Resuman teologi islam
A.
Murji’ah
Kemunculan
aliran Murji’ah dalam sejarah perkembangan ilmu teologi dalam islam, tidak
terlepas dari pengaruh perkembangan politik pada masa itu, yang dimulai dari
pertentangan Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah. Aliran Murji’ah merupakan
aliran yang berusaha bersikap netral atau nonblok dalam proses pertentangan
yang terjadi antara kaum Khawarij dengan kaum Syi’ah yang telah masuk pada
permasalahan kafir mengkafirkan.
Dan
dalam perkembangannya Murji’ah ikut memberikan tanggapan dalam permasalahan
ketentuan Tuhan dalam menetapkan seseorang telah keluar Islam atau masih
mukmin.Tipe pemikiran yang dikembangkan oleh kaum Murji’ah adalah bahwa
penentuan seseorang telah keluar dari Islam tidak bisa ditentukan oleh manusia
tapi di tangguhkan sampai nanti di akhirat.Pembagian golongan Murji’ah dapat
dibagi ke dalam dua golongan besar yaitu, golongan Murji’ah moderat dan
golongan Murji’ah ekstrim.
B.
Syi’ah
Syiah
adalah : Golongan yang lebih mengutamakan ibn Abi Thalib dari sahabat lainnya,
yang percaya bahwa ahl Bait adalah lebih berhak untuk memegang tampuk
kekhalifahan sesudah meninggalnya Rasul, yang dalam hal ini jatuh pada diri Ali
Ibn Abi Thalib atas dasar wasiat dari Rasul dan kehendak dari Allah.
Aliran-aliran dalam syiah adalah Syi’ah Itsna Asy’ariyah (Syi’ah Dua
Belas/Syi’ah Imamiyah), Syi’ah Sab’iyah ( Syi’ah Tujuh ), Syi’ah Zaidiyah dan
Syi’ah Ghulat.
Pokok-pokok
ajaran dalam syiah diantaranya pembahasan meliputi : Tentang Hadits, Tentang
Al-Qur’an, Nikah Mut’ah dan Para Imamiyah.
Pokok-pokok
penyimpangan secara umum dalam syiah misalnya dalam rukun iman tiadak adanya
kepercayaan terhadap Qadla dan Qadar.
Di
Indonesia Syiah sebenarnya bukan mazhab baru, tapi sudah lama. Hanya saja ia
tidak tersebar luas sebagaimana mazhab sunni. Proses masuknya islam ke Indonesia
menurut Jalaluddin Rahmat terbagi menjadi tiga teori diantaranya : Teori
pertama, merujuk pada masa penyebaran Islam di Indonesia; Teori Kedua,
Islam yang dating ke Indonesia itu adalah Islam Sunni; Teori Ketiga, Syiah
itu datang setelah peristiwa Revolusi Islam Iran (RII).
C.
Mu’tailah
a. Eksistensi Aliran
Mu’tazilah
Aliran ini pada awal perkembangannya tidak mendapat
simpati umat Islam, khususnya di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit
memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Selain
itu, kaum Mu’tazilah dinilai tidak teguh berpegang pada sunnah Rosulullah SAW
dan para sahabat. Baru pada masa al-Ma’mun (Khalifah Abbasiyah periode 198-218
H/813-833 M), golongn ini memperoleh dukungan luas teruatama di kalangan intelektual.
Selanjutnya, kedudukan Mu’tazilah semakin kokoh setelah dijadikan madzhab resmi
negara oleh al-Ma’mun (anaknya Harun al-Rasyid), disebabkan sejak kecil ia
dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat.
b.
Latar Belakang Kemunculan Mu’tazilah
Secara harfiah kata mu’tazilah berasal dari i’tazala yang
berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau
menjauhkan diri.
Secara terminologi, Mu’tazilah adalah firqoh Islamiyyah (aliran dalam islam) yang muncul pada masa akhir dinasti umayyah dan tumbuh pesat pada masa dinasti abbasiyyah. Sedangkan sebagian ulama, mendefinisikannya sebagai satu kelompok dari qadiriyah yang berbeda pendapat dengan umat islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang di pimpin oleh Wasil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Basry
Secara terminologi, Mu’tazilah adalah firqoh Islamiyyah (aliran dalam islam) yang muncul pada masa akhir dinasti umayyah dan tumbuh pesat pada masa dinasti abbasiyyah. Sedangkan sebagian ulama, mendefinisikannya sebagai satu kelompok dari qadiriyah yang berbeda pendapat dengan umat islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang di pimpin oleh Wasil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Basry
Ajaran-Ajaran Aliran Mu’tazilah
Ø Tauhid (Ke-Esaan)
Ø Al-Adlu (keadilan)
Ø Wal wal Wa’id (Janji dan Ancaman)
Ø Al-Manjilah Bainal
Manzilataini (Tempat Diantara Dua)
Ø Amar Ma’ruf Nahi
Munkar (menyuruh kebaikan dan melarang kejelekan)
Sekte-Sekte Aliran Mu’tazilah
- Al-Washiliyyah
- Huzailiyyah
- An-Nazhzhamiyyah
- Al-Khatabiyyah dan al-Hadidiyyah
- Al-Bisyariyyah
- Al Mu’ammariyah
- Al-Mardariyyah
- Al-Tsumamah
- Al-Hisyamiyyah
- Al-Jahizhiyyah
- Al-Khayatiyyah dan Al-Ka’biyyah
Tokoh – Tokoh Aliran Mu’tazilah
Tokoh-tokoh aliran mu’tazilah basrah adalah :
- Washil
bin ‘Atha (80-131 H/ 699-748 M)
- Al-‘Allaf
(135-237 H/ 735-850 M)
- An-
Nazzam (wafat 231 H/ 345 M)
Al-Jubba’i (wafat 303 H/ 915 M
Tokoh-tokoh aliran mu’tazilah baghdad adalah:
- Bisyr bin
Al-Mu’tamar (wafat 226 H/ 840 M)
- Al-Khayyath
(wafat 300 H/ 912 M)
- Al-Qadhi
Abdul Jabbar (wafat 1024 M)
- Az-Zamarkhasyi
(467 H/ 1075-1144 M)
C.
Pemikiran Kaum Mu’tazilah
Disebutkan dalam buku “al-mausu’ah al muyassaroh
fi’ladyan wa’lmadzahib wa’lahzab al-mu’ashirah” bahwa pada awal sekte
Mu’tazilah ini mengusung dua pemikiran yang menyimpang (mubtadi’), yaitu:
- Pemikiran bahwa manusia punya kekuasaan mutlak
dalam memilih apa yang mereka kerjakan dan mereka sendirilah yang
menciptakan pekerjaan tersebut.
- Pemikiran bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang
mu’min tetapi bukan pula orang kafir, melainkan orang fasik yang
berkedudukan diantara dua kedudukan –mu’min dan kafir- (manzilatun baina
‘lmanzilataini)
Dari dua pemikiran yang menyimpang ini kemudian
berkembang dan melahirkan pemikiran-pemikiran turunan seiring dengan
perkembangan mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran.
Hal tersebut ditegaskan Al-Baghdadi dengan menyebutkan
enam pemikiran yang mereka sepakati, pemikiran-pemikiran tersebut adalah :
- Pemikiran
bahwa Allah tidak memiliki sifat azali. Dan pemikiran bahwa Allah tidak
memiliki ‘ilmu, qudrah, hayat, sama’, bashar, dan seluruh sifat azali.
- Pemikiran
tentang kemustahilan melihat Allah dengan mata kepala dan keyakinan mereka
bahwa Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya dan yang lain pun tidak
bisa melihat “diri”-Nya.
- Pemikiran tentang ke-baru-an
(hadits) kalamullah dan ke-baru-an perintah, larangan, dan khabar-Nya.
Yang kemudian kebanyakan mereka mengatakan bahwa kalamullah adalah
makhluk-Nya.
- Pemikiran bahwa Allah bukan
pencipta perbuatan manusia bukan pula pencipta prilaku hewan. Keyakinan
mereka bahwa manusia sendirilah yang memiliki kemampuan (Qudrah) atas
perbuatanya sendiri dan Allah tidak memiliki peran sedikitpun dalam
seluruh perbuatan manusia juga seluruh prilaku hewan. Inilah alasan
Mu’tazilah disebut qodariyah oleh sebagaian kaum muslimin.
- Pemikiran
bahwa orang muslim yang fasiq berada dalam satu manzilah di antara dua
manzilah - mu’min dan kafir- (manzilatun baina manzilataini). Inilah
alasan mereka disebut Mu’tazilah.
- Pemikiran
bahwa segala sesuatu perbuatan manusia yang tidak di perintatahkan oleh
Allah atau dilarang-Nya adalah sesuatu yang pada dasarnya tidak Allah
kehendaki.
D. QADARIYAH
a.
pengertian Qodariyah
Qodariyah
berasal dari bahasa Arab yaitu قدر yang mempunyai arti kemampuan dan kekuatan[1].
Secara terminology, qodariyah adalah aliran atau paham teologi yang percaya
bahwa segala tindakan dan perbuatan manusia itu terjadi tanpa ada campur tangan
Tuhan, artinya manusia bebas melakukan apa saja sesuai dengan keinginannya.
Aliran ini berpendapat bahwa setiap manusia adalah pencipta bagi segala
perbuatannya: ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya
sendiri[2].
Dan dari pernyataan ini, maka dapat dipahami bahwa qodariya digunakan untuk
satu nama suatu aliran atau paham yang menyatakan kebebasan dan kekuatan paenuh
bagi manusia dalam mewujudkan perbuatan perbuatannya. Menurut Harun Nasution,
kaum Qodariyah berasal dari pengertian bahwamanusia mempunyai qudarah atau
kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian
bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar ketentuan Tuhan.
Paham
ini jelas sangat keliru, kerana dengan aqidah seperti itu apabila dilanjutkan
secara lebih mendalam lagi, maka berarti Tuhan pada hakikatnya tidak tahu apa
yang dilakukan oleh manusia dan Tuhan itu baru tahu setelah manusia
mengerjakannya, sehingga Tuhan marah dan memberinya dosa.
b.
Latar Belakang Kemunculan Paham Qodariyah
Seperti dalam pengertian diatas
Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam
mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini
berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan
kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk
pada qadar Tuhan.[3]
Menurut Ahmad Amin sebagaimana
dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah
mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan
memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan
perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.[4]
c.
Ajaran-ajaran
Aliran Qodariyah
Harun Nasution menjelaskan pendapat
Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas
perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan
kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi
perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam
menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat
berkuasa atas segala perbuatannya.[5]
Dengan pemahaman seperti ini tidak
ada alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada Allah. Di antara dalil yang
mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat Alquran yang berbicara dan mendukung
paham itu.
a. QS al-Kahfi: 29
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4 !
Dan Katakanlah: Maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia
kafir".
D. ALIRAN
JABARIYAH
1.
Asal-Usul Pertumbuhan Jabariyah
Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti
memaksa. Dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal
dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya
melakukan sesuatu. Lebih lanjut Asy-Syahratsan menegaskan bahwa paham al-jabr
berarti menghilangkan perbuatan manusia
dalam arti yang sesungguhnya yang menyandarkannya kepada Allah. Dengan kata
lain, Manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa.[6]
Dan meyakini bahwa segala pekerjan manusia digerakkan oleh Allah SWT.[7]
Dalam bahasa inggris, Jabariyah disebut fatalism atau presentination,
yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari
semula oleh qodho dan qadar Tuhan. Faham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh ja’d bin
dirham kemudian disebarkan oleh jahm bin Shafwan dari Khurasan.
HADITS
Perbuatan
itu diciptakan Tuhan didalam diri manusia, tak ubahnya dengan gerak yang
diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati. Menurut paham ekstrim ini,
segala perbuatan manusia tidak merupakan perbuatan yang timbul dari kemauan
diri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Kalau paham fatalisme yang
dibawa jahm itu menurutnya Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia, baik
jahat maupun baik, tetapi manusia mempunyai bagian dalam perwujudan
perbuatan-perbuatan itu. Dan inilah ayat –ayat yang membawa kepada paham
jabariyah :
!tbqè=yJ÷ès?$tBurö/ä3s)n=s{ª!$#ur
"Padahal Allah-lah yang menciptakan
kamu dan apa yang kamu perbuat itu". (Q.S
Al-shaffat:96)
2.
Perbandingan antara aliran
Qadariyah dan Jabariyah
·
Qadariyah :
Berpendapat bahwa manusisa mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
·
Jabariyah :
Berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan kehendak dalam
menentukan perbuatannya.
·
Qadariyah
berpedoman pada QS. Al Mudatsir : 38
·
Jabariyah
berpedoman pada QS. Al Hadid : 22
·
Dalam Sejarah,
Qadariyah dianut Mu’tazilah
·
Dalam sejarah
Jabariyah dianut Asy’ariyah
·
Jabariyah
berpendapat & mengatakan segala sesuatu yang terjadi pada manusia atau
jagad raya ini merupakan kehendak Allah semata tanpa peran serta sesuatu pun
termasuk di dalam adalah perbuatan-perbuatan maksiat yang dilakukan manusia.
·
Yang dijadikan
dasar Jabariyah mengesampingkan usaha dan ikhtiar manusia adalah QS. An-Nisa’ :
13
[1]
luwisnMa’luf Al-Yusu’i, Al-Munjid, al- Khathulikiyah, Beirut, 1945,
hlm.436;lihat juga Hans Werh, a Dictionary of Modern Written Arabic,
wlesbanden,1971,hlm.745
[2]
Al-Yusu’i, op,hlm.436
[3]
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2, h.
68
[4]
Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam,
(Banjarmasin: Antasari Press, 2008) hal 68
[5]
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5 hal 31
[6]Abdul
Rozak, Rosihon Anwar.Ilmu Kalam.Bandung:CV Pustaka Setia.2010.Cet V.Hlm
63
No comments:
Post a Comment