KATA
PENGANTAR
بسم الله الحمن الرحيم
Puji
syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya lah kami
bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Gadai (ar-rahn) Dalam Fiqh
Muamalah”.
Makalah
ini diajukan guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah, dengan dosen
pembimbing Bapak H. Abbas Arfan
Kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga
makalah ini memberikan informasi bagi mahasiswa dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Amin
Ya Rabbal „Alamin.
Malang,
April 2014
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dan syarat-syarat
dari gadai (ar-rahn)?
2. Apakah hak dan kewajiban penerima dan pemberi
gadai (ar-rahn)?
3. Bagaimana pemanfaatan barang gadaian (ar-rahn)?
C. Tujuan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gadai
Transaksi
hukum gadai dalam fikih islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian
untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan hutang. Pengertian ar-rahn dalam
bahasa arab adalah ast-tsubut wa addawam ((الثبوت و الدوام, yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam kalimat maun
rahin (ماء راهن), yang berarti air yang tenang.[1]
Sebagaimana dalam Al-Quran surat al-muddastir ayat 38:
Setiap
orang bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.
Menurut
Zainuddin gadai adalah menyerahkan benda berharga dari seseorang kepada orang
lain sebagai penguat atau tanggungan dalam utang piutang. Borg adalah
benda yang dijadikan jaminan. Benda sebagai borg ini akan diambil
kembali setelah utangnya terbayar. Jika waktu pembayaran telah ditentukan tlah
tiba dan utang belum dibayar, maka borg ini digunakan sebagai
penggantiyaitu drngan cara dijual sebagai bayaran dan jika ada kelebihan
dikembalikan kepada orang yang berhutang.[2]
الرهن في الشرع:
المال الذي يجعل وثيقة بالدين ليستوفى من ثمنه إن تعذر استيفاؤه ممن هو عليه[3]
Ar-rahn
menurut syara’ adalah suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk
dipenuhi dari harganya, bila yang berhutang tidak sanggup membayar utangnya.
Ulama
Syafiiyah mendifinisikan akad ar-rhnu sebagai berikut, menjadikan al-‘ain
(barang) sebagai watsiiqoh (jaminan) utang yang barang itu digunakan untuk
membayar utang tersebut (al-marhun bihi) ketika pihak al-madiin (pihak yang
berhutang, ar-rahin) tidak bisa membayar utang tersebut. Sedangkan ulama
Hanabila mendisikan ar-rahn seperti berikut, harta yang dijadikan sebagai
watsiqoh utang yang ketika pihak yang menanggung utang tidak bisa melunasinya,
maka utang tersebut dibayar dengan menggunakan hasil penjualan harta yang
dijadikan watsiiqoh tersebut. Ulama Malikiyyah medefinisikan ar-rahnu sebagai
sesuatu yang mutamawwal (berbentuk harta dan memiliki nilai) yang diambil dari
pemiliknya untuk dijadikan watsiiqoh utang yang lazim (keberadaannya sudah
positif dan mengikat) atau yang akan lazim.[4]
Ar-rahnu
merupakan akad tabarru’ karena barang yang diserahkan ar-rahin (pihak yang
menggadaiakan) kepada al-murtahin adalah tanpa imbalan atau ganti. Akad ar-rahn
ini termasuk akad al-‘ain yaitu akad yang dianggap belum sempurna
konsekuensinya hukumnya belum bisa dijalankan kecuali barang yang dijadikan
objek atau al-‘ain telah diserahkan.
الرهن عقد من
عقود التبرع, لأن ما أعطاه الراهن للمرتهن غير مقابل بشيء, وهو من العقود التي لا
تعتبر تامة الالتزام إلا بقبض العين المعقود عليها و تسليمها. والسبب في اشتراط
القبض لتمامها والالتزام بها هو أنها تبرع[5]
B. Dasar Masyru’iyah
Dasar
hukum gadai adalah jaiz (boleh) berdasarkan ayat-ayat Al-quran, hadist Nabi
SAW, dan ijma’ ulama sebagai berikut:
Jika
kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu
(para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya,
maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Baqoroh:38)
Ayat
ini menunjukkan prinsip kehati-hatian apabila seseorang akan melakukan
transaksi utang-piutang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara
meminjamkan sebuah barang kepada orang yang berp[iutang. Rahn juga bias
dilakukan ketika kedua belah pihak sedang melakukan safar dengan menggunakan
catatan dan saksi terhadapnya. Maka dapat disimpulkan bahwa dari fungsi barang
gadai adalah untuk menjaga kepercayaan masing-masing pihak, sehingga penerima
gadai meyakini bahwa pemberi gadai akan mengembalikan pinjamannya dengan cara
menggadaikan barangnya, serta tidak melalaikan jangka waktu pengembalian
utangnya.
Sedangkan
kata “safar” yakni dalam keadaan perjalanan, hal ini bukan berarti dilarang
bagi orang yang menetap atau bermukim. Sebab, keadaan musafir tidak menjadi
syarat untuk melakukan transaksi rahn. Terdapat sebuah hadist yang
menceritakan, dari Aisyah ra berkata
bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang yahudi dengan cara
menggadaikan baju besinya.(HR. Bukhari dan Muslim)
وَعَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اَللَّهِ -صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( لَا يَغْلَقُ اَلرَّهْنُ
مِنْ صَاحِبِهِ اَلَّذِي رَهَنَهُ, لَهُ غُنْمُهُ, وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ )
رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَالْحَاكِمُ, وَرِجَالهُ ثِقَاتٌ. إِلَّا أَنَّ
اَلْمَحْفُوظَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ إِرْسَالُهُ[6]
Adapun
dari hadist yang dijadikan landasan diperbolehkannya transaksi ar-rahn:Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barang gadaian tidak menutup
pemilik yang menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi
tanggungannya." Riwayat Daruquthni dan Hakim dengan perawi-perawi yang
dapat dipercaya. Namun yang terpelihara bagi Abu Dawud dan lainnya hadits itu
mursal.
وَعَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
( اَلظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَلَبَنُ اَلدَّرِّ
يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَعَلَى اَلَّذِي يَرْكَبُ
وَيَشْرَبُ اَلنَّفَقَةُ رَوَاهُ اَلْبُخَارِيّ[7]
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Punggung hewan yang digadaikan
boleh dinaiki dengan membayar dan susu hewan yang digadaikan boleh diminum
dengan membayar. Bagi orang yang menaiki dan meminumnya wajib membayar."
Riwayat Bukhari.
Ijma’ Ulama juga sepakat membolehkan akad ar-rahn
C. Rukun dan syarat gadai
Kesepakatan
tentang perjanjian penggadaian suatu barang sangat terkait erat dengan akad
sebelumnya, yakni akad utang-piutang (ad-dain), karena tidak akan
terjadi gadai dan tidak mungkin untuk menggadaikan barang kalau tidak ada utang
yang dimilikinya.
Hukum gadai adalah mubah bagi
orang yang berhutang, dan sunnah bagi yang mengutangi, karena sifatnya
tolong-menolong.
Pada
umumnya aspek hukum keperdataan islam (fiqh muamalah) dalam hal transaksi baik
dalam bentuk jual beli, sewa-menyewa, gadai, maupun yang semacamnya
mempersyaratkan rukun dan syarat sah termasuk dalam transaksi gadai. Demikian
juga hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi gadai. Hal
dimaksud diungkapkan sebagai berikut.
1.
Rukun
Gadai
Dalam
fiqh empat mazhab diungkapkan rukun gadai sebagai berikut:
a. Ar-
Ketentuan Umum fatwa DSN MUI
Ketentuan Umum fatwa DSN MUI
1. Murtahin (penerima
barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang Rahin
(yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan
manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak
boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan
tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar
pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada
dasarnya menjadi kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin,
sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin.
4. Besar biaya pemeliharaan dan
penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan Marhun Apabila jatuh
tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi
utangnya.
a. Apabila Rahin tetap tidak dapat
melunasi utangnya, maka Marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang
sesuai syariah.
b. Hasil penjualan Marhun digunakan
untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan, dan penyimpanan yang belum dibayar
serta biaya penjualan.
c. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin
dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.
No comments:
Post a Comment