Sunday, July 9, 2017

MENCERMATI TANTANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM IMPLIKASINYA TERHADAP PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
 Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Karena dengan pendidikan manusia menjadi berbudaya dan mampu terus mengembangkan budaya tersebut demi mencapai kehidupan yang lebih baik. Pendidikan berperan tidak hanya dalam pembentukan individu tapi juga dalam pembentukan budaya masyarakat menuju kualitas hidup yang lebih baik.
Selain itu pendidikan juga proses menanamkan nilai-nilai sikap dan tingkah laku (akhlaq), melatih berpengalaman dalam segala aspek, juga menumbuh kembangkan kecakapan hidup. Kaitannya dengan hal ini pendidikan yang berperan dan mempunyai andil besar adalah pendidikan agama Islam.
Namun, pendidikan agama Islam ini tidak semudah belajar ilmu-ilmu pada umumnya. Karena pendidikan agama Islam tidak hanya mentransfer ilmu, dan menjadikan anak didik pintar, melainkan yang paling penting adalah penanaman nilai-nilai sikap yang menjadikan tingkah laku (akhlaq) semakin baik selain menguasai ilmu pengetahuan.
Pendidikan Islam merupakan proses pendewasaan dan sekaligus memanusiakan jati diri manusia. Dikatakan “memanusiakan” karena manusia lahir hanya membawa bekal potensi. Melalui proses pendidikan, potensi manusia diharapkan dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan sempurna, sehingga ia dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawab sebagai manusia.[1]
Untuk melaksanakan dan mewujudkan pendidikan Islam yang sesuai target dan rencana tidak mudah. Ini terjadi karena banyak tantangan-tantangan yang dialami oleh pendidikan Islam agar ide-ide yang dilaksanakan selalu bermutu dan unggul. Yang menilai mutu bukan hanya dari pihak sekolah yang melaksanakan tetapi juga masyarakat luar.
B.     Rumusan Masalah
1.                  Bagaimana konsep mutu dalam pendidikan?
2.                  Apa saja tantangan yang dihadapi Pendidikan Agama Islam?
3.                  Bagaimana implikasinya terhadap penjaminan mutu Pendidikan Agama Islam?
C.    Tujuan
1.                  Mengetahui konsep mutu dalam pendidikan.
2.                  Mengetahui tantangan yang dihadapi Pendidikan Agama Islam.
3.                  Mengetahui implikasinya terhadap penjaminan mutu Pendidikan Agama Islam.













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Konsep Mutu dalam Pendidikan
Konsep mutu pendidikan masih bersifat parsial dan individual. Mutu pendidikan adalah berkembangnya potensi anak didik. Pendidikan dikatakan bermutu apabila anak ddidik dapat mengembangkan potensi dirinya. Sedangkan menurut Suryadi, mutu pendidikan adalah kemampuan lembaga-lembaga pendidikan dan satuan pendidikan dalam mengelola dan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan untuk meningkatkan kemapuan belajar. Lembaga-lembaga pendidikan dalam hal ini adalah lembaga formal dan non-formal, lebih lanjut Suryadi mengungkapkan bahwa pendidikan yang bermutu ialah dapat menghasilkan lulusan yang menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dasar untuk belajar sehingga dapat mengikuti bahkan menjadi pelopor dalam pembaruan dan perubahan.[2]
Pendidikan pada dasarnya menekankan kepada berkembangnya potensi peserta didik, dan yang lain lebih menekankan kepada kemampuan lembaga-lembaga pendidikan dan satuan pendidikan, pendapat yang lebih lengkap dikemukakan oleh Soedijarto dalam buku Isu-isu Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah bahwa pendidikan yang bermutu yaitu suatu sistem pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan pada berbagai jenjang dan jenis yang memiliki kemampuan, nilai dan sikap, baik kemampuan intelektual, professional dan emosional dan memiliki sikap jujur, berdisiplin dan beretos kerja yang tinggi, rasional, kreatif, memiliki rasa tanggungjawab kemanusiaan, kemasyarakatan dan kebangsaan serta berakhlak mulia, beriman dan bertakwa.[3] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa disini Pendidikan Agama Islam mempunyai peran yang sangat besar untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu seperti yang telah tercantum.
Meskipun tidak ada definisi mutu yang dapat diterima secara umum, tetapi semuanya memiliki kesamaan yaitu:[4]
a.                   Mutu meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan
b.                  Mutu mencakup produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan
c.                   Mutu merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya sesuatu dianggap bermutu saat ini mungkin akan dianggap kurang bermutu pada masa mendatang)
Dengan demikian, untuk menghasilkan mutu sesuai harapan, komunikasi yang dibangun terutama antara pimpinan dengan bawahannya harus saling meguntungkan satu sama lain dalam meraih mutu yang dicita-citakan oleh suatu lembaga pendidikan. Setiap orang dalam lembaga pendidikan harus tumbuh motivasi, bahwa hasil kegiatannya akan mencapai mutu tertentu yang meningkat terus menerus, terutama sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna/ langganan. Mengacu kepada beberapa pendapat, tidak terdapat definisi tentang mutu pendidikan yang dijelaskan secara rinci. Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 2, bahwa tujuan pendidikan nasional yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.[5]
Dengan digulirkannya otonomi daerah, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 tahun 2010 tentang penyelenggaraan pendidikan, maka sebagai konsekuensi logis bagi manajemen pendidikan di Indonesia adalah penyesuaian diri dari pola manajemen pendidikan sentralistik menuju pola manajemen pendidikan desentralistik yang lebih bernuansa otonomi dan lebih demokratis. Pengertian mutu menurut Joseph M. Juran sebagai pakar TQM, mutu diartikan adanya kesesuaian rencana dengan penggunaan. K. Ishikawa, memberi makna bahwa ukuran mutu, sebagai pemaknaan kepuasaan pelanggan baik internal maupun eksternal. Pelanggan adalah wasit terhadap mutu sehingga institusi sekolah dapat bertahan karena kepuasaan pelanggan.[6]
B.     Tantangan yang dihadapi Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Islam seringkali dikesankan sebagai pendidikan yang tradisional dan konservatif. Hal itu wajar karena orang memandang bahwa kegiatan pendidikan Islam dihinggapi oleh lemahnya penggunaan metodologis pembelajaran yang cenderung tidak menarik perhatian dan memberdayakan.[7]
Menurut pengamatan Amin Abdullah[8], bahwa kebanyakan pendidikan Islam masih menggunakan pola konvensional-tradisional, tidak saja yang terjadi di lembaga pendidikannon formal seperti pondok pesantren dan madrasah diniyah, akan tetapi juga di sekolah Islam, madrasah dan perguruan tinggi. Oleh karena itu harus dicari terobosan baru dan inovasi yang relevan dengan zaman, sehingga isi dan metodologi pendidikan Islam menjadi actual-kontekstual. Dengan demikian, pelaksanaan pendidikan Islam akan relevan dan sesuai dengan gerak perubahan dan tuntutan zaman.
Amin Abdullah mengemukakan bahwa pendidikan Islam terasa kurang terkait atau kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi “makna dan nilai” yang perlu diinterknalisasikan dalam diri seseorang lewat berbagai cara, media dan forum. Selama ini metodologi pengajaran agama berjalan secara konvensional-tradisional. Pengajaran agama yang bersandar pada bentuk metodologi yang bersifat statis indoktrinatif-doktriner, tidak menarik lagi bagi anak didik dan sekaligus tidak mengantarkan anak didik sampai pada tahapan afektif, apalagi sampai pada tahapan psikomotorik.[9]
Tantangan pendidikan Islam saat ini sangat jauh berbeda dengan tantangan pendidikan Islam, sebagaimana yang terdapat pada zaman klasik dan pertengahan. secara internal maupun eksternal, tantangan pendidikan Islam di zaman klasik dan pertengahan cukup berat, namun secara psikologis dan idiologis lebih mudah diatasi. secara internal, umat Islam pada saman klasik masih fresh (segar), masa kehidupan mereka dengan sumber ajaran Islam masih dekat, serta semangat militansi dalam berjuang memajukan ajaran Islam masih amat kuat. Sedangkan secara eksternal,  umat Islam belum menghadapi ancaman yang serius dari Negara-Negara lain.[10]
Terdapat tantangan-tantangan lain yang berkaitan dengan Pendidikan Agama Islam, yaitu tentangan internal dan eksternal, diantaranya:[11]
Tantangan Internal, antara lain:
a.                   Krisis metodologi atau krisis pedagogik. Sekarang ini kecenderungan di kalangan lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah lebih merupakan proses teaching (proses pengajaran), ketimbang proses learning (proses pendidikan). Dengan demikian proses pengajaran, hanya mengisi aspek kognitif dan tidak membentuk pribadi dan watak. Proses pendidikan hanya melahirkan kemampuan otak (kognitif) ketimbang karakter perilaku dan tindakan yang etis.
b.                  Kurikulum pendidikan agama Islam yang dirancangkan di sekolah sebenarnya lebih menawarkan minimum kompetensi atau minimum informasi.
c.                   Para guru PAI kurang berupaya menggali berbagai metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agama.
d.                  Keterbatasan sarana /prasarana, sehingga persoalan cenderung seadanya.
Tantangan Eksternal, yaitu:
a.                   Permasalahan yang berkaitan dengan situasi objektif pendidikan Islam, yaitu adanya krisis konseptual (tentang pembagian ilmu-ilmu di dalam Islam). Krisis kelembagaan ini adalah adanya dikotomisasi antara lembaga-lembaga pendidikan yang menekankan pada salah satu aspek dari ilmu-ilmu yang ada, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Model kelembagaan yang dikotomis tidak akan mampu melahirkan peradaban yang unggul dan menjadi kekuatan bagi kemajuan umat.
b.                  Pendekatan masih cenderung normative, dalam arti pendidikan agama menyajikan norma yang sering kali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai – nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian.
c.                   Konflik antara tradisi pemikiran dan pendidikan Islam modernitas. Dalam konteks Indonesia, krisis ini paling jelas dapat dilihat di pesantren. Di pesantren paling jelas terjadi krisis akibat konflik antara tradisi pemikiran dan praktik pendidikan Islam dengan modernitas.
d.                  Menyangkut persepsi masyarakat dan pemerintah yang cenderung diskriminatif, bahkan ada yang menganggap sebagai pendidikan “kelas dua” setelah seko­lah.
e.                   Globalisasi bidang budaya,etika dan moral sebagai akibat kemajuan TI.
f.                   Permasalahan makronasional (krisis multi dimensional).
Program- program  study yang tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut baik secara lansung maupun tidak lansung, dengan sendirinya akan terpinggirkan atau tidak diminati. sedangkan program- program study yang menawarkan pekerjaan dan penghasilan yang bagi lulusannya, akan sangat diminati. tidak hanya itu, kecendrungan penjajahan baru dalam bidang kebudayaan juga telah menyebabkan munculnya budaya pop atau budaya urban, yaitu buday yang srba hedonistic, materialistic, rasional, ingin serba cepat, pragtis, pragmatis, dan instans. Kecendrungan budaya yang demikian itu menyebabkan ajaran agama yang bersifat normative dan menjanjikan masa depan yang baik (di akhirat) kurang diminati. mereka menuntut ajaran agama yang sesuai dengan budaya pop dan budaya urban. dalam keadaan demikian, tidaklah mengherankan jika mata pelajaran agama  yang disajikan secara normative dan konvensional menjadi tidak menarik dan ketinggalan zaman. Keadaan ini mengharuskan para guru  atau ahli agama untuk melakukan reformulasi, reaktualisasi, dan kontekstualisasi terhadap ajaran agama sehingga sehingga ajaran agama tersebut  akan terasa efektif dan transformative.[12]

C.    Implikasinya Terhadap Penjaminan Mutu Pendidikan Agama Islam
Untuk pengembangan manajemen mutu terpadu, usaha pendidikan Islam tidak lain adalah merupakan usaha “jasa” yang memberikan pelayanan kepada pelanggannya, yaitu mereka yang belajar dalam lembaga pendidikan tersebut. Yaitu peserta didik yang biasa disebut klien/ pelanggan primer (primary external customers). Mereka inilah yang langsung menerima manfaat layanan pendidikan dari lembaga tersebut. Para klien terkait dengan orang yang mengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu orang tua atau lembaga tempat klien tersebut bekerja, dan mereka disebut pelanggan sekunder.
Dari beberapa permasalahan atau problematika yang ada dalam pendidikan agama Islam, maka diperolehkan implikasi terhadap penjamin mutu pendidikan Islam bahwa, problematika yang ada dalam dunia pendidikan Islam dewasa ini mau tidak mau menuntut adanya perbaikan mutu dalam dunia pendidikan dan kemudian penjamin mutu sebagai landasan untuk tetap mempertahankan eksistensi dunia pendidikan Islam dalam perkembangan keilmuan dan era globalisasi.  Penjamin mutu PAI dapat memberikan beberapa solusi serta pemecahan masalah terkait masalah yang telah dijelaskan diatas dalam suatu lembaga pendidikan, antara lain dengan memberikan solusi sebagai perbaikan dan penjaminan mutu PAI, diantaranya:
-       Solusinya adalah dengan tidak menafikan metodologi konvensional yang digunakan oleh guru-guru di masa lampau dalam menanamkan keyakinan melalui doktrinasi. Tentu dengan memadukan metodologi baru seperti model-model pembelajaran secara sinergi. Metodologi baru ini diperlukan untuk membuat suasana pembelajaran tetap menarik dan menyenangkan.
-       Solusinya adalah, adanya upaya dari pihak penyelenggara pendidikan dalam mengupayakan labotorium PAI disetiap sekolah atau madrasah, agar peserta didik mudah belajar secara langsung materi-materi PAI yang memang dapat dipraktekkan. Misalnya mengurus jenazah, ibadah haji, zakat dsb. Selain itu dibutuhkan media-media gambar, video, buku-buku yang berkenaan dengan sejarah Islam dan tokoh-tokoh muslim. Media ini hendaknya di  kelola secara serius, bisa saja dengan membuat video misalnya atau menggunakan youtube tetapi dengan sedikit kreasi mengeditnya agar sesuai dengan materi ajar PAI.
-       Mengadakan tes hasil belajar, Tes hasil belajar adalah alat yang disusun untuk mengungkapkan sejauh mana murid telah mencapai tujuan-tujuan pengajaran yang ditetapkan sebelumnya murid-murid dikatakan telah mencapai tujuan pengajaran apabila dia telah menguasai sebagian besar materi yang berhubungan dengan tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Ketentuan ini merupakan penerapan dari belajar tuntas (mastery learning) yang didasarkan pada asumsi bahwa setiap murid dapat mencapai hasil belajar sesuai yang diharapkan jika diberi waktu yang cukup dan bimbingan yang memadai untuk mempelajari bahan yang disajikan.
-       Tes kecerdasan, Setiap murid mempunyai kemampuan dasar atau kecerdasan tertentu. Tingkat kemampuan ini biasanya diukur atau diungkapkan dengan menggunakan tes kecerdasan yang sudah baku. Diasumsikan bahwa anak normal, memiliki tingkat kecerdasan (IQ) antara 90-109. Hasil yang dicapai murid hendaknya dapat mencerminkan tingkat kemampuan yang dimilikinya. Murid yang kemampuan dasarnya tinggi akan mencapai hasil belajar yang tinggi pula. Bilamana seseorang murid mencapai hasil belajar yang lebih rendah dari tingkat kecerdasan yang dimilikinya, maka murid yang bersangkutan digolongkan sebagai yang mengalami masalah belajar. (menurut Gagne 1967).
-       Skala Sikap, Sikap dan kebiasaan belajar merupakan salah satu faktor yang penting dalam belajar. Sebagian dari hasil belajar, ditentukan oleh sikap dan kebiasaan yang dilakukan oleh murid dalam belajar. Kebiasaan belajar menunjuk pada bentuk dan pola perilaku yang dilakukan terus menerus oleh murid dalam belajar. Sebagian dari sikap kebiasaan belajar murid, dapat diketahui melalui pengamatan yang dilakukan di dalam kelas.
Program penigkatan mutu harus berorientasi kepada kebutuhan atau harapan pelanggan, maka layanan Pendidikan Islam haruslah memperhatikan masing-masing pelanggan tersebut. Kepuasan dan kebanggaan dari mereka sebagai penerima manfaat layanan pendidikan harus menjadi acuan bagi program peningkatan mutu layanan pendidikan Islam.[13]
Perlu digali informasi lebih mendalam tentang kinerja dan mutu tenaga kependidikan, proses belajar mengajar dan mutu hasil belajar. Dengan kata lain kegiatan penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan hanya akan dapat berhasil dengan keikut sertaan semua pihak.
Sebenarnya mutu pendidikan Islam merupakan akumulasi dari cerminan semua mutu jasa pelayanan yang ada di lembaga Islam yang diterima oleh para pelanggannya. Bila semua kegiatan dilakukan dengan baik, maka hasil akhir layanan pendidikan tersebut akan mencapai yang baik, berupa “mutu terpadu”.[14]
Jika lembaga menghadapi tantangan Pendidikan Agama Islam secara bersama-sama dan mengarahkan pada keutuhan, baik keutuhan dari fokus pelanggan, pengembangan proses, dan pelibatan semua elemen seperti kepala sekolah/ madrasah, guru, pegawai, dan supplier perlu diperhatikan dengan terus berorientasi pada kualitas.
Implikasi dari adanya tantangan tersebut adalah bahwa Pendidikan Agama Islam tidak berkembang menjadi lebih baik, karena kebanyakan dari peserta didik kurang tertarik. Selain itu karena Pendidikan Agama Islam kebanyakan kurang adanya penekanan dalam hal afektif dan psikomotorik siwa, hanya penyampaian pengetahuan, sehingga penananaman akhlak dan kerakter kurang begitu ada hasilnya.
Salah satu terobosan yang baik dari pemerintah dalam bidang pendidikan adalah terlahirnya Undang-Undang no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Inilah landasan awal pendidikan nasional dalam pelaksanaannya berpegang kepada standar mutu secara keseluruhan karena sebelumnya usaha untuk meningkatkan mutu sekolah di kita hanya dilaksanakan secara implisit yaitu pada perbaikan mutu kurikulum dan tidak pada program perbaikan mutu sekolah secara menyeluruh pada sektor pendidikan lainya. Undang-Undang no.20 tahun 2003 pada pasal 35 tentang standar nasional pendidikan menjelaskan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan. Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pemaparan pasal 35 dalam Undang-Undang no.20 tahun 2003 tersebut secara gamblang menerapkan konsep penjaminan mutu dimana terdapat standar mutu minimal yang harus dicapai melalui proses perencanaan dan dilakukan secara berkelanjutan dengan cara berkala sehingga terjadi quality improvement. Selain itu dijelaskan juga tentang quality control yang dilakukan untuk memantau mutu pendidikan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.[15]





















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hal-hal yang telah dibahas dan dipaparkan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa:
1.      Konsep mutu pendidikan masih bersifat parsial dan individual. Namun secara garis besar konsep mutu pendidikan mempunyai arti yang sama yaitu:
a.    Mutu meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan
b.   Mutu mencakup produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan
c.    Mutu merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya sesuatu dianggap bermutu saat ini mungkin akan dianggap kurang bermutu pada masa mendatang)
2.      Terdapat tantangan-tantangan lain yang berkaitan dengan Pendidikan Agama Islam, yaitu tentangan internal dan eksternal, diantaranya:
Tantangan Internal, antara lain:
a.    Krisis metodologi atau krisis pedagogik. Sekarang ini kecenderungan di kalangan lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah lebih merupakan proses teaching (proses pengajaran), ketimbang proses learning (proses pendidikan). Dengan demikian proses pengajaran, hanya mengisi aspek kognitif dan tidak membentuk pribadi dan watak. Proses pendidikan hanya melahirkan kemampuan otak (kognitif) ketimbang karakter perilaku dan tindakan yang etis.
b.   Kurikulum pendidikan agama Islam yang dirancangkan di sekolah sebenarnya lebih menawarkan minimum kompetensi atau minimum informasi.
c.    Para guru PAI kurang berupaya menggali berbagai metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agama.
d.   Keterbatasan sarana /prasarana, sehingga persoalan cenderung seadanya.
Tantangan Eksternal, yaitu:
a.    Permasalahan yang berkaitan dengan situasi objektif pendidikan Islam, yaitu adanya krisis konseptual (tentang pembagian ilmu-ilmu di dalam Islam). Krisis kelembagaan ini adalah adanya dikotomisasi antara lembaga-lembaga pendidikan yang menekankan pada salah satu aspek dari ilmu-ilmu yang ada, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Model kelembagaan yang dikotomis tidak akan mampu melahirkan peradaban yang unggul dan menjadi kekuatan bagi kemajuan umat.
b.   Pendekatan masih cenderung normative, dalam arti pendidikan agama menyajikan norma yang sering kali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai – nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian.
c.    Konflik antara tradisi pemikiran dan pendidikan Islam modernitas. Dalam konteks Indonesia, krisis ini paling jelas dapat dilihat di pesantren. Di pesantren paling jelas terjadi krisis akibat konflik antara tradisi pemikiran dan praktik pendidikan Islam dengan modernitas.
d.   Menyangkut persepsi masyarakat dan pemerintah yang cenderung diskriminatif, bahkan ada yang menganggap sebagai pendidikan “kelas dua” setelah seko­lah.
e.    Globalisasi bidang budaya,etika dan moral sebagai akibat kemajuan TI.
f.    Permasalahan makronasional (krisis multi dimensional).
3.      Implikasi terhadap penjaminan mutu Pendidikan Agama Islam adalah Pendidikan Agama Islam tidak berkembang menjadi lebih baik, karena kebanyakan dari peserta didik kurang tertarik. Selain itu karena Pendidikan Agama Islam kebanyakan kurang adanya penekanan dalam hal afektif dan psikomotorik siwa, hanya penyampaian pengetahuan, sehingga penananaman akhlak dan kerakter kurang begitu ada hasilnya. Salah satu terobosan yang baik dari pemerintah dalam bidang pendidikan adalah terlahirnya Undang-Undang no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Inilah landasan awal pendidikan nasional dalam pelaksanaannya berpegang kepada standar mutu secara keseluruhan karena sebelumnya usaha untuk meningkatkan mutu sekolah di kita hanya dilaksanakan secara implisit yaitu pada perbaikan mutu kurikulum dan tidak pada program perbaikan mutu sekolah secara menyeluruh pada sektor pendidikan lainya. Undang-Undang no.20 tahun 2003 pada pasal 35 tentang standar nasional pendidikan menjelaskan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan. Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pemaparan pasal 35 dalam Undang-Undang no.20 tahun 2003 tersebut secara gamblang menerapkan konsep penjaminan mutu dimana terdapat standar mutu minimal yang harus dicapai melalui proses perencanaan dan dilakukan secara berkelanjutan dengan cara berkala sehingga terjadi quality improvement. Selain itu dijelaskan juga tentang quality control yang dilakukan untuk memantau mutu pendidikan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.




DAFTAR PUSTAKA

Afiq Jannah, Tantangan Pendidikan Islam, http://afiqahjannah.blogspot.com, diakses tgl 19 September 2013
Ali Winata, Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan, http://www.lpmpbanten.net, diakses tgl 26 Desember 2013
Emzir dan Sam Muchtar Chaniago. 2010. Isu-Isu Kritis Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Bogor: Ghalia Indonesia
Hedwig, Rinda dan Gerradus Polla. 2006. Model Sistem Penjaminan Mutu dan Proses Penerapannya di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006
Mujtahid. 2011.  Reformulasi Pendidikan Islam. Malang: UIN-Maliki Press
Sallis, Edward. 2010. Total Quality Management In Education. Jogjakarta: IRCiSoD
Widodo, Suparno Eko. 2011. Manajemen Mutu Pendidikan (untuk Guru dan Kepala Sekolah), Jakarta: PT Ardadizya Jaya


[1] Mujatahid, Reformulasi Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), hlm. 31
[2] Emzir dan Sam Muchtar Chaniago, Isu-Isu Kritis Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 4
[3] Ibid.,hlm. 5
[4] Rinda Hedwig dan Gerradus Polla, Model Sistem Penjaminan Mutu dan Proses Penerapannya di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), hlm. 2
[5] Emzir dan Sam Muchtar Chaniago, Isu-Isu Kritis Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 7
[6] Suparno Eko Widodo, Manajemen Mutu Pendidikan (untuk Guru dan Kepala Sekolah), (Jakarta: PT Ardadizya Jaya, 2011), hlm. 22
[7] Mujtahid, Reformulasi Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Maliki Press, 2011) hlm. 35
[8] dalam buku Reformulasi Pendidikan Islam,.hlm. 35
[9] Mujtahid, Reformulasi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hlm. 37
[11] Mujtahid, Reformulasi…, hlm. 38-39
[13] Mujtahid, Reformulasi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hlm. 154
[14] Mujatahid, Reformulasi…, hlm. 157
[15] Ali Winata, Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan, http://www.lpmpbanten.net, diakses tgl 26 Desember 2013

No comments:

Post a Comment