HAK KEBENDAAN YANG MEMBERIKAN JAMINAN
Pengertian Fidusia
Lembaga fidusia dikenal dengan berbagai nama atau istilah, pada
zaman romawi dikenal dengan nama fiducia
cum creditore.Asser Van Oven
menyebutkan, hak milik sebagai jaminan, sedangkan Dr. A. Veen heren menyebutnya
dengan istilah penyerahan hak milik sebagai jaminan (eigendom overdracht tot
zekerheid), secara singkat lazim dipergunakan istilah fidusia atau FEO yang
merupakan singkatan Fiduciare Eigendom Overdracht.
Istilah fidusia ini berasala dari kata fiduciair atau fides
yang artinya kepercayaan, yakni penyerahan hak milik atas benda secara
kepercayaan sebagai jaminan (agunan) bagi pelunasan piutang kreditor.
Penyerahan hak milik atas benda ini dimaksudkan hanya sebagai agunan bagi
pelunasan utang tertentu, di mana memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
penerima fidusia (kreditor) terhadap kredito-kreditor lainnya[1].
Pengerian fidusia dinyatakan dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 42 tahun
1999 bahwa:
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan
tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Dari perumusan di atas, dapat diketahui unsure-unsur fidusia yaitu:
1.
Pengalihan hak kepemilikan suatu benda
2.
Dilakukan atas dasar kepercayaan
3.
Kebendaannya tetap dalam penguasaan pemilik benda
Dengan demikian artinya, bahwa dalam fidusia telah terjadi
penyerahan dan pemindahan dalam kepemilikan atas suatu benda yang dilakukan
atas dasar fiduciair dengan syarat bahwa beda yang hak kepemilikannya tersebut
diserahkan dan dipindahkan kepada penerima fidusia tetap dalam penguasaan
pemilik benda (pemberi fidusia). Dalam hal ini, yang diserahkan dan dipindahkan
itu dari pemiliknya kepada kreditor penerima fidusia adalah hak kepemilikan
atas suatu benda yang dijadikan sebagai jaminan, sehingga hak kepemilikan
secara yuridis atas benda yang dijaminkan beralih kepada kreditor penerima
gadai. Sementara itu, hak kepemilikan secara ekonomis atas benda yang
dijaminkan tersebut tetap berada di tangan atau dalam penguasaan pemiliknya.
Dengan adanya penyerahan hak kepemilikan atas kebendaan jaminan
fidusia ini, tidak berarti bahwa kreditor penerima dari jaminan fidusia akan
betul-betul menjadi pemilik kebendaan yang dijaminkan dengan fidusia tersebut.
Dalam kssedudukan
sebagai kreditor penerima fidusia, maka dia mempunyai hak untuk menjual
kebendaan fidusia yang dijaminkan kepadanya seolah-olah dia menjadi pemilik
dari kebendaan jaminan fidusia tersebut bila debitur pemberi fidusia
wanprestasi. Dengan kata lain selama debitur pemberi pemberi fidusia belum
melunasi utangnya, maka selama itu pula kreditor penerima fidusia mempunyai
hak untuk menjual kebendaan fidusia yang
dijaminkan kepadanya. Artinya, bila utang debitur pemberi fidusia lunas, maka
kebendaan fidusia yang dijaminkan kepadanya tersebut akan diserahkan kembali
oleh kreditor penerima fidusia.
Sementara itu, pengertian istilah jaminan fidusia terdapat dalam
pasal 1 ayat 2 UUJF yang menyatakan bahwa:
Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan tidak bergerak, khususnya bangunan
bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang
hak tanggungan yang tetap berada dalaam penguasaan pemberi fidusia sebagai
agunan bagi pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.
Dari ketentuan pasal 1 ayat 2 ini, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur
jaminan fidusia adalah:
1. Adanya hak
jaminan, hak jaminan yang dimaksud yaitu jaminan kebendaan
2. Ada objek, yang
dimaksud objek dalam jaminan fidusia ialah benda tak bergerak yang tidak dapat
dibebani hak tanggungan dan benda bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud
3. Objek tetap
berada di bawah penguasaan pemberi fidusia, bahwa benda yang menjadi objek
jaminan diserahkan secara constitutum
possessorium (benda jaminan tetap dikuasai debitur)
Sebagaimana halnya hak tanggungan, jaminan fidusiapun mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut:
1. Memberikan
kedudukan yang diutamkan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya
2. Jaminan fidusia
tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun
benda tersebut berada
3. Merupakan
perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok
4. Memenuhi asas
spesialiatas
5. Memenuhi asas
publisitas
6. Mudah dan pasti
pelaksanaan eksekusinya
Objek dan Subjek Hukum dalam Jaminan Fidusia
Objek Fidusia
Sebelum UUJF, pada umumnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia
itu adalah benda bergerak, yang terdiri atas benda dalam persediaan, benda
dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Artinya objek
jaminan fidusia terbatas pada kebendan bergerak guna memenuhu kebutuhan masyarakat
yang terus berkembang.[3]
Dalam pasal 1 ayat 4 UUJF dinyatakan bahwa:
Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialhkan, baik
yang brwujud maupun tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar,
yang bergerak maupun tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
atau hipotik.
Dengan berpedoman pada pasal 1 ayat 4 tersebut, dapat diketahui
bahwa objek jaminan fidusia yaitu:
Benda bergerak yang berwujud dan tidak berwujud
Benda bergerak yang terdaftar dan tidak terdaftar
Benda tidak bergerak tertentu, yang tidak dapat dibebani dengan hak
tanggungan
Benda tidak bergerak tertentu, yang tidak dapat dibebani dengan
hipotik dan dengan ketentuan bahwa benda tersebut dapat dialihkan dan dimiliki
Kemudian, pasal 3 UUJF menyatakan dengan tegas bahwa Undang-Undang
jaminan fidusia tidak berlaku terhadap:
1.
Hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan sepanjang
peraturan perundangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut
wajib didaftar
2.
Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20
(dua puluh) M atau lebih
3.
Hipotek atas pesawat terbang
4.
Gadai
Sementara itu, penjelasan atas pasal 3 UUJF menyatakan, bangunan di
atas tanah milik orang lain tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan
berdasarkan Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang tanggungan dapat dijadikan
objek jaminan fidusia. Maka yang menjadi pertanyaan adalah benda tidak bergerak
dan bangunan yang mana yang tidak dapat dijadikan objek hak tanggungan? Ada dua
hal yang perlu diperhatikan:
1.
Bangunan diatas tanah milik orang lain
Bagi seorang pemilik tanah yang bukan pemilik bangunan di atasnya,
dapat menggunakan tanah tersebut dengan tanggungan.
Tentu saja supaya tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari,
dengan seizin pemilik bangunan yang ada di atasnya. Sebaliknya, bagaimana
dengan pemilik bangunan yang bukan
pemilik tanah, Undang-Undang hak tanggungan tidak mengaturnya sehingga bangunan
seperti itu dapat dibebani dengan fidusia (pasal 3 UUJF).
2.
Tanah-tanah yang belum bersertifikat
Untuk tanah-tanah adat yang belum terdaftar (belum ada
sertifikatnya) yang bukti kepemilikannya baru berupa Girik, Petuk pajak, Letter
C dan lain-lain, tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan. Oleh karena itu,
ada pendapat bahwa terhadap tanah yang belum bersertifikat dapat dibebani
fidusia.
Pendapat ini sejalan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung No.3216/K/
perd/ 1984 tentang perubahan atas Undang-Undang No.7/1992 tentang perbankan yang
antara lain menyatakan bahwa tanah yang kepemilikannya didasarkan kepada hukum
adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa Girik, Petuk dan lain-lain
yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan. Namun demikian, dalam menyalurkan
kredit, bank menganut prisip kehati-hatian (prudential banking). Untuk itu
dalam menganalisis suatu kredit sebagaimana ditegaskan dalam penejelasan pasal
8 Undang-Undang No. 10/1998 tentang perbankan tersebut, selain memerhatiakn
hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Dilain pihak, ada pendapat lain yang menolak untuk menerima lembaga
fidusia dipergunakan sebagai jaminan atas tanah yang belum besertifikat karena
bentuk ini tidak sesuai dengan system yang ada. Fidusia hanya dipergunakan
untuk barang bergerak saja, lebih lanjut dikhawatirkan bahwa hal tersebut
menimbulkan ketidakpastian hukum. Disamping itu, apabila debitur cidera janji,
objek jaminan fidusia tidak dapat di eksekusi baik secara parate eksekusi
maupun dengan title eksekutorial karena tidak mempunyai sertifikat jaminan.[4]
Sebenarnya, persoalan objek fidusia mengenai tanah belum terdaftar
telah mendapat jawaban dalam UUHT yakni dengan menggunakan Surat Kuasa Memasang
Hak Tanggungan(SKMHT) yang diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT) selambat-lambatnya tiga bulan setelah diberikan (pasal 15
ayat 4 UUHT).
Subjek Fidusia
Para pihak yang menjadi subjek hukum dalam jaminan fidusia ini
adalah mereka yang mengikat diri dalam perjanjian jaminan fidusia, yang terdiri
atas pihak penerima dan pemberi fidusia. Pemberi fidusia bisa perseorangan atau
korporasi pemilik benda yang menjadi
objek jaminan fidusia. Hali ini berarti, bahwa pemberi fidusia tidak
harus debiturnya sendiri, bisa pihak lain yang dalam hal ini bertindak sebagai
penjamin pihak ketiga, yaitu mereka yang merupakan pemilik objek jaminan
fidusia.
Demikian juga penerima fidusianya, bisa perseorangan atau korporasi
yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia. Di
dalam kitab Undang-Undang fidusia tidak terdapat pengaturan yang khusus
berkaitan dengan syarat penerima fidusia, berarti perseorangan atau korporasi
yang bertindak sebagai penerima fidusia ini bisa warganegara Indonesia atau
pihak asing baik yang berkedududkan diluar mapun dalam negeri selama
dipergunakan untuk kepentingan negara.
Pembebanan Jaminan Fidusia
Ketentuan dalam pasal 5 dan 6 UUJF mengaskan, bahwa pembebanan
jaminan fidusia dituangkan dalam Akta Jaminan Fidusia (AJF), yang dibuat dengan
akta notaris dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, ketentuan pasal 7 UUJF
menegaskan bahwa utang yang pelunasannya dijamin dengan fidusia dapat berupa:
1.
Utang yang telah ada
2.
Utang yang akan timbul dikemudian hari dan telah diperjanjikan
dalam jumlaah tertentu
3.
Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentuakn jumlahnya
berdasarkan perjanjian pokok yang
menimbulkan kewajiban memnuhi suatu prestasi
Pasal 9 UUJF menetapkan, jaminan fidusia dapat diberikan terhadap
satu atau lebih jenis benda , termasuk piutang baik yang telah ada pada saat
jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian. Pembebanan jaminan atas benda
atau piutang yang diperoleh kemudian, maka tidak perlu dilakukan dengan jaminan
tersendiri.
Pengalihan Jaminan Fidusia
Menurut pasal 19 UUJF, penalihan hak atas piutang (cession) yang
dijamin dengan fidusia, maka mengakibatkan beralihnya hukum hak dan kewajiban
penerima fidusia kepada kreditor baru, maka jaminan fidusia harus didaftarkan
oleh kreditor baru kepada kantor pendaftaran fidusia.
Terhadap benda persediaan, pemberi fidusia dapat mengalihkannya
dengan cara dan prosedur yang lazim dilakukan dalam usaha perdagangan.
Ketentuan ini tidak berlaku apabila telah terjadi cidera janji oleh debitur atau
pemberi fidusia pihak ketiga, benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang
telah dialihkan wajib diganti oleh pemberi fidusia dengan objek yang setara.
Dalam hal pemberi fidusia cidera janji, maka hasil pengalihan atau tagihan
menjadi objek jaminan fidusia pengganti menjadi dari objek jaminan fidusia yang
dialihkan.
Pembeli benda yang menjadi objek jaminan fidusia merupakan benda
persediaan bebas dari tuntutan meskipun pembeli tersebut mengetahui tentang
adanya jaminan fidusia itu, dengan ketentuan bahwa pembeli telah membayar lunas
harga penjualan benda tersebut sesuai dengan harga pasar
Terhapusnya Jaminan Fidusia
Menurut pasal 25 UUJF, suatu jaminan fidusia akan berakhir atau
terhapus dikarenakan hal-hal berikut:
1.
Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.
Hal
ini sesuai dengan sifat ikutan dari jaminan fidusia, adanya jaminan fidusia
tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang
tersebut hapus karena hapusnya utang, maka dengan sendirinya jaminan fidusia
yang bersangkutan menjadi terhapus, hapusnya utang karena pelunasan utang dan
bukti hapusnya utang berupa keterangan yang dibuat kreditor.
2.
Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia
3.
Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia
Dalam
hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia musnah dan benda tersebut
diasuransikan, maka tidak menghapus klaim asuransinya karena klaim asuransi
akan menjadi pengganti objek jaminan yang bersangkutan
Mengenai
hapusnya jaminan fidusia ini, penerima fidusia ini akan memberitahukan kepada
kantor pendaftaran fidusia dengan melampirkan pernyataan mengenai hapusnya
utang, selanjutnya dengan hapusnya jaminan fidusia tesebut, kantor pendaftaran
fidusia mencoret pencatatan jaminan dalam buku daftar fidusia dan menerbitkan
surat keterangan yang menyatakan sertifikat jaminan fidusia yang bersangkutan
tidak berlaku lagi.
Eksekusi
jaminan fidusia
Eksekusi
adalah penyitaan dan penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia,
eksekusi timbul karena debitur cidera janji tau tidak memenuhi prestasinya
tepat waktu kepada kreditor. Apabila debitur cidera janji, maka menurut pasal
29 UUJF terdapat tiga cara untuk melakukan eksekusi terhadap benda yang menjadi
objek jaminan fidusia, yaitu:
1.
Pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia
2.
Penjualan benda yang menjadi
objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
3.
Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan
pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh dengan
harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
Dalam
rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, pemberi fidusia diwajibkan untuk
menyerahkan benda yang menjdi objek jaminan fidusia, sebaliknya dalam hal
pemberi fidusia tidak menyerahkan benda yang menjadi objek pada waktu eksekusi
dilaksanakan, penerima fidusia berhak mengambil benda yang menjadi objel
jaminan dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang. Khusus
bagi benda yang menjadi objek jaminan terdiri atsa benda perdagangan atau efek
yang dapat dijual di pasar atau bursa,maka penjualan dapat dilakukan
ditempat-tempat tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Jaminan
Hipotek (HYPOTHEEK)
Pengertian
Hipotek
Pengertian
hipotek disebutkan dalam pasal 1162 KUH perdata, yaitu:
Hipotek
adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak, untuk mengambil
penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan
Pasal 1167 KUH Perdata menyatakan yaitu :
Benda bergerak tidak dapat di bebani dengan hipotik
Jadi, hipotik adalah hak kebendaan atas benda tidak bergerak (benda
tetap), untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada pemegangnya tanpaknya hak hipotik mirip dengan hak gadai,
yaitu sama-sama sebagai hak jaminan kebendaan namun hak gadai merypakan hak
jaminan yang di bebankan kepada kebendaan bergerak dan hak hipotik merupakan
hak jaminan yang dibebankan kepada kebendaan tidak bergerak
Dasar Hukum Jaminan Hipotik
Mengenai pengaturan jaminan hipotik dapat ditemukan dalam KUH
perdata, yaitu pada buku II KUH Perdata BAB XXI pasal 1162 sampai dengan pasal 1232. Akan
tetapi dengan diberlakukannya UUPA, ketentuan dalam buku kedua KUH Perdata
sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dinyatakan tidak berlaku, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik yang
masih dinyatakan berlaku pada saat mulai berlakunya UUPA. Artinya untuk
sementara waktu, ketentuan hipotik masih dinyatakan tetap berlaku sampai ada
penggantinya.
Dengan keluarnya UUHT, kita tahu bahwa UUPA mempunyai lembaga hak
jaminan atas tanah dan segala sesuatu yang berkaitan dengan tanah, tersendiri
dan tidak lagi memakai lembaga jaminan hipotik, sehingga lembaga jaminan
hipotik dengan seluruh peraturannya
untuk objek jaminan atas tanah sekarang sudah tidak berlaku lagi.
Objek Hukum dalam Hipotik
Pada dasranya sesuai dengan ketentuan pasal 1164 KUH Perdata, objek
hukum dalam hipotik itu adalah kebendaan tidak bergerak (kebendaan tetap) baik
karena sifatnya, peruntukannya maupun Undang-Undang, dahulunya termasuk hak
kebendaan atas tanah dan benda lainnya yang melekat atau diperlekatkan pada
tanah berdasarkan asasi-asasi
Ketentuan dalam pasal 1164 KUH Perdata menyebutkan benda-benda yang
dapat dibebani dengan hipotik lainnya
1.
Benda-benda tidak bergerak yang tidak dapat dipindahtangankan
beserta segala perlengkapannya, yang terakhir ini dianggap benda tidak bergerak
2.
Hak memungut hasil atas benda-benda tidak bergerak tersebut
3.
Hak opstal (hak numpang karang) dan hak erfpacht (hak usaha)
4.
Bunga tanah, baik yang harus dibayar dengan uang maupun yang
dibayar dengan hasil tanah dalam wujudnya
5.
Bunga sepersepuluh
6.
Pasar-pasar yang diakui oleh pemerintah beserta hak-hak istimewa
yang melekat padanya
dengan demikian, sebagian besar objek hukum dalam jaminan hipotik
adalah benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dengan diberlakukannya UUPA dan
UUHT, benda berupa tanah dan benda-benda lainnya yang berkaitan dengan tanah
telah menjadi objek hak tanggungan.
Subjek Hukum dalam jaminan Hipotik
Sudah seharusnya pemberi hipotik (hypotheekgever) disyaratkan
haruslah mereka yang mempunyai kewenangan memindahtangankan benda jaminan.
Secara tegas ketentuan pasal 1168 KUH Perdata menetapkan, bahwa hipotik tidak
dapat diletakkan selain oleh yang berkuasa memindahtangankan benda yang
dibebani. Jadi, berdasarkan ketentuan dalam pasal 1168 KUH Perdata, hipotik
hanya dapat diletakkan atau dibebankan oleh orang yang mempunyai kewenangan
untuk melakukan pemindahtanganan benda yang dibebani dengan jaminan hipotik,
baik hal itu ditujukan terhadap debitur maupun penjamin pihak ketiga.
Siapa saja dapat menjadi pihak pemberi hipotik, bisa pihak yang
berutang (debitur), bisa perseorangan atau badan hukum, bisa juga pihak lain
sebagai penjamin, yaitu penjamin pihak ketiga. Sedangkan sebagai pemegang
hipotik (hypotheeknemer), siapa saja yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang
(kreditor) yang dalam hal ini bisa perseorangan maupun badan hukum.
Cara Mengadakan Hak Hipotik
Cara mengadakan hak hipotik dilakukan dengan suatu akta otentik.
Hal ini secara tegas diatur dalam ketentuan pasal 1171 ayat 1 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa, hipotik dapat diberika
dengan suatu akta otentik, kecuali dalam hal-hal yang dengan tegas ditunjuk
oleh Undang-Undang .
Pendaftaran hipotik merupakan prasyrat mengikatnya hak hipotik
terhadap para pihak dan pihak ketiga lainnya. Hal ini diatur secara tegas dalam
pasal 1179 ayat 2 KUH Perdata yang menyatakan bahwa, jika pembukuan yang demikian tidak dilakukan, mak suatu hipotik
tidaklah mempunyai sesuatu kekuatan apapun, pula terhadap orang-orang
berpiutang yang tidak mempunyai ikatan hipotik.
Sehubungan dengaan kewajiban pendaftaran
hipotik dalam register umum, perlu diingat ketentuan yang tercantum dalam pasal
1173 KUH Perdata yang menetapkan bahwa
tidak boleh berdsarkan suatu persetujuan yang dibuat di suatu negeri asing ,
dilakukan pembukuan hipotik atas benda-benda yang terletak di wilayah
Indonesia, kecuali apabila di dalam suatu traktat telah ditentukan sebaliknya.
Cara Terhapusnya Hipotik
Cara bagaimana berakhir atau terhapusnya
hipotik disebutkan dalam ketentuan pasal 1290 KUH Perdata, terdapat tiga cara
yang menyebabkan berakhir atau terhapusnya hipotik yang dikarenaakan:
1. Hapusnya perikatan pokok
Hapusnya perikatan pokok, yaitu hapusnya utang yang
dijamin dengan hipotik yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan sifat
accessoir dari perjanjian jaminan
hipotik, adanya hak hipotik tergantung pada adanya piutang yang dijamin
pelunasannya dengan ikatan jaminan hipotik. Apabila piutangnya tersebut hapus
karena pelunasan, maka dengan sendirinya hak Hipotiknya menjadi terhapus juga
2. Pelepasan hak hipotiknya oleh kreditor pemegang Hipotik
Setiap orang bebas untuk menggunakan atau tidak
menggunakan hak yang dipunyainya, termasuk untuk melepaskan hak tersebut,
biasanya pelepasan dilakukan dengancara memberitahukan kepada debitur. Walaupun
tidak ada di syaratkannya bentuk tertentu untuk melepaskan hak hipotik, tetapi
mengingat bahwa pemberi jaminan mempunyai kepentingan untuk meroyah beban
hipotik atau persilnya, maka sudah tentu pemberi hipotik membutuhkan suatu
surat pernyataan tertulis dari pemegang hipotik.
3. Penetapan peringkat oleh hakim sehubungan dengan pembersihan (zuivering)
bendah yang menjadi objek hipotik.
No comments:
Post a Comment