Tuesday, December 29, 2015

PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN



PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN





 





Contents




BAB I

Setiap individu memiliki ciri, sifat bawaan ( heredity) dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan sekitarnya. Ahli psikologi berpendapat bahwa kepribadian dibentuk oleh perpaduan faktor pembawaan dan lingkungan. Karakteristik bawaan, baik yang bersifat biologis maupun psikologis, dimiliki sejak lahir. Apa yang difikirkan, dikerjakan, atau dirasakan seseorang merupakan hasil perpaduan antara faktor-faktor biologis yang diwariskan dengan pengaruh lingkungan sekitarnya. Karakteristik yang berkaitan dengan perkembangan faktor biologis cenderung lebih bersifat tetap (ajeg), sedangkan karakteristik yang berkaitan dengan faktor psikologis lebih mudah berubah karena dipengaruhi oleh pengalaman dan lingkungan.
            Masa akhir anak-anak merupakan suatu masa perkembangan dimana anak-anak mengalami sejumlah perubahan-perubahan yang cepat dan menyiapkan diri untuk memasuki masa remaja, serta bergerak memasuki masa dewasa. Pada masa ini mereka mulai sekolah dan sudah mulai mempelajari sesuatu yang berhubungan dengan manusia, dan juga mempelajari berbagai keterampilan praktis. Dunia  psikososial anak menjadi semakin kompleks dan berbeda dengan masa awal anak. Hubungan dengan keluarga dan teman sebaya terus memainkan peranan penting. Sekolah dan hubungan dengan para guru juga menjadi aspek kehidupan anak yang semakin terstruktur. Pemahaman anak terhadap diri (self) semakin berkembang dengan adanya perubahan-perubahan dalam gender dan perkembangan moral juga turut menandai perkembangan anak selama masa akhir anak-anak ini.

1.2 Rumusan masalah
            1. Apa pengertian konsep diri ?
            2. Bagaimana konsep diri dan prestasi belajar ?
            3. Apa karakteristik perkembangan konsep diri peserta didik SD ?
4. Bagaimana implikasi perkembangan konsep diri peserta didik terhadap                          pendidikan ?
5. Bagaimana karakteristik hubungan teman sebaya siswa  SD ?
6. Bagaimana cara pembentukan kelompok ?
7. Bagaimana popularitas dan penerimaan sosial serta penolakannya ?

            1. Untuk mengetahui pengertian konsep diri.
            2. Untuk mengetahui konsep diri dan prestasi belajar.
3. Untuk mengetahui karakteristik perkembangan konsep diri peserta didik  SD
4. Untuk mengetahui implikasi perkembangan konsep diri peserta didik terhadap pendidikan
5. Untuk mengetahui karakteristik hubungan teman sebaya siswa  SD
6. Untuk mengetahui cara pembentukan kelompok
7. Untuk mengetahui popularitas dan penerimaan social serta penolakan






BAB II

 

Sebagai sebuah konstruk psikologi, konsep diri didefinisikan secara berbeda oleh para ahli. Seifert dan hoffnung mendefinisikan konsep diri sebagai suatu pemahaman mengenai diri atau ide tentang diri sendiri. Santrock mengunakan istilah konsep diri mengacu pada evaluasi bidang tertentu dari diri sendiri. Sementara itu Athwater menyebutkan bahwa konsep diri adalah keseluruhan gambaran diri,yang meliputi persepsi seseorang tentang diri, perasaan, keyakinan, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan dirinya.
            Menurut Burns,konsep diri adalah hubungan antara sikap dan keyakinan tentang diri kita sendiri.Sementara itu, Cawagas menjelaskan bahwa konsep diri mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi fisiknya, karakretistik pribadinya, motivasinya, kelemahannya, kelebihannya, kegagalannya, dan sebagainya.
            Berdasarkan pada beberapa definisi di atas dapat di simpulkan bahwa konsep diri adalah gagasan tentang diri sendiri yang mencakup keyakinan,pandangan dan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri.Konsep diri terdiri atas bagaimana cara kita melihat diri sendiri sebagai pribadi, bagaimana kita merasa tentang diri sendiri, dan bagaimana kita menginginkan diri sendiri menjadi manusia sebagaimana yang kita harapkan.
            Konsep diri dapat di gambarkan sebagai system operasi yang menjalankan komputermental yang mempengaruhi kemampuan berfikir seseorang. Setelah terinstal, konsep diri akan masuk ke pikiran bawa sadar dan akan berpengaruh pada tingkat kesadaran seseorang pada suatu waktu. Semakin baik atau positive konsep diri seseorang maka akan semakin mudah ia mencapai keberhasilan.Sebab, dengan konsep diri yang baik,seseorang akan bersikap optimis,berani mencoba hal-hal baru,berani sukses dan berani pula gagal,penuh percaya diri,antusias,merasa diri berharga,dan menetapkan tujuan hidup,serta bersikap dan berfikir secara positive.
Sebaliknya, semakin jelek atau negative konsep diri,maka akan semakin sulit seseorang untuk berhasil.Sebab,dengan konsep diri yang jelek akan mengakibatkan tumbuh rasa tidak percaya diri,takut gagal sehingga tidak berani mencoba hal-hal yang baru dan menantang, merasa diri bodoh, rendah diri, merasa diri tidak berguna, pesimis, serta berbagai perasaan dan perilaku inserior lainnya.
            Konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan tingkah laku seseorang. Bagaimana seseorang memandang dirinya akan tercermin dari keseluruhan perilakunya. Artinya, perilaku individu akan selaras dengan cara individu memandang dirinya sendiri. Apabila individu memandang dirinya sebagai orang yang tidak mempunyai cukup kemampuan untuk melakukan suatu tugas,maka seluruh perilakunya akan menunjukkan ketidak mampuannya tersebut.

Sejumlah ahli psikologi dan pendidikan berkeyakinan bahwa konsep diri dan prestasi belajar mempunyai hubungan yang erat. Naylor mengemukakan bahwa banyak penelitian yang membuktikan hubungan         positif yang kuat antara konsep diri dengan prestasi belajar di sekolah. Siswa yang memiliki konsep diri positif, memperlihatakan prestasi yang baik di sekolah, atau siswa yang berprestasi tinggi di sekolah memiliki penilaian diri yang tinggi, serta menunjukkan hubungan antar pribadi yang positif pula. Mereka menentukan target prestasi belajar yang realistis dan mengarahkan kecemasan akademis dengan belajar keras dan tekun, serta aktivitas-aktivitas mereka selalu di arahkan pada kegiatan akademis. Mereka juga memperlihatkan kemandirian dalam belajar, sehingga tidak tergantung kepada guru semata.
Untuk mengetahui hubugan antar konsep diri dan prestasi belajar, Fink (dalam Burns, 1982) melakukan penelitian dengan melibatkan sejumlah siswa laki-laki dan perempuan yang di pasangkan berdasarkan tingkat inteligensi mereka. Di samaping itu mereka di golongkan berdasarkan prestasi belajar mereka, yaitu kelompok berprestasi lebih (overachievers) dan kelompok berprestasi kurang (underachievers). Hal penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan konsep diri antara siswa yang tergolong overachievers dan underachievers. Siswa yang tergolong overachievers menunjukkan konsep diri yang lebih positif, dan hubungan yang erat antara konsep diri dan prestasi belajar terlihat jelas pada siswa laki-laki.
            Penelitian Walsh, juga menunjukkan bahwa siswa-siswa yang tergolong underachievers mempunyai konsep diri yang negatif, serta memperlihatkan karakteristik kepribadian :
1)      Mempunyai perasaan dikritik, ditolak, dan diisolir
2)      Melakukan mekanisme pertahanan diri dengan cara menghindar dan bahkan bersikap menentang
3)      Tidak mampu mengekspresikan perasaan dan prilakunya
Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut jelas bahwa konsep diri dan prestasi belajar siswa di sekolah mempunyai hubungan yang erat. Siswa yang berprestasi tinggi cenderung memiliki konsep diri yang berbeda dengan siswa yang berprestasi rendah. Siswa yang berprestasi rendah akan memandang diri mereka sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan dan kurang bias melakukan penyesuaian diri yang kuat dengan siswa lain. Mereka juga cenderung memandang orang-orang di sekitarnya sebagai lingkungan yang tidak dapat menerimanya.
            Siswa yang memandag dirinya negatif ini, pada gilirannya akan menganggap keberhasilannya yang di capai bukan karena  kemampuan yang di milikinya, melainkan lebih mereka kebetulan atau karena faktor keberuntungan saja. Lain halnya dengan siswa yang memandang dirinya positif, akan menganggap keberhasilan sebagai hasil kerja keras dank arena faktor kemampuannya.


2. 3 Karakteristik Perkembangan Konsep diri Peserta Didik SD
Konsep diri bukanlah sesuatu yang di bawa sejak lahir. Kita tidak dilahirkan dengan konsep diri tertentu. Bahkan ketika kita lahir, kita tidak memiliki konsep diri., tidak memiliki pengetahuan tentang diri, serta tidak memiliki penilaian apapun terhadap diri kita sendiri.
            Dengan demikian, konsep diri terbentuk melalui proses belajar yang berlangsung sejak masa pertumbuhan hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman, dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan konsep diri seseorang. Sikap dan respon orang tua serta lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Anak-anak yang tumbuh dan di besarkan dalam pola asuh yang keliru atau negatif, seperti perilaku orang tua yang suka memukul, mengabaikan, kurang memberikan kasih sayang, melecehkan, menghina, tidak berlaku adil dan seterusnya, di tambah dengan lingkungan yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep diri yang negatif. Hal ini adalah karena anak cenderung menilai dirinya berdasarkan apa yang dia alami dan dapatkan dari lingkungannya. Jika lingkungan memiliki sikap yang baik dan positif, maka anak akan merasa dirinya berharga, sehingga berkembangan konsep diri yang positif.
            Menurut Santrock, perubahan-perubahan dalam konsep diri anak selama tahun-tahun sekolah dasar dapat dilihat sekurang-kurangnya dari tiga karakterisik konsep diri, yaitu ; 1) karakteristik internal, 2) karakterstik aspek-aspek social, dan 3) karakteristik perbandingan social.
            Karakteristik internal. Berbeda dengan anak-anak prasekolah, anak usia sekolah dasar lebih memahami dirinya melalui karakteristik internal dari pada melalui karakteristik eksternal. Anak-anak pada masa pertengahan dan akhir lebih cenderung mendefinisikan dirinya melalui keadaan-keadaan dalam yang subjektif daripada melalui keadaan-keadaan luar.
            Penelitian F. Abuond dan S. Skerry, menemukan bahwa anak-anak kelas dua jauh lebih cenderung menyebutkan karakteristik psikologis ( seperti preferensi atau sifat-sifat kepribadian ) dalam mendefinisikan diri mereka dan kurang cenderung menyabutkan karakteristik fisik (seperti warna mata atau pemilikan). Misalnya anakusia  8 tahun mendeskripsikan dirinya sebagai: “Aku seorang anak yang pintar dan terkenal.” Anak usia 10 tahun berkaa entang dirinya : “Aku cukup lumayan tidak khawtir terus-menerus, Aku biasanya suka marah, tetapi sekarang aku sudah lebih baik.”
            Karakteristik aspek-aspek sosial. Selama tahun-tahun sekolah dasar, aspek-aspek sosial dari pemahaman dirinya juga meningkat. Dalam suatu investigasi, anak-anak sekolah dasar sering kali menjadikan kelompok-kelompok sosial sebagai acuan dalam deskripsi diri mereka. Misalnya, sejumlah anak mengacu diri mereka sendiri sebagai pramuka perempuan, sebagai seorang Katholik atau sebagai seorang yang memiliki dua sahabat karib.
            Karakteristik perbandingan sosial. Pemahaman diri anak-anak usia sekolah dasar juga mengacu pada perbandingan sosial ( social comparison ). Pada tahap perkembangan ini, anak-anak cenderung membedakan diri mereka dari orang lain secara komparatif dari pada secara absolut. Misalnya, anak-anak usia sekolah dasar tidak lagi berfikir tentang apa yang “aku lakukan “ atau yang “tidak aku lakukan,” tetapi cenderung berfikir tentang “apa yang dapat aku lakukan” dibandingkan dengan “apa yang dapat dilakukan oleh orang lain.” Pergeseran perkembangan ini menyebabkan suatu kecenderungan yang meningkat untuk membentuk perbedaan-perbedaan seseorang dari oang lain sebagai seorang individu.
            Sejumlah shli psikologi perkembangan percaya bahwa dalam perkembangan pemahaman diri, pengambilan prespektif  (perspective taking)- kemampuan untuk mengambil prespektif orang lain dan memahami pemikiran perasaan-perasaannyamemainkan peranan yang penting. Robert Selman (dalam santrock, 1995) misalnya percaya bahwa pengambilan prespektif melibatkan suatu rangkaian yang terdiri atas lima tahap, yang berlangsung dari usia 3 tahun hingga masa remaja (lihat tabel 2.1). Selman mencatat bahwa egosentrisme mulai mengalami kemunduran pada usia 4 tahun, mereka mulai mampu untuk mempertimbangkan pandangannya sendiri dan pandanga orang lain secara bersamaan. Akan tetetapi, sejumlah penelitian tidak setuju dengan dengan tingkatan–tingkatan usia Selman yang mengaitkan peruahan-perubahan dalam kemampuan pengambilan peran.

            TABEL 2.1 tahap-tahap pengambilan prespektif
Tahap pengambilan perspektif
Usia
(tahun)
Deskripsi
Perspektif yang egosentris
3 – 6
Anak merasakan adanya perbedaan dengan orang lain, tetapi belum mampu membedakan antara perspektif sosial (pemikiran, perasaan )orang lain dan perspektif diri sendiri. Anak dapat menyabutkan perasaan orang lain, tetapi tidak melihat hubungan sebab dan akibat pemikiran dan tindakan sosial.
Pengambilan perspektif sosial internasional
6 – 8
Anak sadar bahwa orang lain memiliki suatu perspektif sosial yang didasarkan atas pemikiran orang itu, yang mungkin sama atau berbeda dengan pemikirannya. Tetapi anak cenderung berfokus pada perspektifnya sendiri dan bukan mengkoordinasikan sudut pandang.
Pengambilan keputusan  diri reflektif
8 -10
Anak sadar bahwa setiap orang sadar akan perspektif orang lain dan bahwa kesadaran ini memengaruhi pandangan dirinya dan pandangan orang lain. Menempatkan diri sendiri di tempat orang lain merupakan suatu cara untuk menilai maksud, tujuan, dan tindakan orang lain. Anak dapat membentuk suatu mata rantai perspektif yang terkoordinasi, etapi tidak dapat mengabstraksikan proses-proses ini pada tingkat timbal balik secara serentak.  
Saling mengambil perspektif
10 -12
Anak remaja menyadari bahwa baik diri sendiri maupun orang lain dapat memandang satu sama lain secara timbal balik dan secara serentak sebaga subjek. Anak remaja dapat melangkah keluar dari kedua orang itu  dan memandang interaksi dari perspektif orang ketiga.
Pengambilan perspektif sistem sosial dan konvensional
12 – 15
Anak remaja menyadari pengambilan perspektif bersama tidak selalu menghasilkan pemahaman yang sempurna. Konvensi sosial dilihat sebagai sesuatu yang penting karena dipahami oleh semua anggota kelompok, tanpa memandang posisi, peran, atau pengalaman mereka.
       (sumber: psikologi perkembangan peserta didik, 2011- desmita )

            Menurut sejumlah ahli lain, anak-anak usia 6 tahun mampu memahami perspektif orang lain. Pnelitian lain mencatat bahwa seseorang berusia sama belum bias diasosiasikan dengan masing-masing tingkat, sebab kemampuan anak dalam pengambilan peran mungkin berfluktuasi dari suatu waktu ke waktu lain. Beberapa anak dapat memahami perspektif orang lain pad satu peristiwa, tetapimungkin gagal mempertahankan perspektif tersebut dalam angka waktu yang lama.demikin juga, anak yang memahami perspektif orang-orang yang familiar, mungkin kurag mampu dalam memahami orang atau situasi yang tidak familiar.
     

Sebagaimana telah di jelaskan sebelumnya bahwa konsep diri merupakan salah satu aspek penting dalam perkembangan psikososial peserta didik. Konsep diri mempengaruhi perilaku peserta didik dan mempunyai hubungan yang sangat menentukan proses pendidikan dan prestasi belajar mereka. Peserta didik yang mengalami permasalahan di sekolah pada umumnya menunjukkan tingkat konsep diri yang rendah. Oleh sebab itu dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah, guru perlu melakukan upaya-upaya yang memungkinkan terjadinya peningkatan konsep diri peserta didik. Berikut ini akan di uraikan beberapa strategi yang mungkin dapat di lakukan guru dalam mengembangkan dan meningkatkan konsep diri peserta didik.
1.      Membuat siswa merasa mendapat dukungan dari guru
Dalam pengembangan konsep diri yang positif, siswa perlu mendapat dukungan dari guru. Dukungan guru ini dapat di tunjukkan dalam bentuk dukungan emosional (emotional support), seperti ungkapan empati, kepedulian, perhatian, dan umpan balik, dan dapat pula berupa dukungan penghargaan (esteem support), seperti melalui ungkapan hormat (penghargaan) positif terhadap siswa, dorongan untuk maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan siswa dan perbandingan positif antara satu siswa dengan siswa lain. Bentuk dukungan ini memungkinkan siswa untuk membangun perasaan memiliki harga diri, memiliki kemampuan atau kompeten dan berarti.
2.      Membuat siswa merasa bertaggung jawab
Memberi kesempatan kepada siswa untuk membuat keputusan sendiri atas perilakunya dapat di artikan sebagai upaya guru untuk memberi tanggung jawab kepada siswa. Tanggung jawab ini akan merahkan sikap positif siswa terhadap diri sendiri, yang diwujudkan dengan usaha pencapaian prestasi belajar yang tinggi sera peningkatan integritas dalam menghadapi tekanan sosial. Hal ini menunjukkan pula adanya penghargaan guru terhadap perilaku siswa, sehingga siswa merasa dirinya mempunyai peranan dan di ikut sertakan dalam kegiatan pendidikan.
3.      Membuat siswa merasa mampu
Ini dapat di lakukan dengan cara menunjukkan sikap dan pandangan yang positif terhadap kemampuan yang di miliki siswa. Guru harus berpandangan bahwa semua siswa pada dasarnya memiliki kemampuan, hanya saja mungkin belum dikembangkan. Dengan sikap dan pandangan positif terhadap kemampuan siswa ini, maka siswa juga akan berpandangan positif terhadap kemampuan dirinya.
4.      Mengarahkan siswa untuk mencapai tujuan yang realistis
Dalam upaya meningkatkan konsep diri siswa, guru harus membentuk siswa untuk menetapkan tujuan yang hendak dicapai serealistis mungkin, yakni tujuan yang sesuai dengan kemampuan yang di milikinya. Penetapan tujuan yang realistis ini dapat di lakukan dengan mengacu pada pencapain prestasi di masa lampau. Dengan bersandar pada keberhasilan masa lampau, maka pencapain prestasi sudah dapat di ramalkan, sehingga siswa akan terbantu untuk bersikap positif terhadap kemampuan dirinya sendiri.
5.      Membantu siswa menilai diri mereka secara realistis
Pada saat mengalami kegagalan, adakalanya siswa menilainya secara negative, dengan memandang dirinya sebagai orang yang tidak mampu. Untuk menghindari penilaian yang negative dari siswa tersebut, guru perlu membantu siswa menilai prestasi mereka secar realistis, yang membantu rasa percaya akan kemampuan mereka dalam menghadapi tugas-tugas sekolah dan meningkatkan prestasi belajar di kemudian hari. Salah satu cara membantu siswa menilai diri mereka secar realistis adalah dengan membandingkan prestasi siswa pada masa lampau dan prestasi siswa saat ini. Hal ini pada gilirannya dapat membangkitkan motifasi, minat, dan sikap siswa terhadap seluruh tugas di sekolah.
6.      Mendorong siswa agar bangga dengan dirinya secara realistis
Upaya lain yang harus di lakukan guru dalam membantu mengembangkan konsep diri peserta didik adalah dengan memberikan dorongan kepada siswa agar bangga dengan prestasi yang telah di capainya. Ini adalah penting, karena perasaan bangga atas prestasi yang di capai merupakan salah satu kunci utuk menjadi lebih positif dalam memandang kemampuan yang di miliki.

Seperti halnya dengan masa awal anak-anak, berinteraksi dengan teman sebaya merupakan aktivitas yang banyak menyita waktu anak selama masa pertengahan dan akhir anak-anak. Barker dan Wright (dalam Santrock, 1995) mencatat bahwa anak-anak usia 2 tahun menghabiskan 10% dari waktu siangnya untuk berinteraksi dengan teman sebaya. Pada usia 4 tahun, waktu yang dihabiskan untuk berinteraksi dengan teman sebaya meningkat menjadi 20%. Sedangkan anak usia 7 hingga 11 tahun meluangkan lebih dari 40% waktunya untuk berinteraksi dengan teman sebayanya.
Karakteristik lain dari pola hubungan anak usia sekolah dengan teman sebayanya adalah munculnya keinginan untuk menjalin hubungan pertemanan yang lebih akrab atau dalam kajian psikologi dusebut dengan istilah  friendship (persahabatan). Persahabatan lebih dari sekedar teman biasa. Menurut McDevitt dan Ormord (2002), Setidaknya terdapat tiga kualitas yang membedakan persahabatan dengan bentuk hubungan teman sebaya lainnya, yaitu:
1.      They are voluntary relationship (adanya hubungan yang dibangun atas dasar sukarela).
2.      They are powered by shared routines and customs (hubungan persahabatan dibangun atas dasar kesamaan kebiasaan).
3.      They are reciprocal relationships (persahabatan dibangun atas dasar hubungan timbal balik).
Menurut Santock (1998), karakteristik yang paling umum dari persahabatan adalah keakraban (intimacy) dan kesamaan (similarity). Intimacy dapat diartikan sebagai penyingkapan diri dan berbagai pemikiran pribadi. Keakraban ini menjadi dasar bagi relasi anak dengan sahabat. Karena kedekatan ini, anak mau menghabiskan waktunya dengan sahabat dan mengekspresikan efek yang lebih positif terhadap sahabat dibandingkan dengan bukan sahabat (Harimb, 1989) dan bersedia mengungkapkan dirinya secara terbuka (Bernt & Perry, 1990). Anak juga lebih bersedia berbagi dengan sahabat meskipun terkadang  terjadi persaingan, sehingga menurunkan kesediaan mereka untuk berbagi dengan sahabat
Meskipun demikian, persahabatan memainkan peran penting dalam psikososial anak (Rubin, 1980) diantaranya adalah:
1.      Sahabat memberi kesempatan kepada anak untuk mempelajari keterempilan-keterampilan tertentu. Sahabat mengajarkan pada anak mengenai bagaimana berkomunikasi satu sama lain, sehingga anak memperoleh pengalaman belajar mengenali kebutuhan dan minat orang lain, serta bagaimana bekerjasama dan mengelola konflik dengan baik.
2.      Persahabatan memungkinkan anak untuk membandingkan dirinya dengan individu lain, karena biasanya anak menilai dirinya berdasarkan perbandingan dengan anak lain.
3.      Persahabatan mendorong munculnya rasa memiliki terhadap kelompok. Pada usia 10-11 tahun, kelompok menjadi lebih penting. Anak menemukan sebuah organisasi sosial yang tidak hanya terdiri atas sekumpulan individu saja, tetapi juga mencakup adanya peran-peran,partisipasi kolektif dan dukungan dari kelompok untuk melakukan aktivitas-aktivitas kelompok.
Bersahabat dengan teman sebaya merupakan salah satu fenomena interaksi sosial yang penting bagi anak usia sekolah. Anak-anak usia 8 tahun, biasanya telah memiliki beberapa teman dari sejumlah kegiatan yang berbeda. Ada teman naik sepedah, teman yang suka menemani ketika istirahat sekolah,teman di tempat les dll. Pada umumnya hubungan pertemanan ini masih bersifat sedarhana. Oleh karena itu, tak jarang persahabatan datang dan pergi dalam waktu beberapa bulan saja.Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, anak usia 10 tahun mulai lebih memperhatikan kualitas hubungan persahabatannya. Mereka sudah lebih terampil bersosialisasi dan sudah dapat menghargai nilai kedekatan serta ketergantungan satu sama lain. Hal ini terjadi karena pada usia ini emosi anak sudah mulai cukup matang untuk berempati sehingga mereka juga mulai mencoba untuk berbagai rasa dan pikiran dengan teman-teman tertentu. Dibandingkan dengan usia sebelumnya, kualitas persahabatan pada usia ini lebih kompleks dan berlangsung lebih lama.

Interaksi teman sebaya oleh kebanyakan anak pada periode akhir ini terjadi dalam group atau kelompok, sehingga periode ini sering disebut “ usia kelompok “. Pada masa ini, anak tidak lagi puas bermain sendirian dirumah atau melakukan kegiatan-kegiatan dengan angota keluarganya. Karena anak juga memiliki keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota kelompok serta merasa tidak puas bila tidak bersama teman-temannya.
            Dalam menentukan sebuah kelompok, anak usia sekolah dasar lebih menekankan pentingnya aktivitas bersama-sama seperti berbicara, bermain , berkeluyuran, berjalan kesekolah, berbicara melalui telepon, mendengarkan musik dan bergurau. Tinggal dilingkungan yang sama, bersekolah disekolah yang sama,dan berpartisipasi dalam organisasi masyarakat yang sama.ini merupakan dasar bagi terbentuknya kelompok teman sebaya. Rubin dan Krasnor(1980)mencatat adanya perubahan sifat dari kelompok teman sebaya pada masa pertengahan anak-anak. Ketika anak berusia 6 hingga 7 tahun, kelompok teman sebaya tidak lebih dari kelompok bermain. Mereka memiliki sedikit peraturan dan juga tidak terstruktur dalam menjalankan  peran dan kemudahan berinteraksi di antara anggota-anggotanya. Kelompok tersebut, terbentuk secara spontan. Ketika anak berusia 9 tahun, kelompok-kelompok menjadi semakin formal. Sekarang anak-anak berkumpul menurut  minat yang sama dan merencanakan perlombaan-perlombaan. Mereka membentuk klub atau perkumpulan dengan aturan-aturan tertentu. Kelompok-kelompok ini mempunyai keanggotaan inti,masing-masing anggota harus berpartisipasi dalam aktivitas kelompok dan yang bukan termasuk anggota maka akan dikeluarkan dari kelompok.
Pada masa pertengahan dan akhir anak-anak,anak mulai mengembangkan suatu penilaian terhadap orang lain dengan berbagai cara. Hal ini terlihat pada anak-anak kelas dua atau kelas tiga yang memiliki stereotip budaya tentang tubuh. Dalam hal ini,mereka misalnya menilai bahwa  anak laki-laki yang tegap (berotot) lebih disenangi dari pada anak laki-laki yang gemuk atau kurus. Kemudian, pemilihan teman dari anak-anak ini terus meningkat dengan lebih mendasarkan pada kualitas pribadi,seperti kejujuran,kebaikan hati, humoris dan kreativitas.
Para ahli psikologi perkembangan telah lama mempelajari petentang pembentukan kelompok teman sebaya dan status dalam kelompok untuk mengetahui anak-anak yang cenderung menjadi populer. Para peneliti juga telah melakukan penelitian untuk menentukan mana anak yang sering menyendiri dan mana anak yang supel terhadap temannya. Dalam penelitian ini, mereka telah menggunakan suatu teknik yang disebut sosiometri (Hallinan,1981) yaitu suatu teknik penelitian yang digunakan untuk menentukan status dan penerimaan sosial anak diantara teman sebayanya. Dalam hal ini, mereka secara khas menanyakan kepada anak-anak yang tergabung dalam organisasi tersebut,tentang mana anak yang pantas dikelompokkan sebagai “teman baik” atau yang paling disukai teman dan mana anak yang kurang disukai oleh temannya. Atas dasar jawaban-jawaban tersebut, para peneliti menyusun sebuah sosiogram, yaitu suatu diagram yang menggambarkan interaksi anggota suatu kelompok atau bagaimana perasaan masing-masing anak terhadap anak-anak lain dalam suatu kelompok. Sosiogram ini menentukan mana anak yang diterima oleh temannya dan mana yang kurang diterima oleh anak lain. Berdasarkan informasi ini, para peneliti membagi anak-anak menjadi dua bagian, yaitu anak-anak yang populer (popular) dan anak-anak yang tidak populer (unpopular).
Anak yang populer. Popularitas seorang anak ditentukan olehkualitas pribadi yang dimilikinya. Hartup (1983) mencatat,bahwa anak yang populer adalah anak yang ramah, suka bergaul, bersahabat, sangat peka terhadap lingkungan sosial dan yang mudah bekerjasama dengan orang lain. Asher et. al. 1982 (dalam Seifert & Huffnung,1994) juga mencatat bahwa anak-anak yang populer adalah anak-anak yang dapat menjalin interaksi sosial dengan mudah, dapat  memahami situasi sosial, memiliki keterampilan yang tinggi dalam berinteraksi dan cenderung bertindak dengan cara-cara yang kooperatif serta selaras dengan norma-norma kelompok. Popularitas juga dihubungkan dengan IQ dan prestasi akademik. Anak-anak lebih menyukai anak yang memiliki prestasi sedang, mereka lebih sering menjauh dari anak yang cerdas dan yang sangat rajin di sekolah, demikian juga halnya dengan mereka yang pemalas secara akademis (Zigler & Stevenson, 1993)
Anak yang tidak populer. Dapat dibedakan atas dua tipe,yaitu:anak-anak yang ditolak (neglected children) . Anak yang diabaikan adalah anak yang menerima sedikit perhatian dari teman sebaya mereka, tetapi bukan berarti mereka tidak disenangi oleh teman sebayanya. Anak yang ditolak adalah anak yang tidak disukai oleh teman sebayanya. Karena mereka cenderung bersifat mengganggu, egois dan hanya mempunyai sedikit sifat positif. Dan kira-kira 10 hingga 20 % Anak yang ditolak  adalah anak yang pemalu.
     


PENUTUP
3.1        Kesimpulan
konsep diri adalah gagasan tentang diri sendiri yang mencakup keyakinan,pandangan dan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri.Konsep diri terdiri atas bagaimana cara kita melihat diri sendiri sebagai pribadi, bagaimana kita merasa tentang diri sendiri, dan bagaimana kita menginginkan diri sendiri menjadi manusia sebagaimana yang kita harapkan.
bahwa konsep diri dan prestasi belajar siswa di sekolah mempunyai hubungan yang erat. Siswa yang berprestasi tinggi cenderung memiliki konsep diri yang berbeda dengan siswa yang berprestasi rendah. Siswa yang berprestasi rendah akan memandang diri mereka sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan dan kurang bias melakukan penyesuaian diri yang kuat dengan siswa lain. Mereka juga cenderung memandang orang-orang di sekitarnya sebagai lingkungan yang tidak dapat menerimanya.
perubahan-perubahan dalam konsep diri anak selama tahun-tahun sekolah dasar dapat dilihat sekurang-kurangnya dari tiga karakterisik konsep diri, yaitu ; 1) karakteristik internal, 2) karakterstik aspek-aspek social, dan 3) karakteristik perbandingan social.
Karakteristik lain dari pola hubungan anak usia sekolah dengan teman sebayanya adalah munculnya keinginan untuk menjalin hubungan pertemanan yang lebih akrab atau dalam kajian psikologi dusebut dengan istilah  friendship (persahabatan). Persahabatan lebih dari sekedar teman biasa.
Dalam menentukan sebuah kelompok, anak usia sekolah dasar lebih menekankan pentingnya aktivitas bersama-sama seperti berbicara, bermain , berkeluyuran, berjalan kesekolah, berbicara melalui telepon, mendengarkan musik dan bergurau. Tinggal dilingkungan yang sama, bersekolah disekolah yang sama,dan berpartisipasi dalam organisasi masyarakat yang sama.ini merupakan dasar bagi terbentuknya kelompok teman sebaya.

-          Desmita,M.Si. 2011. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung : Remaja Rosda Karya.
-          Yusuf Syamsu,L.N & Sugandhi Nani,M. 2011. Perkembangan Peserta Didik.. Jakarta : RajaGrafindo Persada
-          Mar’at Samsunuwiyati,S.Psi. 2010. Psikologi Perkembangan. Bandung : Remaja Rosda Karya



     

No comments:

Post a Comment