Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Shalahuddin
Al-Ayyubi
atau Salah ad-Din yang mempunyai nama asli Yusuf bin Najmuddin dijuluki
sebagai kesatria padang pasir terlahir dari keluarga Kurdish di kota Tikrit
(140km barat laut kota Baghdad) dekat sungai Tigris pada tahun 1137M. Ia
dipandang sebagai kesatria sejati baik oleh lawan maupun kawan karena soal
kepiawaiannya dalam taktik pertempuran dan tentang kesalehan dan kemuliaan
hatinya.. Keberanian dan kepahlawanannya tercatat sejarah di kancah perang salib.
Sebagian
besar kisah Shalahuddin Al-Ayyubi yang tersebar baik di Barat maupun di Timur
dari sejarah Perang Salib yang panjang di abad ke-12 itu adalah cerita
tentang seorang yang pemberani dalam pertempuran, yang sebenarnya tak ingin
menumpahkan darah. Dimana ketika Shalahuddin Al-Ayyubi ingin merebut kembali Yerusalem
di musim panas 1187. Tapi menjelang serbuan, ia memberi kesempatan penguasa
Kristen kota itu untuk menyiapkan diri agar mereka bisa melawan pasukannya
dengan terhormat. Dan setelah pasukan Kristen sudah siap dengan segala
persenjatan dan pertahanan barulah Shalahuddin Al-Ayyubi memerintahkan
untuk berperang tapi akhirnya pasukan Kristenpun kalah juga. Kemudian setelah
peperangan dimenangkan oleh pasukan Muslim dan banyak tawanan perang yang
berhasil ditangkap tapi yang dilakukan Shalahuddin Al-Ayyubi terhadap tawanan
perang dan penduduk Nasrani bukanlah menjadikan mereka budak-budak. Shalahuddin
Al-Ayyubi malah membebaskan sebagian besar mereka, tanpa dendam, meskipun dulu,
di tahun 1099, ketika pasukan Perang Salib dari Eropa merebut Yerusalem, 70
ribu orang muslim kota itu dibantai dan sisa-sisa orang Yahudi digiring ke
sinagog untuk dibakar.
Banyak
kisah-kisah unik dan menarik tentang Shalahuddin al-Ayyubi yang layak dijadikan
teladan, terutama sikap kesatria dan kemuliaan hatinya.
Kita tahu, bagaimana pemimpin
pasukan Islam ini bersikap baik kepada Raja Richard berhati Singa yang datang
dari Inggris untuk menghancurkan pasukan muslim. Tapi Ketika raja Richard sakit
dalam pertempuran, Shalahuddin Al-Ayyubi malah mengiriminya buah pir yang segar
dingin dalam salju, dan juga seorang dokter. Lalu raja Richard pun tersentuh
dan bersedia melakukan perdamaian yang ditandatangani pada 1 September 1192,
dan pesta pun diadakan dengan berbagai pertandingan, dan orang Eropa takjub
bagaimana agama Islam bisa melahirkan orang sebaik itu.
Shalahuddin
Al-Ayyubi sebenarnya tidak ingin ada pertumpahan darah atau peperangan karena
dia pernah berpesan menjelang wafat kepada anaknya Az-Zahir : “Jangan Tumpahkan
Darah, Sebab Darah yang Terpercik Tak Akan Pernah Tertidur."
Kita
sekarang juga mungkin takjub bagaimana masa lalu bisa melahirkan orang sebaik
itu. Terutama ketika orang hanya mencoba menghidupkan kembali apa yang gagah
berani dari abad ke- 12 tapi meredam apa yang sabar dan damai dari sebuah zaman
yang penuh peperangan. Bahkan ketika Shalahuddin Al-Ayyubi wafat dan rakyat
membuka peti hartanya ternyata hartanya tak cukup untuk biaya pemakamannya,
karena hartanya banyak ia berikan kepada rakyatnya yang membutuhkan.
“Ada orang yang baginya uang dan
debu sama saja.”
Itulah kata-kata sebagai bukti
Kezuhudan dan kesahajaan dari seorang Shalahuddin Al-Ayyubi. Mungkin kata-kata
mutiara inilah yang harus dipegang oleh para penguasa sekarang ini dan
Kepemimpinan seperti Shalahuddin Al-Ayyubi yang kita harapkan muncul dizaman
millennium yang serba berantakan seperti ini, walaupun itu sebuah pengharapan
yang hampir mustahil terwujud, tapi kita tetap berharap saja ada Shalahuddin –
Salahuddin baru yang akan memimpin dengan sebuah kebijaksanaan yang luar biasa.
Kisah Kepemimpinan dan ke Suri Tauladannya masih tetap dikenang banyak orang
tak terkecuali orang-orang barat baik itu melalui puisi, novel dan sebuah saksi
sejarah.
Shalahudin Al Ayyubi atau
sering juga di sebut sebagai “Saladin” di dunia barat, merupakan panglima
perang Muslim yang dikagumi kepiawaian berperang serta keshalihannya baik
kepada kawan dan lawan-lawannya. Keberanian dan kepahlawanannya tercatat
sejarah di kancah perang salib.
Shalahuddin Al Ayyubi
adalah seorang pejuang islam tersohor yang dilahirkan pada tahun 1137 Masehi.
Pendidikan pertama diterimanya dari ayahnya sendiri yang namanya cukup
tersohor, yakni Najmuddin al-Ayyubi. Di samping itu pamannya yang terkenal
gagah berani juga memberi andil yang tidak kecil dalam membentuk kepribadian
Salahuddin, yakni Asaduddin Syirkuh. Kedua-duanya adalah pembantu dekat Raja
Syria Nuruddin Mahmud.
Juli 1192 sepasukan
muslim dalam perang salib menyerang tenda-tenda pasukan salib diluar benteng
kota Jaffa, termasuk didalamnya ada tenda Raja Inggris, Richard I. Raja Richard
pun menyongsong serangan pasukan muslim dengan berjalan kaki bersama para
prajuritnya. Perbandingan pasukan muslim dengan Kristen adalah 4:1. Shalahudin
Al Ayyubi yang melihat Richard dalam kondisi seperti itu berkata kepada
saudaranya : ” Bagaimana mungkin seorang raja berjalan kaki bersama
prajuritnya? Pergilah ambil kuda arab ini dan berikan kepadanya, seorang
laki-laki sehebat dia tidak seharusnya berada di tempat ini dengan berjalan
kaki “. Fragmen diatas dicatat sebagai salah satu karakter yang pemurah dari Shalahudin,
bahkan kepada musuhnya sekalipun. Walalupun sedang diatas angin tetap berlaku
adil dan menghormati lawan-lawannya.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Siapakah
Shalahuddin Al Ayyubi?
2.
Bagaimana
jejak peperangan Shalahuddin Al Ayyubi?
3. Bagaimana peran Shalahuddin Al Ayyubi
dalam perang salib?
1.3
Tujuan
1.
Agar
pembaca mengetahui Sejarah Shalahuddin Al Ayyubi
2.
Agar
pembaca mengetahui jejak peperangan Shalahuddin Al Ayyubi
3. Agar pembaca mengetahui peran
Shalahuddin dalam perang salib
Bab
II
Pembahasan
2.1 Biografi Shalahuddin Al Ayyubi.
Shalahuddin Al-Ayyubi
berasal dari bangsa Kurdi.
Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah (migrasi)
meninggalkan kampung halamannya dekat Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit (Irak). Shalahuddin lahir
di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M, ketika ayahnya menjadi penguasa Seljuk di Tikrit. Saat
itu, baik ayah maupun pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanky, gubernur
Seljuk untuk kota Mousul, Irak. Ketika Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon
tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Shalahuddin) diangkat menjadi
gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Raja Suriah Nuruddin Mahmud. Selama di
Balbek inilah, Shalahuddin mengisi masa mudanya dengan menekuni teknik perang,
strategi, maupun politik. Setelah itu, Shalahuddin melanjutkan pendidikannya di
Damaskus untuk mempelajari teologi Sunni selama sepuluh tahun, dalam lingkungan istana Nuruddin.
Pada tahun 1169,
Shalahudin diangkat menjadi seorang wazir (konselor).
Di sana, dia mewarisi
peranan sulit mempertahankan Mesir melawan penyerbuan dari Kerajaan Latin
Jerusalem di bawah pimpinan Amalrik I. Posisi ia awalnya menegangkan. Tidak ada
seorangpun menyangka dia bisa bertahan lama di Mesir yang pada saat itu banyak
mengalami perubahan pemerintahan di beberapa tahun belakangan oleh karena
silsilah panjang anak khalifah mendapat perlawanan dari wazirnya. Sebagai
pemimpin dari prajurit asing Syria, dia juga tidak memiliki kontrol dari
Prajurit Shiah Mesir, yang dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui atau
seorang Khalifah yang lemah bernama Al-Adid. Ketika sang Khalifah meninggal
bulan September 1171, Saladin mendapat pengumuman Imam dengan nama Al-Mustadi,
kaum Sunni, dan yang paling penting, Abbasid Khalifah di Baghdad, ketika
upacara sebelum Salat Jumat, dan kekuatan kewenangan dengan mudah memecat garis
keturunan lama. Sekarang Saladin menguasai Mesir, tapi secara resmi bertindak
sebagai wakil dari Nuruddin, yang sesuai dengan adat kebiasaan mengenal
Khalifah dari Abbasiyah. Saladin merevitalisasi perekonomian Mesir,
mengorganisir ulang kekuatan militer, dan mengikuti nasihat ayahnya,
menghindari konflik apapun dengan Nuruddin, tuannya yang resmi, sesudah dia
menjadi pemimpin asli Mesir. Dia menunggu sampai kematian Nuruddin sebelum
memulai beberapa tindakan militer yang serius: Pertama melawan wilayah Muslim
yang lebih kecil, lalu mengarahkan mereka melawan para prajurit salib.
Dengan kematian Nuruddin
(1174) dia menerima gelar Sultan di Mesir. Disana dia memproklamasikan
kemerdekaan dari kaum Seljuk, dan dia terbukti sebagai penemu dari dinasti
Ayyubiyah dan mengembalikan ajaran Sunni ke Mesir. Dia memperlebar wilayah dia ke
sebelah barat di maghreb, dan ketika paman dia pergi ke Nil untuk mendamaikan
beberapa pemberontakan dari bekas pendukung Fathimiyah, dia lalu melanjutkan ke
Laut Merah untuk menaklukan Yaman. Dia juga disebut Waliullah yang artinya
teman Allah bagi kaum muslim Sunni.
Aun 559-564 H/ 1164-1168
M. Sejak itu Asaduddin, pamannya diangkat menjadi Perdana Menteri Khilafah
Fathimiyah. Setelah pamannya meninggal, jabatan Perdana Menteri dipercayakan
Khalifah kepada Shalahuddin Al-Ayyubi.
Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil
mematahkan serangan Tentara Salib dan pasukan Romawi Bizantium yang melancarkan
Perang Salib kedua terhadap Mesir. Sultan Nuruddin memerintahkan Shalahuddin
mengambil kekuasaan dari tangan Khilafah Fathimiyah dan mengembalikan kepada
Khilafah Abbasiyah di Baghdad mulai tahun 567 H/1171 M (September). Setelah
Khalifah Al-'Adid, khalifah Fathimiyah terakhir meninggal maka kekuasaan
sepenuhnya di tangan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Sultan Nuruddin meninggal tahun 659
H/1174 M, Damaskus diserahkan kepada puteranya yang masih kecil Sultan Salih
Ismail didampingi seorang wali. Dibawah seorang wali terjadi perebutan
kekuasaan di antara putera-putera Nuruddin dan wilayah kekuasaan Nuruddin
menjadi terpecah-pecah. Shalahuddin Al-Ayyubi pergi ke Damaskus untuk membereskan
keadaan, tetapi ia mendapat perlawanan dari pengikut Nuruddin yang tidak
menginginkan persatuan. Akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi melawannya dan
menyatakan diri sebagai raja untuk wilayah Mesir dan Syam pada tahun 571 H/1176
M dan berhasil memperluas wilayahnya hingga Mousul, Irak bagian utara.
Sultan al-Malik al-Nashir Shalah
al-Din al-Ayyubi meninggal dunia pada tanggal 19 Februari 1193 M. Setelah
beberapa waktu lama dengan gigih memimpin pasukan Islam menghadapi tentara
Salib, menyelesaikan pekerjaan besar dengan mengembalikan dan mempertahankan
Bait al-Maqdis.
2.2. Jejak Peperangan Shalahuddin
Al Ayyubi
Pada
tanggal 8 Januari 1169 M Syirkuh sampai di Kairo dan Khalifah Fathimiyah
Al-Adhid melantik panglima Asaduddin Syirkuh menjadi Wazir Besar menggantikan
Shawar. Wazir baru itu segera melakukan perbaikan dan pembersihan setiap
institusi kerajaan secara berperingkat. Sementara anak saudaranya, panglima
Shalahuddin al-Ayyubi diperintahkan membawa pasukannya mengadakan pembersihan
di kota-kota sepanjang Sungai Nil hingga Assuan di sebelah Utara dan
bandar-bandar lain termasuk bandar perdagangan Iskandariah. Tetapi sayang, Syirkuh
tidak ditakdirkan untuk lama menikmati hasil perjuangannya.
Dua bulan setelah pengangkatannya itu, dia berpulang ke
rahmatullah. Sepeninggal Syirkuh, keponakannya Shalahuddin al-Ayyubi pada tahun
1169 diangkat menjadi Perdana Menteri Mesir (Wazir) dengan mendapat persetujuan
pembesar-pembesar Kurdi dan Saljuk Irak. Walaupun berkhidmat di bawah Khalifah
Daulat Fathimiyah, Shalahuddin tetap menganggap Emir Nuruddin Mahmud sebagai
pemimpinnya. Tidak begitu lama ia telah disenangi oleh rakyat Mesir karena
sifat-sifatnya yang pemurah dan adil bijaksana.
Pada
tahun itu pula Shalahuddin menerima tugas sulit mempertahankan Mesir dari
serangan Raja Latin Yerusalem King Almeric I dan Tentara Templarnya yang
bersekutu dengan Byzantium. Pada awalnya kedudukan beliau cukup sulit, sedikit
sekali orang yang optimis bahwa ia akan bertahan lama di Mesir mengingat dalam
beberapa tahun terakhir telah banyak terjadi pergantian kekuasaan disebabkan
bentrok yang terjadi antar anak-anak Khalifah untuk posisi wazir. Sebagai
pemimpin dari pasukan asing Syiria, dia juga tidak memiliki kekuasaan atas
pasukan Syi’ah Mesir yang masih berada di bawah Khalifah yang lemah, Al-‘Adhid.
Namun Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil mematahkan serangan Tentara Salib King
Almeric I dan pasukan Romawi Byzantium yang melancarkan invasi terhadap Mesir.
Sultan
Nuruddin memerintahkan Shalahuddin mengambil kekuasaan dari tangan Khilafah
Fathimiyah dan mengembalikan kepada Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Setelah
Khalifah Al ’Adhid, Khalifah Fathimiyah terakhir meninggal maka kekuasaan
sepenuhnya berada di tangan Shalahuddin al-Ayyubi.
Ketika
sang Khalifah meninggal bulan September 1171 M / 567 H, Shalahuddin mengambil
alih kekuasaan Dinasty Fathimiyah di Mesir. Beliau menutup riwayat Khilafah Fathimiyah
Syi’iyah itu dan mengembalikan Mesir kepada Ahlussunnah. Beliau saat itu secara
resmi bertindak sebagai wakil dari Nuruddin Mahmud Penguasa Syiria, yang berada
dibawah Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Maka doa untuk Khalifah Al-Adhid pada
khutbah Jumat hari itu ditukar kepada doa untuk Khalifah Al-Mustadhi dari
Daulat Abbasiyah. Setelah menjadi pemimpin Mesir, Shalahuddin merevitalisasi
perekonomian Mesir, mengorganisir ulang kekuatan militer, dan mengikuti nasihat
ayahnya untuk menghindari konflik apapun dengan Nuruddin, pemimpinnya yang
resmi.
Dengan
demikian berakhirlah kekuasaan Daulat Fathimiyah yang dikuasai oleh kaum Syi’ah
selama 270 tahun. Keadaan ini memang telah lama ditunggu-tunggu oleh golongan
Ahlussunnah di seluruh negara Islam, lebih-lebih lagi di Mesir sendiri, setelah
Wazir Besar Shawar berkomplot dengan Kaum Salib musuh Islam. Pengembalian kekuasaan
kepada golongan Sunni itu telah disambut meriah di seluruh wilayah-wilayah
Islam, terutama di Baghdad dan Syiria atas restu Khalifah Al-Mustadhi dan Emir
Nuruddin Mahmud.
Mereka
sangat berterima kasih kepada Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi yang dengan
kebijaksanaan dan kepintarannya telah menukar suasana itu secara aman dan
damai. Serentak dengan itu pula, Wazir Besar Shalahuddin al-Ayyubi meresmikan
Universitas Al-Azhar yang selama ini dikenal sebagai pusat pendidikan Syi’ah
menjadi pusat pendidikan Ahlussunnah Wal Jamaah. Semoga Allah membalas
jasa-jasa Shalahuddin.
Pada
tahun 1174 Amelric I meninggal dunia dengan mewariskan tahta Kerajaan Yerusalem
kepada putranya yang baru berusia 13 tahun, Baldwin IV yang menderita penyakit
lepra. Walaupun demikian, ia adalah seorang pimpinan militer yang aktif dan
efektif. Di tahun yang sama (659 H/1174 M) Nuruddin Mahmud penguasa Saljuk di
Syiria yang termasyhur itu juga meninggal dunia dan digantikan oleh putranya
yang berumur 11 tahun bernama Malikus Saleh.
Sultan
muda ini diperalat oleh pejabat tinggi yang mengelilinginya, terutama seorang
wali yang bernama Gumushtagin. Dibawah seorang wali terjadilah perebutan
kekuasaan diantara putra-putra Nuruddin dan wilayah kekuasaan Nurruddin menjadi
terpecah-pecah. Shalahuddin mengirimkan utusan kepada Malikus Saleh dengan
menawarkan jasa baktinya dan ketaatannya.
Shalahuddin
bahkan melanjutkan untuk menyebutkan nama raja itu dalam khotbah-khotbah Jum’at
dan mata uangnya. Tetapi segala macam bentuk perhatian ini tidak mendapat
tanggapan dari raja muda itu berserta segenap pejabat di sekelilingnya yang
penuh ambisi. Shalahuddin al-Ayyubi pergi ke Damaskus untuk membereskan
keadaan, tetapi ia mendapat perlawanan dari pengikut Nuruddin yang tidak
menginginkan persatuan. Akhirnya Shalahuddin al-Ayyubi melawan dan
menghancurkan mereka.
Selanjutnya,
Shalahuddin menyerahkan kekuasaan di Syiria kepada Malikus Saleh dan
memproklamasikan kemerdekaan Mesir dari Kesultanan Seljuk serta menyatakan diri
sebagai sultan untuk wilayah Mesir pada tahun 571 H/1176 M. Beliau melakukan
beberapa tindakan militer yang serius, diantaranya menaklukkan wilayah Muslim
yang lebih kecil, lalu mengarahkan mereka melawan para Prajurit Salib.
Sementara
itu suasana yang tidak menentu dan kelemahan Malikus Saleh memberi angin kepada
Tentara Salib Perancis dari Yerussalem untuk menyerang Damaskus yang selama ini
dapat ditahan oleh Nuruddin Mahmud dan panglimanya yang gagah berani, Jenderal
Syirkuh. Atas nasihat Gumushtagin, Malikus Saleh mengundurkan diri ke kota
Aleppo, dengan meninggalkan Damaskus diserbu oleh tentara Perancis dibawah
pimpinan Baldwin IV.
Tentara
Salib dengan segera menduduki ibukota kerajaan itu, dan hanya bersedia untuk
meninggalkan kota itu setelah menerima uang tebusan yang sangat besar. Peristiwa
itu menimbulkan amarah Shalahuddin al-Ayyubi yang segera datang ke Damaskus
dengan sebuah pasukan yang kecil dan merebut kembali kota itu.
Setelah
berhasil menduduki Damaskus ia tidak terus memasuki istana rajanya Nuruddin
Mahmud, melainkan bertempat di rumah orang tuanya. Umat Islam sebaliknya sangat
kecewa akan tingkah laku Malikus Saleh, dan mengajukan tuntutan kepada
Shalahuddin untuk memerintah daerah mereka. Tetapi Shalahuddin hanya mau
memerintah atas nama raja muda Malikus Saleh. Ketika Malikus Saleh meninggal
dunia pada tahun 1182 Masehi, kekuasaan Shalahuddin telah diakui oleh semua
raja-raja di Asia Barat.
Shalahuddin
menyatukan Syria dengan Mesir dan membangun Dinasty Al-Ayyubiyah dengan beliau
sendiri sebagai sultannya yang pertama. Tidak lama kemudian, Sultan Shalahuddin
dapat menggabungkan negeri-negeri An-Nubah, Sudan, Yaman, Maghrib, Mousul dan
Hijaz ke dalam kekuasaannya yang besar. Negara di Afrika yang telah diduduki
oleh Laskar Salib dari Normandia juga telah dapat direbutnya dalam masa yang
singkat. Dengan ini kekuasaan Shalahuddin telah cukup besar dan kekuatan
tentaranya cukup banyak untuk mengusir tentara Kristen yang menduduki Baitul
Maqdis berpuluh tahun merebut Kota Yerussalem.
Sekarang Shalahuddin menghadapkan perhatian sepenuhnya
terhadap kota Yerussalem yang diduduki Pasukan Salib Templar dengan kekuatan
melebihi enam puluh ribu prajurit. Siasat yang mula-mula dijalankannya adalah
mengajak Tentara Salib Templar untuk berdamai. Pada lahirnya, Kaum Salib
mengira bahwa Shalahuddin telah menyerah kalah, lalu mereka menerima perdamaian
ini dengan sombong.
Sultan
sudah menyangka bahwa orang-orang Kristen itu akan mengkhianati perjanjian,
maka hal ini akan menjadi alasan bagi beliau untuk melancarkan serangan. Untuk
itu, beliau telah membuat persiapan secukupnya. Menurut ahli sejarah Perancis
Michaud: "Kaum Muslimin memegang teguh perjanjiannya, sedangkan golongan
Nasrani memberi isyarat untuk memulai lagi peperangan."
Ternyata
dugaan Sultan Shalahuddin tidak meleset, baru sebentar perjanjian
ditandatangani, Kaum Salib telah mengadakan pelanggaran. Penguasa Nasrani
Renanud atau Count Rainald de Chatillon penguasa Benteng Akkra menyerang suatu
kafilah Muslim yang lewat di dekat istananya, membunuh sejumlah anggotanya dan
merampas harta bendanya.
Maka
Sultan Shalahuddin, segera bergerak melancarkan serangan kepada Pasukan Salib
yang dipimpin oleh Count Rainald de Chatillon dan Baldwin IV Raja Yerussalem,
tapi kali ini masih gagal dan beliau sendiri hampir tertawan. Perang ini
terkenal dengan nama Battle of Montgisard yang terjadi pada tahun 1177. Beliau
mengadakan gencatan senjata dan kembali ke markasnya serta menyusun kekuatan
yang lebih besar.
Suatu
kejadian yang mengejutkan Sultan adalah Count Rainald de Chatillon yang
bergerak dengan pasukannya untuk menyerang kota Suci Makkah dan Madinah. Akan
tetapi pasukan ini hancur binasa digempur mujahid Islam di laut Merah dan Count
Rainald dan sisa pasukannya kembali ke Yerussalem. Dalam perjalanan, mereka
berjumpa dengan satu iring-iringan kafilah kaum Muslimin yang didalamnya
terdapat seorang saudara perempuan Sultan Shalahuddin. Tanpa berpikir panjang,
Count Rainald dan prajuritnya menyerang kafilah tersebut dan menawan mereka,
termasuk saudara perempuan Shalahuddin.
Dengan
angkuh Count Rainald berkata: “Apakah Muhammad, Nabi mereka itu mampu datang
untuk menyelamatkan mereka?”. Seorang anggota kafilah yang dapat meloloskan
diri terus lari dan melapor kepada Sultan Shalahuddin tetang apa yang telah
terjadi. Sultan sangat marah terhadap pengkhianatan gencatan senjata itu dan
mengirim utusan ke Yerussalem agar semua tawanan dibebaskan. Tapi mereka tidak
memberikan jawaban. Buntut kejadian ini, Sultan keluar membawa pasukannya untuk
menghukum kaum salib yang sering mengkhianati janji itu dengan mengepung kota
Tiberias. Maka terjadilah pertempuran yang sangat besar di gunung Hittin
sehingga dikenal dengan Perang Hittin. Pasukan Salib dipimpin oleh Rainald de
Chatillon dan Raja Guy de Lusignan, Raja Yerussalem sesudah kematian Baldwin IV
(1185).
Dalam
pertempuran ini Tentara Salib Templar yang berjumlah 45.000 orang ini tidak
sanggup menahan serbuan pasukan Sultan Shalahuddin dan menyerah pada tahun
1187. Seluruh Pasukan Salib hancur binasa dan hanya tinggal beberapa ribu saja
yang sebagian besarnya menjadi tawanan termasuk Count Rainald de Chatillon
sendiri. Pasukan Salib yang tertawan diperlakukan dengan sangat baik oleh
Shalahuddin.
Sikap
penuh perikemanusiaan Sultan Shalahuddin dalam memperlakukan Tentara Nasrani
itu merupakan suatu gambaran yang berbeda seperti langit dan bumi, dengan
perlakuan dan pembunuhan secara besar-besaran yang dialami kaum Muslimin ketika
dikalahkan oleh Tentara Salib sekitar satu abad sebelumnya.
Setelah
pertempuran ini, dua pemimpin Tentara Salib, Count Rainald de Chatillon yang
telah menawan saudara perempuan Sultan dan mengejek Nabi Muhammad, dan Guy de
Lusignan dibawa ke hadapan Shalahuddin. Beliau menghukum mati Rainald de
Chatillon, yang telah begitu keji karena kekejamannya yang hebat yang ia
lakukan kepada orang-orang Islam dan penghinaannya kepada Nabi Muhammad. Namun
beliau membiarkan Guy de Lusignan pergi, karena ia tidak melakukan kekejaman
yang serupa. Palestina sekali lagi menyaksikan arti keadilan yang sebenarnya.
Kekalahan
tentara salib ini berdampak besar terhadap kekuatan tentara Islam. Sebaliknya,
tentara salib semakin lemah, karena yang ditawan bukan saja prajurit biasa,
melainkan juga panglima-panglimanya, Guy dan Reginald. Oleh karena itu,
penaklukkan kota-kota lainnya, seperti benteng Tabariyyah, Akkra,
Al-Nasiriyyah, Qisariyah, Haifa, Saida, dan Beirut dilakukan dengan mudah, dan
merupakan kulminasi atau puncak reputasi Shalahuddin yang makin ditakuti oleh
pihak salib
Tiga
bulan setelah pertempuran Hittin, dan pada hari yang tepat sama ketika Nabi
Muhammad SAW diperjalankan dari Mekah ke Yerussalem untuk perjalanan mi’rajnya
ke langit, Shalahuddin memasuki Yerusalem dan mengepungnya selama empat puluh
hari. Hal ini membuat penduduk di dalam kota itu tidak dapat berbuat apa-apa dan
kekurangan makanan. Waktu itu Yerussalem dipenuhi dengan kaum pelarian dan
orang-orang yang selamat dalam Perang Hittin. Tentara pertahanannya sendiri
tidak kurang dari 60.000 orang yang terdiri dari Kesatria Templar.
Pada hari Minggu, tanggal 20 September
1187, Shalahuddin mencapai
Yerusalem dengan banyak pasukan mendirikan kemah dan memulai pengepungan. Pada
tanggal 21 September
pasukan Shalahuddin mulai ke utara dan barat laut tembok mulai menyerang
Yerusalem. Karena mendapat perlawanan sengit dan matahari yang menyilaukan
penyerang serta benteng Kerajaan Yerusalem terbukti terlalu kuat Shalahuddin
harus menunda serangan. Pada malam 25 sampai 26 September, ia pindah kemahnya di
Bukit Zaitun di sisi timur laut kota akhirnya pada tanggal 29 September pasukan
Shalahuddin telah telah berhasil merobohkan dinding benteng. Pertempuran ini
berakhir dengan menyerahnya Yerusalem pada 2 Oktober 1187. Shalahuddin berhasil
merebut Yerusalem pada 2 Oktober 1187 setelah usia 88 tahun
dikuasai Kristen. Tanggal itu juga memiliki makna simbolis khusus bagi Muslim karena
bertepatan dengan tanggal 27 Rajab yaitu tanggal peringatan Isra dan
Mikraj.
2.3 Peran Shalahuddin
dalam perang salib
Shalahuddin
al-Ayyubi, yang dikenal oleh Orang Eropa dengan nama Saladin, ia juga bergelar
Sultan al-Malik al-Nashir ( Raja Sang Penakluk).Ia adalah pendiri dinasti
Ayyubiyyah di Mesir yang bertahan selama 80 tahun. Shalahuddin berasal dari
keluarga Kurdi di Azerbaijan, yang berimigrasi ke Irak. Shalahuddin
al-Ayyubi merupakan pahlawan paling mengagumkan, yang pernah dipersembahkan
oleh peradaban Islam di sepanjang abad VI dan VII Hijriah. Berkat Shalahuddin,
umat dan peradaban Islam terselamatkan dari kehancuran, akibat serangan dari
kaum Salib.
Pada
periode Kedua (1144-1187 M.) dari Perang Salib, Bait al-Maqdis kembali direbut
oleh pasukan Salib. Peristiwanya berawal dari jatuhnya beberapa wilayah
kekuasaan Islam ke tangan kaum Salib, membangkitkan kesadaran umat Islam untuk
menghimpun kekuatan untuk menghadapi mereka. Di bawah komando Imaduddin Zanqi,
Gubernur Mosul (Halab), kaum muslimin bergerak maju membendung serangan pasukan
Salib.
Pasukan
Imaduddin berhasil merebut kembali Aleppo dan Edessa pada tahun 1144 M. Sebelum
pasukannya merebut kembali daerah-daerah Islam lainnya, Imaduddin gugur dalam
pertempuran pada tahun 1146, posisinya digantikan oleh putranya, Nuruddin
Zanqi. Di bawah kepemimpinannya, ia meneruskan cita-cita ayahnya untuk
membebaskan wilayah Islam di Timur dari cengkraman kaum Salib. Kota-kota yang
berhasil dibebaskannya, antara lain: Damaskus (1147), Antiokia (1149),
Edessa (1151), dan Mesir pada tahun 1169 M.
Kejatuhan
Edessa, menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib II. Paus
Eugenius III menyerukan perang suci yang disambut positif oleh Raja Perancis,
Louis VII dan Raja Jerman, Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk
merebut wilayah Kristen di Syiria. Namun gerak maju mereka dihambat oleh
Nuruddin Zanqi. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus, bahkan Louis VII dan
Condrad II sendiri melarikan diri ke negerinya. Nuruddin wafat tahun 1174 M,
pimpinan perang kemudian dipegang oleh Salahuddin al-Ayyubi yang berhasil
mendirikan dinasti Ayyubiyyah di Mesir tahun 1175 M.
Shalahudddin
al-Ayyubi yang terkenal gagah perkasa, meneruskan perjuangannya melawan tentara
Salib pada tahun 1180 M. Akhirnya, pasukan Salib tidak mampu menghadapi pasukan
Islam, maka mereka terpaksa mengajukan permintaan damai. Dengan adanya
permintaan damai itu, Shalahuddin menghentikan peperangan. Namun karena tahun
1186 M. tentara Salib mengkhianatinya dengan menyerang umat Islam yang akan
menunaikan haji, maka pertempuran kembali berkobar dan tentara Salib menderita
kekalahan serta kebanyakan di antara mereka menjadi tawanan. Akhirnya Shalahuddin
al-Ayyubi berhasil merebut kembali Bait al-Maqdis, Yerussalem pada tanggal 2
Oktober 1187 M.
Pada
periode ketiga (1189-1192 M.), Shalahuddin berhasil mempertahankan Bait
al-Maqdis dan kekalahan kaum Salib. Kejadiannya berawal dari jatuhnya Bait
al-Maqdis ke tangan orang Islam, menggerakkan semangat yang meluap-luap di
kalangan Kristen Eropa untuk merebut kembali kota suci itu. Dengan kekalahan
itu, maka dibangunlah angkatan Perang Salib III pada tahun 1189 M.
dengan pimpinan perangnya antara lain Kaisar Frederick Barbarosa dari Jerman,
Philip Augustus dari Perancis dan Richard Leeuwen Hart dari Inggris. Angkatan
Perang Salib III ini berhasil merebut Accon (Aka), namun sesudah itu pasukan
Salib pecah, karena Philip berselisih dengan Richard, yang berakhir dengan
pulangnya Philip ke Perancis, serta sebelum terjadi penaklukan Aka itu, Kaisar
Barbarosa telah meninggal di tengah perjalanan.
Setelah
itu, Shalahuddin berperang melawan Richard yang dikenal sebagai panglima yang
tindakannya sangat berani sehingga diberi gelar “Berhati Singa”. Ternyata dalam
peperangan di Arsuf, Shalahuddin berhasil dikalahkan Richard pada tahun 1191 M,
namun Bait al-Maqdis belum berhasil dikuasainya. Maka dibuatlah
perjanjian perdamaian di Ramlah antara Shalahuddin dengan Richard pada tanggal
2 November 1192 M., yang isinya sebagai berikut :
- Yerussalem tetap berada di tangan umat Islam, dan umat Kristen diijinkan untuk menjalankan ibadah di tanah suci.
- Orang-orang Salib akan mempertahankan pantai Syiria dan Tyre sampai ke Jaffa.
- Umat Islam akan mengembalikan relics (tanda-tanda agama) Kristen kepada umat Kristen.
Setahun
berikutnya, Sultan al-Malik al-Nashir Shalah al-Din al-Ayyubi meninggal dunia
pada tanggal 19 Februari 1193 M. Setelah beberapa waktu lama dengan gigih
memimpin pasukan Islam menghadapi tentara Salib, menyelesaikan pekerjaan besar
dengan mengembalikan dan mempertahankan Bait al-Maqdis.
Bab III
Penutup
3.1
Kesimpulan
Shalahuddin Al-Ayyubi berasal dari bangsa Kurdi.
Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah (migrasi)
meninggalkan kampung halamannya dekat Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit
(Irak).
Shalahuddin lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137
M, ketika ayahnya menjadi penguasa Seljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun
pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanqi,
gubernur Seljuk untuk kota Mousul, Irak. Ketika Imaduddin berhasil merebut
wilayah Balbek,
Lebanon
tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Shalahuddin) diangkat menjadi
gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Raja Suriah
Nuruddin Mahmud.
Selama di Balbek inilah, Shalahuddin mengisi masa mudanya dengan menekuni
teknik perang, strategi, maupun politik. Beliau meninggal dunia pada tanggal
19 Februari 1193 M. Setelah beberapa waktu lama dengan gigih memimpin pasukan
Islam menghadapi tentara Salib, menyelesaikan pekerjaan besar dengan
mengembalikan dan mempertahankan Bait al-Maqdis.
Shalahuddin
Al Ayyubi memiliki sifat bijaksana dalam kehidupan sehari-hari dan bersikap
adil dalam menyelesaikan masalah. Ketika perangpun beliau sangat gagah berani
dan perkasa mengalahkan musuhnya, meskipun begitu beliau juga sangat
berperikemanusiaan terhadap lawan dan tidak semena-mena, padahal mereka
memperlakukan umat islam sebelumnya dengan penuh kebencian, karena sifat inilah
beliau disegani musuh-musuhnya.
3.2
Saran
Saya selaku penulis menyadari bahwa makalah yang berjudul “SHALAHUDDIN AL
AYYUBI” masih banyak kesalahan atau sangat jauh dari hasil yang diharapkan,
maka dari itu kami mohon saran dan kritik yang membangun agar dalam makalah
berikutnya saya bias mengetahui kekurangan dalam makalah sebelunnya.Dengan
demikian hasil yang terbaik selalu diharapkan. Dalam pepatah yaitu, “TAK ADA
GADING YANG TAK RETAK”.
Daftar
Pustaka
·
http://id.wikipedia.org/wiki/Pengepungan_Yerusalem_%281187%29
·
http://esq-news.com/2011/berita/11/24/shalahuddin-al-ayyubi-pemimpin-perang-yang-cerdas-nurani.html
·
http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/02/biografi-salahudin-al-ayubi-1138-1193-m.html
·
http://www.kisah.web.id/tokoh-islam/sholahuddin-al-ayyubi-532-589-h.html
No comments:
Post a Comment