BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Al Quran adalah kitab suci yang paling sempurna,
yang menjadi pedoman bagi umat hingga akhir jaman.Al Quran juga merupakan
mukjizat nabi yang terbesar.
Kandungan
Al Quran sebagai penyempurna kitab-kitab suci yang telah turun sebelumnya, di
dalam Al Quran terhimpun hasil kitab suci yang sudah ada seebelumnya, malahan
juga hasil segala ilmu. Al Quran adalah sebuah kitab yang menjelaskan segala
sesuatu (QS.yusuf [12]:111)
Pada pokoknya Al Quran berisi akidah
dan syari’ah. Akidah dirumuskan dengan kata “iman” syari’ahterangkum dengan kata “amal
saleh" (QS.An-Nahl [16]:97) Keduanya dapat dibedakan akan tetapi tidak dapat
dipisahkan. Seorang yang beriman tanpa menjalankan syari’ah adalah fasik.Demikian
pula sebaliknya, ber-syari’ah tetapi tidah berakidah adalah munafik.
Secara garis besar, Al quran
mengandung tiga hal: Pertama, petunjuk, akidah dan kepercayaan yang harus
dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan dan keesaan tuhan dan
kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan. Kedua, petunjuk tentang akhlak yang murni dengan
jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh
manusia baik secara individual maupun secara kolektif. Ketiga, petunjuk
tentang syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus
diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan tuhan dan alam semesta. Dengan
kata lain, “Al Quran adalah petunjuk bagi seluruh manusia ke jalan yang harus
ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat”. [1]
Berbeda dengan kitab-kitab
terdahulu yang banyak diantara kandungannya direvisi oleh kitab yang turun
setelahnya, Al Quran sebagai kitab terakhir -yang tidak mungkin mengalami
revisi- dijamin keontetikannya oleh Allah hingga akhir jaman.
Salah satu sifat Al Quran yang
penting adalah Al Quran sampai pada kita dalam bentuk yang sama dengan yang
diturunkan pada NabiMuhammad saw. Seperti yang dijelaskan dalam ayat berikut
ini: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al
Qur’an, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al-Hijr: 9).
Allah berjanji untuk menjaganya. [2]
Inilah
jaminan Allah atas keontetikan Al Quran, jaminan yang diberikan atas dasar kemahakuasaan
dan kemahatauanNya, serta berkat usaha-usaha yang dilakukan oleh manusia.
Kitab-kitab terdahulu, Allah serahkan penjagaannya pada kaum itu sendiri, dan
hasilnya setelah wafatnya sang Nabi, kitab tersebut mengalami banyak perubahan
dari waktu ke waktu.
Mushaf Al Quran yang kita
kenal saat ini, telah melalui proses
kodifikasi yang panjang, rumit dan berat. Disusun dengan penuh ketelitian agar
tidak ditemukan sedikitpun kesalahan dalam proses penyusunannya, mengingat
demikian pentingnya kedudukan Al Quran sebagai sumber utama ajaran dan hukum
agama Islam. Proses ini dimulai sejak turunnya wahyu itu sendiri dan berlanjut
hingga pada masa Sayyidina Utsman ibn Affan.
Proses
panjang dan berat inilah yang akan kami bahas dalam makalah ini
1.2
Rumusan
masalah
Dalam
makalah ini kami akan membahas tentang beberapa hal:
1.Bagaimana kodifikasi al Quran ?
2.Bagaimana proses penghafalan dan
penulisan Al Quran pada jaman Nabi?
3.Bagaimana proses kodifikasi Al Quran
pada jaman Sahabat?
4.Bagaimana proses perkembangan bacaan dan
simbol-simbol dalam Al Quran?
1.3
Tujuan
Penyusunan
makalah ini bertujuan untuk:
1.Memahami makna kodifikasi Al Quran
2.Mengetahui proses penghafalan dan
penulisan Al Quran pada jaman Nabi
3.Mengetahui proses kodifikasi Al Quran
pada jaman sahabat
4.Mengetahui proses perkembangan bacaan
dan simbol-simbol dalam Al Quran
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Kodifikasi Al Quran
Menurut para ulama, pengumpulan Al
Quran secara epistimologi memiliki dua makna: penghafalannya dan penulisannya
secara keseluruhan.
Seperti Kata jama’a atau dalam bahasa populer
adalah kodifikasi.Dalam bahasa Arab kata jama’a dari segi bahasa
mempunyai arti menyusun yang terpisah atau yang tak beraturan. Yaitu mengumpulkan sesuatu
dengan mendekatkan bagian satu dengan bagian yang lain.
Dalam Ilmu al-Qur’an,
kata jama’a mempunyai dua arti yang nantinya dari makna itu akan melahirkan
ma’lumat-ma’lumat yang luas. Yang pertama jama’a mempunyai ma’na yaitu:
menghafal semuanya. Dan makna yang kedua yaitu: membukukan al-Qur’an semuanya
dalam bentuk tulisan dari ayat dan surat yang masih terpisah-pisah berkumpul
menjadi satu.
Seperti apa yang pernah
dikatakan oleh ‘Abdulaah bin ‘Amru: Aku sudah mengumpulkan Al-Qur’an setiap
malam hari, maksudnya saya sudah menghafalkan al-Qur’an. Dan selanjutnya yang telah
dikatakan Abu Bakar kepada Zaid bin Tsabit ; “Ikutilah al-Qur’an lalu
kumpulkanlah, maksudnya tulis al-Qur’an itu semuanya”.
Mushaf al-Qur’an yang
ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui perjalanan panjang yang
berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai
latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui.
2.2
Proses
penghafalan dan penulisan Al Quran pada jaman Nabi Muhammad SAW
A. Pengumpulan
al Quran dengan Arti Menghafal pada Masa Nabi Muhammad
Sebagai manusia mulia yang dipilih Allah
untuk menerima wahyu, Rasululloh adalah penghafal al quran pertama dan yang
terbaik yang menjadi contoh untuk seluruh umatnya.Beliau selalu antusias dan
menanti turunnya wahyu dengan penuh kerinduan. Ketika wahyu diturunkan pun,
beliau menggerak-gerakkan lidah dan kedua bibirnya karena takut apa yang turun
itu akan terlewatkandan ingin segera menghafalkannya. Maka
kemudian Allah menurunkan ayat:
لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ
لِتَعْجَلَ بِهِ ﴿١٦﴾إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ ﴿١٧﴾فَإِذَا
قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ ﴿١٨﴾ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ ﴿١٩﴾
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena
hendak cepat-cepat (menguasai)nya.Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.Apabila Kami
telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu Kemudian, sesungguhnya
atas tanggungan Kamilah penjelasannya”.
Dalam
bukunya, Tafsir Al Misbah,Prof. Dr.
Quraish
Shihab menafsirkan ayat ini:
“Saat wahyu diturunkan, hendaknya kamu, Muhammad, tidak
menggerakkan lidahmu untuk membaca al-Qur'ân karena didorong oleh keinginan
untuk cepat-cepat membaca dan menghafalnya. Sesungguhnya Kamilah yang akan
mengumpulkannya dalam dadamu dan memantapkan bacaannya di lidahmu. Apabila utusan Kami telah membacakan al-Qur'ân kepadamu, maka
ikutilah bacaannya itu dengan menyimaknya terlebih dahulu. Lalu Kamilah yang
akan menjelaskan jika di dalamnya kamu temui kesulitan.”
Metode pengajaran yang
diterapkan Jibril AS itulah yang diikuti oleh Nabi SAW saat mengajarkan
al-Qur’an kepada para sahabat.Dalam hal ini, mula-mula Nabi SAW membacakan
ayat-ayat yang baru diterimanya.Bacaan Nabi SAW ini didengarkan penuh perhatian
oleh para sahabat.Karena umumnya para sahabat memiliki kecerdasan dan terbiasa
menghafal.Mereka
kemudian mengulang bacaan mereka dihadapan Nabi.Mereka
bisa menghafal, memahami, dan menuliskannya.Mereka selalu menantikan turunnya
wahyu.Bagi mereka, menghafal, memahami, dan menuliskan Al Quran adalah sebuah
kehormatan.
Jumlah huffadz(penghafal al quran)
pada masa nabi ini sangat banyak. Bahkan para sahabat sama berlomba-lomba
menghafal al quran dan memerintahkan pada anak-anak dan istri-istri mereka
untuk menghafalnya. Mereka membaca al quran dalam shalat di tengah malam
sehingga alunan sauara mereka terdengar bagai suara lebah.
Adapun Hadist yang diriwayatkan Imam bukhari dalam
kitabnya, mengenai huffadz pada jaman nabi yang berjumlah 7 orang, maka
diartikan bahwa 7 orang sahabat inilah yang hafal seluruh isi al quran di luar
kepala dan telah menunjukkan hafalannya di hadapan nabi serta isnad-isnadnya
sampai pada kita. Ketujuh orang itu adalah Abdullah ibn Mas’ud, Salim ibn
Ma’qal, Muadz ibn Jabal, Ubai ibn Ka’ab, Zaid ibn tsabit, Abu zaid ibn Sakan dan
Abu Darda’.[3]
Para sahabat, apabila mereka meneriama ayat atau
surat, berkali-kali membacanya dihadapan Nabi saw. sampai mereka betul-betul
mantap dalam menghafalnya, setelah itu mereka bertanya kepada Nabi: “Adakah aku
telah hafal seperti apa yang telah diturunkan?” Mereka baru berhenti setelah
Rasululloh membenarkan.
Setelah hafal dan menguasai dengan
sempurna, semua hafidz menyebarluaskan apa yang telah mereka hafal, dan
mengajarkannya kepada anak-anak kecil serta mereka yang tidak menyaksikan saat wahyu
turun. Tak ada satu atau dua haripun berlalu kecuali wahyu yang turun telah
dihafal di hati mayoritas sahabat.Hafalan dan bacaan itu mereka ulang-ulang dan
mereka cocorajkkan
kembali dihadapan Rasulullah.[4]
Masyarakat Arab di
masa-masa awal kedatangan Islam memang terkenal dengan kuatnya hafalan mereka.
Hal ini bisa dipahami mengingat mereka adalah bangsa pedagang lintas negara
(perdagangan skala besar) yang belum mengenal budaya tulis menulis, sehingga
untuk keberlangsungan perdagangan mereka hanya mengandalkan hafalan. Dan hal
ini membawa berkah dalam mudahnya para sahabat dalam menghafalkan Al Quran dan
kuatnya hafalan mereka.
Al Amidi[5]
dalam kitab Al Afkarul Abkarmenulis: “Sesungguhnya mushaf-mushaf (yakni
lembaran-lembaran yang berisi al quran) yang masyhur pada masa sahabat,
semuanya telah dibaca ulang di hadapan Rasulullah. Pada masa itu mushaf milik
Utsman bin Affan adalah yang terakhir dibaca hadapan Rasulullah, inilah yang
dibaca sampai akhir hayatnya. Ayat-ayat inilah yang beliau ajarkan kepada para
khalayak hingga beliau meninggal.
Al Baghawi berkata dalam Syarhus
Sunnah, bahwa Zaid bin Tsabit menyaksikan peragaan bacaan terakhir. Pada
kesempatan tersebut Rasulullah menjelaskan ayat-ayat yang ternasakh dan yang
tidak.Ia menuliskan ayat-ayat tersebut dan membacakannya kembali di hadapan
Rasulullah. Oleh karena itu Abu Bakar dan Umar menjadikan bacaan Zaid sebagai
standar dan mengkodifikasikannya.Langkah ini selanjutnya diikuti oleh Utsman
yang memperbanyaknya menjadi beberapa mushaf.[6]
Tiap ada seseorang yang baru datang
ke kota Madinah, Rasulullah selalu memerintahkannya untuk mendatangi seorang
guru untuk mempelajari dan menghafal Al Quran. Dengan demikian bertambah
banyaklah orang-orang yang hafal Al Quran.
Dalam
fase penghafalan al quran ini, setidaknya ada beberapa hal yang mendukung
keberhasilannya:
a.
Jaminan
Allah yang mengumpulkan al quran dalam dada nabi, memantapkan bacaannya serta
memberinya pemahaman[7]
b.Proses turunnya al quran yang
berangsur-angsur
c.
Motivasi/
dorongan nabi pada para sahabat untuk menghafalkan alquran, mempelajari dan
mengajarkan Al Quran[8]
d.
Kodrati
yang dimiliki bangsa arab.
B. Penulisan Al Quran pada Masa Nabi
Dalam proses ini, Nabi menunjuk beberapa orang
sahabat sebagai sekretaris beliau yang bertugas menulis wahyu. Sekertaris Nabi
ini berjumlah 34 orang[9].
Diantara sahabat tersebut adalah Abubakar Ash shiddiq, Umar ibn Khattab, Utsman
ibn ‘Affan, Ali Ibn Abi Thalib, Mu’awiyah
ibn abi Sufyan, Ubai ibn ka’ab, Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Mas’ud, Abu Musa
Al ‘Asy’ari,
Dalam suatu riwayat sejarah, disebutkan bahwa
jumlah sahabat yang bisa baca-tulis pada awal masa hijrah hanya 17 orang.
Jumlah ini meningkat signifikan pasca peperangan Badar. Rasululloh menerapkan kebijakan yang
mewajibkan orang-orang kafir Qurays yang menjadi tawanan perang untuk
masing-masing dari mereka mengajarkan baca-tulis pada 10 orang Islam jika
mereka ingin dibebaskan. Sejak itu budaya baca-tulis mulai dikenal dan
berkembang dikalangan masyarakat muslim, dan berperan penting dalam proses
pendokumentasian Al Quran pada masa ini.
Bila ayat turun, Beliau
memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam
surah, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan dalam hati.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Utsman ibn Affan bahwa apabila diturunkan
pada nabi satu wahyu, Ia memanggil sekretaris untuk menuliskannya, kemudian
bersabda: “Letakkanlah ayat ini dalam surat yang menyebutkan begini atau
begitu”.[10]Al
Suyuthi juga mengungkapkan suatu riwayat dari Zayd “Kami biasa menyusun Al
Quran dari catatan-catatan kecil dengan disaksikan Rasululloh”.[11]
Disamping itu, sebagian sahabat pun menuliskan al
Quran yang turun itu atas kemauannya sendiri, tanpa diperintah oleh Nabi;
mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit
kayu pelana, potongan tulang belulang binatang. Zaid ibn Tsabit berkata:”kami
menyusun al Quran di hadapan rasululloh pada kulit binatang.[12]
Banyak riwayat-riwayat sejenis yang ditemukan dalam
kitab-kitab hadist, yang menunjukkan bahwa penggabungan unit-unit wahyu atau
penempatannya ke dalam surat-surat al Quran dilakukan atas petunjuk nabi atau
bersifat tauqifi / dogmatis.[13]
Penyusunan
ayat-ayat dan surat dalam al quran sungguh berbeda dengan metode penyusunan
buku-buku ilmiah, yang hanya membahas satu masalah dengan menggunakan metode
tertentu yang terbagi dalam beberapa bab dan pasal. Metode ini tidak terdapat
dalam Al Quran, yang di dalamnya banyak persoalan induk silih berganti
diterangkan.
Persoalam
akidah terkadang bergandengan dengan persoalan hukum dan kritik, sejarah
umat-umat terdahulu bersambung dengan nasihat, ultimatum, dorongan, atau
tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam semesta. Terkadang pula, ada suatu
persoalan atau hukum yang sedang diterangkan tiba-tiba timbul persoalan lain
yang sekilas tidak ada hubungan antara satu dengan yang lain.
Yang
demikian ini, menurut Prof. Dr. Qurays Shihab[14],
dimaksudkan untuk memberikan kesan bahwa ajaran-ajaran Al Quran dan hukum-hukum
yang terkandung di dalamnya merupakan satu kesatuan yang harus ditaati oleh
penganut-penganutnyasecara keseluruhan tanpa ada pemisah antara satu dengan
yang lain. Hal ini juga membuktikan bahwa Al Quran tidak dapat disamakan dengan
kitab-kitab yang dikenal manusia.
Penulisan Al-Qur’an pada
masa itu menggunakan tujuh huruf, karena al-qur’an itu sendiri diturunkan
kebumi menggunakan tujuh huruf.Tidak hanya tulisan al-Qur’an saja yang ditulis
oleh para sahabat, melainkan seperti tawil al-Qur’an, nasakh mansukh dan
tafsir, seperti yang pernah dilakukan oleh Ibn Mas’ud.[15]
Maka dari itu Nabi Muhammad Saw.melarang
kepada sahabat untuk tidak menulis sesuatu dari Rasullah kecuali al-Qur’an.
Seperti hadist yang diriwayatkan oleh Muslim:
“Janganlan kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali al-Qur’an. Barang siapa telah menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklan ia menghapusnya”.
Pengertian hadist di atas bukan berarti mempunyai pengertian bahwa dilarangnya para sahabat menulis selain al Qur’an karena khawatir tercampurnya antara tulisan al-Qur’an dengan tulisan lainnya, akan tetapi mempunyai pengertian bahwa Rasulullah hanya menginginkan agar perhatian dan konsentrasi sepenuhnya dicurahkan untuk al-Qur’an.[16]
“Janganlan kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali al-Qur’an. Barang siapa telah menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklan ia menghapusnya”.
Pengertian hadist di atas bukan berarti mempunyai pengertian bahwa dilarangnya para sahabat menulis selain al Qur’an karena khawatir tercampurnya antara tulisan al-Qur’an dengan tulisan lainnya, akan tetapi mempunyai pengertian bahwa Rasulullah hanya menginginkan agar perhatian dan konsentrasi sepenuhnya dicurahkan untuk al-Qur’an.[16]
Al
Khattabi berkata: Rasululloh tidak mengumpulkan Al Quran dalam satu mushaf
karena ia senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau
bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasululloh, maka
allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para khulafaur
rasyidin sesuai dengan janjinya yang benar kepada umat ini tentang jaminan
pemeliharaannya.[17]
Proses ini terjadi pertama kali pada masa kepemimpinan Abu bakar atas
pertimbangan usulan Umar ibn Khattab.
Ada beberapa pendapat ulama mengenai urutan surat-surat yang ada saat
ini, sudah ketentuan dari Rasululloh atau menurut ijtihad para ulama. Namun
pendapat yang paling banyak dianutadala bahwa susunan surat yang ada sekarang
sesuai dengan yang ditunjukkan oleh Rasululloh.
Dapat
kami simpulkan, bahwa karakteristik Penulisan Al Quran pada jaman nabi:
a. Pada fase ini penulisan Al Quran tidak
dilakukan secara kolektif, sehingga al Quran tidak terkumpul dalam satu buku[18],
akan tetapi ayatnya ditemukan terserak dan tersebar di tangan para sahabat
dengan beragam media penulisan. Tulisan yang ada pada seseorang belum tentu ada
pada yang lain. Hal ini disebabkan turunnya Al Quran secara berangsur-angsur
yang memaksa para sahabat baru bisa menulis ketika wahyu turun. Bisa pula
pengumpulan Al Quran pada masa itu tidak diperintahkan Nabi. [19]
Selain itu, terkadang terdapat pula ayat yangg menasakh ayat yang turun
sebelumnya.
b. Ayat-ayat dan surat-surat Al Quran
tertulis sesuai urutan yang ditunjukkan oleh Nabi ayat-ayat dan surat-surat
dipisah-pishkan, atau diurutkan ayat-ayatnya saja dan setiap surat berada pada
lembaran yang terpisah. [20]
c. Tertulis dalam tujuh huruf sesuai yang
diturunkan pada Nabi[21]
2.3
Proses kodifikasi Al Quran pada masa
sahabat
A.
Pada Masa Khalifah Abu Bakar
Setelah
Rasulullah wafat, urusan kepemimpinan umat ini dilanjutkan oleh Abu Bakar
sebagaiKhalifah pertama. Hal yang menjadi perhatian utama Abu Bakar di awal
kepemimpinannya adalah memerangi suku-suku yang murtad dan menolak membayar
zakat. Pada tahun dua belas hijriyah terjadi perang Yamamah, yang melibatkan
sejumlah besar sahabat yang hafal Al Quran.Dalam peperangan ini 70 orang huffadzgugur sebagai syahid. Melihat
kenyataan ini, Umar bin Khattab merasa khawatir akan kelestarian Al Quran yang
ditakutkan akan musnah bila tidak segera diambil langkah preventif. Selain itu,
Umar juga khawatir peperangan-peperangan lain selanjutnya juga akan banyak
jatuh korban dari para huffadz.
Umar pun
menghadap kepada Abu Bakar dan mengemukakan kekhawatirannya.Ia mendesak abu
Bakar untuk segera mengambil sikap untuk melindungi keontetikan Al Quran.Ia
mengusulkan pada Abu Bakar untuk mengumpulkan dan membukukan Al Quran. Abu
Bakar menolak usulan ini dan keberatan kalau harus melakukan sesuatu hal yang
tidak dilakukan oleh Rasulullah.Tetapi Umar terus menerus membujuknya hingga
Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan tersebut, setelah melalui
musyawarah yangpanjang, mempertimbangkan baik buruknya, maslahah mafsadatnya.
Kemudian
Abu Bakar pun membentuk tim penyusun Al Quran yang diketuai oleh Zaid bin
Tsabit. Pemilihan Zaid sebagai ketua tim tidak sembarangan, mengingat
kedudukannya sebagai sekretaris kepercayaan Nabi, serta keutamaannnya di bidang
qiraat, penulisan, pemahaman dan kecerdasannya serta kehadirannya pada
pembacaan Al Quran terakhir di hadapan Nabi saw. Beliau
dikenal sebagai orang yang sangat cerdas, terampil, cermat dan teliti. Bahkan Karena kelebihannya itulah Zaid diangkat
sebagai penulis wahyu sekaligus penerjemah bahasa Ibrani dan Suryani sejak
belia.Hal ini diungkapkan Imam Bukhari dengan hadist-hadist dalam kitab
shahihnya.[22]Abu Bakar
menceritakan kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar.Pada mulanya Zaid menolak
seperti halnya Abu Bakar sebelum itu, hingga Allah membukakan hatinya.
Metode
pengumpulan yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit sangat bisa di
pertanggungjawabkan. Bahkan menurut Prof. Dr. MM. Al A’zami metode yang
digunakan 15 abad yang lalu ini sama dengan metode yang digunakan para ahli
saat ini. Beliau menjelaskan bahwa pertama-tama Zaid hanya membatasi
pengumpulan dengan ayat-ayat yang disalin di bawah pengawasan nabi. Dengan
pembatasan ini zaid meyakinkan bahwa semua materi yang beliau teliti memiliki
tingkatan yang samadan hal yang demikian memberijaminan
mutlak atas ketelitian yang dicapai.[23]
Setalah
menghafal dan menulis banyak ayat Al Quran semasa duduk bersama Nabi Muhammad,
ingatan atau hafalan Zaid hanya dapat dikomparasikan dengan materi yang sama.
Bukan dengan naskah kedua atau ketiga. Sikap tegas dan selektif dari Abu Bakar,
Umar bin Khattab dan Zaid atas materi dari tangan pertama dengan menghadirkan
dua orang saksi dimaksudkan agar memberi dukungan untuk memberi jaminan ada
status yang sama. Didorong oleh semangat yang meluap dari para pelakunya,
proyek tersebut menjadi upaya massif yang mengikutsertakan partisipasi semua
sahabat.
Zaid bertindak
sangat teliti. Ia tidak mencukupkan pada hafalan semata tanpa disertai tulisan. Tulisan itupun, harus
disertai dua saksi, yang
menyaksikan bahwa tulisan itu memang ditulis dihadapan Nabi.
Adapun karakteristik penulisan Al
Qur’an pada masa Abu Bakar adalah :
a.
Seluruh
ayat Al Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf berdasarkan penelitian
yang cermat dan seksama.
b. Meniadakan ayat-ayat Al Qur’an yang
telah mansukh
c.
Seluruh
ayat yang ada telah diakui kemutawatirannya.
d.
Dialek
Arab yang dipakai dalam pembukuan ini berjumlah 7 (qira’at) sebagaimana yang
ditulis pada kulit unta pada masa Rasulullah SAW.
B.
Masa
Khalifah Umar bin Khattab
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA, terjadi
penyebaran Al Quran ke wilayah-wilayah yang sudah menerima Islam.Penyebaran ini
bukan sekedar mengirimkan lembaran-lembaran mushaf, tapi disertai pula dengan
pengajarannya.Setiapa daerah baru, Khalifah umar mengirim beberapa sahabat
untuk menjadi Guru Al-Qur’an.Karena lembaran Al-Qur’an belum tersebar, maka
proes pengajaran yang menggunakan sistem hafalan dibawah kendali Sahabat penghafal
Al-Qur’an.
Khalifah Umar menugaskan beberapa sahabat
penghafal Al Quran untuk berangkat ke wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan,
untuk mengajarkan Al quran. Diantaranya ke mengutus 10 orang sahabat ke
Bashrah, Ibnu Mas’ud ke Kufah, 3 utusan ke Palestina dan Damaskus serta
menunjuk 3 orang sahabat lainnya untuk mengajarkan Al Quran di madinah.
Selama masa pemerintahannya, mushaf yang
sudah dibukukan oleh Zaid tersimpan rapi di rumah Umar.Ketika beliau ditikam
oleh seorang penjahat, lembaran-lembaran Al-Qur’an itu kemudian diserahkan
kepada putrinya yang sekaligus istri Nabi SAW, Hafshah RA. Penyerahan kepada
Hafshah dipandang lebih aman daripada orang lain yang belum tentu akan dipilih
sebagai kepala negara. Pengangkatan kepala negara pengganti Umar dilakukan
melalui musyawarah para sahabat. Karenanya, Khalifah Umar sendiri tidak
mengetahui secara pasti siapa penggantinya kelak serta tidak ingin mempengaruhi
hasil musyawarah dengan menyerahkan kepada salah seorang sahabat
C. Masa
Khalifah Utsman bin Affan
Pada masa Utsman, Al Quran masih berupa
kumpulan tulisan yang dinamakan shuhuf. Dalam waktu singkat pengajaran
Al Quran berbasis shuhuf ini masuk ke berbagai daerah, seiring meluasnya
daerah-daerah yang menerima Islam di berbagai penjuru.Para sahabat memiliki
peranan penting dalam penyebaran ini. Akan tetapi, karena kabilah dan propinsi
mereka beragam, sejak awal mereka memiliki dialek yang berlainan, yang terbawa
dalam cara mereka membaca Al Quran. Perbedaan inilah yang menjadi sebab
kerancuan dan perselisihan umat Islam di kala itu.
Hudzaifah bin Yaman, melaporkan kepada khalifah
utsman dari perbatasan Azerbaijan dan Armenia, tentang perbedaan bacaan Al
Quran yang membahayakan dan bisa menjadi sumber perselisihan umat Islam ke
depannya, jika tidak segera diambil tindakan pencegahan.
Ketika terjadi perang
Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Irak, Abu Hudzaifah melihat banyak
perbedaan dalam caara-cara mambaca Al Qur’an.Sebagian bacaan bercampur dengan
kesalahan.Tapi masing-masing mempertahankan dan memegangi bacaannya, hingga
mereka saling mengkafirkan. Melihat kejadian ini ia menghadap khalifah Usman
dan melaporkan apa yang dilihatnya.
Utsman kemudian mengirimkan utusan ke Hafsah (untuk meminjamkan
mushaf Abu Bakar yang ada padanya). Kemudian Utsman memanggil Zaid bin tsabit
Al Anshary, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash, dan Abdurrahman bin Haris bin
Hisyam, ketiga orang terakhir adalah suku Quraisy; lalu memerintahkan mereka
untuk menyalin dan memperbanyak mushaf, serta memerintahkan pula agar apa yang
diperselisihkan oleh Zaid dan ketiga Quraisy itu ditulis dalam bahasa Quraisy,
karena Al Quran turun dengan logat mereka.Utsman berpesan, apabila terdapat perbedaan
diantara keempat sahabat tersebut, maka yang diambil ada dialek Qurays, karena
al Quran diturunkan dalam bahasa kaum Qurays.
Proses penyalinan ini
tidak berbeda jauh dengan prosesnya pada masa khalifah Abu Bakar. Naskah-naskah
yang telah dikumpulkan dari para sahabat diverifikasi, dibandingkan dengan
shuhuf Hafsah.Lalu dibacakan di hadapan Khalifah Utsman.Mushaf ini ditulis hanya dalam satu
huruf, dengan mentiadakan enam huruf lainnya, untuk menghindari timbulnya
perselisihan di kemudian hari. Setelah tidak ada perselisihan, mushaf itu pun di perbanyak, dan
duplikatnya dikirim ke beberapa daerah.Mushaf aslinya disimpan di rumah
Khalifah Utsman, yang dinamakan Mushaf Imam.
Setelah selesai menyalinnya, Utsman mengembalikan lembaran-lembaran
aslinya kepada Hafshah. Selanjutnya Usman mengirimkan kesetiap wilayah mushaf
yang baru tersebut dan memerintahkan agar semua Mushaf / Al Qur’an lain di
bakar, agar tidak sampai terjadi perselisihan. Terdapat perselisihan pendapat
mengenai jumlah mushaf yang diperbanyak oleh Khalifah Utsman.Tapi pendapat yang
paling banyak mengatakan mushaf itu berjumlah 5 buah, yang dikirimkan ke Kufah,
Bashrah, Damaskus dan Madinah.
Karakteristik mushaf Al Qur’an pada
masa Utsman bin Affan:
1.
Ayat-ayat
Al Qur’an yang ditulis seluruhnya berdasarkan riwayat yang mutawatir.
2.
Tidak
memuat ayat-ayat yang mansukh.
3.
Surat-surat
maupun ayat-ayatnya telah disusun dangan tertib sebagaimana Al Qur’an yang kita
kenal sekartang.
4. Ditulis dalam 1 macam huruf saja, dengan mentiadakan 6
huruf lainnya.
2.4. Proses
Perkembangan Bacaan Dan Simbol-Simbol Dalam Al Quran
A. Perkembangan Bacaan
Dalam Al Quran
Teori yang berkembang
luas dikalangan sarjana muslimbahwa bangsa arab adalah bangsa yang mayoritasnya
buta aksara dan bodoh, sebagaimana
lazimnya ditunjukkan dengan ungkapan jahiliyah.[24]
Semua suku arab menjadikan bahasa Quraisy sebagai
bahasa induk bagi bahasa-bahasa mereka kerena adanya
karakteristik-karakteristik tersebut. Dengan demikian wajarlah jika al Quran
diturunkan dengan logat Quraisy kepada Rasul, yang Quraisy pula untuk
mempersatukan bangsa arab dan mewujudkan mukjizat Qur’an ketika meraka gagal
mendatangkan satu surah seperti al Qur’an.[25]
Bangsa arab yang mendiami daerah hijaz baru mengenal
huruf sekitar satu abad sebelum datangnya Islam. Hal ini terjadi karena
pergaulan hidup mereka yang senantiasa berada dalam permusuhan dan peperangan,
sehingga tidak ada kesempatan untuk memperhatikan dan mengembangkan kebudayaan
yang konstruktif dan membawa kemajuan. Berbeda dengan rumpun- rumpun bangsa
arab lainya bani Himyar di Yaman atau Bani Ambath di Arab Utara yang sejak lama
menggunakan huruf. Terlebih bangsa-bangsa yang lebih maju peradabannya, seperti
Persia dan Romawi.[26]
Ada tujuh huruf yang digunan untuh membaca bacaan
arab pada zaman dahulu.[27]
Dan riwaayatkan dari hadist Muslim[28]
Yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah jutuh macam
ucapan yang sama dalam maknanya sekalipun berbeda lafal (catatannya) seperti: imdhzi, ta’alla, hallumma, asri’, ‘anjjil,
shir, pemahaman yang seperti inilan yang dipilih oleh muhammd ibn jariri
at-thabari dalam pendahuluan tafsirnya.[29]
Ibn Abdil Barr berkata: “ Ibn Wahhab dalam
At-Targhib mengatakan: Ditanyakan kepada Malik: Apakah anda sependapat dengan
bacaan Umar bin Khottab “Famdhu ila
dzikrillah” ? Ia menjawab : Boleh saja, sebab Rosulullah SAW. Pernah
bersabda bahwa Al-Quran diturunkan dengan “tujuh
huruf”, bacalah mana yang kau anggap mudah”[30]
Hadist- hadist yang berkenaan dengan hal itu amat
banyak jumlahnya dan sebagian besar telah diselidiki oleh Ibn Jarir didalam
pengantar tafsirnya.As-Suyuti menyebutkan bahwa hadist-hadist tersebut
diriwayatkan dari dua puluh orang sahabat. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam menetapkan kemutawatiran hadis mengenai
turunnya Qur’an dengan tujuh huruf.[31]
a. Perbedaan Pendapat Tentang Pengertian
Tujuh Huruf
Ibn hanyun mengatakan
bahwa : “ Ahli yang berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi tiga
puluh lima pendapat”[32]
1. Tujuh macam bahasa dari bahasa - bahasa
arab mengenai satu makna
Dengan penertian jika
bahasa merak berbeda beda dalam mengungkapkan satu makna, maka Quran pun
diturunkan dengan sejumlah lafadz yang sesuai dengan ragam bahasa tersebuttentang
makna yang satu itu. Jika tidak terdapat perbedaan maka Quran itu hanya
mendatangkan satu lafadz atau lebih saja.
Ketujuh bahasa itu
adalah: Quraisy, Huzail, Saqif, Tamim, Rabi’ah, Hawazin, Yaman.
2. Tujuh macam bahasa dari bahasa - bahasa
arab dengan nama Qur’an diturunkan
Perbedaan pendapat ini
berbeda dengan pendapat sebelumnya karena yang dimaksud dengan tujuh huruf
dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surah dalam
Al-Quran, buka tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.
3. Tujuh wajah
Arinya ‘amr (perintah),
nahyu (larangan), wa’d (janji), wa’id (ancaman), jadal (perbedaan), qasas
(cerita), dan masal (perumpamaan).
4. Tujuh macam hal yang ada didalamnya
terjadi ikhtilaf
1) ikhtilafful
asma’( perbedaan kata benda)
2) perbedaan dari segi i’rob(harakat akhir kata)
3) perbedaan dari segi tasrif
4) perbedaan dari segi taqdim(mendahulukan)
5) perbedaan dari segi ibdal(penggantian)
6) perbedaan karena ada penambahan dan
pengurangan (ziadah dan naqs)
7) perbedaanlajnah seperti tafhim
dan tarqiq(menebalkan dan
menipiskan)
5. Tujuh itu tidak diartikan secara
harfiyah
(Maksudnya adalah bukan
bilangan enam atau delapan), tetapi bilangan tersebut tetapi bilangan itu hanya
di buat lambangkesempurnaan kebiasaan orang arab. Dengan demikian, maka kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan
susuna Al-Quranmerupakan batas dan sumber utama bagi perkataan semua orang Arab
yang telah mencapai tingkat kesempurnaan tertinggi.Sebab, lafadz sab’ah (tujuh) dipergunakan pula untuk
menunjukkan jumlah banyak dan sempurna dalam bilangan satuan seperti, “tujuh
puluh” dalam bilangan puluhan dalam bilangan ratusan seperti, “tujuh
ratus”.tetapi kata kataitu tidak dimaksudkan untuk menunjukakn bilangan
tertentu.
6. Tujuh huruf disebut dengan tujuh Qiraat
B.
Pekembanag Simbol-Simbol Dalam Al Qur’an
Para penulis menulis ayat-ayat pada pelepah, batu
dan sobekan kain, dan kadang- kadang diatas sutera dan potongan kulit atau
tulang, yang biasa dilakukan orang-orang arab pada waktu itu. Semua itu merala
beri nama suhuf. Suhuf suhuf itu ditulis dan disimpan dirumah Rosulullah saw.
Muhammad bin Ishaq dalam Al-Fihrist mengatakan: “Pada zaman Rosulullah saw.
Al-Quran ditulis di hadapan beliau di atas kepingan batu, pelapah dan
tulang-tulangunta” Menurut riwayat Al-Bukhori, Zait bin Tsabit berkata: “Aku
selalu mengikuti dan mengumpulkan Al-Quran dari kepingan batu, pelapah dan
hafalan hafalan.”[33]
Dalam satu riwayat yang bersumber dari Ali bin
Ibrahim,[34]
dari Abi Bakar al-Hadhirami bahwa Abu Abdillah Ja’farbin Muhammad a.s. berkata:
“Hai Ali, Al-Quran ada di belakang tempat tidurku, di suhuf, sutera dan kertas
( lembaran kain atau yang lainnya). Ambillah, kemudian kumpulkan, jangan sia
sikan seperti orang yahudi menyia nyiakan Taurat.”Ali menuju tempat tersebut
dan membungkusnya dalam kain berwarna kuning, selanjutnya ditutupnya dengan
segel.[35]
Dalam mempermudah untuk menghafal maka yang
digunakan dalam tulisan Qur’an dengan menggunakan Syakal[36]
dan I’jam.[37]
Pertama, titik yang membedakan
antara satu huruf dengan huruf lainnya [misal, titik pada huruf-huruf: ي؛ ب؛ ت؛ ن؛ ث؛ . kita bisa tahu bedanya, karena titik.
Titik-titik ini baru dibubuhkan pada huruf arab di zaman tabiin. Sementara
huruf-huruf sebelum masa itu, semuanya ditulis tanpa titik. Dalam kitab an-Nuqath
al-Mathbu’ ma’a al-Muqni’ :Abu Amr, Utsman bin Said ad-Dani mengatakan, “Penjelasan tentang titik pada
mushaf pertama kali terjadi di masa tabiin. Dan penjelaan tentang ulama yang
tidak sependapat dengan titik ini, dan diberi keringanan. Ada perbedaan riwayat
yang kami miliki tentang siapa yang memulai kali memberikan titik dalam mushaf
di zaman tabiin.Kami mendapat riwayat bahwa yang melakukan pemberian titik
pertama adalah Abul Aswad ad-Duali. Kami juga mendapat riwayat bahwa Ibnu Sirin
memiliki mushaf yang hurufnya ada titiknya, dimana yang memberi titik adalah Yahya
bin Ya’mar. Dan beliau adalah orang yang pertama kali memberi titik mushaf.”
Kedua, (tidak ada dalam mushaf Utsmani) Harakat dan tanwin.Kemudian Khalil bin Ahmad al-Farahidi mengembangkan
hal itu, dimana beliau membuat beberapa harakat yang diambil dari huruf. [38]
Ketiga, hamzah, tasydid, raum, dan isymam. Pertama kali yang meletakkannya adalah Khalil
bin Ahmad al-Farahidi.
Keempat, tanda-tanda tajwid, tanda washal,
atau waqaf.Semua ini tidak ada
dalam naskah mushaf Utsmani.Baru dibubuhkan dalam al-Quran setelah adanya ilmu
tajwid.
Pada
masaa dinasti Umayyah upaya untuk menyempurnakan huruf arab terus dilakukan
berkat usaha Qathabah Al-Muharir tercipta empat macam tulisan yang lahir dari
huruf kufi, dengan menggunakan tulisan tersebut, dimulailah proses penulisan
Mushaf yang telah diilakukan pada zaman Rasul hingga zaman Khulafaur Rosidin
denang huruf yang lebih sempurna.
Al Qur'an pada mulanya
ditulis tanpa titik dan harkat seperti yang kita lihat sekarang ini. Namun,
kondisi ini tidak mempengaruhi bacaan Al Qur'an karena kaum muslimin saat itu
adalah orang-orang yang fasih dalam bahasa Arab. Bersamaan dengan itu,
orang-orang Islam non-arab merasa
kesulitan untuk membaca Al Qur'an yang pada waktu itu masih 'kosong'. Diceritakan
bahwa yang pertama kali mendapatkan ide tanda baca terhadap Al-Qur’an adalah
Ziyad bin Abihi salah seorang gubernur yang diangkat oleh Muawiyah bin Abi
Sufiyan untuk wilayah Basrah (45-53 H). Kisah munculnya ide itu diawali ketika
Muawiyah menulis surat kepadanya agar mengutus putranya Ubaidillah, untuk
menghadapnya, Muawiyah terkejut bahwa anak muda itu banyak melakukan kesalahan
dalam bahasa pembicaraannya, Muawiyah mengirim surat teguran kepada Ziyad. Lalu
Ziyad mengirim surat kepada Abu Aswad Adwali dengan pernyataan bahwa
sesungguhnya orang-orang yang bukan suku Arab itu semakin banyak telah merusak
bahasa orang-orang Arab, maka cobalah engkau melakukan suatu hal untuk
memperbaiki bahasa orang itu dan membuat meraka membaca Al-Qur’an dengan benar,
kemudian Abu Aswad menolak permintaan Ziyad. Ziyad melakukan sesuatu untuk
memenuhi kehendaknya yaitu dengan menyuruh seseorag untuk menunggu dijalan yang
sering dilewati oleh Abu Aswad Adwali ini dengan pesannya, ketika Abu Aswad
lewat bacalah satu ayat Al-Quran, orang inipun membaca firman Allah Q.S
At-Taubah ayat 3. yang berbunyi:
“Innallaaha
bariiun min al-musyrikiina wa rasuuluhu” (sesungguhnya Allah dan RasulNya
berlepas diri dari orang-orang musyrikin).pada lafadz “Rasuluhu” di baca Rafa'/
Dommah Namun orang ajam tersebut membacanya dengan
“Innallaaha bariiun min al-musyrikiina
wa rasuulihi” (sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musrik dan
RasulNya).pada lafadz “Rasuluhu” di baca rasuulihi (jer/ kasroh).
Mendengar
bacaan tersebut Abu Aswad terkejut, lalu mengucap:”Maha besar Allah: bagaimana
mungkin Dia berlepas diri dari RasulNya?! Setelah itu ia langsung menemui Ziyad
untuk menerima permohonan Ziyad. Abu aswad menunjuk seorang dari suku al-Qais
untuk membantunya dari 30 orang yang di Ajukan Ziyad. Abu
Aswad kemudian memerintahkan juru tulis itu mengambil mushaf dan Zat pewarna
yang berbeda dengan yang digunakan untuk berpesan kepada stafnya itu:” jika kau
lihat bibirku terbuka waktu menyebut huruf bersuara A (fatah) letakanlah satu
titik diatasnya, dan jika kesuan bibirku agak terkatup (bersuara i) letakkanlah
satu titik di bawahnya, jika bibirku mencuat kemuka (bersuara U) maka
letakkanlah satu titik ditengah huruf dan jika bibirku bersuara (Ghunnah) letakkanlah
dua titik diatasnya”. Dalam versi lain Abul Aswad pada masa Khalifah
Muawiyah memberi tanda vokal (harakat) dengan tinta yang berlainan. Titik di
atas untuk fathah, titik di bawah untuk kasrah, titik di sebelah kiri atas
untuk dlammah, dan dua titik untuk tanwin.Sementara itu Abu Aswat membaca
Al-Qur’an dengan perlahan dan stafnya pun sibuk bekerja sesuai dengan perintahnya.
Apabila mereka mendapatkan salah satu huruf halaq, mereka melatakkan salah satu
titik lebih tinggi dari pada yang lain, sebagai tanda suara (nun) jelas, jika
tidak jelas mereka meletakkan disamping, sebagai tanda apabila suara (nun)
tidak terdengar (tersembunyi). Dan setiap kali usai satu halaman, Abu Aswadpun
memeriksanya kembali sebelum melanjutkan kehalaman berikutnya. Oleh karena itu,
Abul Aswad Ad-Duali mejadi sosok yang berkiprah sangat penting bagi Muslimin. Dialah
yang menemukan kaidah tata bahasa Arab (Nahwu), salah satunya kaidah pemberian
harakat. Harkat yang diciptakan oleh Abu al-Aswad ini lalu disempurnakan Imam
Kholil bin Ahmad al-Bashry pada masa dinasti Abbasiyah, hingga menjadi bentuk
harkat seperti yang ada sekarang. Adapun titik yang terdapat pada huruf ba',
ta', tsa', jim, ha', kha', dzal, za', dan lainnya, itu terjadi pada masa
kepemimpinannya Abdul Malik bin Marwan Saat itu beliau memerintahkan
gubernurnya di Irak yang bernama Hajjaj bin Yusuf. Hajjaj bin Yusuf lalu
menyuruh Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya'mur untuk melaksanakan keinginan
khalifah Abdul Malik bin Marwan tersebut. Dalam penulisan titik huruf tersebut,
Nashr bin Ashim menggunakan tinta yang warnanya sama dengan tinta yang
digunakan untuk menulis mushaf, agar tidak serupa dengan titik tanda harkat
yang digunakan oleh Abu al-Aswad al-Dualy Sejak saat itulah dalam mushaf Al Qur'an
sudah ada titik huruf dan titik harkat. Titik yang diciptakan oleh Abu al-Aswad
disebut Titik I'rab, sedangkan titik yang diletakkan oleh Nashr bin Ashim
disebut Titik Huruf.
Pada masa kekuasaan
dinasti Abbasiyah, lahir dua orang penulis terkenal yaitu Ad-dahhaq bin Ajinlan
dan Ishaq bin Humad dari Syam, keduanya meneruskan usaha Quthobah dalam
menyempurnakan dan memperindah tulisan arab berkembang menjadi dua belas macam
yaitu tulisan jalil untuk menulisi mihrab, pintu pintu masjid,
tembok istana yang sekarang disebut tulisan jali dan tulisan yang
lainnya bernama sajalat, dibaji, usthumarul kabir, sulusain, zambur, mufattah, haram,
mumarat,’uhuhd, qasas, dan khifaj. Setiap tulisan memiliki fungsi khusus
dan digunakan untuk menulis sesuatu yang khusus pula sehingga mencapai 20 jenis tulisan, dan tulisan resmi
untuk menulis Qur’an pada zaman rasulullah dan sahabatnya adalah tuliasan kufi
dan tulisan Nasakh digunakan untuk tulisan tidak resmi. [39]
DAFTAR
PUSTAKA
‘Abas, Fadhi
Hasan. 2007. Ghidzau Jinaan Bistamrotul
Jinaan, Ordon: darunnafais
Amal, Taufik Adnan. 2001. rekonstruksi
sejarah Al Quran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al
Qathan, Manna’ Khalil. 2011. Studi Ilmu Ilmu Qur’an, terjemah Mudzakkir. Bogor:
Pustaka Litera Antar Nusa
As Suyuthi,
Jalaluddin. 2006. Al-Itqan fi Ulum
al-Quran. Surabaya: Bina Ilmu
Ath
Thabari, Abu Ja’far Muhammad Jarir. 2009. Tafsir
at-thabari. Jakarta: Pustaka Azzam.
Az-Zanjani, Abdullah. Tarikh Al-Quran. Bandung: penerbit
Mizan,
Az-Zarqoni, Muhammad
Abdul Adhim. 20001. Manahilul Irfan
Fi Ulumil Qur'an. Kairo: Dar Hadist.
Emsoe Abdurrahman dan Apriyanto
Ranoedarsono, 2009. The Amazing Stories
Of Al-Quran. Bandung:
Salamadani.
Muhammad, Abu Abdillah bin
Ismail. 1992. Shahih Hadist Bukhori.
Beirut Libanon: Dar el Fikr.
Shihab,
M.Quraish. 2014. Membumikan Al-Quran:
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
Yahya,
Harun. 2004. Memilih Al Quran sebagai pembimbing, keutamaan doa dan doa para
Nabi dalam Al Quran. Surabaya: Risalah
Gusti
[1] Emsoe Abdurrahman dan
Apriyanto Ranoedarsono, The Amazing Stories Of Al-Quran, Salamadani, Bandung,
2009 hlm.12
[2] Harun Yahya, Memilih
Al Quran sebagai pembimbing, keutamaan doa dan doa para Nabi dalam Al Quran, Risalah
Gusti, Surabaya, 2004, hlm 7
[3] Hadits
pertama: “Dari ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash, ia berkata: Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Ambillah Al-Qur’an dari
empat orang, yaitu ‘Abdullah ibn Mas’ud, Salim, Mu’adz, dan Ubay ibn Ka’b’.”
Hadits kedua: “Dari Qatadah: Aku bertanya kepada Anas ibn Malik,
‘Siapakah orang yang hafal Al-Qur’an di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam?’, kemudian ia menjawab, ‘Empat orang, semuanya dari Anshar, yaitu Ubay
ibn Ka’b, Mu’adz ibn Jabal, Zaid ibn Tsabit, dan Abu Zaid’, aku bertanya lagi,
‘Siapa Abu Zaid?’, ia menjawab, ‘Salah seorang pamanku’.”
Hadits ketiga: “Diriwayatkan melalui jalur Tsabit dari Anas yang
berkata: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, dan tidak ada
yang hafal Al-Qur’an kecuali empat orang, yaitu Abu Darda, Mu’adz ibn Jabal,
Zaid ibn Tsabit, dan Abu Zaid.”
[4] Abu Abdullah Az
Zanjani, Wawasan Baru tarikh al Quran, Mizan: Bandung, 1993.Hlm 7.
[5] Al Amidi adalah Abul
hasan Ali bin Abi Ali Muhammad bin Salim At-Taghlabi, seorang ahli ushul fiqh
dan kalam, meninggal tahun 617 H.
[6] Op.cit.
[7]
QS. Al Qiyamah 16-19
[8]Salah
satunya hadist shohih yang diriwayatkan Imam Bukhari yang artinya “sebaik-baik
kalian adalah orang yang belajar Al Quran dan mengajarkannya”.
[9] ibid
[10] Tirmidzi, Sunan, Kitab al tafsir, bab surah 9.
[11] Suyuthi, Itqan
[12]Manna’ Khalil Qathan, Studi Ilmu Ilmu Qur’an, terjemah
Mudzakir, , Surabaya, hlm.186
[13] Taufik Adnan Amal, rekonstruksi sejarah Al Quran (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar) hal 132
[14] Dalam bukunya,
Membumikan Al Quran
[16]Dr.Fadhi Hasan ‘Abas, ghidzau jinaan bistamrotul jinaan, darul nafais,
ordon, cet. I, 2007, hal 112.
[17] Ini sesuai isyarat
dalam firman Allah: “Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al Quran dan kami
pula yang akan menjaganya” (Al Hijr:9)
[18] Hal ini bisa
diilustrasikan dengan sebuah riwayat yang dinisbatkan pada Zaid :”Nabi wafat
dan Al Quran belum dikumpulkan pada satu naskah tunggal”
[19] Emsoe Abdurrahman dan
Apriyanto Ranoedarsono, The Amazing Stories of Al Quran (Bandung: Salamadani)
hal. 38
[20] Manna’ Khalil Qathan,Studi
Ilmu Ilmu Qur’an, terjemah Mudzakir, , Surabaya, hlm.187
[21] Mengenai tujuh huruf ini akan dijelaskan kemudian.
[22] Emsoe Abdurrahman dan Apriyanto Ranoedarsono, The Amazing Stories Of Al Quran, Slamadani, Bandung, 2009, hlm. 41
[23] ibid
[24] Prof.Dr.M.Quraish
Shuhab, Rekontruksi Sejarah al-Quran, Yogayakarta, 2001, hlm 125
[25] Manna’ Khalil Qathan,Studi
Ilmu Ilmu Qur’an, terjemah Mudzakir, Surabaya, hlm.225
[26] Emsoe Abdurrahman dan
Apriyanto Ranoedarsono, The Amazing Stories Of Al-Quran, Salamadani, Bandung,
2009 hlm.27
[27] Dari Ibn Abbas
,Rosulullah berkata: jibril membaca (Qur’an) kepadaku dengan satu huruf.
Kemudian berulangkali aku mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah, dan ia
pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf. (lihat Hadist Bukhori).
[28] Dari Ubai bin ka’ab,
ketika nabi berada didekat parit bani Gafar, ia didatangi oleh jibril seraya
mengatakan: ‘Allah memerintahakanmu agara membacakan Qur’an kepada umatmu
dengan satu huruf.Ia menjawab: Aku memohon ampunan dan maghfiroh-Nya,karena
umatku tidak bisa melaksanakan perintah itu, kemudian jibril datang lagi kedua
kalinya dan berkata :Allah memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepda
umatmu dengan dua huruf. Nabi menjawab:aku memohon kepada Allah ampunan dan
maghfiroh-Nya,karena umatku tidak kuat melaksanakannya, kemudian jibril datang
lagi ketiga kalinya dan berkata: Allah memerintahkanmu agar membacakan
al-Qur’an kepda umatmu dengan tiga huruf, Nabi menjawab:aku memohon kepada
Allah ampunan dan maghfiroh-Nya,karena umatku tidak dapat melakasanakananya,
jibril datang lagi keempat kalinya dan berkata: Allah memerintahkanmu agar
membacakan al-Qur’an kepda umatmu dengan tujuh huruf dengan huruf yang mana saja mereka membaca,mereka tetap benar.
[29] Tafsir at-thabari
jilid 1 : ‘’bukti kebenaran apa yang kami katakana diatas ialah riwayat-
riwayat shohih yang bersumber dari umar bin khatob, abdullah bin mas’ud, dan
ubai bin ka’ab, bahwa meraka pernah berdebat tentang Al-Qur’an. Masing masing
berbeda dalam bacaan meski maknanya sama, kemudian mereka pergi untuk meminta
keputusan dari nabi SAW beliau memrintahkan mereka membacanya dihadapannya,
kemudian semuanya dibenarkan oleh beliau sekalipun bacaan mereka berlainan
sampai sampaisebagaian dari mereka ragu akan pembenaran beliau atas bacaan
mereka kepada yang ragu ini Rosulloh SAW berkata: sesungguhnya Allah menyuruhku
agar membaca Al-Quran dalam tujuh huruf.’’ Yang dapat disimpulan dadi ungkapan
Nabi SAW ini ialah bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah lafal-lafal atau kata
kata yang berbeda untuk satu makna.
[30] Abdullah Az-Zanjani,
Tarikh Al-Quran, penerbit Mizan, Bandung, hlm 56.
[31]Lihat al-itqon,
jilid 1, halaman 41.
[32] As-Suyuti berkata:
Penafsiran ulama tentang makna hadist ini tidak kurang dari empat puluh
pendapat (al-itqon, jilid 1, halaman 41)
[33] Abdullah Az-Zanjani,
Tarikh Al-Quran, penerbit Mizan, Bandung, hlm 65.
[34] Ali bin Ibrahim bin
Hasyim Al-Qommi, seorang di atara ahli hadist kaum Imamiyah yang terpercaya.
Pengarang kitab tafsir yang terkenal.
[35] Ibid hlm 66
[36] Huruf vokal untuk
membedakan dari titik titik diakritis yang digunakan untu membedakan huruf
hrurf mati bersimbol sama. (lihat Taufik Adnan Amal, rekonstruksi sejarah Al
Quran.hlm129)
[37] Huruf konsosnan
menurut sarjana Isla, pertama kali dilakukan pada masa kekholifahan Bani
Umayyah, dan tokoh tokoh yang terlibat didalamnya biasanya dipulangkan kepada
sejumlah nnama ahli bahasa seperti Abu al-Aswad al-Da’ali beserta
murud-muridnya.(ibid)
[39] Emsoe Abdurrahman dan
Apriyanto Ranoedarsono, The Amazing Stories Of Al-Quran, Salamadani, Bandung,
2009 hlm.29
No comments:
Post a Comment