Sunday, July 21, 2019

kodifikasi al Quran


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Al Quran adalah kitab suci yang paling sempurna, yang menjadi pedoman bagi umat hingga akhir jaman.Al Quran juga merupakan mukjizat nabi yang terbesar.
      Kandungan Al Quran sebagai penyempurna kitab-kitab suci yang telah turun sebelumnya, di dalam Al Quran terhimpun hasil kitab suci yang sudah ada seebelumnya, malahan juga hasil segala ilmu. Al Quran adalah sebuah kitab yang menjelaskan segala sesuatu (QS.yusuf [12]:111)
            Pada pokoknya Al Quran berisi akidah dan syari’ah. Akidah dirumuskan dengan kata “iman”  syari’ahterangkum dengan kata “amal saleh" (QS.An-Nahl [16]:97) Keduanya dapat dibedakan akan tetapi tidak dapat dipisahkan. Seorang yang beriman tanpa menjalankan syari’ah adalah fasik.Demikian pula sebaliknya, ber-syari’ah tetapi tidah berakidah adalah munafik.
            Secara garis besar, Al quran mengandung tiga hal: Pertama, petunjuk, akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan dan keesaan tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan. Kedua,  petunjuk tentang akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia baik secara individual maupun secara kolektif. Ketiga, petunjuk tentang syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan tuhan dan alam semesta. Dengan kata lain, “Al Quran adalah petunjuk bagi seluruh manusia ke jalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat”. [1]
Berbeda dengan kitab-kitab terdahulu yang banyak diantara kandungannya direvisi oleh kitab yang turun setelahnya, Al Quran sebagai kitab terakhir -yang tidak mungkin mengalami revisi- dijamin keontetikannya oleh Allah hingga akhir jaman.
Salah satu sifat Al Quran yang penting adalah Al Quran sampai pada kita dalam bentuk yang sama dengan yang diturunkan pada NabiMuhammad saw. Seperti yang dijelaskan dalam ayat berikut ini: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al-Hijr: 9). Allah berjanji untuk menjaganya. [2]
   Inilah jaminan Allah atas keontetikan Al Quran, jaminan yang diberikan atas dasar kemahakuasaan dan kemahatauanNya, serta berkat usaha-usaha yang dilakukan oleh manusia. Kitab-kitab terdahulu, Allah serahkan penjagaannya pada kaum itu sendiri, dan hasilnya setelah wafatnya sang Nabi, kitab tersebut mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu.
Mushaf Al Quran yang kita kenal  saat ini, telah melalui proses kodifikasi yang panjang, rumit dan berat. Disusun dengan penuh ketelitian agar tidak ditemukan sedikitpun kesalahan dalam proses penyusunannya, mengingat demikian pentingnya kedudukan Al Quran sebagai sumber utama ajaran dan hukum agama Islam. Proses ini dimulai sejak turunnya wahyu itu sendiri dan berlanjut hingga pada masa Sayyidina Utsman ibn Affan.
Proses panjang dan berat inilah yang akan kami bahas dalam makalah ini
1.2              Rumusan masalah
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang beberapa hal:
1.Bagaimana  kodifikasi al Quran ?
2.Bagaimana proses penghafalan dan penulisan Al Quran pada jaman Nabi?
3.Bagaimana proses kodifikasi Al Quran pada jaman Sahabat?
4.Bagaimana proses perkembangan bacaan dan simbol-simbol dalam Al Quran?

1.3              Tujuan
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk:
1.Memahami makna kodifikasi Al Quran
2.Mengetahui proses penghafalan dan penulisan Al Quran pada jaman Nabi
3.Mengetahui proses kodifikasi Al Quran pada jaman sahabat
4.Mengetahui proses perkembangan bacaan dan simbol-simbol dalam Al Quran
                                                                       
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kodifikasi Al Quran
Menurut para ulama, pengumpulan Al Quran secara epistimologi memiliki dua makna: penghafalannya dan penulisannya secara keseluruhan.
Seperti Kata jama’a atau dalam bahasa populer adalah kodifikasi.Dalam bahasa Arab kata jama’a dari segi bahasa mempunyai arti menyusun yang terpisah atau yang tak beraturan. Yaitu mengumpulkan sesuatu dengan mendekatkan bagian satu dengan bagian yang lain.
      Dalam Ilmu al-Qur’an, kata jama’a mempunyai dua arti yang nantinya dari makna itu akan melahirkan ma’lumat-ma’lumat yang luas. Yang pertama jama’a mempunyai ma’na yaitu: menghafal semuanya. Dan makna yang kedua yaitu: membukukan al-Qur’an semuanya dalam bentuk tulisan dari ayat dan surat yang masih terpisah-pisah berkumpul menjadi satu.
      Seperti apa yang pernah dikatakan oleh ‘Abdulaah bin ‘Amru: Aku sudah mengumpulkan Al-Qur’an setiap malam hari, maksudnya saya sudah menghafalkan al-Qur’an. Dan selanjutnya yang telah dikatakan Abu Bakar kepada Zaid bin Tsabit ; “Ikutilah al-Qur’an lalu kumpulkanlah, maksudnya tulis al-Qur’an itu semuanya”.
      Mushaf al-Qur’an yang ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui perjalanan panjang yang berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui.
2.2              Proses penghafalan dan penulisan Al Quran pada jaman Nabi Muhammad SAW
A.    Pengumpulan al Quran dengan Arti Menghafal pada Masa Nabi Muhammad
      Sebagai manusia mulia yang dipilih Allah untuk menerima wahyu, Rasululloh adalah penghafal al quran pertama dan yang terbaik yang menjadi contoh untuk seluruh umatnya.Beliau selalu antusias dan menanti turunnya wahyu dengan penuh kerinduan. Ketika wahyu diturunkan pun, beliau menggerak-gerakkan lidah dan kedua bibirnya karena takut apa yang turun itu akan terlewatkandan ingin segera menghafalkannya. Maka kemudian Allah menurunkan ayat:
لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ ﴿١٦﴾إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ ﴿١٧﴾فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ ﴿١٨﴾ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ ﴿١٩﴾
Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya”.
Dalam bukunya, Tafsir Al Misbah,Prof. Dr. Quraish Shihab menafsirkan ayat ini:
“Saat wahyu diturunkan, hendaknya kamu, Muhammad, tidak menggerakkan lidahmu untuk membaca al-Qur'ân karena didorong oleh keinginan untuk cepat-cepat membaca dan menghafalnya. Sesungguhnya Kamilah yang akan mengumpulkannya dalam dadamu dan memantapkan bacaannya di lidahmu. Apabila utusan Kami telah membacakan al-Qur'ân kepadamu, maka ikutilah bacaannya itu dengan menyimaknya terlebih dahulu. Lalu Kamilah yang akan menjelaskan jika di dalamnya kamu temui kesulitan.”
      Metode pengajaran yang diterapkan Jibril AS itulah yang diikuti oleh Nabi SAW saat mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabat.Dalam hal ini, mula-mula Nabi SAW membacakan ayat-ayat yang baru diterimanya.Bacaan Nabi SAW ini didengarkan penuh perhatian oleh para sahabat.Karena umumnya para sahabat memiliki kecerdasan dan terbiasa menghafal.Mereka kemudian mengulang bacaan mereka dihadapan Nabi.Mereka bisa menghafal, memahami, dan menuliskannya.Mereka selalu menantikan turunnya wahyu.Bagi mereka, menghafal, memahami, dan menuliskan Al Quran adalah sebuah kehormatan.
      Jumlah huffadz(penghafal al quran) pada masa nabi ini sangat banyak. Bahkan para sahabat sama berlomba-lomba menghafal al quran dan memerintahkan pada anak-anak dan istri-istri mereka untuk menghafalnya. Mereka membaca al quran dalam shalat di tengah malam sehingga alunan sauara mereka terdengar bagai suara lebah.
Adapun Hadist yang diriwayatkan Imam bukhari dalam kitabnya, mengenai huffadz pada jaman nabi yang berjumlah 7 orang, maka diartikan bahwa 7 orang sahabat inilah yang hafal seluruh isi al quran di luar kepala dan telah menunjukkan hafalannya di hadapan nabi serta isnad-isnadnya sampai pada kita. Ketujuh orang itu adalah Abdullah ibn Mas’ud, Salim ibn Ma’qal, Muadz ibn Jabal, Ubai ibn Ka’ab, Zaid ibn tsabit, Abu zaid ibn Sakan dan Abu Darda’.[3]
Para sahabat, apabila mereka meneriama ayat atau surat, berkali-kali membacanya dihadapan Nabi saw. sampai mereka betul-betul mantap dalam menghafalnya, setelah itu mereka bertanya kepada Nabi: “Adakah aku telah hafal seperti apa yang telah diturunkan?” Mereka baru berhenti setelah Rasululloh membenarkan.
            Setelah hafal dan menguasai dengan sempurna, semua hafidz menyebarluaskan apa yang telah mereka hafal, dan mengajarkannya kepada anak-anak kecil serta mereka yang tidak menyaksikan saat wahyu turun. Tak ada satu atau dua haripun berlalu kecuali wahyu yang turun telah dihafal di hati mayoritas sahabat.Hafalan dan bacaan itu mereka ulang-ulang dan mereka cocorajkkan kembali dihadapan Rasulullah.[4]
             Masyarakat Arab di masa-masa awal kedatangan Islam memang terkenal dengan kuatnya hafalan mereka. Hal ini bisa dipahami mengingat mereka adalah bangsa pedagang lintas negara (perdagangan skala besar) yang belum mengenal budaya tulis menulis, sehingga untuk keberlangsungan perdagangan mereka hanya mengandalkan hafalan. Dan hal ini membawa berkah dalam mudahnya para sahabat dalam menghafalkan Al Quran dan kuatnya hafalan mereka.
            Al Amidi[5] dalam kitab Al Afkarul Abkarmenulis: “Sesungguhnya mushaf-mushaf (yakni lembaran-lembaran yang berisi al quran) yang masyhur pada masa sahabat, semuanya telah dibaca ulang di hadapan Rasulullah. Pada masa itu mushaf milik Utsman bin Affan adalah yang terakhir dibaca hadapan Rasulullah, inilah yang dibaca sampai akhir hayatnya. Ayat-ayat inilah yang beliau ajarkan kepada para khalayak hingga beliau meninggal.
            Al Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah, bahwa Zaid bin Tsabit menyaksikan peragaan bacaan terakhir. Pada kesempatan tersebut Rasulullah menjelaskan ayat-ayat yang ternasakh dan yang tidak.Ia menuliskan ayat-ayat tersebut dan membacakannya kembali di hadapan Rasulullah. Oleh karena itu Abu Bakar dan Umar menjadikan bacaan Zaid sebagai standar dan mengkodifikasikannya.Langkah ini selanjutnya diikuti oleh Utsman yang memperbanyaknya menjadi beberapa mushaf.[6]
            Tiap ada seseorang yang baru datang ke kota Madinah, Rasulullah selalu memerintahkannya untuk mendatangi seorang guru untuk mempelajari dan menghafal Al Quran. Dengan demikian bertambah banyaklah orang-orang yang hafal Al Quran.
Dalam fase penghafalan al quran ini, setidaknya ada beberapa hal yang mendukung keberhasilannya:
a. Jaminan Allah yang mengumpulkan al quran dalam dada nabi, memantapkan bacaannya serta memberinya pemahaman[7]
b.Proses turunnya al quran yang berangsur-angsur
c. Motivasi/ dorongan nabi pada para sahabat untuk menghafalkan alquran, mempelajari dan mengajarkan Al Quran[8]
d.                        Kodrati yang dimiliki bangsa arab.

B.     Penulisan Al Quran pada Masa Nabi
Dalam proses ini, Nabi menunjuk beberapa orang sahabat sebagai sekretaris beliau yang bertugas menulis wahyu. Sekertaris Nabi ini berjumlah 34 orang[9]. Diantara sahabat tersebut adalah Abubakar Ash shiddiq, Umar ibn Khattab, Utsman ibn ‘Affan, Ali Ibn Abi Thalib, Mu’awiyah ibn abi Sufyan, Ubai ibn ka’ab, Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Mas’ud, Abu Musa Al ‘Asy’ari,
Dalam suatu riwayat sejarah, disebutkan bahwa jumlah sahabat yang bisa baca-tulis pada awal masa hijrah hanya 17 orang. Jumlah ini meningkat signifikan pasca peperangan Badar.  Rasululloh menerapkan kebijakan yang mewajibkan orang-orang kafir Qurays yang menjadi tawanan perang untuk masing-masing dari mereka mengajarkan baca-tulis pada 10 orang Islam jika mereka ingin dibebaskan. Sejak itu budaya baca-tulis mulai dikenal dan berkembang dikalangan masyarakat muslim, dan berperan penting dalam proses pendokumentasian Al Quran pada masa ini.
Bila ayat turun, Beliau memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan dalam hati. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Utsman ibn Affan bahwa apabila diturunkan pada nabi satu wahyu, Ia memanggil sekretaris untuk menuliskannya, kemudian bersabda: “Letakkanlah ayat ini dalam surat yang menyebutkan begini atau begitu”.[10]Al Suyuthi juga mengungkapkan suatu riwayat dari Zayd “Kami biasa menyusun Al Quran dari catatan-catatan kecil dengan disaksikan Rasululloh”.[11]
Disamping itu, sebagian sahabat pun menuliskan al Quran yang turun itu atas kemauannya sendiri, tanpa diperintah oleh Nabi; mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit kayu pelana, potongan tulang belulang binatang. Zaid ibn Tsabit berkata:”kami menyusun al Quran di hadapan rasululloh pada kulit binatang.[12]
Banyak riwayat-riwayat sejenis yang ditemukan dalam kitab-kitab hadist, yang menunjukkan bahwa penggabungan unit-unit wahyu atau penempatannya ke dalam surat-surat al Quran dilakukan atas petunjuk nabi atau bersifat tauqifi / dogmatis.[13]
      Penyusunan ayat-ayat dan surat dalam al quran sungguh berbeda dengan metode penyusunan buku-buku ilmiah, yang hanya membahas satu masalah dengan menggunakan metode tertentu yang terbagi dalam beberapa bab dan pasal. Metode ini tidak terdapat dalam Al Quran, yang di dalamnya banyak persoalan induk silih berganti diterangkan.
      Persoalam akidah terkadang bergandengan dengan persoalan hukum dan kritik, sejarah umat-umat terdahulu bersambung dengan nasihat, ultimatum, dorongan, atau tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam semesta. Terkadang pula, ada suatu persoalan atau hukum yang sedang diterangkan tiba-tiba timbul persoalan lain yang sekilas tidak ada hubungan antara satu dengan yang lain.
      Yang demikian ini, menurut Prof. Dr. Qurays Shihab[14], dimaksudkan untuk memberikan kesan bahwa ajaran-ajaran Al Quran dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya merupakan satu kesatuan yang harus ditaati oleh penganut-penganutnyasecara keseluruhan tanpa ada pemisah antara satu dengan yang lain. Hal ini juga membuktikan bahwa Al Quran tidak dapat disamakan dengan kitab-kitab yang dikenal manusia.
      Penulisan Al-Qur’an pada masa itu menggunakan tujuh huruf, karena al-qur’an itu sendiri diturunkan kebumi menggunakan tujuh huruf.Tidak hanya tulisan al-Qur’an saja yang ditulis oleh para sahabat, melainkan seperti tawil al-Qur’an, nasakh mansukh dan tafsir, seperti yang pernah dilakukan oleh Ibn Mas’ud.[15]
            Maka dari itu Nabi Muhammad Saw.melarang kepada sahabat untuk tidak menulis sesuatu dari Rasullah kecuali al-Qur’an. Seperti hadist yang diriwayatkan oleh Muslim:
Janganlan kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali al-Qur’an. Barang siapa telah menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklan ia menghapusnya”.
Pengertian hadist di atas bukan berarti mempunyai pengertian bahwa dilarangnya para sahabat menulis selain al Qur’an karena khawatir tercampurnya antara tulisan al-Qur’an dengan tulisan lainnya, akan tetapi mempunyai pengertian bahwa Rasulullah hanya menginginkan agar perhatian dan konsentrasi sepenuhnya dicurahkan untuk al-Qur’an.[16]
      Al Khattabi berkata: Rasululloh tidak mengumpulkan Al Quran dalam satu mushaf karena ia senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasululloh, maka allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para khulafaur rasyidin sesuai dengan janjinya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya.[17] Proses ini terjadi pertama kali pada masa kepemimpinan Abu bakar atas pertimbangan usulan Umar ibn Khattab.
      Ada beberapa pendapat ulama mengenai urutan surat-surat yang ada saat ini, sudah ketentuan dari Rasululloh atau menurut ijtihad para ulama. Namun pendapat yang paling banyak dianutadala bahwa susunan surat yang ada sekarang sesuai dengan yang ditunjukkan oleh Rasululloh.
Dapat kami simpulkan, bahwa karakteristik Penulisan Al Quran pada jaman nabi:
a.       Pada fase ini penulisan Al Quran tidak dilakukan secara kolektif, sehingga al Quran tidak terkumpul dalam satu buku[18], akan tetapi ayatnya ditemukan terserak dan tersebar di tangan para sahabat dengan beragam media penulisan. Tulisan yang ada pada seseorang belum tentu ada pada yang lain. Hal ini disebabkan turunnya Al Quran secara berangsur-angsur yang memaksa para sahabat baru bisa menulis ketika wahyu turun. Bisa pula pengumpulan Al Quran pada masa itu tidak diperintahkan Nabi. [19] Selain itu, terkadang terdapat pula ayat yangg menasakh ayat yang turun sebelumnya.
b.      Ayat-ayat dan surat-surat Al Quran tertulis sesuai urutan yang ditunjukkan oleh Nabi ayat-ayat dan surat-surat dipisah-pishkan, atau diurutkan ayat-ayatnya saja dan setiap surat berada pada lembaran yang terpisah. [20]
c.       Tertulis dalam tujuh huruf sesuai yang diturunkan pada Nabi[21]
2.3              Proses kodifikasi Al Quran pada masa sahabat
A.    Pada Masa Khalifah Abu Bakar
Setelah Rasulullah wafat, urusan kepemimpinan umat ini dilanjutkan oleh Abu Bakar sebagaiKhalifah pertama. Hal yang menjadi perhatian utama Abu Bakar di awal kepemimpinannya adalah memerangi suku-suku yang murtad dan menolak membayar zakat. Pada tahun dua belas hijriyah terjadi perang Yamamah, yang melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Al Quran.Dalam peperangan ini 70 orang huffadzgugur sebagai syahid. Melihat kenyataan ini, Umar bin Khattab merasa khawatir akan kelestarian Al Quran yang ditakutkan akan musnah bila tidak segera diambil langkah preventif. Selain itu, Umar juga khawatir peperangan-peperangan lain selanjutnya juga akan banyak jatuh korban dari para huffadz.
Umar pun menghadap kepada Abu Bakar dan mengemukakan kekhawatirannya.Ia mendesak abu Bakar untuk segera mengambil sikap untuk melindungi keontetikan Al Quran.Ia mengusulkan pada Abu Bakar untuk mengumpulkan dan membukukan Al Quran. Abu Bakar menolak usulan ini dan keberatan kalau harus melakukan sesuatu hal yang tidak dilakukan oleh Rasulullah.Tetapi Umar terus menerus membujuknya hingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan tersebut, setelah melalui musyawarah yangpanjang, mempertimbangkan baik buruknya, maslahah mafsadatnya.
      Kemudian Abu Bakar pun membentuk tim penyusun Al Quran yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit. Pemilihan Zaid sebagai ketua tim tidak sembarangan, mengingat kedudukannya sebagai sekretaris kepercayaan Nabi, serta keutamaannnya di bidang qiraat, penulisan, pemahaman dan kecerdasannya serta kehadirannya pada pembacaan Al Quran terakhir di hadapan Nabi saw. Beliau dikenal sebagai orang yang sangat cerdas, terampil, cermat dan teliti. Bahkan  Karena kelebihannya itulah Zaid diangkat sebagai penulis wahyu sekaligus penerjemah bahasa Ibrani dan Suryani sejak belia.Hal ini diungkapkan Imam Bukhari dengan hadist-hadist dalam kitab shahihnya.[22]Abu Bakar menceritakan kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar.Pada mulanya Zaid menolak seperti halnya Abu Bakar sebelum itu, hingga Allah membukakan hatinya.
            Metode pengumpulan yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit sangat bisa di pertanggungjawabkan. Bahkan menurut Prof. Dr. MM. Al A’zami metode yang digunakan 15 abad yang lalu ini sama dengan metode yang digunakan para ahli saat ini. Beliau menjelaskan bahwa pertama-tama Zaid hanya membatasi pengumpulan dengan ayat-ayat yang disalin di bawah pengawasan nabi. Dengan pembatasan ini zaid meyakinkan bahwa semua materi yang beliau teliti memiliki tingkatan yang samadan hal yang demikian memberijaminan mutlak atas ketelitian yang dicapai.[23]
            Setalah menghafal dan menulis banyak ayat Al Quran semasa duduk bersama Nabi Muhammad, ingatan atau hafalan Zaid hanya dapat dikomparasikan dengan materi yang sama. Bukan dengan naskah kedua atau ketiga. Sikap tegas dan selektif dari Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Zaid atas materi dari tangan pertama dengan menghadirkan dua orang saksi dimaksudkan agar memberi dukungan untuk memberi jaminan ada status yang sama. Didorong oleh semangat yang meluap dari para pelakunya, proyek tersebut menjadi upaya massif yang mengikutsertakan partisipasi semua sahabat.
      Zaid bertindak sangat teliti. Ia tidak mencukupkan pada hafalan semata tanpa  disertai tulisan. Tulisan itupun, harus disertai dua saksi, yang menyaksikan bahwa tulisan itu memang ditulis dihadapan Nabi.
Adapun karakteristik penulisan Al Qur’an pada masa Abu Bakar adalah :
a.      Seluruh ayat Al Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf berdasarkan penelitian yang cermat dan seksama.
b.     Meniadakan ayat-ayat Al Qur’an yang telah mansukh
c.       Seluruh ayat yang ada telah diakui kemutawatirannya.
d.      Dialek Arab yang dipakai dalam pembukuan ini berjumlah 7 (qira’at) sebagaimana yang ditulis pada kulit unta pada masa Rasulullah SAW.
B.     Masa Khalifah Umar bin Khattab
      Pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA, terjadi penyebaran Al Quran ke wilayah-wilayah yang sudah menerima Islam.Penyebaran ini bukan sekedar mengirimkan lembaran-lembaran mushaf, tapi disertai pula dengan pengajarannya.Setiapa daerah baru, Khalifah umar mengirim beberapa sahabat untuk menjadi Guru Al-Qur’an.Karena lembaran Al-Qur’an belum tersebar, maka proes pengajaran yang menggunakan sistem hafalan dibawah kendali Sahabat penghafal Al-Qur’an.
      Khalifah Umar menugaskan beberapa sahabat penghafal Al Quran untuk berangkat ke wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan, untuk mengajarkan Al quran. Diantaranya ke mengutus 10 orang sahabat ke Bashrah, Ibnu Mas’ud ke Kufah, 3 utusan ke Palestina dan Damaskus serta menunjuk 3 orang sahabat lainnya untuk mengajarkan Al Quran di madinah.
      Selama masa pemerintahannya, mushaf yang sudah dibukukan oleh Zaid tersimpan rapi di rumah Umar.Ketika beliau ditikam oleh seorang penjahat, lembaran-lembaran Al-Qur’an itu kemudian diserahkan kepada putrinya yang sekaligus istri Nabi SAW, Hafshah RA. Penyerahan kepada Hafshah dipandang lebih aman daripada orang lain yang belum tentu akan dipilih sebagai kepala negara. Pengangkatan kepala negara pengganti Umar dilakukan melalui musyawarah para sahabat. Karenanya, Khalifah Umar sendiri tidak mengetahui secara pasti siapa penggantinya kelak serta tidak ingin mempengaruhi hasil musyawarah dengan menyerahkan kepada salah seorang sahabat

C.     Masa Khalifah Utsman bin Affan
      Pada masa Utsman, Al Quran masih berupa kumpulan tulisan yang dinamakan shuhuf. Dalam waktu singkat pengajaran Al Quran berbasis shuhuf ini masuk ke berbagai daerah, seiring meluasnya daerah-daerah yang menerima Islam di berbagai penjuru.Para sahabat memiliki peranan penting dalam penyebaran ini. Akan tetapi, karena kabilah dan propinsi mereka beragam, sejak awal mereka memiliki dialek yang berlainan, yang terbawa dalam cara mereka membaca Al Quran. Perbedaan inilah yang menjadi sebab kerancuan dan perselisihan umat Islam di kala itu.
      Hudzaifah bin Yaman, melaporkan kepada khalifah utsman dari perbatasan Azerbaijan dan Armenia, tentang perbedaan bacaan Al Quran yang membahayakan dan bisa menjadi sumber perselisihan umat Islam ke depannya, jika tidak segera diambil tindakan pencegahan.
      Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Irak, Abu Hudzaifah melihat banyak perbedaan dalam caara-cara mambaca Al Qur’an.Sebagian bacaan bercampur dengan kesalahan.Tapi masing-masing mempertahankan dan memegangi bacaannya, hingga mereka saling mengkafirkan. Melihat kejadian ini ia menghadap khalifah Usman dan melaporkan apa yang dilihatnya.
Utsman kemudian mengirimkan utusan ke Hafsah (untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya). Kemudian Utsman memanggil Zaid bin tsabit Al Anshary, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam, ketiga orang terakhir adalah suku Quraisy; lalu memerintahkan mereka untuk menyalin dan memperbanyak mushaf, serta memerintahkan pula agar apa yang diperselisihkan oleh Zaid dan ketiga Quraisy itu ditulis dalam bahasa Quraisy, karena Al Quran turun dengan logat mereka.Utsman berpesan, apabila terdapat perbedaan diantara keempat sahabat tersebut, maka yang diambil ada dialek Qurays, karena al Quran diturunkan dalam bahasa kaum Qurays.
      Proses penyalinan ini tidak berbeda jauh dengan prosesnya pada masa khalifah Abu Bakar. Naskah-naskah yang telah dikumpulkan dari para sahabat diverifikasi, dibandingkan dengan shuhuf Hafsah.Lalu dibacakan di hadapan Khalifah Utsman.Mushaf ini ditulis hanya dalam satu huruf, dengan mentiadakan enam huruf lainnya, untuk menghindari timbulnya perselisihan di kemudian hari. Setelah tidak ada perselisihan, mushaf itu pun di perbanyak, dan duplikatnya dikirim ke beberapa daerah.Mushaf aslinya disimpan di rumah Khalifah Utsman, yang dinamakan Mushaf Imam.
      Setelah selesai menyalinnya, Utsman mengembalikan lembaran-lembaran aslinya kepada Hafshah. Selanjutnya Usman mengirimkan kesetiap wilayah mushaf yang baru tersebut dan memerintahkan agar semua Mushaf / Al Qur’an lain di bakar, agar tidak sampai terjadi perselisihan. Terdapat perselisihan pendapat mengenai jumlah mushaf yang diperbanyak oleh Khalifah Utsman.Tapi pendapat yang paling banyak mengatakan mushaf itu berjumlah 5 buah, yang dikirimkan ke Kufah, Bashrah, Damaskus dan Madinah.
Karakteristik mushaf Al Qur’an pada masa Utsman bin Affan:
1.      Ayat-ayat Al Qur’an yang ditulis seluruhnya berdasarkan riwayat yang mutawatir.
2.      Tidak memuat ayat-ayat yang mansukh.
3.      Surat-surat maupun ayat-ayatnya telah disusun dangan tertib sebagaimana Al Qur’an yang kita kenal sekartang.
4. Ditulis dalam 1 macam huruf saja, dengan mentiadakan 6 huruf lainnya.
2.4. Proses Perkembangan Bacaan Dan Simbol-Simbol Dalam Al Quran
           A. Perkembangan Bacaan Dalam Al Quran
Teori yang berkembang luas dikalangan sarjana muslimbahwa bangsa arab adalah bangsa yang mayoritasnya buta aksara dan  bodoh, sebagaimana lazimnya ditunjukkan dengan ungkapan jahiliyah.[24]
                 Semua suku arab menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa induk bagi bahasa-bahasa mereka kerena adanya karakteristik-karakteristik tersebut. Dengan demikian wajarlah jika al Quran diturunkan dengan logat Quraisy kepada Rasul, yang Quraisy pula untuk mempersatukan bangsa arab dan mewujudkan mukjizat Qur’an ketika meraka gagal mendatangkan satu surah seperti al Qur’an.[25]
                 Bangsa arab yang mendiami daerah hijaz baru mengenal huruf sekitar satu abad sebelum datangnya Islam. Hal ini terjadi karena pergaulan hidup mereka yang senantiasa berada dalam permusuhan dan peperangan, sehingga tidak ada kesempatan untuk memperhatikan dan mengembangkan kebudayaan yang konstruktif dan membawa kemajuan. Berbeda dengan rumpun- rumpun bangsa arab lainya bani Himyar di Yaman atau Bani Ambath di Arab Utara yang sejak lama menggunakan huruf. Terlebih bangsa-bangsa yang lebih maju peradabannya, seperti Persia dan Romawi.[26]
                 Ada tujuh huruf yang digunan untuh membaca bacaan arab pada zaman dahulu.[27] Dan riwaayatkan dari hadist Muslim[28]
                 Yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah jutuh macam ucapan yang sama dalam maknanya sekalipun berbeda lafal (catatannya) seperti: imdhzi, ta’alla, hallumma, asri’, ‘anjjil, shir, pemahaman yang seperti inilan yang dipilih oleh muhammd ibn jariri at-thabari dalam pendahuluan tafsirnya.[29]
                 Ibn Abdil Barr berkata: “ Ibn Wahhab dalam At-Targhib mengatakan: Ditanyakan kepada Malik: Apakah anda sependapat dengan bacaan Umar bin Khottab “Famdhu ila dzikrillah” ? Ia menjawab : Boleh saja, sebab Rosulullah SAW. Pernah bersabda bahwa Al-Quran diturunkan dengan “tujuh huruf”, bacalah mana yang kau anggap mudah”[30]
                 Hadist- hadist yang berkenaan dengan hal itu amat banyak jumlahnya dan sebagian besar telah diselidiki oleh Ibn Jarir didalam pengantar tafsirnya.As-Suyuti menyebutkan bahwa hadist-hadist tersebut diriwayatkan dari dua puluh orang sahabat. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam  menetapkan kemutawatiran hadis mengenai turunnya Qur’an dengan tujuh huruf.[31]
a.      Perbedaan Pendapat Tentang Pengertian Tujuh Huruf
Ibn hanyun mengatakan bahwa : “ Ahli yang berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima pendapat”[32]
1.      Tujuh macam bahasa dari bahasa - bahasa arab mengenai satu makna
Dengan penertian jika bahasa merak berbeda beda dalam mengungkapkan satu makna, maka Quran pun diturunkan dengan sejumlah lafadz yang sesuai dengan ragam bahasa tersebuttentang makna yang satu itu. Jika tidak terdapat perbedaan maka Quran itu hanya mendatangkan satu lafadz atau lebih saja.
Ketujuh bahasa itu adalah: Quraisy, Huzail, Saqif, Tamim, Rabi’ah, Hawazin, Yaman.
2.      Tujuh macam bahasa dari bahasa - bahasa arab dengan nama Qur’an diturunkan
Perbedaan pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surah dalam Al-Quran, buka tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.
3.      Tujuh wajah
Arinya ‘amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d (janji), wa’id (ancaman), jadal (perbedaan), qasas (cerita), dan masal (perumpamaan).
4.      Tujuh macam hal yang ada didalamnya terjadi ikhtilaf
1)      ikhtilafful asma’( perbedaan kata benda)
2)      perbedaan dari segi i’rob(harakat akhir kata)
3)      perbedaan dari segi tasrif
4)      perbedaan dari segi taqdim(mendahulukan)
5)      perbedaan dari segi ibdal(penggantian)
6)      perbedaan karena ada penambahan dan pengurangan (ziadah dan naqs)
7)      perbedaanlajnah seperti tafhim dan tarqiq(menebalkan dan menipiskan)
5.      Tujuh itu tidak diartikan secara harfiyah
(Maksudnya adalah bukan bilangan enam atau delapan), tetapi bilangan tersebut tetapi bilangan itu hanya di buat lambangkesempurnaan kebiasaan orang arab. Dengan demikian, maka kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susuna Al-Quranmerupakan batas dan sumber utama bagi perkataan semua orang Arab yang telah mencapai tingkat kesempurnaan tertinggi.Sebab, lafadz sab’ah (tujuh) dipergunakan pula untuk menunjukkan jumlah banyak dan sempurna dalam bilangan satuan seperti, “tujuh puluh” dalam bilangan puluhan dalam bilangan ratusan seperti, “tujuh ratus”.tetapi kata kataitu tidak dimaksudkan untuk menunjukakn bilangan tertentu.
6.      Tujuh huruf disebut dengan tujuh Qiraat
B. Pekembanag Simbol-Simbol Dalam Al Qur’an
Para penulis menulis ayat-ayat pada pelepah, batu dan sobekan kain, dan kadang- kadang diatas sutera dan potongan kulit atau tulang, yang biasa dilakukan orang-orang arab pada waktu itu. Semua itu merala beri nama suhuf. Suhuf suhuf itu ditulis dan disimpan dirumah Rosulullah saw. Muhammad bin Ishaq dalam Al-Fihrist mengatakan: “Pada zaman Rosulullah saw. Al-Quran ditulis di hadapan beliau di atas kepingan batu, pelapah dan tulang-tulangunta” Menurut riwayat Al-Bukhori, Zait bin Tsabit berkata: “Aku selalu mengikuti dan mengumpulkan Al-Quran dari kepingan batu, pelapah dan hafalan hafalan.”[33]
Dalam satu riwayat yang bersumber dari Ali bin Ibrahim,[34] dari Abi Bakar al-Hadhirami bahwa Abu Abdillah Ja’farbin Muhammad a.s. berkata: “Hai Ali, Al-Quran ada di belakang tempat tidurku, di suhuf, sutera dan kertas ( lembaran kain atau yang lainnya). Ambillah, kemudian kumpulkan, jangan sia sikan seperti orang yahudi menyia nyiakan Taurat.”Ali menuju tempat tersebut dan membungkusnya dalam kain berwarna kuning, selanjutnya ditutupnya dengan segel.[35]
Dalam mempermudah untuk menghafal maka yang digunakan dalam tulisan Qur’an dengan menggunakan Syakal[36] dan I’jam.[37]
Pertama, titik yang membedakan antara satu huruf dengan huruf lainnya [misal, titik pada huruf-huruf: ي؛ ب؛ ت؛ ن؛ ث؛ . kita bisa tahu bedanya, karena titik. Titik-titik ini baru dibubuhkan pada huruf arab di zaman tabiin. Sementara huruf-huruf sebelum masa itu, semuanya ditulis tanpa titik. Dalam kitab an-Nuqath al-Mathbu’ ma’a al-Muqni’ :Abu Amr, Utsman bin Said ad-Dani  mengatakan, “Penjelasan tentang titik pada mushaf pertama kali terjadi di masa tabiin. Dan penjelaan tentang ulama yang tidak sependapat dengan titik ini, dan diberi keringanan. Ada perbedaan riwayat yang kami miliki tentang siapa yang memulai kali memberikan titik dalam mushaf di zaman tabiin.Kami mendapat riwayat bahwa yang melakukan pemberian titik pertama adalah Abul Aswad ad-Duali. Kami juga mendapat riwayat bahwa Ibnu Sirin memiliki mushaf yang hurufnya ada titiknya, dimana yang memberi titik adalah Yahya bin Ya’mar. Dan beliau adalah orang yang pertama kali memberi titik mushaf.”
Kedua, (tidak ada dalam mushaf Utsmani) Harakat dan tanwin.Kemudian Khalil bin Ahmad al-Farahidi mengembangkan hal itu, dimana beliau membuat beberapa harakat yang diambil dari huruf. [38]
Ketiga, hamzah, tasydid, raum, dan isymam. Pertama kali yang meletakkannya adalah Khalil bin Ahmad al-Farahidi.
Keempat, tanda-tanda tajwid, tanda washal, atau waqaf.Semua ini tidak ada dalam naskah mushaf Utsmani.Baru dibubuhkan dalam al-Quran setelah adanya ilmu tajwid.
Pada masaa dinasti Umayyah upaya untuk menyempurnakan huruf arab terus dilakukan berkat usaha Qathabah Al-Muharir tercipta empat macam tulisan yang lahir dari huruf kufi, dengan menggunakan tulisan tersebut, dimulailah proses penulisan Mushaf yang telah diilakukan pada zaman Rasul hingga zaman Khulafaur Rosidin denang huruf yang lebih sempurna.
Al Qur'an pada mulanya ditulis tanpa titik dan harkat seperti yang kita lihat sekarang ini. Namun, kondisi ini tidak mempengaruhi bacaan Al Qur'an karena kaum muslimin saat itu adalah orang-orang yang fasih dalam bahasa Arab. Bersamaan dengan itu, orang-orang Islam non-arab  merasa kesulitan untuk membaca Al Qur'an yang pada waktu itu masih 'kosong'. Diceritakan bahwa yang pertama kali mendapatkan ide tanda baca terhadap Al-Qur’an adalah Ziyad bin Abihi salah seorang gubernur yang diangkat oleh Muawiyah bin Abi Sufiyan untuk wilayah Basrah (45-53 H). Kisah munculnya ide itu diawali ketika Muawiyah menulis surat kepadanya agar mengutus putranya Ubaidillah, untuk menghadapnya, Muawiyah terkejut bahwa anak muda itu banyak melakukan kesalahan dalam bahasa pembicaraannya, Muawiyah mengirim surat teguran kepada Ziyad. Lalu Ziyad mengirim surat kepada Abu Aswad Adwali dengan pernyataan bahwa sesungguhnya orang-orang yang bukan suku Arab itu semakin banyak telah merusak bahasa orang-orang Arab, maka cobalah engkau melakukan suatu hal untuk memperbaiki bahasa orang itu dan membuat meraka membaca Al-Qur’an dengan benar, kemudian Abu Aswad menolak permintaan Ziyad. Ziyad melakukan sesuatu untuk memenuhi kehendaknya yaitu dengan menyuruh seseorag untuk menunggu dijalan yang sering dilewati oleh Abu Aswad Adwali ini dengan pesannya, ketika Abu Aswad lewat bacalah satu ayat Al-Quran, orang inipun membaca firman Allah Q.S At-Taubah ayat 3. yang berbunyi:
“Innallaaha bariiun min al-musyrikiina wa rasuuluhu” (sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin).pada lafadz “Rasuluhu” di baca Rafa'/ Dommah Namun orang ajam tersebut membacanya dengan
“Innallaaha bariiun min al-musyrikiina wa rasuulihi” (sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musrik dan RasulNya).pada lafadz “Rasuluhu” di baca rasuulihi (jer/ kasroh).
           Mendengar bacaan tersebut Abu Aswad terkejut, lalu mengucap:”Maha besar Allah: bagaimana mungkin Dia berlepas diri dari RasulNya?! Setelah itu ia langsung menemui Ziyad untuk menerima permohonan Ziyad. Abu aswad menunjuk seorang dari suku al-Qais untuk membantunya dari 30 orang yang di Ajukan Ziyad. Abu Aswad kemudian memerintahkan juru tulis itu mengambil mushaf dan Zat pewarna yang berbeda dengan yang digunakan untuk berpesan kepada stafnya itu:” jika kau lihat bibirku terbuka waktu menyebut huruf bersuara A (fatah) letakanlah satu titik diatasnya, dan jika kesuan bibirku agak terkatup (bersuara i) letakkanlah satu titik di bawahnya, jika bibirku mencuat kemuka (bersuara U) maka letakkanlah satu titik ditengah huruf dan jika bibirku bersuara (Ghunnah) letakkanlah dua titik diatasnya”. Dalam versi lain Abul Aswad pada masa Khalifah Muawiyah memberi tanda vokal (harakat) dengan tinta yang berlainan. Titik di atas untuk fathah, titik di bawah untuk kasrah, titik di sebelah kiri atas untuk dlammah, dan dua titik untuk tanwin.Sementara itu Abu Aswat membaca Al-Qur’an dengan perlahan dan stafnya pun sibuk bekerja sesuai dengan perintahnya. Apabila mereka mendapatkan salah satu huruf halaq, mereka melatakkan salah satu titik lebih tinggi dari pada yang lain, sebagai tanda suara (nun) jelas, jika tidak jelas mereka meletakkan disamping, sebagai tanda apabila suara (nun) tidak terdengar (tersembunyi). Dan setiap kali usai satu halaman, Abu Aswadpun memeriksanya kembali sebelum melanjutkan kehalaman berikutnya. Oleh karena itu, Abul Aswad Ad-Duali mejadi sosok yang berkiprah sangat penting bagi Muslimin. Dialah yang menemukan kaidah tata bahasa Arab (Nahwu), salah satunya kaidah pemberian harakat. Harkat yang diciptakan oleh Abu al-Aswad ini lalu disempurnakan Imam Kholil bin Ahmad al-Bashry pada masa dinasti Abbasiyah, hingga menjadi bentuk harkat seperti yang ada sekarang. Adapun titik yang terdapat pada huruf ba', ta', tsa', jim, ha', kha', dzal, za', dan lainnya, itu terjadi pada masa kepemimpinannya Abdul Malik bin Marwan Saat itu beliau memerintahkan gubernurnya di Irak yang bernama Hajjaj bin Yusuf. Hajjaj bin Yusuf lalu menyuruh Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya'mur untuk melaksanakan keinginan khalifah Abdul Malik bin Marwan tersebut. Dalam penulisan titik huruf tersebut, Nashr bin Ashim menggunakan tinta yang warnanya sama dengan tinta yang digunakan untuk menulis mushaf, agar tidak serupa dengan titik tanda harkat yang digunakan oleh Abu al-Aswad al-Dualy Sejak saat itulah dalam mushaf Al Qur'an sudah ada titik huruf dan titik harkat. Titik yang diciptakan oleh Abu al-Aswad disebut Titik I'rab, sedangkan titik yang diletakkan oleh Nashr bin Ashim disebut Titik Huruf.
Pada masa kekuasaan dinasti Abbasiyah, lahir dua orang penulis terkenal yaitu Ad-dahhaq bin Ajinlan dan Ishaq bin Humad dari Syam, keduanya meneruskan usaha Quthobah dalam menyempurnakan dan memperindah tulisan arab berkembang menjadi dua belas macam yaitu tulisan jalil untuk menulisi mihrab, pintu pintu masjid, tembok istana yang sekarang disebut tulisan jali dan tulisan yang lainnya bernama sajalat, dibaji, usthumarul kabir,  sulusain, zambur, mufattah, haram, mumarat,’uhuhd, qasas, dan khifaj. Setiap tulisan memiliki fungsi khusus dan digunakan untuk menulis sesuatu yang khusus pula sehingga  mencapai 20 jenis tulisan, dan tulisan resmi untuk menulis Qur’an pada zaman rasulullah dan sahabatnya adalah tuliasan kufi dan tulisan Nasakh digunakan untuk tulisan tidak resmi. [39]












DAFTAR PUSTAKA

Abas, Fadhi Hasan. 2007. Ghidzau Jinaan Bistamrotul Jinaan, Ordon: darunnafais

Amal, Taufik Adnan. 2001. rekonstruksi sejarah Al Quran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Al Qathan, Manna’ Khalil. 2011. Studi Ilmu Ilmu Qur’an, terjemah Mudzakkir. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa
As Suyuthi, Jalaluddin. 2006. Al-Itqan fi Ulum al-Quran. Surabaya: Bina Ilmu
Ath Thabari, Abu Ja’far Muhammad Jarir. 2009. Tafsir at-thabari. Jakarta: Pustaka Azzam.
Az-Zanjani, Abdullah. Tarikh Al-Quran. Bandung: penerbit Mizan,
Az-Zarqoni, Muhammad Abdul Adhim. 20001. Manahilul Irfan Fi Ulumil Qur'an. Kairo: Dar Hadist.
Emsoe Abdurrahman dan Apriyanto Ranoedarsono, 2009. The Amazing Stories Of Al-Quran. Bandung: Salamadani.

Muhammad, Abu Abdillah bin Ismail. 1992. Shahih Hadist Bukhori. Beirut Libanon: Dar el Fikr.

Shihab, M.Quraish. 2014. Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
Yahya, Harun. 2004. Memilih Al Quran sebagai pembimbing, keutamaan doa dan doa para Nabi dalam Al Quran. Surabaya: Risalah Gusti






[1] Emsoe Abdurrahman dan Apriyanto Ranoedarsono, The Amazing Stories Of Al-Quran, Salamadani, Bandung, 2009 hlm.12
[2] Harun Yahya, Memilih Al Quran sebagai pembimbing, keutamaan doa dan doa para Nabi dalam Al Quran, Risalah Gusti, Surabaya, 2004, hlm 7
[3] Hadits pertama: “Dari ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Ambillah Al-Qur’an dari empat orang, yaitu ‘Abdullah ibn Mas’ud, Salim, Mu’adz, dan Ubay ibn Ka’b’.”
Hadits kedua: “Dari Qatadah: Aku bertanya kepada Anas ibn Malik, ‘Siapakah orang yang hafal Al-Qur’an di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’, kemudian ia menjawab, ‘Empat orang, semuanya dari Anshar, yaitu Ubay ibn Ka’b, Mu’adz ibn Jabal, Zaid ibn Tsabit, dan Abu Zaid’, aku bertanya lagi, ‘Siapa Abu Zaid?’, ia menjawab, ‘Salah seorang pamanku’.”
Hadits ketiga: “Diriwayatkan melalui jalur Tsabit dari Anas yang berkata: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, dan tidak ada yang hafal Al-Qur’an kecuali empat orang, yaitu Abu Darda, Mu’adz ibn Jabal, Zaid ibn Tsabit, dan Abu Zaid.”
[4] Abu Abdullah Az Zanjani, Wawasan Baru tarikh al Quran, Mizan: Bandung, 1993.Hlm 7.
[5] Al Amidi adalah Abul hasan Ali bin Abi Ali Muhammad bin Salim At-Taghlabi, seorang ahli ushul fiqh dan kalam, meninggal tahun 617 H.
[6] Op.cit.
[7] QS. Al Qiyamah 16-19
[8]Salah satunya hadist shohih yang diriwayatkan Imam Bukhari yang artinya “sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al Quran dan mengajarkannya”.
[9] ibid
[10] Tirmidzi, Sunan, Kitab al tafsir, bab surah 9.
[11] Suyuthi, Itqan
[12]Manna’ Khalil Qathan, Studi Ilmu Ilmu Qur’an, terjemah Mudzakir, , Surabaya, hlm.186
[13] Taufik Adnan Amal, rekonstruksi sejarah Al Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hal 132
[14] Dalam bukunya, Membumikan Al Quran
[15]Syaikh Muhammad Abdul Adhim Az-Zarqoni, Manahilul Irfan Fi Ulumil Qur'an hal 210
[16]Dr.Fadhi Hasan ‘Abas, ghidzau jinaan bistamrotul jinaan, darul nafais, ordon, cet. I, 2007, hal 112.
[17] Ini sesuai isyarat dalam firman Allah: “Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al Quran dan kami pula yang akan menjaganya” (Al Hijr:9)
[18] Hal ini bisa diilustrasikan dengan sebuah riwayat yang dinisbatkan pada Zaid :”Nabi wafat dan Al Quran belum dikumpulkan pada satu naskah tunggal”
[19] Emsoe Abdurrahman dan Apriyanto Ranoedarsono, The Amazing Stories of Al Quran (Bandung: Salamadani) hal. 38
[20] Manna’ Khalil Qathan,Studi Ilmu Ilmu Qur’an, terjemah Mudzakir, , Surabaya, hlm.187
[21] Mengenai tujuh huruf ini akan dijelaskan kemudian.
[22] Emsoe Abdurrahman dan Apriyanto Ranoedarsono, The Amazing Stories Of Al Quran, Slamadani, Bandung, 2009, hlm. 41
[23] ibid
[24] Prof.Dr.M.Quraish Shuhab, Rekontruksi Sejarah al-Quran, Yogayakarta, 2001, hlm 125
[25] Manna’ Khalil Qathan,Studi Ilmu Ilmu Qur’an, terjemah Mudzakir, Surabaya, hlm.225
[26] Emsoe Abdurrahman dan Apriyanto Ranoedarsono, The Amazing Stories Of Al-Quran, Salamadani, Bandung, 2009 hlm.27
[27] Dari Ibn Abbas ,Rosulullah berkata: jibril membaca (Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulangkali aku mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah, dan ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf. (lihat Hadist Bukhori).
[28] Dari Ubai bin ka’ab, ketika nabi berada didekat parit bani Gafar, ia didatangi oleh jibril seraya mengatakan: ‘Allah memerintahakanmu agara membacakan Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf.Ia menjawab: Aku memohon ampunan dan maghfiroh-Nya,karena umatku tidak bisa melaksanakan perintah itu, kemudian jibril datang lagi kedua kalinya dan berkata :Allah memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepda umatmu dengan dua huruf. Nabi menjawab:aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfiroh-Nya,karena umatku tidak kuat melaksanakannya, kemudian jibril datang lagi ketiga kalinya dan berkata: Allah memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepda umatmu dengan tiga huruf, Nabi menjawab:aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfiroh-Nya,karena umatku tidak dapat melakasanakananya, jibril datang lagi keempat kalinya dan berkata: Allah memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepda umatmu dengan tujuh huruf dengan huruf  yang mana saja mereka membaca,mereka tetap benar.
[29] Tafsir at-thabari jilid 1 : ‘’bukti kebenaran apa yang kami katakana diatas ialah riwayat- riwayat shohih yang bersumber dari umar bin khatob, abdullah bin mas’ud, dan ubai bin ka’ab, bahwa meraka pernah berdebat tentang Al-Qur’an. Masing masing berbeda dalam bacaan meski maknanya sama, kemudian mereka pergi untuk meminta keputusan dari nabi SAW beliau memrintahkan mereka membacanya dihadapannya, kemudian semuanya dibenarkan oleh beliau sekalipun bacaan mereka berlainan sampai sampaisebagaian dari mereka ragu akan pembenaran beliau atas bacaan mereka kepada yang ragu ini Rosulloh SAW berkata: sesungguhnya Allah menyuruhku agar membaca Al-Quran dalam tujuh huruf.’’ Yang dapat disimpulan dadi ungkapan Nabi SAW ini ialah bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah lafal-lafal atau kata kata yang berbeda untuk satu makna.
[30] Abdullah Az-Zanjani, Tarikh Al-Quran, penerbit Mizan, Bandung, hlm 56.
[31]Lihat al-itqon, jilid 1, halaman 41.
[32] As-Suyuti berkata: Penafsiran ulama tentang makna hadist ini tidak kurang dari empat puluh pendapat (al-itqon, jilid 1, halaman 41)
[33] Abdullah Az-Zanjani, Tarikh Al-Quran, penerbit Mizan, Bandung, hlm 65.
[34] Ali bin Ibrahim bin Hasyim Al-Qommi, seorang di atara ahli hadist kaum Imamiyah yang terpercaya. Pengarang kitab tafsir yang terkenal.
[35] Ibid hlm 66
[36] Huruf vokal untuk membedakan dari titik titik diakritis yang digunakan untu membedakan huruf hrurf mati bersimbol sama. (lihat Taufik Adnan Amal, rekonstruksi sejarah Al Quran.hlm129)
[37] Huruf konsosnan menurut sarjana Isla, pertama kali dilakukan pada masa kekholifahan Bani Umayyah, dan tokoh tokoh yang terlibat didalamnya biasanya dipulangkan kepada sejumlah nnama ahli bahasa seperti Abu al-Aswad al-Da’ali beserta murud-muridnya.(ibid)
[38]al-Itqan fi Ulum al-Quran, hlm. 219
[39] Emsoe Abdurrahman dan Apriyanto Ranoedarsono, The Amazing Stories Of Al-Quran, Salamadani, Bandung, 2009 hlm.29

No comments:

Post a Comment