BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penyelenggaraan
Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah
merupakan bentuk penjabaran dari amanat UU Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini secara jelas dinyatakan bahwa tujuan pendidikan
nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Sebagai
penjabaran dari tujuan pendidikan nasional, pemerintah melalui peraturan
menteri pendidikan nasional nomor 23 tahun 2006 tentang standar isi, menyatakan
bahwa pendidikan agama Islam di sekolah bertujuan : Pertama, menumbuhkembangkan
akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan,
pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam
sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanannya dan
ketakwaannya kepada Allah SWT. Kedua, mewujudkan manusia Indonesia yang taat
beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin ibadah,
cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh),
menjaga keharmonisan, secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya
agama dalam komunitas sekolah.[1]
Pengembangan
PAI harus dilakukan dan menjadi tanggung jawab bersama seiring dengan kedudukan
PAI dalam kurikulum sekolah yang sebenarnya menjadi “core” atau inti
kurikulum sekolah. Hal ini paling tidak didasarkan falsafah negara “pancasila”
terutama pada sila pertama, UU No. 20 tentang Sisdiknas pada pasal 1 ayat 1, UU
No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, serta Permendiknas, No. 22 tahun 2006.
Selanjutnya,
agama dianggap memiliki peran penting dalam mengembangkan moral spiritual
peserta didik. Pendidikan agama merupakan bagian integral dari sistem
pendidikan nasional (UU sisdiknas pasal 12) memiliki kontribusi yang besar
dalam penanaman nilai-nilai moral spiritual dan perilaku keberagamaan peserta
didik. Penanaman nilai-nilai keagamaan ini sangat diprioritaskan dalam
pembelajaran pendidikan agama karena pendidikan agama berperan penting dalam
pembentukan sikap dan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
kaitan ini maka keberhasilan penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah harus
mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan seperti pemerintah, masyarakat
maupun lembaga sosial keagamaan yang ada.
B.
Rumusan Masalah
1 Bagaimana pengertian mutu dalam pendidikan?
2 Bagaimana pengertian budaya agama?
3 Bagaimana strategi mewujudkan buadaya agama disekolah?
C.
Tujuan
1
Untuk
mengetahui pengertian mutu dalam pendidikan
2
Untuk
mengetahui pengertian budaya agama
3
Untuk
mengetahui strategi mewujudkan buadaya agama disekolah
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mutu Pendidikan
Mutu
(Quality) adalah memenuhi atau melibihi keinginan pelanggan dan
stakeholders secara konsisten. Mutu adalah kesesuaian fungsi dengan tujuan,
kesesuaian dengan spesifikasi dan standar yang ditentukan/berlaku, sesuai
dengan kegunaannya, produk yang memuaskan pelanggan, sifat dan karakteristik
produk atau jasa yang memenuhi kebutuhan/harapan pelanggan.
Mutu
juga dapat didefinisikan sebagai suatu yang memuaskan atau melampaui keinginan
dan kebutuhan pelanggan. Definisi ini disebut juga sebagai mutu sesuai persepsi
(Quality in Perception). Mutu ini bisa disebut sebagai mutu yang ada di
mata orang yang melihatnya. Ini merupakan devinisi yang sangat penting sebab
ada satu resiko yang sering kali kita abaikan dari devinisi ini, yaitu
kenyataan bahwa para pelanggan adalah pihak yang membuat keputusan terhadap
mutu dan mereka melakukan penilaian tersebut dengan merujuk pada produk terbaik
yang bisa bertahan dalam persaingan. Menurut Sallis mutu dapat diartikan sebagai
derajat kepuasan luar biasa yang diterima oleh costumer sesuai dengan kebutuhan
dan keinginan.[2]
Penjaminan Mutu (Quality
Assurance) adalah proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan
secara konsisten dan berkelanjutan sehingga stakeholders memperoleh kepuasan. Quality
Management System (sistem manajemen mutu) adalah suatu sistem manajemen
untuk mengarahkan dan mengendalikan suatu organisasi/institusi dalam penetapan
kebijakan, sasaran, rencana dan proses/prosedur mutu serta pencapaiannya secara
berkelanjutan (continous improvement). Sistem manajemen mutu adalah
suatu sistem manajemen yang menjamin kesesuaian antara proses dengan output
yang dihasilkan yang akan memberikan kepuasan stakeholders.
B.
Pengertian Budaya Religius Sekolah
Istilah
“budaya” mula-mula datang dari disiplin Ilmu Antropologi Sosial. Apa yang
tercakup dalam definisi budaya sangatlah luas. Istilah budaya dapat diartikan
sebagai totalitas, pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan dan semua produk
lain dari karya dan pemikiran manusia yang mencirikan kondisi suatu masyarakat
atau penduduk yang transmisikan bersama.[3]
Dalam
kamus besar bahasa Indonesia, budaya (cultural) di artikan sebagai:
pikiran, adat istiadat, sesuatu yang suda berkembang, sesuatu yang sudah
menjadi kebiasaan yang sukar diubah.[4]
Dalam pemakaian sehari-hari, orang biasanya mensinonimkan pengertian budaya
dengan tradisi (tradision). Dalam hal ini, tradisi diartikan sevagai
ide-ide umum, sikap dan kebiasaan dari masyarakat yang nampak dari perilaku
sehari-hari yang menjadi kebiasaan dari kelompok dalam masyarakat tersebut.[5]
Budaya
merupakan suatu kesatuan yang unik dan bukan jumlah dari bagian-bagian suatu
kemampuan kreasi manusia yang immaterial, berbentuk kemampuan psikologi
manusia yang immeterial, berbentuk kemampuan psikologis seperti ilmu
pengetahuan, teknologi, kepercayaan, keyakinan, seni dan sebagainya.[6]
Agar
budaya menjadi nilai-nilai yang tahan lama, maka harus ada proses internalisasi
budaya. Dalam bahasa Inggris, Internalized berarti to incorporate in
oneself. Jadi, internalisasi berarti proses menanamkan dan
menumbuhkembangkan suatu nilai atau budaya menjadi bagian diri (self)
orang yang bersangkutan. Penanaman dan penumbuhkembangan nilai tersebut
dilakukan melalui berbagai didaktik metodik pendidikan dan pengajaran. Seperti
pendidikan, pengarahan, indoktrinasi, brain washing dan lain sebagainya.[7]
Budaya
Religius adalah sekumpulan nilai-nilai agama yang melandasi perilaku, tradisi,
kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yan di praktikkan oleh kepala sekolah,
guru, petugas, dan tenaga kependidikan lainnya, siswa, atau warga sekolah pada
umumnya. Sebab itu budaya tidak hanya berbentuk simbolik semata sebagaimana
yang tercermin diatas, tetapi didalamnya penuh dengan nilai-nilai. Perwujudan
budaya juga tidak hanya muncul begitu saja tetapi melalui proses pembudayaan.
Religious
culture dalam konteks ini berarti pembudayaan nilai-nilai agama Islam dalam
kehidupan di sekolah dan di masyarakat, yang bertujuan untuk menanamkan
nilai-nilai agama Islam yang diperoleh siswa dari hasil pembelajaran di
sekolah, agar menjadi bagian yang menyatu dalam perilaku siswa sehari-hari
dalam lingkungan sekolah atau masyarakat. Bentuk kegiatan pengamalan budaya
agama Islam di sekolah, di antaranya adalah; membiasakan salam, membiasakan
berdoa, membaca al-Qur’an sebelum pelajaran dimulai, membiasakan kultum,
membiasakan shalat dhuha, shalat dhuhur berjamaah, dzikir setelah shalat,
menyelenggarakan PHBI, menyantuni anak yatim, acara halal bi halal, dan
sebagainya.[8]
Budaya keagamaan merupakan kebiasaan yang dilakukan
secara rutin dan spontan dalam kehidupan sehari-hari yang mencerminkan
pelaksanaan nila-inilai agama dan moral. Kemampuan guru PAI untuk mampu meyakinkan seluruh civitas akademika di
lembaga pendidikan, terutama kepala sekolah, akan pentingnya budaya keagamaan
adalah kuncinya. Ketika seorang kepala sekolah sebagai pemegang kebijakan
sekaligus penanggung jawab di sekolah sudah memiliki komitmen yang sama dalam
menciptakan budaya keagamaan, maka dalam pelaksanannya akan lebih mudah.
Dengan
semikian, budaya religius sekolah pada hakikatnya adalah terwujudnya
nilai-nilai ajaran agama sebagai tradisi dalam berperilaku dan budaya
organisasi yang diikuti oleh seluruh warga sekolah. Dengan menjadikan agama
sebagai tradisi dalam sekolah maka secara sadar maupun tidak ketika warga
sekolah mengikuti tradisi yang telah tertanam tersebut sebenarnya warga sekolah
sudah melakukan ajaran agama.[9]
Saat
ini, usaha penanaman nilai-nilai religius dalam rangka mewujudkan budaya
religius sekolah dihadapkan pada berbagai tantangan baik secara internal maupun
eksternal. Secara internal, pendidikan dihadapkan pada keberagaman siswa, baik
dari sisi keyakinan beragama maupun keyakinan dalam satu agama. Lebih dari itu,
setiap siswa memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Adapaun
secara eksternal, pendidikan agama dihadapkan pada satu realitas masyarakat
yang sedang mengalami krisis moral.
C.
Landasan Perlunya Pengembangan Budaya Religius
Di Sekolah/Madrasah
a)
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU No. 20/2003 ttg Sisdiknas, Ps. 1
ayat 1)
b)
Tujuan PAI di sekolah/madrasah a.l. :
mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama
dan berakhlak mulia yaitu manusia
yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis,
berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan
sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah/madrasah.
c)
Di
era globalisasi ini masalah dekadensi moral semakin meningkat, sehingga para
orang tua semakin khawatir terhadap pengaruh negatif dari globalisasi, yaitu semakin mudahnya
nilai-nilai moral yang negatif mempengaruhi anak-anak didik baik melalui media
cetak maupun elektronik.
D.
Terbentuknya Budaya Religius Sekolah
Secara
umum budaya dapat terbentuk secara prescriptive (ascriptive) dan dapat juga
secara terprogram sebagai learning process atau solusi terhadap suatu
masalah. Yang pertama adalah pembentukan atau terbentuknya budaya agama
di sekolah melalui penurutan, peniruan, penganutan dan penataan suatu skenario
(tradisi, perintah) dari atas atau dari luar pelaku budaya yang bersangkutan.
Pola ini disebut pola pelakonan, modelnya sebagai berikut:
Tradisi Perintah
Gambar: 1 Pola Pelakonan
Yang kedua adalah pembentukan
budaya secara terprogram melalui learning process. Pola ini bermula dari
dalam diri pelaku budaya, dan suara kebenaran, keyakinan, anggapan dasar atau
kepercayaan dasar yang dipegang teguh sebagai pendirian, dan diaktualisasikan
menjadi kenyataan melalui sikap dan perilaku. Kebenaran itu diperoleh melalui
pengalaman atau pengkajian trial and error dan pembuktiannya adalah
peragaan pendiriannya tersebut. itulah sebabnya pola aktualisasinya ini disebut
pola peragaan. Berikut ini modelnya:[10]
Tradisi,
Perintah
Gambar: 2 Pola Peragaan
Budaya agama yang telah terbentuk di
sekolah, beraktualisasi ke dalam dan ke luar pelaku budaya menurut dua cara.
Aktualisasi budaya ada yang berlangsung secara covert
(samar/tersembunyi) dan ada yang overt (jelas/terang). Yang pertama
adalah aktualisasi budaya yang berbeda antara aktualisasi ke dalam dengan ke
luar, ini disebut covert yaitu seseorang yang tidak berterus terang,
berpura-pura, lain di mulut lain dihati, penuh kiasan dalam bahasa lambing, ia
diselimuti rahasia. Yang kedua adalah aktualisasi budaya yang tidak
menunjukkan perbedaan antara aktualisasi ke dalam dengan aktualisasi ke luar,
ini disebut dengan overt. Pelaku overt ini selalu berterus terang
dan langsung pada pokok pembicaraan.
E.
Strategi Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah
Proses perwujudan budaya religius dilakukan dengan dua strategi,
yaitu instructive sequential strategy dan structive sequential
strategy. Pada strategi pertama, upaya perwujudan budaya religius
menekankan pada asek struktural yang bersifat instruktif, yang mengandalkan
komitmen pemimpin untuk melakukan upaya sistematis melalui force untuk
mewujudkan budaya religius, sehingga punishment dijadikan sebagai salah satu
cara untuk mewujudkan budaya religius sekolah. Adapun proses perwujudannya
sebagai berikut: (1) penciptaan suasana religius (2) internalisasi nilai (3)
keteladanan (4) pembiasaan dan (5) pembudayaan. Pada straegi kedua,
upaya perwujudan budaya religius sekolah lebih menekankan pada pentingnya
membangun kesadaran diri (self awareness), sehingga diharapkan akan
tercipta sikap, perilaku dan kebiasaan religius yang pada akhirnya akan
membentuk budaya religius sekolah. Adapun prosesnya sebagai berikut: (1)
penciptaan suasana religius (2) sikap (3) perilaku (4) kebiasaan dan (5)
pembudayaan. Agar budaya religius
disekolah dapat terwujud maka diperlukan komitmen dan dukungan dari warga
sekolah, disamping itu perlu adanya upaya pengawasan dan pengendalian terhadap
proses pembudayaan di sekolah dengan cara membuat buku kendali untuk para
siswa.[11]
Dengan demikian tujuan pendidikan agama Islam seperti yang diamanahkan
oleh pemerintah dapat dicapai dengan baik. Selain itu, tidaklah adil apabila
pendidikan agam Islam hanya menjadi tugas dan tanggung jawab guru pendidikan
agama Islam saja, tanpa didukung oleh pihak-pihak yang terkait di lingkungan
sekolah. Oleh sebab itu, pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah
merupakan tanggung jawab bersama yakni kepala sekolah, guru agama Islam, guru
mata pelajaran umum, karyawan, komite sekolah, siswa, dan pihak-pihak lain yang
terkait. Dengan alasan-alasan seperti tersebut di atas, maka pengembangan dan
pengamalan budaya agama Islam dalam komunitas sekolah sangat penting untuk
diimplementasikan.
Sedangkan
strategi dalam mengembangkan budaya religius di sekolah, menurut
Koentjaraningrat tentang wujud kebudayaan, meniscayakan upaya pengembangan
dalam tiga tataran yaitu tataran nilai yang dianut, tataran praktik keseharian,
dan tataran simbol-simbol budaya.[12]
Pada
tataran nilai yang dianut, dirumuskan secara bersama nilai-nilai agama
yang disepakati dan perlu dikembangkan dalam lingkungan sekolah, untuk
salanjutnya dibangun komitmen bersama diantara semua warga sekolah khususnya
para siswa terhadap pengembangan nilai-nilai yang telah disepakati. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Hicman dan Silva[13]
bahwa terdapat tiga langkah untuk mewujudkan budaya yaitu: Commitment,
Competence, dan Consistency. Nilai-nilai tersebut ada yang bersifat
vertikal dan horizontal. Nilai-nilai yang bersifat vertikal berwujud hubungan
manusia atau warga sekolah dengan Allah (habl min Allah), dan yang horizontal
berwujud hubungan manusia atau warga sekolah dengan sesamanya (hablu min
an-nas), dan hubungan mereka dengan lingkungan alam sekitar.
Dalam
tataran praktik keseharian, nilai-nilai keagamaan yang telah disepakati
tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku keseharian oleh semua warga
sekolah. Proses pengembangan tersebut dapat dilakukan melalui tiga tahapan,
yaitu: Pertama, sosialisasi nilai-nilai agama yang disepakati sebagai
sikap dan perilaku ideal yang ingin dicapai pada masa mendatang di sekolah. Kedua,
penetapan action plan mengguan atau bulanan sebagai tahapan dan langkah
sistematis yang akan dilakukan oleh semua pihak sekolah dalam mewujudkan
nilai-nilai agama yang telah disepakati, Ketiga, pemberian penghargaan
terhadap prestasi warga sekolah.
Dalam
tataran simbol-simbol budaya, pengembangan yang perlu dilakukan adalah
mengganti simbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan
nilai-nilai agama dengan simbol budaya yang agamis.
F.
Pentingnya Pengembangan Pendidikan Agama Islam sebagai Budaya
Sekolah
Istilah
pengembangan dapat bermakna kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif
bagaimana menjadikan pendidikan agama Islam yang hanya dua atau tiga jam
pelajaran itu dapat lebih meluas dan merata pengaruhnya baik di dalam maupun di
luar sekolah. Secara kualitatif bagaimana menjadikan pendidikan agama Islam
lebih baik, bermutu dan labih maju sejalan dengan ide-ide dasar atau
nilai-nilai Islam itu sendiri yang seharusnya selalu berada di depan dalam
merespon dan mengantisipasi berbagai tantangan hidup dan kehidupan.
Berfikir
pegembangan mengajak seseorang untuk berfikir kreatif dan inovatif dalam
melakukan perubahan (change) sebagai akibat dari keprihatinan terhadap
kondisi dan eksistensi pendidikan agama Islam yang ada yang diikuti dengan perubahan
(growth) dan pembaruan atau perbaikan (reform) serta ditingkatkan
secara terus menerus (continuity) untuk di bawa ke yang lebih ideal.
Namun demikian perubahan dan pembaruan pendidikan agama Islam itu disamping
memerlukan sensitivitas terhadap meinstream dari perkembangan yang ada, jua
perlu mempertimbangkan dimensi-dimensi fondasionalnya, sehingga tidak terlepas
dari akar-akar atau tidak kehilangan ruh atau spirit Islam.
Pengembangan
pendidikan agama Islam dengan demikian perlu membidik berbagai wilayah kajian
secara simultan yang pada dasarnya bermuara pada tiga problem pokok yaitu (1) foundational
problem dan empiric foundational problems yang menyangkut
dimensi-dimensi historis, sosiologis, psikologis, antropologis, ekonomi dan
politik. (2) structural problems, baik ditinjau dari struktur demografis
dan geografis, struktur perkembangan, struktur perkembangan jiwa manusia,
struktur ekonomi, maupun struktur atau jejang pendidikan, (3) operational
problems, yang secara mikro menyangkut keterkaitan berbagai
faktor/unsur/komponen dalam pendidikan agama Islam. Sedangkan secara makro,
menyangkut keterkaitan pendidikan agama Islam dengan sistem sosial, politik,
ekonomi, budaya dan agama dan agama baik yang bersifat nasional maupun
transnasional.[14]
Berbicara
tentang budaya sekolah mengajak seseorang untuk mendudukkan sekolah sebagai suatu
organisasi yang didalamnya terdapat individu-individu yang memiliki hubungan
dan tujuan bersama (suara organisasi itu). Tujuan ini diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan individu-individu atau memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang
berkepentingan (stakeholder). Budaya sekolah merupakan perpaduan
nilai-nilai keyakinan, asumsi, pemahaman, dan harapan-harapan yang diyakini
oleh warga sekolah serta dijadikan pedoman bagi perilaku pemecahan masalah (internal
dan eksternal) yang mereka hadapi. Dengan perkataan lain budaya sekolah
merupakan semangat, sikap dan perilaku pihak-pihak yang terkait dengan sekolah,
atau pola perilaku serta kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh warga sekolah
secara konsisten dalam menyelesain masalah.[15]
Menurut
Deal dan Peterson budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi
perilaku, tradisi, kebiasaan, kesehetan dan simbol-simbol yang dipraktekkan
oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, peserta didik dan masyarakat
sekitar sekolah. Budaya sekolah ini merupakan seluruh pengalaman psikologis
para peserta didik baik yang bersifat sosial, emosional, maupun intelektual
yang diserap oleh mereka selama berada dilingkungan sekolah.
Budaya
sekolah akan menumbuhkan motivasi belajar siswa menjadi manusia yang penuh
optimis, berani tampil, disiplin, berperilaku kooperatif, bertanggung jawab dan
memiliki rasa kebersamaan yang baik. Motivasi belajar siswa akan memberikan
pengalaman bagi tumbuhkembangnya kecerdasan, ketrampilan, dan aktivitas siswa
yang pada akhirnya berpengaruh terhadap mutu pendidikan pada umumnya.
Pengembangan
pendidikan agama Islam sebagai budaya sekolah berarti bagaiamana mengembangkan
PAI disekolah, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, sebagai pijakan
nilai, semangat, sikap, dan perilaku bagai para aktor sekolah seperti kepala
sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya, orang tua murid dan pesrta didik
itu sendiri.[16]
Beberapa
manfaat yang bisa diambil dari upaya pengembangan budaya sekolah, diantaranya:
(1) Menjamin kualitas kerja yang lebih baik; (2) Membuka seluruh jaringan
komunikasi dari segala jenis dan level baik komunikasi vertikal maupun
horisontal; (3) Lebih terbuka dan transparan; (4) Menciptakan kebersamaan dan
rasa saling memiliki yang tinggi; (4) Meningkatkan solidaritas dan rasa
kekeluargaan; (5) Jika menemukan kesalahan akan segera dapat diperbaiki; dan
(6) Dapat beradaptasi dengan baik terhadap perkembangan IPTEK.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Budaya Religius adalah
sekumpulan nilai-nilai agama yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan
keseharian, dan simbol-simbol yan di praktikkan oleh kepala sekolah, guru,
petugas adsministrasi, peserta didik, dan masyarakat sekolah. Sebab itu budaya
tidak hanya berbentuk simbolik semata sebagaimana yang tercermin diatas, tetapi
didalamnya penuh dengan nilai-nilai. Perwujudan budaya juga tidak hanya muncul
begitu saja tetapi melalui proses pembudayaan.
Sedangkan
sekolah adalah lembaga pendidikan formal yang bertujuan untuk mempersiapkan
peserta didik menjadi manusia yang berkualitas sebagaimana tujuan pendidikan
nasional. Sehingga dalam pengembangan budaya agama ini di kembangkan dari
kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler, muatan lokal, serta iklim religius yang
diciptakan di sekolah.
DAFTAR
PUSTAKA
Agustin, Ary Ginanjar. 2003. Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ
Power, Sebuah Inner Journey Melauli Ihsan. Jakarta: ARGA
Budiningsih,
Asri. 2004. Pembelajaran Moral Berpijak pada Karakteristik Siswa dan
Budayanya. Jakarta: Rineka Cipta
Dhara, Talizhidu. 1997. Budaya Organisasi. Jakarta: Rineke
Cipta
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
PT. Balai Pustaka
Departemen
Agama Badan dan Diklat Balai Penelitian dan Pengembangan Agama. 2008. Pendidikan
Agama di Era Reformasi. Jakarta: Penamas; Jurnal Penelitian Agama dan
Kemasyarakatan
Hicman dan
Silva dan Purwanto. 1984. Budaya Perusahaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
http://mufazi881.blogspot.com/2011/12/pendidikan-agama-islam-berbasis-budaya.html (di akses tgl 2 Desember 2013, pkl: 08.16)
Indrafcrudi, Soekarto. 1994. Bagaimana Mengakrabkan Sekolah
dengan Orang Tua Murid dan Masyarakat. Malang: IKIP Malang.
J.P. Kotter
& J.L.Heskket. 1992. Dampak
Budaya Perusahaan Terhadap Kinerja. Terjemahan oleh Benyamin Molan. Jakarta:
Prenhallindo
Koentjaraningrat.
2006. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, dalam Muhaimin, Nuansa
Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Muhaimin. 1999. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung:
Rosdakarya
Muhaimin. 2006. Nuansa Baru Pendidikan Islam. Jakarta: PT
RajaGrafindo
Madjid, Nurcholis. 1997. Masyarakat Religius. Jakarta:
Paramadina
Ndara, Talizuhu. 2005. Teori Budaya Organisa. Jakarta:
Rineke Cipta
Raji al-Faruqi,
Ismail. 1982. Islamization of
Knowledge: General Principles and Workplan. Washington DC, International
institute of Islamic Thoungt
Sebagai Bahan
Bandingan HDI (Human Development Index) yang dikeluarkan oleh UNDP
melaporkan bahwa indonesia berada pada ranking 111 pada tahun 2004, lihat
E. Mulyasa. 2007. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
Sahlan, Asmaun. 2009. Mewujudkan
Budaya Religius di Sekolah, Upaya Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi. Malang:
UIN-Maliki Press
Sallis, Adward. 2007. Total Quality Manajemen In Education. Jogjakarta:
IRCiSoD
Zamroni. 2007. Meningkatkan Mutu Sekolah. Jakarta: PSAP Muhammadiyah
[1] http://misunankalijogo.blogspot.com/2008/03/pengamalan-budaya-agama-religious.html (di
akses tgl: 10 Desember 2013, pkl: 09.16)
[2] Adward Sallis,
Total Quality Manajemen In Education (Jogjakarta: IRCiSoD, 2007) hlm: 56
[3] J.P. Kotter
& J.L.Heskket, Dampak Budaya Perusahaan Terhadap Kinerja. Terjemahan
oleh Benyamin Molan, (Jakarta: Prenhallindo, 1992) hlm: 4
[4] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT.
Balai Pustaka, 1991) hlm: 149
[5] Soekarto
Indrafcrudi, Bagaimana Mengakrabkan Sekolah dengan Orang Tua Murid dan
Masyarakat, (Malang: IKIP Malang, 1994) hlm: 20
[6] Asri
Budiningsih, Pembelajaran Moral Berpijak pada Karakteristik Siswa dan
Budayanya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004) hlm: 18
[7] Talizhidu
Dhara, Budaya Organisasi, (Jakarta: Rineke Cipta, 1997) hlm: 82
[8] http://misunankalijogo.blogspot.com/2008/03/pengamalan-budaya-agama-religious.html (di akses tgl:
10 Desember 2013, pkl: 09.16)
[9] Asmaun Sahlan,
Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah, Upaya Mengembangkan PAI dari Teori ke
Aksi, (Malang: UIN-Maliki Press, 2009) hlm: 77
[10] Talizuhu
Ndara, Teori Budaya Organisa, (Jakarta: Rineke Cipta,2005) hlm: 24.
[11] Asmaun Sahlan, Mewujudkan
Budaya Religius di Sekolah..... hlm: 154
[12]
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, dalam Muhaimin,
Nuansa Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006) hlm: 157
[13] Hicman dan
Silva dan Purwanto, Budaya Perusahaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar:
1984) hlm: 67
[14] Muhaimin, Nuansa
Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2006 ) hlm: 132
[15] Ibid,
[16] Ibid,
No comments:
Post a Comment