Sunday, July 9, 2017

BENCHMARKING PENDIDIKAN AGAMA ISLAM





BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Dalam era global seperti saat ini, pendidikan yang bermutu merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu, upaya peningkatan mutu pendidikan merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Berkaitan dengan penjaminan mutu, pasal 2, ayat (2), Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, menyatakan bahwa penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan yang sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan perlu dilakukan dalam tiga program terintegrasi yaitu evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi. Ketiga program tersebut merupakan bentuk penjaminan mutu pendidikan yang bertujuan untuk melindungi masyarakat agar dapat memperoleh layanan dan hasil pendidikan yang sesuai dengan yang dijanjikan oleh penyelenggara pendidikan.[1]
Peningkatan mutu pendidikan tidak terlepas dari implementasi sistem penjaminan mutu (Quality Assurance). Penjaminan mutu suatu produk atau layanan perlu dilakukan karena mutu dari sebagian produk yang dihasilkan atau layanan yang diberikan sangat mungkin menghadapi resiko tidak sesuai (lebih rendah) dari standar minimal yang dipersyaratkan. Dalam bidang pendidikan, logika inipun juga dapat berlaku, di mana dari sebagian lulusan (output) yang dihasilkan atau layanan yang diberikan oleh suatu institusi pendidikan, kualitasnya mungkin lebih rendah dari standar minimal yang telah dipersyaratkan. Pengelolaan mutu dalam bentuk penjaminan mutu akan memberikan jaminan kepada pelanggan bahwa semua aspek yang terkait dengan layanan pendidikan yang diberikan oleh institusi pendidikan tersebut dapat memenuhi standar mutu tertentu, sehingga output yang dihasilkan oleh lembaga atau satuan pendidikan tersebut sesuai dengan yang dijanjikan. Upaya penjaminan mutu ini dapat dilakukan dengan menerapkan benchmarking dengan menggunakan suatu kriteria.[2]
Benchmarking ini dilakukan dengan mengambil perbandingan internasional dalam hal kualitas output. Selain itu, untuk melakukan eksplanasi terhadap capaian output suatu satuan pendidikan perlu dilakukan pemantauan/pemetaan sekolah dalam pemenuhan standar nasional pendidikan, yang mencakup: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.[3]
B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Pengertian Konsep Benchmarking dalam Pendidikan Agama Islam?
2.    Bagaimana Proses dan Langkah-langkah Bencnhmarking Pendidikan Agama Islam?
3.    Bagaimana Hambatan-hambatan Kesuksesan Benchmarking Pendidikan Agama Islam?
C.      Tujuan Masalah
1.    Untuk Mengetahui Pengertian Konsep Benchmarking dalam Pendidikan Agama Islam
2.    Untuk Mengetahui Proses dan Langkah-langkah Bencnhmarking Pendidikan Agama Islam
3.    Untuk Mengetahui Hambatan-hambatan Kesuksesan Benchmarking Pendidikan Agama Islam

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Konsep Benchmarking Dalam Mutu Pendidikan
Mutu mengandung makna keunggulan suatu produk baik berupa hasil kerja atau upaya, berupa barang ataupun jasa. Mutu juga dapat dimaknai sebagai sejumlah akibat dari keunggulan proses, produk atau layanan dalam mencapai kinerja, atau dapat pula dikatakan dengan persepsi pelanggan terhadap kinerja.[4]
Pada bidang pendidikan, banyak faktor yang menentukan mutu pendidikan. Dalam pendekatan fungsi produksi, mutu pendidikan ditentukan oleh faktor input dan faktor proses. Faktor input diantaranya adalah: siswa, kurikulum, bahan ajar, metode/strategi pembelajaran, sarana pembelajaran di sekolah, dukungan administrasi dan prasarana sekolah. Faktor proses diantaranya adalah penciptaan suasana yang kondusif, koordinasi proses pembelajaran, dan juga interaksi antar unsur-unsur di sekolah, baik guru dengan guru, siswa dengan siswa, maupun guru dan staf administrasi sekolah, dalam konteks akademis maupun nonakademis, kurikuler maupun non kurikuler. Konteks mutu dapat pula dilihat dari prestasi yang dicapai sekolah pada tiap kurun waktu tertentu. Prestasi ini dapat dilihat dari student achievement atau prestasi di bidang lain, seperti olahraga, kesenian, dan keterampilan. Selain itu, indikator lain yang dapat digunakan sebagai ukuran mutu sekolah adalah kedisiplinan, tanggungjawab, saling menghormati, dan kenyamanan sekolah. Di Indonesia, prestasi akademik umumnya dijadikan salah satu indikator mutu sekolah yang paling dominan.[5]
Bridge, Judd, dan Mocck  menyatakan bahwa hasil pendidikan merupakan fungsi produksi dari sistem pendidikan. Mutu sekolah merupakan fungsi dari dari proses pembelajaran yang efektif, kepemimpinan, peran serta guru, peran serta siswa, manajemen, organisasi, lingkungan fisik dan sumberdaya, kepuasan pelanggan sekolah, dukungan input dan fasilitas, dan budaya sekolah. Optimalisasi dari masing-masing komponen ini menentukan mutu sekolah sebagai satuan penyelenggara pendidikan.[6]
Upaya peningkatan kualitas PBM tersebut dilakukan melalui peningkatan kualifikasi guru, pengadaan buku ajar, reorientasi kurikulum dan peningkatan sarana serta prasarana pendukung. Namun demikian, keberhasilan dari berbagai upaya peningkatan mutu tersebut belum menggembirakan, karena berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan adanya peningkatan yang berarti. Upaya peningkatan mutu pendidikan tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan manajemen mutu pendidikan. Dalam manajemen mutu, semua fungsi manajemen yang dijalankan oleh para manajer pendidikan di sekolah (kepala sekolah) diarahkan untuk dapat memberikan kepuasan kepada para pelanggannya (Customer), terutama kepada pelanggan eksternal, seperti: siswa, orangtua atau masyarakat pemakai lulusan.
Penjaminan mutu (Quality Assurance) adalah upaya pengelolaan mutu yang dilakukan oleh pihak internal sekolah, dalam rangka untuk memberikan jaminan bahwa semua aspek yang terkait dengan layanan pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga atau satuan pendidikan tertentu dapat mencapai suatu standar mutu tertentu. Definisi lain, menyatakan bahwa penjaminan mutu (Quality Assurance, QA) adalah proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga konsumen, produsen, dan pihak lain yang berkepentingan memperoleh kepuasan.[7] Sedangkan pelaksanaan penjaminan mutu sekolah terutama harus dilakukan oleh pihak internal sekolah yang bersangkutan sebagai bagian dari proses manajemen mutu. Perbaikan mutu pendidikan diantaranya juga dapat dilakukan dengan menerapkan benchmarking dengan menggunakan suatu kriteria.
B.       Pemikiran Pentingnya Melakukan Benchmarking dalam Pendidikan
Dorongan untuk melakukan Benchmarking ditentukan oleh faktor pemenuhan kepuasan pelanggan yang sifatnya dinamis serta dapat meningkatkan daya saing dalam menghadap liberalisasi dan globalisasi pendidikan.[8]
Dorongan untuk melakukan benchmarking banyak ditentukan oleh faktor kepuasan pelanggan. Adanya pemasok yang semakin kompetitif telah membuat pelanggan mengetahui dan meminta standar produk dan pelayanan yang berbeda dan lebih baik. Kepuasan pelanggan pun semakin lama semakin sulit dipenuhi oleh adanya keinginan dan kebutuhan yang secara naluriah makin meningkat, sehingga upaya memuaskan pelanggan pun bukan melulu sekedar memuaskan tetapi telah menjadi suatu upaya yang kompleks. Setiap lembaga dituntut untuk dapat memberikan yang terbaik kepada pelanggannya. Salah satu dasar pemikiran perlunya benchmarking adalah bahwa tidak ada gunanya pengasingan diri di dalam suatu laboratorium khusus untuk berusaha menemukan proses baru yang dapat meningkatkan kualitas atau mengurangi biaya, apabila proses itu sendiri sudah ada.[9]
Dalam firman Allah dijelaskan bahwa:
Seseorang dituntut untuk selalu melakukan patok uji mutu terhadap sebuah produk/lembaga orang lain yang lebih baik. Sama halnya dalam hal kita beribadah kita boleh melakukan benchmarking kebaikan yang kita lakukan dengan kebaikan amaliah orang lain yang bertujuan untuk fastabiqul Khoirot (berkompetisi dalam kebaikan).  Sesuai dengan firman Allah:
(#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4 tûøïr& $tB (#qçRqä3s? ÏNù'tƒ ãNä3Î/ ª!$# $·èŠÏJy_ 4 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ֍ƒÏs% ÇÊÍÑÈ  
Artinya: “dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 148)

C.      Pengertian Benchmarking dalam Pendidikan Agama Islam
Pada awalnya, benchmarking hanya dikenal di dunia bisnis. Namun, saat ini benchmarking telah diadopsi oleh berbagai lembaga pendidikan di luar negeri, sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Definisi benchmarking baik di bidang bisnis maupun pendidikan pada hakikatnya adalah sama. Definisi benchmarking dalam bidang bisnis adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Watson, yang menyatakan bahwa benchmarking merupakan kegiatan pencarian secara berkesinambungan dan penerapan secara nyata praktik-praktik yang lebih baik yang mengarah pada kinerja kompetitif unggul.[10]
Sementara itu, definisi benchmarking dalam dunia pendidikan adalah sebagai berikut:
Ensiklopedi Wikipedia mendefinisikannya dengan “the process of comparing the cost, cycle time, productivity, or quality of a specific process or method to another that is widely considered to be an industry standard or best practice”.[11]
Benchmarking is an activity where organizations continuously engage in self-study and compare themselves with the leaders in their fild so they can identify, adapt, and apply significantly better practices.[12]
Definisi kedua, menyatakan bahwa benchmarking involves first examining understanding your own internal work procedures, then searching for best practices in other organizations that match those you identified, and finally, adapting those practices within your organization to improve performance. It is a systematic way of learning from others and changing what you do.[13]
Benchmarking adalah suatu kegiatan untuk menetapkan standard dan target yang akan dicapai dalam suatu periode tertentu. Benchmarking dapat diaplikasikan untuk individu, kelompok, organisasi ataupun lembaga. Ada sebagian orang menjelaskan benchmarking sebagai uji standar mutu. Maksudnya adalah menguji atau membandingkan standar mutu yang telah ditetapkan terhadap standar mutu pihak lain, sehingga juga muncul istilah rujuk mutu. Secara umum benchmarking digunakan untuk mengatur dan meningkatkan kualitas pendidikan dan standar akademik.[14]
Goetsch dan Davis mendefinisikannya sebagai proses pembanding dan pengukuran operasi atau proses internal organisasi terhadap mereka yang terbaik dalam kelasnya, baik dari dalam maupun dari luar institusi.[15]
Berbagai pengertian diatas jika dicermati memiliki banyak persamaan, yakni bahwa tujuan utama benchmarking adalah untuk menemukan kunci atau rahasia sukses dan kemudian mengadaptasi dan memperbaikinya agar dapat diterapkan pada institusi yang melaksanakan patok duga tersebut. Benchmarking merupakan proses belajar yang berlangsung secara sistematis, terus menerus, dan terbuka. Berbeda dengan penjiplakan (copywriting) yang dilakukan secara diam-diam, kegiatan patokduga merupakan tindakan legal dan tidak melanggar hukum. Dalam dunia bisnis modern meniru dianggap sah asal tidak dilakukan secara langsung dan mentah-mentah. Benchmarking memang dapat diartikan sebagai meniru dari paling hebat untuk membuatnya sebagai referensi.[16] Kegiatan ini dilandasi oleh kerjasama antar dua buah institusi untuk saling menukar informasi dan pengalaman yang sama-sama dibutuhkan.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa benchmarking dalam Pendidikan Agama Islam adalah suatu aktivitas dimana suatu Institusi Pendidikan Agama Islam mengadakan evaluasi diri secara kontinu, dengan membandingkan dirinya dengan institusi lain yang terbaik, sehingga institusi tersebut dapat mengidentifikasi, mengadopsi dan mengaplikasikan praktik-praktik yang lebih baik secara signifikan. Dengan kata lain, praktik-praktik yang telah dilakukan oleh lembaga terbaik tersebut digunakan sebagai patokan (benchmark atau patok duga) atau standar kinerja normatif oleh institusi Islam yang ingin memperbaikinya.
Ki Hadjar Dewantara beberapa puluh tahun lalu, diinisiasi telah mengemukakan konsep Benchmarking dalam bentuk sederhana. Konsep yang diajukan dengan bahasa Jawa itu, adalah 3N, yaitu Niteni: memperhatikan dengan seksama, Niru: mencontoh atau memanfaatkan, dan Nambahi: mengadaptasi, memperbaiki atau menyempurnakan. Ungkapan tersebut menegaskan bahwa benchmarking tidak hanya sekadar memindahkan sistem dari satu institusi ke institusi lain, tetapi diperlukan upaya kreatif dan inovatif sesuai dengan kondisi, budaya, dan kemampuan. Sementara itu, institusi yang dijadikan acuan/pembanding akan terdorong untuk melakukan perbaikan pengelolaan dan meningkatkan standar mutu.[17]
D.      Jenis-jenis Benchmarking Pendidikan Agama Islam
Dalam rangka peningkatan mutu secara berkelanjutan, suatu institusi perlu menetapkan standar baru yang lebih tinggi. Untuk itu, perlu dilakukan benchmarking sebagai inspirasi atau cita-cita. Ada dua jenis benchmarking, yaitu benchmarking internal dan benchmarking eksternal.[18]
Benchmarking Internal upaya pembandingan standar antar jurusan/fakultas/unit institusi. Internal benchmarking bisa dilakukan antar program studi dalam satu sekolah tinggi atau anatar unit kerja/jurusan/prodi dalam satu sekolah tinggi itu sendiri.
Benchmarking eksternal adalah upaya pembandingan standar internal institusi terhadap standar eksternal institusi lain. External benchmarking bisa dilakukan terhadap lembaga atau perguruan tinggi lain, baik yang menyangkut satu program studi tertentu ataupun unit kerja/jurusan tertentu, baik dalam maupun luar negeri.
Dalam  pelaksanaannya/prakteknya,  menurut  Hiam dan Schewe , dikenal empat jenis dasar dari benhmarking, yaitu:[19]
1.    Benchmarking Internal
Pendekatan dilakukan dengan membandingkan operasi suatu bagian dengan bagian internal lainnya dalam suatu organisasi, misal  dibandingkan kinerja tiap  devisi di satu institusi pendidikan,  dilakukan antara departemen/divisi dalam satu institusi atau antar institusi dalam satu group institusi. Dengan demikian Internal Benchmarking dapat dikatakan sebagai suatu paket upaya perbaikan terus-menerus untuk mengidentifikasi kinerja terbaik yang ada dalam lingkungan institusi pendidikan itu sendiri. Sebagai contoh, bila kinerja di salah satu fakultas setelah diteliti memiliki informasi yang terbaik, maka sifat-sifat tertentu yang unggul ini kemudian ditularkan kepada fakultas yang lain atau unit lain yang berada dalam kelompok institusi yang sama.
2.    Benchmarking Kompetitif
Pendekatan dilakukan dengan mengadakan perbandingan dengan berbagai pesaing, misalnya membandingkan output lulusan kepada lulusan yang dihasilkan pesaing dalam bidang yang sama. Competitive Benchmarking diterapkan untuk menciptakan atau meningkatkan daya saing serta mampu memperbaiki posisi output lulusan yang kompetitif. Melalui Competitive Benchmarking akan diperoleh informasi tentang performansi terbaik dari pesaing, dimana informasi ini dapat dipergunakan oleh sebuah institusi pendidikan untuk menciptakan output lulusan yang lebih baik dari yang baik.
3.         Benchmarking Fungsional
Pendekatan dengan diadakan perbandingan fungsi atau proses dari institusi lain dari berbagai institusi yang ada, atau dengan kata lain dilakukan perbandingan dengan institusi yang lebih luas. Fungsional Benchmarking dapat melakukan investigasi pada institusi pendidikan yang unggul dalam institusi yang tidak sejenis.
4.         Benchmarking Generik
Patok duga generik adalah perbandingan pada proses fundamental yang cenderung sama di setiap institusi. Misalnya memberi pelayanan pelanggan, dan pengembangan strategi, maka dapat diadakan patok duga meskipun institusi itu berada di bidang yang berbeda.
E.       Tujuan dan Azas Benchmarking Pendidikan
Tujuan utama benchmarking adalah untuk menemukan kunci atau rahasia sukses dari sebuah institusi pendidikan yang terbaik dikelasnya, dan kemudian mengadaptasi serta memperbaikinya untuk diterapkan pada institusi yang melaksanakan benchmarking tersebut, diberbagai dibidang. Benchmarking tidak sekedar mengumpulkan data, melainkan yang lebih penting adalah apa rahasia dibalik pencapaian kinerja yang terlihat dalam data yang diperoleh. Benchmarking membutukan kesiapan Fisik dan Mental. Secara Fisik karena dibutuhkan kesiapan sumber daya manusia dan teknologi yang matang untuk melakukan benchmarking secara akurat. Sedangkan secara Mental adalah bahwa pihak manajemen pendidikan harus bersiap diri bila setelah dibandingkan dengan pesaing, ternyata mereka menemukan kesenjangan yang cukup tinggi. [20]
Beberapa azas dari benchmarking, yaitu:
1.      Benchmarking merupakan kiat untuk mengetahui tentang bagimana dan mengapa suatu institusi pendidikan dapat melaksanakan tugas-tugasnya secara lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya.
2.      Fokus dari kegiatan benchmarking diarahkan pada praktik terbaik dari institusi lainnya. Benchmarking juga berwujud perbandingan yang terus-menerus dalam jangka waktu yang panjang tentang praktik dan hasil terbaik dari institusi, dimanapun institusi itu berada.
3.      Praktik banchmarking berlangsung secara sistematis dan terpadu dengan praktik manajemen lainnya, misalnya TQM, corporate reengineering, analisis pesaing, dll
4.      Kegiatan benchmarking perlu keterlibatan dari semua pihak yang berkepentingan, pemilihan yang tepat tentang apa yang akan di-benchmarking-kan, pemahaman dari organisasi itu sendiri, pemilihan mitra yang cocok, dan kemampuan untuk melaksanakan apa yang ditemukan dalam praktiknya.

F.       Manfaat Benchmarking Pendidikan Agama Islam
Secara umum manfaat yang diperoleh dari benchmarking dapat dikelompokkan menjadi:[21]
1.         Perubahan Budaya
Memungkinkan Istitusi Pendidikan Islam untuk menetapkan target kinerja baru yang lebih realisitis berperan meyakinkan setiap pelanggan akan kredibilitas target. Misal, mempertegas visi misi institusi pendidikan tersebut.
2.         Perbaikan Kinerja
Membantu Institusi Pendidikan Islam mengetahui adanya kesenjangan tertentu dalam kinerja untuk memilih proses yang akan diperbaiki.
3.         Peningkatan Kemampuan Sumber Daya Manusia
a.         Memberikan dasar pelatihan.
b.         Berbagai pihak menyadari adanya kesenjangan antara apa yang mereka kerjakan dengan apa yang dikerjakan orang lain di institusi lain.
c.         Keterlibatan semua pihak dalam memecahkan permasalahan sehingga SDM mengalami peningkatan kemampuan dan keterampilan.
G.      Proses dan Langkah-langkah Benchmarking
Adapun proses benchmarking akan meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Evaluasi diri (self-assessment). Self-assessment sangat penting dalam kegiatan apapun karena dari sinilah akan dapat dirumuskan suatu tindakan yang dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi atau memperbaiki keadaan. Self assessment dilakukan dengan mengkaji serta mendokumentasikan visi dan misi, praktik penyelenggaraan pendidikan untuk mewujudkan visi dan misi, dan keberhasilan yang telah dapat dicapai oleh sekolah yang bersangkutan. Sedangkan hal-hal yang perlu dikaji minimal menyangkut Sembilan komponen evaluasi diri yang telah digariskan oleh Badan Akreditasi Sekolah, yang meliputi: (a) kurikulum dan pembelajaran, (b) administrasi dan manajemen sekolah, (c) organisasi kelembagaan sekolah, (d) sarana dan prasarana, (e) ketenagaan, (f) pembiayaan, (g) peserta didik, (h) peran serta masyarakat, dan (i) lingkungan dan budaya sekolah.[22]
2.      Perbandingan (comparison), yaitu dengan mengidentifikasi organisasi (sekolah) yang patut dicontoh, serta menentukan organisasi mana yang akan dijadikan partner dalam melakukan benchmarking.
3.      Analisis dan adaptasi, yaitu dengan melakukan refleksi mengapa organisasi (sekolah) anda memperoleh hasil yang kurang baik, sementara organisasi (sekolah) lain hasilnya lebih baik.
4.      Rencanakan dan implementasikan, yakni dengan memikirkan secara cermat tindakan apa yang perlu dilakukan, komunikasikan (sosialisasikan) alternatifalternatif terbaik kepada semua warga sekolah, galang dukungan, dan lakukan tindakan yang telah dirancang untuk mencapai perbaikan.
5.      Umpan balik dan evaluasi, yaitu dengan mengamati dan menilai secara cermat apa yang telah dilakukan dan hasil yang telah dapat dicapai.
Empat cara yang digunakan dalam melakukan benchmarking, adalah:[23]
1.      Riset in-house
Melakukan penilaian terhadap informasi dalam perusahaan sendiri maupun informasi yang ada di masyarakat.
2.      Riset Pihak Ketiga
Ditempuh dengan jalan menggunakan jasa pihak ketiga dalam pencarian data dan informasi yang sulit didapat. Membiayai kegiatan benchmarking yang akan dilakukan oleh perusahaan surveyor.
3.      Pertukaran Langsung
Pertukaran informasi secara langsung dapat dilakukan melalui kuesioner, survei melalui telepon, dll dengan perusahaan yang dijadikan mitra dalam benchmarking.
4.      Kunjungan Langsung
Melakukan kunjungan ke lokasi mitra benchmarking untuk saling tukar informasi (cara ini dianggap yang paling efektif).
Karlof dan Ostblom sebagaimana dikutip Zulian Yamit, mengemukakan lima langkah yang arus dilakukan untuk merapkan benchmarking, yaitu: [24]
1.    Menentukan apa yang akan di-benchmark, yaitu berkaitan dengan proses yang apa yang akan dipatok duga dengan mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan. Pada periode tertentu unit penjamin mutu perlu membentuk Tim yang terdiri dari tim mutu fakultas/jurusan untuk menyelidiki proses serta mendifinisikan proses yang menjadi target, masukan (input) dan output-nya.
2.    Menentukan institusi pendidikan yang akan di-benchmark, yaitu unit penjamin mutu dan tim mutu jurusan menentukan institusi yang dipilih untuk menjadi tujuan benchmark-nya. Memilih istitusi yang terbaik dan memberi kontribusi besar terhadap perbaikan dan peningkatan mutu.
3.    Mengumpulkan informasi, yaitu data yang berkaitan dengan apa yang akan dipatok duga. Unit penjamin mutu mengumpulkan data tentang ukuran dan standar yang telah dipilih terhadap organisasi yang akan di-benchmark. Pencarian informasi ini bisa dimulai dengan merancang dan mengirim kuesioner kepada lembaga yang akan di­-benchmark, hal ini merupakan cara mendapatkan data dan informasi sebagai pendahuluan sebelum nantinya dilakukan kunjungan langsung.
4.    Analisis data dan menentukan kesenjangan proses institusi dengan institusi yang akan dipatok duga. Unit penjamin mutu kemudian membandingkan data yang diperoleh dari proses yang di-benchmark dengan data proses yang dimiliki (internal) untuk menentukan adanya kesenjangan diantara mereka. Tim mengidentifikasi mengapa terjadi kesenjangan (perbedaan) dan apa saja yang dapat dipelajari dari situasi ini. satu hal yang sangat penting adalah menghindari sikap penolakan jika memmang ada perbedaan yang nyata maka kenyataan itu harus diterima dan kemudian disadari bahwa harus ada hal yang diperbaiki.
5.    Implementasi perubahan yang harus dilakukan dan sekaligus melakukan pemantauan untuk memperbaiki benchmark. Tim penjamin mutu dapat melibatkan multi disiplin yang akan memecahkan persoalan dan mengembangkan suatu rencana untuk menetapkan tindakan yang akan diambil, tahapan waktunya, dan siapa yng bertanggung jawab. Yang terpenting adalah menjadikan benchmarking sebagai suatu kebiasaan, yang akan mendorong untuk terus memperbaiki diri. Jika perlu dapat dibentuk suatu departemen tersendiri yang bertanggung jawab melaksanakan benchmarking secara terus menerus (berkelanjutan).
Langkah-langkah penerapan benchmarking ini dapat diterapkan secara produktif dengan variasi yang dapat disesuaikan dengan tujuan masing-masing institusi. Yang terpenting adalah menjaga kelangsungan proses benchmarking dengan pelibatan seluruh komponen perusahan dan dukungan komitmen yang baik. Meskipun prosesnya sederhana, benchmarking bukan hanya mempelajari unsur- unsur  persaingan yang tepat, yang bisa saja diperoleh dari Konsultan atau sumber lain, tetapi hal yang lebih penting adalah sebuah institusi akan terbiasa dengan outward looking (melihat kondisi luar) dengan memfokuskan diri pada pasar dan persaingan.
Kelima tahap diatas diperinci oleh Goetsch dan Davis menjadi 14 langkah berikut: [25]
1.      Komitmen manajemen. Mandat dan komitmen dari pihak manajemen puncak sangat penting, karena benchmarking akan melakukan perbaikan atau perubahan yang tidak mudah serta membutuhkan dana dan waktu yang cukup besar.
2.      Basis pada proses perusahaan itu sendiri. Sebelum perbaikan dilakukan, proses dan aspek-aspek yang telah ada harus dipahami karena inilah yang akan dibandingkan.
3.      Identifikasi dan dokumentasi setiap kekuatan dan kelemahan proses perusahaan. Dalam benchmarking setiap pihak membutuhkan informasi tentang proses untuk diperbandingkan.
4.      Pemilihan proses yang akan di-benchmarking. Yang dapat dijadikan obyek benchmarking adalah setiap perilaku dan kinerja perusahaan (antara lain: barang, jasa, proses, operasi, staf, biaya, modal atau sistem pendukung, dsb) yang dipilih yang benar-benar menjadi kelemahan atau diinginkan diubah, selainnya dimasukan sebagai program perbaikan berkesinambungan.
5.      Pembentukan tim benchmarking. Sebaiknya tim terdiri dari unsur pihak yang memahami perbedaan proses yang dimiliki perusahaan dengan mitra benchmarking, pihak manajemen, dan pihak yang mampu melaksanakan penelitian.
6.      Penelitian terhadap obyek yang terbaik di kelasnya. Mitra benchmarking tidak hanya berasal dalam satu industri, tetapi bisa berasal dari industri yang berlainan, yang terbaik di kelasnya dan bersedia menjadi mitra benchmarking.
7.      Pemilihan calon mitra benchmarking yang terbaik dikelasnya. Tim benchmarking harus menentukan mitra yang paling tepat untuk dipilih dengan mempertimbangkan faktor lokasi calon mitra dan merupakan pesaing atau bukan.
8.      Mencapai kesepakatan dengan mitra benchmarking. Jika mitra sudah ditentukan, perusahaan akan menghubungi untuk mencari kesepakatan mengenai aktivitas benchmarking.
9.      Pengumpulan data. Setelah ada kesepakatan kedua belah pihak, tim melakukan pengamatan, pengumpulan data, dan dokumentasi yang berkaitan dengan proses (kunci sukses) mitra benchmarking, antara lain melalui wawancara langsung, survei telpon atau surat, dsb.
10.  Analisis data dan penentuan gap. Tim melakukan analisis dan perbandingan data, dengan demikian akan bias diidentifikasi gap atau kesenjangan yang ada.
11.  Perencanaan tindakan untuk mengurangi kesenjangan yang ada atau bahkan mengunggulinya. Untuk mengimplementasikan proses baru diperlukan perencanaan, pelatihan, dan memperhatikan bahwa tujuan benchmarking bukan sekedar meniru melainkan mengunguli kinerja proses benchmarking tersebut.
12.  Implementasi perubahan. Dengan diterapkan prosedur baru, pada awal perubahan belum sesuai dengan benchmarking, untuk itu perlu waktu untuk bisa menjadi kebiasaan.
13.  Pemantauan. Kinerja perusahaan akan meningkat dengan perbaikan yang berkesinambungan serta dilakukan kegiatan pemantauan.
14.  Memperbaharui benchmarking. Mitra benchmarking yang menjadi terbaik di kelasnya akan selalu mengembangkan diri dan memperbaiki prosesnya, oleh karena itu perusahaan harus pula memperbaharui benchmarking secara berkesinambungan.
H.      Peran Manajemen Dalam Benchmarking
Manajemen memegang peranan penting dalam proses benchmarking. Tanpa adanya dukungan, keterlibatan, dan komitmen dari manajemen puncak, maka tidak mungkin dilaksanakan benchmarking. Berbagai pertimbangan benchmarking yang membutuhkan dukungan manajemen sebelum prosesnya dapat dimulai dari:[26]
1.      Komitmen terhadap Perubahan
Benchmarking merupakan usaha yang membutuhkan komitmen sungguh-sungguh terhadap perubahan secara radikal dalam proses suatu perusahaan agar dapat menjadi yang terbaik dalam kelasnya. Bila komitmen ini tidak ada, maka hanya akan terjadinya pemborosan biaya dan tenaga, serta kekecewaan pada setiap karyawan yang menginginkannya.
2.      Pendanaan
Hanya pihak manajemen yang berwenang atas pengeluaran dana untuk benchmarking. Dana ini akan mendukung perjalanan bagi tim untuk mengunjungi organisasi-organisasi yang memiliki proses terbaik di kelasnya.
3.      Sumber Daya Manusia
Manajemen juga merupakan satu-satunya pihak yang dapat memutuskan dan menugaskan sumber daya manusia yang  tersedia untuk melakukan benchmarking. Meskipun biaya sumber daya manusia biasanya jauh lebih tinggi dari pada biaya perjalanan, ketersediaan personil jarang sekali merupakan persoalan kecuali bagi lembaga sasaran.

4.      Pengungkapan
Masing-masing pihak yang terlibat dalam benchmarking harus mengungkapkan mengenai proses dan praktiknya. Dapat dipahami bila pihak manajemen enggan atau ragu-ragu untuk mengungkapkan informasi seperti itu kepada saingannya memang tidak ada jaminan bahwa informasi tersebut tidak akan bocor. Akan tetapi bila organisasi memiliki proses unik yang memberikannya keunggulan kompetitif, maka proses tersebut harus diperlakukan seabagai rahasia dan tidak dijadikan aspek yang akan dipatok duga. Dalam hal ini hanya pihak manajemen yang berwenang membuat keputusan untuk mengungkapkan suatu informasi.
5.      Keterlibatan
Manajemen harus terlibat aktif dan nyata dalam setiap aspek proses benchmarking. Manajemen harus terlibat dalam penentuan proses yang akan di-bencmark dan mitra benchmarking. Menajemen memiliki kemudahan dalam membentuk saluran komunikasi antar perusahaa, karena manajer puncak biasanya terlibat dalam organisasi profesi. Dialog antar manajemen puncak sebaikya diupayakan berlangsung periodik.
Keterlibatan secara aktif dari pihak manajemen dapat menyebabkan semakin produktifnya setiap level dalam melaksanakan aktivitas patok duga. Selain itu, bawahan akan memahami pentingnya usaha patok duga berdasarkan sejauh mana keterlibatan pihak manjemn dalam proses. Hal – hal penting berkaitan dengan peranan manajemen dalam patok duga adalah:[27]
a.         Agar patok duga dapat produktif, manajemen harus memiliki komitmen yang tinggi terhadap perubahan.
b.         Manajemen harus menyediakan dana yang dibutuhkan.
c.         Manajemen harus mengalokasikan sumber daya manusia yang tepat.
d.        Informasi yang dapat diungkapkan kepada mitra patok duga hanya dapat disiapkan dan ditentukan pihak manajemen.
e.         Manajemen ppuncak harus terlibat secara langsung dalam kegiatan patok duga.
I.         Persyaratan Benchmarking
Adapun prasyarat untuk melalukan benchmarking, antara lain:[28]
1.      Kemauan dan komitmen.
2.      Keterkaitan tujuan strategik.
3.      Tujuan untuk menjadi terbaik, bukan hanya untuk perbaikan.
4.      Keterbukaan terhadap ide-ide.
5.      Pemahaman terhadap proses, produk dan jasa yang ada.
6.      Proses terdokumentasi, karena:
a.         Semua orang yang berhubungan dengan suatu proses harus memiliki pemahaman yang sama terhadap proses yang bersangkutan.
b.         Dokumentasi sebelum adanya perubahan berguna dalam pengukuran peningkatan kinerja setelah dilaksanakannya benchmarking.
c.         Mitra benchmarking belum tentu akrab dengan proses yang dimiliki suatu organisasi.
7.      Ketrampilan analisis proses.
8.      Ketrampilan riset, komunikasi, dan pembentukan tim.
J.        Hambatan-hambatan Terhadap Kesuksesan Benchmarking
Beberapa hambatan-hambatan yang sering terjadi terhadap kesuksesan penerapan benchmarking, antara lain:[29]
1.      Fokus internal.
Organisasi terlalu berfokus internal (kepada diri sendiri) dan mengabaikan kenyatan bahwa proses yang terbaik dalam kelasnya dapat menghasilkan efisiensi yang jauh lebih tinggi, maka visi organisasi menjadi sempit.
2.      Tujuan benchmarking terlalu luas.
Benchmarking membutuhkan tujuan yang lebih spesifik dan berorientasi pada bagaimana (proses), bukan pada apa (hasil)
3.      Penjadwalan yang tidak realistis.
Benchmarking membutuhkan kesabaran, karena merupakan proses keterlibatan yang membutuhkan waktu. Sedangkan penjadwalan yang terlampau lama juga tidak baik, karena mungkin ada yang salah dalam pelaksanaannnya.
4.      Komposisi tim yang kurang tepat.
Perlu pelibatan terhadap orang-orang yang berhubungan dan menjalankan proses organisasi sehari-hari dalam pelaksanaan benchmarking.
5.      Bersedia menerima “ok-in-class (yang terbaik dalam kelasnya)”.
Seringkali organisasi memilih mitra yang bukan terbaik dalam kelasnya. Hal ini dikarenakan:
a.         Yang terbaik di kelasnya tidak berminat untuk berpartisipasi.
b.         Riset mengidentifikasi mitra yang keliru.
c.         Perusahaan benchmarking malas berusaha dan hanya memilih mitra yang lokasinya dekat.
6.      Penekanan yang tidak tepat.
Tim terlalu memaksakan aspek pengumpulan dan jumlah data. Padahal aspek yang paling penting adalah proses itu sendiri.
7.      Kekurangpekaan terhadap mitra.
Mitra benchmarking memberikan akses untuk mengamati prosesnya dan juga menyediakan waktu dan personil kuncinya untuk membantu proses benchmarking kepada organisasi sehingga mereka harus dihormati dan dihargai
8.      Dukungan manajemen puncak yang terbatas.
Dukungan total dari manajemen puncak dibutuhkan untuk memulai benchmarking, membantu tahap persiapan dan menjamin tercapainya manfaat yang dijanjikan.
K.      Kode Etik Benchmarking
International Benchmarking Clearinghouse memberikan kode etik yang harus diikuti dalam kegiatan benchmarking antara lain:[30]
1.      Prinsip Legalitas.
Diharuskan masing-masing peserta benchmarking untuk menghindari tindakan yang dapat menjadi penghambat kegiatan benchmarking, maupun kegiatan paska operasi termasuk kegiatan perdagangan
2.      Prinsip Pertukaran.
Perlu dilakukan diskusi antar perusahaan dan mitra benchmarking untuk menghindari salah pengertian dan pemberian informasi yang sebanding.
3.      Prinsip Kerahasiaan.
Setiap informasi yang diperoleh perusahaan dan benchmarking harus dijaga kerahasiaannya dan tidak dibenarkan memberikan informasi kepada pihak lain tanpa persetujuan dengan mitra benchmarking.
4.      Prinsip Penggunaan.
Informasi beberapa aspek yang diperoleh dan mitra benchmarking digunakan sebagai bahan perbaikan proses atau aspek-aspek dalam perusahaan.
5.      Prinsip Kontak Pihak Pertama.
Kontak untuk minta bantuan kepada mitra benchmarking dilakukan melalui pimpinan/manajer utama yang berwenang untuk mengambil keputusan, dan kemudian menghubungi bagian yang akan di-benchmarking.
6.      Prinsip Kontak Pihak Ketiga.
Kepada pihak ketiga tidak dibenarkan memberikan informasi mengenai siapa peserta benchmarking.
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Benchmarking adalah untuk menemukan kunci atau rahasia sukses dan kemudian mengadaptasi dan memperbaikinya agar dapat diterapkan pada institusi yang melaksanakan patok duga tersebut. Benchmarking dalam Pendidikan Agama Islam adalah suatu aktivitas dimana suatu Institusi Pendidikan Agama Islam mengadakan evaluasi diri secara kontinu, dengan membandingkan dirinya dengan institusi lain yang terbaik, sehingga institusi tersebut dapat mengidentifikasi, mengadopsi dan mengaplikasikan praktik-praktik yang lebih baik secara signifikan. Dengan kata lain, praktik-praktik yang telah dilakukan oleh lembaga terbaik tersebut digunakan sebagai patokan (benchmark atau patok duga) atau standar kinerja normatif oleh institusi Islam yang ingin memperbaikinya.
Ki Hadjar Dewantara mengemukakan konsep Benchmarking dalam 3N, yaitu Niteni: memperhatikan dengan seksama, Niru: mencontoh atau memanfaatkan, dan Nambahi: mengadaptasi, memperbaiki atau menyempurnakan. Ungkapan tersebut menegaskan bahwa benchmarking tidak hanya sekadar memindahkan sistem dari satu institusi ke institusi lain, tetapi diperlukan upaya kreatif dan inovatif sesuai dengan kondisi, budaya, dan kemampuan. Sementara itu, institusi yang dijadikan acuan/pembanding akan terdorong untuk melakukan perbaikan pengelolaan dan meningkatkan standar mutu.
Adapun proses benchmarking akan meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
6.      Evaluasi diri (self-assessment). Self assessment dilakukan dengan mengkaji serta mendokumentasikan visi dan misi, praktik penyelenggaraan pendidikan untuk mewujudkan visi dan misi, dan keberhasilan yang telah dapat dicapai oleh sekolah yang bersangkutan.
7.      Perbandingan (comparison), yaitu dengan mengidentifikasi organisasi (sekolah) yang patut dicontoh, serta menentukan organisasi mana yang akan dijadikan partner dalam melakukan benchmarking.
8.      Analisis dan adaptasi, yaitu dengan melakukan refleksi mengapa organisasi (sekolah) anda memperoleh hasil yang kurang baik, sementara organisasi (sekolah) lain hasilnya lebih baik.
9.      Rencanakan dan implementasikan, yakni dengan memikirkan secara cermat tindakan apa yang perlu dilakukan, komunikasikan (sosialisasikan) alternatifalternatif terbaik kepada semua warga sekolah, galang dukungan, dan lakukan tindakan yang telah dirancang untuk mencapai perbaikan.
10.  Umpan balik dan evaluasi, yaitu dengan mengamati dan menilai secara cermat apa yang telah dilakukan dan hasil yang telah dapat dicapai.
Langkah-langkah penerapan benchmarking ini dapat diterapkan secara produktif dengan variasi yang dapat disesuaikan dengan tujuan masing-masing institusi. Yang terpenting adalah menjaga kelangsungan proses benchmarking dengan pelibatan seluruh komponen perusahan dan dukungan komitmen yang baik. Meskipun prosesnya sederhana, benchmarking bukan hanya mempelajari unsur- unsur  persaingan yang tepat, yang bisa saja diperoleh dari Konsultan atau sumber lain, tetapi hal yang lebih penting adalah sebuah institusi akan terbiasa dengan outward looking (melihat kondisi luar) dengan memfokuskan diri pada pasar dan persaingan.
Beberapa hambatan-hambatan yang sering terjadi terhadap kesuksesan penerapan benchmarking, antara lain:[31]
1.    Fokus internal.
2.    Tujuan benchmarking terlalu luas.
3.    Penjadwalan yang tidak realistis.
4.    Komposisi tim yang kurang tepat.
5.    Bersedia menerima “ok-in-class (yang terbaik dalam kelasnya)”.
6.    Penekanan yang tidak tepat.
7.    Kekurangpekaan terhadap mitra.
8.    Dukungan manajemen puncak yang terbatas.



Daftar Rujukan
Bridge, R.G. Judd, C.M. & Mocck. P.R.  1979. The Determinants of Educational Outcomes. Massachusetts: Balinger Publishing Company
Depdiknas. 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
Depdiknas. 2005. Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Permendiknas,  Nomor 19 tahun 2005
Rahman, Taufiqur. 2013. Benchmarking. Jakarta: Universitas Esa Unggul,
Ruswidiono, R. Wasisto. 2011. Peningkatan Mutu dan benchmarking Peguruan Tinggi. Jakarta: STIE Trisakti
Suyata. 1998. Perbaikan Mutu Pendidikan, Transformasi Sekolah dan Implikasi Kebijakan. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta
Tjitono, Fandi & Diana, Anastasia. 2003. Total Quality Manajemen (edisi revisi). Yokyakarta: Andi Ofsett
Umaedi. 2000. Makalah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Disampaikan pada Konvensi Pendidikan Nasional di Semarang Pada Tanggal 19-22 September
Watson, G. 2007. Strategic Benchmarking Reloaded With Six Sigma: Improvingyour Company’s Performance Using Global Best Practices. USA: John Wiley & Sons Inc
Wikipedia, Benchmarking, http://en.wikipedia.org/wiki/benchmarking.html. diakses 09 Desember 2013
Winarni, Sri. 2010. Patok Duga Benchmarking, http://sriwinarni-sriwinarni86sriwinarni.blogspot.com/2010/06/patok-duga-benchmarking.html. diakses 06 Desember 2013
Yamit, Zulian. 2002. Manajemen Kualitas Produk dan Jasa. Yogyakarta: Penerbit Ekonsia
Zaedun, Amat. 2011. Makalah Seminar Nasional Benchmarking Standar Mutu Pendidikan. Yogyakarta: Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian Dan Pengembangan, Kemendikbud


[1] Depdiknas, Standar Nasional Pendidikan, (Jakarta: Permendiknas,  Nomor 19 tahun 2005)
[2] Amat Zaedun, Makalah Seminar Nasional Benchmarking Standar Mutu Pendidikan, (Yogyakarta: Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian Dan Pengembangan, Kemendikbud, 2011), hlm 01
[3] Sri Winarni, 2010, Patok Duga Benchmarking, http://sriwinarni-sriwinarni86sriwinarni.blogspot.com/2010/06/patok-duga-benchmarking.html. diakses 06 Desember 2013
[4] Umaedi, Makalah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, (Disampaikan pada Konvensi Pendidikan Nasional di Semarang Pada Tanggal 19–22 September 2000), hlm 21
[5] Suyata, Perbaikan Mutu Pendidikan, Transformasi Sekolah dan Implikasi Kebijakan, (Yogyakarta: IKIP Yogyakarta, 1998), hlm. 08
[6] R.G. Bridge, C.M. Judd, & P.R.  Mocck, The Determinants of Educational Outcomes. (Massachusetts: Balinger Publishing Company, 1979), hlm 123
[7] Depdiknas, Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003)
[9] Fajar Hidayat, Benchmarking Patok Duga, http://fajarhidayat14.blogspot.com/2013/06/benchmarking-patok-duga_21.html. diakse 09 Desember 2013
[10] G.Watson, Strategic Benchmarking Reloaded With Six Sigma: Improvingyour Company’s Performance Using Global Best Practices, (USA: John Wiley & Sons Inc, 2007), hlm. 147
[11] Wikipedia, Benchmarking, http://en.wikipedia.org/wiki/benchmarking.html. diakses 09 Desember 2013
[13] Ibid.
[14] R. Wasisto Ruswidiono, Peningkatan Mutu dan benchmarking Peguruan Tinggi, (Jakarta: STIE Trisakti, 2011), hlm. 8-9
[15]Fandi Tjitono, & Anastasia Diana, Total Quality Manajemen (edisi revisi), (Yokyakarta: Andi Ofsett, 2003), hlm. 232-233
[16] Zulian Yamit, Manajemen Kualitas Produk dan Jasa (Yogyakarta: Penerbit Ekonsia, 2002), hlm. 134
[17] http://kjm.ugm.ac.id/web/index.php. diakses 09 Desember 2013
[18] Nurul Iman, Benchmarking dan Pemberdayaan Wakaf, http://nuruliman1972.blogspot.com/2010/12/benchmarking-dan-pemberdayaan-wakaf.html. diakses 09 Desember 2013
[19] Taufiqur Rahman, Benchmarking, (Jakarta: Universitas Esa Unggul, 2013), hlm. 6-7
[20],Ibid,hlm. 2-3
[22] Badan Akreditasi Sekolah Nasional, Instrumen Evaluasi Diri Sekolah, (Jakarta: Depdiknas, 2004), hlm. 53
[23] Sri Wonarni, Patok Duga,,,,,
[24] Zulian Yamit, Manajemen Kualitas,,,,hlm. 135
[25] Taufiqur Rahman, Benchmarking,,,,,,,hlm. 8-9
[26] Nursya’bani Purnama, Manajemen Kualitas Persepektif Global, (Yogyakarta: Ekonisia, 2006), hlm. 126-127
[27] Ilmu SDM, Mengenal Konsep Benchmarking, http://ilmusdm.wordpress.com/2008/02/06/mengenal-konsep-benchmarking/. Diakses 12 Desember 2013
[28] Taufiqur Rahman, Benchmarking,,,,hlm. 9
[29] Nursya’bani Purnama, Manajemen Kualitas,,,,, hlm. 129-130
[30]Fajar Hidayat, Benchmarking Patok Duga, http://fajarhidayat14.blogspot.com/2013/06/benchmarking-patok-duga_21.html. diakse 09 Desember 2013
[31] Nursya’bani Purnama, Manajemen Kualitas,,,,, hlm. 129-130

No comments:

Post a Comment