BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
Manusia
adalah makhluk rasional (hayawan natiq).[1]
sehingga mereka mampu merumuskan makna-makna yang melibatkan penilaian,
pembedaan dan penjelasan yang tentunya dengan pengetahuan dan akal yang mereka
fungsikan.
Pengetahuan
merupakan sumber realitas atas asumsi dasar manusia. Tanpa pengetahuan manusia
tidak dapat membedakan hal-hal yang bisa ditangkap dengan panca indera. maka
istilah "pengetahuan" itu cukup luas artinya, Istilah ini menunjukan
bahwa manusia sadar akan barang-barang di sekitarnya; adanya manusia di dunia
ini lain dari pada adanya sebuah barang mati. Dan kata“pengetahuan" tidak
hanya meliputi pengetahuan ilmiah, melainkan pula pengalaman pribadi, melihat
dan mendengar, perasaan dan intuisi, dugaan dan suasana jiwa.[2]
Pengetahuan
merupakan pokok kajian dalam ilmu filsafat. Dalam filsafat pengetahuan termasuk
dalam kajian “epistimologi” dengan akar kata episteme (pengetahuan) dan logos
(kata/ pembicaraan/ ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal,
sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang
paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang
apa itu pengetahuan, bagaimana unsur-unsurnya, asal-usulnya, serta jenis
kebenaran suatu pengetahuan itu sendiri.
Epistemologi
atau Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia merupakan
kajian yang sangat mendalam dan menarik untuk diperbincangkan dikalangan
akademisi.
Banyak
orang mengartikan pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu sama, hal tersebut
memang tidak salah seluruhnya namun perlu ditinjau berdasarkan kaidah keilmuan
agar dapat memahami sesungguhnya. Sebagaimana analogi yang telah dipaparkan,
bahwa ilmu pengetahuan adalah tahapan atau bagian dari pengetahuan. Sehingga
dapat dipahami bahwa pengetahuan berbeda dengan ilmu. Lebih tepatnya ilmu
adalah bagian dari pengetahuan. Kata ilmu merupakan terjemahan dari kata
“science”, yang secara etimologis berasal dari kata latin “scinre”, artinya “to
know”. Namun, pengertian science ini sering salah diartikan, dan direduksi
berkaitan dengan ilmu alam semata padahal tidak demikian. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, ilmu merupakan pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun
secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu. Pendapat lain
menerangkan bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang mengembangkan dan
melaksanakan aturan-aturan mainnya dengan penuh tanggung jawab dan
kesungguhannya. Melalui pendapat tersebut dipahami bahwa ilmu merupakan
pengembangan dari pengetahuan yang memiliki aturan tertentu dan dapat diuji
kebenarannya karena berkaitan dengan penafsiran suatu hal yang pada umumnya
berlaku secara umum.
Maka,
untuk memahami identitas pengetahuan itu sendiri penulis berupaya merumuskan
masalah yang berkenaan dengan asal-usul dan hakiikat pengetahuan sebagai
berikut:
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
unsur-unsur pengetahuan ?
2.
Bagaimana
asal-usul pengetahuan ?
3.
Apa
saja jenis-jenis kebenaran pengetahuan?
C.
Tujuan masalah
1.
Untuk
Mengetahui unsur-unsur pengetahuan.
3.
Untuk
Mengetahui jenis-jenis kebenaran pengetahuan
BAB II
PEMBAHAASAN
A.
Unsur-Unsur Pengetahuan
Ada
tiga unsur dalam tahu/pengetahuan, yakni subyek yang mengetahui (knowing
subject), obyek yang diketahui (known object), dan kegiatan pengetahuan itu
sendiri (knowing activity). Berikut penjelasan tentang ketiga unsur tersebut.
1.
knowing subject
Di atas disebutkan bahwa gejala tahu dan pengetahuan
terdapat pada makhluk hidup. Tumbuhan dan hewan, makluk hidup yang tingkatannya
di bawah manusia, dalam arti tertentu tahu (memiliki pengetahuan). Tapi,
pengetahuan yang sesungguhnya hanya dimiliki manusia. Mengapa? Sebab, kegiatan
mengetahui selalu mengandaikan rasio, dan, kita tahu, hanya manusia memiliki
rasio.
Karena kemampuan rasio terbatas, maka pengetahuan
manusia pun terbatas, dan berkembang sepotong demi sepotong sebelum mencapai
pengetahuan yang sempurna. Louis Leahy menunjuk tiga syarat yang dipenuhi
subyek agar dapat tercipta pengetahuan, yang sempurna, yakni keterbukaan,
kemampuan menyambut, dan interioritas.Subyek harus terbuka agar bisa menangkap
eksistensi dan kodrat obyek yang diketahui. Batu, misalnya, tak dapaYanenjadi
subyek pengetahuan karena tidak memiliki keterbukaan. Kemampuan menyambut
memungkinkan obyek tinggal dalam diri subyek dalam rupa gambar, ingatan, atau
ide.
Kembali kita kepada definisi tentang pengetahuan sebagai
kemanunggalan subyek-obyek.Interioritas memungkinkan subyek makin banyak dan
baik mengetahui. Itu ibarat daya tampung, semakin besar daya tampungnya semakin
banyak pula yang diperolehnya. Ketiga unsur tersebut merupakan dimensi
supramaterial atau imaterialitas dari subyek. Artinya, karena dalam kegiatan
pengetahuan subyek mengatasi batas-batas jasmaniahnya, maka dia harus memiliki
immaterialitas. Disini berlaku prinsip: imaterialitas yang dinikmati suatu
pengada merupakan akar dan ukuran dari pengetahuan yang dikuasainya. Dan tentu
subyek yang mengetahui itu harus berkesadaran. Artinya, dia harus memiliki
pengetahuan akan kegiatan clan dirinya, pada saat dia mengetahui suatu yang
lain dari dirinya tersebut.
2.
knowing Object
Ini menyangkut apa yang ada dan yang mungkin ada.
Seperti dijelaskan di atas, manusia bertanya tentang segala hal, yang konkrit
maupun abstrak, yang dulu, sekarang, maupun yang akan datang. Pendeknya, yang
ada clan yang mungkin ada. Jadi, dengan rasionya manusia dapat mengetahui
tentang ide-ide abstrak seperti kebaikan, kejahatan, keindahan, nilai moral,
bahkan tentang Tuhan dan keabadian.
Obyek yang dikenal harus mempengaruhi subyek.
Pertanyaannya: apa yang menyebabkan, misalnya, bahwa pohon dikenal sebagai
pohon (dan bukan sebagai manusia)? Obyek itu hams memiliki eidos, kata Yunani
yang berarti bentuk. Eidos (juga morphe) berarti aspek dari suatu benda, clan
unsur yang menstruktur benda itu dari dalam sehingga A adalah A (bukan B).
Lewat eidos itulah suatu benda bukan saja mendapat kodrat, tapi juga dapat
diketahui maksud clan tujuannya [3]
Kegiatan
Mengetahui Ini merupakan proses psikologis yang sangat rumit. Tetapi, yang
jelas, unsur ini seakanakan berada di antara S dan O. Kegiatan inilah yang
menandai gejala persatuan (union) antara S dan O.
3.
knowing Activity
Masalah yang sering diperdebatkan oleh para filsuf
ialah apakah tahu/pengetahuan itu sama dengan pengalaman? Dengan kata lain,
apakah mengetahui sesuatu sama dengan mengalami sesuatu? Reuben Abel, dalam
bukunya Man is the Measure mengatakan bahwa tahu dan pengalaman tidak sama.
Filsuf Bertrand Russell membedakan tahu melalui pertemuan langsung (knowledge
by acquaintance) dan tahu melalui deskripsi (knowledge by description). Yang
pertama bersifat langsung. Bambang, misalnya, mengatakan bahwa dia tahu/kenal
si Budi atau si Vina, kenal candi Borobudur atau Lembang, kenal rendang atau
nasi gudeg Yogya. Russell menyamakannya dengan seorang pencinta anjing yang
mengenal baik anjingnya. Pengenalan semacam ini punya tingkatan, tapi tidak
pernah palsu. Saya bisa mengatakan bahwa pemeran dalam sinteron itu adalah
teman kelasku Vicky. Kalaupun itu tidak benar, maka yang tidak benar itu
pernyataanku, bukan pengetahuanku. Pengetahuan jenis inilah yang dimitiki
antara seorang kekasih terhadap orang atau sesuatu yang dicintainya, guru
terhadap muridnya, dokter terhadap pasiennya. Martin Buber, misalnya, berkata
spontan bahwa dia mengenal Tuhan lewat pertemuan langsung.
Pengetahuan melalui deskripsi adalah pengetahuan
ilmiah. Artinya, saya tahu bahwa yang itu memang begitu. Atau, merupakan
deskripsi atas fakta, dan sebab itu harus ditampilkan dalam bentuk proposisi
atau kalimat-kalimat. Tapi tahu bahwa (knowing that), harus dibedakan dari tahu
bagaimana (knowing how). Si Eva dapat tahu bagaimana berenang, bagaimana
mengikat dasi, tanpa perlu melukiskan dengan tapat bagaimana berenang atau
mengikat dasi. Ini berlaku, misalnya, pada hal-hal menyangkut keterampilan dan
kerajinan, merasakan anggur atau memecahkan teka-teki.
Michael Polanyi mengatakan bahwa tahu bagaimana duduk
seimbang di atas sepeda belum tentu berarti bahwa tahu bahwa "untuk suatu
sudut ketidakseimbangan, lekukan setiap belokan secara berbanding terbalik
dengan kwadrat kecepatan". Pengalaman (experience) adalah suatu yang
menyangkut segalanya yang kita lakukan atau apa saja yang terjadi pada kita. la
menyangkut sensasi, emosi, rasa sakit, pengalaman estetik dan pengalaman
mistik. Pengalaman tak dapat disamakan dengan pengetahuan proposisional.
Pengetahuan tidak berfungsi menggandakan pengalaman, tapi memerihkannya
(deskripsi). Pengetahuan tidak berfungsi mereproduksi apa yang terjadi, tapi
menjelaskannya. Tahu apa itu marah (knowing what anger is), misalnya,
tidak sama dengan menjadi marah (being angry). Menikmati anggur tidak
sama dengan tahu komposisi anggur. Kehidupan lebih luas yang seringkali tidak
cukup dilukiskan dengan kata-kata. Oleh sebab itu J.L.Austin mengatakan fakta
lebih kaya dari kata-kata (fact is richer than diction).
Meskipun demikian, pengalaman dan pengetahuan bukan
saling berkompetisi. Pengalaman bisa menjadi insentif untuk memperoleh
pengetahuan, atau menjadi bukti untuk pengetahuan tertentu, atau menjadi obyek
pengetahuan. Tetapi pengalaman bukan pengetahuan itu sendiri. Kita jangan
mencampurkan deskripsi dengan apa yang dideskripsikan, penjelasan dengan apa
yang dijelaskan, pengetahuan dengan pengalaman. Dokter pria tidak ipso facto
tahu lebih sedikit tentang menstruasi dan kelahiran dibanding rekannya yang
wanita. Jadi, pengalaman dan pengetahuan langsung (knowledge by acquantance)
merupakan unsur yang sangat penting bagi pengetahuan deskriptif, tapi tidak
pernah menggantikan, atau menjadi rival, pengetahuan deskriptif.
Sampai
hari ini masih belum ada kesepakatan di kalangan para filsuf tentang apakah
pengetahuan harus bersifat proposisional (diungkapkan dalam kalimat). Ada dua
kubu yang bertentangan. Kubu pertama mengatakan pengetahuan harus
proposisional, dan kubu kedua yang berpendapat bahwa pengetahuan tidak harus
proposisional. Mereka yang masuk kubu pertama antara lain Rudolf Carnap (ilmu
pada prinsipnya dapat mengatakan semua yang dapat dikatakan), Hans Reichenbach
(apa yang kita tahu dapat dikatakan, dan apa yang tak dapat dikatakan tak dapat
diketahui), dan Wittgenstein awal (apa saja yang dapat dikatakan dapat
dikatakan dengan jelas). Scdangkan yang mewakili kubu kedua antara lain Polanyi
(kita tahu lebih banyak daripada yang dapat kita katakan). Termasuk kubu ini
adalah mereka yang mengatakan bahwa pengetahuan sebenamya dapat dimiliki oleh
semua tingkatan makluk hidup. Jadi, bagi mereka ini, seorang bayi pun bisa tahu
bahwa api panas. Anjing tahu dan bisa membedakan kapan ia digiling dan kapan
ditendang. Tumbuhan tahu mana bagian atas mana bagian bawah.
Paradigma untuk pengetahuan proposisional adalah Saya
tahu bahwa p(I know that p), di mana p adalah suatu kalimat, yakni
statemen yang benar atau salah. Misalnya Hari ini hari Kamis, atau Habibie
menggantikan Soeharto sebagai presiden RI. Analisis terhadap kalimat saya
tahu bahwa p menunjukkan bahwa harus dipenuhi empat persyaratan:
a.
Bahwa p adalah benar. Oleh karenanya kalau saya
katakan "Saya tahu bahwa 2 + 2= 5" pasti Anda mengatakan: "Anda
tidak tahu, sebab tidak benar". Itulah sebabnya Plato mengatakan bahwa
"hanya apa yang benar dapat diketahui".
b.
Bahwa saya yakin bahwa p. Keyakinan (belief)
adalah sikap atau tindakan akal. Keyakinan itu bukan pengetahuan, tapi
syarat untuk pengetahuan. Jadi, saya dapat mengatakan: "saya yakin bahwa
p, tapi saya tidak tahu". Sebaliknya, saya tak dapat berkata: "saya
tahu bahwa p, tapi saya tidak yakin". Keyakinan adalah persyaratan wajib (necessary
condition) bagi pengetahuan, tapi bukannya syarat yang cukup (sufficient
condition). Orang dapat percaya sepenuh hati tanpa tahu, tapi orang tak da
pat tahu tanpa percaya.
c.
Bahwa saya punya alasan, atau bukti yang cukup, bagi
keyakinanku bahwa p. Keyakinan saya harus dibuktikan. Ini untuk membedakan
pengetahuan dari lucky guess atau astrologi. Kalau saya katakan bahwa path
Lebaran tahun 1999, orang yang mu dik dari Jakarta mencapai dua juta orang,
Anda akan minta bukti, atau bertanya lagi dari mana saya memperoleh angka
tersebut. Jadi, bukti yang cukup belum otomatis membuat orang tahu. Misalnya,
ketika seorang selesai membaca cerita detektif yang seru, ia berkata spontan:
mustinya saya tahu! Atau setelah penyebab kanker ditemu kan, para ahli yang
menyadari bahwa mereka sudah pusing mencarinya bertahun tahun, berkata bahwa
mereka memang baru tahu. Jadi, bukti adalah persyaratan yang wajib bagi
pengetahuan, bukan persyaratan yang cukup.
Dalam kaitan
dengan ini, sering muncul perdebatan tentang apakah mungkin ada pengetahuan
tanpa disadari. Dengan perkataan lain, agar saya tahu bahwa p, apakah saya
harus tahu bahwa saya tahu? Apakah Anda tahu sepatu mana yang selalu pertama
Anda pakai? Kiri atau kanan? Atau lagu apa yang diperdengarkan radio ketika
Anda membaca koran? Dalam psikoanalisa, Freud menunjukkan bahwa pengetahuan
tanpa disadari itu mungkin saja.
d.
Bahwa saya tidak punya bukti lain yang dapat menentang
keyakinanku. Saya, misalnya mengatakan "saya tahu bahwa sekarang pukul
12.00" sebab jarum jamku memang menunjukkan bahwa sekarang pukul 12.00.[4]
B.
Asal Usul Pengetahuan.
1.
Empirisme
Metode Empiris dan penelitian empiris, Konsep sentral dalam ilmu pengetahuan dan metode ilmiah adalah bahwa semua bukti harus empiris, atau
berbasis empiris, yaitu, bergantung pada bukti-bukti yang diamati oleh
indera. Hal ini dibedakan dari penggunaan filosofis empirisme oleh
penggunaan kata sifat "empiris" atau adverbia yang
"empiris". Empiris yang digunakan bersama dengan baik alam dan ilmu-ilmu
sosial , dan
mengacu pada penggunaan kerja hipotesis yang dapat diuji menggunakan pengamatan atau percobaan. Dalam arti kata, laporan ilmiah untuk tunduk dan
berasal dari pengalaman kami atau observasi. [5]
Dalam arti kedua "empiris" dalam ilmu dan
statistik mungkin identik dengan "eksperimental". Dalam hal ini,
hasil pengamatan empiris adalah eksperimental. Istilah semi-empiris yang
kadang-kadang digunakan untuk menggambarkan metode teoritis yang menggunakan
dasar aksioma , hukum ilmiah didirikan, dan hasil eksperimen
sebelumnya dalam rangka untuk terlibat dalam pembentukan model beralasan dan
penyelidikan teoritis.[6]
Tokoh-Tokoh Empirisme
a.
Francis
Bacon
b.
Thomas
Hobes
c.
John
Locke
d.
David
Hume.[7]
2.
Rasionalisme
Rasionalisme
adalah paham yang mengajarkan bahwa sumber pengatahuan satu-satunya yang benar
adalah rasio (akal budi), Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan
bahwa akal (resen) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengatahun dan
mengetes pengatahuan. Jika empiresme mengatakan bahwa pengatahuan diperoleh
dengan alam mengalami objek empiris, maka rasionalisme mengejarkan bahwa
pengatahuan di peroleh dengan cara berfikir alat dalam berfikir itu ialah
kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika.[8]
Pengetahuan rasional atau pengetahuan yang bersumber dari akal (rasio) adalah suatu pengetahuan yang dihasilkan dari proses belajar dan mengajar, diskusi ilmiah, pengkajian buku, pengajaran seorang guru, dan sekolah.[9]
Tokoh-Tokoh
Rasionalisme
a.
Blaise
Pascal
b.
Cristian
Wolf
c.
Rene
Descartes
d.
Baruch
Spinoza
e.
G.W
Leibnitz.[10]
3.
Intuisionisme
intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara
langsung dan seketika. Unsur utama bagi pengetahuan adalah kemungkinan adanya
suatu bentuk penghayatan langsung (intuitif), di samping pengalaman oleh
indera.[11]
Secara
epistemologis, pengetahuan intuitif berasal dari intuisi yang diperoleh melalui
pengamatan langsung, tidak mengenai objek lahir melainkan mengenai kebenaran
dan hakikat sesuatu objek.[12]
Metode
intuisi sebenarnya tidak bisa dibuktikan secara rasional maupun empiris. Akan
tetapi, hasil dari kebenaran intuisi tersebut dapat dibuktikan secara rasional
sekaligus empiris. Artinya, banyak orang yang memperoleh pengetahuan yang
mendalam secara intuitif yang kemudian terbukti benar. Oleh karena itu, Bergson
mengatakan bahwa intuisi sebenarnya bersifat intelektual dan sekaligus
supra-intelektual, dimana pengetahuan supra-intelektual tersebut akan dapat
mencapai pengetahuan dan kesadaran diri pada hal-hal yang paling vital, elan
vital. Sementara bagi Nietzsche intuisi merupakan inteligensi yang paling
tinggi, dan bagi Maslow intuisi merupakan pengalaman puncak (peak experience).[13]
Tokoh-Tokoh
Intuisionisme
a.
Imanuel
Kant
b.
Luitzen
Egbertus Jan Brouwer
c.
Arend
Heyting
d.
Sir
Michael Anthony Eardly Dummett.[14]
4.
Kritisisme
Kant
membedakan pengetahuan ke dalam empat bagian, sebagai berikut::
a.
Yang
analitis a priori
b.
Yang
sintetis a priori
c.
Yang
analitis a posteriori
Pengetahuan
a priori adalah pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya pengalaman atau,
yang ada sebelum pengalaman. Sedangkan pengetahuan a posteriori terjadi sebagai
akibat pengalaman. Pengetahuan yan analitis merupakan hasil analisa dan
pengetahuan sintetis merupakan hasil keadaan yang mempersatukan dua hal yang
biasanya terpisah Pengetahuan yang analitis a priori adalah pengetahuan yang
dihasilkan oleh analisa terhadap unsur-unsur yang a priori. Pengetahuan
sintetis a priori dihasilkan oleh penyelidikan akal terhadap bentuk-bentuk
pengalamannya sendiri dan penggabungan unsur-unsur yang tidak saling bertumpu.
Misal,
7 – 2 = 5 merupakan contoh pengetahuan semacam itu. Pengetahuan sintetis a
posteriori diperoleh setelah adanya pengalaman.
Dengan filsafatnya, ia bermaksud memugar sifat obyektivitas dunia dan ilmu pengetahuan. Agar maksud tersebut terlaksana orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak. Menurut Kant ilmu pengetahuan adalah bersyarat pada: a) bersiafat umum dan bersifat perlu mutlak dan b) memberi pengetahuan yang baru. Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni dan realita.
Dengan filsafatnya, ia bermaksud memugar sifat obyektivitas dunia dan ilmu pengetahuan. Agar maksud tersebut terlaksana orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak. Menurut Kant ilmu pengetahuan adalah bersyarat pada: a) bersiafat umum dan bersifat perlu mutlak dan b) memberi pengetahuan yang baru. Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni dan realita.
Kant
yang mengajarkan tentang daya pengenalan mengemukakan bahwa daya pengenalan roh
adalah bertingkat, dari tingkatan terendah pengamatan inderawi, menuju ke
tingkat menengah akal (Verstand) dan yang tertinggi rasio atau buddhi
(Vernunft).
Immanuel
Kant menganggap Empirisme (pengalaman) itu bersifat relative bila tanpa ada
landasan teorinya. contohnya adalah kamu selama ini tahu air yang dimasak
sampai mendidih pasti akan panas, itu kita dapat dari pengalaman kita di rumah
kita di Indonesia ini, namun lain cerita bila kita memasak air sampai mendidih
di daerah kutub yang suhunya di bawah 0̊ C, maka air itu tidak akan panas
karena terkena suhu dingin daerah kutub, karena pada teorinya suhu air malah
akan menjadi dingin.
dan
contoh lainnya adalah pada gravitasi, gravitasi hanya dapat di buktikan di bumi
saja, tetapi tidak dapat diterapkan di bulan. Jadi sudah terbukti bahwa
pengalaman itu bersifat relatif, tidak bisa kita simpulkan atau kita iyakan
begitu saja tanpa dibuktikan dengan sebuah akal dan teori. Dan oleh karena itu
Ilmu pengetahuan atau Science haruslah bersifat berkembang, tidak absolute atau
mutlak dan tidak bertahan lama karena akan melalui perubahan yang mengikuti
perkembangan zaman yang terus maju. (mungkin Sir Issac Newton bila hidup
kembali bakal merevisi teori Gravitasinya kembali) Pengalaman juga bersifat
data-data Inderawi.
Makanya
Immanuel Kant mengkritik Empirisme, data Inderawi sendiri harus dibuktikan atau
dicek dengan azas prinsipal abstrak yang dibagi menjadi 4 oleh Immanuel Kant,
antara lain:
1.
Kuantitas
(hitung-hitungan) mengandung kesatuan, kejamakan dan keutuhan.
2.
Kualitas
(Baik dan buruk) realitas, negasi dan pembatasan.
3.
Relasi
(hubungan) mengandung substansi, kausalitas dan timbal balik.
Data-data inderawi harus dibuktikan
dulu dengan azas prinsipal abstrak yang dibagi menjadi 4 tadi, baru dapat
diputuskan, itulah proses Kritisisme Rasionalis Jerman yang di ajarkan Immanuel
Kant.
Tokoh- Tokoh Kritisisme
a.
Henry Bergson
b.
Luitzen Egbertus Jan Brouwer
c.
Arend Heyting
C.
Kebenaran pengetahuan
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk
menemukan pengetahuan yang benar. Pada setiap jenis pengetahuan tidak sama
kriteria kebenarannya karena sifat dan watak pengetahuan itu berbeda.
Pengetahuan tentang alam metafisika tentunya tidak sama dengan pengetahuan
tentang alam fisik. Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah
untuk mencapai kebenaran, namun masalahnya tidak hanya sampai di situ saja. Problem
kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya espistemologi.
1.
Jenis-jenis kebenaran.
a.
Kebenaran Individual: Kebenaran Individual ini merupakan
kebenaran yang di ikuti manusia berdasarkan pendapat sendiri.
b.
Kebenaran Objektif: merupakan kebenaran yang biasanya bersumber dari
ajaran leluhur yang diwariskan secara turun temurun dan sudah mendarah
daging dalam masyarakat.
c.
Kebenaran Hakiki: Kebenaran yang sifatnya mutlak, pasti dan
tidak akan pernah mengalami perubahan, tentunya kebenaran ini bukan dari
manusia, tetapi kebanaran ini datangnya dari Sang Pencipta.[18]
2.
Teori-Teori Kebenaran
Dalam perkembangan pemikiran filsafat perbincangan
tentang kebenaran sudah dimulai sejak Plato yang kemudian diteruskan oleh
Aristoteles. Melalui metode dialog Plato yang membangun teori pengetahuan yang
cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal. Sejak itulah teori pengetahuan
berkembang terus untuk mendapatkan berbagai penyempurnaan sampai kini.
Ada beberapa teori tentang kebenaran yang berkembang
dalam kajian filsafat ilmu. Beberapa diantaranya, antara lain sebagai berikut.
a.
Teori Kebenaran Saling Berhubungan
(Coherence Theory of Truth)
Teori ini menganggap bahwa sesuatu dianggap benar
apabila pernyataan itu koheren atau konsistent dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar. Proporsi cenderung benar jika proposisi
tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi lainnya
yang benar, atau makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan
dengan pengalaman kita. Biasanya, kita mengatakan orang berbohong dalam banyak
hal dan kita mengetahuinya dengan cara menunjukkan bahwa apa yang dikatakannya
tidak cocok dengan hal-hal lain yang telah dikatakannya atau dikerjakanya.
Bila kita menganggap bahwa “Semua manusia akan mati”
adalah suatu pernyataan yang benar, maka “Si Dadang adalah seorang manusia dan
ia pasti akan mati” adalah pernyataan yang tentunya pasti benar (tidak mungkin
salah) sebab pernyataan kedua ini konsistent dengan pernyataan pertama. Contoh
kebenaran koherensi ini banyak ada dalam matematika karena matematika adalah
ilmu yang disusun atas dasar beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar, yaitu
aksioma.
Plato dan Aristoteles adalah dua Filsuf Yunani yang
mengembangkan teori koherensi berdasarkan pola pemikiran yang dipergunakan
Euclid dalam menyusun ilmu ukurnya. Setelah itu teori ini juga banyak digunakan
para filsuf idealis.
b.
Teori Kebenaran Saling Bersesuaian
(Correspondence Theory of Truth)
Bagi penganut teori kebenaran ini, suatu pernyataan
dianggap benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan
tersebut. Sebuah pernyataan itu benar jika apa yang diungkapkannya merupakan
fakta. Jika penulis mengatakan, “Di luar hawanya dingin” maka, memang begitulah
kenyataanya berdasarkan keadaannya yang nyata. Jika ada yang mengtakan, “Ibukota
Jawa Timur adalah Surabaya” Maka, pernyataan itu dianggap benar sebab hal itu
cocok dengan objek materialnya, bersifat faktual (berdasarkan fakta).
Salah satu tokoh teori ini adalah Bertrand russel
(1872-1870) dan para penganut aliran realis yang berpandangan bahwa fakta
material itu sifatnya mandiri dan tak terpengaruh oleh ide. Ada atau tidaknya
ide, fakta tetap ada. Kalau ide mau benar, ia harus sesuai dengan kenyataan
yang ada.
c.
Teori Kebenaran Inherensi/Pragmatis
(Inherent Theory of Truth)
Teori ini berpandangan bahwa sesuatu dianggap benar
apabila berguna. Artinya, kebenaran suatu pernyataan bersifat fungsional
dalam kehidupan praktis. Ajaran pragmatisme memang memiliki banyak corak
(variasi). Tetapi, yang menyamakan di antara mereka adalah bahwa ukuran
kebenaran diletakkan dalam salah satu konsenkuensi. William James, misalnya,
mengatakan, “Tuhan ada.” Benar bagi seorang yang hidupnya mengalami perubahan
karena percaya adanya Tuhan. Artinya, proposisi-proposisi yang membantu kita
mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang memuaskan terhadap
pengalaman-pengalaman kita adalah benar.
Teori pragmatisme dicetuskan oleh Charles S. Pierce
(1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How
to Make Our Ideas Clear”. Teori ini lalu dikembangkan oleh beberapa filafaat
yang kebanyakan adalah orang Amerika, karena itulah filsafaat Amerika identik
dengan aliran pragmatisme ini.[19]
d.
Teori Kebenaran Berdasarkan Arti (Semantic
Theory of Truth)
Yaitu proposisi itu ditinjau dari segi arti atau
maknanya. Apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpunya mempunyai referen
yang jelas. Oleh sebab itu, teori ini mempunyai tugas untuk menguakkan kesahan
dari proposisi dalam referensinya.
Teori kebenaran semantick dianut oleh paham filsafat
analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertrand Russell sebagai
tokoh pemula dari filsafat analitika Bahasa.
e.
Teori Kebenaran Sintaksis
Para penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal
tolak pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu
pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya. Dengan demikian, suatu
pernyataan memiliki nilai benar apabila pernyataan itu mengikuti aturan
sintaksis yang baku. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak
mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu tidak
mempunyai arti. Teori ini berkembang diantara para filsuf analisis bahasa,
terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika.
f.
Teori Kebenaran Nondeskripsi
Teori kebenaran nondeskripsi dikembangkan oleh
penganut filsafat fungsionalisme. Karena pada dasarnya suatu statement atau
pernyataan akan mempunyai nilai benar yang amat tergantung peran dan fungsi
daripada pernyataan itu. Misalnya pernyataan ‘matahari adalah sumber energi’
itu telah terbukti fungsinya dalam kehidupan bahwa cahaya matahari bisa
digunakan sebagai sumber energi listrik.[20]
g.
Teori Kebenaran Logis yang Berlebihan (Logical
Superfluity of truth)
Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik yang
diawali oleh Ayer. Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini, bahwa problema
kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan berakibat suatu pemborosan,
karena pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat
logis yang sama yang masing-masing saling melingkupinya. Dengan demikian, sesungguhnya
setiap proposisi yang bersifat logik dengan menunjukkan bahwa
proposisi itu mempunyai
isi yang sama, memberikan informasi yang sama dan semua orang sepakat, maka
apabila kita membuktikannya lagi hal yang demikian itu hanya merupakan bentuk
logis yang berlebihan. Hal yang demikian itu sesungguhnya karena suatu pernyataan
yang hendak dibuktikan nilai kebenarannya sesungguhnya telah merupakan fakta
atau data yang telah memiliki evidensi, artinya bahwa objek pengetahuan itu
sendiri telah menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri, Misalnya suatu
lingkaran adalah bulat, ini telah memberikan kejelasan dalam pernyataan itu
sendiri tidak perlu diterangkan lagi, karena pada dasarnya lingkaran adalah
suatu yang terdiri dari rangkaian titik yang jaraknya sama dari satu titik
tertentu, sehingga berupa garis yang bulat
Sedangkan Menurut Michael Williams terdapat 5
kriteria teori kebenaran yaitu:
1)
Kebenaran Koherensi: Sesuatu yang koheren dengan sesuatu yang lain berarti
ada kesesuaian atau keharmonisan dengan sesuatu yang memiliki hirarki lebih
tinggi, hal ini dapat berupa skema, sisitem, atau nilai. Koheren tersebut
mungkin saja tetap pada dataran sensual rasional, tetapi mungkin pula
menjangkau dataran transenden.
2)
Kebenaran Korespondensi: Berfikir benar korespondensi adalah
berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu yang lain.
Korespondensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah
antara fakta dengan fakta yang diharapkan (positifisme), antara fakta
dengan belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik.
3)
Kebenaran Performatif: Ketika pemikiran manusia menyatukan
segalanya dalam tampilan actual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik
yang praktis, yang teoritik, maupun yang filosofik. Orang yang mengetengahkan
kebenaran tampilan actual yang disebut dengan kebenaran performatif.
4)
Kebenaran Pragmatik: Perintis teori ini adalah Charles S. Pierce. Yang
benar adalah yang konkret, yang individual, dan yang spesifik, demikian James
Deweylebih lanjut menyatakan bahwa kebenaran merupakan korespondensi antara ide
denga fakta, dan arti korespondensi menurut Dewey adalah kegunaan praktis.
5)
Kebenaran Proposisi: Sesuatu kebenaran dapat diperoleh bila
proposisi-proposisinya benar dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah
bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Proposisi adalah suatu
pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks.[21]
3.
Sifat Kebenaran
a.
Kebenaran Ilmiah dari Sudut Pandang
Subjektifitas
Telah diketahui kebenaran ilmiah adalah
kebenaran yang ditandai oleh terpenuhinya syarat-syarat ilmiah terutama
menyangkut adanya teori yang menunjang serta sesuai dengan bukti. Kebenaran
ilmiah divalidasi oleh bukti-bukti empiris yaitu hasil pengukuran objektif
dilapangan.
Sifat setiap ilmu adalah diidentikkan
dengan dua teori yaitu “subjektifitas” dan “objektifitas”. Subjek berkaitan
dengan seseorang atau pribadi. Subjektif berkaitan erat dengan ke-aku-an.[22] Dalam hal filsafat subjektif berkaitan dalam segala hal, kesadaran
manusia menjadi tolak ukur, eksistensi, makna dan validitasnya.[23]
Dari penjelasan di atas bahwa “subjektifitas” menghendaki peranan
penting dari setiap pribadi yang menilai sendiri tentang kebenaran, artinya
sesuatu dipandang benar jika didasarkan pada pribadi atau manusia yang menilai
tentang sesuatu itu. Kebenaran tolak ukurnya adalah berdasarkan subjek, namun
hal semacam ini apakah berlaku bagi kebenaran ilmiah. Sedangkan kebenaran
ilmiah sangat identik dengan syarat-syarat ilmiah menyangkut teori yang
menunjang dan sesuai dengan bukti, yang ditunjang oleh rasio dan divalidasi
dengan data empirik
Sifat rasional dan teruji bagi kebanaran
ilmiah menghendaki adanya kebenaran hanya sesuatu yang dapat diakalkan
(logiskan) dan dapat teruji. Berari kebenaran ilmiah sangat menolak dengan
kebenaran mutlak. Sebab kebenaran ini kaitannya dengan kebenaran yang datang
dari Tuhan bersumber dari wahyu yang mengikat. Kebenaran yang rasional dan
teruji akan hanya mampu memaparkan hal-hal yang empiris.
Jika demikian di atas jawaban
pertanyaan-pertanyaan tersebut jika dikaitkan dengan penjelasan pengertian
kebenaran ilmiah dari aspek subjektifitas belum dapat diterima karena kebenaran
ilmiah yang bermuara dari subjektifitas tidak jarang menunjukkan bukti atau
tidak sesuai dengan data empirik dan pembuktian nyata berdasarkan dengan rasa
atau pribadi.
Oleh karena itu kebenaran yang sesungguhnya
dalam kajian kebenaran ilmiah adalah kebernaran yang sedikit dipengaruhi oleh
unsur subjektifitas.
b.
Kebenaran Ilmiah dari Sudut Pandang
Objektifitas
Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang
ditandai oleh terpenuhinya syarat-syarat ilmiah terutama menyangkut adanya
teori yang menunjang serta sesuai dengan bukti. Kebenaran ilmiah divalidasi
oleh bukti-bukti empiris yaitu hasil pengukuran objektif dilapangan.
Kebenaran merupakan seperti penjelasan
diawal adalah kesesuaian antara pengetahuan dengan objeknya. Objek adalah
sesuatu yang ihwalnya diketahui atau hendak diketahui. Suatu objek yang ingin
diketahui memiliki berbagai aspek yang amat sulit untuk diungkapkan sedangkan
yang lainnya tetap tersembunyi. Sangat jelas bahwa untuk mengetahui objek
secara lengkap sangat sulit.
Objek juga diartikan sebagai sesuatu yang
dapat dilihat secara fisik, disentuh, diindra, sesuatu yang dapat disadari
secara fisik atau mental, suatu tujuan akhir dari kegiatan atau usaha, suatu
hal yang menjadi masalah pokok suatu penyelidikan.[24]
Menurut Langeveld dalam bukunya Muhammad
In’am Esha objek
pengetahuan dibedakan menjadi tiga:
1)
Objek empiris yaitu objek pengetahuan yang pada
dasarnya ada dan dapat ditangkap oleh indra lahir dan indra batin.
2)
Objek ideal yaitu objek pengetahuan yang pada dasarnya
tiada dan menjadi ada berkat akal.
3)
Objek transendental yaitu objek pengetahuan yang pada
dasarnya ada tetapi berada diluar jangkauan pikiran dan perasaan manusia.[25]
Kebenaran yang objektif tidak bergantung
pada ada atau tidaknya pengetahuan subjek tentang objek, mengingat objek
pengetahuan itu beraneka ragam maka tolak ukur agar kebenaran yang menjadi
syarat diterimanya pengetahuan berlainan, terhadap objek yang bersifat:
(1)
Empiris, ukuran kebenara adalah bukti kenyataan
(faktual).
(2)
Ideal,ukuran kebenarannya adalah hukum pikir
(rasional).
(3)
Transendental, ukuran kebenaran adalah rasa percaya (superrasional).
Pengetahuan adalah tanggapan subjek
terhadap objek yang diketahui,dengan demikian taggapan merupakan penilaian
subjek terhadap objek. Oleh karena itu dalam hal ini kebenaran ada dua
sisi:
a)
Benarnya fakta (bukti) adalah kebenaran objek (didunia
luar).
Fakta
bersifat objektif, sehingga fakta tidak dapat disalahkan atau dipersalahkan
karena memang demikian adanya sekalipun negatif. Oleh karena itu ada dua
kemungkinan yang terjadi yaitu faktanya benar dan tanggapan subjek benar dan
faktanya benar dan tanggapan subjek salah. Dalam kebenaran ilmiah apakah
kebenaran objektif dapat diterima? Langeveld menjawab kebenaran yang
sesungguhnya tidak lepas dari gabungan subjek dan objek.
Kebenaran
ini ia sebut dengan kebenaran dasar yaitu ada hubungan antara subjek dan objek.
Namun, hal ini juga dibantah, kebenaran dasar belum mencapai tingkat dijamin
ilmiah. Lantas jika kebenaran sifatnya relatif apa gunanya manusia
berpengetahuan? untuk menjawab pertanyaan ini perlu diingat kembali tentang
teori pengetahuan. Teori-teori itu dapat menjadi acuan bagi kebenaran ilmiah.
Inti dari
kebenaran ilmiah adalah penjelasan tentang objek seperti apa adanya tanpa ada
pengaruh sedikitpun oleh keadaan subjek. Objek dijelaskan dibuktikan dengan
nyata, dalam keadaannya tanpa ada manipulasi atau perubahan tanggapan dari
subjek. Jika terjadi manipulasi maka hal ini jelas keuar dari koridor arti
kebenaran bahwa pengetahuan tidak sesuai dengan keadaan objek, dan ini telah
terjadi kekeliruan yang jelas pengetahuan ini tidak dapat diterima
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Unsur-Unsur Pengetahuan: Ada
tiga unsur dalam tahu/pengetahuan, yakni subyek yang mengetahui (knowing
subject), obyek yang diketahui (known object), dan kegiatan pengetahuan itu
sendiri (knowing activity).
2.
Asal Usul Pengetahuan: 1) Empirisme:
bergantung pada bukti-bukti yang diamati
oleh indera. 2) Rasionalisme: paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (resen) adalah alat
terpenting dalam memperoleh pengatahun dan mengetes pengatahuan. 3). Intuisionisme: yang diperoleh melalui pengamatan langsung, tidak mengenai objek
lahir melainkan mengenai kebenaran dan hakikat sesuatu objek. 4). Kritisisme:
Kant membedakan pengetahuan ke dalam empat bagian, sebagai berikut: (1)
Yang analitis a priori. (2) Yang sintetis a priori (3) Yang analitis a
posteriori (4) Yang sintetis a posteriori
3.
Kebenaran pengetahuan: 1). Jenis-jenis kebenaran: (1) Kebenaran Individual ( 2). Kebenaran
Objektif. ( 3). Kebenaran Hakiki 2). Teori-Teori Kebenaran: Menurut
Michael Williams terdapat 5 kriteria teori kebenaran yaitu: (1) Kebenaran Koherensi (2)
Kebenaran Korespondensi (3) Kebenaran Performatif. (4). Kebenaran Pragmatik (5)
Kebenaran Proposisi 3) Sifat Kebenaran
(1). Kebenaran Ilmiah dari Sudut Pandang (2).
Subjektifitas Kebenaran Ilmiah dari Sudut Pandang Objektifitas
DAFTAR PUSTAKA
S.M.N.
Al-Attas, 1984, Konsep Pendidikan
Islam, terj. Haidar Bagir, Bandung: Mizan, Cet. I
C. A Van
Peurson 1980 Orientasi di Alam Filsafat Jakarta, PT Gramedia.
Louis Leahy 2006
jika sains mencari makna yogyakarta
pustaka filsafat
http://fansbuku.blogspot.co.id/2010/04/filsafat-ilmu-bab-i-apa-itu-pengetahuan.html (diakses pada tangaal 20-11-2017)
Ahmad Saebani,
2009 Filsafat Ilmu, bandung;CV Pustaka Setia,
Lorens bagus.
1996 Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Harun
Hadiwijono. 1993 Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Cet. IX; Yogyakarta: Kanisius,
Ahmad
Tafsir 2007 Filsafat Umum, bandung PT. Remaja
Rasda Karya
A. Maksum.
2008 Pengantar Filsafat. Malang: Ar-Ruzzmedia
Harold H.
Titus, dkk, 1984 Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta:
Bulan Bintang,
Ravertz, Jerome
R. 2004 The Philosophy of Science. Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu dengan
judul Filsafat Ilmu, Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan. Cet. I; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,
Bambang Q-Anees
dan Radea Juli A. Hambali, selanjutnya disebut Bambang, 2003 Filsafat Untuk
Umum Cet. I; Jakarta: Prenada Media
Surajiyo,
2008 Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Ahmad Tafsir, 1998
Filsafat Umum Cet. VI; Bandung:
PT Remaja Rosdakarya,
Soyomukti
Nurani, 2011 Pemgantar Filsafat Umum, Depok: Ar Ruzz Media.
Louis O Kattsoff, 1996 Element Of Philosophy, diterjemahkan oleh
Soejono Soemargono,Pengantar filsafat, PT. Tiara Wacana Yogya,
Yogyakarta
Budiono, 2005 Kamus
Ilmiah Populer Internasional, PT. Karya Harapan, Surabaya:
Muhammad In’am
Esha, 2010 Menuju Pemikiran Filsafat,( UIN Maliki Press, Malang:
Uyoh Sadullah, 2008 Pengantar Filsafat Pendidikan, PT. Alfabeta,
Bandung
Jan Hendrik
Rapar, 2000 Pengantar Filsafat, PT. Kanisius, Yogyakarta
[1]S.M.N.
Al-Attas, Konsep Pendidikan Islam, terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan,
1984), Cet. I, hlm.37
[2]C. A Van
Peurson., Orientasi di Alam Filsafat (Jakarta., PT Gramedia., 1980), hlm
19
[3]
Louis Leahy jika
sains mencari makna (yogyakarta pustaka filsafat 2006 ), hal 79-80
[4] http://fansbuku.blogspot.co.id/2010/04/filsafat-ilmu-bab-i-apa-itu-pengetahuan.html (diakses pada
tangaal 20-11-2017)
[5] Ahmad Saebani,
Filsafat Ilmu, (bandung;CV Pustaka Setia, 2009), hal. 96
[6] Lorens bagus. Kamus
Filsafat. (Jakarta: Gramedia. 1996). Hal. 1017-1018.
[7] Harun
Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Cet. IX; (Yogyakarta:
Kanisius, 1993.), hal 78
[8] Ahmad
Tafsir Filsafat Umum, (bandung PT. Remaja
Rasda Karya 2007), hal 89
[9]
A. Maksum. Pengantar Filsafat. (Malang: Ar-Ruzzmedia
2008), hal 69
[10] Saebani, Filsafat
Ilmu.....,hal 100
[11] Harold H.
Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat,
(Jakarta: Bulan Bintang,1984), hal 205
[12] Harold H.
Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat...hal 216
[13] Ravertz,
Jerome R. The Philosophy of Science. Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu dengan
judul Filsafat Ilmu, Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan. Cet. I;
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).hal
36
[14] Harold H.
Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat...hal 265
[15] Bambang
Q-Anees dan Radea Juli A. Hambali, selanjutnya disebut Bambang, Filsafat
Untuk Umum (Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2003), hal 190
[17] Harold H.
Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat...hal 265
[18] Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum (Cet. VI; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998), hal. 109
[19] Soyomukti Nurani, Pemgantar Filsafat Umum,
(Depok: Ar Ruzz Media. 2011 ) hal 174-176
[20] Soyomukti
Nurani, Pemgantar Filsafat Umum, (Depok: Ar Ruzz Media. 2011) hal 174-176
[21] Louis O Kattsoff, Element Of Philosophy,
diterjemahkan oleh Soejono Soemargono,Pengantar filsafat,( PT. Tiara
Wacana Yogya, Yogyakarta 1996), hal 77-79
[22] Budiono, Kamus
Ilmiah Populer Internasional, (PT. Karya Harapan, Surabaya: 2005). Hal. 618
[23] Muhammad In’am
Esha, Menuju Pemikiran Filsafat,( UIN Maliki Press, Malang: 2010). Hal.
125.
[25]
In’am Esha, Menuju
Pemikiran Filsafat......, hal 129
No comments:
Post a Comment