Tuesday, May 23, 2017

Dzikir dan Doa Menurut NU dan aliran lainnya




 

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang...........................................................................3
1.2  Rumusan Masalah......................................................................4
1.3  Tujuan Penulisan.......................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Dzikir dan Doa............................................................5
2.2 Tujuan Dzikir dan Doa..............................................................5
2.3 Hakikat Dzikir dan Doa.............................................................6
2.4 Metode Dzikir dan Doa.............................................................6
2.5 Manfaat Dzikir dan Doa...........................................................25
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Referensi

BAB I
PENDAHULUAN
1.1                   LATAR BELAKANG
Dzikir merupakan ibadah yang banyak disinggung baik dalam al-Qur’an maupun hadits. Dzikir merupakan perintah Allah yang (sebenarnya) mestilah dilaksanakan setiap saat, di manapun dan kapan pun. Dzikir bisa dilakukan dengan hati dan lisan, dan dengan sendiri maupun dalam sebuah kelompok (majlis dzikir). Dzikir memiliki banyak keutamaan, salah satunya adalah dapat membuat hati menjadi tenang. Karena itulah maka dzikir mesti kerap dilakukan, agar hati senantiasa tenang dan senantiasa mengingat Allah. Firman Allah:
2 $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#râè0øŒ$# ©!$# #[ø.ÏŒ #ZŽÏVx. ÇÍÊÈ
Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.
Rasulullah telah memberikan contoh berkaitan dengan bacaan-bacaan dzikir atau doa. Demikian pula, berkaitan dengan waktu-waktu di mana kita disunnahkan membaca dzikir tertentu, seperti dzikir setelah shalat, dan lain sebagainya. Namun, banyak orang yang tidak sama atau tidak sepaham memahami apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Sehingga muncul banyak perbedaan dalam melaksanakan hal tersebut. Apalagi dzikir – dzikir itu dilakukan oleh orang – orang dari berbagai adat sehingga ada kemungkinan dzikir tersebut disesuaikan dengan adat dan tradisi masyarakat setempat.
Di Indonesia, dikenal dua ormas besar yang memilki pengikut yang sangat banyak. Kedua ormas ini sebenarnya sama – sama menganut madzhab Syafi’i akan tetapi memilki pandangan berbeda untuk memahami berbagai ajaran Islam. Sehingga terdapat beberapa ikhtilaf dari kedua ormas besar Islam ini dalam beberapa hal. Diantaranya tentang penggunaan doa qunut pada saat mendirikan sholat subuh, perbedaan bacaan pada doa iftitah, dll.


1.2       RUMUSAN MASALAH
1.2.1       Bagaimana definisi dzikir dan doa?
1.2.2       Sebutkan tujuan dzikir dan doa?
1.2.3       Apa hakikat dari dzikir dan doa?
1.2.4       Sebutkan metode dzikir menurut toriqoh dan lembaga islam sebagai berikut:
1.2.4.1             Nahdlotul Ulama {NU}
1.2.4.2             Muhammadiyah
1.2.4.3             toriqoh Naqsabandiyah
1.2.4.4             toriqoh qodiriyah
1.2.5       Apa manfaat dzikir dan doa?
1.3       TUJUAN PENULISAN
1.3.1       Ingin mengetahui definisi dzikir dan doa
1.3.2       Ingin mengetahui tujuan dzikir dan doa
1.3.3       Ingin mengetahui hakikat dzikir dan doa
1.3.4       Ingin mengetahui metode dzikir menurut toriqoh dan lembaga islam tersebut
1.3.5       Ingin mengetahui manfaat dzikir dan doa

BAB II
PEMBAHASAN
2.1                   DEFINISI DZIKIR DAN DOA
Kata-kata doa dalam Al-Qur'an banyak sekali, masing-masing mempunyai pengertian tertentu, di antaranya dari QS. Yunus 106, QS. Al-Baqarah 23, QS. Ghafir 60, QS. Isra' 52, QS. Al-Isra' 110, dan QS. Yunus 10. Jadi Doa / berdoa adalah memohon dengan sepenuh hati kepada Allah SWT dengan mengharap kebaikan yang ada di sisi-Nya agar mengabulkan sesuatu yang sedang kita kehendaki. Sementara itu, pengertian dzikir/zikir sama halnya dengan do'a, dalam Al-Qur'an banyak menyebut kata Dzikir. Kalau menurut bahasa, kata Dzikir berarti "mengingat atau menyebut", serta hal lain yang ada dalam ayat Al-Qur'an yakni QS. Al-Qamar 17, QS. Ali Imran 58, QS. Az-Zuhruf 44, QS. Al-A'raf 68, QS. Al-Qomar 25, QS. Maryam 2, QS. Al-Ahzab:41.
Adapun pengertian Dzikir menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah ialah segala macam bentuk mengingat kepada Allah SWT baik dengan membaca tahlil, tasbih, tahmid, taqdis, takbir, tasmiyah, hasbalah, qira'atul Qur'an maupun membaca doa-doa yang ma'tsur dari Rasulullah SAW. Dalil-dalil yang mendasari rumusan definisi Dzikir semacam ini adalah dari QS. Al-Ahzab 41-42 serta sabda Nabi Muhammad saw: "Paling utamanya Dzikir adalah "laa ilaaha illah" (tidak ada Tuhan kecuali Allah swt), dan paling utamanya doa adalah "Alhamdulillah" (segala puji bagi Allah swt)." (HR. Ibnu Majah) serta masih banyak lagi dalil dan sunnah nabi mengenai doa dan dzikir ini.
2.2                   TUJUAN DZIKIR DAN DOA
Dzikir dilakukan dengan tujuan menghadirkan kalbu bersama Al Haqq. Pengulangan nama Allah dapat mengingatkan pada keagungan, kekuasaan dan tanda – tanda kebesarannya. Dzikir juga menjadi sarana untuk merenung dan bertadabbur. Setiap dzikir memberi pengaruh tertentu, disertai dengan terbukanya tirai penghalang hati orang yang berdzikir. Menurut Al Ghazali, dzikir memiliki tiga lapisan, inti yang menjadi hakikat ketenangan dan kehadiran yang Haqq. Pada lapisan kedua, dzikir menjadi sarana dan jalan untuk mencapai ketenanganhati. Sedangkan lapisan terluar hanya berupa dzikir lisan semata, namun hal inilah yang menjadi inti perjalanan menuju dzikir yang khusyu’ dan menenangkan. Seorang yang berdzikir selalu berusaha mengaplikasikan dzikir lisan disertai dengan usaha menghadirkan kalbu, karena kalbu membutuhkan penyesuaian dengan lisan agar sanggup menafsirkan dan menghadirkan makana dzikir  secara seutuhnya.
2.3          HAKIKAT DZIKIR DAN DOA
Hakikat Berdzikir
Dzikir berarti menyebut dan mengingat. Dzikrullah menyebut dan mengingat Allah SWT. Dzikir yang baik mencakup dua makna di atas; menyebut dan mengingat. Dzikir dengan hanya menyebut dengan lisan tanpa menghadirkan hati tetap bisa mendatangkan pahala, namun tentu dzikir macam ini berada pada tingkat yang paling rendah. Dzikir dengan lisan tanpa menghadirkan hati dan pikiran bisa saja memberi pengaruh terhadap hati dan keimanan seseorang, tetapi pengaruhnya tidak sebesar dzikir sambil menghadirkan hati. Paling baik adalah dzikir dengan lisan sambil menghadirkan hati.

2.4          METODE DZIKIR MENURUT:
            NAHDLOTUL ULAMA
NU menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al- Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. NU banyak menyesuaikan dengan berbagai adat, tradisi dan realitas yang ada di masyarakat. Sehingga banyak kalangan yang menjadi anggota ormas ini. Selain itu, NU juga sangat familiar di masyarakat umum. Sehingga seringkali orang awam mengatakan bahwa mereka mengikuti aliran NU.
Berkaitan dengan keutamaan-keutamaan dzikir, NU dan Muhammadiyah tidaklah berselisih pendapat. Perbedaan pendapat dalam masalah dzikir ada pada tata cara pelaksanaannya.
Di sebagian besar masjid yang menganut aliran NU menjadi basisnya, setiap kali ba‘da shalat biasa dilaksanakan dzikir berjamaah, yang mana dipimpin oleh imam shalat. Dzikir tersebut kemudian dilanjutkan dengan doa yang dipimpin imam dan diamini oleh makmum. Bukan hanya dzikir setelah shalat, NU juga memiliki tradisi melakukan puji-pujian (shalawat, syair, dll) yang dilantunkan sebelum shalat berjamaah. Di kalangan warga NU juga biasa digelar acara istighasah, mujahadah, atau dzikir akbar, yakni sebuah acara yang intinya adalah doa dan dzikir bersama dalam sebuah majlis dzikir. Sementara itu di masjid-masjid di mana warga Muhammadiyah menjadi mayoritas basisnya, tak ada dzikir berjamaah yang dipimpin oleh imam setelah shalat. Muhammadiyah tidak pula tertarik untuk menggelar dzikir atau doa bersama, atau istighasah.
Pembahasan masalah dzikir dan tata caranya di kalangan warga NU akan kami muat dalam tiga bagian. Petama, dzikir dan syair sebelum shalat berjamaah; kedua, dzikir dengan suara keras setelah shalat; dan ketiga, dzikir berjamaah (semisal istighasah. dsb) yang diselenggarakan secara khusus.
Ø     Dzikir sebelum Shalat Berjama’ah
Setelah adzan, kita tentunya kerap mendengar lantunan puji-pujian dari pengeras suara di masjid-masjid. Puji-pujian itu bisa syair yang berisi nasehat dan peringatan, shalawat (baik shalawat Nabi, Nariyah, dan lain sebagainya) maupun bacaan-bacaan dzikir yang lain. Dzikir dan syair biasanya dilakukan dengan menggunakan pengeras suara, diikuti oleh hampir seluruh orang yang hadir untuk menunggu datangnya imam shalat. Ketika imam telah datang dan iqamat dilantangkan, maka berhenti pula syair dan dzikir tersebut.
KH Muhyiddin Abdusshomad, telah menerangkan persoalan ini dalam situs resmi Nahdhatul Ulama. Menurutnya, membaca dzikir dan syair sebelum pelaksanaan shalat berjama'ah, adalah perbuatan yang baik dan dianjurkan. Anjuran ini bisa ditinjau dari beberapa sisi, pertama dari sisi dalil. Terdapat hadits yang menyatakan bahwa dahulu pada masa Rasulullah SAW. para sahabat juga membaca syair di masjid. Dalam sebuah hadits:
Dari Sa'id bin Musayyab, ia berkata:
“Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu”. Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah, Hassan melanjutkan perkataannya. Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus”. Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah mendengarnya).’ ” (HR. Abu Dawud)
Berkaitan dengan hadits di atas, Syaikh Isma’il az-Zain dalam Irsyadul Mu'minin ila Fadha'ili Dzikri Rabbil 'Alamin menjelaskan bahwa, melantunkan syair yang berisi puji-pujian, nasihat, pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid adalah sesuatu yang bukan dilarang oleh agama, dengan kata lain hukumnya adalah mubah.
Kedua, dilihat dari sisi syiar dan penanaman akidah umat, menurut KH Muhyiddin Abdusshomad, selain menambah syiar agama, amaliah tersebut juga merupakan strategi yang sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Karena di dalamnya terkandung beberapa pujian kepada Allah SWT, dzikir dan nasihat.
Ketiga, dari aspek psikologis, masih menurut KH Muhyiddin Abdusshomad, lantunan syair yang indah itu dapat menambah semangat dan mengkondisikan suasana. Dalam hal ini, tradisi yang telah berjalan di masyarakat tersebut dapat menjadi semacam warming up (persiapan) sebelum masuk ke tujuan inti, yakni shalat lima waktu.
Selain ketiga manfaat tersebut, syair dan dzikir yang dilantunkan sebelum shalat berjamaah bisa mengobati rasa jemu sembari menunggu waktu shalat jama'ah dilaksanakan. Juga agar para jama'ah tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu ketika menunggu shalat jama'ah dilaksanakan.
Berdasarkan dalil dan hujjah di atas, maka NU tetap melanggengkan tradisi melantunkan dzikir dan syair sebelum shalat berjamaah di masjid dan mushala. Namun begitu, perlu digaris bawahi, bahwa amalaiah ini tergantung pula pada situasi dan kondisi, tidak dibenarkan apabila sampai mengganggu orang yang shalat dan membuat bising masyarakat di sekitar masjid atau mushala.
Ø     Dzikir Sesudah Shalat
Kita tahu, bahwa salah satu tujuan dzikir adalah untuk meraih ketenangan, agar kita bisa lebih dekat dengan Allah Swt. Untuk mencapai tujuan itu, tentu dibutuhkan dzikir yang tidak hanya sekedar ucapan lisan, melainkan membutuhkan kesungguhan hati, dalam kata lain bahwa dzikir mestilah dilakukan dengan khusuk.
KH. Cholil Nafis, seorang ulama NU menulis, dzikir harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, jiwa yang tulus, dan hati yang khusyu' penuh khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan hati yang khusyu' itu diperlukan perjuangan yang tidak ringan. Cara untuk khusuk, menurutnya, berbeda-beda setiap orang. Bisa jadi satu orang lebih khusyu' kalau berdzikir dengan cara duduk menghadap kiblat, sementara yang lain akan lebih khusyu' dan khidmat jika berdzikir dengan cara berdiri atau berjalan, ada pula dengan cara mengeraskan dzikir atau dengan cara dzikir pelan dan hampir tidak bersuara untuk mendatangkan konsentrasi dan ke-khusyu'-an.
Satu sisi, memang terdapat dalil-dalil yang menyuruh umat muslim untuk berdzikir dengan suara yang lemah lembut, dan pada sisi yang lain terdapat pula dalil yang membolehkan untuk berdzikir dengan suara keras. NU menganggap dalil-dalil tersebut, baik antara Al-Qur’an dengan hadits, maupun hadits dengan hadits, tidaklah saling bertentangan, karena masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri, yakni disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Beberapa dalil yang menunjukkan kebolehan dzikir dengan suara keras setelah shalat antara lain hadits riwayat Ibnu Abbas: “Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras) apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan masjid.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Adra’ juga pernah berkata: "Pernah saya berjalan bersama Rasulullah SAW lalu bertemu dengan seorang laki-laki di Masjid yang sedang mengeraskan suaranya untuk berdzikir. Saya berkata, wahai Rasulullah mungkin dia (melakukan itu) dalam keadaan riya'. Rasulullah SAW menjawab: "Tidak, tapi dia sedang mencari ketenangan."
Sementara dalil yang menjelaskan keutamaan berdzikir dengan secara pelan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Sa'd bin Malik bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: "Keutamaan dzikir adalah yang pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi."
Mengutip penjelasan Imam Nawawi sebagai berikut:
“Imam Nawawi mengkompromikan (al-jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadits yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya', mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan kantuk serta menambah semangat." (Ruhul Bayan, Juz III).
Pendapat Imam Nawawi, sebagai juru bicara dari Madzhab Syafi'i, sejalan dengan keterangan yang ditulis Imam Syafi'i dalam kitab Al-Umm, bahwasanya tujuan Nabi SAW mengeraskan suaranya ketika berdzikir adalah untuk  mengajari orang-orang yang belum bisa melakukannya, dan jika amalan tersebut untuk hanya pengajaran maka biasanya tidak dilakukan secara terus menerus.
Masalah dzikir dengan suara keras juga disinggung dalam Fathul Mu’in karangan Imam Zainuddin al-Malibari, kitab yang sering dijadikan rujukan kaum Nahdliyin. Dalam kitab tersebut didapat keterangan bahwa berdzikir dengan suara pelan setelah shalat adalah sunnah, baik bagi orang yang shalat sendirian, maupun berjamaah, imam yang tidak bermaksud mengajarkannya dan tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya supaya diamini mereka.
Dari keterangan Zainuddin al-Malibari tersebut maka didapati hukum berdzikir dengan suara keras setelah shalat adalah boleh. Jelaslah sekarang, bahwa NU tidak mewajibkan atau mengharuskan warganya untuk berdzikir dengan suara keras, melainkan tergantung kepada situasi dan kondisi, jika dalam kondisi ingin mengajarkan, membimbing dan menambah ke-khusyu’- an maka mengeraskan suara dzikir itu hukumnya sunnah dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bahkan dalam beberapa keadaan sangat dianjurkan untuk mengeraskan dzikir, demikian menurut Chalil Nafis.
Ø     Dzikir Berjamaah
Salah satu amaliyah warga NU yang terkenal dan mengundang kontroversi dari ormas lain adalah istighasah. Arti istighasah adalah memohon pertolongan kepada Allah SWT. Pelaksanaan istighasah diisi dengan doa-doa dan dzikir-dzikir tertentu yang dibaca secara berjamaah dan dipimpin oleh seorang imam istighasah.
Disebutkan dalam buku Antologi NU[1], bahwa dalam skala besar, PBNU telah beberapa kali menggelar itighasah nasional, yang dihadiri lebih dari satu juga kaum Nahdliyin. Pernah diadakan di lapangan Parkir Monas Jakarta, dan Lapangan Makodam V Brawijaya Surabaya. Di semua tingkat kepengurusan NU, selalu akrab dengan budaya istighasah tersebut, kadang menggunakan istilah istighasah kubro, istighasah nasional, dan lain sebagainya.
Dzikir yang dibaca dalam istighasah dikalangan NU memakai dzikir yang dibakukan oleh Jami’iyah Ahli Thariqah al-Muktabarah an-Nahdliyah, ijazah dari Sayikhana Chili Bangkalan. Dalil dianjurkanya istighasah, atau dzikir berjamaah antara lain Al-Qur’an surat al-Imran ayat 191: (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Q.S. al-Imran: 191)
Ada beberapa kalangan yang mengutip dari pendapat dari Syaikh Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al-Khumayyis dalam “Adz-Dzikr al-Jama’i baina al-Ittiba’ wal Ibtida’. Menurutnya, sighat (konteks) jama’ dalam ayat di atas (yakni kata “yadzkuruna”) adalah sebagai anjuran yang bersifat umum dan menyeluruh kepada semua umat Islam untuk berdzikir kepada Allah SWT tanpa kecuali, bukan anjuran untuk melakukan dzikir berjama'ah. Selain itu jika sighat jama’ dalam ayat tersebut dipahami sebagai anjuran untuk melakukan dzikir secara berjama'ah atau bersama-sama maka kita akan kebingungan dalam memahami kelanjutan ayat tersebut.
Dalam buku Risalah Amaliah NU, PCNU Kota Malang[2]. Di sana dibeberkan dalil-dalil lain yang membolehkan dzikir berjamaah, termasuk juga istighasah. Bahwa Rasulullah dan para para sahabat pernah melantunkan syair (Qasidah/Nasyidah) di saat menggali khandaq (parit). Rasulullah SAW dan para sahabat  bersenandung bersama sama dengan ucapan: "Haamiiim laa yunsharuun..". Cerita ini termuat dalam buku sejarah tertua, yakni Kitab Sirah Ibn Hisyam Bab Ghazwah Khandaq. Kitab ini dikarang oleh seorang tabi’in sehingga datanya dianggap lebih valid. Pada bab Hijraturrasul SAW - bina' masjidissyarif, sebagaimana tertulis dalam Risalah Amaliyah NU, para sahabat juga bersenandung saat membangun membangun Masjidirrasul SAW.
Selain dalil di atas, juga ada hadits Qudsy yang menyatakan anjuran untuk berdoa, berdzikir baik dengan sirran wa jahran (pelan dan terang), di dalam hati  dalam keadaan sendiri maupun berjamaah. "Bila ia (hambaku) menyebut nama-Ku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam Diriku, bila mereka menyebut nama-Ku dalam kelompok besar, maka Aku pun menyebut (membanggakan) nama mereka dalam kelompok yg lebih besar dan lebih mulia" (HR Muslim).
Selain itu, sabda Rasulullah SAW juga telah bersabda: “Sungguh Allah memiliki malaikat yang beredar di muka bumi mengikuti dan menghadiri majelis -  majelis dzikir, bila mereka menemukannya maka mereka berkumpul dan berdesakan hingga memenuhi antara hadirin hingga langit dunia, bila majelis selesai maka para malaikat itu berpencar dan kembali ke langit, dan Allah bertanya pada mereka dan Allah Maha Tahu : “Darimana kalian?” Mereka menjawab: ‘Kami datang dari hamba- hamba Mu, mereka berdoa pada-Mu, bertasbih pada-Mu, bertahlil pada-Mu, bertahmid pada-Mu, bertakbir pada-Mu, dan meminta kepada-Mu, Maka Allah bertanya: “Apa yang mereka minta?”, Malaikat berkata: ‘Mereka meminta surga, Allah berkata: Apakah mereka telah melihat surgaku?, Malaikat menjawab: ‘Tidak.’ Allah berkata : “Bagaimana bila mereka melihatnya?”. Malaikat berkata: ‘Mereka meminta perlindungan-Mu, Allah berkata: “mereka meminta perlindungan dari apa?”, Malaikat berkata: “Dari api neraka”, Allah berkata: “Apakah mereka telah melihat nerakaku?”, Malaikat menjawab, ‘tidak.’ Allah berkata: ‘Bagaimana kalau mereka melihat neraka-Ku. Malaikat berkata: ‘Mereka beristighfar pada-Mu.’ Allah berkata: “Sudah Kuampuni mereka, sudah Kuberi permintaan mereka, dan sudah Kulindungi mereka dari apa apa yg mereka minta perlindungan darinya”. Malaikat berkata: “Wahai Allah, diantara mereka ada si fulan hamba pendosa, ia hanya lewat lalu ikut duduk bersama mereka, Allah berkata: ‘Baginya pengampunanku, dan mereka (ahlu dzikir) adalah kaum yg tidak ada yang dihinakan siapa-siapa yang duduk bersama mereka”.
v Bacaan dzikir menurut NU :
أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ العَظِيْمِ الَذِي لاَاِلَهَ الاَّ هُوَ الحَيُّ القَيُومُ وَ أَتُوْبُ إِلَيْكَ (3 )
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير(3)
اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ إلَيْكَ يَعُوْدُ السَلاَمَ فحَيِّنَا رَبَّنَا بالسَلاَمِ  وَ أَدْخِلْنَا جَنَّةَ دَارَ السَلاَمِ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَ تَعَالَيْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالْإِكْرَامِ.
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÊÈ   ßôJysø9$# ¬! Å_Uu šúüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ   Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÌÈ   Å7Î=»tB ÏQöqtƒ ÉúïÏe$!$# ÇÍÈ   x$­ƒÎ) ßç7÷ètR y$­ƒÎ)ur ÚúüÏètGó¡nS ÇÎÈ   $tRÏ÷d$# xÞºuŽÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ   xÞºuŽÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã ÎŽöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ Ÿwur tûüÏj9!$žÒ9$#    ª!$# Iw tm»s9Î) žwÎ) uqèd ÓyÕø9$# ãPqs)ø9$# 4 Ÿw ¼çnäè{ù's? ×puZÅ Ÿwur ×PöqtR 4 ¼çm©9 $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 3 `tB #sŒ Ï%©!$# ßìxÿô±o ÿ¼çnyYÏã žwÎ) ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ 4 ãNn=÷ètƒ $tB šú÷üt/ óOÎgƒÏ÷ƒr& $tBur öNßgxÿù=yz ( Ÿwur tbqäÜŠÅsム&äóÓy´Î/ ô`ÏiB ÿ¾ÏmÏJù=Ïã žwÎ) $yJÎ/ uä!$x© 4 yìÅur çmÅöä. ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur ( Ÿwur ¼çnߊqä«tƒ $uKßgÝàøÿÏm 4 uqèdur Í?yèø9$# ÞOŠÏàyèø9$# ÇËÎÎÈ      
سُبْحَانَ اللهِ(33)، اَلَْحَمْدَُ اللَّهَ (33)، اللهُ أَكْبَرُ(33 (
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ حيٌّ مَوْجُوْدٌ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ حيٌّ مَعْبُوْدٌ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ حيٌّ بَاقٍ
أفضَلُ الذِكْرِ فَعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ (33)
ü     Dzikir dengan Bersuara menurut Hadits
Diceritakan bahwa Abu Bakar RA biasa merendahkan suaranya ketika sholat malam. Ia tidak mau menyaringkan bacaannya. Sebaliknya Umar bin Khattab selalu menyaringkan suaranya ketika shalat. Maka kemudian Rasulullah bertanya pada Abu Bakar mengenai sikapnya tersebut dan Abu Bakar menjawab : “ Zat yang kuseru mendengar semua ucapanku”. Kemudian Rasulullah bertanya pada Umar bin Khattab dan Umar menjawab : “ Aku ingin memmbangkitkan kesadaran, mengusir setan, dan membuat ridho Ar Rahman”. Mendengar hal tersebut Rasulullah menyuruh Umar untuk sedikit merendahkan suaranya dan meminta Abu Bakar untuk mengangkat suaranya. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah menganjurkan untuk bersuara tapi tidak sampai meninggikan suara[3].
Kolektivitas dalam berdzikir pun juga disyariatkan, dzikir yang dilakukan secara berjamaah ibarat adzan yang dilakukan secara bersamaan pula yaitu dapat menembus gumpalan udara yang tak sanggup ditembus seorang muadzin saja. Begitu pula dengan dzikir, dzikir berjamaah diharapkan dapat memberikan kekuatan dan pengaruh ke kalbu serta dapat mengangkat hijab yang menutup kalbu. Seorang yang mengikuti dzikir secara berjamaah juga akan mendapatkan pahala dzikir individu dan dzikir jamaah sebagaimana dalam sholat, sholat berjamaah lebih utama daripada sholat sendiri.
Ketika dzikir dilakukan secara berjamaah maka dianjurkan untuk mengeraskan suara dan dengan ritme yang sama, sehingga akan timbul rasa kebersamaan. Sedangkan untuk dzikir individu, bagi orang khusus dzikr boleh dengan sirr(suara rendah) sedangkan untuk orang awam hendaknya mengeraskan suara.
MUHAMMADIYAH
Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Muhammadiyah dikenal sebagai pelopor gerakan tajdid (pembaruan). Tajdid yang dilakukan pendiri Muhammadiyah itu bersifat pemurnian (purifikasi) dan perubahan ke arah kemajuan (dinamisasi), yang semuanya berpijak pada pemahaman tentang Islam yang kokoh dan luas. Dengan pandangan Islam yang demikian Kyai Dahlan tidak hanya berhasil melakukan pembinaan yang kokoh dalam akidah, ibadah, dan akhlak kaum muslimin, tetapi sekaligus melakukan pembaruan dalam amaliah mu‘amalat dunyawiyah sehingga Islam menjadi agama yang menyebarkan kemajuan.
Dalam Tarjih yang dikeluarkan oleh Lembaga Majelis Tarjih atau Lajnah Tarjih Muhammadiyah[4], setelah shalat berjamaah imam menghadap ke arah ma‘mum sisi kanan. Landasannya, salah satunya adalah hadits dari Samarah yang artinya sebagai berikut : “Adalah Nabi SAW, apabila telah selesai mengerjakan shalat beliau menghadap mukanya kepada kita”. Selain itu, Tarjih juga menyatakan agar setelah selesai shalat berjamaah, supaya jamaah shalat duduk sebentar. Dasarnya ialah hadits Abu Hurairah berikut : “Sesungguhnya para malaikat memintakan rahmat untuk salah seorang dari kamu selama masih duduk di tempat shalatnya dan sebelum berhadats; para malaikat mendoakan: “Ya Allah, ampunilah dosanya dan kasihanilah ia.”
Sementara, dalam Suara Muhammadiyah pernah dijawab mengenai masalah dzikir dengan suara keras setelah shalat, telah kutip ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang berhubungan dengan dzikir dan doa, meskipun tidak semuanya. Memang, terdapat sebuah hadits yang dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah melakukan dzikir dengan suara keras. Yaitu, hadits yang artinya sebagai berikut: “Dahulu kami mengetahui selesainya shalat pada masa Nabi karena  suara dzikir yang keras".
Namun demikian hadits tersebut, dianggap bertentangan dengan al-Qur’an dan beberapa hadits lainnya. Dalam surat Al-A’raf ayat 55 Allah berfirman: Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (Q.S Al-A’raf: 55)
Surat Al-A’raf ayat 205:
Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (Q.S. Al-A’raf: 205)
Dari dua ayat tersebut, Muhammadiyah berpendapat bahwa Allah memerintahkan kepada kaum muslimin agar berdoa dan berdzikir dengan merendahkan diri, dalam arti lain tidak dengan mengeraskan suara. Untuk menegaskan pendapat tersebut, Muhammadiyah mendasarkannya pada hadits, yakni sebagai berikut: “Diriwayatkan dari Abu Musa, ia berkata: Kami pernah bersama Nabi SAW dalam suatu perjalanan, kemudian orang-orang mengeraskan suara dengan bertakbir. Lalu Nabi SAW bersabda: Wahai manusia, rendahkanlah suaramu. Sebab sesungguhnya kamu tidak berdoa kepada (Tuhan) yang tuli, dan tidak pula jauh, tetapi kamu sedang berdoa kepada (Allah) Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat.” (HR. Muslim)
Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda: “Wahai sekalian manusia, masing-masing kalian bermunajat (berbisik-bisik) kepada Rabb kalian, maka janganlah sebagian kalian  men-jahr-kan bacaannya dengan mengganggu sebagian yang lain.” Al-Baghawi menambahkan hadits tersebut dengan sanad yang kuat. "Sehingga mengganggu kaum mukminin lain (yang sedang bermunajat)". Sehingga Muhammadiyah tidak menganjurkan dan tidak membiasakan dzikir dengan suara yang keras. Pada masyarakat Muhammadiyah, dzikir setelah sholat dilaksanakan secara individu dan tidak dengan jahr.
Bacaan dzikir menurut Himpunan Tarjih wa Tajdid Muhammadiyah :
أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ ، أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ ، أَسْتَغْفِرُ اللَّه
اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالْإِكْرَامِ
لاَإِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ وَلَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
لاَ إِلَهَ إِلاََّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
سُبْحَانَ اللهِ(33)، اَلَْحَمْدَُ اللَّهَ (33)، اللهُ أَكْبَرُ(33 (
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ اْلبُخْلِ وَاَعُوْذُبِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
رَبِّ قِنِي عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ أَوْ تَجْمَعُ عِبَادَكَ[5]
TORIQOH NAQSABANDIYAH
Tarekat Naqsabandiyah, silsilah spiritualnya kepada Nabi Muhammad adalah melalui khalifah Hadhrat Sayyidina Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu, sementara kebanyakan tarekat-tarekat lain silsilahnya melalui khalifah Hadhrat Sayyidina Ali bin Abu Thalib Karramallahu Wajhahu. Tarekat ini mengutamakan pada pemahaman hakikat dan tasawuf yang mengandung unsur-unsur pemahaman rohani yang spesifik, bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14. Ciri yang menonjol dari tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari'at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).
Silsilah tarekat Naqsyabandiyah secara lengkapnya adalah sebagai berikut
Rasulullah SAW--- Abu Bakar Ash Shiddiq---Salman Al Farisi---Qasim bi Muhammad---Imam Ja’far Shadiq---Abu Yazid Busthami---Abu Hasan Ali bin Ja’far al Kharqani---Abu Ali Al Fadhal bin Muhammad Al Thusi Al Farmadi---Abu Ya’kub Yusuf Al Hamdani bin Ayyub bin Yusuf bin Husin---Abdul Khaliq Al Fajduwani bin Imam Abdul Jamil---Arif Al Riyukuri---Mahmud Al Anjiru Al Faghnawi---Ali Al Ramituni atau Syekh Azizan---Muhammad Baba As Samasi---Amir Kulal bin Sayid Hamzah---BahauddinNaqsyabandi.

Dasar ajaran Tarekat Naqsyabandiyah
1). “Huwasy Dardam”, yaitu pemeliharaan keluar masuknya nafas, supaya hati tidak lupa kepada Allah SWT.
2). “Nazhar Barqadlam” tidak boleh memperluas pandangan.
3). “Safar Darwathan” yaitu perpindahan dari sifat kemanusiaan yang kotor dan rendah, kepada sifat-sifat kemalaikatan yang bersih dan suci lagi utama.
4). “Khalwat Daranjaman” yaitu setiap murid atau salik harus selalu menghadirkan hati kepada Allah SWT dalam segala keadaan.
5). “Ya Dakrad” yaitu selalu berkekalan zikir kepada Allah SWT, baik zikir ismus zat (menyebut Allah, Allah), zikir nafi isbat (menyebut la ilaha ilallah), sampai yang disebut dalam zikir itu hadir.
6). “Bar Kasyat” yaitu orang yang berzikir nafi isbat setelah melepaskan nafasnya, kembali munajat kepada Allah dengan mengucapkan kalimat yang mulia.
7).“Nakah Dasyat” yaitu setiap murid atau salik harus memelihara hatinya dari kemasukan sesuatu yang dapat menggoda dan mengganggunya, walaupun hanya sebentar.
8).“Bad Dasyat” yaitu tawajuh atau pemusatan perhatian sepenuhnya pada musyahadah
9).“Wuquf Zamani” yaitu kontrol yang dilakukan oleh seorang murid atau salik tentang ingat atau tidaknya ia kepada Allah SWT setiap dua atau tiga jam.
10).“Wuquf ‘Adadi” yaitu memelihara bilangan ganjil dalam menyelesaikan zikir nafi isbat,
11).“Wuquf Qalbi” yaitu sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Ubaidullah Al- Ahrar, “Keadaan hati seorang murid atau salik yang selalu hadir bersama Allah SWT”.
Tingkatan dzikir dalam tarekat ini ada tujuh, yaitu:
1. Mukasyafah
Dzikir dengan menyebut nama Allah dalam hati sebanyak 5.000 atau 6.000 kalisetiap hari.
2. Lathaif
Setelah melaporkan pada Syekh tentang apa yang dialami ketika berdzikir, Syekh akan terus menaikkan jumlah dzikirnya menjadi 7.000, 8.000, demikian seterusnya sampai 11.000 kali.
Pembagian dzikir Lathaif
:
A.    Lathifatul Qalbi, dzikir sebanyak 5.000 kali ditempatkan di bawah tetek sebelah kiri, kurang lebih 2 jari dari rusuk.
B.      Lathiful Roh, dzikir sebanyak 1.000 kali ditempatkan di bawah tetek sebelah kanan, kurang lebih 2 jari ke arah dada.
C.      Lathifatul Sirri, dzikir sebanyak 1.000 kali ditempatkan di atas dada kiri, kurang lebih 2 jari ke kanan.
D.     Lathifatul Khafi, dzikir sebanyak 1.000 kali ditempatkan di atas dada kanan, kurang lebih 2 jari ke arah dada.
E.     Lathifatul Akhfa, dzikir sebanyak 1.000 kali di tengah-tengah dada.
F.      Lathifatu Nafsin Nathiqah, dzikir sebanyak 1.000 kali di atas kening.
G.    Lathifatu Kullil Jasad, dzikir sebanyak 1.000 kali di seluruh tubuh.
3. Nafi’ Setelah 11.000 kali, kalimat dzikir diganti “Laa ilaaha illallaah”.
4.  Wuqub Qalbi
5.  Ahdian
6.    Ma’iah
7.    Tahlil
Setelah maqam ini, untuk laki-laki akan diangkat menjadi khalifah, dan bagi
perempuan ini adalah maqam tertinggi.
TORIQOH QODIRIYAH
Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi,Syeikh Abdul Qodir Jaelani tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535 H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah. Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M. Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M. Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri,"Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya." Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei (1550 M), Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah, Waslatiyyah. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah, 'Urabiyyah, Yafi'iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla'iyah. Sedangkan di Afrika terdapat tarekat Ammariyah, Bakka'iyah, Bu' Aliyya, Manzaliyah dan tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul Qodir Jilani. Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol dan diduga setelah keturunannya pindah dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen pada tahun 1492 M dan makam mereka disebut "Syurafa Jilala".
Dari ketaudanan Nabi dan sabahat Ali RA dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT tersebut, yang kemudian disebut tarekat, maka tarekat Qodiriyah menurut ulama sufi juga memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk mendekat dan mendapat ridho dari Allah swt. Oleh sebab itu dengan tarekat manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang tercela yang harus ditinggalkannya. Misalnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir "Laa ilaha Illa Allah" dengan suara nyaring, keras (dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah contoh ucapan dzikir dari Syiekh Abdul Qadir Jaelani dari Sayidina Ali bin Abi Thalib RA, hingga disebut tarekat Qodiriyah. Selain itu dalam setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya' dan Subuh), diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih , lalu membaca salawat tiga kali, Laailaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali. Sedangkan di luar shalat agar berdzikir semampunya. Dalam mengucapkan lafadz Laa pada kalimat "Laa Ilaha Illa Allah" kita harus konsentrasi dengan menarik nafas dari perut sampai ke otak. Kemudian disusul dengan bacaan Ilaha dari arah kanan dan diteruskan dengan membaca Illa Allah ke arah kiri dengan penuh konsentrasi, menghayati dan merenungi arti yang sedalam-dalamnya, dan hanya Allah swt-lah tempat manusia kembali. Sehingga akan menjadikan diri dan jiwanya tentram dan terhindar dari sifat dan perilaku yang tercela. Menurut ulama sufi (al-Futuhat al-Rubbaniyah), melalui tarekat mu'tabarah tersebut, setiap muslim dalam mengamalkannya akan memiliki keistimewaan, kelebihan dan karomah masing-masing. Ada yang terkenal sebagai ahli ilmu agama seperti sahabat Umar bin Khattab, ahli syiddatil haya' sahabat Usman bin Affan, ahli jihad fisabilillah sahabat Hamzah dan Khalid bin Walid, ahli falak Zaid al-Farisi, ahli syiir Hasan bin Tsabit, ahli lagu Alquran sahabat Abdillah bin Mas'ud dan Ubay bin Ka'ab, ahli hadis Abi Hurairah, ahli adzan sahabat Bilal dan Ibni Ummi Maktum, ahli mencatat wahyu dari Nabi Muhammad saw adalah sahabat Zaid bin Tsabit, ahli zuhud Abi Dzarr, ahli fiqh Mu'ad bin Jabal, ahli politik peperangan sahabat Salman al-Farisi, ahli berdagang adalah Abdurrahman bin A'uf dan sebagainya. Bai'at Untuk mengamalkan tarekat tersebut melalui tahapan-tahan seperti pertama, adanya pertemuan guru (syeikh) dan murid, murid mengerjakan salat dua rakaat (sunnah muthalaq) lebih dahulu, diteruskan dengan membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz Laailaha Illa Allah, dan guru mengucapkan "infahna binafhihi minka" dan dilanjutkan dengan ayat mubaya'ah (QS Al-Fath 10). Kemudian guru mendengarkan kalimat tauhid (Laa Ilaha Illallah) sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat sebagai murid, berdoa dan minum. Kedua, tahap perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Karena murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari Allah seperti yang diberikan pada para nabi dan wali. Tarekat (thariqah) secara harfiah berarti "jalan" sama seperti syariah, sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati ajaran-ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam Alquran, seperti QS Al-Jin:16," Kalau saja mereka berjalan dengan teguh di atas thariqah, maka Kami (Allah) pasti akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan sejati) yang melimpah ruah". Istilah thariqah dalam perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna semantik perkataan itu, semua yang terjadi pada syariah untuk ilmu hukum Islam. Setiap ajaran esoterik/bathini mengandung segi-segi eksklusif. Jadi, tak bisa dibuat untuk orang umum (awam). Segi-segi eksklusif tersebut misalnya menyangkut hal-hal yang bersifat "rahasia" yang bobot kerohaniannya berat, sehingga membuatnya sukar dimengerti. Oleh sebab itu mengamalkan tarekat itu harus melalui guru (mursyid) dengan bai'at dan guru yang mengajarkannya harus mendapat ijazah, talqin dan wewenang dari guru tarekat sebelumnya. Seperti terlihat pada silsilah ulama sufi dari Rasulullah saw, sahabat, ulama sufi di dunia Islam sampai ke ulama sufi di Indonesia. Qodiriyah di Indonesia Seperti halnya tarekat di Timur Tengah. Sejarah tarekat Qodiriyah di Indonesia juga berasal dari Makkah al-Musyarrafah. Tarekat Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syeikh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syeikh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran tarekat Qodiriyah. Murid-murid Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura setelah pulang ke Indonesia menjadi penyebar Tarekat Qodiriyah tersebut. Tarekat ini mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19, terutama ketika menghadapi penjajahan Belanda. Sebagaimana diakui oleh Annemerie Schimmel dalam bukunya "Mystical Dimensions of Islam" hal. 236 yang menyebutkan bahwa tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan untuk menandingi kekuatan lain. Juga di Indonesia, pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten Jawa Barat dilanda pemberontakan. Pemberontakan petani yang seringkali disertai harapan yang mesianistik, memang sudah biasa terjadi di Jawa, terutama dalam abad ke-19 dan Banten merupakan salah satu daerah yang sering berontak. Tapi, pemberontakan kali ini benar-benar mengguncang Belanda, karena pemberontakan itu dipimpin oleh para ulama dan kiai. Dari hasil penyelidikan (Belanda, Martin van Bruneissen) menunjukkan mereka itu pengikut tarekat Qodiriyah, Syeikh Abdul Karim bersama khalifahnya yaitu KH Marzuki, adalah pemimpin pemberontakan tersebut hingga Belanda kewalahan. Pada tahun 1891 pemberontakan yang sama terjadi di Praya, Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan pada tahun 1903 KH Khasan Mukmin dari Sidoarjo Jatim serta KH Khasan Tafsir dari Krapyak Yogyakarta, juga melakukan pemberontakan yang sama. Sementara itu organisasi agama yang tidak bisa dilepaskan dari tarekat Qodiriyah adalah organisasi tebrbesar Islam Nahdlaltul Ulama (NU) yang berdiri di Surabaya pada tahun 1926. Bahkan tarekat yang dikenal sebagai Qadariyah Naqsabandiyah sudah menjadi organisasi resmi di Indonesia. Juga pada organisasi Islam Al-Washliyah dan lain-lainnya. Dalam kitab Miftahus Shudur yang ditulis KH Ahmad Shohibulwafa Tadjul Arifin (Mbah Anom) di Pimpinan Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya Jabar dalam silsilah tarekatnya menempati urutan ke-37, sampai merujuk pada Nabi Muhammad saw, Sayyidina Ali ra, Abdul Qadir Jilani dan Syeikh Khatib Sambas ke-34. Sama halnya dengan silsilah tarekat almrhum KH Mustain Romli, Pengasuh Pesantren Rejoso Jombang Jatim, yang menduduki urutan ke-41 dan Khatib Sambas ke-35. Bahwa beliau mendapat talqin dan baiat dari KH Moh Kholil Rejoso Jombang, KH Moh Kholil dari Syeikh Khatib Sambas ibn Abdul Ghaffar yang alim dan arifillah (telah mempunyai ma'rifat kepada Allah) yang berdiam di Makkah di Kampung Suqul Lail. Silsilahnya. 1. M Mustain Romli, 2, Usman Ishaq, 3. Moh Romli Tamim, 4. Moh Kholil, 5. Ahmad Hasbullah ibn Muhammad Madura, 6. Abdul Karim, 7. Ahmad Khotib Sambas ibn Abdul Gaffar, 8. Syamsuddin, 9. Moh. Murod, 10. Abdul Fattah, 11. Kamaluddin, 12. Usman, 13. Abdurrahim, 14. Abu Bakar, 15. Yahya, 16. Hisyamuddin, 17. Waliyuddin, 18. Nuruddin, 19. Zainuddin, 20. Syarafuddin, 21. Syamsuddin, 22. Moh Hattak, 23. Syeikh Abdul Qadir Jilani, 24. Ibu Said Al-Mubarak Al-Mahzumi, 25. Abu Hasan Ali al-Hakkari, 26. Abul Faraj al-Thusi, 27. Abdul Wahid al-Tamimi, 28. Abu Bakar Dulafi al-Syibli, 29. Abul Qasim al-Junaid al-Bagdadi, 30. Sari al-Saqathi, 31. Ma'ruf al-Karkhi, 32. Abul Hasan Ali ibn Musa al-Ridho, 33. Musa al-Kadzim, 34. Ja'far Shodiq, 35. Muhammad al-Baqir, 36. Imam Zainul Abidin, 37. Sayyidina Husein, 38. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, 39. Sayyidina Nabi Muhammad saw, 40. Sayyiduna Jibril dan 41. Allah Swt. Masalah silsilah tersebut memang berbeda satu sama lain, karena ada yang disebut seecara keseluruhan dan sebaliknya. Di samping berbeda pula guru di antara para kiai itu sendiri
2.5          MANFAAT DZIKIR DAN DOA
Dzikir atau mengucapkan kata-kata pujian yang mengingat kebesaran Allah SWT, adalah amalan istimewa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Dzikir merupakan media yang membuat kehidupan Nabi dan para sahabat benar-benar hidup.
Ibnu al-Qoyyim Rahimahullah mengatakan bahwa dzikir memiliki tujuh puluh tiga manfaat yaitu:
  1. Mengusir setan dan menjadikannya kecewa.
  2. Membuat Allah ridho.
  3. Menghilangkan rasa sedih,dan gelisah dari hati manusia.
  4. Membahagiakan dan melapangkan hati.
  5. Menguatkan hati dan badan.
  6. Menyinari wajah dan hati.
  7. Membuka lahan rezeki.
  8. Menghiasi orang yang berdzikir dengan pakaian kewibawaan, disenangi dan dicintai manusia.
  9. Melahirkan kecintaan.
  10. Mengangkat manusia ke maqam ihsan.
  11. Melahirkan inabah, ingin kembali kepada Allah.
  12. Orang yang berdzikir dekat dengan Allah.
  13. Pembuka semua pintu ilmu.
  14. Membantu seseorang merasakan kebesaran Allah.
  15. Menjadikan seorang hamba disebut disisi Allah.
  16. Menghidupkan hati.
  17. Menjadi makanan hati dan ruh.
  18. Membersihkan hati dari kotoran.
  19. Membersihkan dosa.
  20. Membuat jiwa dekat dengan Allah.
  21. Menolong hamba saat kesepian.
  22. Suara orang yang berdzikir dikenal di langit tertinggi.
  23. Penyelamat dari azab Allah.
  24. Menghadirkan ketenangan.
  25. Menjaga lidah dari perkataan yang dilarang.
  26. Majlis dzikir adalah majlis malaikat.
  27. Mendapatkan berkah Allah dimana saja.
  28. Tidak akan merugi dan menyesal di hari kiamat.
  29. Berada dibawah naungan Allah dihari kiamat.
  30. Mendapat pemberian yang paling berharga.
  31. Dzikir adalah ibadah yang paling afdhal.
  32. Dzikir adalah bunga dan pohon surga.
  33. Mendapat kebaikan dan anugerah yang tak terhingga.
  34. Tidak akan lalai terhadap diri dan Allah pun tidak melalaikannya.
  35. Dalam dzikir tersimpan kenikmatan surga dunia.
  36. Mendahului seorang hamba dalam segala situasi dan kondisi.
  37. Dzikir adalah cahaya di dunia dan akhirat.
  38. Dzikir sebagai pintu menuju Allah.
  39. Dzikir merupakan sumber kekuatan qalbu dan kemuliaan jiwa.
  40. Dzikir merupakan penyatu hati orang beriman dan pemecah hati musuh Allah.
  41. Mendekatkan kepada ahirat dan menjauhkan dari dunia.
  42. Menjadikan hati selalu terjaga.
  43. Dzikir adalah pohon ma’rifat dan pola hidup orang shalih.
  44. Pahala berdzikir sama dengan berinfak dan berjihad dijalan Allah.
  45. Dzikir adalah pangkal kesyukuran.
  46. Mendekatkan jiwa seorang hamba kepada Allah.
  47. Melembutkan hati.
  48. Menjadi obat hati.
  49. Dzikir sebagai modal dasar untuk mencintai Allah.
  50. Mendatangkan nikmat dan menolak bala.
  51. Allah dan Malaikatnya mengucapkan shalawat kepada pedzikir.
  52. Majlis dzikir adalah taman surga.
  53. Allah membanggakan para pedzikir kepada para malaikat.
  54. Orang yang berdzikir masuk surga dalam keadaan tersenyum.
  55. Dzikir adalah tujuan prioritas dari kewajiban beribadah.
  56. Semua kebaikan ada dalam dzikir.
  57. Melanggengkan dzikir dapat mengganti ibadah tathawwu’.
  58. Dzikir menolong untuk berbuat amal ketaatan.
  59. Menghilangkan rasa berat dan mempermudah yang susah.
  60. Menghilangkan rasa takut dan menimbulkan ketenangan jiwa.
  61. Memberikan kekuatan jasad.
  62. Menolak kefakiran.
  63. Pedzikir merupakan orang yang pertama bertemu dengan Allah.
  64. Pedzikir tidak akan dibangkitkan bersama para pendusta.
  65. Dengan dzikir rumah-rumah surga dibangun, dan kebun-kebun surga ditanami tumbuhan dzikir.
  66. Penghalang antara hamba dan jahannam.
  67. Malaikat memintakan ampun bagi orang yang berdzikir.
  68. Pegunungan dan hamparan bumi bergembira dengan adanya orang yang berdzikir.
  69. Membersihkan sifat munafik.
  70. Memberikan kenikmatan tak tertandingi.
  71. Wajah pedzikir paling cerah didunia dan bersinar di ahirat.
  72. Dzikir menambah saksi bagi seorang hamba di ahirat.
  73. Memalingkan seseorang dari membincangkan kebathilan.



BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
Dzikir merupakan ibadah yang banyak disinggung baik dalam al-Qur’an maupun hadits. Dzikir merupakan perintah Allah yang (sebenarnya) mestilah dilaksanakan setiap saat, di manapun dan kapan pun. Dzikir bisa dilakukan dengan hati dan lisan, dan dengan sendiri maupun dalam sebuah kelompok (majlis dzikir). Dzikir memiliki banyak keutamaan, salah satunya adalah dapat membuat hati menjadi tenang.
Dzikir boleh disuarakan ataupun tidak, bacaan yang hasrus dibaca pun juga fleksibel yang memiliki makna mengingat dan mengagungkan Asma Allah. Ibnu al-Qoyyim Rahimahullah mengatakan bahwa dzikir memiliki tujuh puluh tiga manfaat, diantaranya yaitu:
1.            Mengusir setan dan menjadikannya kecewa.
2.            Membuat Allah ridho
3.            Menghilangkan rasa sedih,dan gelisah dari hati manusia.
4.            Membahagiakan dan melapangkan hati.
5.            Menguatkan hati dan badan.
Dzikir pun dipraktekkan dengan berbagai metode oleh masing – masing kelompok dalam Islam meskipun pada hakikatnya mereka sama – sama meyakini bahwa dzikir merupakan ajaran Nabi Muhammad SAW namun mereka memiliki pemahaman yang berbeda.








Referensi :
Athaillah, Ibnu, 2006, Zikir Penentram Hati, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
Junaidi, Luqman,2007, The Power of Wirid, Bandung : Mizan.
M  Yusuf Amin Nugroho, 2010, Fiqh al Ikhtilaf NU-Muhammadiyah, Wonosobo : ebook, hal 96.
Risalah Amaliyah Nahdziyah, PCNU kota Malang
PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah,Persatuan, Yogyakarta, 1974.


[1] PP Rabithah Ma’hadil Islamiyah, Masalah Kegamaan: Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdhatul Ulama, Dinamika Press, Surabaya: 1977.
[2] Risalah Amaliyah Nahdziyah, PCNU kota Malang
[3] Zikir Penentram Hati, Ibn Athaillah, 2006, Serambi Ilmu Semesta, hal 51-52
[4] PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah,Persatuan, Yogyakarta, 1974.
[5] Fiqh al Ikhtilaf NU-Muhammadiyah, M  Yusuf Amin Nugroho, 2010, Wonosobo : ebook, hal 96.

No comments:

Post a Comment