BAB I
Pendahuluhan
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa hidup
seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh Allah SWT. Dia-lah sang pembuat
hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang berkait dengan hukum
taklifi dengan hukum wad’i untuk menyebut istilah hukum atau objek hukum dalam
ushul fiqih disebut mahkum fih, karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti
hukum wajib dan hukum haram. Atau lebih mudahnya adalah perbuatan seorang
mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ itu adalah mahkum fih, sedangkan
seseorang yang di kenai khitob itulah yang disebut mahkum alaih (mukallaf)
berikut penjelasan masing-masing
.
B. Rumusan masalah
1. Pengertian mahkum fih ?
2. Pengertian mahkum ‘alaih?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui apa pengertian mahkum fih ?
2. Untuk
mengetahui apa pengertian mahkum ‘alaih ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
MAHKUM FIH
A.
Pengertian Mahkum Fih
Menurut Usuliyyin,yang dimaksud
dengan Mahkum fih adalah obyek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang
terkait dengan perintah syari’(Allah dan Rosul-Nya), baik yang bersifat
tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan.
Para ulama pun sepakat bahwa seluruh
perintah syari’ itu ada objeknya yaitu perbuatan mukallaf. Dan terhadap
perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya suatu hukum:
Contoh:
1.Firman Allah dalam surat al
baqoroh:43
و اقيمو االصلاة) البقرة (
Artinya:”Dirikanlah Sholat”
Ayat ini menunjukkan perbuatan
seorang mukallaf,yakni tuntutan mengerjakan sholat,atau kewajiban mendirikan
sholat.
2.Firman Alloh dalam surat al
an’am:151
ولاتقتلواالنفس االتي حر م االله الا باالحق) الانعا م (
Artinya:”Jangan kamu membunuh
jiwa yang telah di haramkan oleh Allah melainkan dengan sesuatu (sebab)yang benar”
Dalam ayat ini terkandung suatu
larangan yang terkait dengan perbuatan mukallaf,yaitu larangan melakukan
pembunuhan tanpa hak itu hukumnya haram.
3.Firman Alloh dalam surat
Al-maidah:5-6
اذاقمتم الى الصلاة فا غسلوا وجو هكو و ايد يكم الى المرا فق
الما ئد ه 5-6
Artinya:”Apabila kamu hendak
melakukan sholat,maka basuhlah mukamu dan tangan mu sampai siku siku”
Dari Ayat diatas dapat diketahui
bahwa wudlu merupakan salah satu perbuatan orang mukallaf,yaitu salah satu
syarat sahnya sholat.
Dengan beberapa contoh diatas,dapat
diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf.
B. Syarat –syarat Mahkum Fih
a) Mukallaf harus mengetahui perbuatan
yang akan di lakukan.sehingga tujuan dapat tangkap dengan jelas dan dapat
dilaksanakan.Maka seorang mukallaf tidak terkena tuntutan untukk melaksanakan
sebelum dia tau persis.
b) Contoh:Dalam Al qur’an perintah Sholat
yaitu dalam ayat “Dirikan Sholat” perintah tersebut masih global, Maka
Rosulullah menjelaskannya sekaligus memberi contoh sabagaimana sabdanya ”sholatlah
sebagaimana aku sholat” begitu pula perintah perintah syara’ yang lain
seperti zakat,puasa dan sebagainya.tuntutan untuk melaksanakannya di anggap
tidak sah sebelum di ketahui syarat,rukun,waktu dan sebagainya.
c) Mukallaf harus mengetahui sumber
taklif. seseorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT.
Sehingga ia melaksanakan berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan
perintah Allah semata.berarti tidak ada keharusan untuk mengerjakan suatu
perbuatan sebelum adanya suatu peraturan yang jelas.hal ini untuk menghindari
kesalahan dalam pelaksanaan sesuai tuntutan syara’.
d) Perbuatan harus mungkin untuk
dilaksanakan atau ditinggalkan, berkait dengan hal ini terdapat dengan beberapa
syarat yaitu:
1. tidak
syah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau di
tinggalkan.
2. tidak
syah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan atas
nama orang lain.
3. tidak
sah suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan
fitrah manusia.
4. tercapaianya
syarat taklif tersebut, seperti iman dalam masalah ibadah, suci dalam
masalah sholat.
C. Macam macam Mahkum Fih
Dilihat dari segi yang terdapat
dalam perbuatan itu maka mahkum fih di bagi menjadi empat macam:
1. Semata mata hak Allah, yaitu sesuatu
yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan.dalam hak ini seseorang tidak di
benarkan melakukan pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak
ini. Hak ini semata-mata hak Allah. dalam hal ini ada delapan macam:
a) ibadah mahdhoh (murni) seperti iman
dan rukun iman yang lima
b) ibadah yang di dalamnya mengandung
makna pemberian dan santunan,seperti:zakat fitrah,karena si syaratkan niat
dalam zakat fitrah
c) bantuan/santunan yang mengandung
makna ibadah seperti: zakat yang dikeluarkan dari bumi
d) biaya/santunan yang mengandung makna
hukuman, seperti: khoroj (pajak bumi) yang di anggap sebagai hukuman bagi orang
yang tidak ikut jihad.
e) hukuman secara sempurna dalam
berbagai tindak pidana sperti hukuman orang yang berbuat zina
f)
hukuman
yang tidak sempurna seperti seseorang tidak diberi hak waris, karena
membunuh pemilik harta tersebut.
g) hukuman yang mengandung makna ibadah
seperti: kafarat orang yang melakukan senggama disiang hari pada bulan ramadhan
h) hak-hak yang harus di bayarkan,
seperti: kewajiban mengeluarkan seperlima harta tependam dan harta rampasan.
2.
Hak hambas
yang berkait dengan kepentingan pribadi seseorang seperti ganti rugi harta seseorang yang di rusak.
3.
Kompromi
antara hak Allah dengan hak hamba,tetapi hak alloh didalamnya lebih
dominan,seperti hukuman untuk tindak pidana.
4.
Kompromi
antara hak Allah dan hak hamba,tetapi hak hamba lebih dominan, seperti masalah
qishos.
2. MAHKUM ‘ALAIH
Pengertian Mahkum Alaih
Menurut ushuliyyin yang di maksud
mahkum alaih secara bahasa adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitob
Allah SWT yaitu yang disebut mukallaf.dalam arti bahasa yaitu yang di bebani
hukum,sedangkan dalam istilah ushul fiqih mukallaf sering di sebut subjek
hukum.
MAHKUM ALAIH (SUBJEK HUKUM)
Pengertian Mahkum Alaih Yang
dimaksud dengan Mahkum Alaih adalah mukallaf yang menjadi obyek tuntunan hukum
syara.[1] Menurut ulama’ ushul fiqh telah
sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab
Allah, yang disebut mukallaf.[2] Sedangkan keterangan lain
menyebutkan bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk
berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasakan tuntutan
Allah itu.[3]
Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf
yang perbuatannya menjadinya tempat berlakunya hukum Allah.Dalam hukum islam,
orang yang terkena beban hukum adalah orang yang baligh dan berakal. Dari segi
usia, mukallaf dipandang telah memiliki kemampuan lahir dan batin untuk mengerjakan
taklif-taklif-Nya, dari segi akal, mukallaf telah memiliki kemampuan membedakan
yang baik dan yang buruk serta memahami jenis-jenis hukum suatu objek
perbuatan.[4]
Syarat-syarat Mahkum Alaih:
·
Orang tersebut mampu memahami
dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain.
3. TAKLIF
Menurut abdul wahab khallaf Hukum
taklifi adalah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu pekerjaan oleh
mukallaf, atau melarang mengerjakannya, atau melakukan pilihan antara melakukan
dan meninggalkannya.
Dasar Taklif
Dalam islam orang yang terkena
taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu unuk mengerjakan tindakan hukum.
Sebagian besar ulama ushul fiqh berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi
seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.
Sebagimana sabda Rasulullah Saw.
Artinya: “Diangkat pembebanan hukum
dari tiga jenis orang: orang itu sampai ia bangun, anak kecil sampai baligh,
dan orang gila sampai ia sembuh” (HR. Bukhori, Turmudzi, Nasa’i, Ibn Majjah,
dan Daru Quthni).
Syarat-syarat Taklif
·
Orang itu telah mampu memahami kitab
syar’i yang terkandung dalam Al Qur’an dan sunnah, baik secara langsung atau
melalui orang lain.
·
Seseorang harus mampu dalam
bertindak hukum, dalam ushul fiqh disebut ahliyah syafe’i.[6]
Mukallaf adalah ism al-maf’ul (objek) dari kallafa–yukallifu–taklifan. Kallafa sendiri adalah bentuk transitif dari kalifa. Jika dikatakan kallafahu
taklifan artinya amarahu
bima fihi masyaqqah (memerintahkan
kepadanya sesuatu yang mengandung masyaqqah
[kesulitan]). Artinya, taklif adalah
perintah yang mengandung kesulitan (masyaqqah).
Dengan demikian, mukallaf secara bahasa
adalah orang yang mendapat perintah yang mengandung kesulitan (masyaqqah).
Abu Hilal al-‘Askari mengatakan, bahwa asal dari taklif dalam bahasa Arab adalah al-luzum (beban/paksaan). Menurutnya, secara bahasa taklif
adalah ilzam ma yasyuqqu iradah
al-insaniyah (mengharuskan atau membebankan sesuatu yang
memberatkan kehendak alami manusia). Jadi secara bahasa taklif adalah al-amru
bi asy-syai’ wa ilzam bihi (memerintahkan sesuatu dan mengharuskannya).
Mukallaf adalah orang yang mendapat taklif. Karenanya, secara bahasa mukallaf adalah al-mulzam bima fihi masyaqqah (orang yang dibebani sesuatu yang
mengandung masyaqqah [kesulitan]).
Istilah taklif dan mukallaf
kemudian tampak menonjol dalam kajian ushul
fikih dan fikih.
Para ulama ushul membahas siapa yang menjadi objek hukum (al-mahkum
‘alayh) atau siapa yang mendapat beban hukum. Al-Mahkum ‘alayh inilah yang mereka istilahkan
sebagai mukallaf. Dari sini
kemudian lahirlah makna istilah dari mukallaf.
Pemaknaan mukallaf ini
dilakukan dengan menggalinya dari nash yang berkaitan dengan siapa yang
dibebani hukum syariah. Karenanya, definisi mukallaf tersebut menjadi
definisi syar’i. Terkait dengan muamalah, Mukallaf adalah subjek
hukum yang dipandang layak oleh Islam menerima dan melaksanakan kewajiban yang
timbul dari perbuatan hukum. Mukallaf bisa juga diartikan sebagai Subjek hukum,
yaitu subjek hukum yang dipandang layak oleh Islam menerima dan melaksanakan
kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum.
5.
Aqal
Dalam mensyarahi hadis di atas,
Allamah Majlisi dalam kitab Mir’at al-‘Uqul menyatakan bahwa ’aql
(akal) secara bahasa berarti pengikatan dan pemahaman terhadap sesuatu. Secara
istilah, akal digunakan untuk menunjukkan salah satu definisi berikut ini:
1. Kemampuan untuk mengetahui sesuatu.
2. Kemampuan memilah-milah antara
kebaikan dan keburukan yang niscaya juga dapat digunakan untuk mengetahui
hal-ihwal yang mengakibatkannya dan sarana-sarana yang dapat mencegah
terjadinya masing-masing dari keduanya.
3. Kemampuan dan keadaan (halah)
dalam jiwa manusia yang mengajak kepada kebaikan dan keuntungan dan menjauhi
kejelekan dan kerugian.
4. Kemampuan yang bisa mengatur
perkara-perkara kehidupan manusia. Jika ia sejalan dengan hukum dan
dipergunakan untuk hal-hal yang dianggap baik oleh syariat, maka itu adalah
akal budi. Namun, manakala ia menjadi sesuatu yang mbalelo dan menentang
syariat, maka ia disebut nakra` atau syaithanah.
5. Akal juga dapat dipakai untuk
menyebut tingkat kesiapan dan potensialitas jiwa dalam menerima konsep-konsep
universal.
6. An-nafs an-nathiqah (jiwa rasional yang dipergunakan
untuk menalar) yang membedakan manusia dari binatang lainnya.
7. Dalam bahasa filsafat, akal merujuk
kepada substansi azali yang tidak bersentuhan dengan alam material, baik secara
esensial (dzaty) maupun aktual (fi’ly).
Definisi-definisi yang dipaparkan
Allamah Majlisi di atas mengandung ketumpang-tindihan terminologis. Dengan
sedikit kecermatan, kita bisa mendapatkan persamaan makna pada tiap-tiap
definisi yang diberikan. Misalnya definisi kesatu, kedua, dan ketiga itu dapat
dikatakan identik, meski dipandang dari perspektif yang sedikit berbeda.
Definisi keempat memberikan gambaran umum tentang akal melalui bahasa syariat
yang dapat dibedakan dari definisi-definisi sebelumnya hanya dari sisi
detailnya. Definisi kelima berupaya mengembalikan makna akal sebagai suatu
potensi pencerapan yang bersifat pasif. Definisi keenam memandang akal dari
sisi penalarannya yang bersifat aktif. Dan definisi ketujuh, agak berbeda dari
yang sebelumnya, memandang akal dari perspektif ontologisnya. Namun demikian,
masing-masing definisi ini sama sekali tidak dapat dipertentangkan.
Dalam mensyarahi hadis yang sama,
Mulla Shadra dengan tegas memaknai ‘aql di sini sebagai kepribadian Nabi
Muhammad Saw. - dalam seluruh martabat wujud beliau. Karena menurutnya, semua
sifat yang diberikan Allah kepada akal itu identik dengan sifat-sifat Nabi
Muhammad Saw. yakni:
1. Dalam hadis ini digambarkan bahwa
Allah mengajak akal "berbicara". Dan ini sama halnya dengan Allah
mengajak Nabi berbicara dalam perjalanan Mikraj beliau.
2. Hadis ini menegaskan ketaatan akal
kepada Allah. Ketaatan Nabi kepada Allah itu bersifat aksiomatis.
3. Dalam hadis di atas Allah
menandaskan kecintaan-Nya yang luar biasa kepada akal. Dalil-dalil rasional dan
riwa`iy (riwayat) menegaskan bahwa Nabi adalah makhluk yang paling
dicintai Allah.
4. Keimanan terhadap wujud Nabi atau
kepada kenabian beliau ialah syarat mutlak kesempurnaan tauhid. Dan
kesempurnaan tauhid adalah anugerah agung dan luas yang tidak Allah berikan
kecuali kepada para kekasih-Nya.
5. Dan sifat terakhir yang tercantum di
dalam hadis ini adalah bahwa kepada akal-lah Allah menyuruh, melarang,
menyiksa, dan memberi pahala. Allah berfirman, "(Ingatlah) ketika Allah
mengambil janji para nabi (yaitu), sungguh apa yang Aku datangkan kepada kalian
berupa kitab dab hikmah. Kemudian, datanglah kepada kalian utusan yang
membenarkan apa yang ada pada kalian dan berkata, ‘Hendaklah kalian beriman
kepadanya dan menolongnya.’ Allah berkata, ‘Adakah kalian akui dan ambil
janji-Ku itu!’ Mereka menjawab, ‘Kami mengakuinya.’ Berkata Allah,
‘Bersaksilah! Sesungguhnya Aku beserta kalian akan menjadi saksi.’"
(QS Ali’ Imran, 3:81). Jelas bahwa kepada Nabi Muhammad Saww. Allah memberi
perintah dan larangan dan karena beliau pulalah Allah menurunkan pahala dan
siksa.[7]
Dengan
ungkapan yang agak berbeda, Allamah Thabathaba`i menarik kesimpulan yang sama.
Dalam magnum opus-nya, Al-Mizan, Allamah Thabathaba`i
menye-butkan, dengan mengutip sebuah hadis masyhur, bahwa akal adalah sesuatu
yang dengannya Allah di-sembah. Dengan kata lain, akal adalah lentera yang
dengannya seseorang dapat mengenali "Wajah" Allah. Ini berarti bahwa
peran yang dimainkan akal itu sama sekali tidak berbeda dengan peran yang
dibawa oleh Nabi.[8]
Dan kesimpulan ini jelas tidak berbeda dengan kesimpulan Mulla Shadra yang
mengatakan bahwa akal itu identik dengan Nabi Muhammad Saww.
Dari
sudut yang berbeda, dapat kita katakan bahwa akal adalah manifestasi dan
petunjuk internal dari keberadaan Nabi. Muhammad adalah inti wujud segenap nabi
dan senjata pamungkas kerasulan. Bagaimanapun juga, manifestasi mesti
mencerminkan obyek dasarnya. Dengan demikian, semua ucapan, amalan, dan
penegasan Nabi Muhammad Saw. pasti bersifat rasional. Lebih jauh, Nabi Muhammad
Saww. adalah kriteria rasionalitas dan irasionalitas segala sesuatu.
Dan
Alquran yang merupakan tajally yang paling sempurna dari haqiqah
muhammadiyyah (hakikat ke-Muhammad-an) dapat pula memainkan peran yang
sama. Inilah metode penggabungan sisi intelektual, rasional, dan teoretis
manusia atau masyarakat dengan sisi individual, sosial, dan praktisnya dalam
pandangan-dunia Islam. Pandangan-dunia Islam menggunakan metode ini untuk
membangun infrastruktur (rasio), struktur (masyarakat), dan suprastruktur
(pemerintahan) sosial kemasyarakatan.
Muhaqqiq
al-Lahiji menulis demikian, "Akal dan ruh, sirr dan khafy,
jiwa rasional dan kalbu adalah hakikat yang sama. Namun, karena dzuhur
(manifestasi) yang terjadi pada berbagai gradasi eksistensialnya, maka mereka
memiliki hukum dan sifat yang berbeda-beda sesaui dengan tingkat
eksistensialnya. Oleh sebab itu para ulama memberikan pada masing-masingnya
nama yang berbeda-beda"
6.
Mumayyiz
Yang dimaksud dengan mumayyiz adalah keadaan
seseorang setelah melewati masa kanak-kanak namun balum lagi baligh. Dia belum
sempat mimpi basah atau belum keluar sperma. Tapi sudah punya kesadaran dan
kedewasaan lebih tinggi dari anak-anak di bawah umur. Mumayyiz itu sendiri makna
umumnya adalah seseorang sudah mampu membedakan mana yang baik dan tidak untuk
dirinya. Sesuatu yang tidak terdapat pada anak kecil di bawah umur balita. Jadi
boleh saja calon suami itu belum baligh, asal sudah mumayyiz. Dan boleh saja
seorang anak menjadi wali bagi saudara wanitanya, meski dia belum balgih,
asalkan sudah mumayyiz. Sebaliknya, bila calon suami atau wali atau malah
keduanya masih belum mumayyiz, tentu saja ijab kabul atau akad itu tidak syah.
7.
Baligh
Bagi
ikhwah dan akhawat yang mempunyai adik atau saudara, yang telah mempunyai anak,
atau bagi calon bapak/ibu yang akan menikah; ada baiknya kita perhatikan
tanda-tanda baligh berikut sebagaimana yang tercantum dalam syari’at. Baligh
adalah satu masa di mana seorang anak dibebani kewajiban (taklif) syari’at dan
akan dihisab yang mana baligh mempunyai tanda-tanda yang dapat dikenal
Tanda-Tanda Baligh untuk Laki-Laki
1. Ihtilam, yaitu keluarnya mani baik karena
mimpi atau karena lainnya.
Dalilnya disebutkan dalam Al-Qur’an,
dimana Allah ta’ala berfirman :
”Dan
bila anak-anakmu telah sampai hulm (ihtilam), maka hendaklah mereka meminta
ijin seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta ijin”. (An Nuur : 59)
Dari Ali bin Abi Thalib
radliyallaahu ‘anhu ia berkata,”Aku hafal (perkataan) dari Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam :
Tidak
(dinamakan) yatim bila telah ihtilam dan tidak boleh diam seharian hingga
malam”
(HR. Abu Dawud 2873 dengan sanad hasan; Irwaaul-Ghaliil 1244; Shahiih
Al-Jaami’ Ash-Shaghiir 2/7609).
Dari Ali juga dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam :
”Diangkat
pena (tidak dikenakan kewajiban) pada tiga orang : orang yang tidur hingga
bangun, anak kecil hingga ihtilam, dan orang gila hingga berakal” (HR. Abu Dawud 12/78/4380 dan
Tirmidzi 1423 dengan sanad shahih; lihat Shahiih Al-Jaami’ Ash-Shaghiir
1/3513).
Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam
juga pernah bersabda kepada Mu’adz,”Ambillah dari setiap orang yang telah
ihtilam satu dinar” (HR. Nasa’I 2450, Baihaqi dalam Al-Kubra 19155,
dan Ahmad 21532).
2. Tumbuhnya Rambut Kemaluan
Dari ‘Athiyyah ia berkata : “Kami
dihadapkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pada hari Quraidhah
(peristiwa pengkhianatan Bani Quraidhah), di situ orang yang sudah tumbuh bulu
kemaluannya dibunuh, sedang orang yang belum tumbuh dibiarkan. Aku adalah orang
yang belum tumbuh maka aku dibiarkan”(HR. Abu Dawud 4404, Tirmidzi 1584,
Nasa’I 3429, Ibnu Majah 2541, dan Ahmad 4/310; dishahihkan oleh Tirmidzi).
Dalam satu lafadh disebutkan,”Maka
orang yang telah ihtilam atau telah tumbuh rambut kemaluannya dibunuh,
sedangkan yang belum dibiarkan”(HR. Ahmad 3/383, Nasa’I 3430, dan Hakim
4/390).
Dalam lafadh lain : “Aku adalah
seorang pemuda di hari Sa’ad bin Mu’adz menghukum Bani Quraidhah dengan
dibunuhnya orang yang ikut berperang dan ditawan keturunannya. Mereka
melaporkan aku, tapi mereka tidak mendapati bulu kemaluanku, makanya aku
sekarang di tengah-tengah kalian”.[9]
Dari Samurah bin Jundub bahwa Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Bunuhlah orang-orang tua dari
kalangan kaum musyrikiin dan biarkanlah syarkh”. (HR. Ahmad 20021, Abu
dawud 3/54/2670, dan Tirmidzi 4/145/1583 dengan sanad hasan. Syarkh
adalah anak-anak yang belum tumbuh bulu kemaluannya).
Dari Ibnu Umar radliyallaahu
‘anhuma,”Bila seorang anak terkena hukuman hudud lalu dipermasalahkan apakah ia
sudah ihtilam atau belum? Maka lihatlah bulu kemaluannya”.
Semua ini menunjukkan bahwa
tumbuhnya rambut kemaluan adalah tanda balighnya seseorang, sebagai tanda juga
bagi anak-anak kaum muslimin dan orang-orang kafir; dan menunjukkan juga
bolehnya melihat aurat orang lain bila diperlukan untuk mengetahui baligh dan
tidaknya seseorang serta untuk lainnya.[10]
3. Ketika Ia Mencapai Usia Lima
Belas Tahun
”Seorang anak bila telah berusia
lima belas tahun maka diperlakukan hudud (hukuman pidana) buatnya” (HR. Baihaqi dalam Khilafiyaat
dari Anas dengan sanad dla’if).
Ibnul-Qayyim rahimahullah
berkata,”Untuk waktu ihtilaam tidak ada batas umurnya, bahkan anak-anak yang
berusia dua belas tahun bisa ihtilaam. Ada juga yang sampai lima belas tahun,
enam belas tahun, dan seterusnya namun belum ihtilaam”.
Para fuqahaa berselisih tentang usia baligh sebagai berikut :
Al-Auza’i, Ahmad, Syafi’i, Abu
Yusuf, dan Muhammad berkata,”Bilamana ia telah berusia lima belas tahun, maka
ia sudah dikatakan baligh”.
Para shahabat Imam Malik mempunyai 3
(tiga) pendapat :
1. Tujuh belas tahun
2. Delapan belas tahun
3. Lima belas tahun
Sedangkan Abu Hanifah ada dua
riwayat :
1. Tujuh belas tahun
2. Delapan belas tahun
Dan bagi anak perempuan itu tujuh
belas tahun.
Daud dan para shababatnya
berpendapat,”Tidak ada batasan usia. Yang bisa dijadikan batasan adalah
ihtilaam, inilah pendapat yang kuat, dan tidak ada pembatasan dari Rasul
shallallaahu ‘alaihi wasallam sedikitpun”.
Imam Ahmad mengatakan,”Anak kecil
tidak menjadi mahram bagi wanita hingga ia ihtilam”. Beliau mensyaratkan
ihtilam.
Tanda-Tanda Baligh untuk Perempuan
Balighnya anak perempuan bisa sama
seperti laki-laki, namun ditambah dengan keempatnya, yaitu Haidl, berkembangnya
alat-alat untuk berketurunan, serta membesarnya buah dada.
Bila anak sudah hulm/ihtlaam maka ia telah sampai pada usia taklif. Wajib
baginya mengerjakan ibadah dan seluruh amalan wajib. Adapun sebelum itu, maka
perintah hanyalah sebagai pembiasaan dan menjadikannya suka.
DAFTAR PUSTAKA
Syukur, Asywaedie. 1990. Ilmu Fiqih
dan Ushul Fiqih. PT. Bina Ilmu: Surabaya,hlm. 138
Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul
Fiqih. Pustaka Setia: Bandung, hlm. 334
Sutrisno. 1999. Ushul Fiqh. STAIN
Press. Jember hlm. 103
Drs.Beni
Ahmad Sabeani,2008.Ilmu Ushul Fiqih,CV.Pustaka Setia: Bandung
Koto, Alaiddin. 2006. Ilmu Fiqih dan
Ushul Fiqih. PT. Raja Grafindo Persada:Jakarta.hlm.157
syafe’i,Op.
Cit.
hlm.336-338
Koto, Alaiddin
,Op. Cit.hlm.
Syafe’i, Rachmat, Op.
Cit.hlm.
Tarbiyatul-Aulad fil-Islaam halaman 270
Tuhfatul-Maulud
bi Ahkaamil-Maulud oleh Ibnul-Qayyim halaman 210
No comments:
Post a Comment