Tuesday, February 6, 2018

HAK KEBENDAAN YANG MEMBERIKAN JAMINAN



HAK KEBENDAAN YANG MEMBERIKAN JAMINAN
Pengertian Fidusia
Lembaga fidusia dikenal dengan berbagai nama atau istilah, pada zaman romawi dikenal dengan nama fiducia cum creditore.Asser Van Oven menyebutkan, hak milik sebagai jaminan, sedangkan Dr. A. Veen heren menyebutnya dengan istilah penyerahan hak milik sebagai jaminan (eigendom overdracht tot zekerheid), secara singkat lazim dipergunakan istilah fidusia atau FEO yang merupakan singkatan Fiduciare Eigendom Overdracht.
Istilah fidusia ini berasala dari kata fiduciair atau fides yang artinya kepercayaan, yakni penyerahan hak milik atas benda secara kepercayaan sebagai jaminan (agunan) bagi pelunasan piutang kreditor. Penyerahan hak milik atas benda ini dimaksudkan hanya sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, di mana memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia (kreditor) terhadap kredito-kreditor lainnya[1]. Pengerian fidusia dinyatakan dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 bahwa:
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Dari perumusan di atas, dapat diketahui unsure-unsur fidusia yaitu:
1.      Pengalihan hak kepemilikan suatu benda
2.      Dilakukan atas dasar kepercayaan
3.      Kebendaannya tetap dalam penguasaan pemilik benda
Dengan demikian artinya, bahwa dalam fidusia telah terjadi penyerahan dan pemindahan dalam kepemilikan atas suatu benda yang dilakukan atas dasar fiduciair dengan syarat bahwa beda yang hak kepemilikannya tersebut diserahkan dan dipindahkan kepada penerima fidusia tetap dalam penguasaan pemilik benda (pemberi fidusia). Dalam hal ini, yang diserahkan dan dipindahkan itu dari pemiliknya kepada kreditor penerima fidusia adalah hak kepemilikan atas suatu benda yang dijadikan sebagai jaminan, sehingga hak kepemilikan secara yuridis atas benda yang dijaminkan beralih kepada kreditor penerima gadai. Sementara itu, hak kepemilikan secara ekonomis atas benda yang dijaminkan tersebut tetap berada di tangan atau dalam penguasaan pemiliknya.
Dengan adanya penyerahan hak kepemilikan atas kebendaan jaminan fidusia ini, tidak berarti bahwa kreditor penerima dari jaminan fidusia akan betul-betul menjadi pemilik kebendaan yang dijaminkan dengan fidusia tersebut. Dalam kssedudukan sebagai kreditor penerima fidusia, maka dia mempunyai hak untuk menjual kebendaan fidusia yang dijaminkan kepadanya seolah-olah dia menjadi pemilik dari kebendaan jaminan fidusia tersebut bila debitur pemberi fidusia wanprestasi. Dengan kata lain selama debitur pemberi pemberi fidusia belum melunasi utangnya, maka selama itu pula kreditor penerima fidusia mempunyai hak  untuk menjual kebendaan fidusia yang dijaminkan kepadanya. Artinya, bila utang debitur pemberi fidusia lunas, maka kebendaan fidusia yang dijaminkan kepadanya tersebut akan diserahkan kembali oleh kreditor penerima fidusia.
Sementara itu, pengertian istilah jaminan fidusia terdapat dalam pasal 1 ayat 2 UUJF yang menyatakan bahwa:
Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan tidak bergerak, khususnya bangunan bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang  nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan yang tetap berada dalaam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.
Dari ketentuan pasal 1 ayat 2 ini, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur jaminan fidusia adalah:
1.      Adanya hak jaminan, hak jaminan yang dimaksud yaitu jaminan kebendaan
2.      Ada objek, yang dimaksud objek dalam jaminan fidusia ialah benda tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan dan benda bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud
3.      Objek tetap berada di bawah penguasaan pemberi fidusia, bahwa benda yang menjadi objek jaminan diserahkan secara constitutum possessorium (benda jaminan tetap dikuasai debitur)
4.      Sebagai agunan bagi pelunasan hutang tertentu.[2]
Sebagaimana halnya hak tanggungan, jaminan fidusiapun mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Memberikan kedudukan yang diutamkan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya
2.      Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada
3.      Merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok
4.      Memenuhi asas spesialiatas
5.      Memenuhi asas publisitas
6.      Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya
Objek dan Subjek Hukum dalam Jaminan Fidusia
Objek Fidusia
Sebelum UUJF, pada umumnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia itu adalah benda bergerak, yang terdiri atas benda dalam persediaan, benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Artinya objek jaminan fidusia terbatas pada kebendan bergerak guna memenuhu kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.[3]
Dalam pasal 1 ayat 4 UUJF dinyatakan bahwa:
Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialhkan, baik yang brwujud maupun tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik.
Dengan berpedoman pada pasal 1 ayat 4 tersebut, dapat diketahui bahwa objek jaminan fidusia yaitu:
Benda bergerak yang berwujud dan tidak berwujud
Benda bergerak yang terdaftar dan tidak terdaftar
Benda tidak bergerak tertentu, yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan
Benda tidak bergerak tertentu, yang tidak dapat dibebani dengan hipotik dan dengan ketentuan bahwa benda tersebut dapat dialihkan dan dimiliki
Kemudian, pasal 3 UUJF menyatakan dengan tegas bahwa Undang-Undang jaminan fidusia tidak berlaku terhadap:
1.      Hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan sepanjang peraturan perundangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar
2.      Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh) M atau lebih
3.      Hipotek atas pesawat terbang
4.      Gadai
Sementara itu, penjelasan atas pasal 3 UUJF menyatakan, bangunan di atas tanah milik orang lain tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan berdasarkan Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang tanggungan dapat dijadikan objek jaminan fidusia. Maka yang menjadi pertanyaan adalah benda tidak bergerak dan bangunan yang mana yang tidak dapat dijadikan objek hak tanggungan? Ada dua hal yang perlu diperhatikan:
1.      Bangunan diatas tanah milik orang lain
Bagi seorang pemilik tanah yang bukan pemilik bangunan di atasnya, dapat menggunakan tanah tersebut dengan tanggungan.
Tentu saja supaya tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari, dengan seizin pemilik bangunan yang ada di atasnya. Sebaliknya, bagaimana dengan pemilik bangunan yang  bukan pemilik tanah, Undang-Undang hak tanggungan tidak mengaturnya sehingga bangunan seperti itu dapat dibebani dengan fidusia (pasal 3 UUJF).
2.      Tanah-tanah yang belum bersertifikat
Untuk tanah-tanah adat yang belum terdaftar (belum ada sertifikatnya) yang bukti kepemilikannya baru berupa Girik, Petuk pajak, Letter C dan lain-lain, tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan. Oleh karena itu, ada pendapat bahwa terhadap tanah yang belum bersertifikat dapat dibebani fidusia.
Pendapat ini sejalan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung No.3216/K/ perd/ 1984 tentang perubahan atas Undang-Undang No.7/1992 tentang perbankan yang antara lain menyatakan bahwa tanah yang kepemilikannya didasarkan kepada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa Girik, Petuk dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan. Namun demikian, dalam menyalurkan kredit, bank menganut prisip kehati-hatian (prudential banking). Untuk itu dalam menganalisis suatu kredit sebagaimana ditegaskan dalam penejelasan pasal 8 Undang-Undang No. 10/1998 tentang perbankan tersebut, selain memerhatiakn hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Dilain pihak, ada pendapat lain yang menolak untuk menerima lembaga fidusia dipergunakan sebagai jaminan atas tanah yang belum besertifikat karena bentuk ini tidak sesuai dengan system yang ada. Fidusia hanya dipergunakan untuk barang bergerak saja, lebih lanjut dikhawatirkan bahwa hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum. Disamping itu, apabila debitur cidera janji, objek jaminan fidusia tidak dapat di eksekusi baik secara parate eksekusi maupun dengan title eksekutorial karena tidak mempunyai sertifikat jaminan.[4]
Sebenarnya, persoalan objek fidusia mengenai tanah belum terdaftar telah mendapat jawaban dalam UUHT yakni dengan menggunakan Surat Kuasa Memasang Hak Tanggungan(SKMHT) yang diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) selambat-lambatnya tiga bulan setelah diberikan (pasal 15 ayat 4 UUHT).
Subjek Fidusia
Para pihak yang menjadi subjek hukum dalam jaminan fidusia ini adalah mereka yang mengikat diri dalam perjanjian jaminan fidusia, yang terdiri atas pihak penerima dan pemberi fidusia. Pemberi fidusia bisa perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi  objek jaminan fidusia. Hali ini berarti, bahwa pemberi fidusia tidak harus debiturnya sendiri, bisa pihak lain yang dalam hal ini bertindak sebagai penjamin pihak ketiga, yaitu mereka yang merupakan pemilik objek jaminan fidusia.
Demikian juga penerima fidusianya, bisa perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia. Di dalam kitab Undang-Undang fidusia tidak terdapat pengaturan yang khusus berkaitan dengan syarat penerima fidusia, berarti perseorangan atau korporasi yang bertindak sebagai penerima fidusia ini bisa warganegara Indonesia atau pihak asing baik yang berkedududkan diluar mapun dalam negeri selama dipergunakan untuk kepentingan negara.
Pembebanan Jaminan Fidusia
Ketentuan dalam pasal 5 dan 6 UUJF mengaskan, bahwa pembebanan jaminan fidusia dituangkan dalam Akta Jaminan Fidusia (AJF), yang dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, ketentuan pasal 7 UUJF menegaskan bahwa utang yang pelunasannya dijamin dengan fidusia dapat berupa:
1.      Utang yang telah ada
2.      Utang yang akan timbul dikemudian hari dan telah diperjanjikan dalam jumlaah tertentu
3.      Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentuakn jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok  yang menimbulkan kewajiban memnuhi suatu prestasi
Pasal 9 UUJF menetapkan, jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih jenis benda , termasuk piutang baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian. Pembebanan jaminan atas benda atau piutang yang diperoleh kemudian, maka tidak perlu dilakukan dengan jaminan tersendiri.

Pengalihan Jaminan Fidusia
Menurut pasal 19 UUJF, penalihan hak atas piutang (cession) yang dijamin dengan fidusia, maka mengakibatkan beralihnya hukum hak dan kewajiban penerima fidusia kepada kreditor baru, maka jaminan fidusia harus didaftarkan oleh kreditor baru kepada kantor pendaftaran fidusia.
Terhadap benda persediaan, pemberi fidusia dapat mengalihkannya dengan cara dan prosedur yang lazim dilakukan dalam usaha perdagangan. Ketentuan ini tidak berlaku apabila telah terjadi cidera janji oleh debitur atau pemberi fidusia pihak ketiga, benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang telah dialihkan wajib diganti oleh pemberi fidusia dengan objek yang setara. Dalam hal pemberi fidusia cidera janji, maka hasil pengalihan atau tagihan menjadi objek jaminan fidusia pengganti menjadi dari objek jaminan fidusia yang dialihkan.
Pembeli benda yang menjadi objek jaminan fidusia merupakan benda persediaan bebas dari tuntutan meskipun pembeli tersebut mengetahui tentang adanya jaminan fidusia itu, dengan ketentuan bahwa pembeli telah membayar lunas harga penjualan benda tersebut sesuai dengan harga pasar
Terhapusnya Jaminan Fidusia
Menurut pasal 25 UUJF, suatu jaminan fidusia akan berakhir atau terhapus dikarenakan hal-hal berikut:
1.      Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.
Hal ini sesuai dengan sifat ikutan dari jaminan fidusia, adanya jaminan fidusia tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang tersebut hapus karena hapusnya utang, maka dengan sendirinya jaminan fidusia yang bersangkutan menjadi terhapus, hapusnya utang karena pelunasan utang dan bukti hapusnya utang berupa keterangan yang dibuat kreditor.
2.      Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia
3.      Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia
Dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia musnah dan benda tersebut diasuransikan, maka tidak menghapus klaim asuransinya karena klaim asuransi akan menjadi pengganti objek jaminan yang bersangkutan
Mengenai hapusnya jaminan fidusia ini, penerima fidusia ini akan memberitahukan kepada kantor pendaftaran fidusia dengan melampirkan pernyataan mengenai hapusnya utang, selanjutnya dengan hapusnya jaminan fidusia tesebut, kantor pendaftaran fidusia mencoret pencatatan jaminan dalam buku daftar fidusia dan menerbitkan surat keterangan yang menyatakan sertifikat jaminan fidusia yang bersangkutan tidak berlaku lagi.
Eksekusi jaminan fidusia
Eksekusi adalah penyitaan dan penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia, eksekusi timbul karena debitur cidera janji tau tidak memenuhi prestasinya tepat waktu kepada kreditor. Apabila debitur cidera janji, maka menurut pasal 29 UUJF terdapat tiga cara untuk melakukan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia, yaitu:
1.      Pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia
2.       Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
3.      Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh dengan harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
Dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, pemberi fidusia diwajibkan untuk menyerahkan benda yang menjdi objek jaminan fidusia, sebaliknya dalam hal pemberi fidusia tidak menyerahkan benda yang menjadi objek pada waktu eksekusi dilaksanakan, penerima fidusia berhak mengambil benda yang menjadi objel jaminan dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang. Khusus bagi benda yang menjadi objek jaminan terdiri atsa benda perdagangan atau efek yang dapat dijual di pasar atau bursa,maka penjualan dapat dilakukan ditempat-tempat tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jaminan Hipotek (HYPOTHEEK)
Pengertian Hipotek
Pengertian hipotek disebutkan dalam pasal 1162 KUH perdata, yaitu:
Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan  
Pasal 1167 KUH Perdata menyatakan yaitu :
Benda bergerak tidak dapat di bebani dengan hipotik
Jadi, hipotik adalah hak kebendaan atas benda tidak bergerak (benda tetap), untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada pemegangnya tanpaknya hak hipotik mirip dengan hak gadai, yaitu sama-sama sebagai hak jaminan kebendaan namun hak gadai merypakan hak jaminan yang di bebankan kepada kebendaan bergerak dan hak hipotik merupakan hak jaminan yang dibebankan kepada kebendaan tidak bergerak 
Dasar Hukum Jaminan Hipotik
Mengenai pengaturan jaminan hipotik dapat ditemukan dalam KUH perdata, yaitu pada buku II KUH Perdata BAB XXI  pasal 1162 sampai dengan pasal 1232. Akan tetapi dengan diberlakukannya UUPA, ketentuan dalam buku kedua KUH Perdata sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dinyatakan tidak berlaku, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik yang masih dinyatakan berlaku pada saat mulai berlakunya UUPA. Artinya untuk sementara waktu, ketentuan hipotik masih dinyatakan tetap berlaku sampai ada penggantinya.
Dengan keluarnya UUHT, kita tahu bahwa UUPA mempunyai lembaga hak jaminan atas tanah dan segala sesuatu yang berkaitan dengan tanah, tersendiri dan tidak lagi memakai lembaga jaminan hipotik, sehingga lembaga jaminan hipotik dengan seluruh peraturannya  untuk objek jaminan atas tanah sekarang sudah tidak berlaku lagi.
Objek Hukum dalam Hipotik
Pada dasranya sesuai dengan ketentuan pasal 1164 KUH Perdata, objek hukum dalam hipotik itu adalah kebendaan tidak bergerak (kebendaan tetap) baik karena sifatnya, peruntukannya maupun Undang-Undang, dahulunya termasuk hak kebendaan atas tanah dan benda lainnya yang melekat atau diperlekatkan pada tanah berdasarkan asasi-asasi
Ketentuan dalam pasal 1164 KUH Perdata menyebutkan benda-benda yang dapat dibebani dengan hipotik lainnya
1.      Benda-benda tidak bergerak yang tidak dapat dipindahtangankan beserta segala perlengkapannya, yang terakhir ini dianggap benda tidak bergerak
2.      Hak memungut hasil atas benda-benda tidak bergerak tersebut
3.      Hak opstal (hak numpang karang) dan hak erfpacht (hak usaha)
4.      Bunga tanah, baik yang harus dibayar dengan uang maupun yang dibayar dengan hasil tanah dalam wujudnya
5.      Bunga sepersepuluh
6.      Pasar-pasar yang diakui oleh pemerintah beserta hak-hak istimewa yang melekat padanya
dengan demikian, sebagian besar objek hukum dalam jaminan hipotik adalah benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dengan diberlakukannya UUPA dan UUHT, benda berupa tanah dan benda-benda lainnya yang berkaitan dengan tanah telah menjadi objek hak tanggungan.

Subjek Hukum dalam jaminan Hipotik
Sudah seharusnya pemberi hipotik (hypotheekgever) disyaratkan haruslah mereka yang mempunyai kewenangan memindahtangankan benda jaminan. Secara tegas ketentuan pasal 1168 KUH Perdata menetapkan, bahwa hipotik tidak dapat diletakkan selain oleh yang berkuasa memindahtangankan benda yang dibebani. Jadi, berdasarkan ketentuan dalam pasal 1168 KUH Perdata, hipotik hanya dapat diletakkan atau dibebankan oleh orang yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pemindahtanganan benda yang dibebani dengan jaminan hipotik, baik hal itu ditujukan terhadap debitur maupun penjamin pihak ketiga.
Siapa saja dapat menjadi pihak pemberi hipotik, bisa pihak yang berutang (debitur), bisa perseorangan atau badan hukum, bisa juga pihak lain sebagai penjamin, yaitu penjamin pihak ketiga. Sedangkan sebagai pemegang hipotik (hypotheeknemer), siapa saja yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang (kreditor) yang dalam hal ini bisa perseorangan maupun badan hukum.

Cara Mengadakan Hak Hipotik
Cara mengadakan hak hipotik dilakukan dengan suatu akta otentik. Hal ini secara tegas diatur dalam ketentuan pasal 1171 ayat 1 KUH Perdata yang menyatakan bahwa, hipotik dapat diberika dengan suatu akta otentik, kecuali dalam hal-hal yang dengan tegas ditunjuk oleh Undang-Undang .
Pendaftaran hipotik merupakan prasyrat mengikatnya hak hipotik terhadap para pihak dan pihak ketiga lainnya. Hal ini diatur secara tegas dalam pasal 1179 ayat 2 KUH Perdata yang menyatakan bahwa, jika pembukuan yang demikian tidak dilakukan, mak suatu hipotik tidaklah mempunyai sesuatu kekuatan apapun, pula terhadap orang-orang berpiutang yang tidak mempunyai ikatan hipotik.
Sehubungan dengaan kewajiban pendaftaran hipotik dalam register umum, perlu diingat ketentuan yang tercantum dalam pasal 1173 KUH Perdata  yang menetapkan bahwa tidak boleh berdsarkan suatu persetujuan yang dibuat di suatu negeri asing , dilakukan pembukuan hipotik atas benda-benda yang terletak di wilayah Indonesia, kecuali apabila di dalam suatu traktat telah ditentukan sebaliknya.
Cara Terhapusnya Hipotik
Cara bagaimana berakhir atau terhapusnya hipotik disebutkan dalam ketentuan pasal 1290 KUH Perdata, terdapat tiga cara yang menyebabkan berakhir atau terhapusnya hipotik yang dikarenaakan:
1.      Hapusnya perikatan pokok
Hapusnya perikatan pokok, yaitu hapusnya utang yang dijamin dengan hipotik yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan sifat accessoir  dari perjanjian jaminan hipotik, adanya hak hipotik tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya dengan ikatan jaminan hipotik. Apabila piutangnya tersebut hapus karena pelunasan, maka dengan sendirinya hak Hipotiknya menjadi terhapus juga
2.      Pelepasan hak hipotiknya oleh kreditor pemegang Hipotik
Setiap orang bebas untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak yang dipunyainya, termasuk untuk melepaskan hak tersebut, biasanya pelepasan dilakukan dengancara memberitahukan kepada debitur. Walaupun tidak ada di syaratkannya bentuk tertentu untuk melepaskan hak hipotik, tetapi mengingat bahwa pemberi jaminan mempunyai kepentingan untuk meroyah beban hipotik atau persilnya, maka sudah tentu pemberi hipotik membutuhkan suatu surat pernyataan tertulis dari pemegang hipotik.
3.      Penetapan peringkat oleh hakim sehubungan dengan pembersihan (zuivering) bendah yang menjadi objek hipotik. 
    


















[1]Rahmadi Usman, Hukum Kebendaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 283
[2] Djaja S. Meliala, Hukum Perdata dalam Perspektif BW, (Bandung: Nuansa Aulia, 2012), h.  141
[3] Usman, Hukum Kebendaan, h. 286
[4] Meliala, Hukum Perdata dalam Perspektif BW, h.144

No comments:

Post a Comment