BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Salah satu
lembaga keuangan yang dapat memberikan pinjaman pada masyarakat ialah
perusahaan umum (perum) pegadaian. Apabila masyarakat ingin mendapatkan
pinjaman, maka masyarakat harus memberikan jaminan barang kepada perum
pegadaian. Melihat perkembangan ekonomi islam, maka perum pegadaianpun
mengeluarkan produk berbasis syari’ah yang di sebut dengan pegadaian syari’ah.
Pada dasarnya, produk-produk syari’ah memiliki karakteristik seperti, tidak
memungut bunga karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar, bukan sebagai
komoditas yang diperdagangkan dan Melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan
atas jasa atau bagi hasil, pegadaian syari’ah dikenal dengan istilah “rahn”.
Gadai yang kita
kenal selama ini di Indonesia identik dengan motto “Menyelesaikan masalah tanpa
masalah”, sebagai satu-satunya perusahaan yang mengusahakannya. Dulu, pegadaian
sering disamakan dengan kesusahan dan berhubungan dengan masyarkat golongan
ekonomi lemah, sehingga kebanyakan orang malu untuk datang kepegadaian. Namun
sekarang kondisinya sudah berbeda, pegadaian tumbuh menjadi sarana untuk
mendapat dana bagi semua golongan masyarakat, dari petani sampai pengusaha.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa definisi ar-Rahn (gadai)
2.
Apa rukun dan syarat ar-Rahn
3.
Apa syarat shighoh dan hukumnya
4.
Bagaimana Pandangan ulama tentang ar-rahn
C.
TUJUAN PENULISAN
1.
Mengetahui definisi ar-rahn
2.
Memahami rukun dan syarat ar-Rahn
3.
Mengetahui syarat shighoh dan hukumnya
4.
Mengetahui Pandangan ulama tentang ar-rahn
BAB II
PEMBASAN
A.
DEFINISI AR-RAHN (GADAI)
Ar-rahn
secara bahasa bisa diartikan ats-Tsubuut dan ad-Dawaam (tetap),
dikatakan “Maa’un raahinun” (air yang diam, tidak menggenang, tidak
mengalir), “Maalatun raahinun” (keadaan yang tetap) atau ada kalanya
berarti al-habsu dan al-luzuum (menahan). Allah berfirman
كال نفس بما كسبت رهينة
“tiap-tiap diri tertahan (bertanggung jawab) oleh apa yang
diperbuatnya” (QS: Al-muddatsir 38)
Sedangkan definisi Ar-rahn menurut istilah syara’ adalah
menahan sesuatu disebabkan adanya hak yang memungkinkan hak itu bisa dipenuhi
dari sesuatu tersebut. Maksudnya, menjadikan al-‘Ain (barang, harta,
yang barangnya berwujud kongkrit kebalikan dari utang) yang memiliki nilai
menurut pandangan syara’ sebagai watsiiqah (jaminan) utang, sekiranya
barang itu memungkinkan untuk membayar seluruh atau sebagian utang yang ada.
Ulama Syafi’iyyah mendefinisikan ar-Rahn sebagai berikut,
menjadikan al-‘Ain (barang) sebagai watsiiqah (jaminan) utang
yang barang itu digunakan untuk membayar utang tersebut (al-Marhuun bihi)
ketika pihak al-Madiin (pihak yang berutang) tidak bisa membayar utang
tersebut.
Ulama Hanabilah mendefinisikan ar-Rahn sebagai berikut,
harga yang dijadikan sebagai watsiiqah utang yang ketika pihak yang
menanggung utang tidak bisa melunasinya, maka dibayar menggunakan harga hasil penjualan
harta yang dijadikan watsiiqah tersebut.
Adapun menurut Ulama Malikiyah mendefinisikan ar-Rahn
sebagai sesuatu yang mutamawwal (berbentuk harta dan memiliki nilai)
yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan watsiqah utang yang lazim
(keberadaannya sudah positif dan mengikat) atau yang akan menjadi lazim.
B.
RUKUN AR-RAHN
Ar-Rahn memiliki empat unsur yaitu 1. ar-Rahin (pihak yang
menggadaikan), 2.al-Murtahin (pihak yang menerima gadai), 3.al-marhun
atau al-Rahn (barang yang digadaikan), 4.al-marhun bihi (tanggungan
utang pihak ar-Rahin kepada al-Murtahin).
Rukun ar-Rahn menurut ulama hanafiyah adalah ijab
dari ar-Rahiin dan qobul dari murtahin, seperti akad-akad
yang lain. Akan tetapi, akad ar-Rahn belum sempurna dan belum berlaku
mengikat kecuali setelah adanya serah terima barang dari yang digadaikan.
Perbedaan seputar masalah rukun antara ulama Hanafiyah dan Ulama selain mereka
terjadi di dalam semua bentuk akad.
Rukun menurut jumhur lebih
luas daripada menurut Ulama Hanafiyah. Karena, rukun menurut Ulama Hanafiyah adalah sesuatu yang
menjadi bagian dari suatu hal, yang ada tidaknya suatu hal tersebut tergantung
kepada sesuatu tersebut.
Sedangkan menurut Jumhur, rukun adalah sesuatu yang menjadi penentu
ada tidaknya suatu hal dan tidak mungkin suatu hal tersebut ada kecuali dengan
adanya sesuatu tersebut, baik sesuatu tersebut merupakan bagian dari suatu hal
tersebut maupun tidak.
Al-‘Aqid adalah salah
satu rukun akad, karena tidak mungkin suatu aka ada kecuali dengan adanya ‘aqid,
meskipun ‘aqid tidak termasuk bagian dari akad. Sedangkan menurut Ulama
Hanafiyah, ‘aqid dimasukkan dalam syarat-syarat akad.
C.
SYARAT-SYARAT AR-RAHN
Ar-Rahn
memiliki syarat syarat terbentuknya akad, syarat –syarat sah dan satu syarat
al-Luzum (syarat supaya akad berlaku mengikat. Yaitu, al-Qabdhu (barang yang
digadaikan telah diserahterimakan dan berada di tangan pihak al-Murtahin.
1.
Syarat-syarat kedua belah pihak yang melakukan akad (ar-Rahin
dan al-Murtahin)
Al-Ahliyah menurut ulama Hanafiyah adalah ahliyatul ba’I (kelayakan, kepantasan, kompetensi melakukan
akad jual beli). Setiap orang yang sah dan boleh melakukan transaksi jual beli,
maka sah dan boleh untuk melakukan akad ar-Rahn. Karena ar-Rahn
adalah sebuah tindakan yang berkaitan dengan harta seperti jual beli. Oleh
karena itu, kedua belah pihak yang melakukan akad ar-Rahn harus memenuhi
syarat-syarat orang yang yang sah melakukan transaksi jual beli. Maka di syariatkan
kedua belah pihak yang mengadakan akad ar-Rahn harus berakal dan mumayyiz.
Berdasarkan hal ini, maka orang gila dan anak kecil yang belum mumayyiz
tidak boleh mengadakan akad ar-Rahn atau dengan kata lain tidak boleh
menggadaikan atau menerima gadai. Di dalam akad ar-Rahn tidak
disyariatkan kedua belah pihak yang melakukan akad harus baligh. Oleh karena
itu, anak kecil kecil yang telah diizinkan untuk melakukan perniagaan, sah
untuk mengadakan akad ar-Rahn. Karena akad ar-Rahn adalah salah
satu akad yang kemunculannya adalah sebagai konsekuensi aktifitas perniagaan.
Anak kecil yang sudah mumayyiz dan orang safih sah untuk melakukan akad ar-Rahn.
Namun, statusnya digantungkan pada persetujuan dan pengesahan pihak wali.
Sedangkan ahliyah di dalam ar-Rahn
menurut selain ulama Hanafiyah
adalah ahliyatul ba’i ( kelayakan dan kompetensi melakukan jual beli)
dan ahliyatut tabarru’ (kelayakan dan kempetensi melakukan derma). Jadi,
akad ar-Rahn sah jika diadakan oleh orang yang sah akad jual beli dan
dermanya. Karena ar-Rahn mengandung unsure at-tabarru’ (derma)
yang tidak wajib maka, akad tidak sah jika di adakan oleh orang yang dipaksa
untuk mengadakanya Oleh anak kecil yang belum baligh, orang gila, orang safih,
dan oleh muflis (orang yang bangkrut). Akad ar-Rahn juga tidak
sah dilakukan oleh pihak wali, baik itu ayah, kakek maupun washi
(pengasuh dan pengelola harta anak yatim) kecuali adanya kondisi darurat atau
adanya kemaslahatan dan kebaikan yang nyata bagi al-qashir (anak yang di
bawah perwalian).
Kondisi terpakasa adalah seperti menggadaikan barang si anak untuk
mendapatkan pinjaman utang untuk memenuhi kebutuhan pokonknya, sedangkan
penebusan barang yang di gadaikan tersebut menunggu hasil keuntungan atau
menunggu lakunya barang yang waktu itu belum laku. Apabila wali menggadaikan
barang si anak, maka harus menggadaikannya kepada orang yang jujur dan dapat
dipercaya, memiliki kondisi ekonomi lapang, mempersaksikan penggadaian tersebut
dan tempo yang ditentukan haruslah pendek, tidak terlalu lama menurut
kebiasaan. Jika salah satu syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka ar-Rahn
yang dilakukan tidak sah. Pihak wali tidak boleh menggadaikan harta si anak
sebaagai jaminan utang pribadi si wali sendiri kepada orang lain, bukan utang
untuk kepentingan si anak. Karena hal
itu tidak memberikan kemaslahatan bagi si anak.
Ulama hanabfilah mengungkapkan hukum ini dengan dua syarat, yaitu
pihak yang menerima gadai harus orang yang dapat dipercaya dan itu dilakukan
memang demi kemaslahatan dan kepentinan al-qashir. Boleh bagi seorang
ayah menggadaikan barang anaknya kepada diri si ayah sendiri dan sebaliknya, si
ayah juga boleh menggadaikan barangnya sendiri kepada si anak.
2.
Seorang wali atau washi menggadaikan harta si anak yang
berada di bawah perwaliannya menurut Ulama hanafiyah
A.
Menggadaikan harta si anak atau orang gila sebagai jaminan.
Seorang
wali atau washi boleh menggadaikan harta al-qashir sebagai
jaminan utang yang utang tersebut demi kepentingan al-qashir untuk
memenuhi kebutuhanya atau disebabkan aktifitas pengelolaan, pemutaran dan memeperdagangkan
harta al-qashir.
Apabila pihak yang berpiutang adalah si ayah
atau kakek sendiri, maka boleh bagi kedua orang tersebut untuk menjalankan
urusan kedua belah pihak yang mengadakan akad ar-Rahn tersebut. Namun
hukum ini tidak berlaku bagi hakim atau washi, karena keduanya tidak
memiliki perhatian dan rasa kasih sayang yang sama seperti seorang ayah, juga
karena posisi keduanya hanya murni sebaagai wakil saja. Menurut hukum asal,
arang satu tidak bisa memegang posisi atau menjalankan peran dua pihak yang
mengadakan akad, baik di dalam masalah jual beli, ar-Rahn dan
sebagainya.
B.
Menggadaikan harta al-qashir sebagai jaminan utang pihak wali
sendiri
Menurut
imam Abu Hanifah dan Muhammad, prinsip al-istihsan menghendaki hukum
bolehnya seorang ayah, kakek atau washi menggadaikan harta al-qashir sebagai
jaminan utang pribadi. Karena, seorang wali atau washi boleh menitipkan
harta anak yang berada di bawah perwaliannya karena orang yang ditititpi
posisisnya hanyalah sebagai orang yang diamanahi yang karenanya, ia tak wajib
mengganti barang yang dititipkan jika mengalami kerusakan atau hilang, kecuali
hal itu dikarenakan kelalaian dan keteledorannya atu karena ada unsure
pelanggaran. Sedangkan al- Murtahin, menanggung kerugian barang yang
digadaikan kepadanya jika hilang atau rusak, meskipun hal itu tidak dikarenakan
kelalaian atau tindakan pelanggaran.
boleh
bagi wali atau washi menggadaikan harta al-qashir sebagai jaminan
utang pribadi si wali atau washi berdasarkan prinsip al-istihsan,
kemudian harta yang digadaikan tersebut rusak ditangan pihak al-Murtahin,
maka ia menaggung ganti rugi. Namun, ganti rugi yang harus ia bayarkan
disesuaikan dengan yang jumlahnya lebih sedikit, jika yang lebih sedikit adalah
nilai harga al-Marhun, maka si wali mengganti kerugian sesuai dengan
nilai harga al-Marhun tersebut. Jika sebaliknya, yaitu yang ebih sedikit
adalah utang yang ada, maka si wali mengganti kerugian sesuai dengan kadar
utang tersebut. Adapun jika yang menggadaikan adalah seorang washi, maka ia harus mengganti kerugian
sejumlah nilai barang yang digadaikan. Perbedaan
antara ayah, kakek dengan washi dalam masalah ganti rugi disini adalah,
dikarenakan pada dasarnya seorang ayah atau kakek boleh menggunakan harta si
anak, sedangkan seorang awshi tidak memiliki hak untuk menggunakan harta
anak yang diasuhnya.
C.
Posisi anak terhadap ar-Rahn setelah mencapai usia baligh
Apabila
anak telah baligh atau sesuatu yang menjadi penyebab seseorang mentasharufkan
harta telah hilang, lalu ia menemukan hartanya telah tergadaikan, maka ia tidak
boleh membatalkan akad ar-Rahn yang telah ada atau meminta kembali hrta
yang tergadaikan tersebut hingga utang yang ada telah terbayar. Apabila harta
si anak digadaikan oleh si wali sebagai jaminan utang si wali sendiri, lalu
hutang tersebut dibayar dari harta si anak, maka si anak setelah baligh berhak
meminta ganti dari harta si wali dan menagih agar haknya dipenuhi. Karena si
anak harus menghidupkan kembali hak miliknya dan dan menjaga hak-haknya, baik
si wali masih hidup maupun telah meninggal dunia. Dalam hal ini, si anak
kedudukannya seperti seseorang yang meminjamkan hartanya kepada orang lain
untuk selanjutnya dagadaikan oleh orang yang meminjam sebagai jaminan utang
kepada pihak ketiga.
D.
Pihak yang mengadakan akad ar-Rahn lebih dari Satu
Ada
dua orang yang menggadaikan barang sebagai jaminan utang mereka berdua (pihak ar-Rahin
lebih dari satu orang) atau sebaliknya ada seseorang menggadaikan barangnya
kepada dua orang (pihak al-Murtahin lebih dari satu). Penjelasan tentang
hukum ar-Rahn jika pihak ar-Rahn atau al-Murtahin lebih
dari satu orang adalah sebagai berikut:
1.
Jika yang terdiri dari satu adalah pihak ar-Rahin, maka ar-Rahn
adalah sah sebagai jaminan utang yang ada dan pihak al-Murtahin menahan
barang yang digadaikan sampai seluruh utang yang ada dibayar oleh para ar-Rahin.
Jika salah satu ar-Rahin telah membayar utang yang menjadi
tanggungannya, maka ia belum berhak mengambil sesuatu dari barang yang
digadaikan.
2.
Jika yang terdiri lebih dari satu adalah pihak al-Murtahin,
maka barang yang digadaikan semuanya dianggap sebagai gadaian yang ditahan oleh
masing-masing al-Murtahin sebagai jaminan utang ar-Rain agar ia
membayar utangnya selama ar-Rahn masih berlangsung. Apabila ar-Rahin
baru membayar utangnya kepada salah satu al-Murtahin, maka barang yang
digadaikan semuanya masih tergadaikan ditangan pihak al-Murtahin yang satu
lagi, sampi ar-Rahn membayar utang kepadanya.
D. SYARAT-SYARAT AS-SIGHAH
Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa syarat yang disyariatkan dalam
gadai ada tiga macam:
1.
Mensyaratkan di dalam akad gadai dengan sesuatu yang sesuai dengan
tuntutan atau konsekuensi akad ar-Rahn itu sendiri, seperti mensyaratkan
di utamakannya pihak pihak al-Murtahin untuk dibayar utangnya ketika
pihak ar-Rahin tidak hanya memiliki tanggungan utang kepada al-Murtahin
saja, akan tetapi memiliki tanggungan utang kepada orang lain. Akad ar-Rahn
yang dibarengi dengan bentuk syarat seperti ini sah syarat tersebut juga sah,
sama seperti akaad jual beli.
2.
Syarat yang tidak sah dan tidak berlaku
Mensyaratkan
dengan sesuatu yang tidak mengandung kemaslahaatan dan tujuan, seperti
mensyaratkan hewan yang digadaikan tidak memakan makaanan ini. Maka syarat
seperti ini tidak sah dan tidak berlaku, namun akad ar-Rahn yang ada
tetap sah.
3.
Syarat yang tidak sah sekaligus menjadikan akad ar-Rahn yang
ada ikut menjadi tidak sah mensyaratkan dengan suatu syarat yang merugikan
pihak al-Murtahin, seperti mensyaratkan pihak al-Murtahin tidak
boleh menjual barang yang di gadaikan setelah utang yang ada telah jatuh tempo,
sedangkan pihak ar-Rahin belum juga membayar utang yang ada kecuali
setelah satu bulan misalnya, atau mensyaratkan dengan sesuatu yang merugikan
pihak ar-Rahin seperti mensyaratkan pihak al-Murtahin tidak boleh
menggunakan dan memanfaatkan barang yang digadaikan tanpa dibatasi dengan
jangka waktu tertentu dan tanpa dijelaskan biaya pemanfaatan tersebut atau
mensyaratkan tambahan-tambahan yang di hasilkan oleh sesuatu yang di gadaikan
di berikan kepada pihak al-Murtahin. Syarat seperti ini tidak sah karena
apa yang disyaratkan tersebut mengandung unsur jahalah (tidak diketahui, tidak
jelas) dan karena kemanfaatan maupun tambahan-tambahan yang dihasilkan oleh
al-Marhun belum ada ketika disyaratkan. Juga berdasarkan hadist,
“setiap syarat
yang tidak terdapat di dalam kitabullah, maka syarat tersebut batal dan tidak
sah”
Ulam
Hanafiyah mensyaratkan bahwa akad ar-Rahn tidak boleh di gantungkan
kepada suatu syarat atau disandarkan kepada waktu yang akan datang, maka ar-Rahn
tersebut tidak sah sebaagaimana akad jual beli. Dalam hal ini, Ulama Hanabilah
memiliki pendapat yang sama dengan pendapat Ulama Malikiyah bahwa syarat ada
dua macam, sah dan fasid. Syarat yang sah adalah syarat yang mengandung
kemaslahatan akad, tidak bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh akad dan
tidak membawa sesuatu yang dibenci oleh syara’. Sedangkan syarat yang fasid,
adalah syarat yang bertentangan dengan apa yang dikehendaki akad, seperti
mensyaratkan barang yang digadaikan tidak boleh dijual ketika dikhawatirkan
rusak ( barang yang digadaikan di khawatirkan rusak sedangkan utang yang ada
belum jatuh tempo).
E. SYARAT-SYARAT AL-MARHUN
BIHI
1.
Al-Marhun bihi
harus merupakan hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya.
Ulama
Hanafiyah mengungkapkan syarat ini seperti berikut, al-Marhun bihi harus
berupa utang yang wajib dibayar dan diserahkan oleh ar-rahin. Jika al-marhun
bihi dalam bentuk utang, maka akad ar-Rahn boleh bagaimanapun bentuk
utang tersebut, baik itu berupa pinjaman utang (al-qard) atau jual beli
secara tunai. Sementara itu, Imam Malik dan Imam Syafi’I mengatakan bahwa todak
boleh mengadakan akad ar-Rahn dengan al-Marhu bihi berupa harga
penukar akadas-sharfu dan harga barang yang dipesan terikat dengan
tanggungan.
2.
Al-Marhun bihi
harus berupa utang yang dibayar dari al-Marhun
Apabial
al-Marhun bihi tidak mungkin untuk terbayarkan dari al-Marhun, mak
akad ar-Rahn tidak sah, karena al-irtihan (menerima gadai)
tujuannya adalah al-istifa’ (mendapat pembayaran hak atau utang). Oleh
karena itu, apabila elemen al-istifa’ tidak ada, maka ar-Rahn dan
tujuannya tidak ada juga.
3.
Hak yang menjadi al-marhun bihi harus diketahui dengan jelas
dan pasti
Tidak sah suatu
akad ar-Rahn dengan al-Marhun bihi berupa hak yang tidak
diketahui dengan jelas, seandainya ada seseorang memiliki dua tanggungan utang
terhadap orang lain, lalu dia menyerahkan barang gadaian sebagai jaminan salah
satu dari dua utang tersebut tanpa menentukan utang yang mana, maka ar-Rahn tersebut
tidak sah. Begitu juga dengan utang yang dijadikan al-Marhun bihi harus
diketahui dengan jelas spesifikasinya, yaitu kadar dan sifatnya. Jika utang
yang menjadi al-Marhun bihi tidak diketahui dengan jelas oleh kedua
belah pihak, maka akad ar-Rahn tidak sah.
F. SYARAT-SYARAT AL-MAHRUN
(SESUATU YANG DIGADAIKAN)
Al-Marhun
adalah harta yang ditahan oleh pihak al-murtahin untuk mendapatkan
pemenuhan atau pembayaran haknya (al-istifa’) yang menjadi al-Marhun
bihi. Jika al-Marhun sama jenisnya dengan hak yang menjadi al-Marhun
bihi, maka diambilkan dari al-marhun. Jika tidak sama jenisnya, maka
al-Marhun dijual terlebih dahulu lalu hak yang menjadi al-Marhun bihi
dibayar dengan diambilkan dari harga hasil penjualan itu. Jika penjualan
tersebut bisa digunakan untuk alistifa’ seperti jika utang yang ada
berupa nuqud ( uang,dinar) sedangkan al-marhun dalam bentuk harta
yang masuk kategori harta qimy. Namun jika penjualan tersebut tidak
dapat digunakan untuk untuk al-Istifa’, maka pembayaran hak yang ada
dilakukan dengan cara pertukaran seperti, jika al-marhun bihi berupa
gandum sedangkan al-marhun uang atau harta selain uang.
Oleh
karena itu, fuqaha sepakat bahwa syarat-syarat al-marhun sama dengan
syarat-syarat mabi’supaya al-Marhun bisa dijual untuk selanjutnya
digunakan untuk membayar utang yang menjadi al-Marhun bihi. Proses penjualan
al-Marhun adalah, jika ar-Rahin tidak ada dan tidak diketahui apakah
dia telah mati atau masih hidup, maka harus dengan seizin hakim. Namun jika ar-Rahin
ada, maka dia dipaksa untuk menjual al-Marhun, apabila dia menolak, maka
hakim atau wakilnya yang menjual al-Marhun, lalu hak al-Murtahin dibayar
dan dipenuhi dari hasil penjualan tersebut.
G.
SYARAT SEMPURNA AKAD AR-RAHN
Al-qabdhu ( al-Marhun
diserahterimakan ke tangan pihak al-Murtahin). Secara garis besar,
fuqaha sepakat bahwa al-Qabdhu adalah salah satu syarat akad ar-Rahn
berdasarkan ayat tersebut:
فرهان مقبوضة
“maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)” (al-Baqarah:283)
Jumhur Ulama selain Ulama Malikiyah berpendapat bahwa al-qabdhu tidak merupakan syarat sah akad ar-Rahn akan
tetapi syarat berlaku mengikatnya akad ar-Rahn. Selama belum ada al-Qabdu,
maka ar-Rahin masih memiliki kebebasan untuk membatalkan dan mencabut
kembali akad. Akan tetapi, setelah adanya al-Qabdhu, akad ar-Rahn
tersebut tidak boleh di batalkan secara sepihak oleh ar-Rahin. Sementra
itu ulama malikiyah berpendapat bahwa akad ar-Rahn tidak bisa sempurna
kecuali dengan adanya al-Qabdhu. Jadi al-Qabdhu menurut ulama
malikiyah adalah syarat kesempurnaan akad ar-Rahn, maksudnya
kesempurnaan faedahnya, bukan syarat sah atau syarat berlaku mengikatnya akad ar-Rahn.
Dalil ulama malikiyah dalam hal ini mengqiaskan atau menganalogikan
akad ar-Rahn dengan akad–akad yang berkaitan dengan harta benda lainnya
yang sudah berstatus, berlaku mengikat
dengan ijab dan qobul berdasarkan ayat :
يا ايها الذين امنوا اوفوابا لعقود
“Hai
orang – orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. (al-maidah :1)”
H.
DI SYARIATKANYA AR-RAHN DAN HUKUMNYA
Ar- Rahn di syariatkan berdasarkan al-qur’an, hadits, dan ijma’.
Adapun al-qur’an adalah ayat.
وان كنتم على سفرولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة
“jika
kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedangkan kamu
tidak menemukan seorang penulis maka hendaklah ada barang tangungan yang di
pegang” (al-baqarah : 283).
Ulama bersepakat bahwa ar-Rahn
hukumnya boleh, baik di tengah perjalanan maupun ketika menetap. Oleh karna itu
ayat di atas hanya ingin menunjukkan ke pada manusia sebuah bentuk wasiqah yang
mudah bagi mereka dalam kondisi tidak menemukan seorang juru tulis yang
menuliskan utang tidak secara tunai yang mereka lakukan.
Adapun sunnah, maka al-Bukhari dan muslim meriwayatkan dari Aisyah
r.a.
اشترى رسول الله صلى الله عليه وسلم من يهودي طعامابنسيئة ورهنه درعه
“suatu ketika, Rosulullah saw membeli makanan dari seorang yahudi
tidak secara tunai dengan menggadaikan perisai beliau kepadanya.”
Hikmah
disyariatkannya ar-Rahn adalah menjamin dan mengukuhkan utang. Apabila
al-Kafalah adalah menjamin utang dengan penjaminan manusia, maka ar-Rahn adalah
menjaminutang dengan menggunakan harta sebagai jaminannya, dalam rangka
memudahkan masalah utang piutang. Ar-Rahn memberi manfaat bagi pihak ad-da’in
(al-Murtahin) dengan memeberinya hak istimewa dan prioritas dibanding para
pihak yang berpiutang tanpa disertai barang yang menjadi jaminan.
I.
HUKUM AR-RAHN MENURUT SYARA’
Ar-Rahn
hukumnya adalah ja’iz (boleh), tidak wajib berdasarkan kesepakatan para Ulama,
karena ar-Rahn adalah jaminan utang. Oleh karena itu, tidak wajib seperti halnya
al-Kafalah. Adapun ayatnya:
فرهان مقبوضة
“maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh yang
berpiutang” (al-baqarah:283)
Maka perintah pada ayat ini adalah bersifat irsyad (pengarahan yang
lebih baik) bagi kaum mukminin, bukan
perintah yang bersifat wajib. Hal ini berdasarkan ayat setelahnya, juga karena
di dalam ayat ini, Allah SWT memerintahkan adanya ar-Rahn ketika tidak
menemukan juru tulis. Menulis dan mendokumentasiakan utang piutang hukumnya
tidak wajib, begitu juga solusi pengganti penulisan (ar-Rahn) hukumnya juga
tidak wajib.
BAB III
PENUTUP
Rahn adalah “menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang
dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang” pengambilan
manfaat pada barang-barang gadai seperti
hewan dan kendaraan ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan.
Sehingga, bagi yang memegang barang-barang gadai seperti diatas punya kewajiban
tambahan, pemegang barang gadai berkewajiban memeberikan makanan bila barang
gadaian itu berupa hewan dan harus memberikan bensin apabila barang tersebut
berupa kendaraan.
Apabila pada waktu pembayaran telah ditentukan ar-Rahin belum
membayar hutangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya bisa
murtahin sendiri atau orang lain, tetapi dengan harga yang umum berlaku pada
waktu itu. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya dengan akibat, apabila harga penjualan Marhun lebih besar
dari jumlah utang, sisanya dikembalikan kepada ar-Rahin, begitu pula
sebaliknya, jika harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, ar-Rahin masih menanggung pembayaran
kekurangannya.
No comments:
Post a Comment