BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Islam sebagai
agama yang sempurna dan merupakan Rahmatan lil Alamin telah memberikan
sebuah pedoman dan petunjuk bagi kemaslahatan seluruh umat manusia terutama
bagi siapa saja yang menganut dan
mengaplikasikannya dalam kehidupan. Dalam perkembangannya, agama Islam telah
berhasil menjadi agama besar di dunia dan telah menyebar ke seluruh pelosok
belahan bumi. Islam juga telah memberikan banyak kontribusi keilmuan diberbagai
bidang, tidak hanya mengenai kehidupan beribadah, namun juga mengatur tentang
kehidupan dalam segala aspek kegiatan sehari – hari kita. Jika dilihat dari
aspek sejarah Islam telah mencapai sebuah peradaban yang sangat mengagumkan
dengan kemajuannya di segala bidang. Pengaruh Islam pada masa itu tidak hanya
meliputi Jazirah Arab saja namun juga telah sampai ke Eropa bahkan syiarnya
telah mencapai Timur Jauh.
Merupakan
sebuah sejarah yang mencengangkan dimana Indonesia yang dulu memiliki keyakinan
kuat mengenai agama Hindu , Budha, Animisme, dan Dinamisme dapat begitu
mudahnya berubah menjadi agama Islam bahkan sekarang ini telah menjadi negara
dengan populasi Islam terbanyak di dunia. Dibutuhkan sebuah stretegi khusus
untuk dapat mensyiarkan dakwah Islam ke Indonesia yang memiliki masyarakat
majemuk dan terdiri dari beragam suku, ras, dan adat. Juga dibutuhkan
pengetahuan bagaimana sesungguhnya keadaan masyarakat Indonesia saat Islam
masuk dan menyebar di Indonesia. Dalam metode penyebarannya, Islam Indonesia
merupakan sesuatu yang memang unik dan perlu dikaji lebih lanjut. Jika
dibandingkan dengan daerah yang lebih dulu menganut sistem Islam (misal :
Andalusia / Spanyol) Indonesia dapat mempertahankan bahkan memperluas kedudukan
Islam serta peradaban dan budayanya. Padahal secara geografis Indonesia jauh dari
tempat Islam muncul dan dibawakan oleh Muhammad SAW.
Atas latar
belakang tersebut maka sangat perlu bagi kita untuk mengkaji lebih dalam lagi
mengenai bagaimana sebenarnya proses Islamisasi di Indonesia sehingga nilai –
nilai dari agama ini dapat diterapkan begitu lama dan dalam masyarkat yang
majemuk. Juga perlu diketahui bagaimana keadaan politik dan masyarakat saat itu
yang dapat dijadikan faktor pendukung ataupun penhambat Islam dalam proses
penyebarannya di Indonesia. Maka dalam bahasan kali ini kita akan lebih
mengkonsentrasikan kepada pembahasan Islamisasi itu sendiri, keadaan lembaga
sosial dan politik (kerajaan – kerajaan), serta perkembangan Intelektual
masyarakat saat itu.
1.2
Rumusan
Masalah
a)
Bagaimana
proses Islamisasi di Indonesia?
b)
Bagaimana
pertumbuhan Lembaga Sosial dan Politik (Kerajaan – kerajaan) pada saat Islam
datang di Indonesia?
c)
Bagaimana
keadaan Intelektual masyarakat Indonesia saat kedatangan Islam?
1.3
Tujuan
a)
Mengetahui
proses Islamisasi di Indonesia.
b)
Memahami
bagaimana pertumbuhan Lembaga Sosial dan Politik (Kerajaan – kerajaan) pada
saat Islam masuk di Indonesia.
c)
Memahami
keadaan Intelektual masyarakat Indonesia saat Islam masuk di Indonesia.
BAB II
ISI
2.1 Masuknya
Islam di Indonesia
Dalam hal ini terdapat tiga teori tentang masuknya Islam di
Indonesia, yaitu : Teori Gujarat, Teori Makkah, dan Teori Persia. Ketiga teori ini pun
sebenarnya tidak membahas masuknya Islam ke setiap pulau, melainkan hanya
menganalisis masuknya agama Islam ke Sumatra dan Jawa. Ketiga teori ini
mencoba memberikan jawaban permasalahan tentang masuknya agama Islam ke
Nusantara dengan perbedaan pendapatnya. Pertama, mengenai waktu masuknya
Islam. Kedua, tentang asal negara yang menjadi perantara atau sumber
tempat pengambilan ajaran agama Islam. Ketiga, tentang pelaku penyebar
atau pembawa Islam ke Nusantara.
Teori Gujarat
Dinamakan Teori
Gujarat bertolak dari pandangan teori ini yang menyatakan asal negara yang
membawa Islam ke Nusantara adalah dari Gujarat. Adapun peletak dasar teori ini adalah Snouck Hurgronje, dalam
bukunya L’Arabie et les Indes Neerlandaises, atau Revue de l’Histoire
des Religious, jilid [vi]. Snouck Hurgronje lebih menitikberatkan
pandangannya ke Gujarat berdasarkan : Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan
bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara, hubungan dagang
Indonesia dan Indioa telah terjalin lama, inskripsi tertua tentang islam yang
terdapat di Sumatra memberikan gambaran hubungan antara Sumatra dengan Gujarat.
Sejalan dengan pendapat
diatas, W.F. Sutterheim, dalam bukunya De Islam en Zijn Komst In de Archipel
menyatakan masuknya agama Islam ke Nusantara terjadi pada abad ke 13.
Pendapatnya juga didasarkan pada bukti batu nisan Sultan pertama dari Kerajaan
Samudera, yakni Malik Al Saleh yang wafat pada 1297. Relief nisan tersebut
bersifat Hinduistis yang mempunyai dengan nisan yang terdapat di Gujarat. Atas
alasan inilah W.F. Stutterheim berpendapat bahwa Islam masuk berasal dari
Gujarat.
Berbeda dengan pendapat
diatas, J.C van Leur dalam bukunya Inonesia, Trade and Society, menyatakan
bahwa pada tahun 674 di pantai Barat Sumatra telah terdapat perkampungan Arab
Islam. Denga pertimbangan bangsa Arab telah mendirikan perkampungannya di
Kanton pada abad ke 4. Perkampungan atau pemukiman ini mulai dibicarakan lagi
pada tahun 618 dan 626. Tahun – tahun berikutnya perkembangan perkampungan
perdagangan ini mulai mempraktikan
ajaran Islam. Hal ini mempengaruhi pula perkampungan Arab yang ada di
sepanjang jalan perdagangan di Asia Tenggara.
Bernard H.M Vlekke juga
berpendapat denga sejarawan sebelumnya bahwa nisan tersebut selain mempunyai
kesamaan denga yang ada di Cambay, juga diimpor dari sana pula. Karena Cambay
merupakan pusat perdagangan Islam sejak abad ke-13. Dengan adanya persamaan
nisan dan persamaan ajaran mistik Islam Indonesia dengan India, Bernard H.M.
Vlekke berkesimpulan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui Gujarat.
Clifford Geertz dalam The
Religion of Java juga masih berpendapat masuknya Islam ke Nusantar berasal
dari India. Perkembangan ajaran Islam di Indonesia diwarnai oleh ajaran Hindu,
Budha, bahkan Animisme sebagai ajaran – ajaran yang telah lama berkembang di
Indonesia sebelum Islam. Hal ini akibat putusnya hubungan Indonesia dengan
negara sumber Islam, yakni Makkah dan Kairo. Sehingga terlihat praktik mistis
Budha yang dinamai Arab, Raja yang dinamai Sulthan, sedangkan rakyat kebanyakan
masih mempraktikan ajaran animisme.
Dari berbagai argumen
Teori Gujarat yang dikemukakan oleh beberapa sejarawan, ahli antropologi, dan
ahli ilmu politik, analisis mereka terlihat Hindu Sentris, karena beranggapan
bahwa seluruh perubahan sosial, ekonomi, budaya dan agama di Nusantara tidak
mungkin terlepas dari pengaruh India. Teori Gujarat ini tentu terdapat kelemahannya
bila dibandingkan dengan Teori Makkah.
Teori Makkah
Teori Gujarat sejak tahun
1958 mendapatkan koreksi dan kritik dari Hamka yang melahirkan teori baru yakni
Teori Makkah. Koreksinya ini disampaikan dalam pidatonya di Dies Natalis
Perguruan Tinggi Agma Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta, pada 1958. Hamka
menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara pada
abad ke-13 dan berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan pandangannya pada
peranan bangsa Arab sevagai pembawa Islam ke Indonesia. Gujarat dinyatakan sebagai tempat singgah, dan Makkah sebagai pusat,
atau Mesir sebagai pengambilan ajaran
Islam. Selain itu, Hamka menolak pendapat yang menyatakan bahwa agama Islam
baru masuk ke Nusantara pada abad ke-13, karena di Nusantara abad ke-13 telah
berdiri kekuasaan politik Islam. Jadi masuknya Islam ke Nusantara terjadi jauh
sebelumnya yakni pada abad ke-7.
T.W. Arnold menyatakan
bahwa bangsa Arab sejak abad ke-2 sebelum Masehi telah menguasai perdagangan di
Ceylon. Memang tidak dijelaskan lebih lanjut tentang sampainya ke Indonesia.
Tetapi bila dihubungkan dengan penjelasan kepustakaan Arab kuno yang
menyebutkan Al Hind berarti India atau pulau – pulau sebelah timurnya sampai ke
Cina, dan Indonesia pun disebut sebagai pulau – pulau Cina, besar kemungkinan
pada abad ke-2 sebelum Masehi bangsa Arab telah samapai ke Indonesia. Hanya
penyebutannya sebagai pulau – pulau Cina atau Al Hind.
Bila memang benar telah
ada hubungan antara bangsa Arab dengan Indonesia sejak abad ke-2 sebelum
Masehi, maka bangsa Arab merupakan bangsa asing pertama yang datang ke
Nusantara, karena bangsa India dan Cina baru mengadakan hubungan dengan
Indonesia pada abad ke-1 M. Sedangkan hubungan Arab dengan Cina terjadi jauh
lebih lama, melalui jalan darat yang sering disebut sebagai “jalan sutera”,
berlangsung sejak 500 SM.
Timbulnya perkampungan
perdagangan Arab baik di pantai barat Sumatra ataupun di Asia Tenggara dan
Kanton, ditunjang oleh kekuatan laut Arab. Penulis – penulis Arab, Ibnu Rusta
(900), Sulaiman (850), dan Abu Zaid (950) menjelaskan bahwa pelaut – pelaut
Arab Islam telah mengenal sekali lautan Indonesia. Selain itu dijelaskan pula
bahwa bangsa Arab telah mengenat pertambangan timah. Kala itu, sebagai
pertambangan yang dikuasai Zabaj. Adapun yang dimaksudkan Zabaj menurut Sir
Thomas adalah Sriwijaya. Dari ahli geografi Arab seperti Abu Zaid Al-Balkhi
(934), Ibnu Hauqal (985), Istakhri (950), dan Maqdisi (985), kita mendapatkan
informasi tentang peta bumi yang telah dimiliki oleh bangsa Arab, yang
didalamnya pula menggambarkan Samudera Indonesia. Sedangkan bangsa Eropa saat
itu masih menganggap Samudera Indonesia saat itu sebagai jurang laut. Dan lagi
peta yang demikian itu tidak dimiliki oleh bangsa Eropa dan hanya dimiliki oleh
navigator bangsa Arab Muslim.
Jadi kesimpulannya
menurut Teori Makkah, masuknya Islam ke
Nusantara terjadi pada abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi. Pelaku
pembawa Islam adalah saudagar Arab, diikuti oleh orang Persia dan Gujarat,
mereka bukanlah anggota missi, meski hakikatnya setiap orang Islam memiliki
kewajiban missi.
Teori Persia
Pembangun teori
ini adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat.
Fokus pandangan teori ini tentang masuknya agama Islam ke Indonesia berbeda
dengan teori Gujarat dan Makkah, sekalipun mempunyai maslah kesamaan mengenai
Gujaratnya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya pada kebudayaan yang hidup di
kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan
Persia.
Kesamaan budaya ini dapat
dilihat pada mayarakat Islam Indonesia antara lain :
Pertama, peringatan
10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syi’ah atas kematian
syahidnya Husain. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syura. Di
Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan – Husain. Di Sumatra Tengah
bagian Barat, disebut bulan Tabut, dan diperingati dengan mengarak keranda
Husain untuk dilemparkan ke sungai atau ke dalam perairan lainnya. Keranda
tersebut disebut tabut berasal dari bahasa Arab.
Kedua, adanya
kesamaan ajaran antara Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran Al-Hallaj,
sekalipun Al-Hallaj telah meninggal pada 310H / 922M, tetapi ajarannya
berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syaikh Siti Jenar
yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya.
Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab,
untuk tanda–tanda bunyi harakat dalam pengajian Al Qur’an tingkat awal :
Bahasa Iran
|
Bahasa Arab
|
Jabar – zabar
|
Fathah
|
Jer – ze-er
|
Kasrah
|
P’es – py’es
|
Dhammah
|
Keempat, nisan pada
makam Malikus Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan
dari Gujarat. Dalam hal ini Teori Persia mempinyai kesamaan mutlak dengan Teori
Gujarat.
Kelima, pengakuan
umat Islam Indonesia terhadap Mazhab Syafi’i sebagai mahzab yang paling utama
di daerah Malabar. Dalam masalah mahzab Syafi’i, P.A Hosein Djajadiningrat disatu
pihak melihat saah satu budaya Islam Indonesia kemudian dikaitkan dengan
kebudayaan Islam Persia, tetapi tetap berpandangan Mazhab Syafi’i berhenti di
Malabar, tidak berlanjut dihubungkan dengan pusat Mazhab Syafi’i di Makkah.
Seminar Masuknya Islam di Indonesia
Dari berbagai teori diatas maka ditarik sebuah kesimpulan yaitu
yanng disampaikan dalam “Seminar
Masuknya Islam di Indonesia” di Medan
tahun 1963. Menghasilkan
rumusan sebagai berikut :
1.
Menurut
sumber – sumber yang diketahui, Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke
Indonesia pada abad pertama Hijriyah (abad ke 7 Masehi) dan langsung dari Arab.
2.
Daerah
yang pertama didatangi oleh Islam ialah pesisir Sumatra, dan bahwa setelah
terbentuknya masyarakat Islam, maka raja Islam yang pertama berada di Aceh.
3.
Dalam
proses pengislaman selanjutnya, orang – orang Indonesia ikut aktif mengambil
bagian.
4.
Mubaligh
– mubaligh Islam yang pertama – pertama itu selain sebagai penyiar Islam juga
sebagai Saudagar.
5.
Penyiaran
Islam di Indonesia dilakukan dengan cara damai.
6.
Kedatangan
Islam ke Indonesia, membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam
membentuk kepribadian bangsa Indonesia.
2.2 Jalur penyebaran Islam
di Indonesia(influence)
Sejak Islam
dikenal di Indonesia itulah, Islam terus berkembang dengan pesat. Menurut para
sejarawn, Islam masuk ke Indonesia melalui beberapa jalur, sehingga dengan
cepat dapat diterima oleh masyarakat Indonesia yang waktu itu masih kuat
menganut paham lama, yaitu agama Hindu, Budha, bahkan Animisme dan Dinamisme.
Jalur – jallur yang dilakukan
oleh penyebar Islam yang mula – mula di Indonesia adalah sebagai
berikut :
1.
Melaui
jalur perdagangan
Pada tahap permulaan, saluran Islamisasi adalah perdagangan.
Kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-14 M membuat para
pedagang Muslim (Arab, Persia, dan India) turut ambil bagian dalam perdagangan
dari negeri – negeri bagian barat, timur, dan tenggara benua Asia. Islamisasi
melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan
turut serta dalam kegiatan perdagangan. Mereka yang melakukan dakwah Islam,
sekaligus juga menjadi pedagang yang menjajakan dagangannya kepada penduduk
pribumi.
2.
Melalui
jalur perkawinan
Dari sudut ekonomi, pedagang muslim memiliki status sosial yang
lebih baik daripada kebanyakan pribumi, terutama putri – putri bangsawan
tertarik untuk menjadi istri saudagar – saudagar itu. Sebelum menikah mereka
diislamkan terlebih dahulu. Setelah mereka memiliki keturunan, lingkungan
semakin luas. Akhirnya timbul kampung – kampung, daerah – daerah, dan kerajaan
– kerajaan muslim.
3.
Melalui
jalur tasawuf
Para penyebar Islam juga dikenal sebagai pengajar – pengajar
tasawuf. Mereka mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah
dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam hal magis dan
memiliki kekuatan – kekuatan menyembuhkan. Diantara mereka ada juga uang
menikahi putri – putri bangsawan setempat. Dengan tasawuf. “bentuk” Islam yang
diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran
mereka yang sebelumnya menganut agamna Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti
dan mudah diterima. Kehidupan mistik bagi masyarakat Indonesia sudah menjadi
bagian dari kepercayaan mereka, oleh karena itu, penyebaran Islam pada masyarakat
Indonesia melalui jalur tasawuf atau mistik ini mudah diterima karena sesuai dengan alam
pikiran masyarakat Indonesia.
Misalnya, menggunakan ilmu – ilmu riyadath dan kesaktian dalamproses [enyebaran
agama Islam kepadapenduduk setempat.
4.
Melalui
jalur pendidikan
Dalam islamisasi di Indonesia ini, juga dilakukan melalui jalur
pendidikan seperti pesantren, surau, masjid, dan lain – lain yang dilakukan
oleh guru – guru agama. Kiai, dan ulama. Jalur pendidikan digunakan oleh para
wali khususnnya di Jawa dengan membuka lembaga pendidikan pesantren sebagai
tempat kaderisasi mubaligh – munaligh Islam di kemudian hari. Setelah keluar
dari pesantren atau pondik, mereka kembali ke kampung masing – masing atau
berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya pesantren yang
didirikan Raden Rahmat di Ampel Delta Surabaya dan Pesantren Giri yang didirikan
oleh SunanGiri di Gresik. Keluaran Giri ini banyak diundang ke Maluku untuk
berdakwah disana.
5.
Melalui
jalur kesenian
Para penyebar Islam juga menggunakan kesenian dalam rangka
penyebaran Islam, antara wayang, sastra, dan berbagai kesenian lainnya. Pendekatan
jalur kesenian dilakukan oleh para penyebar Islam seperti waliongo untuk
menarik perhatian di kalangan mereka, sehingga dengan tanpa merasa mereka telah
tertarik kepada ajaran – ajaran Islam sekalipun pada awalnya mereka tertarik
dikarenakan media kesenian itu. Misalnya, Sunan Kalijaga adalah tokoh seniman
wayang. Ia tidak pernah meminta bayaran perunjukan seni, tetapi meminta para
penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian cerita
wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi didalam cerita
itu disisipkan ajaran – ajaran dan nama pahlawan Islam. Kesenian – kesenian
lain juga dijadikan media islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad, dan
sebagainya), seni arsitektur, dan seni ukir.
6.
Melalui
jalur politik.
Para penyebar
Islam juga menggunakan pendekatan politik dalam penyebaran Islam. Pengaruh
politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di Indonesia. Sebagaimana
diketahui, melalui jalur para politik walisongo melakukan strategi dakwah
mereka di kalangan para pembesar kerajaan seperti Majapahit, Pajajaran, bahkan
para walisongo juga mendirikan kerajaan Demak, Sunan Gunungjati juga mendirikan
Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten. Kesemuanya dilakukan untuk melakukan
pendekatan dalam rangka penyebaran Islam. Baik di Sumatra, Jawa maupun di
Indonesia bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan – kerajaan Islam
memerangi kerajaan – kerajaan non-Islam. Kemenangan – kemenangan secara politis
banyak menarik penduduk kerajaan yang bukan Islam itu masuk Islam.
2.3 Kondisi Kerajaan Indonesia Pra Islam
Cikal bakal
kekuasaan Islam telah dirintis pada abad ke-7 dan ke-8 Masehi, tetapi semuanya
tenggelam dalam hemegoni maritim Sriwijaya yang berpusat di Palembang dan
Kerajaan Hindu-Jawa seperti Singasari dan Majapahit di Jawa Timur. Pada periode
ini para pedagang dan mubaligh muslim membentuk komunitas – komunitas Islam.
Mereka memperkenalkan Islam yang mengajarkan toleransi dan persamaan derajat
diantara sesama. Sementara antara Hindu – Jawa menekankan perbedaan derajat
manusia. Ajaran Islam ini sangat menarik perhatian penduduk setempat. Oleh
karena itu, Islam tersebar di kepulauan Indonesia terhitung cepat, meski
penyebarannya dengan cara damai.
Masuknya Islam
ke daerah – daerah di Indonesia tidak dalam waktu yang bersamaan. Di samping
itu, keadaan politik dan sosial budaya daerah ketika didatangi Islam juga
berlainan. Datangnya orang – orang Islam ke daerah – daerah yang baru
disinggahi sama sekali belum memperlihatkan dampak – dampak politik, karena
pada awalnya mereka datang hanya untuk usaha pelayaran dan perdagangan.
Kemajuan
politik dan Ekonomi Sriwijaya berlangsung samapai abad ke 12 M. Pada akhir abad
ke 12 M, kerajaan mulai memasuki masa kemunduran di bidang politik dan ekonomi.
Kemunduran Sriwijaya ini dipercepat oleh usaha – usaha Kerajaan Singasari yang
sedang bangkit di Jawa. Kelemahan Sriwijaya dimanfaatkan oleh para pedagang
muslim untuk mendapatkan keuntungan politik dan perdagangan. Mereka mendukung
daerah – daerah yang muncul, dan daerah yang menyatakan diri sebagai kerajaan
yang bercorak Islam, yaitu Kerajaan Samudra Pasai di pesisir timur Laut Aceh.
Daerah ini sudah disinggahi pedagang muslim sejak abad ke-7 dan ke-8 M. Proses
islamisasi tentu sudah berjalan disana sejak abad tersebut, baik dalam bidang
politik maupin perdagangan.
Karena
kekacauan dalam negeri sendiri akibat perebutan kekuasaan di istana, Kerajaan
Singasari, juga pelanjutnya Majapahit, tidak mampu mengontrol daerah Melayu dan
Selat Malaka dengan baik, sehingga Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka dapat
berkembang dan mencapai puncak kekuasaanya hingga abad ke-16 M.
Demikian pula
kerajaan Majapahit ketika Hayam Wuruk dengan Patih Gadjah Mada masih berkuasa,
situasi politik pusat Nusantara mengakui berada dibawah perlindungannya. Akan
tetapi, sejak Gajah Mada meninggal dunia pada 1364 M disusul Hayam Wuruk pada
tahun 1389 M, situasi Majapahit kembali mengalami keguncangan. Kelemahan –
kelemahan yang semakin lama semakin memuncak, akhirnya membuat kerajaan
Majapahit semakin melemah.
Akhirnya,
Kerajaan Sriwijaya, Singasari, dan Majapahit menjadi melemah dan tidak memiliki
kekuatan yang berarti tidak lama kemusian muncul beberapa kerajaan Islam yang
juga bersama dengan pengembangan agama Islam di Indonesia, yaitu Kerajaan
Samudera Pasai (abad ke 13 M) di Aceh. Kemudian diteruskan kerajaan Aceh
Darussalam (abad ke 15 M).
2.4 Kerajaan Islam di Indonesia
a)
Kerajaan Perlak
Perlak adalah kerajaan
Islam tertua di Indonesia. Perlak adalah sebuah kerajaan dengan masa
pemerintahan cukup panjang. Kerajaan yang berdiri pada tahun 840 ini berakhir
pada tahun 1292 karena bergabung dengan Kerajaan Samudra Pasai. Sejak berdiri
sampai bergabungnya Perlak dengan Samudrar Pasai, terdapat 19 orang raja yang
memerintah. Raja yang pertama ialah Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz
Syah (225 – 249 H / 840 – 964 M). Sultan bernama asli Saiyid Abdul Aziz pada
tanggal 1 Muhharam 225 H dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Perlak. Setelah
pengangkatan ini, Bandar Perlak diubah menjadi Bandar Khalifah. Kerajaan ini
mengalami masa jaya pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaidin Malik
Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H/1225-1263 M).
Pada masa
pemerintahannya, Kerajaan Perlak mengalami kemajuan pesat terutama dalam bidang
pendidikan Islam dan perluasan dakwah Islamiah. Sultan mengawinkan dua
putrinya: Putri Ganggang Sari (Putri Raihani) dengan Sultan Malikul Saleh dari
Samudra Pasai serta Putri Ratna Kumala dengan Raja Tumasik (Singapura
sekarang). Perkawinan ini dengan parameswara Iskandar Syah yang kemudian
bergelar Sultan Muhammad Syah. Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah
II Johan Berdaulat kemudian digantikan oleh Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul
Aziz Syah Johan Berdaulat (662-692 H/1263-1292 M). Inilah sultan terakhir
Perlak. Setelah beliau wafat, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai
dengan raja Muhammad Malikul Dhahir yang adalah Putra Sultan Malikul Saleh
dengan Putri Ganggang Sari.
Perlak merupakan
kerajaan yang sudah maju. Hal ini terlihat dari adanya mata uang sendiri. Mata
uang Perlak yang ditemukan terbuat dari emas (dirham), dari perak (kupang), dan
dari tembaga atau kuningan.
b. Kerajaan
Samudera Pasai
Kerajaan ini didirikan
oleh Sultan Malik Al-saleh dan sekaligus sebagai raja pertama pada abad ke-13.
Kerajaan Samudera Pasai terletak di sebelah utara Perlak di daerah Lhok Semawe
sekarang (pantai timur Aceh). Sebagai sebuah kerajaan, raja silih berganti
memerintah di Samudra Pasai. Raja-raja yang pernah memerintah Samudra Pasai
adalah seperti berikut.
(1) Sultan Malik
Al-saleh berusaha meletakkan dasar-dasar kekuasaan Islam dan berusaha
mengembangkan kerajaannya antara lain melalui perdagangan dan memperkuat
angkatan perang. Samudra Pasai berkembang menjadi negara maritim yang kuat di
Selat Malaka.
(2) Sultan Muhammad
(Sultan Malik al Tahir I) yang memerintah sejak 1297-1326. Pada masa
pemerintahannya Kerajaan Perlak kemudian disatukan dengan Kerajaan Samudra
Pasai.
(3) Sultan Malik al
Tahir II (1326 – 1348 M). Raja yang bernama asli Ahmad ini sangat teguh
memegang ajaran Islam dan aktif menyiarkan Islam ke negeri-negeri sekitarnya.
Akibatnya, Samudra Pasai berkembang sebagai pusat penyebaran Islam. Pada masa
pemerintahannya, Samudra Pasai memiliki armada laut yang kuat sehingga para
pedagang merasa aman singgah dan berdagang di sekitar Samudra Pasai. Namun,
setelah muncul Kerajaan Malaka, Samudra Pasai mulai memudar. Pada tahun 1522
Samudra Pasai diduduki oleh Portugis. Keberadaan Samudra Pasai sebagai kerajaan
maritim digantikan oleh Kerajaan Aceh yang muncul kemudian.
Catatan lain mengenai
kerajaan ini dapat diketahui dari tulisan Ibnu Battuta, seorang pengelana dari
Maroko. Menurut Battuta, pada tahun 1345, Samudera Pasai merupakan kerajaan
dagang yang makmur. Banyak pedagang dari Jawa, Cina, dan India yang datang ke
sana. Hal ini mengingat letak Samudera Pasai yang strategis di Selat Malaka.
Mata uangnya uang emas yang disebur deureuham (dirham).
Di bidang agama,
Samudera Pasai menjadi pusat studi Islam. Kerajaan ini menyiarkan Islam sampai
ke Minangkabau, Jambi, Malaka, Jawa, bahkan ke Thailand. Dari Kerajaan Samudra
Pasai inilah kader-kader Islam dipersiapkan untuk mengembangkan Islam ke berbagai
daerah. Salah satunya ialah Fatahillah. Ia adalah putra Pasai yang kemudian
menjadi panglima di Demak kemudian menjadi penguasa di Banten.
c. Kerajaan
Aceh
Kerajaan Islam
berikutnya di Sumatra ialah Kerajaan Aceh. Kerajaan yang didirikan oleh Sultan
Ibrahim yang bergelar Ali Mughayat Syah (1514-1528), menjadi penting karena
mundurnya Kerajaan Samudera Pasai dan berkembangnya Kerajaan Malaka. Pusat
pemerintahan Kerajaan Aceh ada di Kutaraja (Banda Acah sekarang). Corak
pemerintahan di Aceh terdiri atas dua sistem: pemerintahan sipil di bawah kaum
bangsawan, disebut golongan teuku; dan pemerintahan atas dasar agama di bawah
kaum ulama, disebut golongan tengku atau teungku.Sebagai sebuah kerajaan, Aceh
mengalami masa maju dan mundur. Aceh mengalami kemajuan pesat pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607- 1636). Pada masa pemerintahannya, Aceh
mencapai zaman keemasan. Aceh bahkan dapat menguasai Johor, Pahang, Kedah,
Perak di Semenanjung Melayu dan Indragiri, Pulau Bintan, dan Nias. Di samping
itu, Iskandar Muda juga menyusun undang-undang tata pemerintahan yang disebut
Adat Mahkota Alam.
Setelah Sultan Iskandar
Muda, tidak ada lagi sultan yang mampu mengendalikan Aceh. Aceh mengalami
kemunduran di bawah pimpinan Sultan Iskandar Thani (1636- 1641). Dia kemudian
digantikan oleh permaisurinya, Putri Sri Alam Permaisuri (1641- 1675). Sejarah
mencatat Aceh makin hari makin lemah akibat pertikaian antara golongan teuku
dan teungku, serta antara golongan aliran syiah dan sunnah sal jama’ah.
Akhirnya, Belanda berhasil menguasai Aceh pada tahun 1904.
Dalam bidang sosial, letaknya yang strategis di titik sentral jalur perdagangan internasional
di Selat Malaka menjadikan Aceh makin ramai dikunjungi pedangang Islam.
Terjadilah asimilasi baik di bidang sosial maupun ekonomi. Dalam kehidupan bermasyarakat, terjadi perpaduan antara adat istiadat dan ajaran agama Islam.
d. Kerajaan Demak dan
Kerajaan Pajang dengan Peninggalannya
Demak adalah kerajaan
Islam pertama di Pulau Jawa. Kerajaan yang didirikan oleh Raden Patah ini pada
awalnya adalah sebuah wilayah dengan nama Glagah atau Bintoro yang berada di
bawah kekuasaan Majapahit. Majapahit mengalami kemunduran pada akhir abad
ke-15. Kemunduran ini memberi peluang bagi Demak untuk berkembang menjadi kota besar dan pusat
perdagangan. Dengan bantuan para ulama Walisongo, Demak berkembang menjadi
pusat penyebaran agama Islam di Jawa dan wilayah timur Nusantara.
Sebagai kerajaan, Demak
diperintah silih berganti oleh raja-raja. Demak didirikan oleh Raden Patah
(1500-1518) yang bergelar Sultan Alam Akhbar al Fatah. Raden Patah sebenarnya
adalah Pangeran Jimbun, putra raja Majapahit. Pada masa pemerintahannya, Demak berkembang
pesat. Daerah kekuasaannya meliputi daerah Demak sendiri, Semarang, Tegal,
Jepara dan sekitarnya, dan cukup berpengaruh di Palembang dan Jambi di
Sumatera, serta beberapa wilayah di Kalimantan. Karena memiliki bandar-bandar
penting seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik, Raden Patah memperkuat armada
lautnya sehingga Demak berkembang menjadi negara maritim yang kuat. Dengan kekuatannya itu, Demak mencoba menyerang
Portugis yang pada saat itu menguasai Malaka. Demak membantu Malaka karena
kepentingan Demak turut terganggu dengan hadirnya Portugis di Malaka. Namun,
serangan itu gagal.
Di bidang keagamaan,
Raden Patah dan dibantu para wali, Demak tampil sebagai pusat penyebaran Islam.
Raden Patah kemudian membangun sebuah masjid yang megah, yaitu Masjid Demak
.Dalam bidang perekonomian, Demak merupakan pelabuhan transito (penghubung)
yang penting. Sebagai pusat perdagangan Demak memiliki pelabuhan-pelabuhan
penting, seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik. Bandar-bandar tersebut menjadi penghubung daerah penghasil rempah-rempah
dan pembelinya. Demak juga memiliki penghasilan besar dari hasil pertaniannya
yang cukup besar. Akibatnya, perekonomian Demak berkembang degan pesat.
e. Kerajaan
Mataram dan Peninggalannya
Sutawijaya yang mendapat
limpahan Kerajaan Pajang dari Sutan Benowo kemudian memindahkan pusat
pemerintahan ke daerah kekuasaan ayahnya, Ki Ageng Pemanahan, di Mataram.
Sutawijaya kemudian menjadi raja Kerajaan Mataram dengan gelar Panembahan
Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama.
Pemerintahan Panembahan
Senopati (1586-1601) tidak berjalan dengan mulus karena diwarnai oleh
pemberontakan-pemberontakan. Kerajaan yang berpusat di Kotagede (sebelah
tenggara kota Yogyakarta sekarang) ini selalu terjadi perang untuk menundukkan
para bupati yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Mataram, seperti Bupati
Ponorogo, Madiun, Kediri, Pasuruan bahkan Demak. Namun, semua daerah itu dapat
ditundukkan. Daerah yang terakhir dikuasainya ialah Surabaya dengan bantuan
Sunan Giri.
Setelah Senopati wafat,
putranya Mas Jolang (1601-1613) naik tahta dan bergelar Sultan Anyakrawati. Dia
berhasil menguasai Kertosono, Kediri, dan Mojoagung. Ia wafat dalam pertempuran
di daerah Krapyak sehingga kemudian dikenal dengan Pangeran Sedo Krapyak. Mas
Jolang kemudian digantikan oleh Mas Rangsang (1613-1645). Raja Mataram yang
bergelar Sultan Agung Senopati ing Alogo Ngabdurracham ini kemudian lebih
dikenal dengan nama Sultan Agung. Pada masa pemerintahannya, Mataram mencapai
masa keemasan. Pusat pemerintahan dipindahkan ke Plered. Wilayah kekuasaannya
meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. Sultan Agung bercita-cita mempersatukan Jawa.
Karena merasa sebagai penerus Kerajaan Demak, Sultan Agung menganggap Banten
adalah bagian dari Kerajaan Mataram. Namun, Banten tidak mau tunduk kepada
Mataram. Sultan Agung kemudian berniat untuk merebut Banten.
Namun, niatnya itu
terhambat karena ada VOC yang menguasai Sunda Kelapa. VOC juga tidak menyukai
Mataram. Akibatnya, Sultan Agung harus berhadapan dulu dengan VOC. Sultan Agung
dua kali berusaha menyerang VOC: tahun 1628 dan 1629. Penyerangan tersebut
tidak berhasil, tetapi dapat membendung pengaruh VOC di Jawa.
Sultan Agung membagi sistem pemerintahan Kerajaan Mataram seperti berikut. (1) Kutanegara, daerah pusat keraton.
Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh Patih Lebet (Patih Dalam) yang dibantu
Wedana Lebet (Wedana Dalam). (2) Negara Agung, daerah sekitar Kutanegara.
Pelaksanaan pemerintahan dipegang Patih Jawi (Patih Luar) yang dibantu Wedana Jawi (Wedana Luar).
(3) Mancanegara, daerah di luar Negara Agung. Pelaksanaan pemerintahan dipegang
oleh para Bupati. (4) Pesisir, daerah pesisir. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh para Bupati atau syahbandar. Sultan Agung wafat pada tahun
1645 dan digantikan oleh Amangkurat I (1645-1677). Amangkurat I menjalin
hubungan dengan Belanda. Pada masa pemerintahannya. Mataram diserang oleh
Trunojaya dari Madura, tetapi dapat digagalkan karena dibantu Belanda.
Amangkurat I kemudian
digantikan oleh Amangkurat II (1677-1703). Pada masapemerintahannya, wilayah
Kerajaan Mataram makin menyempit karena diambil oleh Belanda. Setelah
Amangkurat II, raja-raja yang memerintah Mataram sudah tidak lagi berkuasa
penuh karena pengaruh Belanda yang sangat kuat. Bahkan pada tahun 1755, Mataram
terpecah menjadi dua akibat Perjanjian Giyanti:
Ngayogyakarta Hadiningrat
(Kesultanan Yogyakarta) yang berpusat di Yogyakarta dengan raja Mangkubumi
yang bergelar Hamengku Buwono I dan Kesuhunan Surakarta yang berpusat di
Surakarta dengan raja Susuhunan Pakubuwono III. Dengan demikian, berakhirlah
Kerajaan Mataram.
Kehidupan sosial ekonomi
Mataram cukup maju. Sebagai kerajaan besar, Mataram maju hampir dalam segala
bidang, pertanian, agama, budaya. Pada zaman Kerajaan Majapahit, muncul
kebudayaan Kejawen, gabungan antara kebudayaan asli Jawa, Hindu, Buddha, dan
Islam, misalnya upacara Grebeg, Sekaten. Karya kesusastraan yang
terkenal adalah Sastra Gading karya Sultan Agung. Pada tahun 1633, Sultan Agung
mengganti perhitungan tahun Hindu yang berdasarkan perhitungan matahari dengan
tahun Islam yang berdasarkan perhitungan bulan.
f. Kerajaan
Banten
Kerajaan yang terletak
di barat Pulau Jawa ini pada awalnya merupakan bagian dari Kerajaan Demak.
Banten direbut oleh pasukan Demak di bawah pimpinan Fatahillah. Fatahillah
adalah menantu dari Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah adalah salah seorang
wali yang diberi kekuasaan oleh Kerajaan Demak untuk memerintah di Cirebon.
Syarif Hidayatullah memiliki 2 putra laki-laki, pangeran Pasarean dan Pangeran
Sabakingkin. Pangeran Pasareaan berkuasa di Cirebon. Pada tahun 1522, Pangeran
Saba Kingkin yang kemudian lebih dikenal dengan nama Hasanuddin diangkat
menjadi Raja Banten.
Setelah Kerajaan Demak
mengalami kemunduran, Banten kemudian melepaskan diri dari Demak. Berdirilah
Kerajaan Banten dengan rajanya Sultan Hasanudin (1522- 1570). Pada masa
pemerintahannya, pengaruh Banten sampai ke Lampung. Artinya, Bantenlah yang
menguasai jalur perdagangan di Selat Sunda. Para pedagang dari Cina, Persia,
Gujarat, Turki banyak yang mendatangi bandar-bandar di Banten. Kerajaan Banten
berkembang menjadi pusat perdagangan selain karena letaknya sangat strategis,
Banten juga didukung oleh beberapa faktor di antaranya jatuhnya Malaka ke
tangan Portugis (1511) sehingga para pedagang muslim berpindah jalur pelayarannya melalui Selat Sunda. Faktor lainnya, Banten
merupakan penghasil lada dan beras, komoditi yang laku di pasaran dunia.
g. Kerajaan
Cirebon
Kerajaan yang terletak
di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah didirikan oleh salah seorang
anggota Walisongo, Sunan Gunung Jati dengan gelar Syarif Hidayatullah. Syarif
Hidayatullah membawa kemajuan bagi Cirebon. Ketika Demak mengirimkan pasukannya
di bawah Fatahilah (Faletehan) untuk menyerang Portugis di Sunda Kelapa, Syarif
Hidayatullah memberikan bantuan sepenuhnya. Bahkan pada tahun 1524, Fatahillah
diambil menantu oleh Syarif Hidayatullah. Setelah Fatahillah berhasil mengusir
Portugis dari Sunda Kelapa, Syarif Hidayatullah meminta Fatahillah untuk
menjadi Bupati di Jayakarta.
Syarif Hidayatullah
kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Pangeran Pasarean. Inilah raja
yang menurunkan raja-raja Cirebon selanjutnya.Pada tahun 1679, Cirebon terpaksa
dibagi dua, yaitu Kasepuhan dan Kanoman.
Dengan politik de vide
at impera yang dilancarkan Belanda yang pada saat itu sudah berpengaruh di
Cirebon, kasultanan Kanoman dibagi dua menjadi Kasultanan Kanoman dan
Kacirebonan. Dengan demikian, kekuasaan Cirebon terbagi menjadi 3, yakni
Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Cirebon berhasil dikuasai VOC pada akhir
abad ke-17.
h. Kerajaan
Gowa-Tallo
Kerajaan yang terletak
di Sulawesi Selatan sebenarnya terdiri atas dua kerjaan: Gowa dan Tallo. Kedua
kerajaan ini kemudian bersatu. Raja Gowa, Daeng Manrabia, menjadi raja bergelar
Sultan Alauddin dan Raja Tallo, Karaeng Mantoaya, menjadi perdana menteri bergelar Sultan Abdullah. Karena pusat pemerintahannya
terdapat di Makassar, Kerajaan Gowa dan Tallo sering disebut sebagai Kerajaan
Makassar.
Karena posisinya yang
strategis di antara wilayah barat dan timur Nusantara, Kerajaan Gowa dan Tallo
menjadi bandar utama untuk memasuki Indonesia Timur yang kaya rempah-rempah. Kerajaan Makassar memiliki pelaut-pelaut yang tangguh
terutama dari daerah Bugis. Mereka inilah yang memperkuat barisan pertahanan
laut Makassar.
Raja yang terkenal dari
kerajaan ini ialah Sultan Hasanuddin (1653-1669).Hasanuddin berhasil memperluas
wilayah kekuasaan Makassar baik ke atas sampai ke Sumbawa dan sebagian Flores
di selatan. Karena merupakan bandar utama untuk memasuki Indonesia Timur,
Hasanuddin bercita-cita menjadikan Makassar sebagai pusat kegiatan perdagangan
di Indonesia bagian Timur. Hal ini merupakan ancaman bagi Belanda sehingga
sering terjadi pertempuran dan perampokan terhadap armada Belanda. Belanda
kemudian menyerang Makassar dengan bantuan Aru Palaka, raja Bone. Belanda
berhasil memaksa Hasanuddin, Si Ayam Jantan dari Timur itu menyepakati
Perjanjian Bongaya pada tahun 1667. Isi perjanjian itu ialah: Belanda mendapat
monopoli dagang di Makassar, Belanda boleh mendirikan benteng di Makassar,
Makassar harus melepaskan jajahannya, dan Aru Palaka harus diakui sebagai Raja
Bone.
Tata kehidupan yang
tumbuh di Makassar dipengaruhi oleh hukum Islam. Kehidupan perekonomiannya berdasarkan pada ekonomi maritim: perdagangan
dan pelayaran. Sulawesi Selatan sendiri merupakan daerah pertanian yang subur.
Daerah-daerah taklukkannya di tenggara seperti Selayar dan Buton serta di
selatan seperti Lombok, Sumbawa, dan Flores juga merupakan daerah yang kaya
dengan sumber daya alam. Semua itu membuat Makassar mampu memenuhi semua
kebutuhannya bahkan mampu mengekspor.
Karena memiliki
pelaut-pelaut yang tangguh dan terletak di pintu masuk jalur perdagangan
Indonesia Timur, disusunlah Ade’Allapialing Bicarana Pabbalri’e, sebuah tata
hukum niaga dan perniagaan dan sebuah naskah lontar yang ditulis oleh Amanna
Gappa.
i. Kerajaan
Ternate dan Tidore
Ternate merupakan
kerajaan Islam di timur yang berdiri pada abad ke-13 dengan raja Zainal Abidin
(1486-1500). Zainal Abidin adalah murid dari Sunan Giri di Kerajaan Demak.
Kerajaan Tidore berdiri di pulau lainnya dengan Sultan Mansur sebagai raja.
Kerajaan yang terletak di Indonesia Timur menjadi incaran para pedagang karena
Maluku kaya akan rempah-rempah. Kerajaan Ternate cepat berkembang berkat hasil
rempah-rempah terutama cengkih.
Ternate dan Tidore hidup
berdampingan secara damai. Namun, kedamaian itu tidak berlangsung selamanya.
Setelah Portugis dan Spanyol datang ke Maluku, kedua kerajaan berhasil diadu
domba. Akibatnya, antara kedua kerajaan tersebut terjadi persaingan. Portugis
yang masuk Maluku pada tahun 1512 menjadikan Ternate sebagai sekutunya dengan
membangun benteng Sao Paulo. Spanyol yang masuk Maluku pada tahun 1521
menjadikan Tidore sebagai sekutunya.
Dengan berkuasanya kedua
bangsa Eropa itu di Tidore dan Ternate, terjadi pertikaian terus-menerus. Hal
itu terjadi karena kedua bangsa itu sama-sama ingin memonopoli hasil bumi dari
kedua kerajaan tersebut. Di lain pihak, ternyata bangsa Eropa itu bukan hanya
berdagang tetapi juga berusaha menyebarkan ajaran agama mereka. Penyebaran agama ini mendapat tantangan dari Raja Ternate, Sultan
Khairun (1550-1570). Ketika diajak berunding oleh Belanda di benteng Sao Paulo,
Sultan Khairun dibunuh oleh Portugis.
Setelah sadar bahwa
mereka diadu domba, hubungan kedua kerajaan membaik kembali. Sultan Khairun
kemudian digantikan oleh Sultan Baabullah (1570-1583). Pada masa pemerintahannya,
Portugis berhasil diusir dari Ternate. Keberhasilan itu tidak terlepas dari
bantuan Sultan Tidore. Sultan Khairun juga berhasil memperluas daerah kekuasaan Ternate
sampai ke Filipina. Sementara itu, Kerajaan Tidore mengalami kemajuan pada masa
pemerintahan Sultan Nuku. Sultan
Nuku berhasil memperluas pengaruh Tidore sampai ke Halmahera, Seram, bahkan Kai
di selatan dan Misol di Irian.
Dengan masuknya Spanyol
dan Portugis ke Maluku, kehidupan beragama dan bermasyarakat di Maluku jadi beragam: ada Katolik, Protestan,
dan Islam. Pengaruh Islam sangat terasa di Ternate dan Tidore. Pengaruh
Protestan sangat terasa di Maluku bagian tengah dan pengaruh Katolik sangat
terasa di sekitar Maluku bagian selatan.
Maluku adalah daerah
penghasil rempah-rempah yang sangat terkenal bahkan sampai ke Eropa. Itulah
komoditi yang menarik orang-orang Eropa dan Asia datang ke Nusantara. Para
pedagang itu membawa barang-barangnya dan menukarkannya dengan rempah-rempah.
Proses perdagangan ini pada awalnya menguntungkan masyarakat setempat. Namun,
dengan berlakunya politik monopoli perdagangan, terjadi kemunduran di berbagai
bidang, termasuk kesejahteraan masyarakat.
2.5 Perkembangan Intelektual dan Peradaban
Islam di Indonesia
1. Sistem Birokrasi Keagamaan
Oleh karena penyebaran Islam di
Indoneisa pertama – tama dilakukan oleh para pedagang, pertumbuhan komunitas
bermula di berbagai pelabuhan penting di Sumatra, Jawa dan pulau lainnya.
Kerajaan – kerajaan Islam yang pertama berdiri juga di daerah pesisir. Demikian
halnya dengan kerajaan Samudra Pasai, Aceh, Demak, Banten dan Cirebon, Ternate,
dan Tidore.
Ibukota kerajaan selain merupakan
pusat politik dan perdagangan, juga tempat berkumpul para ulama dan mubaligh
Islam. Ibnu Baitutah menceritakan Sultan Kerajaan Samudra Pasai, Sultan
Al-Malik Az-Zahir, dikelilingi oleh ulama dan mubaligh Islam, dan raja sendiri
sangat menggemari diskusi mengenai masalah – masalah keagamaan. Raja – raja
Aceh mengangkat para ulama menjadi penasehat dan pejabat di bidang keagamaan.
Adapun disamping sebagai penasehat
raja, para ulama juga duduk dalam jabatan – jabatan keagamaan yang mempunyai
tingkat dan istilah berbeda – beda antara satu daerah dengan daerah lainnya,
pada umumnya disebut qadhi. Meskipun dengan istilah yang berbeda, tetapi
penerapan hukum Islam di kerajaan lebih jelas bila dibandingkan dengan kerajaan
lain. Kedudukan jabatan ulama yang terkuat diantaranya adalah di Aceh dan di
Banten.
2. Peran Para Ulama dan Karya –
Karyanya
Penyebaran dan pertumbuhan
kebudayaan umat Islam di Indonesia terutama terletak di pundak para ulama.
Paling tidak ada dua cara yang dilakukan: Pertama, membentuk para kader
ulama yang akan bertugas sebagai mubaligh ke berbagai daerah yang lebih luas.
Cara ini dilakukan didalam lembaga – lembaga pendidikan Islam yang dikenal
dengan pesantren di Jawa, dayah di Aceh, dan surau di
Minangkabau. Kedua, melalui karya – karya yang tersebar dan dibaca
diberbagai tempat yang jauh. Karya – karya tersebut mencerminkan perkembangan
pemikiran dan ilmu – ilmu keagamaan di Indonesia pada masa itu. Pada abad ke –
16 dan 17 banayak sekali bermunculan tulisan para cendikiawan Islam di
Indonesia. Syedd Muhammad Naquib Al-Attas menyatakan, abad – abad itu
menyatakan suatu kesuburan dalam penulisan sastra, filsafat, metafisika, dan
teologi rasional yang tidak terdapat bandingya dimana – mana di zaman apa pun
di Asia Tenggara. Akan tetapi perlu juga diketahui bahwa ketika tradisi
pemikiran Islam mulai terbentuk di kepulauan Indonesia ini, di pusat dunia
Islam, bidang pemikiran itu telah mapan. Bahkan, disana dikenal dengan masa
kebekuan, masa kemunduran pemikiran dalam bidang agama karena digalakkannya
taklid. Dunia pemikiran berkembang di Indonesia, bagaimanapun mempunyai akar
pada tradisi yang telah berkembang di pusat dunia Islam tersebut sebelumnya.
3. Corak Bangunan Arsitek
Oleh karenanya perbedaan latar
belakang budaya, arsitektur bangunan – banguna Islam di Indonesia berbeda
dengan yang terdapat di dunia Islam lainnya. Hasil seni bangunan pada zaman
pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia antara lain masjid kuno Demak,
Masjid Agung Ciptarasa Kesepuhan di Cirebon, Masjid Agung Banten, Baiturrahman
di Aceh, Masjid Ampel di Surabaya, dan derah – daerah lain. Masjid – masjid itu
menunjukkan keistimewaan dalam denahnya yang berbentuk persegi empat atau bujur
sangkar dengan bagian kaki yang tinggi serta pejal, dengan atapnya bertumpang
dua, tiga, lima, atau lebih, dikelilingi parit atau kolam air di bagian depan
atau sampingnya yang berserambi. Bagian – bagian lain seperti mihrab dengan
lengkung pola kalamakara, mimbar yang mengingatkan ukiran – ukiran pola
teratai, mastaka atau memolo, menunjukkan seni bangunan yang
tradisional yang telah di kenal di Indonesia sebelum datangnya Islam.
Beberapa masjid kuno mengingatkan
kita pada seni bangunan candi, menyerupai bangunan meru pada zaman Indonesia
Hindu. Ukiran – ukiran pada mimbar, hiasan lengkung pola kalamakara, mihrab,
bentuk beberapa mastaka atau memolo menunjukkan hubungan yang
erat dengan meru, atau kekayon gunungan atau tempat dewa – dewa
yang dikenal dalam cerita keagamaan Hindu. Beberapa ukiran pada masjid kuno di
Mantingan, Sendang Duwur, menunjukkan pola yang diambil dari dunia tumbuhan dan
hewan yang diberi corak tertentu dan mengingatkan pola ukiran yang sudah
dikenal pada Candi Prambanan dan beberapa candi lainnya.
4. Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga – lembaga pendidikan Islam
sudah berkembang dalam beberapa bentuk sejak zaman penjajahan Belanda. Salah
satu bentuk pendidikan Islam tertua di Indonesia adalah pesantren yang telah
tersebar di berbagi pelosok. Lembaga pesantren dipimpin oleh seorang ulama atau
kiai. Untuk tingkat lanjutan, tidak ada kurikulum yang jelas pada lembaga ini.
Kemajuan seorang penuntut sangat ditentukan oleh kerajinan, kesungguhan, dan
ketekunan masing – masing. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mempunyai
kontribusi yang sangat besar dalam pembentukan budaya masyarakat Islam di
Indonesia.
Pesantren merupakan lembaga
pendidikan Islam tertua di Indonesia. Para walisongo – penyebar Islam di Jawa –
mengembangkan pesantren sebagai lembaga kaderisasi tenaga dakwah yang akan
meneruskan perjuangan agama Islam. Para juga menjadi tenaga inti dalam
penyebaran agama Islam di berbagai daerah melalui lembaga pendidikan pesantren.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Islam ternyata telah masuk di Indonesia sejak abad
pertama Hijriyah (abad ke -7 M) yang berarti pada zaman Rasulullah SAW
berdakwah. Hal ini mengindikasikan bahwa ternyata Islam berkembang sangat pesat
melalui metode – metode dakwah yang diterapkan. Di Indonesia sendiri,
pengenalan dan penyebaran Islam tidak dilakukan dengan cara kekerasan, namun
dengan cara perdamaian seperti yang telah kami jelaskan diatas. Hal ini lah
yang membuat Islam mudah diterima oleh masyarakat Indonesia.
Selain itu, corak Islam yang ada di Indonesia juga
disesuaikan oleh keadaan masyarakat yang saat itu sangat menganut mistisme
sebagai pengaruh dari agama – agama sebelumnya. Kerajaan – kerajaan Islam di
Indonesia yang banyak pada waktu itu, menunjukkan bahwa Islam yang dibawa oleh
pedagang Arab juga telah berhasil mempengaruhi tidak hanya masyarakat bawah,
namun juga kepada bangsawan – bangsawan kerajaan.
Keadaan sosial dan lembaga politik (kerajaan) pada masa
itu juga sebagai faktor Islam dapat berkembang dengan mudah di Indonesia.
Kekacauan – kekacauan politik kerajaan – kerajaan besar pada zamannya
(Sriwijaya, Singasari, Majapahit) yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan di
dalam istana, membuat kerajaan tersebut tidak mempunyai kekuatan yang berarti
lagi jika dibandingkan dengan kedigdayaannya pada waktu itu. Hal ini yang
memberikan peluang bagi Imperialisme Islam di Indonesia.
Dalam perkembangannya, Islam telah banyak memberikan
kontribusi – kontribusi dalam tatana kehidupan bermasyarakat. Keunikan Islam
Indonesia yang khas menghasilkan peradaban Islam yang tidak ada duanya di Asia
Tenggara. Penghapusan sekat – sekat sosial, atau yang biasa disebut kasta
sebagai peninggalan dari ajaran Hindu – Budha, telah berhasil melakukan
harmonisasi sosial antara masyarakat dengan pejabat kerajaan pada waktu itu.
Peninggalan – peninggalan budaya Islam tersebar di seluruh Indonesia sebagai
bentuk keunikan tersendiri bagi Islam Indonesia, mulai dari bangunan sampai
kesenian yang mengasimilasikan antara ajaran Islam dan kesesuaian budaya
masyarakat Indonesia. Lembaga pendidikan
pondok pesantren, juga salah satu bukti peradaban Islam di Indonesia, yang
bertahan hingga sekarang. Lembaga pendidikan Islam ini telah berhasil
memberikan banyak kontribusi dalam proses penyebaran Islam di Indonesia dan
telah menghasilkan tokoh – tokoh ulama
yang gigih dalam memperjuangkan Islam.
3.2 Saran
Dalam kehidupan sekarang ini, telah banyak orang yang
tidak mau tahu tentang sejarahnya, sehingga mereka cenderung tidak mempunyai
semangat untuk meneruskan sebuah peradaban yang dibangun. Padahal pada
kenyataanya, sejarah telah memberikan banyak kontribusi terhadap pembentukan
dan keberlanjutan identitas kita sebagai muslim dan negeri ini sebagai negara
dengan populasi muslim terbesar di dunia.
Sudah selayaknya kita mengetahui dan mengamalkan nilai –
nilai sejarah Peradaban Islam di Indonesia, bahwa perkembangannya yang unik dan
semangat juang para mujahid dakwah Islam pada waktu itu, telah memberikan warna
tersendiri dalam pencerahan keadaa masyarakat dan juga telah membangun sebuah
peradaban Islam yang unik dengan mengasimilasian budaya sebagai metodenya.
Dengan mengetahui hal tersebut, diharapkan kita dapat mempertahankan dan
melanjutkan Islam Indonesia kita yang khas dan membangun peradaban Islam yang
lebih dahsyat dari sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Mansur Suryanegara, Ahmad. 1995. Menemukan Sejarah: Wacana
Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
Yatim, Badri. 1998. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:
Rajawali Press.
Abdullah, Taufik, Sharon Siddique. 1988. Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Jakarta:
LP3ES.
Burger, D.H. dan Atmosudirdjo, Prajudi. 1960. Sejarah Ekonomis
Sosiologis Indonesia. Jakarta: Pradinja Paramita.
Husein, P.A. Djajadiningrat. 1963. “Islam di Indonesia”, dalam
Islam Djalan Mutlak. Jakarta: P.T Pembangunan.
Amin,M.A., Drs. Samsul Munir. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:
Sinar Grafika Offset.
Zuhri, KH Saifudin.1981. Sejarah Masuknya Islam di Indonesia. Bandung:
Al-Ma’arif.
Stutterheim,W.F. 1962. Cultuurgeschuedenis van Indonesia. Jakarta:
Wolters.
Van Leur, J.C. 1955. Indonesian: Trade and Society. Bandung:
The Hague.
Arnold, Sir Thomas. dan Guillaume, Alfred. 1965. The Legacy of
Islam. London: Oxford University Press.
www.wilkipedia/sejarahperadabanislam/kerajaanislamdiindonesia.com//
No comments:
Post a Comment