PERKEMBANGAN
KEPRIBADIAN
Contents
BAB
I
Setiap individu memiliki ciri, sifat bawaan (
heredity) dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan sekitarnya.
Ahli psikologi berpendapat bahwa kepribadian dibentuk oleh perpaduan faktor
pembawaan dan lingkungan. Karakteristik bawaan, baik yang bersifat biologis
maupun psikologis, dimiliki sejak lahir. Apa yang difikirkan, dikerjakan, atau
dirasakan seseorang merupakan hasil perpaduan antara faktor-faktor biologis
yang diwariskan dengan pengaruh lingkungan sekitarnya. Karakteristik yang berkaitan
dengan perkembangan faktor biologis cenderung lebih bersifat tetap (ajeg),
sedangkan karakteristik yang berkaitan dengan faktor psikologis lebih mudah
berubah karena dipengaruhi oleh pengalaman dan lingkungan.
Masa akhir anak-anak merupakan suatu
masa perkembangan dimana anak-anak mengalami sejumlah perubahan-perubahan yang
cepat dan menyiapkan diri untuk memasuki masa remaja, serta bergerak memasuki
masa dewasa. Pada masa ini mereka mulai sekolah dan sudah mulai mempelajari
sesuatu yang berhubungan dengan manusia, dan juga mempelajari berbagai
keterampilan praktis. Dunia psikososial
anak menjadi semakin kompleks dan berbeda dengan masa awal anak. Hubungan
dengan keluarga dan teman sebaya terus memainkan peranan penting. Sekolah dan
hubungan dengan para guru juga menjadi aspek kehidupan anak yang semakin
terstruktur. Pemahaman anak terhadap diri (self) semakin berkembang dengan
adanya perubahan-perubahan dalam gender dan perkembangan moral juga turut
menandai perkembangan anak selama masa akhir anak-anak ini.
1.2
Rumusan masalah
1. Apa pengertian konsep diri ?
2. Bagaimana konsep diri dan
prestasi belajar ?
3. Apa karakteristik perkembangan
konsep diri peserta didik SD ?
4. Bagaimana implikasi perkembangan
konsep diri peserta didik terhadap pendidikan ?
5. Bagaimana karakteristik hubungan teman sebaya
siswa SD ?
6. Bagaimana cara pembentukan kelompok ?
7. Bagaimana popularitas dan penerimaan sosial serta
penolakannya ?
1. Untuk mengetahui pengertian
konsep diri.
2. Untuk mengetahui konsep diri dan
prestasi belajar.
3. Untuk mengetahui karakteristik
perkembangan konsep diri peserta didik SD
4. Untuk mengetahui implikasi
perkembangan konsep diri peserta didik terhadap pendidikan
5. Untuk mengetahui karakteristik hubungan teman
sebaya siswa SD
6. Untuk mengetahui cara pembentukan kelompok
BAB
II
Sebagai sebuah konstruk psikologi, konsep diri
didefinisikan secara berbeda oleh para ahli. Seifert dan hoffnung
mendefinisikan konsep diri sebagai suatu pemahaman mengenai diri atau ide
tentang diri sendiri. Santrock mengunakan istilah konsep diri mengacu pada
evaluasi bidang tertentu dari diri sendiri. Sementara itu Athwater menyebutkan
bahwa konsep diri adalah keseluruhan gambaran diri,yang meliputi persepsi
seseorang tentang diri, perasaan, keyakinan, dan nilai-nilai yang berhubungan
dengan dirinya.
Menurut Burns,konsep diri adalah
hubungan antara sikap dan keyakinan tentang diri kita sendiri.Sementara itu, Cawagas
menjelaskan bahwa konsep diri mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi
fisiknya, karakretistik pribadinya, motivasinya, kelemahannya, kelebihannya, kegagalannya,
dan sebagainya.
Berdasarkan pada beberapa definisi
di atas dapat di simpulkan bahwa konsep diri adalah gagasan tentang diri
sendiri yang mencakup keyakinan,pandangan dan penilaian seseorang terhadap
dirinya sendiri.Konsep diri terdiri atas bagaimana cara kita melihat diri
sendiri sebagai pribadi, bagaimana kita merasa tentang diri sendiri, dan
bagaimana kita menginginkan diri sendiri menjadi manusia sebagaimana yang kita
harapkan.
Konsep diri dapat di gambarkan
sebagai system operasi yang menjalankan komputermental yang mempengaruhi
kemampuan berfikir seseorang. Setelah terinstal, konsep diri akan masuk ke
pikiran bawa sadar dan akan berpengaruh pada tingkat kesadaran seseorang pada
suatu waktu. Semakin baik atau positive konsep diri seseorang maka akan semakin
mudah ia mencapai keberhasilan.Sebab, dengan konsep diri yang baik,seseorang
akan bersikap optimis,berani mencoba hal-hal baru,berani sukses dan berani pula
gagal,penuh percaya diri,antusias,merasa diri berharga,dan menetapkan tujuan
hidup,serta bersikap dan berfikir secara positive.
Sebaliknya, semakin jelek atau negative konsep
diri,maka akan semakin sulit seseorang untuk berhasil.Sebab,dengan konsep diri
yang jelek akan mengakibatkan tumbuh rasa tidak percaya diri,takut gagal
sehingga tidak berani mencoba hal-hal yang baru dan menantang, merasa diri
bodoh, rendah diri, merasa diri tidak berguna, pesimis, serta berbagai perasaan
dan perilaku inserior lainnya.
Konsep diri mempunyai peranan
penting dalam menentukan tingkah laku seseorang. Bagaimana seseorang memandang
dirinya akan tercermin dari keseluruhan perilakunya. Artinya, perilaku individu
akan selaras dengan cara individu memandang dirinya sendiri. Apabila individu
memandang dirinya sebagai orang yang tidak mempunyai cukup kemampuan untuk
melakukan suatu tugas,maka seluruh perilakunya akan menunjukkan ketidak
mampuannya tersebut.
Sejumlah ahli psikologi dan pendidikan berkeyakinan
bahwa konsep diri dan prestasi belajar mempunyai hubungan yang erat. Naylor
mengemukakan bahwa banyak penelitian yang membuktikan hubungan positif yang kuat antara konsep diri
dengan prestasi belajar di sekolah. Siswa yang memiliki konsep diri positif,
memperlihatakan prestasi yang baik di sekolah, atau siswa yang berprestasi
tinggi di sekolah memiliki penilaian diri yang tinggi, serta menunjukkan
hubungan antar pribadi yang positif pula. Mereka menentukan target prestasi
belajar yang realistis dan mengarahkan kecemasan akademis dengan belajar keras
dan tekun, serta aktivitas-aktivitas mereka selalu di arahkan pada kegiatan
akademis. Mereka juga memperlihatkan kemandirian dalam belajar, sehingga tidak
tergantung kepada guru semata.
Untuk mengetahui hubugan antar konsep diri dan
prestasi belajar, Fink (dalam Burns, 1982) melakukan penelitian dengan
melibatkan sejumlah siswa laki-laki dan perempuan yang di pasangkan berdasarkan
tingkat inteligensi mereka. Di samaping itu mereka di golongkan berdasarkan
prestasi belajar mereka, yaitu kelompok berprestasi lebih (overachievers) dan kelompok berprestasi kurang (underachievers). Hal penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan konsep diri antara siswa yang tergolong
overachievers dan underachievers. Siswa yang tergolong overachievers
menunjukkan konsep diri yang lebih positif, dan hubungan yang erat antara
konsep diri dan prestasi belajar terlihat jelas pada siswa laki-laki.
Penelitian Walsh, juga menunjukkan
bahwa siswa-siswa yang tergolong underachievers mempunyai konsep diri yang
negatif, serta memperlihatkan karakteristik kepribadian :
1) Mempunyai perasaan dikritik, ditolak,
dan diisolir
2) Melakukan mekanisme pertahanan diri
dengan cara menghindar dan bahkan bersikap menentang
3) Tidak mampu mengekspresikan perasaan dan
prilakunya
Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut jelas
bahwa konsep diri dan prestasi belajar siswa di sekolah mempunyai hubungan yang
erat. Siswa yang berprestasi tinggi cenderung memiliki konsep diri yang berbeda
dengan siswa yang berprestasi rendah. Siswa yang berprestasi rendah akan
memandang diri mereka sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan dan kurang
bias melakukan penyesuaian diri yang kuat dengan siswa lain. Mereka juga
cenderung memandang orang-orang di sekitarnya sebagai lingkungan yang tidak
dapat menerimanya.
Siswa yang memandag dirinya negatif
ini, pada gilirannya akan menganggap keberhasilannya yang di capai bukan
karena kemampuan yang di milikinya,
melainkan lebih mereka kebetulan atau karena faktor keberuntungan saja. Lain
halnya dengan siswa yang memandang dirinya positif, akan menganggap
keberhasilan sebagai hasil kerja keras dank arena faktor kemampuannya.
2. 3 Karakteristik Perkembangan Konsep diri Peserta
Didik SD
Konsep diri bukanlah sesuatu yang di bawa sejak
lahir. Kita tidak dilahirkan dengan konsep diri tertentu. Bahkan ketika kita
lahir, kita tidak memiliki konsep diri., tidak memiliki pengetahuan tentang
diri, serta tidak memiliki penilaian apapun terhadap diri kita sendiri.
Dengan demikian, konsep diri
terbentuk melalui proses belajar yang berlangsung sejak masa pertumbuhan hingga
dewasa. Lingkungan, pengalaman, dan pola asuh orang tua turut memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan konsep diri seseorang. Sikap dan
respon orang tua serta lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk
menilai siapa dirinya. Anak-anak yang tumbuh dan di besarkan dalam pola asuh
yang keliru atau negatif, seperti perilaku orang tua yang suka memukul,
mengabaikan, kurang memberikan kasih sayang, melecehkan, menghina, tidak
berlaku adil dan seterusnya, di tambah dengan lingkungan yang kurang mendukung,
cenderung mempunyai konsep diri yang negatif. Hal ini adalah karena anak
cenderung menilai dirinya berdasarkan apa yang dia alami dan dapatkan dari
lingkungannya. Jika lingkungan memiliki sikap yang baik dan positif, maka anak
akan merasa dirinya berharga, sehingga berkembangan konsep diri yang positif.
Menurut Santrock,
perubahan-perubahan dalam konsep diri anak selama tahun-tahun sekolah dasar
dapat dilihat sekurang-kurangnya dari tiga karakterisik konsep diri, yaitu ; 1)
karakteristik internal, 2) karakterstik aspek-aspek social, dan 3)
karakteristik perbandingan social.
Karakteristik
internal. Berbeda dengan anak-anak prasekolah, anak usia sekolah dasar
lebih memahami dirinya melalui karakteristik internal dari pada melalui
karakteristik eksternal. Anak-anak pada masa pertengahan dan akhir lebih
cenderung mendefinisikan dirinya melalui keadaan-keadaan dalam yang subjektif
daripada melalui keadaan-keadaan luar.
Penelitian F. Abuond dan S. Skerry,
menemukan bahwa anak-anak kelas dua jauh lebih cenderung menyebutkan karakteristik
psikologis ( seperti preferensi atau sifat-sifat kepribadian ) dalam mendefinisikan
diri mereka dan kurang cenderung menyabutkan karakteristik fisik (seperti warna
mata atau pemilikan). Misalnya anakusia
8 tahun mendeskripsikan dirinya sebagai: “Aku seorang anak yang pintar
dan terkenal.” Anak usia 10 tahun berkaa entang dirinya : “Aku cukup lumayan
tidak khawtir terus-menerus, Aku biasanya suka marah, tetapi sekarang aku sudah
lebih baik.”
Karakteristik
aspek-aspek sosial. Selama tahun-tahun sekolah dasar, aspek-aspek sosial
dari pemahaman dirinya juga meningkat. Dalam suatu investigasi, anak-anak
sekolah dasar sering kali menjadikan kelompok-kelompok sosial sebagai acuan
dalam deskripsi diri mereka. Misalnya, sejumlah anak mengacu diri mereka
sendiri sebagai pramuka perempuan, sebagai seorang Katholik atau sebagai
seorang yang memiliki dua sahabat karib.
Karakteristik perbandingan sosial.
Pemahaman diri anak-anak usia sekolah dasar juga mengacu pada perbandingan
sosial ( social comparison ). Pada
tahap perkembangan ini, anak-anak cenderung membedakan diri mereka dari orang
lain secara komparatif dari pada secara absolut. Misalnya, anak-anak usia
sekolah dasar tidak lagi berfikir tentang apa yang “aku lakukan “ atau yang
“tidak aku lakukan,” tetapi cenderung berfikir tentang “apa yang dapat aku
lakukan” dibandingkan dengan “apa yang dapat dilakukan oleh orang lain.”
Pergeseran perkembangan ini menyebabkan suatu kecenderungan yang meningkat
untuk membentuk perbedaan-perbedaan seseorang dari oang lain sebagai seorang
individu.
Sejumlah shli psikologi
perkembangan percaya bahwa dalam perkembangan pemahaman diri, pengambilan
prespektif (perspective taking)- kemampuan untuk mengambil prespektif orang
lain dan memahami pemikiran perasaan-perasaannyamemainkan peranan yang penting.
Robert Selman (dalam santrock, 1995)
misalnya percaya bahwa pengambilan prespektif melibatkan suatu rangkaian yang
terdiri atas lima tahap, yang berlangsung dari usia 3 tahun hingga masa remaja (lihat
tabel 2.1). Selman mencatat bahwa egosentrisme mulai mengalami kemunduran pada
usia 4 tahun, mereka mulai mampu untuk mempertimbangkan pandangannya sendiri
dan pandanga orang lain secara bersamaan. Akan tetetapi, sejumlah penelitian
tidak setuju dengan dengan tingkatan–tingkatan usia Selman yang mengaitkan
peruahan-perubahan dalam kemampuan pengambilan peran.
TABEL 2.1 tahap-tahap pengambilan prespektif
Tahap pengambilan perspektif
|
Usia
(tahun)
|
Deskripsi
|
Perspektif
yang egosentris
|
3
– 6
|
Anak
merasakan adanya perbedaan dengan orang lain, tetapi belum mampu membedakan
antara perspektif sosial (pemikiran, perasaan )orang lain dan perspektif diri
sendiri. Anak dapat menyabutkan perasaan orang lain, tetapi tidak melihat
hubungan sebab dan akibat pemikiran dan tindakan sosial.
|
Pengambilan
perspektif sosial internasional
|
6
– 8
|
Anak
sadar bahwa orang lain memiliki suatu perspektif sosial yang didasarkan atas
pemikiran orang itu, yang mungkin sama atau berbeda dengan pemikirannya.
Tetapi anak cenderung berfokus pada perspektifnya sendiri dan bukan
mengkoordinasikan sudut pandang.
|
Pengambilan
keputusan diri reflektif
|
8
-10
|
Anak
sadar bahwa setiap orang sadar akan perspektif orang lain dan bahwa kesadaran
ini memengaruhi pandangan dirinya dan pandangan orang lain. Menempatkan diri
sendiri di tempat orang lain merupakan suatu cara untuk menilai maksud, tujuan,
dan tindakan orang lain. Anak dapat membentuk suatu mata rantai perspektif
yang terkoordinasi, etapi tidak dapat mengabstraksikan proses-proses ini pada
tingkat timbal balik secara serentak.
|
Saling
mengambil perspektif
|
10
-12
|
Anak
remaja menyadari bahwa baik diri sendiri maupun orang lain dapat memandang
satu sama lain secara timbal balik dan secara serentak sebaga subjek. Anak
remaja dapat melangkah keluar dari kedua orang itu dan memandang interaksi dari perspektif
orang ketiga.
|
Pengambilan
perspektif sistem sosial dan konvensional
|
12
– 15
|
Anak
remaja menyadari pengambilan perspektif bersama tidak selalu menghasilkan
pemahaman yang sempurna. Konvensi sosial dilihat sebagai sesuatu yang penting
karena dipahami oleh semua anggota kelompok, tanpa memandang posisi, peran,
atau pengalaman mereka.
|
(sumber: psikologi perkembangan peserta
didik, 2011- desmita )
Menurut sejumlah ahli lain,
anak-anak usia 6 tahun mampu memahami perspektif orang lain. Pnelitian lain
mencatat bahwa seseorang berusia sama belum bias diasosiasikan dengan
masing-masing tingkat, sebab kemampuan anak dalam pengambilan peran mungkin
berfluktuasi dari suatu waktu ke waktu lain. Beberapa anak dapat memahami
perspektif orang lain pad satu peristiwa, tetapimungkin gagal mempertahankan
perspektif tersebut dalam angka waktu yang lama.demikin juga, anak yang
memahami perspektif orang-orang yang familiar, mungkin kurag mampu dalam
memahami orang atau situasi yang tidak familiar.
Sebagaimana telah di jelaskan sebelumnya bahwa
konsep diri merupakan salah satu aspek penting dalam perkembangan psikososial
peserta didik. Konsep diri mempengaruhi perilaku peserta didik dan mempunyai
hubungan yang sangat menentukan proses pendidikan dan prestasi belajar mereka.
Peserta didik yang mengalami permasalahan di sekolah pada umumnya menunjukkan
tingkat konsep diri yang rendah. Oleh sebab itu dalam rangka meningkatkan
kualitas pendidikan di sekolah, guru perlu melakukan upaya-upaya yang
memungkinkan terjadinya peningkatan konsep diri peserta didik. Berikut ini akan
di uraikan beberapa strategi yang mungkin dapat di lakukan guru dalam
mengembangkan dan meningkatkan konsep diri peserta didik.
1. Membuat siswa merasa mendapat dukungan
dari guru
Dalam pengembangan konsep diri yang positif, siswa
perlu mendapat dukungan dari guru. Dukungan guru ini dapat di tunjukkan dalam
bentuk dukungan emosional (emotional
support), seperti ungkapan empati, kepedulian, perhatian, dan umpan balik,
dan dapat pula berupa dukungan penghargaan (esteem
support), seperti melalui ungkapan hormat (penghargaan) positif terhadap
siswa, dorongan untuk maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan siswa
dan perbandingan positif antara satu siswa dengan siswa lain. Bentuk dukungan
ini memungkinkan siswa untuk membangun perasaan memiliki harga diri, memiliki
kemampuan atau kompeten dan berarti.
2. Membuat siswa merasa bertaggung jawab
Memberi kesempatan kepada siswa untuk membuat
keputusan sendiri atas perilakunya dapat di artikan sebagai upaya guru untuk
memberi tanggung jawab kepada siswa. Tanggung jawab ini akan merahkan sikap
positif siswa terhadap diri sendiri, yang diwujudkan dengan usaha pencapaian
prestasi belajar yang tinggi sera peningkatan integritas dalam menghadapi
tekanan sosial. Hal ini menunjukkan pula adanya penghargaan guru terhadap
perilaku siswa, sehingga siswa merasa dirinya mempunyai peranan dan di ikut
sertakan dalam kegiatan pendidikan.
3. Membuat siswa merasa mampu
Ini dapat di lakukan dengan cara menunjukkan sikap
dan pandangan yang positif terhadap kemampuan yang di miliki siswa. Guru harus
berpandangan bahwa semua siswa pada dasarnya memiliki kemampuan, hanya saja
mungkin belum dikembangkan. Dengan sikap dan pandangan positif terhadap
kemampuan siswa ini, maka siswa juga akan berpandangan positif terhadap
kemampuan dirinya.
4. Mengarahkan siswa untuk mencapai tujuan
yang realistis
Dalam upaya meningkatkan konsep diri siswa, guru
harus membentuk siswa untuk menetapkan tujuan yang hendak dicapai serealistis
mungkin, yakni tujuan yang sesuai dengan kemampuan yang di milikinya. Penetapan
tujuan yang realistis ini dapat di lakukan dengan mengacu pada pencapain
prestasi di masa lampau. Dengan bersandar pada keberhasilan masa lampau, maka
pencapain prestasi sudah dapat di ramalkan, sehingga siswa akan terbantu untuk
bersikap positif terhadap kemampuan dirinya sendiri.
5. Membantu siswa menilai diri mereka
secara realistis
Pada saat mengalami kegagalan, adakalanya siswa
menilainya secara negative, dengan memandang dirinya sebagai orang yang tidak
mampu. Untuk menghindari penilaian yang negative dari siswa tersebut, guru
perlu membantu siswa menilai prestasi mereka secar realistis, yang membantu
rasa percaya akan kemampuan mereka dalam menghadapi tugas-tugas sekolah dan
meningkatkan prestasi belajar di kemudian hari. Salah satu cara membantu siswa
menilai diri mereka secar realistis adalah dengan membandingkan prestasi siswa
pada masa lampau dan prestasi siswa saat ini. Hal ini pada gilirannya dapat
membangkitkan motifasi, minat, dan sikap siswa terhadap seluruh tugas di
sekolah.
6. Mendorong siswa agar bangga dengan
dirinya secara realistis
Upaya
lain yang harus di lakukan guru dalam membantu mengembangkan konsep diri
peserta didik adalah dengan memberikan dorongan kepada siswa agar bangga dengan
prestasi yang telah di capainya. Ini adalah penting, karena perasaan bangga
atas prestasi yang di capai merupakan salah satu kunci utuk menjadi lebih
positif dalam memandang kemampuan yang di miliki.
Seperti halnya dengan masa awal anak-anak,
berinteraksi dengan teman sebaya merupakan aktivitas yang banyak menyita waktu
anak selama masa pertengahan dan akhir anak-anak. Barker dan Wright (dalam
Santrock, 1995) mencatat bahwa anak-anak usia 2 tahun menghabiskan 10% dari
waktu siangnya untuk berinteraksi dengan teman sebaya. Pada usia 4 tahun, waktu
yang dihabiskan untuk berinteraksi dengan teman sebaya meningkat menjadi 20%.
Sedangkan anak usia 7 hingga 11 tahun meluangkan lebih dari 40% waktunya untuk
berinteraksi dengan teman sebayanya.
Karakteristik lain dari pola hubungan anak usia
sekolah dengan teman sebayanya adalah munculnya keinginan untuk menjalin
hubungan pertemanan yang lebih akrab atau dalam kajian psikologi dusebut dengan
istilah friendship (persahabatan).
Persahabatan lebih dari sekedar teman biasa. Menurut McDevitt dan Ormord
(2002), Setidaknya terdapat tiga kualitas yang membedakan persahabatan dengan
bentuk hubungan teman sebaya lainnya, yaitu:
1. They are voluntary relationship
(adanya hubungan yang dibangun atas dasar sukarela).
2. They are powered by shared routines and
customs (hubungan persahabatan dibangun atas
dasar kesamaan kebiasaan).
3. They are reciprocal relationships
(persahabatan dibangun atas dasar hubungan timbal balik).
Menurut Santock (1998), karakteristik yang paling
umum dari persahabatan adalah keakraban (intimacy) dan kesamaan (similarity).
Intimacy dapat diartikan sebagai penyingkapan diri dan berbagai pemikiran
pribadi. Keakraban ini menjadi dasar bagi relasi anak dengan sahabat. Karena
kedekatan ini, anak mau menghabiskan waktunya dengan sahabat dan
mengekspresikan efek yang lebih positif terhadap sahabat dibandingkan dengan
bukan sahabat (Harimb, 1989) dan bersedia mengungkapkan dirinya secara terbuka
(Bernt & Perry, 1990). Anak juga lebih bersedia berbagi dengan sahabat
meskipun terkadang terjadi persaingan,
sehingga menurunkan kesediaan mereka untuk berbagi dengan sahabat
Meskipun demikian, persahabatan memainkan peran
penting dalam psikososial anak (Rubin, 1980) diantaranya adalah:
1. Sahabat memberi kesempatan kepada anak
untuk mempelajari keterempilan-keterampilan tertentu. Sahabat mengajarkan pada
anak mengenai bagaimana berkomunikasi satu sama lain, sehingga anak memperoleh
pengalaman belajar mengenali kebutuhan dan minat orang lain, serta bagaimana
bekerjasama dan mengelola konflik dengan baik.
2. Persahabatan memungkinkan anak untuk
membandingkan dirinya dengan individu lain, karena biasanya anak menilai
dirinya berdasarkan perbandingan dengan anak lain.
3. Persahabatan mendorong munculnya rasa
memiliki terhadap kelompok. Pada usia 10-11 tahun, kelompok menjadi lebih
penting. Anak menemukan sebuah organisasi sosial yang tidak hanya terdiri atas
sekumpulan individu saja, tetapi juga mencakup adanya peran-peran,partisipasi
kolektif dan dukungan dari kelompok untuk melakukan aktivitas-aktivitas kelompok.
Bersahabat dengan teman sebaya merupakan salah satu
fenomena interaksi sosial yang penting bagi anak usia sekolah. Anak-anak usia 8
tahun, biasanya telah memiliki beberapa teman dari sejumlah kegiatan yang
berbeda. Ada teman naik sepedah, teman yang suka menemani ketika istirahat
sekolah,teman di tempat les dll. Pada umumnya hubungan pertemanan ini masih
bersifat sedarhana. Oleh karena itu, tak jarang persahabatan datang dan pergi
dalam waktu beberapa bulan saja.Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, anak
usia 10 tahun mulai lebih memperhatikan kualitas hubungan persahabatannya.
Mereka sudah lebih terampil bersosialisasi dan sudah dapat menghargai nilai
kedekatan serta ketergantungan satu sama lain. Hal ini terjadi karena pada usia
ini emosi anak sudah mulai cukup matang untuk berempati sehingga mereka juga
mulai mencoba untuk berbagai rasa dan pikiran dengan teman-teman tertentu.
Dibandingkan dengan usia sebelumnya, kualitas persahabatan pada usia ini lebih
kompleks dan berlangsung lebih lama.
Interaksi teman sebaya oleh kebanyakan anak pada
periode akhir ini terjadi dalam group atau kelompok, sehingga periode ini
sering disebut “ usia kelompok “. Pada masa ini, anak tidak lagi puas bermain
sendirian dirumah atau melakukan kegiatan-kegiatan dengan angota keluarganya.
Karena anak juga memiliki keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota
kelompok serta merasa tidak puas bila tidak bersama teman-temannya.
Dalam
menentukan sebuah kelompok, anak usia sekolah dasar lebih menekankan pentingnya
aktivitas bersama-sama seperti berbicara, bermain , berkeluyuran, berjalan
kesekolah, berbicara melalui telepon, mendengarkan musik dan bergurau. Tinggal
dilingkungan yang sama, bersekolah disekolah yang sama,dan berpartisipasi dalam
organisasi masyarakat yang sama.ini merupakan dasar bagi terbentuknya kelompok
teman sebaya. Rubin dan Krasnor(1980)mencatat adanya perubahan sifat dari
kelompok teman sebaya pada masa pertengahan anak-anak. Ketika anak berusia 6 hingga
7 tahun, kelompok teman sebaya tidak lebih dari kelompok bermain. Mereka
memiliki sedikit peraturan dan juga tidak terstruktur dalam menjalankan peran dan kemudahan berinteraksi di antara
anggota-anggotanya. Kelompok tersebut, terbentuk secara spontan. Ketika anak
berusia 9 tahun, kelompok-kelompok menjadi semakin formal. Sekarang anak-anak
berkumpul menurut minat yang sama dan
merencanakan perlombaan-perlombaan. Mereka membentuk klub atau perkumpulan
dengan aturan-aturan tertentu. Kelompok-kelompok ini mempunyai keanggotaan
inti,masing-masing anggota harus berpartisipasi dalam aktivitas kelompok dan
yang bukan termasuk anggota maka akan dikeluarkan dari kelompok.
Pada masa pertengahan dan akhir anak-anak,anak mulai
mengembangkan suatu penilaian terhadap orang lain dengan berbagai cara. Hal ini
terlihat pada anak-anak kelas dua atau kelas tiga yang memiliki stereotip
budaya tentang tubuh. Dalam hal ini,mereka misalnya menilai bahwa anak laki-laki yang tegap (berotot) lebih
disenangi dari pada anak laki-laki yang gemuk atau kurus. Kemudian, pemilihan
teman dari anak-anak ini terus meningkat dengan lebih mendasarkan pada kualitas
pribadi,seperti kejujuran,kebaikan hati, humoris dan kreativitas.
Para ahli psikologi perkembangan telah lama
mempelajari petentang pembentukan kelompok teman sebaya dan status dalam
kelompok untuk mengetahui anak-anak yang cenderung menjadi populer. Para
peneliti juga telah melakukan penelitian untuk menentukan mana anak yang sering
menyendiri dan mana anak yang supel terhadap temannya. Dalam penelitian ini,
mereka telah menggunakan suatu teknik yang disebut sosiometri (Hallinan,1981)
yaitu suatu teknik penelitian yang digunakan untuk menentukan status dan
penerimaan sosial anak diantara teman sebayanya. Dalam hal ini, mereka secara
khas menanyakan kepada anak-anak yang tergabung dalam organisasi
tersebut,tentang mana anak yang pantas dikelompokkan sebagai “teman baik” atau
yang paling disukai teman dan mana anak yang kurang disukai oleh temannya. Atas
dasar jawaban-jawaban tersebut, para peneliti menyusun sebuah sosiogram, yaitu
suatu diagram yang menggambarkan interaksi anggota suatu kelompok atau
bagaimana perasaan masing-masing anak terhadap anak-anak lain dalam suatu
kelompok. Sosiogram ini menentukan mana anak yang diterima oleh temannya dan
mana yang kurang diterima oleh anak lain. Berdasarkan informasi ini, para
peneliti membagi anak-anak menjadi dua bagian, yaitu anak-anak yang populer
(popular) dan anak-anak yang tidak populer (unpopular).
Anak yang populer. Popularitas seorang anak
ditentukan olehkualitas pribadi yang dimilikinya. Hartup (1983) mencatat,bahwa
anak yang populer adalah anak yang ramah, suka bergaul, bersahabat, sangat peka
terhadap lingkungan sosial dan yang mudah bekerjasama dengan orang lain. Asher
et. al. 1982 (dalam Seifert & Huffnung,1994) juga mencatat bahwa anak-anak
yang populer adalah anak-anak yang dapat menjalin interaksi sosial dengan
mudah, dapat memahami situasi sosial,
memiliki keterampilan yang tinggi dalam berinteraksi dan cenderung bertindak
dengan cara-cara yang kooperatif serta selaras dengan norma-norma kelompok.
Popularitas juga dihubungkan dengan IQ dan prestasi akademik. Anak-anak lebih
menyukai anak yang memiliki prestasi sedang, mereka lebih sering menjauh dari
anak yang cerdas dan yang sangat rajin di sekolah, demikian juga halnya dengan
mereka yang pemalas secara akademis (Zigler & Stevenson, 1993)
Anak yang tidak populer. Dapat dibedakan atas dua
tipe,yaitu:anak-anak yang ditolak (neglected children) . Anak yang diabaikan
adalah anak yang menerima sedikit perhatian dari teman sebaya mereka, tetapi
bukan berarti mereka tidak disenangi oleh teman sebayanya. Anak yang ditolak
adalah anak yang tidak disukai oleh teman sebayanya. Karena mereka cenderung
bersifat mengganggu, egois dan hanya mempunyai sedikit sifat positif. Dan
kira-kira 10 hingga 20 % Anak yang ditolak
adalah anak yang pemalu.
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
konsep diri adalah gagasan tentang
diri sendiri yang mencakup keyakinan,pandangan dan penilaian seseorang terhadap
dirinya sendiri.Konsep diri terdiri atas bagaimana cara kita melihat diri
sendiri sebagai pribadi, bagaimana kita merasa tentang diri sendiri, dan bagaimana
kita menginginkan diri sendiri menjadi manusia sebagaimana yang kita harapkan.
bahwa konsep diri dan prestasi
belajar siswa di sekolah mempunyai hubungan yang erat. Siswa yang berprestasi
tinggi cenderung memiliki konsep diri yang berbeda dengan siswa yang
berprestasi rendah. Siswa yang berprestasi rendah akan memandang diri mereka
sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan dan kurang bias melakukan
penyesuaian diri yang kuat dengan siswa lain. Mereka juga cenderung memandang
orang-orang di sekitarnya sebagai lingkungan yang tidak dapat menerimanya.
perubahan-perubahan dalam konsep
diri anak selama tahun-tahun sekolah dasar dapat dilihat sekurang-kurangnya
dari tiga karakterisik konsep diri, yaitu ; 1) karakteristik internal, 2)
karakterstik aspek-aspek social, dan 3) karakteristik perbandingan social.
Karakteristik lain dari pola
hubungan anak usia sekolah dengan teman sebayanya adalah munculnya keinginan
untuk menjalin hubungan pertemanan yang lebih akrab atau dalam kajian psikologi
dusebut dengan istilah friendship (persahabatan).
Persahabatan lebih dari sekedar teman biasa.
Dalam menentukan sebuah kelompok,
anak usia sekolah dasar lebih menekankan pentingnya aktivitas bersama-sama
seperti berbicara, bermain , berkeluyuran, berjalan kesekolah, berbicara melalui
telepon, mendengarkan musik dan bergurau. Tinggal dilingkungan yang sama,
bersekolah disekolah yang sama,dan berpartisipasi dalam organisasi masyarakat
yang sama.ini merupakan dasar bagi terbentuknya kelompok teman sebaya.
-
Desmita,M.Si.
2011. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung : Remaja Rosda Karya.
-
Yusuf
Syamsu,L.N & Sugandhi Nani,M. 2011. Perkembangan
Peserta Didik.. Jakarta : RajaGrafindo Persada
-
Mar’at
Samsunuwiyati,S.Psi. 2010. Psikologi
Perkembangan. Bandung : Remaja Rosda Karya
No comments:
Post a Comment