BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
era global seperti saat ini, pendidikan yang bermutu merupakan suatu keharusan.
Oleh karena itu, upaya peningkatan mutu pendidikan merupakan hal yang tidak
dapat ditawar-tawar lagi. Berkaitan dengan penjaminan mutu, pasal 2, ayat (2),
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, menyatakan
bahwa penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan yang sesuai dengan Standar
Nasional Pendidikan perlu dilakukan dalam tiga program terintegrasi yaitu
evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi. Ketiga program tersebut merupakan bentuk
penjaminan mutu pendidikan yang bertujuan untuk melindungi masyarakat agar
dapat memperoleh layanan dan hasil pendidikan yang sesuai dengan yang
dijanjikan oleh penyelenggara pendidikan.[1]
Peningkatan
mutu pendidikan tidak terlepas dari implementasi sistem penjaminan mutu (Quality
Assurance). Penjaminan mutu suatu produk atau layanan perlu dilakukan
karena mutu dari sebagian produk yang dihasilkan atau layanan yang diberikan
sangat mungkin menghadapi resiko tidak sesuai (lebih rendah) dari standar
minimal yang dipersyaratkan. Dalam bidang pendidikan, logika inipun juga dapat
berlaku, di mana dari sebagian lulusan (output) yang dihasilkan atau layanan
yang diberikan oleh suatu institusi pendidikan, kualitasnya mungkin lebih
rendah dari standar minimal yang telah dipersyaratkan. Pengelolaan mutu dalam
bentuk penjaminan mutu akan memberikan jaminan kepada pelanggan bahwa semua
aspek yang terkait dengan layanan pendidikan yang diberikan oleh institusi
pendidikan tersebut dapat memenuhi standar mutu tertentu, sehingga output yang dihasilkan
oleh lembaga atau satuan pendidikan tersebut sesuai dengan yang dijanjikan.
Upaya penjaminan mutu ini dapat dilakukan dengan menerapkan benchmarking
dengan menggunakan suatu kriteria.[2]
Benchmarking
ini dilakukan dengan mengambil perbandingan internasional dalam hal kualitas
output. Selain itu, untuk melakukan eksplanasi terhadap capaian output suatu
satuan pendidikan perlu dilakukan pemantauan/pemetaan sekolah dalam pemenuhan
standar nasional pendidikan, yang mencakup: standar isi, standar proses,
standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar
sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar
penilaian pendidikan.[3]
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Konsep Benchmarking
dalam Pendidikan Agama Islam?
2. Bagaimana Proses dan Langkah-langkah Bencnhmarking
Pendidikan Agama Islam?
3. Bagaimana Hambatan-hambatan Kesuksesan Benchmarking
Pendidikan Agama Islam?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Konsep Benchmarking
dalam Pendidikan Agama Islam
2. Untuk Mengetahui Proses dan
Langkah-langkah Bencnhmarking Pendidikan Agama Islam
3. Untuk Mengetahui Hambatan-hambatan
Kesuksesan Benchmarking Pendidikan Agama Islam
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Konsep Benchmarking Dalam Mutu
Pendidikan
Mutu
mengandung makna keunggulan suatu produk baik berupa hasil kerja atau upaya,
berupa barang ataupun jasa. Mutu juga dapat dimaknai sebagai sejumlah akibat
dari keunggulan proses, produk atau layanan dalam mencapai kinerja, atau dapat
pula dikatakan dengan persepsi pelanggan terhadap kinerja.[4]
Pada
bidang pendidikan, banyak faktor yang menentukan mutu pendidikan. Dalam
pendekatan fungsi produksi, mutu pendidikan ditentukan oleh faktor input dan
faktor proses. Faktor input diantaranya adalah: siswa, kurikulum, bahan ajar,
metode/strategi pembelajaran, sarana pembelajaran di sekolah, dukungan
administrasi dan prasarana sekolah. Faktor proses diantaranya adalah penciptaan
suasana yang kondusif, koordinasi proses pembelajaran, dan juga interaksi antar
unsur-unsur di sekolah, baik guru dengan guru, siswa dengan siswa, maupun guru
dan staf administrasi sekolah, dalam konteks akademis maupun nonakademis,
kurikuler maupun non kurikuler. Konteks mutu dapat pula dilihat dari prestasi
yang dicapai sekolah pada tiap kurun waktu tertentu. Prestasi ini dapat dilihat
dari student achievement atau prestasi di bidang lain, seperti olahraga,
kesenian, dan keterampilan. Selain itu, indikator lain yang dapat digunakan
sebagai ukuran mutu sekolah adalah kedisiplinan, tanggungjawab, saling
menghormati, dan kenyamanan sekolah. Di Indonesia, prestasi akademik umumnya
dijadikan salah satu indikator mutu sekolah yang paling dominan.[5]
Bridge,
Judd, dan Mocck menyatakan bahwa hasil
pendidikan merupakan fungsi produksi dari sistem pendidikan. Mutu sekolah
merupakan fungsi dari dari proses pembelajaran yang efektif, kepemimpinan,
peran serta guru, peran serta siswa, manajemen, organisasi, lingkungan fisik
dan sumberdaya, kepuasan pelanggan sekolah, dukungan input dan fasilitas, dan
budaya sekolah. Optimalisasi dari masing-masing komponen ini menentukan mutu
sekolah sebagai satuan penyelenggara pendidikan.[6]
Upaya
peningkatan kualitas PBM tersebut dilakukan melalui peningkatan kualifikasi
guru, pengadaan buku ajar, reorientasi kurikulum dan peningkatan sarana serta
prasarana pendukung. Namun demikian, keberhasilan dari berbagai upaya
peningkatan mutu tersebut belum menggembirakan, karena berbagai indikator mutu
pendidikan belum menunjukkan adanya peningkatan yang berarti. Upaya peningkatan
mutu pendidikan tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan manajemen mutu
pendidikan. Dalam manajemen mutu, semua fungsi manajemen yang dijalankan oleh
para manajer pendidikan di sekolah (kepala sekolah) diarahkan untuk dapat
memberikan kepuasan kepada para pelanggannya (Customer), terutama kepada
pelanggan eksternal, seperti: siswa, orangtua atau masyarakat pemakai lulusan.
Penjaminan
mutu (Quality Assurance) adalah upaya pengelolaan mutu yang dilakukan
oleh pihak internal sekolah, dalam rangka untuk memberikan jaminan bahwa semua
aspek yang terkait dengan layanan pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga
atau satuan pendidikan tertentu dapat mencapai suatu standar mutu tertentu.
Definisi lain, menyatakan bahwa penjaminan mutu (Quality Assurance, QA)
adalah proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan secara konsisten
dan berkelanjutan, sehingga konsumen, produsen, dan pihak lain yang
berkepentingan memperoleh kepuasan.[7]
Sedangkan pelaksanaan penjaminan mutu sekolah terutama harus dilakukan oleh pihak
internal sekolah yang bersangkutan sebagai bagian dari proses manajemen mutu.
Perbaikan mutu pendidikan diantaranya juga dapat dilakukan dengan menerapkan benchmarking
dengan menggunakan suatu kriteria.
B. Pemikiran Pentingnya Melakukan Benchmarking
dalam Pendidikan
Dorongan untuk melakukan Benchmarking
ditentukan oleh faktor pemenuhan kepuasan pelanggan yang sifatnya dinamis serta
dapat meningkatkan daya saing dalam menghadap liberalisasi dan globalisasi
pendidikan.[8]
Dorongan
untuk melakukan benchmarking banyak ditentukan oleh faktor kepuasan
pelanggan. Adanya pemasok yang semakin kompetitif telah membuat pelanggan
mengetahui dan meminta standar produk dan pelayanan yang berbeda dan lebih
baik. Kepuasan pelanggan pun semakin lama semakin sulit dipenuhi oleh adanya
keinginan dan kebutuhan yang secara naluriah makin meningkat, sehingga upaya
memuaskan pelanggan pun bukan melulu sekedar memuaskan tetapi telah menjadi
suatu upaya yang kompleks. Setiap lembaga dituntut untuk dapat memberikan yang
terbaik kepada pelanggannya. Salah satu dasar pemikiran perlunya benchmarking
adalah bahwa tidak ada gunanya pengasingan diri di dalam suatu laboratorium
khusus untuk berusaha menemukan proses baru yang dapat meningkatkan kualitas
atau mengurangi biaya, apabila proses itu sendiri sudah ada.[9]
Dalam
firman Allah dijelaskan bahwa:
Seseorang dituntut untuk selalu melakukan patok uji mutu
terhadap sebuah produk/lembaga orang lain yang lebih baik. Sama halnya dalam
hal kita beribadah kita boleh melakukan benchmarking kebaikan yang kita
lakukan dengan kebaikan amaliah orang lain yang bertujuan untuk fastabiqul
Khoirot (berkompetisi dalam kebaikan). Sesuai dengan firman Allah:
(#qà)Î7tFó$$sù… ÏNºuöyø9$# 4 tûøïr& $tB (#qçRqä3s? ÏNù't ãNä3Î/ ª!$# $·èÏJy_ 4 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ÖÏs% ÇÊÍÑÈ
Artinya: “dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya
(sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat)
kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian
(pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS.
Al-Baqarah: 148)
C. Pengertian Benchmarking dalam
Pendidikan Agama Islam
Pada
awalnya, benchmarking hanya dikenal di dunia bisnis. Namun, saat ini benchmarking
telah diadopsi oleh berbagai lembaga pendidikan di luar negeri, sebagai upaya
untuk meningkatkan mutu pendidikan. Definisi benchmarking baik di bidang
bisnis maupun pendidikan pada hakikatnya adalah sama. Definisi benchmarking
dalam bidang bisnis adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Watson, yang
menyatakan bahwa benchmarking merupakan kegiatan pencarian secara
berkesinambungan dan penerapan secara nyata praktik-praktik yang lebih baik
yang mengarah pada kinerja kompetitif unggul.[10]
Sementara
itu, definisi benchmarking dalam dunia pendidikan adalah sebagai berikut:
Ensiklopedi
Wikipedia mendefinisikannya dengan “the process of comparing the cost, cycle
time, productivity, or quality of a specific process or method to another that
is widely considered to be an industry standard or best practice”.[11]
Benchmarking
is an activity where organizations continuously engage in self-study and
compare themselves with the leaders in their fild so they can identify, adapt,
and apply significantly better practices.[12]
Definisi
kedua, menyatakan bahwa benchmarking involves first examining understanding
your own internal work procedures, then searching for best practices in other
organizations that match those you identified, and finally, adapting those
practices within your organization to improve performance. It is a systematic
way of learning from others and changing what you do.[13]
Benchmarking
adalah suatu kegiatan untuk menetapkan
standard dan target yang akan dicapai dalam suatu periode tertentu. Benchmarking
dapat diaplikasikan untuk individu, kelompok, organisasi ataupun lembaga.
Ada sebagian orang menjelaskan benchmarking sebagai uji standar mutu.
Maksudnya adalah menguji atau membandingkan standar mutu yang telah ditetapkan
terhadap standar mutu pihak lain, sehingga juga muncul istilah rujuk mutu.
Secara umum benchmarking digunakan untuk mengatur dan meningkatkan
kualitas pendidikan dan standar akademik.[14]
Goetsch
dan Davis mendefinisikannya sebagai proses pembanding dan pengukuran operasi
atau proses internal organisasi terhadap mereka yang terbaik dalam kelasnya,
baik dari dalam maupun dari luar institusi.[15]
Berbagai
pengertian diatas jika dicermati memiliki banyak persamaan, yakni bahwa tujuan
utama benchmarking adalah untuk menemukan kunci atau rahasia sukses dan
kemudian mengadaptasi dan memperbaikinya agar dapat diterapkan pada institusi yang
melaksanakan patok duga tersebut. Benchmarking merupakan proses belajar
yang berlangsung secara sistematis, terus menerus, dan terbuka. Berbeda dengan
penjiplakan (copywriting) yang dilakukan secara diam-diam, kegiatan
patokduga merupakan tindakan legal dan tidak melanggar hukum. Dalam dunia
bisnis modern meniru dianggap sah asal tidak dilakukan secara langsung dan
mentah-mentah. Benchmarking memang dapat diartikan sebagai meniru dari paling
hebat untuk membuatnya sebagai referensi.[16]
Kegiatan ini dilandasi oleh kerjasama antar dua buah institusi untuk saling
menukar informasi dan pengalaman yang sama-sama dibutuhkan.
Berdasarkan
beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa benchmarking
dalam Pendidikan Agama Islam adalah suatu aktivitas dimana suatu Institusi
Pendidikan Agama Islam mengadakan evaluasi diri secara kontinu, dengan
membandingkan dirinya dengan institusi lain yang terbaik, sehingga institusi
tersebut dapat mengidentifikasi, mengadopsi dan mengaplikasikan
praktik-praktik yang lebih baik secara signifikan. Dengan kata lain,
praktik-praktik yang telah dilakukan oleh lembaga terbaik tersebut
digunakan sebagai patokan (benchmark atau patok duga) atau
standar kinerja normatif oleh institusi Islam yang ingin memperbaikinya.
Ki
Hadjar Dewantara beberapa puluh tahun lalu, diinisiasi telah mengemukakan
konsep Benchmarking dalam bentuk sederhana. Konsep yang diajukan dengan
bahasa Jawa itu, adalah 3N, yaitu Niteni: memperhatikan dengan seksama, Niru:
mencontoh atau memanfaatkan, dan Nambahi: mengadaptasi, memperbaiki atau
menyempurnakan. Ungkapan tersebut menegaskan bahwa benchmarking tidak
hanya sekadar memindahkan sistem dari satu institusi ke institusi lain, tetapi
diperlukan upaya kreatif dan inovatif sesuai dengan kondisi, budaya, dan kemampuan.
Sementara itu, institusi yang dijadikan acuan/pembanding akan terdorong untuk
melakukan perbaikan pengelolaan dan meningkatkan standar mutu.[17]
D. Jenis-jenis Benchmarking
Pendidikan Agama Islam
Dalam
rangka peningkatan mutu secara berkelanjutan, suatu institusi perlu menetapkan
standar baru yang lebih tinggi. Untuk itu, perlu dilakukan benchmarking
sebagai inspirasi atau cita-cita. Ada dua jenis benchmarking, yaitu benchmarking
internal dan benchmarking eksternal.[18]
Benchmarking
Internal upaya pembandingan standar antar jurusan/fakultas/unit institusi. Internal
benchmarking bisa dilakukan antar program studi dalam satu sekolah tinggi
atau anatar unit kerja/jurusan/prodi dalam satu sekolah tinggi itu sendiri.
Benchmarking
eksternal adalah upaya pembandingan
standar internal institusi terhadap standar eksternal institusi lain. External
benchmarking bisa dilakukan terhadap lembaga atau perguruan tinggi lain,
baik yang menyangkut satu program studi tertentu ataupun unit kerja/jurusan
tertentu, baik dalam maupun luar negeri.
Dalam pelaksanaannya/prakteknya, menurut
Hiam dan Schewe , dikenal empat jenis dasar dari benhmarking,
yaitu:[19]
1. Benchmarking
Internal
Pendekatan
dilakukan dengan membandingkan operasi suatu bagian dengan bagian internal
lainnya dalam suatu organisasi, misal
dibandingkan kinerja tiap devisi
di satu institusi pendidikan, dilakukan
antara departemen/divisi dalam satu institusi atau antar institusi dalam satu
group institusi. Dengan demikian Internal
Benchmarking dapat dikatakan sebagai suatu paket upaya perbaikan
terus-menerus untuk mengidentifikasi kinerja terbaik yang ada dalam lingkungan institusi
pendidikan itu sendiri. Sebagai contoh, bila
kinerja di salah satu fakultas setelah diteliti memiliki informasi yang
terbaik, maka sifat-sifat tertentu yang unggul ini kemudian ditularkan kepada
fakultas yang lain atau unit lain yang berada dalam kelompok institusi yang
sama.
2. Benchmarking
Kompetitif
Pendekatan
dilakukan dengan mengadakan perbandingan dengan berbagai pesaing, misalnya
membandingkan output lulusan kepada lulusan yang dihasilkan pesaing dalam
bidang yang sama. Competitive
Benchmarking diterapkan untuk
menciptakan atau meningkatkan daya saing serta mampu memperbaiki posisi output
lulusan yang
kompetitif. Melalui Competitive Benchmarking akan
diperoleh informasi tentang performansi terbaik dari pesaing, dimana informasi
ini dapat dipergunakan oleh sebuah institusi
pendidikan untuk menciptakan output
lulusan yang lebih baik dari yang baik.
3.
Benchmarking
Fungsional
Pendekatan
dengan diadakan perbandingan fungsi atau proses dari institusi lain dari
berbagai institusi yang ada, atau dengan kata lain dilakukan perbandingan
dengan institusi yang lebih luas. Fungsional
Benchmarking dapat melakukan
investigasi pada institusi pendidikan yang unggul dalam institusi
yang tidak sejenis.
4.
Benchmarking
Generik
Patok
duga generik adalah perbandingan pada proses fundamental yang cenderung sama di
setiap institusi. Misalnya memberi pelayanan pelanggan, dan pengembangan
strategi, maka dapat diadakan patok duga meskipun institusi itu berada di
bidang yang berbeda.
E. Tujuan dan Azas Benchmarking Pendidikan
Tujuan
utama benchmarking adalah untuk menemukan kunci atau rahasia sukses dari
sebuah institusi pendidikan yang terbaik dikelasnya, dan kemudian mengadaptasi
serta memperbaikinya untuk diterapkan pada institusi yang melaksanakan benchmarking
tersebut, diberbagai dibidang. Benchmarking tidak sekedar
mengumpulkan data, melainkan yang lebih penting adalah apa rahasia dibalik
pencapaian kinerja yang terlihat dalam data yang diperoleh. Benchmarking membutukan
kesiapan Fisik dan Mental. Secara Fisik karena dibutuhkan kesiapan sumber daya
manusia dan teknologi yang matang untuk melakukan benchmarking secara
akurat. Sedangkan secara Mental adalah bahwa pihak manajemen pendidikan harus
bersiap diri bila setelah dibandingkan dengan pesaing, ternyata mereka
menemukan kesenjangan yang cukup tinggi. [20]
Beberapa
azas dari benchmarking, yaitu:
1.
Benchmarking merupakan
kiat untuk mengetahui tentang bagimana dan mengapa suatu institusi pendidikan
dapat melaksanakan tugas-tugasnya secara lebih baik dibandingkan dengan yang
lainnya.
2.
Fokus dari
kegiatan benchmarking diarahkan pada praktik terbaik dari institusi
lainnya. Benchmarking juga berwujud perbandingan yang terus-menerus dalam
jangka waktu yang panjang tentang praktik dan hasil terbaik dari institusi,
dimanapun institusi itu berada.
3.
Praktik banchmarking
berlangsung secara sistematis dan terpadu dengan praktik manajemen lainnya,
misalnya TQM, corporate reengineering, analisis pesaing, dll
4.
Kegiatan benchmarking
perlu keterlibatan dari semua pihak yang berkepentingan, pemilihan yang
tepat tentang apa yang akan di-benchmarking-kan, pemahaman dari
organisasi itu sendiri, pemilihan mitra yang cocok, dan kemampuan untuk
melaksanakan apa yang ditemukan dalam praktiknya.
F. Manfaat Benchmarking Pendidikan
Agama Islam
Secara umum manfaat yang diperoleh
dari benchmarking dapat dikelompokkan menjadi:[21]
1.
Perubahan Budaya
Memungkinkan Istitusi Pendidikan Islam
untuk menetapkan target kinerja baru yang lebih realisitis berperan meyakinkan
setiap pelanggan akan kredibilitas target. Misal, mempertegas visi misi
institusi pendidikan tersebut.
2.
Perbaikan Kinerja
Membantu Institusi Pendidikan Islam mengetahui
adanya kesenjangan tertentu dalam kinerja untuk memilih proses yang akan
diperbaiki.
3.
Peningkatan Kemampuan Sumber Daya
Manusia
a.
Memberikan dasar pelatihan.
b.
Berbagai pihak menyadari adanya
kesenjangan antara apa yang mereka kerjakan dengan apa yang dikerjakan orang
lain di institusi lain.
c.
Keterlibatan semua pihak dalam
memecahkan permasalahan sehingga SDM mengalami peningkatan kemampuan dan
keterampilan.
G. Proses dan Langkah-langkah Benchmarking
Adapun
proses benchmarking akan meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
1. Evaluasi diri (self-assessment). Self-assessment
sangat penting dalam kegiatan apapun karena dari sinilah akan dapat dirumuskan
suatu tindakan yang dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi atau
memperbaiki keadaan. Self assessment dilakukan dengan mengkaji serta
mendokumentasikan visi dan misi, praktik penyelenggaraan pendidikan untuk mewujudkan
visi dan misi, dan keberhasilan yang telah dapat dicapai oleh sekolah yang
bersangkutan. Sedangkan hal-hal yang perlu dikaji minimal menyangkut Sembilan
komponen evaluasi diri yang telah digariskan oleh Badan Akreditasi Sekolah,
yang meliputi: (a) kurikulum dan pembelajaran, (b) administrasi dan manajemen
sekolah, (c) organisasi kelembagaan sekolah, (d) sarana dan prasarana, (e)
ketenagaan, (f) pembiayaan, (g) peserta didik, (h) peran serta masyarakat, dan
(i) lingkungan dan budaya sekolah.[22]
2. Perbandingan (comparison), yaitu dengan
mengidentifikasi organisasi (sekolah) yang patut dicontoh, serta menentukan
organisasi mana yang akan dijadikan partner dalam melakukan benchmarking.
3. Analisis dan adaptasi, yaitu dengan
melakukan refleksi mengapa organisasi (sekolah) anda memperoleh hasil yang
kurang baik, sementara organisasi (sekolah) lain hasilnya lebih baik.
4. Rencanakan dan implementasikan, yakni
dengan memikirkan secara cermat tindakan apa yang perlu dilakukan,
komunikasikan (sosialisasikan) alternatifalternatif terbaik kepada semua warga
sekolah, galang dukungan, dan lakukan tindakan yang telah dirancang untuk
mencapai perbaikan.
5. Umpan balik dan evaluasi, yaitu dengan
mengamati dan menilai secara cermat apa yang telah dilakukan dan hasil yang
telah dapat dicapai.
Empat cara yang digunakan dalam
melakukan benchmarking, adalah:[23]
1. Riset
in-house
Melakukan
penilaian terhadap informasi dalam perusahaan sendiri maupun informasi yang ada
di masyarakat.
2. Riset
Pihak Ketiga
Ditempuh dengan jalan menggunakan jasa
pihak ketiga dalam pencarian data dan informasi yang sulit didapat. Membiayai kegiatan benchmarking yang
akan dilakukan oleh perusahaan surveyor.
3. Pertukaran
Langsung
Pertukaran
informasi secara langsung dapat dilakukan melalui kuesioner, survei melalui
telepon, dll dengan perusahaan yang dijadikan mitra dalam benchmarking.
4. Kunjungan
Langsung
Melakukan
kunjungan ke lokasi mitra benchmarking untuk saling tukar informasi (cara ini
dianggap yang paling efektif).
Karlof
dan Ostblom sebagaimana dikutip Zulian Yamit, mengemukakan lima langkah yang
arus dilakukan untuk merapkan benchmarking, yaitu: [24]
1. Menentukan apa yang akan di-benchmark,
yaitu berkaitan dengan proses yang apa yang akan dipatok duga dengan mengidentifikasi
kekuatan dan kelemahan. Pada periode tertentu unit penjamin mutu perlu
membentuk Tim yang terdiri dari tim mutu fakultas/jurusan untuk menyelidiki
proses serta mendifinisikan proses yang menjadi target, masukan (input)
dan output-nya.
2. Menentukan institusi pendidikan yang
akan di-benchmark, yaitu unit penjamin mutu dan tim mutu jurusan
menentukan institusi yang dipilih untuk menjadi tujuan benchmark-nya.
Memilih istitusi yang terbaik dan memberi kontribusi besar terhadap perbaikan
dan peningkatan mutu.
3. Mengumpulkan informasi, yaitu data yang
berkaitan dengan apa yang akan dipatok duga. Unit penjamin mutu mengumpulkan
data tentang ukuran dan standar yang telah dipilih terhadap organisasi yang
akan di-benchmark. Pencarian informasi ini bisa dimulai dengan merancang
dan mengirim kuesioner kepada lembaga yang akan di-benchmark, hal ini
merupakan cara mendapatkan data dan informasi sebagai pendahuluan sebelum
nantinya dilakukan kunjungan langsung.
4. Analisis data dan menentukan kesenjangan
proses institusi dengan institusi yang akan dipatok duga. Unit penjamin mutu
kemudian membandingkan data yang diperoleh dari proses yang di-benchmark dengan
data proses yang dimiliki (internal) untuk menentukan adanya kesenjangan
diantara mereka. Tim mengidentifikasi mengapa terjadi kesenjangan (perbedaan)
dan apa saja yang dapat dipelajari dari situasi ini. satu hal yang sangat
penting adalah menghindari sikap penolakan jika memmang ada perbedaan yang
nyata maka kenyataan itu harus diterima dan kemudian disadari bahwa harus ada
hal yang diperbaiki.
5. Implementasi perubahan yang harus
dilakukan dan sekaligus melakukan pemantauan untuk memperbaiki benchmark.
Tim penjamin mutu dapat melibatkan multi disiplin yang akan memecahkan
persoalan dan mengembangkan suatu rencana untuk menetapkan tindakan yang akan
diambil, tahapan waktunya, dan siapa yng bertanggung jawab. Yang terpenting
adalah menjadikan benchmarking sebagai suatu kebiasaan, yang akan
mendorong untuk terus memperbaiki diri. Jika perlu dapat dibentuk suatu
departemen tersendiri yang bertanggung jawab melaksanakan benchmarking secara
terus menerus (berkelanjutan).
Langkah-langkah
penerapan benchmarking ini dapat diterapkan secara produktif dengan
variasi yang dapat disesuaikan dengan tujuan masing-masing institusi. Yang terpenting
adalah menjaga kelangsungan proses benchmarking dengan pelibatan seluruh
komponen perusahan dan dukungan komitmen yang baik. Meskipun prosesnya
sederhana, benchmarking bukan hanya mempelajari unsur- unsur persaingan yang tepat, yang bisa saja diperoleh
dari Konsultan atau sumber lain, tetapi hal yang lebih penting adalah sebuah
institusi akan terbiasa dengan outward looking (melihat kondisi luar)
dengan memfokuskan diri pada pasar dan persaingan.
Kelima
tahap diatas diperinci oleh Goetsch dan Davis menjadi 14 langkah berikut: [25]
1. Komitmen manajemen. Mandat dan komitmen dari pihak manajemen
puncak sangat penting, karena benchmarking akan melakukan perbaikan atau
perubahan yang tidak mudah serta membutuhkan dana dan waktu yang cukup besar.
2. Basis pada proses perusahaan itu sendiri. Sebelum perbaikan
dilakukan, proses dan aspek-aspek yang telah ada harus dipahami karena inilah
yang akan dibandingkan.
3. Identifikasi dan dokumentasi setiap kekuatan dan kelemahan
proses perusahaan. Dalam benchmarking setiap pihak membutuhkan informasi
tentang proses untuk diperbandingkan.
4. Pemilihan proses yang akan di-benchmarking. Yang dapat
dijadikan obyek benchmarking adalah setiap perilaku dan kinerja
perusahaan (antara lain: barang, jasa, proses, operasi, staf, biaya, modal atau
sistem pendukung, dsb) yang dipilih yang benar-benar menjadi kelemahan atau
diinginkan diubah, selainnya dimasukan sebagai program perbaikan
berkesinambungan.
5. Pembentukan tim benchmarking. Sebaiknya tim terdiri
dari unsur pihak yang memahami perbedaan proses yang dimiliki perusahaan dengan
mitra benchmarking, pihak manajemen, dan pihak yang mampu melaksanakan
penelitian.
6. Penelitian terhadap obyek yang terbaik di kelasnya. Mitra benchmarking
tidak hanya berasal dalam satu industri, tetapi bisa berasal dari industri
yang berlainan, yang terbaik di kelasnya dan bersedia menjadi mitra benchmarking.
7. Pemilihan calon mitra benchmarking yang terbaik
dikelasnya. Tim benchmarking harus menentukan mitra yang paling tepat
untuk dipilih dengan mempertimbangkan faktor lokasi calon mitra dan merupakan
pesaing atau bukan.
8. Mencapai kesepakatan dengan mitra benchmarking. Jika
mitra sudah ditentukan, perusahaan akan menghubungi untuk mencari kesepakatan
mengenai aktivitas benchmarking.
9. Pengumpulan data. Setelah ada kesepakatan kedua belah pihak,
tim melakukan pengamatan, pengumpulan data, dan dokumentasi yang berkaitan
dengan proses (kunci sukses) mitra benchmarking, antara lain melalui
wawancara langsung, survei telpon atau surat, dsb.
10. Analisis data dan penentuan gap. Tim melakukan analisis dan
perbandingan data, dengan demikian akan bias diidentifikasi gap atau
kesenjangan yang ada.
11. Perencanaan tindakan untuk mengurangi kesenjangan yang ada
atau bahkan mengunggulinya. Untuk mengimplementasikan proses baru diperlukan
perencanaan, pelatihan, dan memperhatikan bahwa tujuan benchmarking bukan
sekedar meniru melainkan mengunguli kinerja proses benchmarking tersebut.
12. Implementasi perubahan. Dengan diterapkan prosedur baru, pada
awal perubahan belum sesuai dengan benchmarking, untuk itu perlu waktu
untuk bisa menjadi kebiasaan.
13. Pemantauan. Kinerja perusahaan akan meningkat dengan
perbaikan yang berkesinambungan serta dilakukan kegiatan pemantauan.
14. Memperbaharui benchmarking. Mitra benchmarking yang
menjadi terbaik di kelasnya akan selalu mengembangkan diri dan memperbaiki
prosesnya, oleh karena itu perusahaan harus pula memperbaharui benchmarking secara
berkesinambungan.
H. Peran Manajemen Dalam Benchmarking
Manajemen
memegang peranan penting dalam proses benchmarking. Tanpa adanya
dukungan, keterlibatan, dan komitmen dari manajemen puncak, maka tidak mungkin
dilaksanakan benchmarking. Berbagai pertimbangan benchmarking
yang membutuhkan dukungan manajemen sebelum prosesnya dapat dimulai dari:[26]
1. Komitmen terhadap Perubahan
Benchmarking
merupakan usaha yang membutuhkan komitmen sungguh-sungguh terhadap perubahan
secara radikal dalam proses suatu perusahaan agar dapat menjadi yang terbaik
dalam kelasnya. Bila komitmen ini tidak ada, maka hanya akan terjadinya
pemborosan biaya dan tenaga, serta kekecewaan pada setiap karyawan yang
menginginkannya.
2. Pendanaan
Hanya pihak manajemen yang berwenang
atas pengeluaran dana untuk benchmarking. Dana ini akan mendukung
perjalanan bagi tim untuk mengunjungi organisasi-organisasi yang memiliki
proses terbaik di kelasnya.
3. Sumber Daya Manusia
Manajemen juga merupakan satu-satunya
pihak yang dapat memutuskan dan menugaskan sumber daya manusia yang
tersedia untuk melakukan benchmarking. Meskipun biaya sumber daya
manusia biasanya jauh lebih tinggi dari pada biaya perjalanan, ketersediaan
personil jarang sekali merupakan persoalan kecuali bagi lembaga sasaran.
4. Pengungkapan
Masing-masing pihak yang terlibat dalam benchmarking
harus mengungkapkan mengenai proses dan praktiknya. Dapat dipahami bila pihak
manajemen enggan atau ragu-ragu untuk mengungkapkan informasi seperti itu
kepada saingannya memang tidak ada jaminan bahwa informasi tersebut tidak akan
bocor. Akan tetapi bila organisasi memiliki proses unik yang memberikannya
keunggulan kompetitif, maka proses tersebut harus diperlakukan seabagai rahasia
dan tidak dijadikan aspek yang akan dipatok duga. Dalam hal ini hanya pihak
manajemen yang berwenang membuat keputusan untuk mengungkapkan suatu informasi.
5. Keterlibatan
Manajemen harus terlibat aktif dan nyata
dalam setiap aspek proses benchmarking. Manajemen harus terlibat dalam
penentuan proses yang akan di-bencmark dan mitra benchmarking.
Menajemen memiliki kemudahan dalam membentuk saluran komunikasi antar
perusahaa, karena manajer puncak biasanya terlibat dalam organisasi profesi.
Dialog antar manajemen puncak sebaikya diupayakan berlangsung periodik.
Keterlibatan secara aktif dari pihak
manajemen dapat menyebabkan semakin produktifnya setiap level dalam
melaksanakan aktivitas patok duga. Selain itu, bawahan akan memahami pentingnya
usaha patok duga berdasarkan sejauh mana keterlibatan pihak manjemn dalam
proses. Hal – hal penting berkaitan dengan peranan manajemen dalam patok duga
adalah:[27]
a.
Agar
patok duga dapat produktif, manajemen harus memiliki komitmen yang tinggi
terhadap perubahan.
b.
Manajemen
harus menyediakan dana yang dibutuhkan.
c.
Manajemen
harus mengalokasikan sumber daya manusia yang tepat.
d.
Informasi
yang dapat diungkapkan kepada mitra patok duga hanya dapat disiapkan dan
ditentukan pihak manajemen.
e.
Manajemen
ppuncak harus terlibat secara langsung dalam kegiatan patok duga.
I.
Persyaratan
Benchmarking
Adapun
prasyarat untuk melalukan benchmarking, antara lain:[28]
1.
Kemauan dan komitmen.
2.
Keterkaitan tujuan strategik.
3.
Tujuan untuk menjadi terbaik,
bukan hanya untuk perbaikan.
4.
Keterbukaan terhadap ide-ide.
5.
Pemahaman terhadap proses, produk
dan jasa yang ada.
6.
Proses terdokumentasi, karena:
a.
Semua orang yang berhubungan
dengan suatu proses harus memiliki pemahaman yang sama terhadap proses yang bersangkutan.
b.
Dokumentasi sebelum adanya
perubahan berguna dalam pengukuran peningkatan kinerja setelah dilaksanakannya benchmarking.
c.
Mitra benchmarking belum
tentu akrab dengan proses yang dimiliki suatu organisasi.
7.
Ketrampilan analisis proses.
8.
Ketrampilan riset, komunikasi,
dan pembentukan tim.
J.
Hambatan-hambatan
Terhadap Kesuksesan Benchmarking
Beberapa
hambatan-hambatan yang sering terjadi terhadap kesuksesan penerapan benchmarking, antara lain:[29]
1.
Fokus internal.
Organisasi
terlalu berfokus internal (kepada diri sendiri) dan mengabaikan kenyatan bahwa
proses yang terbaik dalam kelasnya dapat menghasilkan efisiensi yang jauh lebih
tinggi, maka visi organisasi menjadi sempit.
2.
Tujuan benchmarking terlalu
luas.
Benchmarking
membutuhkan
tujuan yang lebih spesifik dan berorientasi pada bagaimana (proses), bukan pada
apa (hasil)
3.
Penjadwalan yang tidak realistis.
Benchmarking
membutuhkan
kesabaran, karena merupakan proses keterlibatan yang membutuhkan waktu.
Sedangkan penjadwalan yang terlampau lama juga tidak baik, karena mungkin ada
yang salah dalam pelaksanaannnya.
4.
Komposisi tim yang kurang tepat.
Perlu
pelibatan terhadap orang-orang yang berhubungan dan menjalankan proses
organisasi sehari-hari dalam pelaksanaan benchmarking.
5.
Bersedia menerima “ok-in-class
(yang terbaik dalam kelasnya)”.
Seringkali
organisasi memilih mitra yang bukan terbaik dalam kelasnya. Hal ini
dikarenakan:
a.
Yang terbaik di kelasnya tidak
berminat untuk berpartisipasi.
b.
Riset mengidentifikasi mitra yang
keliru.
c.
Perusahaan benchmarking malas
berusaha dan hanya memilih mitra yang lokasinya dekat.
6. Penekanan yang tidak tepat.
Tim terlalu memaksakan aspek pengumpulan dan jumlah data.
Padahal aspek yang paling penting adalah proses itu sendiri.
7. Kekurangpekaan terhadap mitra.
Mitra benchmarking memberikan akses untuk mengamati
prosesnya dan juga menyediakan waktu dan personil kuncinya untuk membantu
proses benchmarking kepada organisasi sehingga mereka harus dihormati
dan dihargai
8. Dukungan manajemen puncak yang terbatas.
Dukungan total dari manajemen puncak dibutuhkan untuk memulai
benchmarking, membantu tahap persiapan dan menjamin tercapainya manfaat
yang dijanjikan.
K. Kode Etik Benchmarking
International
Benchmarking Clearinghouse memberikan kode etik
yang harus diikuti dalam kegiatan benchmarking antara lain:[30]
1. Prinsip Legalitas.
Diharuskan
masing-masing peserta benchmarking untuk menghindari tindakan yang dapat
menjadi penghambat kegiatan benchmarking, maupun kegiatan paska operasi
termasuk kegiatan perdagangan
2. Prinsip Pertukaran.
Perlu
dilakukan diskusi antar perusahaan dan mitra benchmarking untuk
menghindari salah pengertian dan pemberian informasi yang sebanding.
3. Prinsip Kerahasiaan.
Setiap
informasi yang diperoleh perusahaan dan benchmarking harus dijaga
kerahasiaannya dan tidak dibenarkan memberikan informasi kepada pihak lain
tanpa persetujuan dengan mitra benchmarking.
4. Prinsip Penggunaan.
Informasi
beberapa aspek yang diperoleh dan mitra benchmarking digunakan sebagai
bahan perbaikan proses atau aspek-aspek dalam perusahaan.
5. Prinsip Kontak Pihak Pertama.
Kontak
untuk minta bantuan kepada mitra benchmarking dilakukan melalui
pimpinan/manajer utama yang berwenang untuk mengambil keputusan, dan kemudian
menghubungi bagian yang akan di-benchmarking.
6. Prinsip Kontak Pihak Ketiga.
Kepada
pihak ketiga tidak dibenarkan memberikan informasi mengenai siapa peserta benchmarking.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Benchmarking
adalah untuk menemukan kunci atau rahasia sukses dan kemudian mengadaptasi dan
memperbaikinya agar dapat diterapkan pada institusi yang melaksanakan patok
duga tersebut. Benchmarking dalam Pendidikan Agama Islam adalah suatu
aktivitas dimana suatu Institusi Pendidikan Agama Islam mengadakan
evaluasi diri secara kontinu, dengan membandingkan dirinya dengan
institusi lain yang terbaik, sehingga institusi tersebut dapat
mengidentifikasi, mengadopsi dan mengaplikasikan praktik-praktik yang
lebih baik secara signifikan. Dengan kata lain, praktik-praktik yang telah dilakukan
oleh lembaga terbaik tersebut digunakan sebagai patokan (benchmark
atau patok duga) atau standar kinerja normatif oleh institusi Islam yang ingin
memperbaikinya.
Ki
Hadjar Dewantara mengemukakan konsep Benchmarking dalam 3N, yaitu
Niteni: memperhatikan dengan seksama, Niru: mencontoh atau
memanfaatkan, dan Nambahi: mengadaptasi, memperbaiki atau
menyempurnakan. Ungkapan tersebut menegaskan bahwa benchmarking tidak
hanya sekadar memindahkan sistem dari satu institusi ke institusi lain, tetapi
diperlukan upaya kreatif dan inovatif sesuai dengan kondisi, budaya, dan
kemampuan. Sementara itu, institusi yang dijadikan acuan/pembanding akan
terdorong untuk melakukan perbaikan pengelolaan dan meningkatkan standar mutu.
Adapun
proses benchmarking akan meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
6. Evaluasi diri (self-assessment). Self
assessment dilakukan dengan mengkaji serta mendokumentasikan visi dan misi,
praktik penyelenggaraan pendidikan untuk mewujudkan visi dan misi, dan
keberhasilan yang telah dapat dicapai oleh sekolah yang bersangkutan.
7. Perbandingan (comparison), yaitu dengan
mengidentifikasi organisasi (sekolah) yang patut dicontoh, serta menentukan
organisasi mana yang akan dijadikan partner dalam melakukan benchmarking.
8. Analisis dan adaptasi, yaitu dengan
melakukan refleksi mengapa organisasi (sekolah) anda memperoleh hasil yang
kurang baik, sementara organisasi (sekolah) lain hasilnya lebih baik.
9. Rencanakan dan implementasikan, yakni
dengan memikirkan secara cermat tindakan apa yang perlu dilakukan,
komunikasikan (sosialisasikan) alternatifalternatif terbaik kepada semua warga
sekolah, galang dukungan, dan lakukan tindakan yang telah dirancang untuk
mencapai perbaikan.
10. Umpan balik dan evaluasi, yaitu dengan
mengamati dan menilai secara cermat apa yang telah dilakukan dan hasil yang
telah dapat dicapai.
Langkah-langkah
penerapan benchmarking ini dapat diterapkan secara produktif dengan
variasi yang dapat disesuaikan dengan tujuan masing-masing institusi. Yang
terpenting adalah menjaga kelangsungan proses benchmarking dengan
pelibatan seluruh komponen perusahan dan dukungan komitmen yang baik. Meskipun
prosesnya sederhana, benchmarking bukan hanya mempelajari unsur-
unsur persaingan yang tepat, yang bisa
saja diperoleh dari Konsultan atau sumber lain, tetapi hal yang lebih penting
adalah sebuah institusi akan terbiasa dengan outward looking (melihat
kondisi luar) dengan memfokuskan diri pada pasar dan persaingan.
Beberapa
hambatan-hambatan yang sering terjadi terhadap kesuksesan penerapan benchmarking, antara lain:[31]
1.
Fokus internal.
2.
Tujuan benchmarking terlalu
luas.
3.
Penjadwalan yang tidak realistis.
4.
Komposisi tim yang kurang tepat.
5.
Bersedia menerima “ok-in-class
(yang terbaik dalam kelasnya)”.
6.
Penekanan yang
tidak tepat.
7.
Kekurangpekaan
terhadap mitra.
8.
Dukungan
manajemen puncak yang terbatas.
Daftar
Rujukan
Bridge, R.G. Judd, C.M. &
Mocck. P.R. 1979. The Determinants of
Educational Outcomes. Massachusetts: Balinger Publishing Company
Depdiknas. 2003. Sistem
Pendidikan Nasional. Jakarta: Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
Depdiknas. 2005. Standar Nasional
Pendidikan. Jakarta: Permendiknas,
Nomor 19 tahun 2005
Hidayat, Fajar. 2013. Benchmarking
Patok Duga, http://fajarhidayat14.blogspot.com/2013/06/benchmarking-patok-duga_21.html.
diakse 09 Desember 2013
http://pergipagi.wordpress.com/2011/10/02/benchmarking-dalam-total-quality-management/.
Diakses 07 Desember 2013
Iman, Nurul. 2013. Benchmarking
dan Pemberdayaan Wakaf, http://nuruliman1972.blogspot.com/2010/12/benchmarking-dan-pemberdayaan-wakaf.html.
diakses 09 Desember 2013
Rahman, Taufiqur. 2013. Benchmarking.
Jakarta: Universitas Esa Unggul,
Ruswidiono, R. Wasisto. 2011. Peningkatan
Mutu dan benchmarking Peguruan Tinggi. Jakarta: STIE Trisakti
Suyata. 1998. Perbaikan Mutu
Pendidikan, Transformasi Sekolah dan Implikasi Kebijakan. Yogyakarta: IKIP
Yogyakarta
Tjitono, Fandi & Diana,
Anastasia. 2003. Total Quality Manajemen (edisi revisi).
Yokyakarta: Andi Ofsett
Umaedi.
2000. Makalah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Disampaikan
pada Konvensi Pendidikan Nasional di Semarang Pada Tanggal 19-22 September
Watson,
G. 2007. Strategic Benchmarking Reloaded With Six Sigma: Improvingyour
Company’s Performance Using Global Best Practices. USA: John Wiley &
Sons Inc
Wikipedia,
Benchmarking, http://en.wikipedia.org/wiki/benchmarking.html.
diakses 09 Desember 2013
Winarni, Sri. 2010. Patok Duga
Benchmarking, http://sriwinarni-sriwinarni86sriwinarni.blogspot.com/2010/06/patok-duga-benchmarking.html.
diakses 06 Desember 2013
Yamit, Zulian. 2002. Manajemen
Kualitas Produk dan Jasa. Yogyakarta: Penerbit Ekonsia
Zaedun,
Amat. 2011. Makalah Seminar Nasional Benchmarking Standar Mutu Pendidikan. Yogyakarta:
Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian Dan Pengembangan, Kemendikbud
[1]
Depdiknas, Standar Nasional Pendidikan, (Jakarta: Permendiknas, Nomor 19 tahun 2005)
[2] Amat
Zaedun, Makalah Seminar Nasional Benchmarking Standar Mutu Pendidikan, (Yogyakarta:
Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian Dan Pengembangan, Kemendikbud,
2011), hlm 01
[3] Sri Winarni,
2010, Patok Duga Benchmarking, http://sriwinarni-sriwinarni86sriwinarni.blogspot.com/2010/06/patok-duga-benchmarking.html.
diakses 06 Desember 2013
[4]
Umaedi, Makalah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, (Disampaikan
pada Konvensi Pendidikan Nasional di Semarang Pada Tanggal 19–22 September
2000), hlm 21
[5]
Suyata, Perbaikan Mutu Pendidikan, Transformasi Sekolah dan Implikasi
Kebijakan, (Yogyakarta: IKIP Yogyakarta, 1998), hlm. 08
[6] R.G.
Bridge, C.M. Judd, & P.R. Mocck, The
Determinants of Educational Outcomes. (Massachusetts: Balinger Publishing
Company, 1979), hlm 123
[7] Depdiknas, Sistem
Pendidikan Nasional, (Jakarta: Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003)
[8] http://pergipagi.wordpress.com/2011/10/02/benchmarking-dalam-total-quality-management/.
Diakses 07 Desember 2013
[9]
Fajar Hidayat, Benchmarking Patok Duga, http://fajarhidayat14.blogspot.com/2013/06/benchmarking-patok-duga_21.html.
diakse 09 Desember 2013
[10]
G.Watson, Strategic Benchmarking Reloaded With Six Sigma: Improvingyour
Company’s Performance Using Global Best Practices, (USA: John Wiley &
Sons Inc, 2007), hlm. 147
[11]
Wikipedia, Benchmarking, http://en.wikipedia.org/wiki/benchmarking.html.
diakses 09 Desember 2013
[12] http://www.ed.gov/pubs/policyforum/Spring9/benchmark.html.
diakses 06 Desember 2013
[13] Ibid.
[14] R. Wasisto
Ruswidiono, Peningkatan Mutu dan benchmarking Peguruan Tinggi, (Jakarta:
STIE Trisakti, 2011), hlm. 8-9
[15]Fandi Tjitono, &
Anastasia Diana, Total Quality Manajemen (edisi revisi),
(Yokyakarta: Andi Ofsett, 2003), hlm. 232-233
[16] Zulian Yamit, Manajemen
Kualitas Produk dan Jasa (Yogyakarta: Penerbit Ekonsia, 2002), hlm. 134
[17] http://kjm.ugm.ac.id/web/index.php.
diakses 09 Desember 2013
[18] Nurul Iman, Benchmarking
dan Pemberdayaan Wakaf, http://nuruliman1972.blogspot.com/2010/12/benchmarking-dan-pemberdayaan-wakaf.html.
diakses 09 Desember 2013
[19] Taufiqur Rahman, Benchmarking,
(Jakarta: Universitas Esa Unggul, 2013), hlm. 6-7
[20],Ibid,hlm. 2-3
[21] http://pergipagi.wordpress.com/2011/10/02/benchmarking-dalam-total-quality-management/.
Diakses 07 Desember 2013
[22]
Badan Akreditasi Sekolah Nasional, Instrumen Evaluasi Diri Sekolah,
(Jakarta: Depdiknas, 2004), hlm. 53
[23] Sri Wonarni, Patok
Duga,,,,,
[24] Zulian Yamit, Manajemen
Kualitas,,,,hlm. 135
[25] Taufiqur Rahman, Benchmarking,,,,,,,hlm.
8-9
[26] Nursya’bani Purnama, Manajemen
Kualitas Persepektif Global, (Yogyakarta: Ekonisia, 2006), hlm. 126-127
[27] Ilmu
SDM, Mengenal Konsep Benchmarking, http://ilmusdm.wordpress.com/2008/02/06/mengenal-konsep-benchmarking/.
Diakses 12 Desember 2013
[28] Taufiqur Rahman, Benchmarking,,,,hlm.
9
[29] Nursya’bani Purnama, Manajemen
Kualitas,,,,, hlm. 129-130
[30]Fajar
Hidayat, Benchmarking Patok Duga, http://fajarhidayat14.blogspot.com/2013/06/benchmarking-patok-duga_21.html.
diakse 09 Desember 2013
[31] Nursya’bani Purnama, Manajemen
Kualitas,,,,, hlm. 129-130
No comments:
Post a Comment