DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang...........................................................................3
1.2 Rumusan
Masalah......................................................................4
1.3 Tujuan
Penulisan.......................................................................4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi Dzikir dan Doa............................................................5
2.2
Tujuan Dzikir dan Doa..............................................................5
2.3
Hakikat Dzikir dan Doa.............................................................6
2.4
Metode Dzikir dan Doa.............................................................6
2.5
Manfaat Dzikir dan
Doa...........................................................25
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Referensi
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Dzikir merupakan
ibadah yang banyak disinggung baik dalam al-Qur’an maupun hadits. Dzikir
merupakan perintah Allah yang (sebenarnya) mestilah dilaksanakan setiap saat,
di manapun dan kapan pun. Dzikir bisa dilakukan dengan hati dan lisan, dan
dengan sendiri maupun dalam sebuah kelompok (majlis dzikir). Dzikir memiliki
banyak keutamaan, salah satunya adalah dapat membuat hati menjadi tenang.
Karena itulah maka dzikir mesti kerap dilakukan, agar hati senantiasa tenang
dan senantiasa mengingat Allah. Firman Allah:
2 $pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#râè0ø$# ©!$# #[ø.Ï #ZÏVx. ÇÍÊÈ
Hai
orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang
sebanyak-banyaknya.
Rasulullah telah
memberikan contoh berkaitan dengan bacaan-bacaan dzikir atau doa. Demikian
pula, berkaitan dengan waktu-waktu di mana kita disunnahkan membaca dzikir
tertentu, seperti dzikir setelah shalat, dan lain sebagainya. Namun, banyak
orang yang tidak sama atau tidak sepaham memahami apa yang telah diajarkan oleh
Rasulullah. Sehingga muncul banyak perbedaan dalam melaksanakan hal tersebut.
Apalagi dzikir – dzikir itu dilakukan oleh orang – orang dari berbagai adat
sehingga ada kemungkinan dzikir tersebut disesuaikan dengan adat dan tradisi
masyarakat setempat.
Di Indonesia,
dikenal dua ormas besar yang memilki pengikut yang sangat banyak. Kedua ormas
ini sebenarnya sama – sama menganut madzhab Syafi’i akan tetapi memilki
pandangan berbeda untuk memahami berbagai ajaran Islam. Sehingga terdapat
beberapa ikhtilaf dari kedua ormas besar Islam ini dalam beberapa hal.
Diantaranya tentang penggunaan doa qunut pada saat mendirikan sholat subuh, perbedaan
bacaan pada doa iftitah, dll.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Bagaimana
definisi dzikir dan doa?
1.2.2 Sebutkan
tujuan dzikir dan doa?
1.2.3 Apa hakikat dari dzikir dan doa?
1.2.4 Sebutkan metode dzikir menurut toriqoh
dan lembaga islam sebagai berikut:
1.2.4.1 Nahdlotul Ulama {NU}
1.2.4.2 Muhammadiyah
1.2.4.3 toriqoh
Naqsabandiyah
1.2.4.4 toriqoh qodiriyah
1.2.5 Apa
manfaat dzikir dan doa?
1.3 TUJUAN PENULISAN
1.3.1 Ingin mengetahui
definisi dzikir dan doa
1.3.2 Ingin mengetahui tujuan
dzikir dan doa
1.3.3 Ingin mengetahui hakikat
dzikir dan doa
1.3.4 Ingin mengetahui metode
dzikir menurut toriqoh dan lembaga islam tersebut
1.3.5 Ingin mengetahui manfaat
dzikir dan doa
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
DEFINISI
DZIKIR DAN DOA
Kata-kata doa
dalam Al-Qur'an banyak sekali, masing-masing mempunyai pengertian tertentu, di
antaranya dari QS. Yunus 106, QS. Al-Baqarah 23, QS. Ghafir 60, QS. Isra' 52,
QS. Al-Isra' 110, dan QS. Yunus 10. Jadi Doa / berdoa adalah memohon dengan sepenuh hati
kepada Allah SWT dengan mengharap kebaikan yang ada di sisi-Nya agar
mengabulkan sesuatu yang sedang kita kehendaki. Sementara itu, pengertian
dzikir/zikir sama halnya dengan do'a, dalam Al-Qur'an banyak menyebut kata
Dzikir. Kalau menurut bahasa, kata Dzikir
berarti "mengingat atau menyebut", serta hal lain yang ada dalam ayat
Al-Qur'an yakni QS. Al-Qamar 17, QS. Ali Imran 58, QS. Az-Zuhruf 44, QS.
Al-A'raf 68, QS. Al-Qomar 25, QS. Maryam 2, QS. Al-Ahzab:41.
Adapun
pengertian Dzikir menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah ialah segala macam
bentuk mengingat kepada Allah SWT baik dengan membaca tahlil, tasbih, tahmid,
taqdis, takbir, tasmiyah, hasbalah, qira'atul Qur'an maupun membaca doa-doa yang
ma'tsur dari Rasulullah SAW. Dalil-dalil yang
mendasari rumusan definisi Dzikir semacam ini adalah dari QS. Al-Ahzab 41-42 serta
sabda Nabi Muhammad saw: "Paling
utamanya Dzikir adalah "laa ilaaha illah" (tidak ada Tuhan kecuali
Allah swt), dan paling utamanya doa adalah "Alhamdulillah" (segala
puji bagi Allah swt)." (HR. Ibnu Majah) serta masih banyak lagi dalil dan
sunnah nabi mengenai doa dan dzikir ini.
2.2
TUJUAN
DZIKIR DAN DOA
Dzikir
dilakukan dengan tujuan menghadirkan kalbu bersama Al Haqq. Pengulangan nama
Allah dapat mengingatkan pada keagungan, kekuasaan dan tanda – tanda
kebesarannya. Dzikir juga menjadi sarana untuk merenung dan bertadabbur. Setiap
dzikir memberi pengaruh tertentu, disertai dengan terbukanya tirai penghalang
hati orang yang berdzikir. Menurut Al Ghazali, dzikir memiliki tiga lapisan,
inti yang menjadi hakikat ketenangan dan kehadiran yang Haqq. Pada lapisan
kedua, dzikir menjadi sarana dan jalan untuk mencapai ketenanganhati. Sedangkan
lapisan terluar hanya berupa dzikir lisan semata, namun hal inilah yang menjadi
inti perjalanan menuju dzikir yang khusyu’ dan menenangkan. Seorang yang
berdzikir selalu berusaha mengaplikasikan dzikir lisan disertai dengan usaha
menghadirkan kalbu, karena kalbu membutuhkan penyesuaian dengan lisan agar
sanggup menafsirkan dan menghadirkan makana dzikir secara seutuhnya.
2.3 HAKIKAT DZIKIR DAN DOA
Hakikat Berdzikir
Dzikir berarti menyebut dan
mengingat. Dzikrullah menyebut dan mengingat Allah SWT. Dzikir yang baik
mencakup dua makna di atas; menyebut dan mengingat. Dzikir dengan hanya
menyebut dengan lisan tanpa menghadirkan hati tetap bisa mendatangkan pahala,
namun tentu dzikir macam ini berada pada tingkat yang paling rendah. Dzikir
dengan lisan tanpa menghadirkan hati dan pikiran bisa saja memberi pengaruh
terhadap hati dan keimanan seseorang, tetapi pengaruhnya tidak sebesar dzikir
sambil menghadirkan hati. Paling baik adalah dzikir dengan lisan sambil
menghadirkan hati.
2.4 METODE DZIKIR MENURUT:
NAHDLOTUL ULAMA
NU menganut
paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah
antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis).
Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al- Qur'an, Sunnah, tetapi juga
menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir
semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan
Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih
mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam
bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang
mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. NU banyak menyesuaikan dengan
berbagai adat, tradisi dan realitas yang ada di masyarakat. Sehingga banyak
kalangan yang menjadi anggota ormas ini. Selain itu, NU juga sangat familiar di
masyarakat umum. Sehingga seringkali orang awam mengatakan bahwa mereka
mengikuti aliran NU.
Berkaitan dengan
keutamaan-keutamaan dzikir, NU dan Muhammadiyah tidaklah berselisih pendapat.
Perbedaan pendapat dalam masalah dzikir ada pada tata cara pelaksanaannya.
Di
sebagian besar masjid yang menganut aliran NU
menjadi basisnya, setiap kali ba‘da shalat biasa dilaksanakan dzikir berjamaah,
yang mana dipimpin oleh imam shalat. Dzikir tersebut kemudian dilanjutkan
dengan doa yang dipimpin imam dan diamini oleh makmum. Bukan hanya dzikir
setelah shalat, NU juga memiliki tradisi melakukan puji-pujian (shalawat,
syair, dll) yang dilantunkan sebelum shalat berjamaah. Di kalangan warga NU
juga biasa digelar acara istighasah, mujahadah, atau dzikir akbar, yakni sebuah
acara yang intinya adalah doa dan dzikir bersama dalam sebuah majlis dzikir.
Sementara itu di masjid-masjid di mana warga Muhammadiyah menjadi mayoritas
basisnya, tak ada dzikir berjamaah yang dipimpin oleh imam setelah shalat.
Muhammadiyah tidak pula tertarik untuk menggelar dzikir atau doa bersama, atau
istighasah.
Pembahasan
masalah dzikir dan tata caranya di kalangan warga NU akan kami muat dalam tiga
bagian. Petama, dzikir dan syair sebelum shalat berjamaah; kedua, dzikir dengan
suara keras setelah shalat; dan ketiga, dzikir berjamaah (semisal istighasah.
dsb) yang diselenggarakan secara khusus.
Ø Dzikir sebelum Shalat Berjama’ah
Setelah adzan,
kita tentunya kerap mendengar lantunan puji-pujian dari pengeras suara di
masjid-masjid. Puji-pujian itu bisa syair yang berisi nasehat dan peringatan,
shalawat (baik shalawat Nabi, Nariyah, dan lain sebagainya) maupun bacaan-bacaan dzikir yang
lain. Dzikir dan syair biasanya dilakukan dengan menggunakan pengeras suara,
diikuti oleh hampir seluruh orang yang hadir untuk menunggu datangnya imam
shalat. Ketika imam telah datang dan iqamat dilantangkan, maka berhenti pula
syair dan dzikir tersebut.
KH Muhyiddin
Abdusshomad, telah menerangkan persoalan ini dalam situs resmi Nahdhatul Ulama.
Menurutnya, membaca dzikir dan syair sebelum pelaksanaan shalat berjama'ah,
adalah perbuatan yang baik dan dianjurkan. Anjuran ini bisa ditinjau dari
beberapa sisi, pertama
dari sisi dalil. Terdapat hadits yang menyatakan bahwa dahulu pada masa Rasulullah
SAW. para sahabat juga membaca syair di masjid. Dalam sebuah hadits:
Dari Sa'id bin
Musayyab, ia berkata:
“Suatu ketika
Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan
syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, “aku telah melantunkan
syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu”. Kemudian ia menoleh
kepada Abu Hurairah,
Hassan melanjutkan perkataannya. “Bukankah
engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah
mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus”. Abu Hurairah lalu
menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah mendengarnya).’
” (HR. Abu Dawud)
Berkaitan dengan
hadits di atas, Syaikh Isma’il az-Zain dalam Irsyadul Mu'minin ila Fadha'ili
Dzikri Rabbil 'Alamin menjelaskan bahwa, melantunkan syair yang berisi
puji-pujian, nasihat, pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam
masjid adalah sesuatu yang bukan dilarang oleh agama, dengan kata lain hukumnya
adalah mubah.
Kedua, dilihat
dari sisi syiar dan penanaman akidah umat, menurut KH Muhyiddin Abdusshomad,
selain menambah syiar agama, amaliah tersebut juga merupakan strategi yang
sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Karena di
dalamnya terkandung beberapa pujian kepada Allah SWT, dzikir dan nasihat.
Ketiga, dari
aspek psikologis, masih menurut KH Muhyiddin Abdusshomad, lantunan syair yang
indah itu dapat menambah semangat dan mengkondisikan suasana. Dalam hal ini,
tradisi yang telah berjalan di masyarakat tersebut dapat menjadi semacam
warming up (persiapan)
sebelum masuk ke tujuan inti, yakni shalat lima waktu.
Selain ketiga
manfaat tersebut, syair dan dzikir yang dilantunkan sebelum shalat berjamaah
bisa mengobati rasa jemu sembari menunggu waktu shalat jama'ah dilaksanakan.
Juga agar para jama'ah tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu ketika
menunggu shalat jama'ah dilaksanakan.
Berdasarkan
dalil dan hujjah di atas, maka NU tetap melanggengkan tradisi melantunkan
dzikir dan syair sebelum shalat berjamaah di masjid dan mushala. Namun begitu,
perlu digaris bawahi, bahwa amalaiah ini tergantung pula pada situasi dan kondisi, tidak
dibenarkan apabila sampai mengganggu orang yang shalat dan membuat bising
masyarakat di sekitar masjid atau mushala.
Ø Dzikir Sesudah Shalat
Kita tahu, bahwa
salah satu tujuan dzikir adalah untuk meraih ketenangan, agar kita bisa lebih
dekat dengan Allah Swt. Untuk mencapai tujuan itu, tentu dibutuhkan dzikir yang
tidak hanya sekedar ucapan lisan, melainkan membutuhkan kesungguhan hati, dalam
kata lain bahwa dzikir
mestilah dilakukan dengan khusuk.
KH. Cholil
Nafis, seorang ulama NU menulis, dzikir harus dilaksanakan dengan sepenuh hati,
jiwa yang tulus, dan hati yang khusyu' penuh khidmat. Untuk bisa berdzikir
dengan hati yang khusyu' itu diperlukan perjuangan yang tidak ringan. Cara
untuk khusuk, menurutnya, berbeda-beda setiap orang. Bisa jadi satu orang lebih
khusyu' kalau berdzikir dengan cara duduk menghadap kiblat, sementara yang lain
akan lebih khusyu' dan khidmat jika berdzikir dengan cara berdiri atau
berjalan, ada pula dengan cara mengeraskan dzikir atau dengan cara dzikir pelan
dan hampir tidak bersuara untuk mendatangkan konsentrasi dan ke-khusyu'-an.
Satu sisi,
memang terdapat dalil-dalil yang menyuruh umat muslim untuk berdzikir dengan
suara yang lemah lembut, dan pada sisi yang lain terdapat pula dalil yang
membolehkan untuk berdzikir dengan suara keras. NU menganggap dalil-dalil
tersebut, baik antara Al-Qur’an
dengan hadits, maupun hadits dengan hadits, tidaklah saling bertentangan,
karena masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri, yakni
disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Beberapa dalil
yang menunjukkan kebolehan dzikir dengan suara keras setelah shalat antara lain
hadits riwayat Ibnu Abbas: “Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan
berdoa dengan suara keras) apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan
hendak meninggalkan masjid.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Adra’ juga
pernah berkata: "Pernah saya berjalan bersama Rasulullah SAW lalu bertemu
dengan seorang laki-laki di Masjid yang sedang mengeraskan suaranya untuk
berdzikir. Saya berkata, wahai Rasulullah mungkin dia (melakukan itu) dalam
keadaan riya'. Rasulullah SAW menjawab: "Tidak, tapi dia sedang mencari
ketenangan."
Sementara dalil
yang menjelaskan keutamaan berdzikir dengan secara pelan adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Sa'd bin Malik bahwasannya Rasulullah SAW bersabda:
"Keutamaan dzikir adalah yang pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah
sesuatu yang mencukupi."
Mengutip
penjelasan Imam Nawawi sebagai berikut:
“Imam Nawawi mengkompromikan (al-jam’u
wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan
hadits yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan
dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya', mengganggu orang
yang shalat atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih
banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai
kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai,
terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran
jama’ah, menghilangkan kantuk serta menambah semangat." (Ruhul Bayan, Juz
III).
Pendapat Imam
Nawawi, sebagai juru bicara dari Madzhab Syafi'i, sejalan dengan keterangan
yang ditulis Imam Syafi'i dalam kitab Al-Umm, bahwasanya tujuan Nabi SAW
mengeraskan suaranya ketika berdzikir adalah untuk mengajari orang-orang yang belum bisa
melakukannya, dan jika amalan tersebut untuk hanya pengajaran maka biasanya
tidak dilakukan secara terus menerus.
Masalah dzikir
dengan suara keras juga disinggung dalam Fathul Mu’in karangan Imam Zainuddin
al-Malibari, kitab yang sering dijadikan rujukan kaum Nahdliyin. Dalam kitab
tersebut didapat keterangan bahwa berdzikir dengan suara pelan setelah shalat
adalah sunnah, baik bagi orang yang shalat sendirian, maupun berjamaah, imam
yang tidak bermaksud mengajarkannya dan tidak bermaksud pula untuk
memperdengarkan doanya supaya diamini mereka.
Dari keterangan
Zainuddin al-Malibari tersebut maka didapati hukum berdzikir dengan suara keras
setelah shalat adalah boleh. Jelaslah sekarang, bahwa NU tidak mewajibkan atau
mengharuskan warganya untuk berdzikir dengan suara keras, melainkan tergantung
kepada situasi dan kondisi, jika dalam kondisi ingin mengajarkan, membimbing
dan menambah ke-khusyu’- an
maka mengeraskan suara dzikir itu hukumnya sunnah dan tidak bertentangan dengan
ajaran agama Islam. Bahkan dalam beberapa keadaan sangat dianjurkan untuk
mengeraskan dzikir, demikian menurut Chalil Nafis.
Ø Dzikir Berjamaah
Salah satu
amaliyah warga NU yang terkenal dan mengundang kontroversi dari ormas lain
adalah istighasah. Arti istighasah adalah memohon pertolongan kepada Allah SWT. Pelaksanaan
istighasah diisi dengan doa-doa dan dzikir-dzikir tertentu yang dibaca secara
berjamaah dan dipimpin oleh seorang imam
istighasah.
Disebutkan dalam
buku Antologi NU[1],
bahwa dalam skala besar, PBNU telah beberapa kali menggelar itighasah nasional, yang dihadiri
lebih dari satu juga kaum Nahdliyin.
Pernah diadakan di lapangan Parkir Monas Jakarta, dan Lapangan Makodam V Brawijaya
Surabaya. Di semua tingkat kepengurusan NU, selalu akrab dengan budaya
istighasah tersebut, kadang menggunakan istilah istighasah kubro, istighasah
nasional, dan lain sebagainya.
Dzikir yang
dibaca dalam istighasah dikalangan NU memakai dzikir yang dibakukan oleh
Jami’iyah Ahli Thariqah al-Muktabarah an-Nahdliyah, ijazah dari Sayikhana Chili
Bangkalan. Dalil dianjurkanya istighasah, atau dzikir berjamaah antara lain Al-Qur’an surat al-Imran
ayat 191: (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata), "Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Q.S.
al-Imran: 191)
Ada beberapa
kalangan yang mengutip dari pendapat dari Syaikh Dr. Muhammad bin Abdur Rahman
al-Khumayyis dalam “Adz-Dzikr al-Jama’i baina al-Ittiba’ wal Ibtida’. Menurutnya, sighat
(konteks) jama’ dalam ayat di atas (yakni kata “yadzkuruna”) adalah sebagai
anjuran yang bersifat umum dan menyeluruh kepada semua umat Islam untuk
berdzikir kepada Allah SWT tanpa kecuali, bukan anjuran untuk melakukan dzikir
berjama'ah. Selain itu jika sighat jama’ dalam ayat tersebut dipahami sebagai
anjuran untuk melakukan dzikir secara berjama'ah atau bersama-sama maka kita
akan kebingungan dalam memahami kelanjutan ayat tersebut.
Dalam buku
Risalah Amaliah NU, PCNU Kota Malang[2].
Di sana dibeberkan dalil-dalil lain yang membolehkan dzikir berjamaah, termasuk
juga istighasah. Bahwa Rasulullah dan para para sahabat pernah melantunkan
syair (Qasidah/Nasyidah) di saat menggali khandaq (parit). Rasulullah SAW dan para sahabat bersenandung bersama sama dengan ucapan:
"Haamiiim laa yunsharuun..". Cerita ini termuat dalam buku sejarah
tertua, yakni Kitab Sirah Ibn Hisyam Bab Ghazwah Khandaq. Kitab ini dikarang oleh
seorang tabi’in sehingga datanya
dianggap lebih valid. Pada bab
Hijraturrasul SAW - bina' masjidissyarif,
sebagaimana tertulis dalam Risalah Amaliyah NU, para sahabat juga bersenandung
saat membangun membangun Masjidirrasul SAW.
Selain dalil di
atas, juga ada hadits Qudsy yang menyatakan anjuran untuk berdoa, berdzikir baik dengan sirran wa jahran
(pelan dan terang), di dalam hati dalam keadaan
sendiri maupun berjamaah. "Bila ia (hambaku)
menyebut nama-Ku
dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam Diriku, bila mereka menyebut nama-Ku dalam kelompok
besar, maka Aku pun menyebut (membanggakan) nama mereka dalam kelompok yg lebih
besar dan lebih mulia" (HR Muslim).
Selain itu,
sabda Rasulullah SAW juga telah bersabda: “Sungguh Allah memiliki malaikat yang
beredar di muka bumi mengikuti dan menghadiri majelis - majelis dzikir, bila mereka menemukannya maka
mereka berkumpul dan berdesakan hingga memenuhi antara hadirin hingga langit
dunia, bila majelis selesai maka para malaikat itu berpencar dan kembali ke
langit, dan Allah bertanya pada mereka dan Allah Maha Tahu : “Darimana kalian?”
Mereka menjawab: ‘Kami datang dari hamba-
hamba Mu, mereka berdoa pada-Mu,
bertasbih pada-Mu,
bertahlil pada-Mu,
bertahmid pada-Mu,
bertakbir pada-Mu,
dan meminta kepada-Mu,
Maka Allah bertanya: “Apa yang
mereka minta?”, Malaikat berkata: ‘Mereka meminta surga, Allah berkata: “Apakah mereka telah
melihat surgaku?,
Malaikat menjawab: ‘Tidak.’ Allah berkata : “Bagaimana bila mereka melihatnya?”. Malaikat berkata:
‘Mereka meminta perlindungan-Mu, Allah berkata: “mereka meminta perlindungan
dari apa?”, Malaikat berkata: “Dari api
neraka”, Allah berkata: “Apakah
mereka telah melihat nerakaku?”, Malaikat menjawab, ‘tidak.’ Allah berkata:
‘Bagaimana kalau mereka melihat neraka-Ku.
Malaikat berkata: ‘Mereka beristighfar pada-Mu.’
Allah berkata: “Sudah Kuampuni
mereka, sudah Kuberi
permintaan mereka, dan sudah Kulindungi
mereka dari apa apa yg mereka minta perlindungan darinya”. Malaikat berkata:
“Wahai Allah, diantara mereka ada si fulan hamba pendosa, ia hanya lewat lalu
ikut duduk bersama mereka, Allah berkata: ‘Baginya pengampunanku, dan mereka
(ahlu dzikir) adalah kaum yg tidak ada yang
dihinakan siapa-siapa
yang duduk bersama mereka”.
v Bacaan dzikir menurut NU :
أَسْتَغْفِرُ
اللَّهَ العَظِيْمِ الَذِي لاَاِلَهَ الاَّ هُوَ الحَيُّ القَيُومُ
وَ أَتُوْبُ إِلَيْكَ (3 )
لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ
وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير(3)
اللَّهُمَّ
أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ إلَيْكَ يَعُوْدُ السَلاَمَ فحَيِّنَا
رَبَّنَا بالسَلاَمِ وَ أَدْخِلْنَا
جَنَّةَ دَارَ السَلاَمِ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَ تَعَالَيْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ
وَالْإِكْرَامِ.
ÉOó¡Î0
«!$# Ç`»uH÷q§9$#
ÉOÏm§9$# ÇÊÈ ßôJysø9$# ¬!
Å_Uu úüÏJn=»yèø9$#
ÇËÈ Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$#
ÇÌÈ Å7Î=»tB ÏQöqt
ÉúïÏe$!$# ÇÍÈ x$Î) ßç7÷ètR
y$Î)ur ÚúüÏètGó¡nS
ÇÎÈ $tRÏ÷d$# xÞºuÅ_Ç9$#
tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ xÞºuÅÀ tûïÏ%©!$#
|MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã
Îöxî ÅUqàÒøóyJø9$#
óOÎgøn=tæ wur
tûüÏj9!$Ò9$# ª!$# Iw tm»s9Î) wÎ) uqèd ÓyÕø9$# ãPqs)ø9$# 4 w ¼çnäè{ù's? ×puZÅ wur ×PöqtR 4 ¼çm©9 $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 3 `tB #s Ï%©!$# ßìxÿô±o ÿ¼çnyYÏã wÎ) ¾ÏmÏRøÎ*Î/ 4 ãNn=÷èt $tB ú÷üt/ óOÎgÏ÷r& $tBur öNßgxÿù=yz ( wur tbqäÜÅsã &äóÓy´Î/ ô`ÏiB ÿ¾ÏmÏJù=Ïã wÎ) $yJÎ/ uä!$x© 4 yìÅur çmÅöä. ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur ( wur ¼çnßqä«t $uKßgÝàøÿÏm 4 uqèdur Í?yèø9$# ÞOÏàyèø9$# ÇËÎÎÈ
سُبْحَانَ
اللهِ(33)، اَلَْحَمْدَُ اللَّهَ (33)، اللهُ أَكْبَرُ(33 (
لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ حيٌّ مَوْجُوْدٌ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ حيٌّ مَعْبُوْدٌ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ حيٌّ بَاقٍ
أفضَلُ
الذِكْرِ فَعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ (33)
ü
Dzikir
dengan Bersuara menurut Hadits
Diceritakan
bahwa Abu Bakar RA biasa merendahkan suaranya ketika sholat malam. Ia tidak mau
menyaringkan bacaannya. Sebaliknya Umar bin Khattab selalu menyaringkan
suaranya ketika shalat. Maka kemudian Rasulullah bertanya pada Abu Bakar
mengenai sikapnya tersebut dan Abu Bakar menjawab : “ Zat yang kuseru mendengar
semua ucapanku”. Kemudian Rasulullah bertanya pada Umar bin Khattab dan Umar
menjawab : “ Aku ingin memmbangkitkan kesadaran, mengusir setan, dan membuat
ridho Ar Rahman”. Mendengar hal tersebut Rasulullah menyuruh Umar untuk sedikit
merendahkan suaranya dan meminta Abu Bakar untuk mengangkat suaranya. Hal ini
menunjukkan bahwa Rasulullah menganjurkan untuk bersuara tapi tidak sampai
meninggikan suara[3].
Kolektivitas
dalam berdzikir pun juga disyariatkan, dzikir yang dilakukan secara berjamaah
ibarat adzan yang dilakukan secara bersamaan pula yaitu dapat menembus gumpalan
udara yang tak sanggup ditembus seorang muadzin saja. Begitu pula dengan
dzikir, dzikir berjamaah diharapkan dapat memberikan kekuatan dan pengaruh ke
kalbu serta dapat mengangkat hijab yang menutup kalbu. Seorang yang mengikuti
dzikir secara berjamaah juga akan mendapatkan pahala dzikir individu dan dzikir
jamaah sebagaimana dalam sholat, sholat berjamaah lebih utama daripada sholat
sendiri.
Ketika dzikir
dilakukan secara berjamaah maka dianjurkan untuk mengeraskan suara dan dengan
ritme yang sama, sehingga akan timbul rasa kebersamaan. Sedangkan untuk dzikir
individu, bagi orang khusus dzikr boleh dengan sirr(suara rendah) sedangkan
untuk orang awam hendaknya mengeraskan suara.
MUHAMMADIYAH
Muhammadiyah
berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih
maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat
pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan
manusia dalam segala aspeknya. Muhammadiyah dikenal sebagai pelopor gerakan
tajdid (pembaruan). Tajdid yang dilakukan pendiri Muhammadiyah itu bersifat
pemurnian (purifikasi) dan perubahan ke arah kemajuan (dinamisasi), yang
semuanya berpijak pada pemahaman tentang Islam yang kokoh dan luas. Dengan
pandangan Islam yang demikian Kyai Dahlan tidak hanya berhasil melakukan
pembinaan yang kokoh dalam akidah, ibadah, dan akhlak kaum muslimin, tetapi
sekaligus melakukan pembaruan dalam amaliah mu‘amalat dunyawiyah sehingga Islam
menjadi agama yang menyebarkan kemajuan.
Dalam Tarjih
yang dikeluarkan oleh Lembaga Majelis Tarjih atau Lajnah Tarjih Muhammadiyah[4],
setelah shalat berjamaah imam menghadap ke arah ma‘mum sisi kanan. Landasannya,
salah satunya adalah hadits dari Samarah yang artinya sebagai berikut : “Adalah
Nabi SAW, apabila telah selesai mengerjakan shalat beliau menghadap mukanya
kepada kita”.
Selain itu, Tarjih juga menyatakan agar setelah selesai shalat berjamaah,
supaya jamaah shalat duduk sebentar. Dasarnya ialah hadits Abu Hurairah berikut
: “Sesungguhnya para malaikat
memintakan rahmat
untuk salah seorang dari kamu selama masih duduk di tempat shalatnya dan
sebelum berhadats; para malaikat mendoakan: “Ya Allah, ampunilah dosanya dan
kasihanilah ia.”
Sementara, dalam
Suara Muhammadiyah pernah dijawab mengenai masalah dzikir dengan suara keras
setelah shalat, telah kutip ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang berhubungan
dengan dzikir dan doa, meskipun tidak semuanya. Memang, terdapat sebuah hadits
yang dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah melakukan dzikir
dengan suara keras. Yaitu, hadits yang artinya sebagai berikut: “Dahulu kami
mengetahui selesainya shalat pada masa Nabi karena suara dzikir yang keras".
Namun demikian
hadits tersebut, dianggap bertentangan dengan al-Qur’an dan beberapa hadits
lainnya. Dalam surat Al-A’raf ayat 55 Allah berfirman: Berdoalah kepada Tuhanmu
dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut
(tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah
amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (Q.S Al-A’raf: 55)
Surat Al-A’raf
ayat 205:
Dan sebutlah
(nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan
tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang lalai. (Q.S. Al-A’raf: 205)
Dari dua ayat
tersebut, Muhammadiyah berpendapat bahwa Allah memerintahkan kepada kaum muslimin agar berdoa dan
berdzikir dengan merendahkan diri, dalam arti lain tidak dengan mengeraskan
suara. Untuk menegaskan pendapat tersebut, Muhammadiyah mendasarkannya pada hadits,
yakni sebagai berikut: “Diriwayatkan dari Abu Musa, ia berkata: Kami pernah
bersama Nabi SAW dalam suatu perjalanan, kemudian orang-orang mengeraskan suara
dengan bertakbir. Lalu Nabi SAW bersabda: Wahai manusia, rendahkanlah suaramu.
Sebab sesungguhnya kamu tidak berdoa kepada (Tuhan) yang tuli, dan tidak pula
jauh, tetapi kamu sedang berdoa kepada (Allah) Yang Maha Mendengar dan Maha
Dekat.” (HR. Muslim)
Dalam hadits
yang lain Rasulullah bersabda: “Wahai sekalian manusia, masing-masing kalian
bermunajat (berbisik-bisik)
kepada Rabb kalian, maka
janganlah sebagian kalian men-jahr-kan
bacaannya dengan mengganggu sebagian yang lain.” Al-Baghawi menambahkan hadits
tersebut dengan sanad yang kuat. "Sehingga mengganggu kaum mukminin lain (yang sedang
bermunajat)". Sehingga Muhammadiyah tidak menganjurkan dan tidak
membiasakan dzikir dengan suara yang keras. Pada masyarakat Muhammadiyah,
dzikir setelah sholat dilaksanakan secara individu dan tidak dengan jahr.
Bacaan dzikir
menurut Himpunan Tarjih wa Tajdid Muhammadiyah :
أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ ، أَسْتَغْفِرُ
اللَّهَ ، أَسْتَغْفِرُ اللَّه
اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ
السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالْإِكْرَامِ
لاَإِلَهَ
إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ لاَ إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ وَلَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ
الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُخْلِصِينَ
لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
لاَ
إِلَهَ إِلاََّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ
الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا
أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ
الْجَدُّ
سُبْحَانَ اللهِ(33)، اَلَْحَمْدَُ
اللَّهَ (33)، اللهُ أَكْبَرُ(33 (
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير
اللَّهُمَّ
إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ اْلبُخْلِ وَاَعُوْذُبِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَأَعُوذُ بِكَ
أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا
وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ
وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
رَبِّ قِنِي عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ
أَوْ تَجْمَعُ عِبَادَكَ[5]
TORIQOH
NAQSABANDIYAH
Tarekat Naqsabandiyah,
silsilah spiritualnya kepada Nabi Muhammad adalah melalui khalifah Hadhrat
Sayyidina Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu, sementara kebanyakan tarekat-tarekat
lain silsilahnya melalui khalifah Hadhrat Sayyidina Ali bin Abu Thalib
Karramallahu Wajhahu. Tarekat
ini mengutamakan pada pemahaman hakikat dan tasawuf yang mengandung unsur-unsur pemahaman
rohani yang spesifik, bermula di Bukhara pada akhir abad
ke-14. Ciri yang menonjol dari tarekat
Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari'at secara ketat, keseriusan dalam
beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari
serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin
kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).
Silsilah
tarekat Naqsyabandiyah secara lengkapnya adalah sebagai berikut
Rasulullah SAW--- Abu Bakar Ash Shiddiq---Salman Al Farisi---Qasim bi Muhammad---Imam Ja’far Shadiq---Abu Yazid Busthami---Abu Hasan Ali bin
Ja’far al Kharqani---Abu
Ali Al Fadhal bin Muhammad Al Thusi Al Farmadi---Abu Ya’kub Yusuf Al Hamdani bin Ayyub
bin Yusuf bin Husin---Abdul
Khaliq Al Fajduwani bin Imam Abdul Jamil---Arif
Al Riyukuri---Mahmud
Al Anjiru Al Faghnawi---Ali
Al Ramituni atau Syekh Azizan---Muhammad
Baba As Samasi---Amir
Kulal bin Sayid Hamzah---BahauddinNaqsyabandi.
Dasar ajaran Tarekat Naqsyabandiyah
1).
“Huwasy Dardam”, yaitu pemeliharaan
keluar masuknya nafas, supaya hati tidak lupa kepada Allah SWT.
2). “Nazhar
Barqadlam” tidak boleh
memperluas pandangan.
3).
“Safar Darwathan” yaitu perpindahan dari sifat kemanusiaan yang kotor dan
rendah, kepada sifat-sifat kemalaikatan yang bersih dan suci lagi utama.
4).
“Khalwat Daranjaman” yaitu setiap murid atau salik harus selalu menghadirkan
hati kepada Allah SWT dalam segala keadaan.
5).
“Ya Dakrad” yaitu selalu berkekalan zikir kepada Allah SWT, baik zikir ismus
zat (menyebut Allah, Allah), zikir nafi isbat (menyebut la ilaha ilallah),
sampai yang disebut dalam zikir itu hadir.
6). “Bar
Kasyat” yaitu orang yang berzikir nafi isbat setelah melepaskan nafasnya, kembali
munajat kepada Allah dengan mengucapkan kalimat yang mulia.
7).“Nakah
Dasyat” yaitu setiap murid atau salik harus memelihara hatinya dari kemasukan
sesuatu yang dapat menggoda dan mengganggunya, walaupun hanya sebentar.
8).“Bad
Dasyat” yaitu tawajuh atau pemusatan perhatian sepenuhnya pada musyahadah
9).“Wuquf
Zamani” yaitu kontrol yang dilakukan oleh seorang murid atau salik tentang
ingat atau tidaknya ia kepada Allah SWT setiap dua atau tiga jam.
10).“Wuquf
‘Adadi” yaitu memelihara bilangan ganjil dalam menyelesaikan zikir nafi isbat,
11).“Wuquf
Qalbi” yaitu sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Ubaidullah Al- Ahrar,
“Keadaan hati seorang murid atau salik yang selalu hadir bersama Allah SWT”.
Tingkatan dzikir dalam
tarekat ini ada tujuh, yaitu:
1. Mukasyafah
Dzikir dengan menyebut nama Allah dalam hati sebanyak 5.000 atau 6.000 kalisetiap hari.
2. Lathaif
Setelah melaporkan pada Syekh tentang apa yang dialami ketika berdzikir, Syekh akan terus menaikkan jumlah dzikirnya menjadi 7.000, 8.000, demikian seterusnya sampai 11.000 kali.
Pembagian dzikir Lathaif :
1. Mukasyafah
Dzikir dengan menyebut nama Allah dalam hati sebanyak 5.000 atau 6.000 kalisetiap hari.
2. Lathaif
Setelah melaporkan pada Syekh tentang apa yang dialami ketika berdzikir, Syekh akan terus menaikkan jumlah dzikirnya menjadi 7.000, 8.000, demikian seterusnya sampai 11.000 kali.
Pembagian dzikir Lathaif :
A.
Lathifatul Qalbi, dzikir sebanyak 5.000 kali ditempatkan di bawah tetek sebelah
kiri, kurang lebih 2 jari dari rusuk.
B.
Lathiful Roh, dzikir sebanyak 1.000
kali ditempatkan di bawah tetek sebelah kanan, kurang lebih 2 jari ke arah
dada.
C.
Lathifatul Sirri, dzikir sebanyak
1.000 kali ditempatkan di atas dada kiri, kurang lebih 2 jari ke kanan.
D.
Lathifatul Khafi, dzikir sebanyak
1.000 kali ditempatkan di atas dada kanan, kurang lebih 2 jari ke arah dada.
E.
Lathifatul Akhfa, dzikir sebanyak 1.000 kali di tengah-tengah dada.
F.
Lathifatu Nafsin Nathiqah, dzikir sebanyak 1.000 kali di atas kening.
G. Lathifatu Kullil Jasad,
dzikir sebanyak 1.000 kali di seluruh tubuh.
3. Nafi’ Setelah 11.000 kali, kalimat dzikir diganti “Laa ilaaha illallaah”.
4. Wuqub Qalbi
5. Ahdian
6. Ma’iah
7. Tahlil
Setelah maqam ini, untuk laki-laki akan diangkat menjadi khalifah, dan bagi perempuan ini adalah maqam tertinggi.
3. Nafi’ Setelah 11.000 kali, kalimat dzikir diganti “Laa ilaaha illallaah”.
4. Wuqub Qalbi
5. Ahdian
6. Ma’iah
7. Tahlil
Setelah maqam ini, untuk laki-laki akan diangkat menjadi khalifah, dan bagi perempuan ini adalah maqam tertinggi.
TORIQOH QODIRIYAH
Tarekat Qodiryah
didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama
lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost
al-Jaelani. Lahir di di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561
H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada
tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah
Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya
Abu Hamid al-Ghazali. Tapi,Syeikh Abdul Qodir Jaelani tetap belajar sampai
mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535
H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah. Pada tahun 521
H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai
dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan
waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh
dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah
dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561
H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593
H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan
anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya
Bagdad pada tahun 656 H/1258 M. Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang
dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di
Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak
abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India
misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku
keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang
diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah
berdiri sejak 1180 H/1669 M. Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila
murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan
untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi
tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan
Abdul Qadir Jaelani sendiri,"Bahwa murid yang sudah mencapai derajat
gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi
walinya untuk seterusnya." Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga
terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia Islam.
Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah
(1515 M), Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei (1550 M), Qumaishiyah (1584), Hayat
al-Mir, semuanya di India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah,
Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah, Waslatiyyah. Dan di Yaman ada tarekat
Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah, 'Urabiyyah, Yafi'iyah (718-768 H/1316 M) dan
Zayla'iyah. Sedangkan di Afrika terdapat tarekat Ammariyah, Bakka'iyah, Bu'
Aliyya, Manzaliyah dan tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat
Maroko kepada Abdul Qodir Jilani. Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol dan
diduga setelah keturunannya pindah dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke
tangan Kristen pada tahun 1492 M dan makam mereka disebut "Syurafa
Jilala".
Dari
ketaudanan Nabi dan sabahat Ali RA dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT
tersebut, yang kemudian disebut tarekat, maka tarekat Qodiriyah menurut ulama
sufi juga memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk
mendekat dan mendapat ridho dari Allah swt. Oleh sebab itu dengan tarekat
manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan
terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang tercela yang harus
ditinggalkannya. Misalnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir "Laa
ilaha Illa Allah" dengan suara nyaring, keras (dhahir) yang disebut (nafi
istbat) adalah contoh ucapan dzikir dari Syiekh Abdul Qadir Jaelani dari Sayidina
Ali bin Abi Thalib RA,
hingga disebut tarekat Qodiriyah. Selain itu dalam setiap selesai melaksanakan
shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya' dan Subuh), diwajibkan membaca
istighfar tiga kali atau lebih , lalu membaca salawat tiga kali, Laailaha illa
Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali. Sedangkan di luar shalat agar
berdzikir semampunya. Dalam mengucapkan lafadz Laa pada kalimat "Laa Ilaha
Illa Allah" kita harus konsentrasi dengan menarik nafas dari perut sampai
ke otak. Kemudian disusul dengan bacaan Ilaha dari arah kanan dan diteruskan
dengan membaca Illa Allah ke arah kiri dengan penuh konsentrasi, menghayati dan
merenungi arti yang sedalam-dalamnya, dan hanya Allah swt-lah tempat manusia
kembali. Sehingga akan menjadikan diri dan jiwanya tentram dan terhindar dari
sifat dan perilaku yang tercela. Menurut ulama sufi (al-Futuhat al-Rubbaniyah),
melalui tarekat mu'tabarah tersebut, setiap muslim dalam mengamalkannya akan
memiliki keistimewaan, kelebihan dan karomah masing-masing. Ada yang terkenal
sebagai ahli ilmu agama seperti sahabat Umar bin Khattab, ahli syiddatil haya'
sahabat Usman bin Affan, ahli jihad fisabilillah sahabat Hamzah dan Khalid bin
Walid, ahli falak Zaid al-Farisi, ahli syiir Hasan bin Tsabit, ahli lagu
Alquran sahabat Abdillah bin Mas'ud dan Ubay bin Ka'ab, ahli hadis Abi
Hurairah, ahli adzan sahabat Bilal dan Ibni Ummi Maktum, ahli mencatat wahyu
dari Nabi Muhammad saw adalah sahabat Zaid bin Tsabit, ahli zuhud Abi Dzarr,
ahli fiqh Mu'ad bin Jabal, ahli politik peperangan sahabat Salman al-Farisi,
ahli berdagang adalah Abdurrahman bin A'uf dan sebagainya. Bai'at Untuk
mengamalkan tarekat tersebut melalui tahapan-tahan seperti pertama, adanya
pertemuan guru (syeikh) dan murid, murid mengerjakan salat dua rakaat (sunnah
muthalaq) lebih dahulu, diteruskan dengan membaca surat al-Fatihah yang
dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian murid duduk bersila di depan
guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz Laailaha Illa
Allah, dan guru mengucapkan "infahna binafhihi minka" dan dilanjutkan
dengan ayat mubaya'ah (QS Al-Fath 10). Kemudian guru mendengarkan kalimat
tauhid (Laa Ilaha Illallah) sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid
tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat
sebagai murid, berdoa dan minum. Kedua, tahap perjalanan. Tahapan kedua ini
memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Karena murid akan menerima
hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya,
menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih
dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari Allah seperti yang
diberikan pada para nabi dan wali. Tarekat (thariqah) secara harfiah berarti
"jalan" sama seperti syariah, sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan
menuju kepada Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati
ajaran-ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam
Alquran, seperti QS Al-Jin:16," Kalau saja mereka berjalan dengan teguh di
atas thariqah, maka Kami (Allah) pasti akan melimpahkan kepada mereka air
(kehidupan sejati) yang melimpah ruah". Istilah thariqah dalam
perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna semantik perkataan itu, semua
yang terjadi pada syariah untuk ilmu hukum Islam. Setiap ajaran esoterik/bathini
mengandung segi-segi eksklusif. Jadi, tak bisa dibuat untuk orang umum (awam).
Segi-segi eksklusif tersebut misalnya menyangkut hal-hal yang bersifat
"rahasia" yang bobot kerohaniannya berat, sehingga membuatnya sukar
dimengerti. Oleh sebab itu mengamalkan tarekat itu harus melalui guru (mursyid)
dengan bai'at dan guru yang mengajarkannya harus mendapat ijazah, talqin dan
wewenang dari guru tarekat sebelumnya. Seperti terlihat pada silsilah ulama
sufi dari Rasulullah saw, sahabat, ulama sufi di dunia Islam sampai ke ulama
sufi di Indonesia. Qodiriyah di Indonesia Seperti halnya tarekat di Timur
Tengah. Sejarah tarekat Qodiriyah di Indonesia juga berasal dari Makkah
al-Musyarrafah. Tarekat Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16,
khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat,
Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa
Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syeikh Abdul Karim dari
Banten adalah murid kesayangan Syeikh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah,
merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran tarekat Qodiriyah. Murid-murid
Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura setelah pulang ke Indonesia menjadi
penyebar Tarekat Qodiriyah tersebut. Tarekat ini mengalami perkembangan pesat
pada abad ke-19, terutama ketika menghadapi penjajahan Belanda. Sebagaimana
diakui oleh Annemerie Schimmel dalam bukunya "Mystical Dimensions of
Islam" hal. 236
yang menyebutkan bahwa tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan untuk
menandingi kekuatan lain. Juga di Indonesia, pada Juli 1888, wilayah Anyer di
Banten Jawa Barat dilanda pemberontakan. Pemberontakan petani yang seringkali
disertai harapan yang mesianistik, memang sudah biasa terjadi di Jawa, terutama
dalam abad ke-19 dan Banten merupakan salah satu daerah yang sering berontak.
Tapi, pemberontakan kali ini benar-benar mengguncang Belanda, karena
pemberontakan itu dipimpin oleh para ulama dan kiai. Dari hasil penyelidikan
(Belanda, Martin van Bruneissen) menunjukkan mereka itu pengikut tarekat
Qodiriyah, Syeikh Abdul Karim bersama khalifahnya yaitu KH Marzuki, adalah
pemimpin pemberontakan tersebut hingga Belanda kewalahan. Pada tahun 1891
pemberontakan yang sama terjadi di Praya, Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat
(NTB) dan pada tahun 1903 KH Khasan Mukmin dari Sidoarjo Jatim serta KH Khasan
Tafsir dari Krapyak Yogyakarta, juga melakukan pemberontakan yang sama.
Sementara itu organisasi agama yang tidak bisa dilepaskan dari tarekat
Qodiriyah adalah organisasi tebrbesar Islam Nahdlaltul Ulama (NU) yang berdiri
di Surabaya pada tahun 1926. Bahkan tarekat yang dikenal sebagai Qadariyah
Naqsabandiyah sudah menjadi organisasi resmi di Indonesia. Juga pada organisasi
Islam Al-Washliyah dan lain-lainnya. Dalam kitab Miftahus Shudur yang ditulis
KH Ahmad Shohibulwafa Tadjul Arifin (Mbah Anom) di Pimpinan Pesantren
Suryalaya, Tasikmalaya Jabar dalam silsilah tarekatnya menempati urutan ke-37,
sampai merujuk pada Nabi Muhammad saw, Sayyidina Ali ra, Abdul Qadir Jilani dan
Syeikh Khatib Sambas ke-34. Sama halnya dengan silsilah tarekat almrhum KH
Mustain Romli, Pengasuh Pesantren Rejoso Jombang Jatim, yang menduduki urutan
ke-41 dan Khatib Sambas ke-35. Bahwa beliau mendapat talqin dan baiat dari KH
Moh Kholil Rejoso Jombang, KH Moh Kholil dari Syeikh Khatib Sambas ibn Abdul
Ghaffar yang alim dan arifillah (telah mempunyai ma'rifat kepada Allah) yang
berdiam di Makkah di Kampung Suqul Lail. Silsilahnya. 1. M Mustain Romli, 2,
Usman Ishaq, 3. Moh Romli Tamim, 4. Moh Kholil, 5. Ahmad Hasbullah ibn Muhammad
Madura, 6. Abdul Karim, 7. Ahmad Khotib Sambas ibn Abdul Gaffar, 8. Syamsuddin,
9. Moh. Murod, 10. Abdul Fattah, 11. Kamaluddin, 12. Usman, 13. Abdurrahim, 14.
Abu Bakar, 15. Yahya, 16. Hisyamuddin, 17. Waliyuddin, 18. Nuruddin, 19.
Zainuddin, 20. Syarafuddin, 21. Syamsuddin, 22. Moh Hattak, 23. Syeikh Abdul
Qadir Jilani, 24. Ibu Said Al-Mubarak Al-Mahzumi, 25. Abu Hasan Ali al-Hakkari,
26. Abul Faraj al-Thusi, 27. Abdul Wahid al-Tamimi, 28. Abu Bakar Dulafi
al-Syibli, 29. Abul Qasim al-Junaid al-Bagdadi, 30. Sari al-Saqathi, 31. Ma'ruf
al-Karkhi, 32. Abul Hasan Ali ibn Musa al-Ridho, 33. Musa al-Kadzim, 34. Ja'far
Shodiq, 35. Muhammad al-Baqir, 36. Imam Zainul Abidin, 37. Sayyidina Husein,
38. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, 39. Sayyidina Nabi Muhammad saw, 40.
Sayyiduna Jibril dan 41. Allah Swt. Masalah silsilah tersebut memang berbeda
satu sama lain, karena ada yang disebut seecara keseluruhan dan sebaliknya. Di
samping berbeda pula guru di antara para kiai itu sendiri
2.5 MANFAAT DZIKIR DAN DOA
Dzikir atau mengucapkan kata-kata pujian yang
mengingat kebesaran Allah SWT, adalah
amalan istimewa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Dzikir merupakan media yang
membuat kehidupan Nabi dan para sahabat benar-benar hidup.
Ibnu al-Qoyyim
Rahimahullah mengatakan bahwa dzikir memiliki tujuh puluh tiga manfaat yaitu:
- Mengusir setan dan menjadikannya kecewa.
- Membuat Allah ridho.
- Menghilangkan rasa sedih,dan gelisah dari hati manusia.
- Membahagiakan dan melapangkan hati.
- Menguatkan hati dan badan.
- Menyinari wajah dan hati.
- Membuka lahan rezeki.
- Menghiasi orang yang berdzikir dengan pakaian kewibawaan, disenangi dan dicintai manusia.
- Melahirkan kecintaan.
- Mengangkat manusia ke maqam ihsan.
- Melahirkan inabah, ingin kembali kepada Allah.
- Orang yang berdzikir dekat dengan Allah.
- Pembuka semua pintu ilmu.
- Membantu seseorang merasakan kebesaran Allah.
- Menjadikan seorang hamba disebut disisi Allah.
- Menghidupkan hati.
- Menjadi makanan hati dan ruh.
- Membersihkan hati dari kotoran.
- Membersihkan dosa.
- Membuat jiwa dekat dengan Allah.
- Menolong hamba saat kesepian.
- Suara orang yang berdzikir dikenal di langit tertinggi.
- Penyelamat dari azab Allah.
- Menghadirkan ketenangan.
- Menjaga lidah dari perkataan yang dilarang.
- Majlis dzikir adalah majlis malaikat.
- Mendapatkan berkah Allah dimana saja.
- Tidak akan merugi dan menyesal di hari kiamat.
- Berada dibawah naungan Allah dihari kiamat.
- Mendapat pemberian yang paling berharga.
- Dzikir adalah ibadah yang paling afdhal.
- Dzikir adalah bunga dan pohon surga.
- Mendapat kebaikan dan anugerah yang tak terhingga.
- Tidak akan lalai terhadap diri dan Allah pun tidak melalaikannya.
- Dalam dzikir tersimpan kenikmatan surga dunia.
- Mendahului seorang hamba dalam segala situasi dan kondisi.
- Dzikir adalah cahaya di dunia dan akhirat.
- Dzikir sebagai pintu menuju Allah.
- Dzikir merupakan sumber kekuatan qalbu dan kemuliaan jiwa.
- Dzikir merupakan penyatu hati orang beriman dan pemecah hati musuh Allah.
- Mendekatkan kepada ahirat dan menjauhkan dari dunia.
- Menjadikan hati selalu terjaga.
- Dzikir adalah pohon ma’rifat dan pola hidup orang shalih.
- Pahala berdzikir sama dengan berinfak dan berjihad dijalan Allah.
- Dzikir adalah pangkal kesyukuran.
- Mendekatkan jiwa seorang hamba kepada Allah.
- Melembutkan hati.
- Menjadi obat hati.
- Dzikir sebagai modal dasar untuk mencintai Allah.
- Mendatangkan nikmat dan menolak bala.
- Allah dan Malaikatnya mengucapkan shalawat kepada pedzikir.
- Majlis dzikir adalah taman surga.
- Allah membanggakan para pedzikir kepada para malaikat.
- Orang yang berdzikir masuk surga dalam keadaan tersenyum.
- Dzikir adalah tujuan prioritas dari kewajiban beribadah.
- Semua kebaikan ada dalam dzikir.
- Melanggengkan dzikir dapat mengganti ibadah tathawwu’.
- Dzikir menolong untuk berbuat amal ketaatan.
- Menghilangkan rasa berat dan mempermudah yang susah.
- Menghilangkan rasa takut dan menimbulkan ketenangan jiwa.
- Memberikan kekuatan jasad.
- Menolak kefakiran.
- Pedzikir merupakan orang yang pertama bertemu dengan Allah.
- Pedzikir tidak akan dibangkitkan bersama para pendusta.
- Dengan dzikir rumah-rumah surga dibangun, dan kebun-kebun surga ditanami tumbuhan dzikir.
- Penghalang antara hamba dan jahannam.
- Malaikat memintakan ampun bagi orang yang berdzikir.
- Pegunungan dan hamparan bumi bergembira dengan adanya orang yang berdzikir.
- Membersihkan sifat munafik.
- Memberikan kenikmatan tak tertandingi.
- Wajah pedzikir paling cerah didunia dan bersinar di ahirat.
- Dzikir menambah saksi bagi seorang hamba di ahirat.
- Memalingkan seseorang dari membincangkan kebathilan.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
Dzikir merupakan
ibadah yang banyak disinggung baik dalam al-Qur’an maupun hadits. Dzikir
merupakan perintah Allah yang (sebenarnya) mestilah dilaksanakan setiap saat,
di manapun dan kapan pun. Dzikir bisa dilakukan dengan hati dan lisan, dan dengan
sendiri maupun dalam sebuah kelompok (majlis dzikir). Dzikir memiliki banyak
keutamaan, salah satunya adalah dapat membuat hati menjadi tenang.
Dzikir
boleh disuarakan ataupun tidak, bacaan yang hasrus dibaca pun juga fleksibel
yang memiliki makna mengingat dan mengagungkan Asma Allah. Ibnu al-Qoyyim
Rahimahullah mengatakan bahwa dzikir memiliki tujuh puluh tiga manfaat,
diantaranya yaitu:
1. Mengusir setan dan menjadikannya
kecewa.
2. Membuat Allah ridho
3. Menghilangkan rasa sedih,dan gelisah
dari hati manusia.
4. Membahagiakan dan melapangkan hati.
5. Menguatkan hati dan badan.
Dzikir
pun dipraktekkan dengan berbagai metode oleh masing – masing kelompok dalam
Islam meskipun pada hakikatnya mereka sama – sama meyakini bahwa dzikir
merupakan ajaran Nabi Muhammad SAW namun mereka memiliki pemahaman yang
berbeda.
Referensi
:
Athaillah, Ibnu,
2006, Zikir Penentram Hati, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
Junaidi,
Luqman,2007, The Power of Wirid, Bandung : Mizan.
M Yusuf Amin Nugroho, 2010, Fiqh al Ikhtilaf
NU-Muhammadiyah, Wonosobo : ebook, hal 96.
Risalah Amaliyah Nahdziyah, PCNU
kota Malang
PP. Muhammadiyah, Himpunan
Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah,Persatuan, Yogyakarta, 1974.
[1]
PP Rabithah Ma’hadil Islamiyah, Masalah Kegamaan: Hasil Muktamar dan Munas
Ulama Nahdhatul Ulama, Dinamika Press, Surabaya: 1977.
[2]
Risalah Amaliyah Nahdziyah, PCNU kota Malang
[3]
Zikir Penentram Hati, Ibn Athaillah, 2006, Serambi Ilmu Semesta, hal 51-52
[4]
PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah,Persatuan,
Yogyakarta, 1974.
[5]
Fiqh al Ikhtilaf NU-Muhammadiyah, M
Yusuf Amin Nugroho, 2010, Wonosobo : ebook, hal 96.
No comments:
Post a Comment