BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Pendidikan
merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Karena dengan
pendidikan manusia menjadi berbudaya dan mampu terus mengembangkan budaya
tersebut demi mencapai kehidupan yang lebih baik. Pendidikan berperan tidak
hanya dalam pembentukan individu tapi juga dalam pembentukan budaya masyarakat
menuju kualitas hidup yang lebih baik.
Selain itu pendidikan juga proses menanamkan
nilai-nilai sikap dan tingkah laku (akhlaq), melatih berpengalaman dalam segala
aspek, juga menumbuh kembangkan kecakapan hidup. Kaitannya dengan hal ini
pendidikan yang berperan dan mempunyai andil besar adalah pendidikan agama
Islam.
Namun, pendidikan agama Islam ini tidak semudah
belajar ilmu-ilmu pada umumnya. Karena pendidikan agama Islam tidak hanya
mentransfer ilmu, dan menjadikan anak didik pintar, melainkan yang paling
penting adalah penanaman nilai-nilai sikap yang menjadikan tingkah laku
(akhlaq) semakin baik selain menguasai ilmu pengetahuan.
Pendidikan Islam merupakan proses pendewasaan dan
sekaligus memanusiakan jati diri manusia. Dikatakan “memanusiakan” karena
manusia lahir hanya membawa bekal potensi. Melalui proses pendidikan, potensi
manusia diharapkan dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan sempurna,
sehingga ia dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawab sebagai manusia.[1]
Untuk melaksanakan dan mewujudkan pendidikan Islam
yang sesuai target dan rencana tidak mudah. Ini terjadi karena banyak
tantangan-tantangan yang dialami oleh pendidikan Islam agar ide-ide yang
dilaksanakan selalu bermutu dan unggul. Yang menilai mutu bukan hanya dari
pihak sekolah yang melaksanakan tetapi juga masyarakat luar.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
konsep mutu dalam pendidikan?
2.
Apa
saja tantangan yang dihadapi Pendidikan Agama Islam?
3.
Bagaimana
implikasinya terhadap penjaminan mutu Pendidikan Agama Islam?
C. Tujuan
1.
Mengetahui
konsep mutu dalam pendidikan.
2.
Mengetahui
tantangan yang dihadapi Pendidikan Agama Islam.
3.
Mengetahui
implikasinya terhadap penjaminan mutu Pendidikan Agama Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Konsep
Mutu dalam Pendidikan
Konsep mutu pendidikan masih bersifat parsial dan
individual. Mutu pendidikan adalah berkembangnya potensi anak didik. Pendidikan
dikatakan bermutu apabila anak ddidik dapat mengembangkan potensi dirinya.
Sedangkan menurut Suryadi, mutu pendidikan adalah kemampuan lembaga-lembaga
pendidikan dan satuan pendidikan dalam mengelola dan mendayagunakan
sumber-sumber pendidikan untuk meningkatkan kemapuan belajar. Lembaga-lembaga
pendidikan dalam hal ini adalah lembaga formal dan non-formal, lebih lanjut
Suryadi mengungkapkan bahwa pendidikan yang bermutu ialah dapat menghasilkan
lulusan yang menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dasar untuk belajar
sehingga dapat mengikuti bahkan menjadi pelopor dalam pembaruan dan perubahan.[2]
Pendidikan pada dasarnya menekankan kepada
berkembangnya potensi peserta didik, dan yang lain lebih menekankan kepada
kemampuan lembaga-lembaga pendidikan dan satuan pendidikan, pendapat yang lebih
lengkap dikemukakan oleh Soedijarto dalam buku Isu-isu Kebijakan Pendidikan Era
Otonomi Daerah bahwa pendidikan yang bermutu yaitu suatu sistem pendidikan yang
dapat menghasilkan lulusan pada berbagai jenjang dan jenis yang memiliki
kemampuan, nilai dan sikap, baik kemampuan intelektual, professional dan
emosional dan memiliki sikap jujur, berdisiplin dan beretos kerja yang tinggi,
rasional, kreatif, memiliki rasa tanggungjawab kemanusiaan, kemasyarakatan dan
kebangsaan serta berakhlak mulia, beriman dan bertakwa.[3]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa disini Pendidikan Agama Islam mempunyai
peran yang sangat besar untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu seperti yang
telah tercantum.
Meskipun tidak ada definisi mutu yang dapat diterima
secara umum, tetapi semuanya memiliki kesamaan yaitu:[4]
a.
Mutu
meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan
b.
Mutu
mencakup produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan
c.
Mutu
merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya sesuatu dianggap bermutu saat
ini mungkin akan dianggap kurang bermutu pada masa mendatang)
Dengan demikian, untuk menghasilkan mutu sesuai
harapan, komunikasi yang dibangun terutama antara pimpinan dengan bawahannya
harus saling meguntungkan satu sama lain dalam meraih mutu yang dicita-citakan
oleh suatu lembaga pendidikan. Setiap orang dalam lembaga pendidikan harus
tumbuh motivasi, bahwa hasil kegiatannya akan mencapai mutu tertentu yang
meningkat terus menerus, terutama sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna/
langganan. Mengacu kepada beberapa pendapat, tidak terdapat definisi tentang
mutu pendidikan yang dijelaskan secara rinci. Sebagaimana tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 2,
bahwa tujuan pendidikan nasional yaitu untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa.[5]
Dengan
digulirkannya otonomi daerah, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
17 tahun 2010 tentang penyelenggaraan pendidikan, maka sebagai konsekuensi
logis bagi manajemen pendidikan di Indonesia adalah penyesuaian diri dari pola
manajemen pendidikan sentralistik menuju pola manajemen pendidikan
desentralistik yang lebih bernuansa otonomi dan lebih demokratis. Pengertian
mutu menurut Joseph M. Juran sebagai pakar TQM, mutu diartikan adanya
kesesuaian rencana dengan penggunaan. K. Ishikawa, memberi makna bahwa ukuran
mutu, sebagai pemaknaan kepuasaan pelanggan baik internal maupun eksternal.
Pelanggan adalah wasit terhadap mutu sehingga institusi sekolah dapat bertahan
karena kepuasaan pelanggan.[6]
B. Tantangan
yang dihadapi Pendidikan Agama Islam
Pendidikan
Islam seringkali dikesankan sebagai pendidikan yang tradisional dan
konservatif. Hal itu wajar karena orang memandang bahwa kegiatan pendidikan
Islam dihinggapi oleh lemahnya penggunaan metodologis pembelajaran yang
cenderung tidak menarik perhatian dan memberdayakan.[7]
Menurut
pengamatan Amin Abdullah[8],
bahwa kebanyakan pendidikan Islam masih menggunakan pola
konvensional-tradisional, tidak saja yang terjadi di lembaga pendidikannon
formal seperti pondok pesantren dan madrasah diniyah, akan tetapi juga di
sekolah Islam, madrasah dan perguruan tinggi. Oleh karena itu harus dicari
terobosan baru dan inovasi yang relevan dengan zaman, sehingga isi dan
metodologi pendidikan Islam menjadi actual-kontekstual. Dengan demikian,
pelaksanaan pendidikan Islam akan relevan dan sesuai dengan gerak perubahan dan
tuntutan zaman.
Amin
Abdullah mengemukakan bahwa pendidikan Islam terasa kurang terkait atau kurang concern terhadap persoalan bagaimana
mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi “makna dan nilai”
yang perlu diinterknalisasikan dalam diri seseorang lewat berbagai cara, media
dan forum. Selama ini metodologi pengajaran agama berjalan secara
konvensional-tradisional. Pengajaran agama yang bersandar pada bentuk
metodologi yang bersifat statis indoktrinatif-doktriner, tidak menarik lagi
bagi anak didik dan sekaligus tidak mengantarkan anak didik sampai pada tahapan
afektif, apalagi sampai pada tahapan psikomotorik.[9]
Tantangan
pendidikan Islam saat ini sangat jauh berbeda dengan tantangan pendidikan
Islam, sebagaimana yang terdapat pada zaman klasik dan pertengahan. secara
internal maupun eksternal, tantangan pendidikan Islam di zaman klasik dan
pertengahan cukup berat, namun secara psikologis dan idiologis lebih mudah
diatasi. secara internal, umat Islam pada saman klasik masih fresh (segar),
masa kehidupan mereka dengan sumber ajaran Islam masih dekat, serta semangat
militansi dalam berjuang memajukan ajaran Islam masih amat kuat. Sedangkan
secara eksternal, umat Islam belum menghadapi ancaman yang
serius dari Negara-Negara lain.[10]
Terdapat
tantangan-tantangan lain yang berkaitan dengan Pendidikan Agama Islam, yaitu
tentangan internal dan eksternal, diantaranya:[11]
Tantangan
Internal, antara lain:
a.
Krisis
metodologi atau krisis pedagogik. Sekarang ini kecenderungan di kalangan
lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah lebih merupakan proses teaching (proses pengajaran), ketimbang
proses learning (proses pendidikan).
Dengan demikian proses pengajaran, hanya mengisi aspek kognitif dan tidak
membentuk pribadi dan watak. Proses pendidikan hanya melahirkan kemampuan otak
(kognitif) ketimbang karakter perilaku dan tindakan yang etis.
b.
Kurikulum
pendidikan agama Islam yang dirancangkan di sekolah sebenarnya lebih menawarkan
minimum kompetensi atau minimum informasi.
c.
Para
guru PAI kurang berupaya menggali berbagai metode yang mungkin bisa dipakai
untuk pendidikan agama.
d.
Keterbatasan
sarana /prasarana, sehingga persoalan cenderung seadanya.
Tantangan
Eksternal, yaitu:
a.
Permasalahan
yang berkaitan dengan situasi objektif pendidikan Islam, yaitu adanya krisis
konseptual (tentang pembagian ilmu-ilmu di dalam Islam). Krisis kelembagaan ini
adalah adanya dikotomisasi antara lembaga-lembaga pendidikan yang menekankan
pada salah satu aspek dari ilmu-ilmu yang ada, baik ilmu agama maupun ilmu
umum. Model kelembagaan yang dikotomis tidak akan mampu melahirkan peradaban
yang unggul dan menjadi kekuatan bagi kemajuan umat.
b.
Pendekatan
masih cenderung normative, dalam arti pendidikan agama menyajikan norma yang
sering kali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya, sehingga peserta didik
kurang menghayati nilai – nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian.
c.
Konflik
antara tradisi pemikiran dan pendidikan Islam modernitas. Dalam konteks
Indonesia, krisis ini paling jelas dapat dilihat di pesantren. Di pesantren
paling jelas terjadi krisis akibat konflik antara tradisi pemikiran dan praktik
pendidikan Islam dengan modernitas.
d.
Menyangkut persepsi masyarakat dan pemerintah yang cenderung diskriminatif,
bahkan ada yang menganggap sebagai pendidikan “kelas dua” setelah sekolah.
e.
Globalisasi
bidang budaya,etika dan moral sebagai akibat kemajuan TI.
f.
Permasalahan
makronasional (krisis multi dimensional).
Program-
program study yang tidak dapat menjawab
pertanyaan tersebut baik secara lansung maupun tidak lansung, dengan sendirinya
akan terpinggirkan atau tidak diminati. sedangkan program- program study yang
menawarkan pekerjaan dan penghasilan yang bagi lulusannya, akan sangat
diminati. tidak hanya itu, kecendrungan penjajahan baru dalam bidang kebudayaan
juga telah menyebabkan munculnya budaya pop atau budaya urban, yaitu buday yang
srba hedonistic, materialistic, rasional, ingin serba cepat, pragtis,
pragmatis, dan instans. Kecendrungan budaya yang demikian itu menyebabkan
ajaran agama yang bersifat normative dan menjanjikan masa depan yang baik (di
akhirat) kurang diminati. mereka menuntut ajaran agama yang sesuai dengan
budaya pop dan budaya urban. dalam keadaan demikian, tidaklah mengherankan jika
mata pelajaran agama yang disajikan
secara normative dan konvensional menjadi tidak menarik dan ketinggalan zaman.
Keadaan ini mengharuskan para guru atau
ahli agama untuk melakukan reformulasi, reaktualisasi, dan kontekstualisasi
terhadap ajaran agama sehingga sehingga ajaran agama tersebut akan terasa efektif dan transformative.[12]
C. Implikasinya
Terhadap Penjaminan Mutu Pendidikan Agama Islam
Untuk
pengembangan manajemen mutu terpadu, usaha pendidikan Islam tidak lain adalah
merupakan usaha “jasa” yang memberikan pelayanan kepada pelanggannya, yaitu
mereka yang belajar dalam lembaga pendidikan tersebut. Yaitu peserta didik yang
biasa disebut klien/ pelanggan primer (primary
external customers). Mereka inilah yang langsung menerima manfaat layanan
pendidikan dari lembaga tersebut. Para klien terkait dengan orang yang
mengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu orang tua atau lembaga tempat klien
tersebut bekerja, dan mereka disebut pelanggan sekunder.
Dari beberapa
permasalahan atau problematika yang ada dalam pendidikan agama Islam, maka
diperolehkan implikasi terhadap penjamin mutu pendidikan Islam bahwa,
problematika yang ada dalam dunia pendidikan Islam dewasa ini mau tidak mau
menuntut adanya perbaikan mutu dalam dunia pendidikan dan kemudian penjamin
mutu sebagai landasan untuk tetap mempertahankan eksistensi dunia pendidikan
Islam dalam perkembangan keilmuan dan era globalisasi. Penjamin mutu PAI dapat memberikan beberapa
solusi serta pemecahan masalah terkait masalah yang telah dijelaskan diatas
dalam suatu lembaga pendidikan, antara lain dengan memberikan solusi sebagai
perbaikan dan penjaminan mutu PAI, diantaranya:
-
Solusinya
adalah dengan tidak menafikan metodologi konvensional yang digunakan oleh
guru-guru di masa lampau dalam menanamkan keyakinan melalui doktrinasi. Tentu
dengan memadukan metodologi baru seperti model-model pembelajaran secara
sinergi. Metodologi baru ini diperlukan untuk membuat suasana pembelajaran
tetap menarik dan menyenangkan.
-
Solusinya
adalah, adanya upaya dari pihak penyelenggara pendidikan dalam mengupayakan
labotorium PAI disetiap sekolah atau madrasah, agar peserta didik mudah belajar
secara langsung materi-materi PAI yang memang dapat dipraktekkan. Misalnya
mengurus jenazah, ibadah haji, zakat dsb. Selain itu dibutuhkan media-media
gambar, video, buku-buku yang berkenaan dengan sejarah Islam dan tokoh-tokoh
muslim. Media ini hendaknya di kelola
secara serius, bisa saja dengan membuat video misalnya atau menggunakan youtube
tetapi dengan sedikit kreasi mengeditnya agar sesuai dengan materi ajar PAI.
-
Mengadakan tes
hasil belajar, Tes hasil belajar adalah alat yang disusun untuk mengungkapkan
sejauh mana murid telah mencapai tujuan-tujuan pengajaran yang ditetapkan
sebelumnya murid-murid dikatakan telah mencapai tujuan pengajaran apabila dia
telah menguasai sebagian besar materi yang berhubungan dengan tujuan pengajaran
yang telah ditetapkan. Ketentuan ini merupakan penerapan dari belajar tuntas
(mastery learning) yang didasarkan pada asumsi bahwa setiap murid dapat
mencapai hasil belajar sesuai yang diharapkan jika diberi waktu yang cukup dan
bimbingan yang memadai untuk mempelajari bahan yang disajikan.
-
Tes
kecerdasan, Setiap murid mempunyai kemampuan dasar atau kecerdasan tertentu.
Tingkat kemampuan ini biasanya diukur atau diungkapkan dengan menggunakan tes
kecerdasan yang sudah baku. Diasumsikan bahwa anak normal, memiliki tingkat
kecerdasan (IQ) antara 90-109. Hasil yang dicapai murid hendaknya dapat
mencerminkan tingkat kemampuan yang dimilikinya. Murid yang kemampuan dasarnya
tinggi akan mencapai hasil belajar yang tinggi pula. Bilamana seseorang murid
mencapai hasil belajar yang lebih rendah dari tingkat kecerdasan yang
dimilikinya, maka murid yang bersangkutan digolongkan sebagai yang mengalami
masalah belajar. (menurut Gagne 1967).
-
Skala Sikap,
Sikap dan kebiasaan belajar merupakan salah satu faktor yang penting dalam
belajar. Sebagian dari hasil belajar, ditentukan oleh sikap dan kebiasaan yang
dilakukan oleh murid dalam belajar. Kebiasaan belajar menunjuk pada bentuk dan
pola perilaku yang dilakukan terus menerus oleh murid dalam belajar. Sebagian
dari sikap kebiasaan belajar murid, dapat diketahui melalui pengamatan yang
dilakukan di dalam kelas.
Program
penigkatan mutu harus berorientasi kepada kebutuhan atau harapan pelanggan,
maka layanan Pendidikan Islam haruslah memperhatikan masing-masing pelanggan
tersebut. Kepuasan dan kebanggaan dari mereka sebagai penerima manfaat layanan
pendidikan harus menjadi acuan bagi program peningkatan mutu layanan pendidikan
Islam.[13]
Perlu
digali informasi lebih mendalam tentang kinerja dan mutu tenaga kependidikan,
proses belajar mengajar dan mutu hasil belajar. Dengan kata lain kegiatan
penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan hanya akan dapat berhasil dengan
keikut sertaan semua pihak.
Sebenarnya
mutu pendidikan Islam merupakan akumulasi dari cerminan semua mutu jasa
pelayanan yang ada di lembaga Islam yang diterima oleh para pelanggannya. Bila
semua kegiatan dilakukan dengan baik, maka hasil akhir layanan pendidikan
tersebut akan mencapai yang baik, berupa “mutu terpadu”.[14]
Jika
lembaga menghadapi tantangan Pendidikan Agama Islam secara bersama-sama dan
mengarahkan pada keutuhan, baik keutuhan dari fokus pelanggan, pengembangan
proses, dan pelibatan semua elemen seperti kepala sekolah/ madrasah, guru,
pegawai, dan supplier perlu diperhatikan dengan terus berorientasi pada
kualitas.
Implikasi
dari adanya tantangan tersebut adalah bahwa Pendidikan Agama Islam tidak
berkembang menjadi lebih baik, karena kebanyakan dari peserta didik kurang
tertarik. Selain itu karena Pendidikan Agama Islam kebanyakan kurang adanya
penekanan dalam hal afektif dan psikomotorik siwa, hanya penyampaian
pengetahuan, sehingga penananaman akhlak dan kerakter kurang begitu ada
hasilnya.
Salah satu terobosan
yang baik dari pemerintah dalam bidang pendidikan adalah terlahirnya
Undang-Undang no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Inilah
landasan awal pendidikan nasional dalam pelaksanaannya berpegang kepada standar
mutu secara keseluruhan karena sebelumnya usaha untuk meningkatkan mutu sekolah
di kita hanya dilaksanakan secara implisit yaitu pada perbaikan mutu kurikulum
dan tidak pada program perbaikan mutu sekolah secara menyeluruh pada sektor
pendidikan lainya. Undang-Undang no.20 tahun 2003 pada pasal 35 tentang standar
nasional pendidikan menjelaskan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas
standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus
ditingkatkan secara berencana dan berkala. Standar nasional pendidikan
digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Pengembangan standar nasional
pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional
dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu
pendidikan. Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Pemaparan pasal 35 dalam Undang-Undang no.20 tahun 2003 tersebut
secara gamblang menerapkan konsep penjaminan mutu dimana terdapat standar mutu
minimal yang harus dicapai melalui proses perencanaan dan dilakukan secara berkelanjutan
dengan cara berkala sehingga terjadi quality improvement. Selain itu
dijelaskan juga tentang quality control yang dilakukan
untuk memantau mutu pendidikan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan
pengendalian mutu pendidikan.[15]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hal-hal yang telah dibahas dan dipaparkan
sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa:
1.
Konsep
mutu pendidikan masih bersifat parsial dan individual. Namun secara garis besar
konsep mutu pendidikan mempunyai arti yang sama yaitu:
a.
Mutu
meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan
b.
Mutu
mencakup produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan
c.
Mutu
merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya sesuatu dianggap bermutu saat
ini mungkin akan dianggap kurang bermutu pada masa mendatang)
2.
Terdapat
tantangan-tantangan lain yang berkaitan dengan Pendidikan Agama Islam, yaitu
tentangan internal dan eksternal, diantaranya:
Tantangan Internal, antara lain:
a.
Krisis
metodologi atau krisis pedagogik. Sekarang ini kecenderungan di kalangan
lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah lebih merupakan proses teaching (proses pengajaran), ketimbang
proses learning (proses pendidikan).
Dengan demikian proses pengajaran, hanya mengisi aspek kognitif dan tidak
membentuk pribadi dan watak. Proses pendidikan hanya melahirkan kemampuan otak
(kognitif) ketimbang karakter perilaku dan tindakan yang etis.
b.
Kurikulum
pendidikan agama Islam yang dirancangkan di sekolah sebenarnya lebih menawarkan
minimum kompetensi atau minimum informasi.
c.
Para
guru PAI kurang berupaya menggali berbagai metode yang mungkin bisa dipakai
untuk pendidikan agama.
d.
Keterbatasan
sarana /prasarana, sehingga persoalan cenderung seadanya.
Tantangan Eksternal, yaitu:
a.
Permasalahan
yang berkaitan dengan situasi objektif pendidikan Islam, yaitu adanya krisis
konseptual (tentang pembagian ilmu-ilmu di dalam Islam). Krisis kelembagaan ini
adalah adanya dikotomisasi antara lembaga-lembaga pendidikan yang menekankan
pada salah satu aspek dari ilmu-ilmu yang ada, baik ilmu agama maupun ilmu
umum. Model kelembagaan yang dikotomis tidak akan mampu melahirkan peradaban
yang unggul dan menjadi kekuatan bagi kemajuan umat.
b.
Pendekatan
masih cenderung normative, dalam arti pendidikan agama menyajikan norma yang
sering kali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya, sehingga peserta didik
kurang menghayati nilai – nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam
keseharian.
c.
Konflik
antara tradisi pemikiran dan pendidikan Islam modernitas. Dalam konteks
Indonesia, krisis ini paling jelas dapat dilihat di pesantren. Di pesantren
paling jelas terjadi krisis akibat konflik antara tradisi pemikiran dan praktik
pendidikan Islam dengan modernitas.
d.
Menyangkut persepsi masyarakat dan pemerintah yang cenderung diskriminatif,
bahkan ada yang menganggap sebagai pendidikan “kelas dua” setelah sekolah.
e.
Globalisasi
bidang budaya,etika dan moral sebagai akibat kemajuan TI.
f.
Permasalahan
makronasional (krisis multi dimensional).
3.
Implikasi
terhadap penjaminan mutu Pendidikan Agama Islam adalah Pendidikan Agama Islam
tidak berkembang menjadi lebih baik, karena kebanyakan dari peserta didik
kurang tertarik. Selain itu karena Pendidikan Agama Islam kebanyakan kurang
adanya penekanan dalam hal afektif dan psikomotorik siwa, hanya penyampaian
pengetahuan, sehingga penananaman akhlak dan kerakter kurang begitu ada
hasilnya. Salah satu terobosan yang baik dari pemerintah
dalam bidang pendidikan adalah terlahirnya Undang-Undang no. 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional. Inilah landasan awal pendidikan nasional
dalam pelaksanaannya berpegang kepada standar mutu secara keseluruhan karena
sebelumnya usaha untuk meningkatkan mutu sekolah di kita hanya dilaksanakan
secara implisit yaitu pada perbaikan mutu kurikulum dan tidak pada program
perbaikan mutu sekolah secara menyeluruh pada sektor pendidikan lainya.
Undang-Undang no.20 tahun 2003 pada pasal 35 tentang standar nasional
pendidikan menjelaskan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar
isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan
secara berencana dan berkala. Standar nasional pendidikan digunakan sebagai
acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, dan pembiayaan. Pengembangan standar nasional pendidikan serta
pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu
badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan. Ketentuan
mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pemaparan
pasal 35 dalam Undang-Undang no.20 tahun 2003 tersebut secara gamblang
menerapkan konsep penjaminan mutu dimana terdapat standar mutu minimal yang
harus dicapai melalui proses perencanaan dan dilakukan secara berkelanjutan
dengan cara berkala sehingga terjadi quality improvement. Selain itu
dijelaskan juga tentang quality control yang dilakukan
untuk memantau mutu pendidikan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan
pengendalian mutu pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Afiq Jannah, Tantangan
Pendidikan Islam, http://afiqahjannah.blogspot.com,
diakses tgl 19 September 2013
Ali Winata, Sistem Penjaminan
Mutu Pendidikan, http://www.lpmpbanten.net,
diakses tgl 26 Desember 2013
Emzir dan Sam Muchtar Chaniago.
2010. Isu-Isu Kritis Kebijakan Pendidikan
Era Otonomi Daerah. Bogor: Ghalia Indonesia
Hedwig, Rinda dan
Gerradus Polla. 2006. Model Sistem Penjaminan
Mutu dan Proses Penerapannya di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Graha Ilmu,
2006
Mujtahid.
2011. Reformulasi Pendidikan Islam. Malang: UIN-Maliki Press
Sallis, Edward. 2010. Total Quality Management In Education.
Jogjakarta: IRCiSoD
Widodo, Suparno Eko.
2011. Manajemen Mutu Pendidikan (untuk
Guru dan Kepala Sekolah), Jakarta: PT Ardadizya Jaya
[2] Emzir dan Sam Muchtar
Chaniago, Isu-Isu Kritis Kebijakan
Pendidikan Era Otonomi Daerah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 4
[3] Ibid.,hlm. 5
[4] Rinda Hedwig dan
Gerradus Polla, Model Sistem Penjaminan
Mutu dan Proses Penerapannya di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2006), hlm. 2
[5] Emzir
dan Sam Muchtar Chaniago, Isu-Isu Kritis
Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010),
hlm. 7
[6] Suparno Eko Widodo, Manajemen Mutu Pendidikan (untuk Guru dan
Kepala Sekolah), (Jakarta: PT Ardadizya Jaya, 2011), hlm. 22
[7] Mujtahid, Reformulasi Pendidikan Islam, (Malang:
UIN-Maliki Press, 2011) hlm. 35
[8] dalam buku Reformulasi Pendidikan Islam,.hlm. 35
[9] Mujtahid, Reformulasi Pendidikan Islam, (Malang:
UIN Maliki Press, 2011), hlm. 37
[10] http://afiqahjannah.blogspot.com/2013/01/tantangan-pendidikan-islam, diakses tgl 19 September 2013
[11] Mujtahid, Reformulasi…, hlm. 38-39
[12] http://afiqahjannah.blogspot.com/2013/01/tantangan-pendidikan-islam,
diakses tgl 19 September 2013
[14] Mujatahid, Reformulasi…, hlm. 157
[15] Ali Winata, Sistem Penjaminan
Mutu Pendidikan, http://www.lpmpbanten.net,
diakses tgl 26 Desember 2013
No comments:
Post a Comment