PENJAMIN MUTU KURIKULUM
(STANDAR ISI) PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Mata Kuliah “Penjamin Mutu
Pendidikan Islam”
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan adalah
segala usaha yang ditujukan agar manusia dapat mengembangkan potensi diri melalui
proses pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat.[1] Proses
tersebut merupakan kegiatan yang mulia dan selalu mengandung kebajikan, dan
selalu berwatak netral.[2] Dengan
demikian, peranan penting pendidikan dalam membangun karakteristik manusia yang
unggul dan tangguh. Pendidikan dapat digunakan sarana untuk membina jati diri
bangsa dan identitas kita, memupuk karakter bangsa, dan memperkuat wawasan
kebangsaan.
Upaya yang dipersiapkan untuk menghadapi masyarakat global adalah
melalui proses pendidikan nasional, dimana pendidikan nasional perlu memiliki
visi yang strategis untuk menjawab tantangan global. Menurut Tilaar visi
strategi sistem pendidikan nasional harus mencakup beberapa hal sebagai berikut:[3]
1.
Mengidentifikasikan
dan menyadari kekuatan-kekuatan global dalam jangka pendek, menengah, dan
jangka panjang agar supaya bangsa Indonesia siap untuk menghadapi dan
memanfaatkan peluang-peluang yang terbuka.
2.
Pembangunan
nasional dalam konteks globalisasi, pendidikan dan pelatihan merupakan salah
satu aspeknya haruslah memberikan perhatian terhadap kerjasama regional dan
kerjasama global.
3.
Penyususnan
mutu strategis pengembangan sumber daya manusia Indonesia dalam strategi pokok
menghadapi tantangan dan peluang global.
Di samping itu bangsa Indonesia hendaknya memperbaiki mutu
pendidikan, karena sekarang ini mutu menjadi sesuatu hal yang sangat penting
dalam dunia pendidikan. Dan mutu merupakan problem pendidikan yang harus
mendapat perhatian serius. Banyak lulusan sekolah maupun madrasah tidak siap
memenuhi kebutuhan masyarakat. Para siswa yang diharapkan menjadi warga negara
yang bertanggung jawab dan produktif, akhirnya hanya menjadi beban masyarakat.
Para siswa tidak memiliki ketrampilan yang langsung dapat diimplementasikan
dalam kehidupan masyarakat. Sekarang ini masyarakat semakin cerdas menanggapi
masalah fenomena pendidikan yang muncul ditengah-tengah masyarakat. Sekolah
yang bersifat inovatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman dan
menghasilkan outcome yang siap pakai (sekolah bermutu) itulah yang
menjadi harapan masyarakat. Untuk itu para professional pendidikan harus
membantu para siswa mengembangkan ketrampilan yang dibutuhkan untuk bersaing
dalam kehidupan global.
Berdasarkan uraian di atas maka para profesional pendidikan
hendaknya mengetahui dan memahami bagaimana konsep mutu, hakekat mutu, prinsip-prinsip
mutu, dan langkah-langkah pelaksanaan manajemen mutu dalam pendidikan sehingga
keluaran pendidikan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Indonesia dalam menetapkan standar mutu pendidikan menggunakan standar
nasional pendidikan. Untuk menjamin standarisasi mutu pendidikan di Indonesia
ini dibentuklah BSNP yang melakukan pengawasan dan penelitian akan pelaksanaan
usaha dalam mencapai mutu pendidikan. Untuk mempermudah pelaksanaan dan
controling standarisasi mutu pendidikan ini diatur dalam standar nasional
pendidikan yang dikeluarkan oleh BSNP. Standar nasional pendidikan adalah
kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia. pada makalah ini membahas tentang penjamin standar
mutu pendidikan khususnya dalam standar isi pendidikan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas diperoleh rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana penjamin mutu dalam pendidikan?
2. Bagaimana kurikulum (standar isi) pendidikan agama Islam?
3. Bagaimana penjamin mutu kurikulum (standar isi) pendidikan agama Islam?
BAB II
PENJAMIN MUTU KURIKULUM
(STANDAR ISI)
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
A. Penjamin Mutu Dalam Pendidikan
1. Pengertian Mutu
Mutu juga dapat di
definisikan sebagai sesuatu yang memuaskan atau melampaui keinginan dan
kebutuhan pelanggan. Definisi ini disebut juga mutu sesuai persepsi (quality
in perception). Mutu ini bisa disebut sebagai mutu yang ada di mata orang
yang melihatnya. Ini merupakan definisi yang sangat penting, sebab ada satu
resiko yang seringkali kita abaikan dari definisi ini, ayitu kenyataan bahwa
para pelanggan adalah pihak yang membuat keputusan terhadap mutu, dan mereka
melakukan penilaian tersebut dengan merujuk pada produk terbaik yang bisa
bertahan dalam persaingan.[4]
Menurut Sallis mutu
dapat diartikan sebagai derajat kepuasan luar biasa yang diterima oleh costumer
sesuai dengan kebutuhan dan keinginan. Ahmad mengemukakan bahwa mutu pendidikan
di sekolah dapat diartikan sebagai kemampuan sekolah dalam pengelolaan secara
operasional dan efisien terhadap komponen-komponen yang berkaitan dengan
sekolah, sehingga menghasilkan nilai tambah terhadap komponen tersebut menurut
norma/standar yang berlaku. Sallis juga mengemukakan dua standar utama untuk
mengukur mutu, yaitu: 1) standar hasil dan pelayanan, dan 2) standar costumer.
Indikator yang termasuk dalam standar hasil dan pelayanan adala spesifikasi
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh oleh anak didik; hasil
pendidikan itu dapat dimanfaatkan di masyarakat atau di dunia kerja; tingkat
kesalahan yang sangat kecil; bekerja benar dari awal dan benar untuk pekerjaan
berikutnya. Indikator yang termasuk dalam standar costumer adalah terpenuhinya
kepuasan, harapan, dan pencerahan hidup bagi costumer itu.[5]
2.
Hakekat Mutu
Menurut Goetsch dan Davis secara luas mendifinisikan mutu adalah
suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses,
dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.[6]
Sedangkan Depdiknas mengatakan mutu adalah gambaran dan karakteristik
menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan
kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat.[7]
Dari berbagai pendapat di atas terdapat beberapa kesamaan bahwa
dalam konsep mutu terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
a.
Mutu
meliputi usaha untuk memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.
b.
Mutu
mencakup produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan.
c.
Mutu
merupakan kondisi yang selalu berubah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa mutu merupakan gambaran
(kondisi dinamis) produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan untuk memenuhi
harapan pelanggan.
Dalam konteks pendidikan mutu merupakan sebuah proses untuk
memperbaiki keluaran pendidikan yang dihasilkan. Karena dengan metodologi mutu
system kerja dapat dibagi ke dalam serangkaian proses kerja. Setiap rangkaian
kerja merupakan proses yang unik yang memberikan sumbangan pada penciptaan
keluaran. Menurut Juran dalam tujuan utama manajemen mutu diterapkan dalam pendidikan
adalah:[8]
a.
Meraih
mutu merupakan proses yang tidak mengenal akhir
b.
Perbaikan
mutu merupakan proses berkesinambungan, bukan program sekali jalan
c.
Mutu
memerlukan kepemimpinan dari anggota dewan sekolah dan administrator
d.
Pelatihan
massal merupakan prasyarat mutu
e.
Setiap
orang di sekolah mesti mendapatkan pelatihan mutu.
Untuk mencapai mutu yang baik maka dalam penyelenggaraan pendidikan
harus mengenali siapa pelanggannya. Dengan mengenali pelanggan penyelenggara
pendidikan dapat menentukan mutu yang hendak dicapai sehingga memenuhi kepuasan
pelanggan. Menurut Jerome dalam proses penyelenggaraan pendidikan pelanggan
dapat diklasifikasilan menjadi 2 yaitu :[9]
a.
Pelanggan
internal, Adalah seluruh sumber daya manusia yang terlibat dalam proses
penyelenggaraan pendidikan, seperti peserta didik , orang tua, guru, staf
administrasi yang berada di dalam system pendidikan. Sebagai satu system
penyelenggara pendidikan masing-masing saling memberikan input dan output yang
saling mempengaruhi tercapainya mutu.
b.
Pelanggan
eksternal, Adalah masyarakat luar yang menggunakan produk dari hasil
penyelenggaraan pendidikan proses pendidikan (output) seperti: masyarakat,
dunia industri, lembaga / instansi yang berada diluar organisasi.
3.
Pengertian Penjamin Mutu
Pendidikan
Penjaminan mutuu pendidikan (Quality Assurance) adalah
proses penetapan dan pemenuhan standar mutu peneglolaan secra konsisten dan
berkelanjutan, sehingga stakeholders memperoleh kepuasan.Penjaminan mutu atau
kualitas adalah seluruh rencana tindakan sistematis yang pentimg umtuk
menyediakan kepercayaan yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan tertentu.
Penjaminan mutu secara internal oleh satuan penididikan adalah pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang
dikdasmen menerapkan menejemen berbasis sekolah: kemendirian, kemitraan,
partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas
Dalam PP no. 19/2005 pasal 65 Satuan Pendidikan mengembangkan visi
dan misi dan evaluasi kinerja masing-masing. Sedangkan dalam PP no. 19/2005
pasal 91, Satuan Pendidikan wajib
melakukan penjaminan mutu pendidikan untuk memenuhi atau melampaui SNP. Secara
singkat, implementasi SPMP terdiri dari rangkaian proses/tahapan yang secara
siklik dimulai dari (1) pengumpulan data, (2) analisis data, (3)
pelaporan/pemetaan, (4) penyusunan rekomendasi, dan (5) upaya pelaksanaan
rekomendasi dalam bentuk program peningkatan mutu pendidikan.
Sekolah perlu membentuk Tim Pengembang Sekolah (TPS) yang terdiri
dari berbagai unsur stakeholders yaitu, kepala sekolah, pengawas sekolah,
perwakilan guru, komite sekolah, orang tua, dan perwakilan lain dari kelompok
masyarakat yang memang dipandang layak untuk diikutsertakan karena kepedulian
yang tinggi pada sekolah. Dalam melaksanakan SPMP, Pengawas Pendidikan yang
bertugas sebagai pembina sekolah juga harus dilibatkan dalam TPS, sebagai wakil
dari pemerintah.
4.
Tujuan Penjamin Mutu
Tujuan
kegiatan penjaminan mutu bermanfaat, baik bagi pihak internal maupun eksternal
organisasi. Perkembangan
Penjaminan Mutu dalam Pendidikan, tujuan penjaminan (Assurance)
terhadap kualitas tersebut
antara lain sebagai berikut.
a.
Membantu
perbaikan dan peningkatan secara terus-menerus dan berkesinambungan melalui
praktek yang terbaik dan mau mengadakan inovasi.
b.
Memudahkan
mendapatkan bantuan, baik pinjaman uang atau fasilitas atau bantuan lain dari
lembaga yang kuat clan dapat dipercaya.
c.
Menyediakan
informasi pada masyarakat sesuai sasaran dan waktu secara konsisten, dan bila
mungkin, membandingkan standar yang telah dicapai dengan standar pesaing.
d.
Menjamin
tidak akan adanya hal-hal yang tidak dikehendaki.
Selain itu, tujuan dari
diadakannya penjaminan kualitas (quality assurance) ini
adalah agar dapat memuaskan berbagai pihak yang terkait di dalamnya, sehingga
dapat berhasil mencapai sasaran masing-masing. Penjaminan kualitas merupakan
bagian yang menyatu dalam membentuk kualitas produk dan jasa suatu organisasi
atau perusahaan. Mekanisme penjaminan kualitas yang digunakan juga harus dapat
menghentikan perubahan bila dinilai perubahan tersebut menuju ke arah penurunan
atau kemunduran. Kegiatan penjaminan kualitas
merupakan kegiatm pengendalian melalui prosedur secara benar, selungga dapat
mencapai perbaikan dalam efisiensi, produktivitns, dan profitabilitas.
Penjaminan kualitas bukan
merupakan obat yang mujarab untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Dengan
penjaminan kualitas, justru akan dapat mengerjakan segala sesuatu dengan baik
sejak awal dan setiap waktu (do it right the first time and every time).
5.
Landasan Penjamin Mutu Pendidikan
Landasan yuridis Sistem
penjamin mutu pendidikan adalah UU No: 20 TAHUN 2003 TENTANG SISDIKNAS Pasal 1
ayat 21, Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan dan
penetapan mutu pendidikan…. dst sebagai bentuk pertanggungjawaban
penyelenggaraan pendidikan. Pasal 35 ayat 1, Standar Nasional pendidikan
terdiri standar isi, proses, kompetensi lulusan…. dst. dan Pasal 50 ayat 2,
Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk
menjamin mutu…. dst. Beberapa Model SPM: Model SPM Didasarkan pada: UU No.20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan dan Pokja Penjaminan Mutu 2003: (a) Penetapan Standar Mutu, (b)
Pelaksanaan, (c) Evaluasi, (d) Pencapaian dan peningkatan standard, dan (e)
Benchmarking.
Dalam Peraturan Pemerintah
19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, BAB II pasal 2 disebutkan
bahwa Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi: (a) Standar isi, (b)
Standar proses, (c) Standar kompetensi lulusan, (d) Standar pendidik dan tenaga
kependidikan, (e) Standar sarana dan prasarana, (f) Standar pengelolaan, (g)
Standar pembiayaan, dan (h) Standar penilaian pendidikan.
B. Kurikulum (Standar Isi) Pendidikan Agama Islam
SALINAN
LAMPIRAN
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
NOMOR 64 TAHUN 2013
TENTANG
STANDAR ISI PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
1. STRUKTUR KURIKULUM
Struktur kurikulum menggambarkan
konseptualisasi konten kurikulum dalam bentuk mata pelajaran, posisi
konten/mata pelajaran dalam kurikulum, distribusi konten/mata pelajaran dalam
semester atau tahun, beban belajar untuk mata pelajaran dan beban belajar per
minggu untuk setiap siswa. Struktur kurikulum adalah juga merupakan aplikasi
konsep pengorganisasian konten dalam sistem belajar dan pengorganisasian beban
belajar dalam sistem pembelajaran.
Pengorganisasian konten dalam sistem belajar yang digunakan untuk
kurikulum yang akan datang adalah sistem semester sedangkan pengorganisasian
beban belajar dalam sistem pembelajaran berdasarkan jam pelajaran per semester.
Struktur kurikulum adalah juga
gambaran mengenai penerapan prinsip kurikulum mengenai posisi seorang siswa
dalam menyelesaikan pembelajaran di suatu satuan atau jenjang pendidikan. Dalam
struktur kurikulum menggambarkan ide kurikulum mengenai posisi belajar seorang siswa yaitu apakah
mereka harus menyelesaikan seluruh mata pelajaran yang tercantum dalam struktur
ataukah kurikulum memberi kesempatan kepada siswa untuk menentukan berbagai
pilihan. Struktur kurikulum terdiri atas sejumlah mata pelajaran dan beban
belajar pada setiap satuan pendidikan.
2. STRUKTUR KURIKULUM SD/MI
Beban belajar dinyatakan dalam jam
belajar setiap minggu untuk masa belajar selama satu semester. Beban belajar di
SD/MI kelas I, II, dan III masing-masing 30, 32, 34 sedangkan untuk kelas IV,
V, dan VI masing-masing 36 jam setiap minggu. Jam belajar SD/MI adalah 35
menit.
Struktur Kurikulum SD/MI adalah
sebagai berikut:
MATA PELAJARAN
|
ALOKASI WAKTU BELAJAR
PER MINGGU
|
||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
||
Kelompok
A
|
|
|
|||||
1.
|
Pendidikan
Agama dan Budi Pekerti
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
2.
|
Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan
|
5
|
6
|
6
|
4
|
4
|
4
|
3.
|
Bahasa
Indonesia
|
8
|
8
|
10
|
7
|
7
|
7
|
4.
|
Matematika
|
5
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
5.
|
Ilmu Pengetahuan Alam
|
-
|
-
|
-
|
3
|
3
|
3
|
6.
|
Ilmu Pengetahuan Sosial
|
-
|
-
|
-
|
3
|
3
|
3
|
Kelompok
B
|
|||||||
1.
|
Seni
Budaya dan Prakarya
|
4
|
4
|
4
|
5
|
5
|
5
|
2.
|
Pendidikan
Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
Jumlah Alokasi Waktu Per Minggu
|
30
|
32
|
34
|
36
|
36
|
36
|
= Pembelajaran Tematik
Integratif
|
Keterangan:
Mata
pelajaran Seni Budaya dan Prakarya dapat Bahasa Daerah.
Selain kegiatan intrakurikuler
seperti yang tercantum di dalam struktur kurikulum diatas, terdapat pula kegiatan
ekstrakurikuler SD/MI antara lain Pramuka (Wajib), Usaha Kesehatan Sekolah, dan
Palang Merah Remaja. Mata pelajaran Kelompok A adalah kelompok mata pelajaran
yang kontennya dikembangkan oleh pusat. Mata pelajaran Kelompok B yang terdiri
atas mata pelajaran Seni Budaya dan Prakarya serta Pendidikan Jasmani,
Olahraga, dan Kesehatan adalah kelompok mata pelajaran yang kontennya
dikembangkan oleh pusat dan dilengkapi dengan konten lokal yang dikembangkan
oleh pemerintah daerah.
Satuan pendidikan dapat menambah jam
pelajaran per minggu sesuai dengan kebutuhan peserta didik pada satuan
pendidikan tersebut. Integrasi Kompetensi Dasar IPA dan IPS didasarkan pada
keterdekatan makna dari konten Kompetensi Dasar IPA dan IPS dengan konten
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan,
Bahasa Indonesia, Matematika, serta Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan
yang berlaku untuk kelas I, II, dan III. Sedangkan untuk kelas IV, V dan VI,
Kompetensi Dasar IPA dan IPS berdiri sendiri dan kemudian diintegrasikan ke
dalam tema-tema yang ada untuk kelas IV, V dan VI.
3. STRUKTUR KURIKULUM SMP/MTS
Dalam struktur kurikulum SMP/MTs ada
penambahan jam belajar per minggu dari semula 32, 32, dan 32 menjadi 38, 38 dan
38 untuk masing-masing kelas VII, VIII, dan IX. Sedangkan lama belajar untuk
setiap jam belajar di SMP/MTs tetap yaitu 40 menit.
Struktur Kurikulum SMP/MTS adalah
sebagai berikut:
MATA PELAJARAN
|
ALOKASI WAKTU BELAJAR PER MINGGU
|
|||
VII
|
VIII
|
IX
|
||
Kelompok
A
|
||||
1.
|
Pendidikan
Agama dan Budi Pekerti
|
3
|
3
|
3
|
2.
|
Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan
|
3
|
3
|
3
|
3.
|
Bahasa
Indonesia
|
6
|
6
|
6
|
4.
|
Matematika
|
5
|
5
|
5
|
5.
|
Ilmu
Pengetahuan Alam
|
5
|
5
|
5
|
6.
|
Ilmu
Pengetahuan Sosial
|
4
|
4
|
4
|
7.
|
Bahasa
Inggris
|
4
|
4
|
4
|
Kelompok
B
|
||||
1.
|
Seni
Budaya
|
3
|
3
|
3
|
2.
|
Pendidikan
Jasmani, Olah Raga, dan Kesehatan
|
3
|
3
|
3
|
3.
|
Prakarya
|
2
|
2
|
2
|
Jumlah Alokasi Waktu Per Minggu
|
38
|
38
|
38
|
Keterangan:
Mata
pelajaran Seni Budaya dapat memuat Bahasa Daerah.
Selain kegiatan intrakurikuler
seperti yang tercantum di dalam struktur kurikulum diatas, terdapat pula
kegiatan ekstrakurikuler SMP/MTs antara lain Pramuka (Wajib), Organisasi Siswa
Intrasekolah, Usaha Kesehatan Sekolah, dan Palang Merah Remaja. Mata pelajaran
Kelompok A adalah kelompok mata pelajaran yang kontennya dikembangkan oleh
pusat. Mata pelajaran Kelompok B yang terdiri atas mata pelajaran Seni Budaya,
Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan, dan Prakarya adalah kelompok mata
pelajaran yang kontennya dikembangkan oleh pusat dan dilengkapi dengan konten
lokal yang dikembangkan oleh pemerintah daerah.
Satuan pendidikan dapat menambah jam
pelajaran per minggu sesuai dengan kebutuhan peserta didik pada satuan
pendidikan tersebut. IPA dan IPS dikembangkan sebagai mata pelajaran
integrative science dan integrative social studies, bukan sebagai pendidikan
disiplin ilmu. Keduanya sebagai pendidikan berorientasi aplikatif, pengembangan
kemampuan berpikir, kemampuan belajar, rasa ingin tahu, dan pengembangan sikap
peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan sosial dan alam. Disamping
itu, tujuan pendidikan IPS menekankan pada pengetahuan tentang bangsanya,
semangat kebangsaan, patriotisme, serta aktivitas masyarakat di bidang ekonomi
dalam ruang atau space wilayah NKRI. IPA juga ditujukan untuk pengenalan
lingkungan biologi dan alam sekitarnya, serta pengenalan berbagai keunggulan
wilayah nusantara.
Seni Budaya terdiri atas empat
aspek, yakni seni rupa, seni musik, seni tari, teater. Masing-masing aspek
diajarkan secara terpisah dan setiap satuan pendidikan dapat memilih aspek yang
diajarkan sesuai dengan kemampuan (guru dan fasilitas) pada satuan pendidikan
itu. Prakarya terdiri atas empat aspek, yakni kerajinan, rekayasa, budidaya,
dan pengolahan. Masing-masing aspek diajarkan secara terpisah dan setiap satuan
pendidikan menyelenggarakan pembelajaran prakarya paling sedikit dua aspek
prakarya sesuai dengan kemampuan dan potensi daerah pada satuan pendidikan itu.
4. STRUKTUR KURIKULUM PENDIDIKAN MENENGAH (SMA/MA/SMK/MAK)
Struktur kurikulum SMA/MA/SMK/MAK
terdiri atas:
a.
Kelompok
mata pelajaran wajib yang diikuti oleh seluruh peserta didik
b.
Kelompok
mata pelajaran peminatan yang diikuti oleh peserta didik sesuai dengan bakat,
minat, dan kemampuannya.
Adanya kelompok mata pelajaran wajib
dan mata pelajaran peminatan dimaksudkan untuk menerapkan prinsip kesamaan
antara SMA/MA dan SMK/MAK. Mata pelajaran wajib sebanyak 9 (sembilan) mata
pelajaran dengan beban belajar 24 jam per minggu. Kelompok mata pelajaran
peminatan SMA/MA terdiri atas 18 jam per minggu untuk kelas X, dan 20 jam per
minggu untuk kelas XI dan XII. Kelompok mata pelajaran peminatan SMK/MAK
masing-masing 24 jam per kelas. Kelompok mata pelajaran peminatan SMA/MA
bersifat akademik, sedangkan untuk SMK/MAK bersifat vokasional. Struktur ini
menempatkan prinsip bahwa peserta didik adalah subjek dalam belajar dan mereka
memiliki hak untuk memilih sesuai dengan minatnya.
Struktur Kurikulum Pendidikan
Menengah adalah sebagaimana yang tertera di dalam tabel berikut ini:
Struktur Kurikulum Pendidikan
Menengah kelompok mata pelajaran wajib:
MATA PELAJARAN
|
ALOKASI WAKTU BELAJAR
PER MINGGU
|
|||
X
|
XI
|
XII
|
||
Kelompok
A (Wajib)
|
||||
1.
|
Pendidikan
Agama dan Budi Pekerti
|
3
|
3
|
3
|
2.
|
Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan
|
2
|
2
|
2
|
3.
|
Bahasa
Indonesia
|
4
|
4
|
4
|
4.
|
Matematika
|
4
|
4
|
4
|
5.
|
Sejarah
Indonesia
|
2
|
2
|
2
|
6.
|
Bahasa
Inggris
|
2
|
2
|
2
|
Kelompok
B (Wajib)
|
||||
7.
|
Seni
Budaya
|
2
|
2
|
2
|
8.
|
Pendidikan
Jasmani, Olah Raga, dan Kesehatan
|
3
|
3
|
3
|
9.
|
Prakarya
dan Kewirausahaan
|
2
|
2
|
2
|
Jumlah
Jam Pelajaran Kelompok A dan B per minggu
|
24
|
24
|
24
|
|
Kelompok
C (Peminatan)
|
||||
Mata
Pelajaran Peminatan Akademik (SMA/MA)
|
18
|
20
|
20
|
|
Jumlah Jam Pelajaran yang Harus
Ditempuh per Minggu
|
42
|
44
|
44
|
Mata pelajaran Kelompok A adalah
kelompok mata pelajaran yang kontennya dikembangkan oleh pusat. Mata pelajaran
Kelompok B yang terdiri atas mata pelajaran Seni Budaya, Pendidikan Jasmani,
Olahraga, dan Kesehatan, dan Prakarya adalah kelompok mata pelajaran yang
kontennya dikembangkan oleh pusat dan dilengkapi dengan konten lokal yang
dikembangkan oleh pemerintah daerah.
Beban belajar di SMA/MA untuk Tahun
X, XI, dan XII masing-masing 43 jam belajar per minggu. Satu jam belajar adalah
45 menit. Kurikulum SMA/MA dirancang untuk memberikan kesempatan kepada peserta
didik belajar berdasarkan minat mereka. Struktur kurikulum memperkenankan
peserta didik melakukan pilihan dalam bentuk pilihan Kelompok Peminatan,
pilihan Lintas Minat, dan/atau pilihan Pendalaman Minat. Satuan pendidikan
dapat menambah jam pelajaran per minggu sesuai dengan kebutuhan peserta didik
pada satuan pendidikan tersebut.
1.
Struktur
Kurikulum SMA/MA
MATA
PELAJARAN
|
Kelas
|
||||
X
|
XI
|
XII
|
|||
Kelompok A dan B (Wajib)
|
24
|
24
|
24
|
||
C. Kelompok Peminatan
|
|||||
Peminatan
Matematika dan Ilmu-Ilmu Alam
|
|
|
|
||
I
|
1
|
Matematika
|
3
|
4
|
4
|
2
|
Biologi
|
3
|
4
|
4
|
|
3
|
Fisika
|
3
|
4
|
4
|
|
4
|
Kimia
|
3
|
4
|
4
|
|
Peminatan
Ilmu-Ilmu Sosial
|
|
|
|
||
II
|
1
|
Geografi
|
3
|
4
|
4
|
2
|
Sejarah
|
3
|
4
|
4
|
|
3
|
Sosiologi
|
3
|
4
|
4
|
|
4
|
Ekonomi
|
3
|
4
|
4
|
|
Peminatan
Ilmu-Ilmu Bahasa dan Budaya
|
|
|
|
||
III
|
1
|
Bahasa
dan Sastra Indonesia
|
3
|
4
|
4
|
2
|
Bahasa
dan Sastra Inggris
|
3
|
4
|
4
|
|
3
|
Bahasa
dan Sastra Asing Lainnya
|
3
|
4
|
4
|
|
4
|
Antropologi
|
3
|
4
|
4
|
|
Mata
Pelajaran Pilihan dan Pendalaman
|
|
|
|
||
Pilihan
Lintas Minat dan/atau Pendalaman Minat
|
6
|
4
|
4
|
||
Jumlah
jam pelajaran yang tersedia per minggu
|
66
|
76
|
76
|
||
Jumlah
jam pelajaran yang harus ditempuh per minggu
|
42
|
44
|
44
|
Selain kegiatan intrakurikuler
seperti yang tercantum di dalam struktur kurikulum di atas, terdapat pula
kegiatan ekstrakurikuler SMA/MA/SMK/MAK antara lain Pramuka (Wajib), Organisasi
Siswa Intrasekolah, Usaha Kesehatan Sekolah, dan Palang Merah Remaja. Mata
pelajaran Kelompok A dan C adalah kelompok mata pelajaran yang kontennya
dikembangkan oleh pusat. Mata pelajaran Kelompok B adalah kelompok mata
pelajaran yang kontennya dikembangkan oleh pusat dan dilengkapi dengan konten
lokal yang dikembangkan oleh pemerintah daerah.
Kelompok Peminatan terdiri atas
Peminatan Matematika dan Ilmu-ilmu Alam, Peminatan Ilmu-ilmu Sosial, dan
Peminatan Ilmu-ilmu Bahasa dan Budaya. Sejak kelas X peserta didik sudah harus
memilih kelompok peminatan yang akan dimasuki. Pemilihan peminatan berdasarkan
nilai rapor di SMP/MTsdan/atau nilai UN SMP/MTs dan/atau rekomendasi guru BK di
SMP/MTs dan/atau hasil tes penempatan (placement test) ketika mendaftar di
SMA/MA dan/atau tes bakat minat oleh psikolog dan/atau rekomendasi guru BK di
SMA/MA. Pada akhir minggu ketiga semester pertama peserta didik masih mungkin
mengubah pilihan peminatannya berdasarkan rekomendasi para guru dan
ketersediaan tempat duduk. Untuk sekolah yang mampu menyediakan layanan khusus
maka setelah akhir semester pertama peserta didik masih mungkin mengubah
pilihan peminatannya. Untuk MA, selain ketiga peminatan tersebut ditambah
dengan Kelompok Peminatan Keagamaan.
Semua mata pelajaran yang terdapat
dalam suatu Kelompok Peminatanyang dipilih peserta didik harus diikuti. Setiap
Kelompok Peminatan terdiri atas 4 (empat) mata pelajaran dan masing-masing mata
pelajaran berdurasi 3 jampelajaran untuk kelas X, dan 4 jampelajaran untuk
kelas XI dan XII. Setiap peserta didik memiliki beban belajar per semester
selama 42 jam pelajaran untuk kelas X dan 44 jam pelajaran untuk kelas XI dan
XII. Beban belajar ini terdiri atas Kelompok Mata Pelajaran Wajib A dan B
dengan durasi 24 jam pelajaran dan Kelompok Mata Pelajaran Peminatan dengan
durasi 12 jam pelajaran untuk kelas X dan 16 jampelajaran untuk kelas XI dan
XII. Untuk Mata Pelajaran Pilihan Lintas Minat dan/atau Pendalaman Minat kelas
X, jumlah jam pelajaran pilihan per minggu berdurasi 6 jam pelajaran yang dapat
diambil dengan pilihan sebagai berikut:
a.
Dua mata pelajaran di luar Kelompok Peminatan
yang dipilihnya tetapi masih dalam satu Kelompok Peminatan lainnya, dan/atau
b.
Satu
mata pelajaran dari masing-masing
Kelompok Peminatan yang lainnya.
Sedangkan pada kelas XI dan XII,
peserta didik mengambil Pilihan Lintas Minat dan/atau Pendalaman Minat dengan
jumlah jam pelajaran pilihan per minggu berdurasi 4 jam pelajaran yang dapat
diambil dengan pilihan sebagai berikut:
a.
Satu
mata pelajaran di luar Kelompok Peminatan yang dipilihnya tetapi masih dalam
Kelompok Peminatan lainnya, dan/atau
b.
Mata
pelajaran Pendalaman Kelompok Peminatan yang dipilihnya.
C. Penjaminan Mutu Kurikulum (Standar Isi) Pendidikan
Agama Islam
Ada tiga faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan
yaitu: kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan
educational production function atau input-input analisis yang tidak consisten;
2) penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik; 3) peran serta
masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sangat
minim.[10]
Untuk meningkatkan mutu dan mempertahankan yang telah
dicapai. Philip B. Crosby berpendapat
bahwa mutu adalah kesesuaian dengan kebutuhan yang meliputi availability, delivery,
reliability, maintainability, dan cost effectiveness. Philip B.
Crosby mengungkapkan “Empat
Dalil Mutu” seperti berikut:
1. Definisi mutu adalah kesesuaian
dengan persyaratan.
2. Sistem mutu adalah pencegahan.
3. Standar kerja adalah tanpa
cacat (Zero Defect).
4. Pengukuran mutu adalah biaya mutu.
Mutu memerlukan suatu proses perbaikan yang terus-menerus (continuous
improvement process) dengan
individual yang dapat diukur,
korporat, dan tujuan performa nasional. Dukungan manajemen, karyawan, dan pemerintah untuk perbaikan mutu adalah
penting untuk kompetisi yang efektif
di pasar global. Perbaikan mutu bukan lebih dari suatu strategi usaha, malainkan
suatu tanggung jawab pribadi, bagian dari warisan kultural, dan sumber penting kebanggaan nasional. Komitmen
terhadap mutu adalah suatu sikap yang
diformulasikan
dan didemonstrasikan dalam setiap
lingkup kegiatan dan kehidupan, serta mempunyai karakteristik hubungan kita yang
paling dekat dengan anggota masyarakat.
Kurikulum pendidikan agama Islam terutama dalam
standar isi di sekolah terdiri atas beberapa aspek, yaitu aspek Al-Qur’an
Hadits, keimanan atau aqidah, akhlak, fiqih/ hukum Islam, dan aspek Tarikh
(sejarah). Meskipun masing-masing aspek tersebut dalam prakteknya saling mengaitkan
atau terkait (mengisi dan melengkapi), tetapi jika dilihat secara teoritis
masing-masing memiliki karakteristik tersendiri sebagai berikut:[11]
1. Aspek Al-Qur’an dan Hadist, menekankan pada kemampuan baca tulis yang baik
dan benar, memahami makna secara tekstual, serta mengamalkan kandungannya dalam
kehidupan sehari-hari.
2. Aspek Aqidah, menekankan pada kemampuan memahami dan mempertahankan
keyakinan atau keimanan yang benar serta menghayati dan mengamalkan nilai-nilai
asma’ alhusna.
3. Aspek Akhlak, menekankan pada pembiasaan untuk melaksanakan akhak terpuji
dan menjahui akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari.
4. Aspek Fiqih, menekankan pada kemampuan cara melaksanakan ibadah dan
muamalah yang benar dan baik.
5. Aspek tarikh dan kebudayaan islam, menekankan pada mengambil ibrah
(contoh atau hikmah) dari peristiwa-peristiwa bersejarah (Islam), meneladani
tokoh-tokoh berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena-fenomena sosial,
budaya, politik, ekonomi, iptek, dan lain-lain untuk mengembangkan kebudayaan
dan peradapan Islam.
1. Tarbitah jismiyah, yaitu segala rupa
pendidikan yang wujudnya menyuburkan dan menyehatkan tubuh sertra
menegakkannya, supaya dapat merintangi kesukaran yang dihadapi dalam
pengalamannya.
2. Tarbiyah aqliyah, yaitu sebagaimana rupa
pendidikan dan pelajaran yang akibatnya mencerdaskan akal dan menajamkan akal.
3. Tarbiyah adabiyah, yaitu segala rupa praktek
maupun berupa teori yang wujudnya meningkatkan budi dan meningkatkan perangai.
Untuk melihat mutu standar isi PAI yang baik, maka
diperlukan kinerja maksimal. Kinerja merupakan bentuk penilaian tersendiri
untuk mengukur tingkat keberhasilan seseorang atau perusahaan (organisasi)
dalam menjalankan program-program kerjanya.[13]
Engkoswara menyatakan bahwa kriteria keberhasilan suatu manajemen pendidikan
ialah produktivitas pendidikan. Produktivitas pendidikan dapat diukur dari
sudut efektivitas dan efisiensi. Efektivitas dilihat dari sudut prestasi dan
proses pendidikan. Prestasi dilihat dari masukan dan keluaran yang merata dan
banyak, bermutu, relevan dan mempunyai nilai ekonomik. Efisiensi pendidikan
diharapkan dengan memanfaatkan tenaga, fasilitas, dana dan waktu yang sedikit
tapi hasilnya banyak, bermutu, relevan dan bernilai ekonomi yang tinggi.[14]
Dalam implementasinya, standar isi yang bermutu adalah
yang dapat sekaligus meningkatkan mutu suatu lembaga sekolah yang menerapkan
kurikulum (standar isi) tersebut. Menurut
Jerome karakteristik sekolah bermutu ditandai oleh "lima pilar
mutu" yang terdiri dari focus pada pelangan (konsumen), keterlibatan
total, pengukuran, komitmen, perbaikan berkelanjutan.[15]
Istilah pilar-pilar mutu ini menurut Edwar Deming merupakan prinsip-prinsip
manajemen mutu dalam pendidikan. Secara terperinci prinsi-prinsip atau lima
pilar mutu terbsebut adalah sebagai berikut:[16]
1.
Berfokus
pada pelanggan (konsumen), Sekolah bermutu menitik beratkan kepada kepuasan
pelanggan baik pelanggan internal maupun eksternal. Setiap orang dalam sekolah
adalah pelanggan , sehinga mereka bertanggung jawab terhadap output sekolah.
2.
Keterlibatan
total, Sekolah bermutu mendorong keterlibatan semua pihak dalam sekolah untuk
bertanggung jawab terhadap mutu sekolah, bukan hanya dewan sekolah atau
pengawas sekolah saja yang bertanggung jawab terhadap mutu sekolah. Semua pihak
dituntut untuk memberikan kontribusi terhadap tercapainya mutu.
3.
Pengukuran,
Mutu bukan hanya diukur dari keberhasilan nilai ujian akhir siswa, dan
efisiensi penggunaan anggaran pendidikan untuk proses belajar-mengajar. Tapi
mutu diukur dari ketrampilan yang diperoleh siswa dari keluaran sekolah atau outcome.
Katrampilan tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat secara nyata .
Sebagai contoh adalah sekolah kejuruan seperti SMK jurusan teknik mesin, tata busana
(menjahit), perhotelan dan sebagainya.
4.
Komitmen,
Para penyelenggara pendidikan harus komitmen terhadap mutu sekolah. Mutu
merupakan perubahan budaya yang menyebabkan organisasi mengubah cara kerjanya.
Mutu menuntut bagaimana upaya untuk mengubah seseorang, meskipun biasanya orang
tidak mau berubah. Maka manajemen harus mendukung proses perubahan dengan
memberikan pendidikan, perangkat, system, dan proses untuk meningkatkan mutu.
5.
Perbaikan
berkelanjutan, Perbaikan berkelanjutan dapat memonitor proses kerja sehingga
dapat mengidentifikasikan peluang perbaikan. Dengan perbaikan berkelanjutan
dapat digunakan untuk membangun kemitraan pelanggan/konsumen yang sukses.
Untuk menjamin mutu standar isi kurikulum pendidikan agama islam diperlukan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Penciptaan Kurikulum (standar isi) yang Mantap dan
Prospektif
Saat ini, reformasi pendidikan
merupakan dasar utama untuk menghindari disorganisiasi massal, dan merupakan
landasan reformasi politik dan reformasi hukum.[17]
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan kurikulum, Fullan menegaskan para guru
merupakan penentu arah pengembangan kurikulum, karena sebagai pelaksana proses
pembelajar dan pembelajaran siswa. Bahkan ditegaskan bahwa educational change
depends on what teachers do and think—it’s as simple and as complex as that”.[18]
Inilah yang menjadi ruh dari Kurikulum di Indonesia sekarang.
Kurikulum pendidikan formal
sebagaimana ada saat ini banyak diintervensi oleh kepentingan birokratis
sehingga masih banyak muatan politis yang dipaksakan. Untuk menyempurnakan
kurikulum tersebut perlu dibentuk jaringan kerjasama atau aliansi strategis antara
pendidikan tinggi, termasuk pendidikan dasar dan menengah dengan kaum
intelektual, profesional, stake holder, tokoh masyarakat dan anggota
masyarakat. Kerjasama tersebut diupayakan untuk makin membuat keterbukaan
lembaga pendidikan formal terhadap perkembangan masyarakat.[19]
Karena itu, Perlu dicatat bahwa aspirasi vokasional tidak ditumbuhkan oleh
sekolah, tetapi sebagai akibat dari kuasa pasar kerja, observasi terhadap orang
tua dan lingkungan, dan dari ambisi pribadi. Terkait dengan hal ini, gagasan
link and match yang digagas oleh mantan Mendiknas Wardiman masih relevan untuk
dipertimbangkan. Karena itu perlu adanya peninjauan kurikulum.
Peninjauan kurikulum melalui
pengadopsian kurikulum perlu dioperasionalkan melalui 3 tahap adopsi materi
kurikulum sebagaimana dikemukakan Meredith Gall, yaitu identifikasi kebutuhan
(Identify Your Needs), mendapatkan bahan kurikulum (Acces to Curiculum
Materials), dan Analisis Bahan (Analyze the Materials) Untuk menilai kelayakan
bahan untuk pengajaran maka perlu dilakukan penilaian bahan kurikulum
(appraisal of curriculum materials), yaitu dengan cara melakukan pemeriksaan
bahan kurikulum, pemeriksaan bahan di lapangan, dan pembuatan keputusan adopsi
bahan (make an adoption decision). Langkah ini dapat dilakukan oleh pemegang
kebijakan kurikulum di tingkat nasional maupun daerah, termasuk satuan
pendidikan.[20]
Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan
menyajikan kurikulum pilihan yang sesuai dengan kemampuan sumber daya daerah.[21]
2. Penetapan Baku Mutu/Standar Pendidikan yang Tegas
Baku mutu pendidikan dasar dan menengah sudah
ditetapkan oleh pemerintah melalui Standar Nasional Pendidikan, bahkan sudah dibentuk Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP). Untuk mencapai baku mutu yang ditentukan, perlu adanya
Sistem jaminan Mutu baik internal maupun eksternal. Penjaminan mutu internel
misalnya dapat dilakukan dengan cara membentuk unit penjaminan mutu di sekolah,
sedangkan penjaminan mutu eksternal dapat dibentuk oleh Kantor Diknas.
Salah satu cara melakukan standarisasi pendidikan
adalah melakukan Monitoring dan Evaluasi. Moitoring dan evaluasi (Monev)
merupakan langkah pengawasan (control) terhadap pelaksanaan suatu
kegiatan. Hal ini dimakksudkan agar pencapaian tujuan dapat berjalan secara
efisien dan efektif. Melalui langkah ini maka semua program pengembangan dan
peningkatan mutu pendidikan menengah kejuruan dapat diketahui secara terbuka
oleh Dinas Pendidikan Propinsi, SMK, Pemerintah Kab/Kota, Dinas Pendidikan
Propinsi, serta pihak terkait lainnya. Untuk kelancaran pelaksanaan program
bimbingan teknis dalam rangka untuk lebih memberikan pemahaman secara teknis
kemajuan pembangunan pendidikan kejuruan di setiap wilayah akan dilakukan oleh
Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan.
Monev dilakukan secara berjenjang, yaitu pada tingkat
satuan pendidikan, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, dan tingkat
nasional dengan mendayagunakan institusi yang sudah ada. Khusus untuk “Unit
Penjaminan Mutu” masih perlu dibentuk berdasarkan perhitungan yang matang.
Sedangkan materi yang dimonitor dan dievaluasi adalah semua aspek administrasi
pendidikan. Langkah Strategis yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
a. Pada tingkat satuan pendidikan perlu dibentuk “Gugus Kendali Mutu” atau
“Unit Penjaminan Mutu” yang berfungsi melakukan evaluasi dan monitoring secara
jujur dan transparan terhadap pelaksanaan adiministrasi pendidikan di suatu
sekolah. Hasil Monev ini dapat digunakan sebagai sarana evaluasi diri.
b. Sebagai langkah pengendalian selanjutnya, di setiap kabupatan/kota dibentuk
Tim Monitoring dan Evaluasi (Tim Monev) dan bekerjasama dengan tim school
mapping yang membantu Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan
Propinsi, dan Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan dalam melakukan
pemantauan kemajuan kegiatan, permasalahan yang timbul, dan memberi rekomendasi
tindak lanjut sebagai solusi terhadap permasalahan dalam implementasi program.
Tim ini diharapkan dapat bekerja dan mengirim informasi melalui infrastruktur
teknologi informasi yang tersedia, sehingga secara cepat dan akurat dapat
dilakukan antisipasi oleh berbagai pihak terkait.
c. Pada tingkat pusat dan propinsi juga ditetapkan Konsultan Penjamin Mutu
Pelaksanaan Pembangunan SMK, yang diharapkan dapat membantu perencana,
pengawas, dan pelaksana pembangunan sarana dan prasarana pendidikan kejuruan
yang dibangun dengan dana imbal swadaya di Kab/Kota. Peranan penting dari
konsultan ini adalah agar setiap pekerjaan pembangunan yang dilakukan secara
swakelola oleh SMK memenuhi kualitas yang dipersyaratkan.
d. Koordinasi dengan Dinas Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Provinsi serta
unsur Pemerintah Kabupaten/Kota baik pada tahap perencanaan, persiapan
implementasi, dan evaluasi program diharapkan mampu menciptakan sinergi,
khususnya komitmen pemerintah daerah dalam mensukseskan program pengembangan
sumber daya manusia di wilayahnya, antara lain dalam penyediaan dana
pendamping. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa untuk merealisasikan dana
pendamping melalui APBD yang telah disepakati untuk setiap program bukanlah hal
yang mudah untuk dipenuhi. Oleh sebab itu forum-forum koordinasi ini diharapkan
dapat mensinergikan berbagai program baik yang ada di pusat maupun pemerintah
daerah demi keberhasilan program.
e. Pemberdayaan Sistem Informasi Manajemen (SIM) dalam pengelolaan subsidi dan
imbal swadaya diharapkan pula dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi
pengelolaan, antara lain dimulai dengan pemberlakuan sistem kodefikasi
kegiatan.
3. Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Tenaga
Kependidikan, Khususnya Guru.
Peningkatan kualitas tenaga kependidikan diperlukan
untuk merubah secara mendasar tentang perilaku tenaga kependidikan. Hal ini
sejalan dengan pendapat Lefrançois "Meeting the these goal, note Banks
and Banks, requires major changes not only curriculum and teaching methods, but
also in curriculum in teacher and administrators' attitudes”. Dibutuhkan
perubahan secara mendasar tidak saja menyangkut kurikulum dan metode
pembelajaran tetapi juga dalam hal perilaku guru dan tenaga adminsitrasi. Hal
ini diperlukan karena selama ini masih ada tingkah laku yang kurang profesional
yang dilakukan oleh guru dengan siswa, guru dengan guru, dan siswa dengan
siswa.
Penciptaan guru yang berkualitas dapat dilakukan
dengan beberapa cara, salah satunya adalah sertifikasi guru. Hasil sertifikasi
guru sebaiknya juga digunakan untuk melakukan pemetaan (mapping)
terhadap kompetensi guru baik secara nasional maupun regional agar diketahui
sebaran guru-guru yang benar-benar kompeten di bidangnya. Berdasarkan pemetaan
tersebut, pihak yang berwenang dapat melakukan pemertanaan atau sebaran yang
proporsional terhadap guru-guru yang berkualitas. Selama muncuk kesan bahwa guru-guru
berkualitas banyak tersebar di sekolah-sekolah favorit (effective schools)
di perkotaan.
Selain itu, penciptaan guru yang profesional juga
harus diawali dengan penciptaaan Lembaga Perguruan Tinggi Keguruan (LPTK) yang
berkualitas (mulai dari perekrutan mahahsiswa, kurikulum, penyelenggaraan
perkuliahan, dan ujian), pengawasan terhadap guru dalam jabatan yang memadai,
serta sistem penghargaan (reward) dan hukuman (punishement) yang
fair.
4. Pengelolaan Satuan Pendidikan yang Didasarkan pada
Asas “Good Governance”
Pengelolaan satuan pendidikan yang didasarkan pada
asas Good Governance tersebut bukan hanya meliputi pengelolaan
administrasi pendidikan, tetapi juga beraitan erat dengan anggaran, Sarana dan
Prasarana. Bukan itu saja, semua pihak yang berkepentingan dengan sekolah agar
mengerahkan segala sumber daya untuk mendukung terlaksananya proses pengajaran
sebagai kunci untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Berkaitan dengan
pengelolaan, Creemers mengemukakan agar segala sumber daya untuk mendukung
terlaksananya proses pembelajaran,[22] yaitu tidak hanya terbatas 3-M (Man, Money, Materiel) sebagaimana selama
ini kita ketahui, melainkan juga sebagaimana dikemukakan oleh
Caldwell&Spink: knowledge (pengetahuan -kurikulum, tujuan sekolah
dan pengajaran), technology (media, teknik, dan alat pembelajaran), power
( kekuasaan, wewenang), materiel (fasilitias, supplies, peralatan),
people (tenaga kependidikan, adminisirotif, dan staf pendukung lainnya), time
( alokasi waktu pertahun, perminggu, perhari, perjam pelajaran), dan finance
(alokasi dana).
Sehingga Good governance merupakan standar
dalam manajemen mutu sebuah korporatif (perusahaan) atau pemerintahan atau
semua aktor pembuat kebijakan publik dalam process penyelenggaraan manajerial
dan pengambilan keputusan/kebijakan strategis secara proporsional dan orientasi
positif.[23]
Berdasarkan konsep dasar di atas, pengertian good
governance dalam konteks ini adalah pengelolaan yang didasarkan pada asas
keterbukaan, pertanggungjawaban, dan partisipasi dari stake holder. Dengan
demikian, kualitas pengelolaan pelayanan pendidikan dengan penerapan prinsip
good governance mencakup penerapan asas transparansi, akuntablitas, dan
partisipatif, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumber
daya pendidikan.
Secara normatif pendidikan islam (PAI) di sekolah umum
sebagai refleksi pemikiran pendidikan islam, sosialisasi, internalisasi, dan
rekontrulsi pemahaman ajaran dan nilai-nilai Islam. Secara praxis PAI bertujuan
mengembangkan kepribadian muslim yang memiliki kemampuan kognitif, afektif,
normatif, dan psikomotorik, yang kemudian dikewajantakan dalam cara berfikir,
bersikap, dan bertindak dalam hehidupannya.[24] Sehingga diharapkan dengan pembelajaran PAI
dapat menjadi pesrta didik mampu pengembangan kepribadian sebagai muslim yang
baik, menghayati dan mengamalkan ajaran serta nilai islam dalam kehidupannya.
Dan kemudian PAI tidak hanya dipahami secara teoritis, namun dapat diamalkan
secara praxis.
Reaktualisasi pendidikan agama islam
di sekolah menuntut adanya perubahan aspek metodologi pembelajaran dari yang
bersifat dofmatis-dogtiner dan tradisional menuju kepada pembelajaran yang
lebih dinamis-aktual dan kontekstual. Untuk mengimplementasikan pendekatan
kontekstual tersebut tersebut diperlukan modal dasar antara lain : pendekatan
filosofis dalam memahami teks-teks agama, supaya tidak kehilangan ide-ide segar
yang actual dan kontekstual.
Pendidikan Agama Islam di sekolah
pada dasarnya lebih diorientasikan pada tataran moral action, yakni agar
peserta didik tidak hanya berhenti pada tartan kompetensi (competence), tetapi
sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan ajaran
dan nilai-nilai agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Lickona
bahwa untuk mendidik moral anak sampai pada tataran moral action diperlikan
tiga proses pembinaan secara berkelanjutan mulai dari proses moral knowling,
moral feeling, hingga moral action.[25]
Dalam menghadapi tantangan global,
maka materi PAI tidak hanya persoalan keagamaan secara sempit namun juga
menyentuh wilayah social. Maka perlu ada reiorentasi wawasan PAI yang
kontekstual. Menurut Abdurahman Assegaf bahwa setidaknya ada empat orientasi
wawasan PAI yang relevan. Pertama, PAI berwawasan kebangsaan. Kedua, PAI
berwawasan demkratis. ketiga, PAI berwawasan HAM. Keempat, PAI berwawasan
pluralism. Dalam jangka panjang, keempat wawasan PAI diatas diharapkan mampu
memberikan kontribusi nyata dalam mengurangi problematika ekonomi, moral,
sosial, dan politik bangsa Indonesia.[26]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penjaminan
kurikulum (standar isi) saat ini dalam penyelenggaraan pendidikan menghadapi
tuntutan baru baik menyangkut kontribusinya
dalam merespons berbagai tantangan kepemimpinan bangsa di bidang pendidikan
maupun menyangkut pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Pendidikan Nasional. Dalam rangka menyiapkan kader-kader
kepemimpinan bangsa ke depan, pendidikan Islam perlu melakukan reaktualisasi
terutama aspek manajerialnya yang lebih profesional dan mengutamakan
peningkatan mutu pendidikan, mampu memberikan quality assurance (jaminan
mutu), layanan yang prima serta mempertanggung jawabkan kinerjanya kepada
peserta didik, orang tua, dan masyarakat sebagai stakeholders.
B. Daftar Pustaka
Arcaro Jerome S., Pendidikan Berbasis Mutu : Prinsip-prinsip
Perumusan dan Tata Langkah Penerapan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2005.
Assegaf, Abdurahman, Politik Pendidikan Nasional.Yogyakarta : Kurnia Kalam, 2005.
Badrun. Bambang
Tri Cahyono: Pejuang Pendidikan Alternatif. Jakarta: IPWI, 1999.
Creemers, B.
1992. School effectiveness, effective instruction and school improvement in the
Nederland. Dalam D. Reynold & R Cuttance (Eds.). School effectiveness:
Research, policy and practice. New York: Cassell.
Depdiknas, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah :Konsep
Dan Pelaksanaan. Jakarta: Depdiknas, 2001.
Engkoswara, Paradigma Manajemen Pendidikan.
Menyongsong Otonomi Daerah. Bandung. Yayasan Amal Keluarga, 2001.
Hamami, Tasman, Pemikiran Pendidikan Islam, dalam ringkasan Desertasi. Program Pasca Sarjana UIN Yogyakarta,2006.
Kartono, “KTSP
Menuju Kurikulum ‘Less is More” Harian Kompas, 24 Juni 24, 2008
Kirom, Bahrul, Mengukur Kinerja Pelayanan dan
Kepuasan Konsumen. Bandung, Pustaka Reka Cipta, 2009.
M. G. Fullan, The
new meaning of educational change.
London: Routledge Falmer, 2001.
Majid, Abdul & Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi.Bandung: Rosda Karya, 2005.
Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Nurgiyantoro,
Burhan. Dasar-Dasar Pengambangan Kurikulum Sekolah. Yoryakarta: BPFE,
1988.
Sallis, Edward, Total Quality Management In
Education. alih Bahasa Ahmad Ali Riyadi. Jogjakarta :IRCiSoD, 2007.
Sudarwan, Danim, Agenda
Pembaharuan Sistem pendidikan, Cet. Ke 2.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Tilaar, H.A.R., Membenahi Pendidikan Nasional. Yogyakarta :
Rineka Cipta, 2002.
Tim Dosen IKIP
Malang, Dasar-Dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional, 1989.
Tjiptono & Anastasia Diana, Total Quality Management.
Yogyakarta: Andi Press, 2001.
Usman, Husaini,
Peran Baru Administrasi Pendidikan dari Sistem Sentralistik Menuju Sistem
Desentralistik, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan, Februari 2001, Jilid 8, Nomor
1.
Utomo, Marsudi
Budi, “Selangkah menuju Good Governance”, Kamis, 10 Februari 2005
– Sorotan, http://kammi-jepang.net/sorotan.php, diakses tanggal
31 Oktober 2013.
William F.
O’Neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1981.
[1] Tim Dosen IKIP
Malang, Dasar-Dasar Kependidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1989), hlm.
35.
[2] William F.
O’Neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1981), hlm. X.
[3]
Tilaar, H.A.R., Membenahi Pendidikan Nasional, (Yogyakarta : Rineka Cipta,
2002), hlm.4.
[4] Edward Sallis, Total Quality Management In Education. alih Bahasa
Ahmad Ali Riyadi, (Jogjakarta :IRCiSoD, 2007), hlm.56.
[5] Danim Sudarwan, Agenda
Pembaharuan Sistem pendidikan, Cet. Ke 2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006), hlm.79-80.
[6]
Tjiptono & Anastasia Diana, Total Quality Management, (Yogyakarta:
Andi Press, 2001), hlm.4.
[7]
Depdiknas, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah :Konsep Dan
Pelaksanaan, (Jakarta: Depdiknas, 2001), hlm.25.
[8]
Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu : Prinsip-prinsip Perumusan dan
Tata Langkah Penerapan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm.9.
[9]
Jerome S. Arcaro, Ibid.. hlm.40.
[10] Usman,
Husaini, Peran Baru Administrasi Pendidikan dari Sistem Sentralistik Menuju
Sistem Desentralistik, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan, Februari 2001, Jilid
8, Nomor 1.
[12] Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis
Kompetensi, (Bandung: Rosda Karya, 2005), hlm. 138.
[13] Bahrul Kirom, Mengukur
Kinerja Pelayanan dan Kepuasan Konsumen, (Bandung, Pustaka Reka Cipta,
2009), hlm.51.
[14] Engkoswara, Paradigma
Manajemen Pendidikan. Menyongsong Otonomi Daerah, (Bandung. Yayasan Amal
Keluarga, 2001), hlm.3.
[15]
Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu : Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata
Langkah Penerapan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm.38.
[16]
Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu : Prinsip-prinsip Perumusan dan
Tata Langkah Penerapan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm.85.
[17] Badrun. Bambang
Tri Cahyono: Pejuang Pendidikan Alternatif. Badan (Jakarta: IPWI, 1999),
hlm. 113.
[18] M. G. Fullan, The
new meaning of educational change. (London: Routledge Falmer, 2001), p.
121.
[19] Badrun. Bambang
Tri Cahyono: Pejuang Pendidikan Alternatif. Badan (Jakarta: IPWI, 1999),
hlm. 53.
[20] Burhan
Nurgiyantoro. Dasar-Dasar Pengambangan Kurikulum Sekolah. (Yoryakarta:
BPFE, 1988), hlm. 87.
[21] Kartono, “KTSP
Menuju Kurikulum ‘Less is More” Harian Kompas, 24 Juni 24, 2008
[22] Creemers,
B. 1992. School effectiveness, effective instruction and school improvement in
the Nederland. Dalam D. Reynold & R Cuttance (Eds.). School effectiveness:
Research, policy and practice. New York: Cassell.
[23] Marsudi Budi
Utomo, “Selangkah menuju Good Governance”, Kamis, 10 Februari 2005
– Sorotan, http://kammi-jepang.net/sorotan.php, diakses tanggal
31 Oktober 2013.
[24] Tasman Hamami, Pemikiran Pendidikan Islam, dalam ringkasan Desertasi
(Program Pasca Sarjana UIN Yogyakarta,2006), hlm.3
No comments:
Post a Comment