Artikel
teologi islam
olehmoh.Kamilus Zaman
Fundamentalisme
agama dalam bentuknya yang destruktif kian menguat sebagai gejala sosial yang
meneror tatanan keberagamaan masyarakat. Selepas peristiwa WTC 11 September
2001 lampau, wacana ini sempat meredup dan kemudian menyala kembali akibat
maraknya tragedi kemanusiaan yang didakwa kuat bermotif fundamentalisme agama
sebagai biang keladinya. Terutama di dalam negeri, eksposing terhadap diskursus
ini bukan hanya di"ecer" oleh mass media, namun akhir-akhir ini sudah
mulai terkemas dalam penyajian yang lebih argumentatif dan mendalam, yakni
lewat penerbitan buku.
Dalam
dua bulan terakhir, tercatat setidaknya empat pustaka serius yang mencoba
mengulas hal ini dari pelbagai dimensi. Buku Aku Melawan Teroris (Imam
Samudera, Jazeera), Islam Sebagai Tertuduh (Akbar S. Ahmed, Arasy), Muslim,
Dialog dan Teror (Chandra Muzaffar, Profetik) serta Negara Tuhan: The
Thematic Encyclopaedia (Agus Maftuh, SR-Ins Team) hadir bertandang nyaris
bersamaan ke ruang baca khalayak. Ada yang bermaksud meneguhkan opini dan ada
pula yang berkeinginan mengusiknya
Bila
tiga buku pertama secara apologis berusaha membela kaum muslim dari stigma dan
atribusi teroris yang selama ini dilekatkan padanya, buku yang terakhir
sebaliknya hendak membuktikan bahwa radikalisme agama bukan isapan jempol
belaka. Sembari mengajak kita untuk merenungi realitas keberagamaan yang mulai
terancam, buku "1000 halaman" ini secara meyakinkan membeber bukti
lapangan bahwa jaringan terorisme bukanlah fakta fiktif. Sebaliknya, ia
merupakan organisme gerakan ideologis yang menanam akar di masyarakat.
Karenanya, perlu kebersamaan dan kewaspadaan ekstra guna mencegahnya seoptimal
mungkin.
Tentu
harapan kita, beragam pembahasan perihal radikalisme beragama, dengan ciri
utama praktik teror, turut berjasa membuat kaum beragama untuk jera sembari
terus-menerus berkaca: sejauh mana kesadaran keagamaan masing-masing kita serta
seluas apa pengaruhnya terhadap lingkungan sosial.
Sebenarnya,
topik fundamentalisme agama adalah langgam lawas yang sudah terlalu kerap
diulas. Namun pemunculannya yang senantiasa aktual, menyebabkan isu ini krusial
untuk selalu dicarikan solusi. Persoalannya, fundamentalisme macam ini lebih
sering muncul dalam wujud yang negatif. Ia lebih banyak dibungkus dengan nalar
perlawanan, logika permusuhan serta –meminjam istilah John L. Esposito–
ideologi kebencian. Padahal sudah tak terhitung lagi korban kemanusiaan yang
menjadi "tumbal" akibat disharmoni hubungan lintas agama sepanjang
sejarah.
Jika
resistensi terhadap Barat dengan segala produk peradaban yang dihasilkannya
dituding sebagai penyebab timbulnya fundamentalisme dalam Islam, maka bagaimana
pula dengan fundamentalisme yang juga menyergap komunitas beragama lain di luar
Islam? Karen Armstrong secara empatik menyebut bahwa tak bisa disangsikan,
benih fundamentalisme ada dalam setiap agama.
No comments:
Post a Comment