Friday, September 11, 2015

mahkum fih



BAB I
Pendahuluhan
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa hidup seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh Allah SWT. Dia-lah sang pembuat hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang berkait dengan hukum taklifi dengan hukum wad’i untuk menyebut istilah hukum atau objek hukum dalam ushul fiqih disebut mahkum fih, karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum haram. Atau lebih mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ itu adalah mahkum fih, sedangkan seseorang yang di kenai khitob itulah yang disebut mahkum alaih (mukallaf) berikut penjelasan masing-masing
.
B. Rumusan masalah
1.       Pengertian mahkum fih ?
2.       Pengertian mahkum ‘alaih?
C. Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa pengertian mahkum fih ?
2.      Untuk mengetahui apa pengertian mahkum ‘alaih ?












BAB II
PEMBAHASAN

1.  MAHKUM FIH
A. Pengertian Mahkum Fih
Menurut Usuliyyin,yang dimaksud dengan Mahkum fih adalah obyek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’(Allah dan Rosul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan.
Para ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya suatu hukum:
Contoh:
1.Firman Allah dalam surat al baqoroh:43
و اقيمو االصلاة) البقرة (
Artinya:”Dirikanlah Sholat
Ayat ini menunjukkan perbuatan seorang mukallaf,yakni tuntutan mengerjakan sholat,atau kewajiban mendirikan sholat.
2.Firman Alloh dalam surat al an’am:151
ولاتقتلواالنفس االتي حر م االله الا باالحق) الانعا م (
Artinya:”Jangan kamu membunuh jiwa yang telah di haramkan oleh Allah melainkan dengan sesuatu (sebab)yang benar”
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan mukallaf,yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak itu hukumnya haram.
3.Firman Alloh dalam surat Al-maidah:5-6
اذاقمتم الى الصلاة فا غسلوا وجو هكو و ايد يكم الى المرا فق الما ئد ه 5-6
Artinya:”Apabila kamu hendak melakukan sholat,maka basuhlah mukamu dan tangan mu sampai siku siku”
Dari Ayat diatas dapat diketahui bahwa wudlu merupakan salah satu perbuatan orang mukallaf,yaitu salah satu syarat sahnya sholat.
Dengan beberapa contoh diatas,dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf.

B. Syarat –syarat Mahkum Fih
a)     Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan di lakukan.sehingga tujuan dapat tangkap dengan jelas dan dapat dilaksanakan.Maka seorang mukallaf tidak terkena tuntutan untukk melaksanakan sebelum dia tau persis.
b)      Contoh:Dalam Al qur’an perintah Sholat yaitu dalam ayat “Dirikan Sholat” perintah tersebut masih global, Maka Rosulullah menjelaskannya sekaligus memberi contoh sabagaimana sabdanya ”sholatlah sebagaimana aku sholat” begitu pula perintah perintah syara’ yang lain seperti zakat,puasa dan sebagainya.tuntutan untuk melaksanakannya di anggap tidak sah sebelum di ketahui syarat,rukun,waktu dan sebagainya.
c)      Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. seseorang harus mengetahui  bahwa tuntutan itu dari Allah SWT. Sehingga ia melaksanakan berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan perintah  Allah semata.berarti tidak ada keharusan untuk mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya suatu peraturan yang jelas.hal ini untuk menghindari kesalahan dalam pelaksanaan sesuai tuntutan syara’.
d)     Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, berkait dengan hal ini terdapat dengan beberapa syarat yaitu:
1.      tidak syah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau di tinggalkan.
2.      tidak syah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan atas nama  orang lain.
3.      tidak sah suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah  manusia.
4.      tercapaianya syarat taklif tersebut, seperti iman dalam masalah ibadah, suci dalam masalah  sholat.

C. Macam macam Mahkum Fih
Dilihat dari segi yang terdapat dalam perbuatan itu maka mahkum fih di bagi menjadi empat macam:
1.     Semata mata hak Allah, yaitu sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan.dalam hak ini seseorang tidak di benarkan melakukan pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini. Hak ini semata-mata hak Allah. dalam hal ini ada delapan macam:
a)      ibadah mahdhoh (murni) seperti iman dan rukun iman yang lima
b)     ibadah yang di dalamnya mengandung makna pemberian dan santunan,seperti:zakat fitrah,karena si syaratkan niat dalam zakat fitrah
c)      bantuan/santunan yang mengandung makna ibadah seperti: zakat yang dikeluarkan dari bumi
d)     biaya/santunan yang mengandung makna hukuman, seperti: khoroj (pajak bumi) yang di anggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e)      hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana sperti hukuman orang yang berbuat zina
f)       hukuman yang tidak sempurna seperti seseorang tidak diberi hak waris, karena membunuh     pemilik harta tersebut.
g)      hukuman yang mengandung makna ibadah seperti: kafarat orang yang melakukan senggama disiang hari pada bulan ramadhan
h)      hak-hak yang harus di bayarkan, seperti: kewajiban mengeluarkan seperlima harta tependam  dan harta rampasan.
2.      Hak hambas yang berkait dengan kepentingan pribadi seseorang seperti ganti rugi harta     seseorang yang di rusak.
3.      Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba,tetapi  hak alloh didalamnya lebih dominan,seperti hukuman untuk tindak pidana.
4.      Kompromi antara hak Allah dan hak hamba,tetapi hak hamba lebih dominan, seperti masalah qishos.

2. MAHKUM ‘ALAIH
Pengertian Mahkum Alaih
Menurut ushuliyyin yang di maksud mahkum alaih secara bahasa adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitob Allah SWT yaitu yang disebut mukallaf.dalam arti bahasa yaitu yang di bebani hukum,sedangkan dalam istilah ushul fiqih mukallaf sering di sebut subjek hukum.
MAHKUM ALAIH (SUBJEK HUKUM)
Pengertian Mahkum Alaih Yang dimaksud dengan Mahkum Alaih adalah mukallaf yang menjadi obyek tuntunan hukum syara.[1] Menurut ulama’ ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut mukallaf.[2] Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasakan tuntutan Allah itu.[3] Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadinya tempat berlakunya hukum Allah.Dalam hukum islam, orang yang terkena beban hukum adalah orang yang baligh dan berakal. Dari segi usia, mukallaf dipandang telah memiliki kemampuan lahir dan batin untuk mengerjakan taklif-taklif-Nya, dari segi akal, mukallaf telah memiliki kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk serta memahami jenis-jenis hukum suatu objek perbuatan.[4]

Syarat-syarat Mahkum Alaih:
·         Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain.
·          Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya.[5]

3. TAKLIF
Menurut abdul wahab khallaf Hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu pekerjaan oleh mukallaf, atau melarang mengerjakannya, atau melakukan pilihan antara melakukan dan meninggalkannya.
Dasar Taklif
Dalam islam orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu unuk mengerjakan tindakan hukum. Sebagian besar ulama ushul fiqh berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.
Sebagimana sabda Rasulullah Saw.
Artinya: “Diangkat pembebanan hukum dari tiga jenis orang: orang itu sampai ia bangun, anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai ia sembuh” (HR. Bukhori, Turmudzi, Nasa’i, Ibn Majjah, dan Daru Quthni).
Syarat-syarat Taklif
·         Orang itu telah mampu memahami kitab syar’i yang terkandung dalam Al Qur’an dan sunnah, baik secara langsung atau melalui orang lain.
·         Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqh disebut ahliyah syafe’i.[6]
4.   Mukallaf
Mukallaf adalah ism al-maf’ul (objek) dari kallafa–yukallifu–taklifan. Kallafa sendiri adalah bentuk transitif dari kalifa. Jika dikatakan kallafahu taklifan artinya amarahu bima fihi masyaqqah (memerintahkan kepadanya sesuatu yang mengandung masyaqqah [kesulitan]). Artinya, taklif adalah perintah yang mengandung kesulitan (masyaqqah).
Dengan demikian, mukallaf secara bahasa adalah orang yang mendapat perintah yang mengandung kesulitan (masyaqqah). Abu Hilal al-‘Askari mengatakan, bahwa asal dari taklif dalam bahasa Arab adalah al-luzum (beban/paksaan). Menurutnya, secara bahasa taklif adalah ilzam ma yasyuqqu iradah al-insaniyah (mengharuskan atau membebankan sesuatu yang memberatkan kehendak alami manusia). Jadi secara bahasa taklif adalah al-amru bi asy-syai’ wa ilzam bihi (memerintahkan sesuatu dan mengharuskannya).
Mukallaf adalah orang yang mendapat taklif. Karenanya, secara bahasa mukallaf adalah al-mulzam bima fihi masyaqqah (orang yang dibebani sesuatu yang mengandung masyaqqah [kesulitan]). Istilah taklif dan mukallaf kemudian tampak menonjol dalam kajian ushul fikih dan fikih.
Para ulama ushul membahas siapa yang menjadi objek hukum (al-mahkum ‘alayh) atau siapa yang mendapat beban hukum. Al-Mahkum ‘alayh inilah yang mereka istilahkan sebagai mukallaf. Dari sini kemudian lahirlah makna istilah dari mukallaf.
Pemaknaan mukallaf ini dilakukan dengan menggalinya dari nash yang berkaitan dengan siapa yang dibebani hukum syariah. Karenanya, definisi mukallaf tersebut menjadi definisi syar’i. Terkait dengan muamalah, Mukallaf adalah subjek hukum yang dipandang layak oleh Islam menerima dan melaksanakan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum. Mukallaf bisa juga diartikan sebagai Subjek hukum, yaitu subjek hukum yang dipandang layak oleh Islam menerima dan melaksanakan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum.

5.   Aqal
Dalam mensyarahi hadis di atas, Allamah Majlisi dalam kitab Mir’at al-‘Uqul menyatakan bahwa ’aql (akal) secara bahasa berarti pengikatan dan pemahaman terhadap sesuatu. Secara istilah, akal digunakan untuk menunjukkan salah satu definisi berikut ini:
1.      Kemampuan untuk mengetahui sesuatu.
2.      Kemampuan memilah-milah antara kebaikan dan keburukan yang niscaya juga dapat digunakan untuk mengetahui hal-ihwal yang mengakibatkannya dan sarana-sarana yang dapat mencegah terjadinya masing-masing dari keduanya.
3.     Kemampuan dan keadaan (halah) dalam jiwa manusia yang mengajak kepada kebaikan dan keuntungan dan menjauhi kejelekan dan kerugian.
4.      Kemampuan yang bisa mengatur perkara-perkara kehidupan manusia. Jika ia sejalan dengan hukum dan dipergunakan untuk hal-hal yang dianggap baik oleh syariat, maka itu adalah akal budi. Namun, manakala ia menjadi sesuatu yang mbalelo dan menentang syariat, maka ia disebut nakra` atau syaithanah.
5.      Akal juga dapat dipakai untuk menyebut tingkat kesiapan dan potensialitas jiwa dalam menerima konsep-konsep universal.
6.      An-nafs an-nathiqah (jiwa rasional yang dipergunakan untuk menalar) yang membedakan manusia dari binatang lainnya.
7.      Dalam bahasa filsafat, akal merujuk kepada substansi azali yang tidak bersentuhan dengan alam material, baik secara esensial (dzaty) maupun aktual (fi’ly).
Definisi-definisi yang dipaparkan Allamah Majlisi di atas mengandung ketumpang-tindihan terminologis. Dengan sedikit kecermatan, kita bisa mendapatkan persamaan makna pada tiap-tiap definisi yang diberikan. Misalnya definisi kesatu, kedua, dan ketiga itu dapat dikatakan identik, meski dipandang dari perspektif yang sedikit berbeda. Definisi keempat memberikan gambaran umum tentang akal melalui bahasa syariat yang dapat dibedakan dari definisi-definisi sebelumnya hanya dari sisi detailnya. Definisi kelima berupaya mengembalikan makna akal sebagai suatu potensi pencerapan yang bersifat pasif. Definisi keenam memandang akal dari sisi penalarannya yang bersifat aktif. Dan definisi ketujuh, agak berbeda dari yang sebelumnya, memandang akal dari perspektif ontologisnya. Namun demikian, masing-masing definisi ini sama sekali tidak dapat dipertentangkan.
Dalam mensyarahi hadis yang sama, Mulla Shadra dengan tegas memaknai ‘aql di sini sebagai kepribadian Nabi Muhammad Saw. - dalam seluruh martabat wujud beliau. Karena menurutnya, semua sifat yang diberikan Allah kepada akal itu identik dengan sifat-sifat Nabi Muhammad Saw. yakni:
1.      Dalam hadis ini digambarkan bahwa Allah mengajak akal "berbicara". Dan ini sama halnya dengan Allah mengajak Nabi berbicara dalam perjalanan Mikraj beliau.
2.      Hadis ini menegaskan ketaatan akal kepada Allah. Ketaatan Nabi kepada Allah itu bersifat aksiomatis.
3.      Dalam hadis di atas Allah menandaskan kecintaan-Nya yang luar biasa kepada akal. Dalil-dalil rasional dan riwa`iy (riwayat) menegaskan bahwa Nabi adalah makhluk yang paling dicintai Allah.
4.      Keimanan terhadap wujud Nabi atau kepada kenabian beliau ialah syarat mutlak kesempurnaan tauhid. Dan kesempurnaan tauhid adalah anugerah agung dan luas yang tidak Allah berikan kecuali kepada para kekasih-Nya.
5.      Dan sifat terakhir yang tercantum di dalam hadis ini adalah bahwa kepada akal-lah Allah menyuruh, melarang, menyiksa, dan memberi pahala. Allah berfirman, "(Ingatlah) ketika Allah mengambil janji para nabi (yaitu), sungguh apa yang Aku datangkan kepada kalian berupa kitab dab hikmah. Kemudian, datanglah kepada kalian utusan yang membenarkan apa yang ada pada kalian dan berkata, ‘Hendaklah kalian beriman kepadanya dan menolongnya.’ Allah berkata, ‘Adakah kalian akui dan ambil janji-Ku itu!’ Mereka menjawab, ‘Kami mengakuinya.’ Berkata Allah, ‘Bersaksilah! Sesungguhnya Aku beserta kalian akan menjadi saksi.’" (QS Ali’ Imran, 3:81). Jelas bahwa kepada Nabi Muhammad Saww. Allah memberi perintah dan larangan dan karena beliau pulalah Allah menurunkan pahala dan siksa.[7]
Dengan ungkapan yang agak berbeda, Allamah Thabathaba`i menarik kesimpulan yang sama. Dalam magnum opus-nya, Al-Mizan, Allamah Thabathaba`i menye-butkan, dengan mengutip sebuah hadis masyhur, bahwa akal adalah sesuatu yang dengannya Allah di-sembah. Dengan kata lain, akal adalah lentera yang dengannya seseorang dapat mengenali "Wajah" Allah. Ini berarti bahwa peran yang dimainkan akal itu sama sekali tidak berbeda dengan peran yang dibawa oleh Nabi.[8] Dan kesimpulan ini jelas tidak berbeda dengan kesimpulan Mulla Shadra yang mengatakan bahwa akal itu identik dengan Nabi Muhammad Saww.
Dari sudut yang berbeda, dapat kita katakan bahwa akal adalah manifestasi dan petunjuk internal dari keberadaan Nabi. Muhammad adalah inti wujud segenap nabi dan senjata pamungkas kerasulan. Bagaimanapun juga, manifestasi mesti mencerminkan obyek dasarnya. Dengan demikian, semua ucapan, amalan, dan penegasan Nabi Muhammad Saw. pasti bersifat rasional. Lebih jauh, Nabi Muhammad Saww. adalah kriteria rasionalitas dan irasionalitas segala sesuatu.
Dan Alquran yang merupakan tajally yang paling sempurna dari haqiqah muhammadiyyah (hakikat ke-Muhammad-an) dapat pula memainkan peran yang sama. Inilah metode penggabungan sisi intelektual, rasional, dan teoretis manusia atau masyarakat dengan sisi individual, sosial, dan praktisnya dalam pandangan-dunia Islam. Pandangan-dunia Islam menggunakan metode ini untuk membangun infrastruktur (rasio), struktur (masyarakat), dan suprastruktur (pemerintahan) sosial kemasyarakatan.
Muhaqqiq al-Lahiji menulis demikian, "Akal dan ruh, sirr dan khafy, jiwa rasional dan kalbu adalah hakikat yang sama. Namun, karena dzuhur (manifestasi) yang terjadi pada berbagai gradasi eksistensialnya, maka mereka memiliki hukum dan sifat yang berbeda-beda sesaui dengan tingkat eksistensialnya. Oleh sebab itu para ulama memberikan pada masing-masingnya nama yang berbeda-beda"

6. Mumayyiz
Yang dimaksud dengan mumayyiz adalah keadaan seseorang setelah melewati masa kanak-kanak namun balum lagi baligh. Dia belum sempat mimpi basah atau belum keluar sperma. Tapi sudah punya kesadaran dan kedewasaan lebih tinggi dari anak-anak di bawah umur. Mumayyiz itu sendiri makna umumnya adalah seseorang sudah mampu membedakan mana yang baik dan tidak untuk dirinya. Sesuatu yang tidak terdapat pada anak kecil di bawah umur balita. Jadi boleh saja calon suami itu belum baligh, asal sudah mumayyiz. Dan boleh saja seorang anak menjadi wali bagi saudara wanitanya, meski dia belum balgih, asalkan sudah mumayyiz. Sebaliknya, bila calon suami atau wali atau malah keduanya masih belum mumayyiz, tentu saja ijab kabul atau akad itu tidak syah.



 7.   Baligh
Bagi ikhwah dan akhawat yang mempunyai adik atau saudara, yang telah mempunyai anak, atau bagi calon bapak/ibu yang akan menikah; ada baiknya kita perhatikan tanda-tanda baligh berikut sebagaimana yang tercantum dalam syari’at. Baligh adalah satu masa di mana seorang anak dibebani kewajiban (taklif) syari’at dan akan dihisab yang mana baligh mempunyai tanda-tanda yang dapat dikenal

Tanda-Tanda Baligh untuk Laki-Laki
1. Ihtilam, yaitu keluarnya mani baik karena mimpi atau karena lainnya.
Dalilnya disebutkan dalam Al-Qur’an, dimana Allah ta’ala berfirman :
”Dan bila anak-anakmu telah sampai hulm (ihtilam), maka hendaklah mereka meminta ijin seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta ijin”. (An Nuur : 59)
Dari Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu ia berkata,”Aku hafal (perkataan) dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
Tidak (dinamakan) yatim bila telah ihtilam dan tidak boleh diam seharian hingga malam” (HR. Abu Dawud 2873 dengan sanad hasan; Irwaaul-Ghaliil 1244; Shahiih Al-Jaami’ Ash-Shaghiir 2/7609).
Dari Ali juga dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :
”Diangkat pena (tidak dikenakan kewajiban) pada tiga orang : orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam, dan orang gila hingga berakal” (HR. Abu Dawud 12/78/4380 dan Tirmidzi 1423 dengan sanad shahih; lihat Shahiih Al-Jaami’ Ash-Shaghiir 1/3513).
Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda kepada Mu’adz,”Ambillah dari setiap orang yang telah ihtilam satu dinar” (HR. Nasa’I 2450, Baihaqi dalam Al-Kubra 19155, dan Ahmad 21532).



2. Tumbuhnya Rambut Kemaluan
Dari ‘Athiyyah ia berkata : “Kami dihadapkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pada hari Quraidhah (peristiwa pengkhianatan Bani Quraidhah), di situ orang yang sudah tumbuh bulu kemaluannya dibunuh, sedang orang yang belum tumbuh dibiarkan. Aku adalah orang yang belum tumbuh maka aku dibiarkan”(HR. Abu Dawud 4404, Tirmidzi 1584, Nasa’I 3429, Ibnu Majah 2541, dan Ahmad 4/310; dishahihkan oleh Tirmidzi).
Dalam satu lafadh disebutkan,”Maka orang yang telah ihtilam atau telah tumbuh rambut kemaluannya dibunuh, sedangkan yang belum dibiarkan”(HR. Ahmad 3/383, Nasa’I 3430, dan Hakim 4/390).
Dalam lafadh lain : “Aku adalah seorang pemuda di hari Sa’ad bin Mu’adz menghukum Bani Quraidhah dengan dibunuhnya orang yang ikut berperang dan ditawan keturunannya. Mereka melaporkan aku, tapi mereka tidak mendapati bulu kemaluanku, makanya aku sekarang di tengah-tengah kalian”.[9]
Dari Samurah bin Jundub bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Bunuhlah orang-orang tua dari kalangan kaum musyrikiin dan biarkanlah syarkh”. (HR. Ahmad 20021, Abu dawud 3/54/2670, dan Tirmidzi 4/145/1583 dengan sanad hasan. Syarkh adalah anak-anak yang belum tumbuh bulu kemaluannya).
Dari Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhuma,”Bila seorang anak terkena hukuman hudud lalu dipermasalahkan apakah ia sudah ihtilam atau belum? Maka lihatlah bulu kemaluannya”.
Semua ini menunjukkan bahwa tumbuhnya rambut kemaluan adalah tanda balighnya seseorang, sebagai tanda juga bagi anak-anak kaum muslimin dan orang-orang kafir; dan menunjukkan juga bolehnya melihat aurat orang lain bila diperlukan untuk mengetahui baligh dan tidaknya seseorang serta untuk lainnya.[10]


3. Ketika Ia Mencapai Usia Lima Belas Tahun
”Seorang anak bila telah berusia lima belas tahun maka diperlakukan hudud (hukuman pidana) buatnya” (HR. Baihaqi dalam Khilafiyaat dari Anas dengan sanad dla’if).
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata,”Untuk waktu ihtilaam tidak ada batas umurnya, bahkan anak-anak yang berusia dua belas tahun bisa ihtilaam. Ada juga yang sampai lima belas tahun, enam belas tahun, dan seterusnya namun belum ihtilaam”.
  Para fuqahaa berselisih tentang usia baligh sebagai berikut :
Al-Auza’i, Ahmad, Syafi’i, Abu Yusuf, dan Muhammad berkata,”Bilamana ia telah berusia lima belas tahun, maka ia sudah dikatakan baligh”.
Para shahabat Imam Malik mempunyai 3 (tiga) pendapat :
1. Tujuh belas tahun
2. Delapan belas tahun
3. Lima belas tahun
Sedangkan Abu Hanifah ada dua riwayat :
1. Tujuh belas tahun
2. Delapan belas tahun
Dan bagi anak perempuan itu tujuh belas tahun.
Daud dan para shababatnya berpendapat,”Tidak ada batasan usia. Yang bisa dijadikan batasan adalah ihtilaam, inilah pendapat yang kuat, dan tidak ada pembatasan dari Rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam sedikitpun”.
Imam Ahmad mengatakan,”Anak kecil tidak menjadi mahram bagi wanita hingga ia ihtilam”. Beliau mensyaratkan ihtilam.

Tanda-Tanda Baligh untuk Perempuan
Balighnya anak perempuan bisa sama seperti laki-laki, namun ditambah dengan keempatnya, yaitu Haidl, berkembangnya alat-alat untuk berketurunan, serta membesarnya buah dada.
Bila anak sudah hulm/ihtlaam maka ia telah sampai pada usia taklif. Wajib baginya mengerjakan ibadah dan seluruh amalan wajib. Adapun sebelum itu, maka perintah hanyalah sebagai pembiasaan dan menjadikannya suka.

























DAFTAR PUSTAKA

Syukur, Asywaedie. 1990. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. PT. Bina Ilmu: Surabaya,hlm. 138
Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia: Bandung, hlm. 334
Sutrisno. 1999. Ushul Fiqh. STAIN Press. Jember hlm. 103
Drs.Beni Ahmad Sabeani,2008.Ilmu Ushul Fiqih,CV.Pustaka Setia: Bandung
Koto, Alaiddin. 2006. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. PT. Raja Grafindo Persada:Jakarta.hlm.157
syafe’i,Op. Cit. hlm.336-338
Koto, Alaiddin ,Op. Cit.hlm.
Syafe’i, Rachmat, Op. Cit.hlm.
Tarbiyatul-Aulad fil-Islaam halaman 270
Tuhfatul-Maulud bi Ahkaamil-Maulud oleh Ibnul-Qayyim halaman 210







[1] Syukur, Asywaedie. 1990. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. PT. Bina Ilmu: Surabaya,hlm. 138
[2] Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia: Bandung, hlm. 334
[3] Sutrisno. 1999. Ushul Fiqh. STAIN Press. Jember hlm. 103
[4] Drs.Beni Ahmad Sabeani,2008.Ilmu Ushul Fiqih,CV.Pustaka Setia: Bandung
[5] Koto, Alaiddin. 2006. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. PT. Raja Grafindo Persada:Jakarta.hlm.157
[6] syafe’i,Op. Cit. hlm.336-338
[7] Koto, Alaiddin ,Op. Cit.hlm.
[8] Syafe’i, Rachmat, Op. Cit.hlm.
[9] Tarbiyatul-Aulad fil-Islaam halaman 270
[10] Tuhfatul-Maulud bi Ahkaamil-Maulud oleh Ibnul-Qayyim halaman 210

No comments:

Post a Comment