Sunday, July 21, 2019

ASAL USUL HAKEKAT PENGETAHUAN (Unsur, Asal-usul, dan hakekat pengetahuan)


BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang.
Manusia adalah makhluk rasional (hayawan natiq).[1] sehingga mereka mampu merumuskan makna-makna yang melibatkan penilaian, pembedaan dan penjelasan yang tentunya dengan pengetahuan dan akal yang mereka fungsikan.
Pengetahuan merupakan sumber realitas atas asumsi dasar manusia. Tanpa pengetahuan manusia tidak dapat membedakan hal-hal yang bisa ditangkap dengan panca indera. maka istilah "pengetahuan" itu cukup luas artinya, Istilah ini menunjukan bahwa manusia sadar akan barang-barang di sekitarnya; adanya manusia di dunia ini lain dari pada adanya sebuah barang mati. Dan kata“pengetahuan" tidak hanya meliputi pengetahuan ilmiah, melainkan pula pengalaman pribadi, melihat dan mendengar, perasaan dan intuisi, dugaan dan suasana jiwa.[2]
Pengetahuan merupakan pokok kajian dalam ilmu filsafat. Dalam filsafat pengetahuan termasuk dalam kajian “epistimologi” dengan akar kata episteme (pengetahuan) dan logos (kata/ pembicaraan/ ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana unsur-unsurnya, asal-usulnya, serta jenis kebenaran suatu pengetahuan itu sendiri.
Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia merupakan kajian yang sangat mendalam dan menarik untuk diperbincangkan dikalangan akademisi.
Banyak orang mengartikan pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu sama, hal tersebut memang tidak salah seluruhnya namun perlu ditinjau berdasarkan kaidah keilmuan agar dapat memahami sesungguhnya. Sebagaimana analogi yang telah dipaparkan, bahwa ilmu pengetahuan adalah tahapan atau bagian dari pengetahuan. Sehingga dapat dipahami bahwa pengetahuan berbeda dengan ilmu. Lebih tepatnya ilmu adalah bagian dari pengetahuan. Kata ilmu merupakan terjemahan dari kata “science”, yang secara etimologis berasal dari kata latin “scinre”, artinya “to know”. Namun, pengertian science ini sering salah diartikan, dan direduksi berkaitan dengan ilmu alam semata padahal tidak demikian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu merupakan pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu. Pendapat lain menerangkan bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang mengembangkan dan melaksanakan aturan-aturan mainnya dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhannya. Melalui pendapat tersebut dipahami bahwa ilmu merupakan pengembangan dari pengetahuan yang memiliki aturan tertentu dan dapat diuji kebenarannya karena berkaitan dengan penafsiran suatu hal yang pada umumnya berlaku secara umum.
Maka, untuk memahami identitas pengetahuan itu sendiri penulis berupaya merumuskan masalah yang berkenaan dengan asal-usul dan hakiikat pengetahuan sebagai berikut:
B.            Rumusan Masalah
1.             Apa unsur-unsur pengetahuan ?
2.             Bagaimana asal-usul pengetahuan ?
3.             Apa saja jenis-jenis kebenaran pengetahuan?
C.           Tujuan masalah
1.             Untuk Mengetahui unsur-unsur pengetahuan.
2.             Untuk Mengetahui asal-usul pengetahuan.
3.             Untuk Mengetahui jenis-jenis kebenaran pengetahuan



BAB II
PEMBAHAASAN
A.           Unsur-Unsur Pengetahuan
Ada tiga unsur dalam tahu/pengetahuan, yakni subyek yang mengetahui (knowing subject), obyek yang diketahui (known object), dan kegiatan pengetahuan itu sendiri (knowing activity). Berikut penjelasan tentang ketiga unsur tersebut.
1.             knowing subject
Di atas disebutkan bahwa gejala tahu dan pengetahuan terdapat pada makhluk hidup. Tumbuhan dan hewan, makluk hidup yang tingkatannya di bawah manusia, dalam arti tertentu tahu (memiliki pengetahuan). Tapi, pengetahuan yang sesungguhnya hanya dimiliki manusia. Mengapa? Sebab, kegiatan mengetahui selalu mengandaikan rasio, dan, kita tahu, hanya manusia memiliki rasio.
Karena kemampuan rasio terbatas, maka pengetahuan manusia pun terbatas, dan berkembang sepotong demi sepotong sebelum mencapai pengetahuan yang sempurna. Louis Leahy menunjuk tiga syarat yang dipenuhi subyek agar dapat tercipta pengetahuan, yang sempurna, yakni keterbukaan, kemampuan menyambut, dan interioritas.Subyek harus terbuka agar bisa menangkap eksistensi dan kodrat obyek yang diketahui. Batu, misalnya, tak dapaYanenjadi subyek pengetahuan karena tidak memiliki keterbukaan. Kemampuan menyambut memungkinkan obyek tinggal dalam diri subyek dalam rupa gambar, ingatan, atau ide.
Kembali kita kepada definisi tentang pengetahuan sebagai kemanunggalan subyek-obyek.Interioritas memungkinkan subyek makin banyak dan baik mengetahui. Itu ibarat daya tampung, semakin besar daya tampungnya semakin banyak pula yang diperolehnya. Ketiga unsur tersebut merupakan dimensi supramaterial atau imaterialitas dari subyek. Artinya, karena dalam kegiatan pengetahuan subyek mengatasi batas-batas jasmaniahnya, maka dia harus memiliki immaterialitas. Disini berlaku prinsip: imaterialitas yang dinikmati suatu pengada merupakan akar dan ukuran dari pengetahuan yang dikuasainya. Dan tentu subyek yang mengetahui itu harus berkesadaran. Artinya, dia harus memiliki pengetahuan akan kegiatan clan dirinya, pada saat dia mengetahui suatu yang lain dari dirinya tersebut.
2.             knowing Object
Ini menyangkut apa yang ada dan yang mungkin ada. Seperti dijelaskan di atas, manusia bertanya tentang segala hal, yang konkrit maupun abstrak, yang dulu, sekarang, maupun yang akan datang. Pendeknya, yang ada clan yang mungkin ada. Jadi, dengan rasionya manusia dapat mengetahui tentang ide-ide abstrak seperti kebaikan, kejahatan, keindahan, nilai moral, bahkan tentang Tuhan dan keabadian.
Obyek yang dikenal harus mempengaruhi subyek. Pertanyaannya: apa yang menyebabkan, misalnya, bahwa pohon dikenal sebagai pohon (dan bukan sebagai manusia)? Obyek itu hams memiliki eidos, kata Yunani yang berarti bentuk. Eidos (juga morphe) berarti aspek dari suatu benda, clan unsur yang menstruktur benda itu dari dalam sehingga A adalah A (bukan B). Lewat eidos itulah suatu benda bukan saja mendapat kodrat, tapi juga dapat diketahui maksud clan tujuannya [3]
Kegiatan Mengetahui Ini merupakan proses psikologis yang sangat rumit. Tetapi, yang jelas, unsur ini seakanakan berada di antara S dan O. Kegiatan inilah yang menandai gejala persatuan (union) antara S dan O.
3.             knowing Activity
Masalah yang sering diperdebatkan oleh para filsuf ialah apakah tahu/pengetahuan itu sama dengan pengalaman? Dengan kata lain, apakah mengetahui sesuatu sama dengan mengalami sesuatu? Reuben Abel, dalam bukunya Man is the Measure mengatakan bahwa tahu dan pengalaman tidak sama. Filsuf Bertrand Russell membedakan tahu melalui pertemuan langsung (knowledge by acquaintance) dan tahu melalui deskripsi (knowledge by description). Yang pertama bersifat langsung. Bambang, misalnya, mengatakan bahwa dia tahu/kenal si Budi atau si Vina, kenal candi Borobudur atau Lembang, kenal rendang atau nasi gudeg Yogya. Russell menyamakannya dengan seorang pencinta anjing yang mengenal baik anjingnya. Pengenalan semacam ini punya tingkatan, tapi tidak pernah palsu. Saya bisa mengatakan bahwa pemeran dalam sinteron itu adalah teman kelasku Vicky. Kalaupun itu tidak benar, maka yang tidak benar itu pernyataanku, bukan pengetahuanku. Pengetahuan jenis inilah yang dimitiki antara seorang kekasih terhadap orang atau sesuatu yang dicintainya, guru terhadap muridnya, dokter terhadap pasiennya. Martin Buber, misalnya, berkata spontan bahwa dia mengenal Tuhan lewat pertemuan langsung.
Pengetahuan melalui deskripsi adalah pengetahuan ilmiah. Artinya, saya tahu bahwa yang itu memang begitu. Atau, merupakan deskripsi atas fakta, dan sebab itu harus ditampilkan dalam bentuk proposisi atau kalimat-kalimat. Tapi tahu bahwa (knowing that), harus dibedakan dari tahu bagaimana (knowing how). Si Eva dapat tahu bagaimana berenang, bagaimana mengikat dasi, tanpa perlu melukiskan dengan tapat bagaimana berenang atau mengikat dasi. Ini berlaku, misalnya, pada hal-hal menyangkut keterampilan dan kerajinan, merasakan anggur atau memecahkan teka-teki.
Michael Polanyi mengatakan bahwa tahu bagaimana duduk seimbang di atas sepeda belum tentu berarti bahwa tahu bahwa "untuk suatu sudut ketidakseimbangan, lekukan setiap belokan secara berbanding terbalik dengan kwadrat kecepatan". Pengalaman (experience) adalah suatu yang menyangkut segalanya yang kita lakukan atau apa saja yang terjadi pada kita. la menyangkut sensasi, emosi, rasa sakit, pengalaman estetik dan pengalaman mistik. Pengalaman tak dapat disamakan dengan pengetahuan proposisional. Pengetahuan tidak berfungsi menggandakan pengalaman, tapi memerihkannya (deskripsi). Pengetahuan tidak berfungsi mereproduksi apa yang terjadi, tapi menjelaskannya. Tahu apa itu marah (knowing what anger is), misalnya, tidak sama dengan menjadi marah (being angry). Menikmati anggur tidak sama dengan tahu komposisi anggur. Kehidupan lebih luas yang seringkali tidak cukup dilukiskan dengan kata-kata. Oleh sebab itu J.L.Austin mengatakan fakta lebih kaya dari kata-kata (fact is richer than diction).
Meskipun demikian, pengalaman dan pengetahuan bukan saling berkompetisi. Pengalaman bisa menjadi insentif untuk memperoleh pengetahuan, atau menjadi bukti untuk pengetahuan tertentu, atau menjadi obyek pengetahuan. Tetapi pengalaman bukan pengetahuan itu sendiri. Kita jangan mencampurkan deskripsi dengan apa yang dideskripsikan, penjelasan dengan apa yang dijelaskan, pengetahuan dengan pengalaman. Dokter pria tidak ipso facto tahu lebih sedikit tentang menstruasi dan kelahiran dibanding rekannya yang wanita. Jadi, pengalaman dan pengetahuan langsung (knowledge by acquantance) merupakan unsur yang sangat penting bagi pengetahuan deskriptif, tapi tidak pernah menggantikan, atau menjadi rival, pengetahuan deskriptif.
Sampai hari ini masih belum ada kesepakatan di kalangan para filsuf tentang apakah pengetahuan harus bersifat proposisional (diungkapkan dalam kalimat). Ada dua kubu yang bertentangan. Kubu pertama mengatakan pengetahuan harus proposisional, dan kubu kedua yang berpendapat bahwa pengetahuan tidak harus proposisional. Mereka yang masuk kubu pertama antara lain Rudolf Carnap (ilmu pada prinsipnya dapat mengatakan semua yang dapat dikatakan), Hans Reichenbach (apa yang kita tahu dapat dikatakan, dan apa yang tak dapat dikatakan tak dapat diketahui), dan Wittgenstein awal (apa saja yang dapat dikatakan dapat dikatakan dengan jelas). Scdangkan yang mewakili kubu kedua antara lain Polanyi (kita tahu lebih banyak daripada yang dapat kita katakan). Termasuk kubu ini adalah mereka yang mengatakan bahwa pengetahuan sebenamya dapat dimiliki oleh semua tingkatan makluk hidup. Jadi, bagi mereka ini, seorang bayi pun bisa tahu bahwa api panas. Anjing tahu dan bisa membedakan kapan ia digiling dan kapan ditendang. Tumbuhan tahu mana bagian atas mana bagian bawah.
Paradigma untuk pengetahuan proposisional adalah Saya tahu bahwa p(I know that p), di mana p adalah suatu kalimat, yakni statemen yang benar atau salah. Misalnya Hari ini hari Kamis, atau Habibie menggantikan Soeharto sebagai presiden RI. Analisis terhadap kalimat saya tahu bahwa p menunjukkan bahwa harus dipenuhi empat persyaratan:
a.              Bahwa p adalah benar. Oleh karenanya kalau saya katakan "Saya tahu bahwa 2 + 2= 5" pasti Anda mengatakan: "Anda tidak tahu, sebab tidak benar". Itulah sebabnya Plato mengatakan bahwa "hanya apa yang benar dapat diketahui".
b.             Bahwa saya yakin bahwa p. Keyakinan (belief) adalah sikap atau tindakan akal. Keyakinan itu bukan pengetahuan, tapi syarat untuk pengetahuan. Jadi, saya dapat mengatakan: "saya yakin bahwa p, tapi saya tidak tahu". Sebaliknya, saya tak dapat berkata: "saya tahu bahwa p, tapi saya tidak yakin". Keyakinan adalah persyaratan wajib (necessary condition) bagi pengetahuan, tapi bukannya syarat yang cukup (sufficient condition). Orang dapat percaya sepenuh hati tanpa tahu, tapi orang tak da pat tahu tanpa percaya.
c.              Bahwa saya punya alasan, atau bukti yang cukup, bagi keyakinanku bahwa p. Keyakinan saya harus dibuktikan. Ini untuk membedakan pengetahuan dari lucky guess atau astrologi. Kalau saya katakan bahwa path Lebaran tahun 1999, orang yang mu dik dari Jakarta mencapai dua juta orang, Anda akan minta bukti, atau bertanya lagi dari mana saya memperoleh angka tersebut. Jadi, bukti yang cukup belum otomatis membuat orang tahu. Misalnya, ketika seorang selesai membaca cerita detektif yang seru, ia berkata spontan: mustinya saya tahu! Atau setelah penyebab kanker ditemu kan, para ahli yang menyadari bahwa mereka sudah pusing mencarinya bertahun tahun, berkata bahwa mereka memang baru tahu. Jadi, bukti adalah persyaratan yang wajib bagi pengetahuan, bukan persyaratan yang cukup.
Dalam kaitan dengan ini, sering muncul perdebatan tentang apakah mungkin ada pengetahuan tanpa disadari. Dengan perkataan lain, agar saya tahu bahwa p, apakah saya harus tahu bahwa saya tahu? Apakah Anda tahu sepatu mana yang selalu pertama Anda pakai? Kiri atau kanan? Atau lagu apa yang diperdengarkan radio ketika Anda membaca koran? Dalam psikoanalisa, Freud menunjukkan bahwa pengetahuan tanpa disadari itu mungkin saja.
d.             Bahwa saya tidak punya bukti lain yang dapat menentang keyakinanku. Saya, misalnya mengatakan "saya tahu bahwa sekarang pukul 12.00" sebab jarum jamku memang menunjukkan bahwa sekarang pukul 12.00.[4]
B.            Asal Usul Pengetahuan.
1.             Empirisme
Metode Empiris dan penelitian empiris, Konsep sentral dalam ilmu pengetahuan dan metode ilmiah adalah bahwa semua bukti harus empiris, atau berbasis empiris, yaitu, bergantung pada bukti-bukti yang diamati oleh indera. Hal ini dibedakan dari penggunaan filosofis empirisme oleh penggunaan kata sifat "empiris" atau adverbia yang "empiris". Empiris yang digunakan bersama dengan baik alam dan ilmu-ilmu sosial , dan mengacu pada penggunaan kerja hipotesis yang dapat diuji menggunakan pengamatan atau percobaan. Dalam arti kata, laporan ilmiah untuk tunduk dan berasal dari pengalaman kami atau observasi. [5]
Dalam arti kedua "empiris" dalam ilmu dan statistik mungkin identik dengan "eksperimental". Dalam hal ini, hasil pengamatan empiris adalah eksperimental. Istilah semi-empiris yang kadang-kadang digunakan untuk menggambarkan metode teoritis yang menggunakan dasar aksioma , hukum ilmiah didirikan, dan hasil eksperimen sebelumnya dalam rangka untuk terlibat dalam pembentukan model beralasan dan penyelidikan teoritis.[6]
Tokoh-Tokoh Empirisme
a.              Francis Bacon
b.             Thomas Hobes
c.              John Locke
d.             David Hume.[7]
2.             Rasionalisme
Rasionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa sumber pengatahuan satu-satunya yang benar adalah rasio (akal budi), Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (resen) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengatahun dan mengetes pengatahuan. Jika empiresme mengatakan bahwa pengatahuan diperoleh dengan alam mengalami objek empiris, maka rasionalisme mengejarkan bahwa pengatahuan di peroleh dengan cara berfikir alat dalam berfikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika.[8]
Pengetahuan rasional atau pengetahuan yang bersumber dari akal (rasio) adalah suatu pengetahuan yang dihasilkan dari proses belajar dan mengajar, diskusi ilmiah, pengkajian buku, pengajaran seorang guru, dan sekolah.[9]
Tokoh-Tokoh Rasionalisme
a.              Blaise Pascal
b.             Cristian Wolf
c.              Rene Descartes
d.             Baruch Spinoza
e.              G.W Leibnitz.[10]
3.             Intuisionisme
intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Unsur utama bagi pengetahuan adalah kemungkinan adanya suatu bentuk penghayatan langsung (intuitif), di samping pengalaman oleh indera.[11]
Secara epistemologis, pengetahuan intuitif berasal dari intuisi yang diperoleh melalui pengamatan langsung, tidak mengenai objek lahir melainkan mengenai kebenaran dan hakikat sesuatu objek.[12]
Metode intuisi sebenarnya tidak bisa dibuktikan secara rasional maupun empiris. Akan tetapi, hasil dari kebenaran intuisi tersebut dapat dibuktikan secara rasional sekaligus empiris. Artinya, banyak orang yang memperoleh pengetahuan yang mendalam secara intuitif yang kemudian terbukti benar. Oleh karena itu, Bergson mengatakan bahwa intuisi sebenarnya bersifat intelektual dan sekaligus supra-intelektual, dimana pengetahuan supra-intelektual tersebut akan dapat mencapai pengetahuan dan kesadaran diri pada hal-hal yang paling vital, elan vital. Sementara bagi Nietzsche intuisi merupakan inteligensi yang paling tinggi, dan bagi Maslow intuisi merupakan pengalaman puncak (peak experience).[13]
Tokoh-Tokoh Intuisionisme
a.              Imanuel Kant
b.             Luitzen Egbertus Jan Brouwer
c.              Arend Heyting
d.             Sir Michael Anthony Eardly Dummett.[14]

4.             Kritisisme
Kant membedakan pengetahuan ke dalam empat bagian, sebagai berikut::
a.             Yang analitis a priori
b.             Yang sintetis a priori
c.             Yang analitis a posteriori
d.            Yang sintetis a posteriori.[15]
Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya pengalaman atau, yang ada sebelum pengalaman. Sedangkan pengetahuan a posteriori terjadi sebagai akibat pengalaman. Pengetahuan yan analitis merupakan hasil analisa dan pengetahuan sintetis merupakan hasil keadaan yang mempersatukan dua hal yang biasanya terpisah Pengetahuan yang analitis a priori adalah pengetahuan yang dihasilkan oleh analisa terhadap unsur-unsur yang a priori. Pengetahuan sintetis a priori dihasilkan oleh penyelidikan akal terhadap bentuk-bentuk pengalamannya sendiri dan penggabungan unsur-unsur yang tidak saling bertumpu.
Misal, 7 – 2 = 5 merupakan contoh pengetahuan semacam itu. Pengetahuan sintetis a posteriori diperoleh setelah adanya pengalaman.
Dengan filsafatnya, ia bermaksud memugar sifat obyektivitas dunia dan ilmu pengetahuan. Agar maksud tersebut terlaksana orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak. Menurut Kant ilmu pengetahuan adalah bersyarat pada: a) bersiafat umum dan bersifat perlu mutlak dan b) memberi pengetahuan yang baru. Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni dan realita.
Kant yang mengajarkan tentang daya pengenalan mengemukakan bahwa daya pengenalan roh adalah bertingkat, dari tingkatan terendah pengamatan inderawi, menuju ke tingkat menengah akal (Verstand) dan yang tertinggi rasio atau buddhi (Vernunft).
Immanuel Kant menganggap Empirisme (pengalaman) itu bersifat relative bila tanpa ada landasan teorinya. contohnya adalah kamu selama ini tahu air yang dimasak sampai mendidih pasti akan panas, itu kita dapat dari pengalaman kita di rumah kita di Indonesia ini, namun lain cerita bila kita memasak air sampai mendidih di daerah kutub yang suhunya di bawah 0̊ C, maka air itu tidak akan panas karena terkena suhu dingin daerah kutub, karena pada teorinya suhu air malah akan menjadi dingin.
dan contoh lainnya adalah pada gravitasi, gravitasi hanya dapat di buktikan di bumi saja, tetapi tidak dapat diterapkan di bulan. Jadi sudah terbukti bahwa pengalaman itu bersifat relatif, tidak bisa kita simpulkan atau kita iyakan begitu saja tanpa dibuktikan dengan sebuah akal dan teori. Dan oleh karena itu Ilmu pengetahuan atau Science haruslah bersifat berkembang, tidak absolute atau mutlak dan tidak bertahan lama karena akan melalui perubahan yang mengikuti perkembangan zaman yang terus maju. (mungkin Sir Issac Newton bila hidup kembali bakal merevisi teori Gravitasinya kembali) Pengalaman juga bersifat data-data Inderawi.
Makanya Immanuel Kant mengkritik Empirisme, data Inderawi sendiri harus dibuktikan atau dicek dengan azas prinsipal abstrak yang dibagi menjadi 4 oleh Immanuel Kant, antara lain:
1.             Kuantitas (hitung-hitungan) mengandung kesatuan, kejamakan dan keutuhan.
2.             Kualitas (Baik dan buruk) realitas, negasi dan pembatasan.
3.             Relasi (hubungan) mengandung substansi, kausalitas dan timbal balik.
4.             Modalitas mengandung kemungkinan, peneguhan dan keperluan.[16]
Data-data inderawi harus dibuktikan dulu dengan azas prinsipal abstrak yang dibagi menjadi 4 tadi, baru dapat diputuskan, itulah proses Kritisisme Rasionalis Jerman yang di ajarkan Immanuel Kant.
Tokoh- Tokoh Kritisisme
a.              Henry Bergson
b.             Luitzen Egbertus Jan Brouwer
c.              Arend Heyting
d.             Sir Michael Anthony Eardly Dummett.[17]
C.           Kebenaran pengetahuan
 Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Pada setiap jenis pengetahuan tidak sama kriteria kebenarannya karena sifat dan watak pengetahuan itu berbeda. Pengetahuan tentang alam metafisika tentunya tidak sama dengan pengetahuan tentang alam fisik. Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran, namun masalahnya tidak hanya sampai di situ saja. Problem kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya espistemologi.
1.             Jenis-jenis kebenaran.
a.             Kebenaran Individual: Kebenaran Individual ini merupakan kebenaran yang di ikuti manusia berdasarkan pendapat sendiri.
b.             Kebenaran Objektif: merupakan kebenaran yang biasanya bersumber dari ajaran leluhur  yang diwariskan secara turun temurun dan sudah mendarah daging dalam masyarakat.
c.             Kebenaran Hakiki: Kebenaran yang sifatnya mutlak, pasti dan tidak akan pernah mengalami perubahan, tentunya kebenaran ini bukan dari manusia, tetapi kebanaran ini datangnya dari Sang Pencipta.[18]

2.             Teori-Teori Kebenaran
Dalam perkembangan pemikiran filsafat perbincangan tentang kebenaran sudah dimulai sejak Plato yang kemudian diteruskan oleh Aristoteles. Melalui metode dialog Plato yang membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal. Sejak itulah teori pengetahuan berkembang terus untuk mendapatkan berbagai penyempurnaan sampai kini.
Ada beberapa teori tentang kebenaran yang berkembang dalam kajian filsafat ilmu. Beberapa diantaranya, antara lain sebagai berikut.
a.             Teori Kebenaran Saling Berhubungan (Coherence Theory of Truth)
Teori ini menganggap bahwa sesuatu dianggap benar apabila pernyataan itu koheren atau konsistent dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Proporsi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi lainnya yang benar, atau makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita. Biasanya, kita mengatakan orang berbohong dalam banyak hal dan kita mengetahuinya dengan cara menunjukkan bahwa apa yang dikatakannya tidak cocok dengan hal-hal lain yang telah dikatakannya atau dikerjakanya.
Bila kita menganggap bahwa “Semua manusia akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka “Si Dadang adalah seorang manusia dan ia pasti akan mati” adalah pernyataan yang tentunya pasti benar (tidak mungkin salah) sebab pernyataan kedua ini konsistent dengan pernyataan pertama. Contoh kebenaran koherensi ini banyak ada dalam matematika karena matematika adalah ilmu yang disusun atas dasar beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar, yaitu aksioma.
Plato dan Aristoteles adalah dua Filsuf Yunani yang mengembangkan teori koherensi berdasarkan pola pemikiran yang dipergunakan Euclid dalam menyusun ilmu ukurnya. Setelah itu teori ini juga banyak digunakan para filsuf idealis.
b.             Teori Kebenaran Saling Bersesuaian (Correspondence Theory of Truth)
Bagi penganut teori kebenaran ini, suatu pernyataan dianggap benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Sebuah pernyataan itu benar jika apa yang diungkapkannya merupakan fakta. Jika penulis mengatakan, “Di luar hawanya dingin” maka, memang begitulah kenyataanya berdasarkan keadaannya yang nyata. Jika ada yang mengtakan, “Ibukota Jawa Timur adalah Surabaya” Maka, pernyataan itu dianggap benar sebab hal itu cocok dengan objek materialnya, bersifat faktual (berdasarkan fakta).
Salah satu tokoh teori ini adalah Bertrand russel (1872-1870) dan para penganut aliran realis yang berpandangan bahwa fakta material itu sifatnya mandiri dan tak terpengaruh oleh ide. Ada atau tidaknya ide, fakta tetap ada. Kalau ide mau benar, ia harus sesuai dengan kenyataan yang ada.
c.              Teori Kebenaran Inherensi/Pragmatis (Inherent Theory of Truth)
Teori ini berpandangan bahwa sesuatu dianggap benar apabila berguna. Artinya, kebenaran suatu  pernyataan bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Ajaran pragmatisme memang memiliki banyak corak (variasi). Tetapi, yang menyamakan di antara mereka adalah bahwa ukuran kebenaran diletakkan dalam salah satu konsenkuensi. William James, misalnya, mengatakan, “Tuhan ada.” Benar bagi seorang yang hidupnya mengalami perubahan karena percaya adanya Tuhan. Artinya, proposisi-proposisi yang membantu kita mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman kita adalah benar.
Teori pragmatisme dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear”. Teori ini lalu dikembangkan oleh beberapa filafaat yang kebanyakan adalah orang Amerika, karena itulah filsafaat Amerika identik dengan aliran pragmatisme ini.[19]
d.             Teori Kebenaran Berdasarkan Arti (Semantic Theory of Truth)
Yaitu proposisi itu ditinjau dari segi arti atau maknanya. Apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpunya mempunyai referen yang jelas. Oleh sebab itu, teori ini mempunyai tugas untuk menguakkan kesahan dari proposisi dalam referensinya.
Teori kebenaran semantick dianut oleh paham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertrand Russell sebagai tokoh pemula dari filsafat analitika Bahasa.
e.              Teori Kebenaran Sintaksis
Para penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya. Dengan demikian, suatu pernyataan  memiliki nilai benar apabila pernyataan itu mengikuti aturan sintaksis yang baku. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang diantara para filsuf analisis bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika.
f.               Teori Kebenaran Nondeskripsi
Teori kebenaran nondeskripsi dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme. Karena pada dasarnya suatu statement atau pernyataan akan mempunyai nilai benar yang amat tergantung peran dan fungsi daripada pernyataan itu. Misalnya pernyataan ‘matahari adalah sumber energi’ itu telah terbukti fungsinya dalam kehidupan bahwa cahaya matahari bisa digunakan sebagai sumber energi listrik.[20]
g.             Teori Kebenaran Logis yang Berlebihan (Logical Superfluity of truth)
Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik yang diawali oleh Ayer. Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini, bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan berakibat suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logis yang sama yang masing-masing saling melingkupinya. Dengan demikian, sesungguhnya setiap proposisi yang bersifat logik dengan menunjukkan bahwa
proposisi itu mempunyai isi yang sama, memberikan informasi yang sama dan semua orang sepakat, maka apabila kita membuktikannya lagi hal yang demikian itu hanya merupakan bentuk logis yang berlebihan. Hal yang demikian itu sesungguhnya karena suatu pernyataan yang hendak dibuktikan nilai kebenarannya sesungguhnya telah merupakan fakta atau data yang telah memiliki evidensi, artinya bahwa objek pengetahuan itu sendiri telah menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri, Misalnya suatu lingkaran adalah bulat, ini telah memberikan kejelasan dalam pernyataan itu sendiri tidak perlu diterangkan lagi, karena pada dasarnya lingkaran adalah suatu yang terdiri dari rangkaian titik yang jaraknya sama dari satu titik tertentu, sehingga berupa garis yang bulat
Sedangkan Menurut Michael Williams terdapat 5  kriteria teori kebenaran yaitu:
1)             Kebenaran Koherensi: Sesuatu yang koheren dengan sesuatu yang lain berarti ada kesesuaian atau keharmonisan dengan sesuatu yang memiliki hirarki lebih tinggi, hal ini dapat berupa skema, sisitem, atau nilai. Koheren tersebut mungkin saja tetap pada dataran sensual rasional, tetapi mungkin pula menjangkau dataran transenden.
2)             Kebenaran Korespondensi: Berfikir benar korespondensi adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu yang lain. Korespondensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan (positifisme), antara fakta dengan belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik.
3)             Kebenaran Performatif: Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan actual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis, yang teoritik, maupun yang filosofik. Orang yang mengetengahkan kebenaran tampilan actual yang disebut dengan kebenaran performatif.
4)             Kebenaran Pragmatik: Perintis teori ini adalah Charles S. Pierce. Yang benar adalah yang konkret, yang individual, dan yang spesifik, demikian James Deweylebih lanjut menyatakan bahwa kebenaran merupakan korespondensi antara ide denga fakta, dan arti korespondensi menurut Dewey adalah kegunaan praktis.
5)             Kebenaran Proposisi: Sesuatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya benar dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks.[21]
3.             Sifat Kebenaran
a.             Kebenaran Ilmiah dari Sudut Pandang Subjektifitas
Telah diketahui kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang ditandai oleh terpenuhinya syarat-syarat ilmiah terutama menyangkut adanya teori yang menunjang serta sesuai dengan bukti. Kebenaran ilmiah divalidasi oleh bukti-bukti empiris yaitu hasil pengukuran objektif dilapangan.
Sifat setiap ilmu adalah diidentikkan dengan dua teori yaitu “subjektifitas” dan “objektifitas”. Subjek berkaitan dengan seseorang atau pribadi. Subjektif berkaitan erat dengan ke-aku-an.[22] Dalam hal filsafat subjektif berkaitan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur, eksistensi, makna dan validitasnya.[23]
Dari penjelasan di atas bahwa “subjektifitas” menghendaki peranan penting dari setiap pribadi yang menilai sendiri tentang kebenaran, artinya sesuatu dipandang benar jika didasarkan pada pribadi atau manusia yang menilai tentang sesuatu itu. Kebenaran tolak ukurnya adalah berdasarkan subjek, namun hal semacam ini apakah berlaku bagi kebenaran ilmiah. Sedangkan kebenaran ilmiah sangat identik dengan syarat-syarat ilmiah menyangkut teori yang menunjang dan sesuai dengan bukti, yang ditunjang oleh rasio dan divalidasi dengan data empirik
Sifat rasional dan teruji bagi kebanaran ilmiah menghendaki adanya kebenaran hanya sesuatu yang dapat diakalkan (logiskan) dan dapat teruji. Berari kebenaran ilmiah sangat menolak dengan kebenaran mutlak. Sebab kebenaran ini kaitannya dengan kebenaran yang datang dari Tuhan bersumber dari wahyu yang mengikat. Kebenaran yang rasional dan teruji akan hanya mampu memaparkan hal-hal yang empiris.
Jika demikian di atas jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut jika dikaitkan dengan penjelasan pengertian kebenaran ilmiah dari aspek subjektifitas belum dapat diterima karena kebenaran ilmiah yang bermuara dari subjektifitas tidak jarang menunjukkan bukti atau tidak sesuai dengan data empirik dan pembuktian nyata berdasarkan dengan rasa atau pribadi.
Oleh karena itu kebenaran yang sesungguhnya dalam kajian kebenaran ilmiah adalah kebernaran yang sedikit dipengaruhi oleh unsur subjektifitas.
b.             Kebenaran Ilmiah dari Sudut Pandang Objektifitas
Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang ditandai oleh terpenuhinya syarat-syarat ilmiah terutama menyangkut adanya teori yang menunjang serta sesuai dengan bukti. Kebenaran ilmiah divalidasi oleh bukti-bukti empiris yaitu hasil pengukuran objektif dilapangan.
Kebenaran merupakan seperti penjelasan diawal adalah kesesuaian antara pengetahuan dengan objeknya. Objek adalah sesuatu yang ihwalnya diketahui atau hendak diketahui. Suatu objek yang ingin diketahui memiliki berbagai aspek yang amat sulit untuk diungkapkan sedangkan yang lainnya tetap tersembunyi. Sangat jelas bahwa untuk mengetahui objek secara lengkap sangat sulit.
Objek juga diartikan sebagai sesuatu yang dapat dilihat secara fisik, disentuh, diindra, sesuatu yang dapat disadari secara fisik atau mental, suatu tujuan akhir dari kegiatan atau usaha, suatu hal yang menjadi masalah pokok suatu penyelidikan.[24]
Menurut Langeveld  dalam bukunya Muhammad In’am Esha objek pengetahuan dibedakan menjadi tiga:
1)             Objek empiris yaitu objek pengetahuan yang pada dasarnya ada dan dapat ditangkap oleh indra lahir dan indra batin.
2)             Objek ideal yaitu objek pengetahuan yang pada dasarnya tiada dan menjadi ada berkat akal.
3)             Objek transendental yaitu objek pengetahuan yang pada dasarnya ada tetapi berada diluar jangkauan pikiran dan perasaan manusia.[25]
Kebenaran yang objektif tidak bergantung pada ada atau tidaknya pengetahuan subjek tentang objek, mengingat objek pengetahuan itu beraneka ragam maka tolak ukur agar kebenaran yang menjadi syarat diterimanya pengetahuan berlainan, terhadap objek yang bersifat:
(1)          Empiris, ukuran kebenara adalah bukti kenyataan (faktual).
(2)          Ideal,ukuran kebenarannya adalah hukum pikir (rasional).
(3)          Transendental, ukuran kebenaran adalah rasa percaya (superrasional).
Pengetahuan adalah tanggapan subjek terhadap objek yang diketahui,dengan demikian taggapan merupakan penilaian subjek terhadap objek. Oleh karena itu dalam  hal ini kebenaran ada dua sisi:
a)             Benarnya fakta (bukti) adalah kebenaran objek (didunia luar).
b)            Benarnya Ide (tanggapan adalah kebenaran subjek (didunia dalam).[26]
Fakta bersifat objektif, sehingga fakta tidak dapat disalahkan atau dipersalahkan karena memang demikian adanya sekalipun negatif. Oleh karena itu ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu faktanya benar dan tanggapan subjek benar dan faktanya benar dan tanggapan subjek salah. Dalam kebenaran ilmiah apakah kebenaran objektif dapat diterima? Langeveld menjawab kebenaran yang sesungguhnya tidak lepas dari gabungan subjek dan objek.
Kebenaran ini ia sebut dengan kebenaran dasar yaitu ada hubungan antara subjek dan objek. Namun, hal ini juga dibantah, kebenaran dasar belum mencapai tingkat dijamin ilmiah. Lantas jika kebenaran sifatnya relatif apa gunanya manusia berpengetahuan? untuk menjawab pertanyaan ini perlu diingat kembali tentang teori pengetahuan. Teori-teori itu dapat menjadi acuan bagi kebenaran ilmiah.
Inti dari kebenaran ilmiah adalah penjelasan tentang objek seperti apa adanya tanpa ada pengaruh sedikitpun oleh keadaan subjek. Objek dijelaskan dibuktikan dengan nyata, dalam keadaannya tanpa ada manipulasi atau perubahan tanggapan dari subjek. Jika terjadi manipulasi maka hal ini jelas keuar dari koridor arti kebenaran bahwa pengetahuan tidak sesuai dengan keadaan objek, dan ini telah terjadi kekeliruan yang jelas pengetahuan ini tidak dapat diterima



BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
1.             Unsur-Unsur Pengetahuan: Ada tiga unsur dalam tahu/pengetahuan, yakni subyek yang mengetahui (knowing subject), obyek yang diketahui (known object), dan kegiatan pengetahuan itu sendiri (knowing activity).
2.             Asal Usul Pengetahuan: 1) Empirisme: bergantung pada bukti-bukti yang diamati oleh indera. 2) Rasionalisme: paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (resen) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengatahun dan mengetes pengatahuan. 3). Intuisionisme: yang diperoleh melalui pengamatan langsung, tidak mengenai objek lahir melainkan mengenai kebenaran dan hakikat sesuatu objek. 4). Kritisisme: Kant membedakan pengetahuan ke dalam empat bagian, sebagai berikut: (1) Yang analitis a priori. (2) Yang sintetis a priori (3) Yang analitis a posteriori (4) Yang sintetis a posteriori
3.             Kebenaran pengetahuan: 1). Jenis-jenis kebenaran: (1) Kebenaran Individual ( 2). Kebenaran Objektif. ( 3). Kebenaran Hakiki 2). Teori-Teori Kebenaran: Menurut Michael Williams terdapat 5  kriteria teori kebenaran yaitu: (1) Kebenaran Koherensi (2) Kebenaran Korespondensi (3) Kebenaran Performatif. (4). Kebenaran Pragmatik (5) Kebenaran Proposisi 3) Sifat Kebenaran  (1). Kebenaran Ilmiah dari Sudut Pandang (2). Subjektifitas Kebenaran Ilmiah dari Sudut Pandang Objektifitas




DAFTAR PUSTAKA
S.M.N. Al-Attas, 1984,  Konsep Pendidikan Islam, terj. Haidar Bagir, Bandung: Mizan, Cet. I
C. A Van Peurson 1980 Orientasi di Alam Filsafat Jakarta, PT Gramedia.
Louis Leahy 2006  jika sains mencari makna yogyakarta pustaka filsafat
Ahmad Saebani, 2009 Filsafat Ilmu, bandung;CV Pustaka Setia,
Lorens bagus. 1996 Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Harun Hadiwijono. 1993 Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Cet. IX; Yogyakarta: Kanisius,
Ahmad Tafsir 2007 Filsafat Umum, bandung PT. Remaja Rasda Karya
A. Maksum. 2008 Pengantar Filsafat. Malang: Ar-Ruzzmedia
Harold H. Titus, dkk, 1984 Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang,
Ravertz, Jerome R. 2004 The Philosophy of Science. Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu dengan judul Filsafat Ilmu, Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Bambang Q-Anees dan Radea Juli A. Hambali, selanjutnya disebut Bambang, 2003 Filsafat Untuk Umum Cet. I; Jakarta: Prenada Media
Surajiyo, 2008 Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Ahmad Tafsir, 1998  Filsafat Umum Cet. VI; Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
Soyomukti Nurani, 2011 Pemgantar Filsafat Umum, Depok: Ar Ruzz Media.
Louis O Kattsoff, 1996 Element Of Philosophy, diterjemahkan oleh Soejono Soemargono,Pengantar filsafat, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta
Budiono, 2005 Kamus Ilmiah Populer Internasional, PT. Karya Harapan, Surabaya:
Muhammad In’am Esha, 2010 Menuju Pemikiran Filsafat,( UIN Maliki Press, Malang:
Uyoh Sadullah, 2008 Pengantar Filsafat Pendidikan, PT. Alfabeta, Bandung
Jan Hendrik Rapar, 2000 Pengantar Filsafat, PT. Kanisius, Yogyakarta




[1]S.M.N. Al-Attas, Konsep Pendidikan Islam, terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1984), Cet. I, hlm.37
[2]C. A Van Peurson., Orientasi di Alam Filsafat (Jakarta., PT Gramedia., 1980), hlm 19
[3] Louis Leahy jika sains mencari makna (yogyakarta pustaka filsafat 2006 ), hal  79-80
[5] Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu, (bandung;CV Pustaka Setia, 2009), hal. 96
[6] Lorens bagus. Kamus Filsafat. (Jakarta: Gramedia. 1996). Hal. 1017-1018.
[7] Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Cet. IX; (Yogyakarta: Kanisius, 1993.), hal 78
[8] Ahmad Tafsir  Filsafat Umum, (bandung PT. Remaja Rasda Karya 2007), hal 89
[9]  A. Maksum. Pengantar Filsafat. (Malang: Ar-Ruzzmedia 2008), hal 69
[10] Saebani, Filsafat Ilmu.....,hal 100
[11] Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang,1984), hal 205
[12] Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat...hal 216
[13] Ravertz, Jerome R. The Philosophy of Science. Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu dengan judul Filsafat Ilmu, Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan. Cet. I; (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).hal  36
[14] Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat...hal 265
[15] Bambang Q-Anees dan Radea Juli A. Hambali, selanjutnya disebut Bambang, Filsafat Untuk Umum (Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2003), hal 190
[16]  Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bumi Aksara. 2008)  hal 57-58
[17] Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat...hal 265
[18] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Cet. VI; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998), hal. 109
[19]  Soyomukti Nurani, Pemgantar Filsafat Umum, (Depok: Ar Ruzz Media. 2011 ) hal 174-176
[20] Soyomukti Nurani, Pemgantar Filsafat Umum, (Depok: Ar Ruzz Media. 2011)  hal 174-176
[21]  Louis O Kattsoff, Element Of Philosophy, diterjemahkan oleh Soejono Soemargono,Pengantar filsafat,( PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta 1996), hal 77-79
[22] Budiono, Kamus Ilmiah Populer Internasional, (PT. Karya Harapan, Surabaya: 2005). Hal. 618
[23] Muhammad In’am Esha, Menuju Pemikiran Filsafat,( UIN Maliki Press, Malang: 2010). Hal. 125.
[24]  Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (PT. Alfabeta, Bandung: 2008). Hal. 33-37
[25] In’am Esha, Menuju Pemikiran Filsafat......, hal 129
[26] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (PT. Kanisius, Yogyakarta: 2000). Hal. 38

No comments:

Post a Comment