Tuesday, February 6, 2018

gadai (ar-rahn)





KATA PENGANTAR
بسم الله الحمن الرحيم

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya lah kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Gadai (ar-rahn) Dalam Fiqh Muamalah”.
Makalah ini diajukan guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah, dengan dosen pembimbing Bapak H. Abbas Arfan
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi mahasiswa dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Amin Ya Rabbal „Alamin.




Malang, April 2014

Penulis




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian dan syarat-syarat dari gadai (ar-rahn)?
2.      Apakah hak dan kewajiban penerima dan pemberi gadai (ar-rahn)?
3.      Bagaimana pemanfaatan barang gadaian (ar-rahn)?
C.     Tujuan Masalah



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Gadai
Transaksi hukum gadai dalam fikih islam disebut ar-rahn.  Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan hutang. Pengertian ar-rahn dalam bahasa arab adalah ast-tsubut wa addawam ((الثبوت و الدوام, yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam kalimat maun rahin (ماء راهن), yang berarti air yang tenang.[1] Sebagaimana dalam Al-Quran surat al-muddastir ayat 38:
Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.
Menurut Zainuddin gadai adalah menyerahkan benda berharga dari seseorang kepada orang lain sebagai penguat atau tanggungan dalam utang piutang. Borg adalah benda yang dijadikan jaminan. Benda sebagai borg ini akan diambil kembali setelah utangnya terbayar. Jika waktu pembayaran telah ditentukan tlah tiba dan utang belum dibayar, maka borg ini digunakan sebagai penggantiyaitu drngan cara dijual sebagai bayaran dan jika ada kelebihan dikembalikan kepada orang yang berhutang.[2]
الرهن في الشرع: المال الذي يجعل وثيقة بالدين ليستوفى من ثمنه إن تعذر استيفاؤه ممن هو عليه[3]
Ar-rahn menurut syara’ adalah suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berhutang tidak sanggup membayar utangnya.
Ulama Syafiiyah mendifinisikan akad ar-rhnu sebagai berikut, menjadikan al-‘ain (barang) sebagai watsiiqoh (jaminan) utang yang barang itu digunakan untuk membayar utang tersebut (al-marhun bihi) ketika pihak al-madiin (pihak yang berhutang, ar-rahin) tidak bisa membayar utang tersebut. Sedangkan ulama Hanabila mendisikan ar-rahn seperti berikut, harta yang dijadikan sebagai watsiqoh utang yang ketika pihak yang menanggung utang tidak bisa melunasinya, maka utang tersebut dibayar dengan menggunakan hasil penjualan harta yang dijadikan watsiiqoh tersebut. Ulama Malikiyyah medefinisikan ar-rahnu sebagai sesuatu yang mutamawwal (berbentuk harta dan memiliki nilai) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan watsiiqoh utang yang lazim (keberadaannya sudah positif dan mengikat) atau yang akan lazim.[4]
Ar-rahnu merupakan akad tabarru’ karena barang yang diserahkan ar-rahin (pihak yang menggadaiakan) kepada al-murtahin adalah tanpa imbalan atau ganti. Akad ar-rahn ini termasuk akad al-‘ain yaitu akad yang dianggap belum sempurna konsekuensinya hukumnya belum bisa dijalankan kecuali barang yang dijadikan objek atau al-‘ain telah diserahkan.
الرهن عقد من عقود التبرع, لأن ما أعطاه الراهن للمرتهن غير مقابل بشيء, وهو من العقود التي لا تعتبر تامة الالتزام إلا بقبض العين المعقود عليها و تسليمها. والسبب في اشتراط القبض لتمامها والالتزام بها هو أنها تبرع[5]
B.     Dasar Masyru’iyah
Dasar hukum gadai adalah jaiz (boleh) berdasarkan ayat-ayat Al-quran, hadist Nabi SAW, dan ijma’ ulama sebagai berikut:
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Baqoroh:38)
Ayat ini menunjukkan prinsip kehati-hatian apabila seseorang akan melakukan transaksi utang-piutang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara meminjamkan sebuah barang kepada orang yang berp[iutang. Rahn juga bias dilakukan ketika kedua belah pihak sedang melakukan safar dengan menggunakan catatan dan saksi terhadapnya. Maka dapat disimpulkan bahwa dari fungsi barang gadai adalah untuk menjaga kepercayaan masing-masing pihak, sehingga penerima gadai meyakini bahwa pemberi gadai akan mengembalikan pinjamannya dengan cara menggadaikan barangnya, serta tidak melalaikan jangka waktu pengembalian utangnya.
Sedangkan kata “safar” yakni dalam keadaan perjalanan, hal ini bukan berarti dilarang bagi orang yang menetap atau bermukim. Sebab, keadaan musafir tidak menjadi syarat untuk melakukan transaksi rahn. Terdapat sebuah hadist yang menceritakan, dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang yahudi dengan cara menggadaikan baju besinya.(HR. Bukhari dan Muslim)
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ -صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( لَا يَغْلَقُ اَلرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ اَلَّذِي رَهَنَهُ, لَهُ غُنْمُهُ, وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ )  رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَالْحَاكِمُ, وَرِجَالهُ ثِقَاتٌ. إِلَّا أَنَّ اَلْمَحْفُوظَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ إِرْسَالُهُ[6]
Adapun dari hadist yang dijadikan landasan diperbolehkannya transaksi ar-rahn:Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barang gadaian tidak menutup pemilik yang menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi tanggungannya." Riwayat Daruquthni dan Hakim dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Namun yang terpelihara bagi Abu Dawud dan lainnya hadits itu mursal.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اَلظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَلَبَنُ اَلدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَعَلَى اَلَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ اَلنَّفَقَةُ  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيّ[7]
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Punggung hewan yang digadaikan boleh dinaiki dengan membayar dan susu hewan yang digadaikan boleh diminum dengan membayar. Bagi orang yang menaiki dan meminumnya wajib membayar." Riwayat Bukhari.
Ijma’ Ulama juga sepakat membolehkan akad ar-rahn
C.    Rukun dan syarat gadai
Kesepakatan tentang perjanjian penggadaian suatu barang sangat terkait erat dengan akad sebelumnya, yakni akad utang-piutang (ad-dain), karena tidak akan terjadi gadai dan tidak mungkin untuk menggadaikan barang kalau tidak ada utang yang dimilikinya. Hukum gadai adalah mubah bagi orang yang berhutang, dan sunnah bagi yang mengutangi, karena sifatnya tolong-menolong.
Pada umumnya aspek hukum keperdataan islam (fiqh muamalah) dalam hal transaksi baik dalam bentuk jual beli, sewa-menyewa, gadai, maupun yang semacamnya mempersyaratkan rukun dan syarat sah termasuk dalam transaksi gadai. Demikian juga hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi gadai. Hal dimaksud diungkapkan sebagai berikut.
1.         Rukun Gadai
Dalam fiqh empat mazhab diungkapkan rukun gadai sebagai berikut:
a.       Ar-

Ketentuan Umum fatwa DSN MUI
1.      Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2.      Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
3.      Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin.
4.      Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5.      Penjualan Marhun Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi utangnya.
a.       Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
b.      Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan, dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
c.       Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.


[1]
[2]
[3]
[4] Wahbah Al-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie Al-Kattani (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 107-108.
[5]
[6]
[7]

No comments:

Post a Comment