur.
Sungai Nil mengalir ke utera dan setiap tahun mendatangkan banjir. Banjir
inilah yang mengubah pandang pasir menjadi lembah-lembah ang subur. Lembah-lembah
itu antara 15km sampai 50 km. Herodotus ( ahli sejarah yunani) menjuluki daerah
Mesir hadiah dari Sungi Nil. Dimuara Sungai Nil terdapat ruatu delta yang luas
dan disitulah terletak kota-kota penting seperti Kairo, Iskandaria, Abusir, dan
Rosetta.
c)
Sejarah Masuknya
Islam di Mesir
Mesir merupakan negara
Islam yang cukup besar di Afrika. Jumlah penduduknya 41.990.000 jiwa, sebagian
besar penduduknya beragama Islam, sedangkan sisanya 3 juta jiwa beragama
Kristen.
Pada masa Khalifah Umar
Bin Khattab, Mesir dalam penjajahan bangsa Romawi Timur, dan yang menjadi
Gubernur Mesir pada saat itu ialah Mauqauqis. Pada saat itu bangsa Mesir sangat
menderita karena penjajahan yang tidak kenal belas kasihan. Oleh Karena itu, Amr
Bin Ash selaku panglima perang mengusulkan kepada Khalifah Umar Bin Khattab
untuk membebaskan Mesir dari penjajahan Romawi. Usul ini diterima dan pasukan
Islam yang membawa 4000 orang siap membebaskan Mesir. Pasukan yang dipimpin Amr
ini memasuki daerah Mesir melalui padang pasir terus mamasuki kota kecil
bernama Al Arisy, dengan mudah pasukan islam menaklukan kota itu. Dari situ
pasukan Islam memasuki kota Al Farma. Di kota ini pasukan Islam mendapat
perlawanan. Amr Bin Ash memerintahkan untuk mengepung kota ini dan setelah 1
bulan kota ini berhasil direbut. [4]
Dari kota itu pasukan
Islam melanjutkan ke kota Bilbis. Di sini pasukan Islam mendapat bantuan
dari rakyat Mesir. Di kota ini pasukan islam menangkap putri Mauqauqis yang
terkenal sebagai pelindung rakyat Mesir. Putri ini diantar kerumahnya dengan
segala hormat. Dari kota Bilbis pasukan Islam menuju ke Tondamis yang terletak
di tepi sungai Nil.
Di sini Amr Bin Ash
mendapat kesulitan karena banyak pasukan sudah gugur dan pasukan yang masih
hidup merasakan rasa lelah yang luar biasa. Amr Bin Ash pun meminta bantuan ke Khalifah
Umar Bin Khattab. Kepada pasukan yang ada Amr Bin Ash memberikan pidato yang
berapi-api sehingga pasukan Islam dapat menghancurkan benteng Tondamis dan
melanjutkan ke kota Ainu Syam, di perjalanan kota ini pasukan Islam baru
mendapat bantuan sebanyak 4000 orang. Setelah Ainu Syam dapat ditaklukan
pasukan Islam mempersiapkan penyerangan ke benteng Babil. Selama 7 bulan
benteng Babil dikepung dan akhirnya benteng terbaru di Mesir dapat di kuasai.
Setelah itu pasukan
Islam merebut kota Iskandaria, maka diadakan perjanjian antara Amr Bin Ash dan
Mauqauqis dan sejak itu Mesir menjadi daerah Islam sepenuhnya. Nama Amr Bin Ash
diabadikan menjadi nama mesjid tertua di Mesir.
d)
Gerakan Syi’ah Isma’iliyah
Kelahiran dinasti ini dimulai dengan
adanya gerakan dari cabang kaum Syi’ah Imamiyah – yaitu Syi’ah Isma’iliyah –
yang bereaksi terhadap khalifah-khalifah Abbasiyah yang mengadakan penyelidikan
kepada kaum Syi’ah Isma’iliyah. Penyelidikan itu mengharuskan golongan yang
setia kepada Isma’il bin Ja’far harus meninggalkan kota kecil di wilayah Hamah
daerah Syria menuju Afrika Utara.
Kaum Syi’ah Isma’iliyah itu sendiri
muncul karena berselisih paham dengan Syi’ah Imamiyah tentang imam yang
ketujuh. Menurut kaum Imamiyah, imam yang ketujuh adalah Putra Ja’far yang
bernama Musa al-Kazhim, sedangkan menurut Isma’iliyah imam yang ketujuh adalah
Putra Ja’far yang bernama Isma’il. Sehingga meskipun Isma’il sudah meninggal,
kaum Isma’iliyah tidak mau mengakui penobatan Musa al-Kazhim sebagai imam.
Menurut mereka hak atas Isma’il sebagai imam tidak dapat dipindahkan kepada
yang lain walaupun sudah meninggaL.[5]
Pemimpin gerakan Syi’ah Isma’iliyah
adalah Abu Abdullah al-Husain. Berkat propagandanya yang
penuh semangat, Abu Abdullah al-Husain berhasil
menarik suku Barbar yang terkenal keras, khususnya dari kalangan suku
Khithamah, menjadi pengikut setia gerakan ini.
e)
Penobatan Ubaidillah al-Mahdi
Setelah
memperoleh banyak dukungan dan berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara,
Abu Abdullah al-Husain menobatkan Sa’id ibn Husain
al-Salamiyah sebagai penggantinya. Selanjutnya Sa’id berhasil merebut kekuatan
dan berhasil mengusir penguasa dinasti Aghlabiyah yang terakhir yaitu
Ziyadatullah III dari Tunisia disusul dengan pendudukannya pada tahun 909 M.
Inilah awal berdirinya Dinasti Fatimiyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh
Sa’id Husain al-Salamiyah yang bergelar “Ubaidillah al-Mahdi”[6]
f)
Ideologi Dinasti
Fathimiyah
Nama
Fathimiyah dinisbatkan kepada Fatimah al-Zahra yaitu putri Nabi Muhammad Saw
yang juga merupakan istri Ali Ibn Abi Thalib ra. Ubaidaillah al-Mahdi mengaku
sebagai keturunan Ali ra dan Fatimah RA melalui garis Isma’il, putra Ja’far
al-Shadiq.[7]
Penisbatan ini memperkuat klaim dan legitimasi dinasti ini yang menganggap
bahwa merekalah yang sebenarnya paling berhak mengambil kendali dan memerintah
seluruh kerajaan Islam. Di samping itu berdirinya Dinasti Fathimiyah
jelas-jelas merupakan tandingan bagi Dinasti Abbasiyah yang sedang berkuasa.
Setelah
resmi mengukuhkan diri sebagai dinasti baru, Fathimiyah memulai pekerjaannya
dengan mengambil kepercayaan umat Islam bahwa mereka adalah benar-benar
keturunan Fathimah putri Rasul dan istri Ali bin Abi Thalib. Mereka mengklaim
bahwa mereka memiliki hak dari Tuhan untuk berkuasa.
Dinasti
Fathimiyah mengklaim sebagai pemimpin Islam yang sebenarnya. Fathimiyah
mewakili simbolisme otoritas politik Abbasiyah, Bizantium, filsafat, dan
Isma’iliyah. Mereka menegaskan bahwa mereka adalah imam-imam yang sebenarnya;
dengan demikian mereka memutuskan hubungan dengan tradisi Syi’ah yang tengah
berkembang sebelumnya bahwa Imam Syi’ah adalah tersembunyi.[8]
Pencitraan
diri sebagai kekhalifahan dan institusi imamah yang sah merupakan tanda untuk
menegaskan keberlanjutan otoritas politik dan spiritual yang dimiliki nabi
karena Syi’ah Isma’iliyah sebagai pendiri Dinasti Fathimiyah menunjukkan
keyakinan bahwa kepala negara yang sah adalah wakil Tuhan di muka bumi.
g)
Perluasan Wilayah Kekuasaan
Ubaidillah menegakkan pemerintahannya di
istana Aghlabiyah, yaitu di Raqqadah yang terletak di pinggiran kota Kairawan.
Ia membuktikan dirinya sebagai penguasa yang paling mampu dan berbakat. Ia
memperluas kekuasaannya sampai hampir meliputi wilayah Afrika, dari Maroko
sampai perbatasan-perbatasan Mesir[9]
Setelah wafat tahun 934 M, Ubaidillah
al-Mahdi digantikan oleh putranya Abu al-Qasim dengan gelar al-Qa’im selama 15
tahun. Pada tahun 934 atau 935 Al-Qa’im mengirim armadanya untuk menyerbu
Pantai Utara Prancis, dan berhasil menguasai Genoa dan sepanjang pesisir
Calabria.
Al-Qa’im meninggal pada tahun 949 M
ketika berusaha menaklukkan Mesir. Pengganti beliau adalah putranya bernama
al-Mansyur. Al-Manshur berhasil mengalahkan pasukan Abu Yazid Makad di Mesir.[10]
Setelah meninggal beliau digantikan oleh Abu Tamim Ma’ad yang bergelar
al-Mu’iz.
h)
Qahirah Menjadi Ibu Kota
Pada masa pemerintahan al-Mu’iz, Dinasti
Fathimiyah berhasil menaklukkan Maroko, Sisilia, Mesir, Palestina, Suriah, dan
Hijaz. Periode Dinasti Fathimiyah di Mesir dimulai ketika Jauhar, komandan
pasukan al-Mu’iz (Imam Syi’ah Dinasti Fathimiyah untuk periode 953-975), kepala
perang yang gagah berani asal Sicilia, menaklukkan negeri itu dan memasuki ibu
kotanya Fusthat pada tahun 969. Ia berhasil merampasnya dari keturunan Ikhsyid.
Keturunan Ikhsyid tidak dapat mempertahankan kekuatannya, sehingga terpaksa
melarikan diri
Setelah menduduki kota Fusthat, dia
membangun kota baru dengan nama ‘al-qahirah’ yang berarti ‘gagah perkasa’
sebagai lambang kemenangannya[11] Di
Mesir, yang telah direbutnya dalam waktu singkat, Jauhar memiliki tugas utama,
yaitu:
a. Mendirikan
ibu kota baru yaitu Kairo
b. Membina
suatu universitas Islam yaitu Al-Azhar
c. Menyebarluaskan
ideologi Fathimiyah yaitu Syi’ah ke Palestina, Syria, dan Hijaz.[12]
Setelah empat tahun dikuasai, barulah
al-Mu’iz datang ke Mesir, tepatnya tahun 973 M dengan terlebih dahulu memasuki
kota Iskandariyah. Di Iskandariyah beliau disambut dengan upacara besar oleh
penduduk, selanjutnya beliau memasuki Qahirah. Tiga tahun kemudian al-Mu’iz
meninggal dan digantikan oleh putranya al-Aziz.
b.
Para Penguasa Dinasti
Fatimiyah
Dari metode pergantian khalifah, dapat dikatakan
bahwa bentuk pemerintahan pada masa dinasti Fathimiyah adalah berbentuk monarki
atau sistem kerajaan, yaitu sistem pergantian kepala negara atau pemerintahan
secara turun menurun. Didalam perjalanan pemerintahannya, Daulah
Fathimiyyah melalui dua fase, yaitu:
1. Fase Konsolidasi (969-1021 M)
Pada fase ini sempat terjadi perang saudara antara
Turki dan Barbar, yang keduanya merupakan kelompok yang turut mendirikan
Dinasti Fathimiyyah. Barbar memberikan dukungan sepenuhnya kepada Daulah
Fathimiyyah karena awalnya Barbar-lah yang mengusai anggota pemerintahan.
Banyak diantara bangsa Barbar yang diangkat menjadi pemerintahan. Keadaan ini
berlangsung sampai masa pemerintahan Al – Muizz li Dinillah. Sedangkan pada
masa pemerintahan Az Zahir dan Al – Munthasir Khalifah lebih dekat dengan
keturunan Turki. Sehingga muncullah dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar,
sejak saat itulah Barbar kehilangan kedudukan dalam pemerintahan. Untuk lebih
mengenal keadaan dalam fase ini, baik tentang pemimpin/Khalifah, roda
pemerintahan, kebijakan pemerintah, dan situasi yang dihadapinya, akan
dijelaskan sebagai berikut :
1) Al-Mahdi
( 909-934 M. / 297-322 H. )
Penguasa
sekaligus pendiri Dinasti Fatimiyah ini mempunyai nama asli Sa’id bin
al-Husayn al-Salmiyah dengan gelar Ubayd Allah al-Mahdi yang menegakkan
pemerintahannya di istana Aghlabiyah yaitu Raqqadah (terletak di pinggiran kota
Qairawan) setelah dapat mengusir Ziyadatullah pada tahun 909 M/297 H., penguasa
Aghlabi yang terakhir.[13]
Al-Mahdi merupakan penguasa fathimiyah yang cakap. Dua tahun semenjak
penobatannya, ia menghukum mati pimpinan propagandanya yakni Abu Abdullah
Al-Husain karena terbukti bersekongkol dengan saudaranya yang bernama Abdul
Abbas untuk melancarkan perebutan jabatan khalifah. Kemudian Al-Mahdi
melancarkan gerakan perluasan wilayah kekuasaan ke seluruh Afrika yang
terbentang dari mesir sampai dengan wilayah Fes Maroko. Pada tahun 914 M, ia
menduduki Alexandria. Kota-kota lainnya seperti Malta, Syria, Sardinia,
Corsica, dan sejumlah kota lain jatuh ke dalam kekuasaannya.[14]
Al-Mahdi ingin
menaklukan Spanyol dari kekuasaaan Umayyah. Oleh karena itu, ia menerima
hubungan persahabatan dan kerja sama dengan Muhammad bin Hafsun, pimpinan
pergerakan pemberontakan di Spanyol. Namun, ambisinya ini belum berhasil sampai
ia meninggal dunia pada tahun 934 M.
2) Al-Qaim
( 934-946 M. / 322-334 H. )
Al-Mahdi wafat
pada tahun 934 M./322 H. dan digantikan oleh putra tertuanya Abu al-Qasim yang
bergelar al-Qaim bi Amr Allah. Ia meneruskan gerakan ekspansi yang telah
dimulai oleh ayahnya. Pada tahun 934 M, ia mengerahkan pasukan dalam jumlah
besar ke daerah selatan pantai prancis.Ia adalah pemimpin pemberani, hampir
setiap ekspsdisi militer ia pimpin sendiri, sehingga dalam tahun pertama
kekhalifannya, ia berhasil menduduki Genoa dan wilayah sepanjang pantai
Calabria. Mereka melancarkan pembunuhan, penyiksaan, pembakaran kapal-kapal,
dan merampas budak-budak. pada tahun yang sama ia mengerahkan pasukan ke Mesir
namun dapat dikalahkan oleh dinasti Ikhsidiyah sehingga mereka terusir dari
Iskandariyah. [15]
Di tengah
kesuksesannya dalam ekspansi, Al-qa’im mendapat perlawanan dari kalangan khawarij
yang melancarkan pemberontakan di bawah pimpinan Abu Yazid makad. Berkali-kali
gerakan pemberontak ini mampu menahan serangan pasukan fathimiyah dalam
peperangan yang berlangsung hamper tujuh tahun.[16]
Al-Qa’im meninggal
dunia pada tahun 946 M. ketika itu sedang terjadi pemberontakan di Susa’ yang
dipimpin oleh Abu Yazid. Al-Qa’im digantikan oleh putranya bernama Al-Manshur.
3)
Al-Mansur (
946-952 M. / 334-341 H. )
Al-Mansur adalah
pemuda yang lincah dan berani, ia menggantikan ayahnya dalam usia 27 tahun.
Meskipun hanya memerintah selama 7 tahun 6 hari, ia masih bisa menjaga
kedaulatan Dinasti Fatimiyah meskipun putra Abu Yazid Makad dan sejumlah
pengikutnya senantiasa menimbulkan keributan. Ia juga membangun sebuah
kota di wilayah perbatasan Susa’ pada tahun 337 H./949M. yang
diberi nama al-Mansuriyyah,
4) Al-Mu’izz
( 952-975 M. /341-365 H. )
Setelah
al-Mansur meninggal dunia pada hari Jum’at akhir Shawal 341 H/952 M., ia
digantikan putranya, Abu Tamim Ma’ad dengan gelar al-Mu’izz li Din Allah.
Penobatan al-Mu’izz sebagai khalifah keempat menandai era baru Dinasti
Fatimiyah, karena di samping pusat pemerintahan sudah berpindah dari
al-Mahdiyah ke al-Qahirah yang dibangun oleh panglima perangnya, Jawhar al-Siqilli
(al-Saqali).
Banyak
keberhasilan yang dicapainya, pertama kali ia menetapkan untuk mengadakan
peninjauan ke seluruh penjuru wilayah kekuasaan-nya untuk mengetahui kondisi
yang sebenarnya. Selanjutnya, Mu’iz menetapkan langkah-langkah yang harus
ditempuh demi terciptanya keadilan dan kemakmuran. Ia menghadapi gerakan
pemberontakan secara tuntas hingga mereka bersedia tunduk ke dalam kekuasaan
Mu’iz. Mu’iz menempuh kebijakan damai terhadap para pimpinan dan gubernur
dengan menjanjikan penghargaan kepada mereka yang menunjukkan loyalitasnya.
Oleh karena itu, dalam tempo singkat, masyarakat seluruh negeri mengenyam
kehidupan yang damai dan makmur.
Setelah berhasil
dalam program konsolidasi, Mu’iz mengerahkan perhatiannya pada program ekspansi
kekuasaan. Ketika itu di spanyol sedang terjadi permusuhan antara Abdur Rahman
III dan penguasa franka, maka Mu’iz memanfaatkan kesempatan ini dengan
mengerahkan ekspansi militer ke Maroko dengan pimpinan Jauhar. Gubernur umayah
gagal mempertahankan wilayah ini sehingga maroko diduduki pasukan Mu’iz.
Penaklukan Mesir
merupakan cita-cita terbesar gerakan ekspansi Mu’iz. Mu’iz telah lama menanti
datangnya kesempatan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Maka ketika Mesir
dilanda kerusuhan serius pada tahun 968 M. Mu’iz segera memerintahkan Jauhar
untuk mengerahkan menaklukan Mesir. Pada tahun 968 m, jauhar berhasil menduduki
Fusfat tanpa suatu perlawanan. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan
Dinasti Fathimiyah. Jauhar segera membangun kota Fusfat menjadi kota baru
dengan Qahirah (Kairo). Semenjak tahun
973 M kota ini dijadikan sebagai ibu kota pemerintahan Dinasi
Fathimiyah. Selanjutnya Mu’iz mendirikan masjid Al-Azhar. Masjid ini oleh
khalifah Al-Aziz dijadikan sebagai pendidikan tinggi Al-Azhar. Universitas Al-Azhar yang berkembang di masa
sekarang ini bermula dari pendidikan tinggi ini.[17]
Khalifah Mu’iz
meninggal pada tahun 975 M, setelah memerintah selama 23 tahun. Ia merupakan
khalifah yang terbesar. Ia adalah pendiri dinasi fathimiyah di Mesir.
Kecakapannya sebagai negarawan terbukti oleh perubahan fathimiyah sebagai
dinasi kecil menjadi imperium besar.
5) Al-‘Aziz
( 975-996 M. / 365-386 H. )
Abu Mansur Nizar
(lahir pada tahun 344 H./954 M.) menggantikan ayahnya pada bulan Rabi’ al-Awwal
365 H. memasuki tahun ke-22 dari umurnya dengan gelar al-‘Aziz bi
Allah, ia terkenal sangat pemurah dan bijaksana bahkan terhadap
musuh-musuhnya sekalipun. Puncak kekuasaan Dinasti Fatimiyah adalah pada saat
pemerintahannya yang meliputi dari wilayah Euprat sampai Atlantik, melampaui
kekuasaan dinasti Abbasiyah di Baghdad yang sedang memasuki masa kemunduran dibawah
kekuasaan Buwaihiyah
Dalam
pemerintahannya, ia sangat liberal dan memberi kebebasan kepada setiap agama
untuk berkembang, kerukunan antar umat beragama terjalin dengan sangat baik,
bahkan seorang wazirnya, Isa ibn Nastur adalah beragama kristen dan Manasah
seorang Yahudi menjadi salah seorang pejabat tinggi di istananya. Pembangunan
fisik dan seni arsitektur merupakan lambang kemajuan pemerintahannya, karena ia
juga ahli Sha’ir dan pendidikan seperti The Golden Palace, The Pearl Pavillion
dan masjid Karafa, masjid al-Azhar dijadikan al-Jami’ah/Universitas.
6) Al-Hakim
( 996-1021 M. / 386-411 H. )
Al-‘Aziz
digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Ali Mansur (lahir pada bulan
Rabi’ al-Awwal 875 H./985 M.) dengan gelar al-Hakim bi Amr Allah yang
masih berumur 11 tahun. Selama tahun-tahun pertama, ia berada dibawah pengaruh
Gubernurnya yang bernama Barjawan yang sedang terlibat koinflik dengan panglima
militer Ibn ‘Ammar, setelah berhasil menyingkirkan sang panglima, Barjawan
menjadi pelaku utama dalam pemerintahannya meskipun pada tanggal 26 Rabi’
Al-Thani 390 H./1000 M. Bajarwan dibunuh karena tuduhan penyalah-gunaan
kekuasaan negara. Pemerintahannya ditandai dengan tindakan-tindakan kejam yang
menakutkan, ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja,
orang kristen dan orang yahudi harus memakai jubah hitam dan hanya dibolehkan
menunggangi keledai, ia mengeluarkan maklumat untuk menghancurkan seluruh
gereja di Mesir dan menyita tanah serta seluruh harta kekayaan mereka sehingga
mereka merasa kehilangan hak-haknya sebagai warga negara.
Prestasi besar
dalam pemerintahannya adalah pembangunan sejumlah masjid, perguruan-perguruan
dan pusat observatorium astrologi, tahun 395 H./1005 M. ia merampungkan
pembangunan Dar al-Hikmah sebagai sarana penyebaran ajaran-ajaran Shi’ah
dan pada tahun 403 H./1013 M.. ia mendirikan al-Jam’iyyah al-‘Ilmiyyah “Akademia”
dari berbagai disiplin ilmu seperti Fiqh, mantiq, Filsafat, matematika,
kedokteran dan lainnya, setelah itu seluruh kitab yang ada di Dar al-Hikmah
ia pindahkan ke masjid al-Azhar. Tetapi pada tangaal 13 Pebruari 1021 M./411 H.
Ia terbunuh di Mukatam, kemungkinan konspirasi yang dipinpin oleh adik
perempuannya yang bernama Sitt al-Mulk yang telah diperlakukan tidak
hormat oleh khalifah.
7) al-Zahir ( 1021-1035 M. / 411-427 H. )
Al-Hakim
digantikan oleh putranya yang bernama Abu Hashim dengan gelar al-Zahir
li I’zaz din Allah (lahir 10 Ramad}an 395 H./1005 M.), ia naik tahta pada
usia 16 tahun sehingga pemerintahannya dipegang oleh bibinya Sitt al-Mulk, sepeninggal
bibinya (tahun 415 H./1025 M.), ia menjadi raja boneka dari menteri-menterinya.
Peristiwa yang
paling terkenang pada masa ini adalah penyelesaian persengketaan kegamaan pada
tahun 1025 di mana tokoh-tokoh madzhab Malikiyah diusir dari Mesir. Sekalipun
demikian, secara umum Az-zahir cukup toleran terhadap kelompok sunni. Ia
bersedia membuat perjanjian dengan kaisar Romawi, yakni kaisar Constantine
VIII. Sang kaisar diizinkan membangun kembali gereja Yerusalem yang roboh
akibat kerusuhan yang terjadi disana. Ia meninggal pada 1036 M, setelah
memerintah selama 16 tahun.
8) al-Mustansir
( 1035-1094 M. / 427-487 H. )
Al-Zahir diganti
oleh anaknya yang bernama Abu Tamim Muhammad dengan gelar al-Mustansir bi
Allah, ia menjabat sebagai khalifah selama enam puluh tahun empat bulan
yang merupakan pemerintahan terpanjang dalam sejarah. Masa awal pemerintahannya
dipegang oleh ibunya, karena ketika dinobatkan sebagai khalifah ia masih
berumur tujuh tahun.
Pada masa
al-Mustansir, kekuasaan Dinasti Fatimiyah mengalami kemunduran secara drastis,
relatif tidak ada perkembangan kecuali pembangunan teropong bintang,
beberapa kali terjadi perebutan perdana menteri dan terjadi pemberontakan dan
peperangan seperti Marokko menyatakan bebas dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah
pada tahun 443 H., Mekkah dan Madinah memisahkan diri pada tahun 462 H. dan di
Yaman nama Khalifah telah tidak disebut-sebut lagi pada waktu khatbah jum’atnya
melainkan ia mengantikan dengan menyebut nama khalifah Abbasyiah. Namun, Al-Mustansir tidak tertarik untuk
memerangi Muiz bin Badis di Afrika. Sang khalifah lebih tertarik dengan
pemberontakan Al-Bassasiri terhadap pemerintahan Abbasiyah, dan menjadikannya
sebagai kesempatan untuk menegakkan kembali kekuasaannya di Asia barat setelah
Turghil menegakkan kekuasaan Abbasiyah di wilayah ini.
Sepeninggal
Al-Muntasir pada tahun 1095 M, imperium fathimiyah dilanda konflik dan
permusuhan. Tidak seorang pun khalifah sesudah Al-Muntasir mampu mengendalikan
kemerosotan imperium ini.
9) Al-Musta’li
( 1094-1101 M. / 487-495 H. )
Putra termuda
dari al-Mustansir yaitu Abu al-Qasim Ahmad yang bergelar al-Musta’li bi
Allah menduduki jabatan khalifah sepeninggal ayahnya, tetapi putra
al-Mustansir yang tertua, Nizar menolak penobatan adiknya lalu ia bangkit di
Ikandariyah setelah memecat Gubernur wilayah tersebut, disana ia
memproklamirkan diri sebagai khalifah dengan gelar al-Mustafa li Din Allah.
Ketika al-Musta’li tahu kejadian tersebut, maka al-Malik al-Afdal
sebagai orang yang mengangkat al-Musta’li membawa bala tentara untuk menangkap
Nizar dan memenjarakannya sampai meninggal.
Dengan kejadian
ini, rakyat terpoecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Musta’li dan Nizari.
Kaum Nizari Isma’iliyah sebagian berada di Shiria dan sebagian di pegunungan
Persia Barat dibawah pinpinan Hassan assabah, gerakan inilah yang kemudian
dikenal dengan Asasin yang berasal dari kata Hasyasyin.
10)
Al-Amir (
1101-1130 M. / 495-524 H. )
Setelah al-Musta’li
meninggal dunia, anaknya yang masih berumur lima tahun dinobatkan oleh al-Malik
al-Afdal sebagai khalifah dengaan gelar kehormatan al-Amir li Ahkam
Allah . al-Malik al-Afdal adalah perdana menteri yang berkuasa
secara absolut selama 20 tahun, termasuk ketika al-Amir telah dewasa dan
merupakan raja Mesir yang sesungguhnya selama 50 tahun
11) Al-Hafiz
( 1130-1149 M. / 524-544 H. )
Setelah menjadi
korban pembunuhan kelompok Nizariyyah/batiniyyah, sepupunya yang bernama Abu
al-Maymun Abd al-Majid al-Hafiz memproklamirkan diri sebagai khalifah.
Pemerintahanmya banyak diwarnai dengan perpecahan antara unsur-unsur
kemiliteran.
12)
Al-Zafir (
1149-1154 M. / 544-549 H. )
Setelah kematian
al-Hafiz, Putranya yang bernama Abu Mansur Isma’il dengan gelar al-Zafir.
Ia masih berumur tujuh belas tahun ketika dinobatkan menjadi khalifah. Ia
adalah seorang pemuda yang tampan dan sembrono yang lebih memikirkan urusan
perempuan dan musik dari pada urusan politik dan pertahanan, meskipun
sebenarnya ia hanyalah seorang boneka dari seorang wazir dari Kurdistan, Abu
al-Hasari bin al-Sallar yang menyebut dirinya al-Malik al-‘Adil yang
kemudian terbunuh dan posisi wazir digantikan oleh Abbas. Pada tahun
1153 M./548 H. al-Zafir dibunuh oleh Nasr ibn Abbas.
13.
Al-Faiz ( 1154-1160 M. / 549-555 H. )
Dua hari setelah
kematian al-Zafir, putranya yang masih berumur empat tahun, Abu al-Qasim Isa
dinobatkan sebagai khalifah oleh Abbas dengan gelar al-Faiz, khalifah kecil ini
meninggal dunia pada usia sebelas tahun, lalu digantikan oleh sepupunya
al-‘Adid.
14.
Al-‘Adid ( 1160-1171 M. / 555-567 H. )
Nama lengkapnya
adalah Abu Muhammad Abd Allah al-‘Adid, ia masih berumur sembilan tahun ketika
dinobatkan sebagai khalifah yang ke empat belas (khalifah terakhir dari Dinasti
Fatimiyah), karena segera disusul penyerangan Almaric, Raja Yerusalem ke Mesir
pada tahun 1167 M./562 H. dan terus menerus terjadi perebutan kekuasaan sampai
datang Salah al-Din al-Ayyubi yang menggantikan pamannya, Syirkuh sebagai
wazir pada tahun 1169 M./564 H.
2. Fase Parlementer
Setelah melalui fase konsolidasi, selanjutnya
Dinasti Fathimiyyah memasuki fase parlementer. Suatu fase dimana banyak sekali
muncul permasalahan–permasalahan yang rumit sebagai suatu kelanjutan dari
kekuasaan/kejayaan yang dicapai pada fase konsolidasi. Masa ini disebut juga
dengan “Ahdu Mufuzil Awzara” atau masa pengaruh menteri-menteri mulai dari Az
Zahir, sampai dengan Al ‘Adhid.
Pada fase ini memperlihatkan kemunduran tatanan
politik, yakni periode peperangan antar fraksi-fraksi militer dan pembagian
negeri ini menjadi sejumlah iqta’ yang dikuasai oleh pejabat-pejabat-pejabat militer yang berpengaruh.
Sebuah peperangan telah terjadi dalam fase ini
yakni perang Salib. Perang yang terjadi di awal kekuasaan al-Munthasir ini
diawali dengan ekspansi yang dilakukan Fathimiyyah dari Mesir sampai ke
Palestina dan Syiria.[18]
2.
Masa Kemajuan dan Kemunduran dan Kontribusi Dinasti
Fatimiyah Terhadap Peradaban Islam di Mesir
a.
Masa
kemajuan
Sejak awal
pemerintahannya, Al-Mahdi sudah berusaha menaklukkan Mesir, ia melakukan
ekspansi tersebut sampai tiga kali yaitu pada tahun 913 M/301 H. ,919 M./307 H.
dan tahun 933 M./321 H yang dipinpin oleh putranya Abu al-Qasim tetapi tidak
pernah berhasil. Menurut Hasan Ibrahim
ekspansi
tersebut didorong beberapa faktor yang antara lain adalah:
- Faktor Ekonomi : yaitu keadaan alam Mesir yang agraris dan subur serta kaya dengan beberapa penghasilan dan kerajinan.
- Faktor Geografis: letak Mesir yang strategis, jauh dari pusat pemerintahan dawlah Abbasiyah di Baghdad, berada di tengah-tengah timur dan barat, dekat dengan Sham, Palestina dan Hijaz yang merupakan daerah-daerah yang subur dan potensial.
- Faktor Politis: Dinasti Fatimiyah mendapat sambutan yang simpatik dari rakyat Mesir.
1. Bidang
Keagamaan
Ketika al-Muiz
berhasil menguasai Mesir, di tempat ini berkembang empat madzhab fikih; Maliki,
Hanafi, Syafi’I, dan Hanbali. Sedangkan al-Muiz mmenganut faham Syi’ah. Oleh
karena itu, al-Muiz mengayomi dua kenyataan ini dengan mengangkat hakim dari
kalangan sunni dan syi’ah. Akan tetapi, jabatan-jabatan penting diserahkan
kepada ulama’ syi’ah; dan sunni hanya menduduki jabatan-jabatan penting rendah.
Pada tahun 379
M, semua jabatan diberbagai bidang
politik, agama dan militer dipegang oleh Syi’ah. Oleh karena itu,
sebagian pejabat Fatimiyah yang sunni beralih ke Syi’ah supaya jabatannya
meningkat.[19]
Doktrin Imamah
bagi Syi’ah yang dikembangkan oleh pemerintahan syi’ah tidak hanya berkonotasi
theologi, tetapi juga berdimensi politis. Para pengikut Syi’ah berpendirian
bahwa jabatan Imamah (Khilafah di kalangan Sunni) merupakan hanya Ahl al-Bait,
yakni keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah. Oleh karenanya, mereka tidak
mau tunduk pada pemerintahan para khalifah tersebut. Selain itu, mereka tidak
pernah berhenti memperjuangkan apa yang mereka anggap sebagai haknya itu
melalui berbagai jalan termasuk pemberontakan dan peperangan. Berdirinya
Dinasti Bani Fathimiyah di Mesir ini juga antara lain dilatarbelakangi oleh
doktrin di atas.
Pemerintahan
Fathimiyah ini dapat dimasukkan ke dalam model pemerintahan yang bersifat
keagamaan. Dalam arti bahwa hubungan-hubungan dengan agama sangatlah kuat,
simbol-simbol keagamaan, khususnya. Dalam hubunganya dengan keluarga Ali,
sangat ditonjolkan dalam mengurus pemerintahan. Seperti dinyatakan oleh Moh
Nurhakim (2003;106-107).[20]
bahwa Fatimiyah
membangun masjid-masjid., seperti Al Azhar dan Al Hakim, dengan menara serta
kubahnya vang menjulang bagaikan ketinggian para Imam, dan mengingatkan terhadap
kota suci Makkah dan Madinah Sebagai suatu cara memuliakan terhadap
khalifah karena kesungguhannya dalam berbakti kepada Tuhan.
Selain itu,
menurut Nur Hakim, memuliakan terhadap Imam yang hidup disejajarkan dengan
memuliakan terhadap kalangan Svuhada’ dari keluarga Nabi. Fatimiyah membangun
sejumlah makam keluarga Ali, seperti makam Husein di Mesir, dalam rangka
meningkatkan peziarah serta memberi kesan mendalam kepada masyarakat atas
tempat-tempat suci dan keramat. Maka, pada 1153 M. kepala Husein, yang
dipenggal dalam peperangan melawan Yazid bin Muawivah, dipindahkan dari Ascalon
ke Kairo, lalu di bangunlah makam Sayyaidina Husein yang sekarang disebut
perkampungan Husein.
Salah satu
doktrin keimaman yang lain adalah bahwa Imam mesti dijaga oleh Allah dari
kesalahan-kesalahan yang biasa dilakukan oleh manusia biasa. Selanjutnya,
doktrin ini bisa dimanfaatkan oleh para khalifah untuk membuat legitimasi
keagamaan pada dirinva. MisaInva, Ubaidillah Al Mahdi, pendiri Fatimiyah,
adalah gelar dari Said bin Husain al-Salamiyah, sekaligus dengan gelar ini dia
menyatakan diri sebagai Imam dari Syi’ah Isma’iliyah. Dengan gelar ini, maka
setidaknya akan menimbulkan kesan umum bahwa sang kholifah adalah seorang imam
yang terjaga dari kesalahan-kesalahan fatal.
Imam dalam
doktrin Syiah juga bersifat messianistik (Mahdiisme), yakni, ia dipahami
sebagai figur penyelamat di kala suatu bangsa yang mengalami keadaan konflik
yang berkepanjangan yang tak terselesaikan.
Sebagai akibat
dari doktrin-doktrin Syi’ah, maka pemerintahan Fathimiyah mempunyai corak yang
militan, khususnya di masa awal kemunculannya. Usaha para pemimpin Syi’ah yang
kemudian diwakili oleh Ubaidillah untuk mewujudkan dinasti Fathimiyah dilakukan
di bawah tanah dalam waktu yang panjang dengan penuh militansi. Selanjutnya,
pemerintahannya bercorak keagamaan, dalam arti penggunaan simbol-simbol ritus
maupun mitos dalam agama sangatlah kental. Untuk memperoleh dukungan rakyat,
make khalifah sering menggunakan simbol-simbol keagamaan. Hal yang terakhir ini
juga membawa pengaruh kepada corak kebuday’aannya yang religius.
2. Bidang
Administrasi dan Pemerintahan
Kekuasaan
Pemerintahan Dinasti Fatimiyah mencakup wilayah yang sangat luas sekali
meliputi Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah,
Yaman, dan Hijaz.
Bentuk
pemerintahan Dinasti Fatimiyah adalah bentuk yang dianggap pola baru dalam sejarah
Mesir, karena dalam pelaksanaannya, khalifah adalah kepala negara yang bersifat
temporal dan spritual, pemecatan pejabat tinggi berada dibawah kontrol
kekuasaan khalifah.
Dalam bidang
Kemiliteran dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu:
- Amir-amir yang terdiri dari para perwira tertinggi dan para pengawal khalifah
- Para perwira istana yang terdiri atas para ahli (ustadh) dan para kasim
Komando-komando
resimen yang masing-masing menyandang nama berbeda sepertii hafiziyyah, Juyushiyyah
dan sudaniyyah atau yang dinamai dengan nama
khalifah, wazir dan suku.
Di luar
jabatan-jabatan istana diatas, terdapat jabatan tingkat daerah yang meliputi
tiga daerah yaitu Mesir, Shiria dan daerah-daerah di Asia kecil. Khusus daerah
Mesir terdiri dari empat provinsi, yaitu provinsi Mesir bagian atas,
provinsi Mesir wilayah timur, provinsi Mesir wilayah barat dan wilayah
Iksandariyyah, segala urusan yang berkaitan dengan daerah tersebut diserahkan
kepada penguasa setempat.[21]
3. Perkembangan Ilmu
Dinasti
Fatimiyah pada puncak kejayaannya perkembangan ilmu telah mencapai yang sangat
mengagumkan, hal ini disebabkan adanya penerjemah dan kutipan-kutipan dari
bahasa asing, seperi bahasa Yunani, Persia, dan India kedalam bahasa Arab
sehingga banyak ulama yang belajar sastr dan penulisan. Diantara tempat
perkembangan ilmu pengetahuan adalah dengan berdirinya masjid dan istan yang
ditempatkan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Diceritakan salah seorang wazir
dinasti ini Ya’qub ibn Yusuf ibn Killis sangan mencitai ilmu pengetahuan dan
seni.[22]
Diantara
khalifah Fatimiyah adalah tokoh pendidikan dan orang yang bereradaban tinngi.
Al-Aziz adalah khalifah yang ahli syair dan mencintai kegiatan pengajaran. Ia
telah mengubah masjid agung Al-Azhar menjadi sebuah lembaga pendidikan tinggi.
Khalifah Fatimiyah mendirikan sejumlah sekolah dan perguruan, mendirikan
perpustakaan umum dan lembaga ilmu pengetahuan. Dar-alhikmah merupakan prakrsa
terbesar untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Para khalifah Fatimiyah pada
umumnya juga mencitai berbagai seni termasuk seni arsitektur yang telah dibahas
sedikit diatas.
Beberapa
khalifah pertama dinasti Fatimiyah dikenal sebagai khalifah berbudaya, periode
mereka bisa dibilang tidak melahirkan ilmuwan dan penulis yang kondang dalam
sains dan sastra. Seperti khalifah-khalifah lainnya di baghdaad dan Kordova.
Salah satu fondasi terpenting yang dibangun pada masa Fatimiyah adalah
pembangunan Dar-Hikmah (rumah kebijaksanaan) Dar al-‘Ilm (rumah ilmu) yang
didirikan oleh al-Hakim pada 1005 sebagai pusat pembelajaran dan penyebaran
Syiah ekstrim.[23]
4. Bidang
Politik
Pada masa
pemerintahan Fatimiyah, kepada Negara dipimpin oleh seorang imam atau khalifah,
para imam bagi fatimiyah memang sesuatu yang diwajibkan, ini merupakan
penerapan kekuasaan yang turun temurun, mulai dari Nabi Muhammad, Ali bin Abi
Thalib, kemudian selanjutnya di teruskan oleh para imam. Imamah ini diwariskan
dari seorang bapak kepada anak laki-laki yang paling tua dari keturunan mereka.
Dan menjadi syarat penting yang harus dipenuhi dalam pengangkatan seorang imam
adalah adanya nash atau wasiat khusus dari imam sebelumnya.[24] Baik
wasiat yang di kemukakan di hadapan umat islam secara umum, atau hanya
diketahui oleh orang-orang tertentu sebagian dari mereka saja.
Para imam
didinasti fatimiyah, mereka anggap sebagai penjelmaan Allah di bumi, meraka
menjadikan Imam-imam sebagai tempat rujukan utama dalam syariat, dan orang
paling dalam ilmunya.
Selanjutnya dari
segi politik juga daulat fatimiyah membentuk wazir-wazir (wazir tanfiz dan
wazir tafwid). Wazir ini dibentuk pada masa Aziz billah pada bulan
Ramadhan tahun 367H/979 M.Disamping itu daulat fatimiyah juga membentuk
dewan-dewan dalam pemerintahannya diantaranya, dewan majlis , dewan
nazar, dewan tahkik (sekretaris)dewan barid (pos),
dewan tartib (keamanan), dewan kharraj (pajak) dan
lain-lainnya.[25]
Bentuk
pemerintahan pada masa Fatimiyah merupakan suatu bentuk pemerintahan yang
dianggap sebagai pola baru dalam sejarah Mesir. Dalam pelaksanaannya Khalifah
adalah kepala yang bersifat temporal dan spiritual. Pengakatan dan pemecatan
penjabat tinggi berada di bawah kontrol kekuasaan Khalifah.
Mentri-mentri
Wazir kekhalifahan dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok Militer dan Sipil.
Yang dibidangi oleh kelompok Militer diantaranya: urusan tentara, perang,
pengawal rumah tangga khalifah dan semua permasalahan yang menyangkut keamanan.
Yang termasuk kelompok Sipil diantaranya:
a. Qadi,
yang berfungsi sebagai hakim dan direktur percetakan uang
b. Ketua
dakwah, yang memimpin Darul Hikmah
c. Inspektur
pasar, yang membidangi bazar, jalan dan pengawasan timbangan
d. Bendaharawan
Negara, yang membidangi Baitul Mal
e. Wakil
kepala urusan rumah tangga Khalifah
f. Qori,
yang membaca al-Qur’an bagi Khalifah kapan saja dibutuhkan.
Selain dari
penjabat di istana ini ada beberapa pejabat lokal yang diangkat oleh Khalifah
untuk mengelola bagian wilayah Mesir, Siria, dan Asia kecil. Ketentaraan dibagi
ke dalam tiga kelompok:
a)
Amir-amir yang berdiri dari
pejabat-pejabat tinggi dan pengawal Khalifah
b)
Para Obsir Jaga
c)
Resimen yang bertugas sebagai
Hafizah Juyudsiah dan Sudaniyah.
5. Sains dan kebudayaan.
Dinasti
Fatimiyyah di Mesir dapat dikatakan mengungguli prestasi Bani’Abbas di Baghdad
dan Bani Umayyah di Spanyol pada saat yang sama, terutama prestasi dalam bidang
ilmu pengetahuan (sains). Pengembangan sains di sana bermula dari tradisi yang
berhasil dirintis oleh khalifah Al-Aziz. Ia adalah seorang sastrawan yang
mempunyai perhatian besar dalam bidang sains, seperti Al-Makmun di Bani Abbas.
Tidak heran jika istana dijadikan sebagai pusat kegiatan keilmuwan, tempat
diskusi para ulama, fuqaha, qurra, nuhat, ahli hadis dan para pejabat yang ikut
juga terlibat di dalamnya. Sebagian para pejabat dan pegawai terdiri dari para
ilmuwan dalam berbagai disiplin i1mu.
Al-Aziz memberi
gaji yang besar kepada para pengajar, sehingga banyak para ulama besar pindah
dari Baghdad ke Kairo. Al-Azhar dijadikan pusat studi ilmu-ilmu dari berbagai
disiplin ilmu. Di samping Al-Azhar, pada 1005 M. Al-Hakim mendirikan Dar
al-Hikmah, sebagai pusat studi pada tingkat tinggi, di dalamnya
dilakukan diskusi, penelitian, penulisan dan penerjemahan, serta pendidikan.
Pada masa ini
muncul sejumlah ulama besar, diantaranya; Muhammad al-Tamimi (ahli fisika dan
kedokteran), Al Kindi (ahli sejarah dan filsafat), al-Nu’man (ahli hokum dan
menjabat sebagai hakim), Ali Ibn Yunus (Ahli Astronomi), Ali al-hassan Ibn
al-Khaitami (Ahli fisika dan optik).[26]
Sektor pertanian
sangat digalakkan, karena tanah negeri Mesir sangat subur berkat aliran sungai
Nil yang sangat melimpah. Karenanya, sistem pengairan melalui perbaikan irigasi
dan kanal-kanal dapat meningkatkan produktivitas pertanian: gandum, kurma, kapas,
bawang putih dan merah, serta kayu-kayu hutan untuk industri kapal-kapal dagang
dan perang.
Dari sektor
industri dan perdagangan, Mesir tekenal dengan hasil tenunan, kain sutra, wol
dan sebagainya yang diekspor ke Eropa. Selain textil, dibangun pula industri
kristal, keramik, kerajinan tangan, serta tambang besi, baja dan tembaga.
Dengan dibangunnya armada laut yang tangguh serta kapal-kapal dagang, maka
sektor perdagangan pun sangat maju. Kota Fusthat, Kairo, Qaus, dan Dimyati
menjadi pusat perdagangan di Mesir. Iskandariyah adalah kota pelabuhan
internasional yang menjadi tulang punggung dan pusat pertemuan kapal-kapal
dagang Barat dan Timur. Pajak dari sektor perdagangan ini menjadi andalan utama
bagi pemasukan dan penunjang ekonomi negara.
Tradisi yang
terbangun dalam dinasti Fatimiyah ini, doktrin Syi’ah begitu kental. Mereka
mengadakan hari-hari perayaan, termasuk hari perayaan kaum syi’ah seperti
Maulud Nabi, hari jadi sayyidina Hassan dan Husein serta hari jadi Siti
Fatimah. Pada malam hari perayaan ini semua masjid dinyalakan lampu dan tilawah
turut diadakan di masjid-massjid.[27]
6. Pemikiran dan Filsafat
Dalam
menyebarkan tentang kesyi’ahannya Dinasti Fatimiyah banyak menggunakan filsafat
Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan
ahli-ahli filsafat lainnya.[28] Kelompok
ahli filsafat yang paling terkenal pada Dinasti Fatimiyah adalah ikhwanu
shofa. Dalam filsafatnya kelompok ini lebih cendrung membela kelompok
Syi’ah Islamiyah, dan kelompok inilah yang menyempurnakan pemikiran-pemikiran
yang telah dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah.
Beberapa tokoh
filsuf yang muncul pada masa Dinasti Fatimiyah ini adalah:
a)
Abu Hatim Ar-Rozi, dia adalah
seorang da’i Ismaliyat yang pemikirannya lebih banyak dalam masalah politik,
Abu Hatim menulis beberapa buku dia ntaranya kitab Azzayinahyang
terdiri dari 1200 halaman. Di dalamnya banyak membahas masalah Fiqh, filsafat
dan aliran-aliran dalam agama.
b)
Abu Abdillah An-Nasafi, dia
adalah seorang penulis kitab Almashul. Kitab ini lebih banyak membahas
masalah al-Ushul al-Mazhab al-Ismaily. Selanjutnya ia menulis
kitabUnwanuddin Ushulus syar’i, Adda’watu Manjiyyah. Kemudian
ia menulis buku tentang falak dan sifat alam dengan judul Kaunul
Alam dan al-Kaunul Mujrof .
c)
Abu Ya’qup as Sajazi, ia
merupakan salah seorang penulis yang paling banyak tulisannya
d)
Abu Hanifah An-Nu’man Al-Magribi
e)
Ja’far Ibnu Mansyur Al-Yamani
f)
Hamiduddin Al-Qirmani.[29]
7. Pendidikan
dan Iptek
Seorang ilmuan
yang paling terkenal pada masa Fatimiyah adalah Yakub Ibnu Killis. Ia berhasil
membangun akademi-akademi keilmuan yang mengahabiskan ribuan Dinar perbulannya.
Pada masanya, ia berhasil membesarkan seorang ahli fisika yang bernama Muhammad
Attamimi. Disamping Attamimi ada juga seorang ahli sejarah yang bernama
Muhammad Ibnu Yusuf Al Kindi dan Ibnu Salamah Al Quda’i. seorang ahli sastra
yang muncul pada masa Fatimiyah adalah Al Aziz yang berhasil membangun masjid
Al Azhar.[30]
Kemajuan
keilmuan yang peling fundamental pada masa Fatamiyah adalah keberhasilannya
membangun sebuah lembaga keilmuan yang disebut Darul Hikam atau Darul Ilmi yang
dibangun oleh Al Hakim pada tahun 1005 Masehi.
Ilmu astronomi
banyak dikembangkan oleh seorang astronomis yaitu Ali Ibnu Yunus kemudian Ali
Al Hasan dan Ibnu Haitam. Dalam masa ini kurang lebih seratus karyanya tentang
matematika, astronomi, filsafat dan kedokteran telah dihasilkan.
Pada masa
pemerintahan Al Hakim didirikan Bait Al Hikmah, terinspirasi dari lembaga yang
sama yang didirikan oleh Al Makmun di Bahgdad. Pada masa Al Muntasir terdapat
perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000 buku dan 2.400 Illuminated
Al-Qur’an ini merupakan bukti kontribusi Dinasti Fatimiyah bagi
perkembangan budaya Islam.
8. Ekonomi
dan Perdagangan
Mesir mengalami
kemakmuran ekonomi dan fitalitas kultural yang mengungguli Irak dan
daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan dunia non Islam dibina dengan
baik termasuk dengan India dan negeri-negeri mediterania yang beragama Kristen.
Pada suatu
festival, Khalifah kelihatan sangat cerah dan berpakaian indah. Istana Khalifah
yang dihuni oleh 30.000 orang terdiri dari 1.200 pelayan dan pengawal juga
terdapat masjid-masjid, perguruan tinggi, rumah sakit dan pemondokan Khalifah
yang berukuran sangat besar menghiasi kota Kairo baru. Pemandian umum yang
dibangun dengan baik terlibat sangat banyak disetiap tempat di kota itu. Pasar
yang mempunyai 20.000 toko luar biasa besarnya dan dipenuhi berbagai produk
dari seluruh dunia. Keadaan ini menunjukkan bahwa kemakmuran yang begitu
berlimpah dan kemajuan ekonomi yang begitu hebat pada masa Fatimiyah di Mesir.
Disegi pertanian
Dinasti Fatimiyah juga mengalami peningkatan, keberhasilan pertanian di mesir
pada masa ini bisa di kelompokkan kepada dua sektor
a)
Daerah pinggiran-pinggiran sungai
Nil
b)
Tempat-tempat yang telah
ditentukan pemerintah untuk dijadikan lahan pertanian.
Sungai Nil
merupakan sebagian pendukung bagi kelansungan hidup orang-orang Mesir,
kadang-kadang sungai nil ini menuai penyusutan air sehingga masyarakat merasa
kesulitan untuk mengambil air untuk diminum, untuk binatang ternak, maupun
untuk pengairan tanam-tanaman mereka, namun sebaliknya adakalanya sungai nil
ini pasang naik, sehingga dataran-dataran Mesir kebanjiran, menyebabkan
kerusakan lahan dan tanaman. Untuk mengatasi hal tersebut mereka membikin
gundukan-gundukan dari tanah dan batu sebatas tinggi air takkala banjir.[31]
Mereka membagi
waktu untuk bercocok tanam dalam dua musim :
1)
Musim dingin, (bulan Desember
sampai bulan maret) dengan aliran-aliran dari selokan sungai nil, pada musim
ini mereka biasa menanam gandum, kapas, pohon rami.
2)
Musim panas, (bulan april sampai
bulan juli) karena air sungai nil mulai surut, maka mereka mengairi sawah
ladang dengan mengangkat air dengan alat. Pada musim ini mereka menanam padi,
tebu, semangka, anggur, jeruk, dan lain-lain.
Dibidang
perdagangan mereka melakukan perdagangan dengan mengunjungi beberapa daerah
seperti Asia, Eropa, dan daerah-daerah sekitar laut tengah.
Pada masa
dinasti Fatimiyah mereka menjadikan kota Fustat sebagai kota perdagangan, dari
sini semua barang akan dikirim baik dari dalam maupun dari luar Mesir.
9. Sosial
Kemasyarakatan
Mayoritas
khalifah Fathimiyah bersikap moderat dan penuh perhatian kepada urusan agama
nonmuslim. Selama masa ini pemeluk Kristen diperlakukan secara bijaksana, hanya
Khalifah Al-Hakim yang bersikap agak keras terhadap mereka. Orang-orang Kristen
Kopti dan Armenia tidak pernah merasakan kemurahan dan keramahan melebihi sikap
pemerintah muslim. Pada masa Al-Aziz bahkan mereka lebih diuntungkan dari pada
umat Islam di mana mereka ditunjuk menduduki jabatan-jabatan tinggi di istana.
Demikian pula pada masa Al-Mustansir dan seterusnya, mereka hidup penuh dengan
kedamaian dan kemakmuran. Sebagian besar jabatan keuangan dipegang oleh
orang-orang Kopti. Pada khalifah generasi akhir, gereja-gereja Kristen banyak yang
dipugar, pemeluk Kristen pula semakin banyak yang diangkat sebagai pegawai
pemerintah. Demikianlah semua ini menunjukkan kebijaksanaan pengusa Fathimiyah
terhadap umat kristiani. [32]
Mayoritas
khalifah Fathimiyah berpola hidup mewah dan santai. Al-Mustansir, menurut satu
informasi, mendirikan semacam pavillun di istananya sebagai tempat memuaskan
kegemaran berfoya-foya bersama sejumlah penari rupawan.
Nasir
Al-Khusraw, salah seorang pengembara Ismailiyah berkebangsaan Persia, yang
mengunjungi Mesir antara tahun 1046-1049 M, meninggalkan catatan tentang
kehidupan kota Kairo ibu kota Dinasi Fathimiyah. Pada saat itu ia mendapatkan
kota kairo sebagai kota makmur dan aman. Menurutnya, Toko-toko perhiasan dan
pusat-pusat penukaran uang ditinggalkan oleh pemiliknya begitu saja tanpa
kunci, rakyat menaruh kepercayaan penuh terhadap pemerintah, jalan-jalan raya
diterangi beragam lampu. Penjaga toko menjual barang dengan harga jual yang
telah diputuskan dan jika seseorang terbukti melanggar ketentuan harga jual
akan dihukum dengan diarak di atas unta sepanjang jalan dengan diiringi
bunyi-bunyian.
Nasir Al-khusraw
menulis catatan bahwa ia menyaksikan khalifah pada sebuah festival tampak
sangat mempesona dengan pakaian kebesarannya. Istana khalifah dihuni 30.000
orang, di antara mereka terdapat 12.000 orang pembantu dan 1.000 orang pegawal
berkuda dan pengawal jalan kaki. Kota kairo dihiasi dengan sejumlah masjid,
perguruan, rumah sakit, dan perkampungan khafilah. Tempat-tempat pemandian umum
yang cukup indah dapat dijumpai diberbagai penjuru kota, baik pemandian khusus
untuk laki-laki maupun untuk perempuan. Pasar-pasar yang menjual 20.000
pertokoan padat dengan produk-produk dunia. Nasir Al-Khusraw sangat takjub atas
kesejahteraan dan kemakmuran negeri ini, sehingga dengan sangat menarik ia
mengatakan.” Saya tidak sanggup menaksir kesejahteraan dan kemakmuran negeri
ini, dan saya belum pernah melihat kemakmuran sebagaimana yang terdapat di
negeri ini.
Dinasi
Fathimiyah berhasil dalam mendirikan sebuah Negara yang sangat luas dan
peradaban yang berlainan semacam ini di dunia timur, hal ini sangat menarik
perhatian karena sistem Administrasinya yang sangat baik sekali, aktivitas
artistik, luasnya toleransi relijiusa, efisiensi angkatan perang dan angkatan
laut, kejujuran pengadilan, dan terutama perlindungannya terhadap ilmu
pengetahuan dan kebudayaan.[33]
10. Militer dan Pertahanan
Sejak awal
berdirinya daulah fatimiyah dapat membangun imperium yang kuat dengan dukungan
militer yang tangguh di sekitar Laut Tengah membentang dari Samudra Atlantik di
sebelah barat dan Sungai Euphrat di sebelah Timur, Pulau Sisilia di sebelah
utara dan Yaman di sebelah selatan. Ini membuktikan secara politis Dinasti
Fatimiyah sudah memiliki salah satu konsep pemerintahan.
Para penguasa
awal khilafah Fatimiyah dengan menempuh kebijakan-kebijakan penting semata-mata
untuk memperlancar stabilitas politik diantaranya Sistem pemerintahan Dinasti
Fatimiah dengan beberapa pencapaian dari segi politis dan tata atur kebijakan
pemerintahan dari segala bidang. Khilafah Al-Mahdi, hal yang pertama dalam
usaha pemerintahannya adalah pembersihan figur-figur yang dicurigai atau
dianggap sebagai penghalang pemerintahannya termasuk tokoh-tokoh penting meski
sangat besar jasa dalam pembentukan khilafah fatimah. Selain kebijakan tersebut
dilkukan pula pengembangan militer sebagai tulang punggung pemerintahan.
Pemerintahan
sipil dan militer ini meliputi urusan tentara, perang, pengawal khalifah dan
keamanan, Qadi (hakim), dakwah, inspektur pasar, bendahara, wakil kepala urusan
rumah tangga khalifah, Qari (pembaca Al-Qur’an), kebijakan penukaran duta
(persahabatan) dengan Dinasti Buwaihiyah, dan pembentukan wazir tanfiz
(bertanggung jawab terhadap pembagian kekuasaan pusat dan daerah). [34]
11. Universitas Islam Al Azhar Kairo
Jami
Al Azhar didirikan bersamaan dengan masuknya kekuasaan Fatimiyin di Kairo,
tepatnya setelah beberapa bulan kekuatan fatimiyin memasuki Kairo, pembangunan
jami Al Azhar memakan waktu kurang lebih dua tahun, yang kemudian dibuka secara
resmi oleh Jauhar al Shaqali29 dengan shalat jumat pada tanggal 7 Ramadhan 361
H / 21 Juni 972 M. Sedang Al Muiz Lidinillah baru datang dari Maroko masuk
Kairo setahun kemudian.
Jami
Al Azhar mempunyai penghargaan tersendiri dari para khalifah fatimiyin, dibalik
itu mereka ingin menjadikannya markas penyebaran faham syiah. Di sekitarnya
dibangun rumah bagi mereka yang mengajar pada Al azhar, dari sinilah dimulainya
pengajaran di jami Al Azhar.
Dalam
blantika dunia keilmuan, Al Azhar merupakan universitas tertua, tidak hanya di
dunia Islam, namun di seluruh dunia. Karena universitas-universitas di Amerika
dan Eropa baru didirikan dua abad setelah berdirinya Al Azhar, seperti
Universitas Paris didirikan pada abad ke-12 Masehi, Universitas Oxford di
Inggris pada abad ke-13, demikian juga universitas-universitas Eropa lainnya.
Universitas yang mengimbangi Al Azhar dari segi sejarahnya adalah Universitas
Qarawain di Kota Fas Maroko, bahkan ada yang mengatakan bahwa Jami Al Qarawain
adalah Universitas tertua di dunia, karena pengajarannya sudah bermula sejak
didirikannya yaitu sejak tahun 245 H/ 859 M. dan sampai sekarang masih eksis.
Al
Azhar merupakan Univesitas pertama yang para pengajarnya didanai oleh negara,
serta posisi Mesir yang strategis di tengah dunia Islam, menjadikan Al Azhar
tempat tujuan menimba ilmu agama dari para masyayikhnya, hanya saja besarnya
kedudukan Al Azhar bukan karena tertua atau tidaknya, namun karena mutunya yang
unggul.
Dalam
kekuasaan daulah Fatimiah Jami Al Azhar mengalami beberapa kali renovasi, seperti
pada masa al Hakim Biamrillah, al Mustanshir Billah, dan Al Hafidz Lidinillah.
Terlihat hingga sekarang hasil renovasi yang dilakukan oleh Al Hafidz
Lidinillah dengan peninggalannya qubah yang dihiasi dengan tulisan ayat-ayat Al
Quran dengan khath kufi dan bermacam-macam hiasan yang indah.
12. Perluasan Wilayah Daulah
Fatimiyah
Dalam kebijakan pemerintah dilkukan pengembangan
militer sebagai tulang punggung pemerintahan.
Pemerintahan sipil dan militer ini meliputi urusan tentara, perang,
pengawal khalifah dan keamanan, Qadi (hakim), dakwah, inspektur pasar,
bendahara, wakil kepala urusan rumah tangga khalifah, Qari (pembaca Al-Qur’an),
kebijakan penukaran duta (persahabatan) dengan Dinasti Buwaihiyah, dan
pembentukan wazir tanfiz (bertanggung jawab terhadap pembagian kekuasaan pusat
dan daerah).
Hal lain dapat
dilihat dari pembangunan kota Mahdiyah yang terletak sebelah selatan kota
Qoiruwan, dan menjadikan kota ini sebagai pangkalan armada laut khilafah
fatimah. Dan tidak terkecuali dalam usaha mengembangkan wilayah kekuasaan, dan
uasaha ini berkaiatan erat dengan kemiliteran. Dengan adanya perluasan
kekuasaan tersebut mengarahkan untuk dapat menguasai daerah-daerah strategis
dan mengantisipasi gerakan-gerakan yang dapat menbahayakan posisi khalifah.
Maka dari itu
stabilitas politik Daulah Fatimiyah tetap terjaga dengan terlihatnya pemerintahan yang berjalan dengan baik karena
hampir seluruh Afrika Utara wilayah barat dapat dikuasai. Salah satu wilayah
yang dikuasai Khilafah Fatimiah adalah bekas kekuasaan Bani Aghlab yang
berpusat di Tunisia, Rustamiah Khariji di Tabart, Indrisiah di Fez dan Pulau
Sisilia juga termasuk daerah kekuasaan Daulah Fatimiah. Sedangkan pada puncak
kejayaannya wilayah kekuasaanya mencakup seluruh daerah-daerah Afrika Utara,
Sisilia, Mesir, Syiria, dan Arabia Barat yang tidak bisa dilepaskan dari
penguasaan awal wilayah Mesir yang cukup strategis dalam melakukan
ekspansi-ekspansi selanjutnya.[35]
b. Masa Kemunduran
Gejala-gejala yang menunjukkan
kemunduran Dinasti Fatimiyah telah terlihat dipenghujung masa pemerintahan
Al-Aziz namun baru kelihatan wujudnya pada masa pemerintahan Al-Muntasir yang
terus berlanjut hingga berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah pada masa
pemerintahan Al-Adid 567 H/1171 M.
Menjelang pertengahan abad ke-11 bani
Fatimiyah mulai dibingungkan oleh masalah yang tidak bisa berhasil diselesaikan
oleh berbagai dinasti di Timur. Masalah bagaimana mengendalikan tentara
profesional. Bahkan di Mesir tentara Turki menguasai keadaan, walau terdapat
juga orang-orang Sudan, Berber dan Armenia. Terdapat persaingan sengit antara
kelompok-kelompok ini, yang kadang-kadang ecah mnjadi pertempuran. Setelah 1058
kekuasaan boleh dikata berada ditangan klik-klik militer, yang tidak memahami
kebutuhan negara yang sebenarnya. Setelah suatu bencana kelaparan yang hebat
dari 1065 sampai 1072 khalifah al-Mustansir (1035-1094) meminta bantuan seorang
Jendral dari suku Armenia bernama Badr al-Jamali, yang menjabat gubernur Acre.
Orang ini segera berlayar ke Mesir dengan pengawal armenia dan sepasukan
tentara yang setia. Sebelum maksud pemanggilannya oleh Mustansir diketahui dia
telah menangkap dan menghukum mati para Jendral Turki dan pejabat-pejabat Mesir
yang mungkin menimbulkan masalah.
Dengan tindakan-tindakan tegas lainnya
dan kekuasaan yang kuat dia memperbaiki kemakmuran sekedarnya. Dia biasanya
disebut sebagai pemimpin militer (amir al-juyush), walau dia mengurusi
pemerintahan dan dakwah, yaitu propaganda religio-politis. Tahun 1094 putranya
Al-Afdal, atau Al-Malik Al-Afdal, menggantikannya dan meneruskan kemakmuran
negara sampai wafatnya tahun 1121. Setelah itu keadaan merosot dengan cepat,
dan tahun 1171 Bani Fatimiyah digantikan oleh Salahuddin Al-Ayyubi.[36]
Adapun faktor yang menyebabkan
kemunduran dan runtuhnya Dinasti Fatimiyah dapat dilihat dari faktor internal
dan eksternal:
1.
Faktor
internal
Faktor internal yang paling besar dalam
menghantarkan kemunduran Dinasti Fatimiyah adalah dikarenakan lemahnya
kekuasaan pemerintah. Menurut Ibrahim Hasan, para khalifah tidak lagi memiliki
semangat juang yang tinggi seperti yang ditunjukkan para pendahulu mereka ketika
mengalahkan tentara Berber di Qairawan. Kehidupan para khalifah yang
bermewah-mewah merupakan penyebab utama hilangnya semangat untuk melakukan
ekspansi.
2.
Faktor
eksternal
Adapun faktor eksternal yang menjadi
penyebab runtuhnya Dinasti Fatimiyah adalah menguatnya kekuasaan Nur al-Din
al-Zanki adalah gubernur Syiria yang masih berada dibawah kekuasaan bani
Abbasiyah. Popularitas Al-Zanki menonjol pada saat ia mampu mengalahkan pasukan
salib atas permohonan khalifah Al-Zafir yang tidak mampu mengalahkan tentara
salib.
Dinasti Fatimiyah berakhir pada tahun
567 H/1171 M. Untuk mengantisipasi perlawanan dari kalangan Fatimiyah, Salah
al-Din membangun benteng bukit di Muqattam dan dijadikan sebagai pusat
pemerintahan dan militer, yang kini bangunan benteng tersebut masih berdiri
kokoh di kawasan pusat Mishral Qadim (Mesir Lama) yang terletak tidak jauh dari
Universitas dan juga dekat dengan perumahan Mahasiswa Asia di Qatamiyah.
Dinasti Fatimiyah merupakan salah satu
imperium besar sepanjang sejarah Islam. Pada awalnya, dinasti ini hanya berupa
dinasti kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Mereka
mampu memerintah lebih dua abad sebelum ditaklukan oleh Dinasti Ayyubiyah
dibawah kepemimpinan Salah al-Din al-Ayyubi.
Dalam masa pemerintahannya, Dinasti
Fatimiyah sangat konsern dengan pengembangan paham Syi’ah Ismailiyah. Untuk
kesuksesannya, mereka mewajibkan seluruh aparat di jajaran pemerintah dan warga
masyarakat untuk menganut paham tersebut. Upaya ini cukup berhasil yang
ditandai dengan banyaknya masyarakat yang bersedia menerimanya meskipun berasal
dari non muslim.
Kemunduran Dinasti Fatimiyah dikarenakan
tidak efektifnya kekuasaan pemerintah dikarenakan para khalifah hanya sebagai
raja boneka sebab roda pemerintah didominasi oleh kebijakan para wazir
sementara para khalifah hanya hidup menikmati kekuasaanya dalam istana yang
megah.
A.
Analisis Kritis
1.
Sumbangan terbesar Dinasti
Fatimiyah yang cukup signifikan adalah menyatukan Dunia Barat dan Timur, karena
letak Mesir (Iskandariyah) yang sangat strategis untuk tercapainya hal
tersebut.
2.
Selama dua abad lebih menguasai
Mesir, keberadaan Dinasti Fathimiyah telah memberikan sumbangan peradaban yang
besar. Kemajuan terbesar adalah memberikan ruang berkembangnya ilmu pengetahuan
di dunia Islam yang melahirkan banyak ilmuwan dengan didirikannya Dar al-hikmah dan Dār
al-‘Ilmi dan keberadaan Universitas al-Azhar sebagai pusat
pengkajian ilmu pengetahuan yang masih terasa hingga kini.
3.
tertatanya sistem administrasi
pemerintahan yang membuahkan kemakmuran. Catatan sejarawan tentang
kecemerlangan Mesir saat itu dan jejak peninggalannya berupa karya-karya
seninya yang bernilai sangat tinggi, membuktikan kebenaran fakta tersebut.
4.
Dinasti Fathimiyah juga terkenal
dengan toleransi beragamanya. Para penguasa Fathimiyah tidak mencoba melakukan
tekanan agar penganut Sunni menyeberang ke Syi’ah Ismailiyah. Mereka juga
sangat menghargai kemerdekaan agama Kristen maupun Yahudi. Satu-satunya
pengecualian adalah pada masa khalifah al-Hakim.
5.
Dalam
segala aspek kehidupan secara umum, Dinasti Fatimiyah memberikan kelonggaran
kepada semua orang untuk melakukan kegiatan sosial, keagamaan dan bahkan
politik, meskipun disisi lain dinasti ini mempunyai misi menanamkan paham keagamaan,
yaitu Shi’ah sekte Isma’iliyah
6.
Kemunduran Dinasti Fathimiyah
bukan hanya disebabkan oleh faktor eksternal berupa serangan dari pasukan luar,
melainkan juga karena masalah internal yang tidak dapat diselesaikan seperti
berkurangnya kesetiaan publik kepada penguasa yang dianggap berprilaku aneh,
banyaknya campur tangan para wazir akibat penguasa yang belum cukup umur, dan
timbulnya perselisihan dalam suksesi pemerintahan.
7.
khalifah hanya sebagai raja
boneka sebab roda pemerintah didominasi oleh kebijakan para wazir sementara
khalifah hanya hidup menikmati kekuasaannya didalam istana yang megah
8.
Dinasti Fatimiyah adalah dinasti
yang dibangun atas dasar protes politik terhadap kekuasaan pada saat itu dengan
legitimasi agama yaitu tuntutan Imamah sebagai pengganti Rasulallah SAW.
Karena sebuah hadith al-aimmah min quraysh dengan keyakinan bahwa Ali
ibn Abi Talib (suami Fatimah al-Zahro putri Rasulallah) dan keturunannya
sebagai pewaris kekhalifahan / Nabi
9.
Terlepas klaim sebagai keturunan
nabi yang masih diperdebatkan dan salah seorang khalifah tidak mencerminkan
kepemimpinan yang ideal, namun yang jelas sumbangan dinasti ini merupakan
sumbangan berharga. (maspalah_aagun)
10.
Dinasti Fatimiyah adalah satu-satunya
dinasti Shi’ah dalam Islam yang eksis selama kurang lebih dua setengah abad dan
bisa berjaya melampaui capaian wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam
terdahulu, dan telah memberi banyak sumbangan peradaban terhadap dunia Islam,
khususnya Mesir, karena pada masa Dinasti Fatimiyah ini, Mesir mengalami
tingkat kemakmuran dan vitalitas kultural yang mengungguli Irak dan Baghdad
C. SKEMATIKA
A. Proses
Berdirinya Dinasti Fathimiyah
B. Pemerintahan
Dinasti Fathimiyah
C. Kemajuan
Peradaban Islam dinasti Fathimiyah
D. Kemunduran
dan Kehancuran Dinasti Fathimiyah
D. PENUTUP
Dari pemaparan
diatas dapat kami simpulkan bahwa Dinasti Fatimiyah juga disebut dengan Dinasti
Ubaidillah, dengan pendirinya yaitu Ubaidillah al-Mahdi yang datang dari Syria
ke Afrika Utara. Dinasti ini beraliran Syi’ah Islami’ilah, pusat
pemerintahannya di Cairo. Dinasti ini mengalami kejayaannya pada masa khalifah
Abu Mansur Nizar Al-Aziz
Dan pada masa
itulah, dengan prestasi gemilangnya dalam bidang pemerintahan, ekonomi sosial,
di bidang ilmu dan perkembangan intelektual islam, syiah Ismailiyah sebagai
doktrin teologi dan madzhab tata Negara Negara Fatimiyah mengalami masa
keemasan.
Dinasti
Fathimiyyah merupakan penguasa negara yang besar berpusat di lembah Nil, Kairo.
Kekhalifahan ini berkuasa selama lebih kurang 203 tahun yaitu sejak tahun 909
sampai tahun 1171 M. Cikal bakal dari keKhalifahan Fathimiyyah ini adalah
Gerakan Bani Fathimiyyah yang berasal dari kelompok Syi’ah Ismailiyah, mereka
mengasingkan diri ke kota Salamah guna menyelamatkan diri dari pengejaran Bani
Abbasiyah di bawah pimpinan Khalifah Al-Ma'mun.
Pola
pemerintahan yang dijalankan Fathimiyyah mengikuti pola pemerintahan bani
Abbasiah di Bahgdad. Kepemimpinan dikonsentrasikan kepada Khalifah dan dibai'ah
lewat seremoni yang megah. Berbagaikemajuan diraih pada masa dinastiFathimiyyah
ini,mulai darikemajuan dalambidang ekonomi, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan
yang lainnya hingga dapat berdiri perguruan tinggipertama didunia yaitu
Universitas Al-Azhar yang bermarkas di Kairo, Mesir sampai sekarang.
Runtuhnya
dinasti ini berawal pada tahun 558 H/1163 M, yang mana panglima Asasuddin
Shirkuh membawa Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menundukkan Daulat Fatimiyah di
Mesir. Usahanya berhasil. Khalifah Daulat Fatimiyah terakhir Adhid Lidinillah
dipaksa oleh Asasuddin Syirkuh untuk menandatangani perjanjian. Akan tetapi,
Wazir besarnya Shawar merasa iri melihat kekuasan Syirkuh semakin besar. Dengan
sembunyi-sembunyi Shawar pergi ke Baitul Maqdis, meminta bantuan pasukan Salib
untuk menghalau Syirkuh dari Mesir.
Dinasti Fatimiyah
dengan segala prestasi dan kemundduranya dalam tinta sejarah peradaban dunia
Islam telah menjadi perjalanan dinamika umat Islam di Mesir. Dalam rentang
beberapa periode dinasti ini telah mengukirkan nama harumnya bagi kemajuan dan
kebesaran serta kejayaan Islam.
Dinasti
Fatimiyah merupakan salah satu imperium besar sepanjang sejarah Islam. Pada
awalnya, daulah ini hanya berupa dinasti kecil yang melepaskan diri dari
kekuasaan dinasti Abbasiyah. Mereka mampu memerintah lebih dua abad sebelum
ditaklukkan oleh dinasti Ayyubiyah dibawah kepemimpinan Salah al-Din al-Ayyubi.
Dalam masa
pemerintahannya, daulah Fatimiyah sangat konsen dengan pengembangan paham
Syi’ah Isma’iliyah. Untuk kesuksesannya, mereka mewajibkan seluruh aparat di
jajaran pemerintahan dan warga masyarakat untuk menganut paham tersebut. Upaya
ini cukup berhasil yang ditandai dengan banyaknya masyarakat yang bersedia
menerimanya meskipun berasal dari non muslim.
DAFTAR
PUSTAKA
JJ. Sounders, 1981 , A
History of Medival Islam London, Redwood Book.
Philip K. Hitti, 2006, Hirtory
of The Arabs, terj. Jakarta, PT. Serambi Ilmu Semesta.
Ahmad
Salabi, 1979, Mawsu’ah al-Tarikh
al-islam wa al-Hadaroh al-Islamiya jld 5 Kairo, Makbah al-Nahdah al-Misriyah.
Musyrifah Sunanto, 2007, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,
Jakarta, Kencana.
Siti Maryam dkk., 2003, Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern Cet.
I, Yogyakarta LESFI.
Jaih Mubarok, 2008, Sejarah Peradaban Islam,
Cet. I, Bandung: Pustaka Islamika
Ira M. Lapidus, 2002, A History
of Islamic Societies New York: Cambridge University Press.
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, 1429
H/2008, History of Arabs, Cet. I, Jakarta, PT Serambi Ilmu
Sentosa.
Jaih Mubarok, 2008, Sejarah Peradaban Islam ,
Cet. I, Bandung: Pustaka Islamika
Hamka, 2005, Sejarah Umat Islam ,Cet.
V, Singapura Pustaka Nasional PTE LTD.
Zainal Abidin Ahmad, 1979, Sejarah Islam dan Ummatnya , Jakarta Bulan
Bintang.
Ajid Thohir, 2004, Perkembangan
Peradaban di Dunia Islam Jakarta, PT.Raja
Grafindo Persada.
K. Ali, 2003, Sejarah
Islam:Tarikh Pramodern, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada
http://stit1a08.blogspot.com/2009/03/sejarah-peradaban-islam.html (di Akses pada
tanggal 14 oktober 2014)
Jaih Mubarak, 2008, Sejarah Peradaban Islam,
Bandung, Pustaka Islamika.
Moh Nurhakim, 2003, Sejarah Peradaban Islam, Malang,
UMM Press
http://id.wikipedia.org/
wiki/ Bani Fatimiyah. (di Akses pada tanggal 14 oktober 2014)
D rs.
Samsul Munir Amin, M.A, 2009, Sejarah Peradaban Islam. Amzah.
Philip K. Hitti,
2005, History Arab, Serambi Ilmu Semesta.
Dr. Aiman Fuad
Sayyid, 1992, Daulat
Fatimiyah Fi Misr Tafsir Jadid., Dar
El-Masriyah lil-Bananiyah.
Muhammad Jamal al-Din, 1979, Al Dawlat
Al-Fatimiyah Fi Mishr, Kairo Dar al-Fikr al-‘Arabi.
Mahayudin Hj. Yahaya, 1995, Sejarah
Islam, Kuala Lumpur; Fajar Bakti Sdn, Bhd.
Ahmad Amin, Dhuhal al-Islam, Kairo, Lajnah
Ta’wa al Nasyr. Tt
Hasan Ibrahim,
1958, Tarikh al-Daulah
al-Fatimiah, Kairo: Jannatut
Ta’lif.
Ajid Thohir, 2004, Perkembangan Peradaban di
Kawasan Dunia Islam, Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada.
W.Montgomery
Watt, penterjemah Hartono Hadikusumo, 1990, Kejayaan
Islam: Kajian Kritis dari tokoh Orientalis, Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Azzabi, 1989, mahmud sunni yang sunni ter al-bayyinat fi
al rodh ala abatil al muraja’at, bandung, pustaka.
Su’ud abu, 1993, Islamologi
Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Islam, Ed. 1, Cet. 3.
Jakarta, PT Grafindo Persada.
[1] JJ. Sounders, A History of
Medival Islam (London: Redwood Book, 1981) hal 125.
[2] Philip K. Hitti, Hirtory of
The Arabs, terj. (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006),hal 787.
[3] Ahmad Salabi, Mawsu’ah al-Tarikh
al-islam wa al-Hadaroh al-Islamiya jld 5 (Kairo: Makbah
al-Nahdah al-Misriyah, 1979), 231.
[4] www.caraIslam.com/2013/08/sejarah-Islam-di-Mesir.html?m=1
di akses pada jam 10.30 tgl 5 November 2014
[5] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik:
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Cet. 3, Jakarta, Kencana,
2007) h. 141
[6] Siti Maryam dkk., Sejarah Peradaban Islam: Dari
Masa Klasik Hingga Modern (Cet. I, Yogyakarta: LESFI, 2003)
hal. 264
[7] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam (Cet.
I, Bandung: Pustaka Islamika, 2008) hal. 190
[8] Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (New
York: Cambridge University Press, 2002) hal. 285
[9] . Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi
dengan History of Arabs (Cet. I; Jakarta: PT Serambi Ilmu
Sentosa, 1429 H/2008 H), hal. 789
[10] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam (Cet.
I, Bandung: Pustaka Islamika, 2008) hal. 190
[11] Hamka, Sejarah Umat Islam (Cet.
V, Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 2005), hal. 333
[12] Zainal Abidin Ahmad, Sejarah
Islam dan Ummatnya (Jakarta: Bulan Bintang, 1979) hal. 109
[13] Ajid Thohir, Perkembangan
Peradaban di Dunia Islam (Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2004),hal 113.
[14]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan
Islam, Yogyakarta: kota kembang, 1989, hal 229
[15]
K. Ali, Sejarah Islam:Tarikh Pramodern,
terj., (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), hal 492-493.
[17] Ibid hal 257
[18] http://stit1a08.blogspot.com/2009/03/sejarah-peradaban-islam.html (di Akses pada tanggal 14 oktober
2014)
[19] Jaih Mubarak, Sejarah Peradaban Islam,(Bandung;
Pustaka Islamika, 2008), hal 191-192.
[20] Moh Nurhakim, Sejarah Peradaban Islam (Malang,
UMM Pres, 2003) hal 106-107
[21] http://id.wikipedia.org/ wiki/ Bani
Fatimiyah. (di Akses pada tanggal 14 oktober 2014)
[22]D rs.
Samsul Munir Amin, M.A. Sejarah
Peradaban Islam.( Amzah. 2009). hal 265
[23] Philip K. Hitti. History
Arab.( Serambi Ilmu Semesta. 2005). hal 800-801
[24] Dr.
Aiman Fuad Sayyid. Daulat
Fatimiyah Fi Misr Tafsir Jadid. (Dar
El-Masriyah lil-Bananiyah. 1992). hal 249
[25]
ibid, hal 250
[26] Muhammad Jamal al-Din, Al Dawlat Al-Fatimiyah
Fi Mishr, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1979), hal 68.
[27] Mahayudin Hj. Yahaya, Sejarah Islam, (Kuala
Lumpur; Fajar Bakti Sdn, Bhd. 1995),hal 336.
[28] Ahmad
Amin, Dhuhal al-Islam,
(Kairo: Lajnah Ta’wa al Nasyr.
Tt ), hal. 188
[29] Hasan
Ibrahim, Tarikh al-Daulah
al-Fatimiah, (Kairo: Jannatut
Ta’lif, 1958), hal. 469
[30] Ajid
Thohir, Perkembangan Peradaban
di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 2004), hal 222
[31] W.Montgomery
Watt, penterjemah Hartono Hadikusumo, Kejayaan
Islam: Kajian Kritis dari tokoh Orientalis, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1990), hal 239
[34]
Azzabi, mahmud sunni yang sunni
ter al-bayyinat fi al rodh ala abatil al muraja’at (bandung pustaka 1989),hal
76
[35] Ibid, 89
[36] Su’ud abu, Islamologi Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Islam.(
Ed. 1, Cet. 3. Jakarta:1993, PT Grafindo Persada.) hal 81
No comments:
Post a Comment