Tuesday, February 6, 2018

PEGADAIAN ARAHN



       



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Salah satu lembaga keuangan yang dapat memberikan pinjaman pada masyarakat ialah perusahaan umum (perum) pegadaian. Apabila masyarakat ingin mendapatkan pinjaman, maka masyarakat harus memberikan jaminan barang kepada perum pegadaian. Melihat perkembangan ekonomi islam, maka perum pegadaianpun mengeluarkan produk berbasis syari’ah yang di sebut dengan pegadaian syari’ah. Pada dasarnya, produk-produk syari’ah memiliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar, bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan dan Melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa atau bagi hasil, pegadaian syari’ah dikenal dengan istilah “rahn”.
Gadai yang kita kenal selama ini di Indonesia identik dengan motto “Menyelesaikan masalah tanpa masalah”, sebagai satu-satunya perusahaan yang mengusahakannya. Dulu, pegadaian sering disamakan dengan kesusahan dan berhubungan dengan masyarkat golongan ekonomi lemah, sehingga kebanyakan orang malu untuk datang kepegadaian. Namun sekarang kondisinya sudah berbeda, pegadaian tumbuh menjadi sarana untuk mendapat dana bagi semua golongan masyarakat, dari petani sampai pengusaha.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa definisi ar-Rahn (gadai)
2.      Apa rukun dan syarat ar-Rahn
3.      Apa syarat shighoh dan hukumnya
4.      Bagaimana Pandangan ulama tentang ar-rahn
C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Mengetahui definisi ar-rahn
2.      Memahami rukun dan syarat ar-Rahn
3.      Mengetahui syarat shighoh dan hukumnya
4.      Mengetahui Pandangan ulama tentang ar-rahn
BAB II
PEMBASAN
A.    DEFINISI AR-RAHN (GADAI)
Ar-rahn secara bahasa bisa diartikan ats-Tsubuut dan ad-Dawaam (tetap), dikatakan “Maa’un raahinun” (air yang diam, tidak menggenang, tidak mengalir), “Maalatun raahinun” (keadaan yang tetap) atau ada kalanya berarti al-habsu dan al-luzuum (menahan). Allah berfirman
كال نفس بما كسبت رهينة
“tiap-tiap diri tertahan (bertanggung jawab) oleh apa yang diperbuatnya” (QS: Al-muddatsir 38)

Sedangkan definisi Ar-rahn menurut istilah syara’ adalah menahan sesuatu disebabkan adanya hak yang memungkinkan hak itu bisa dipenuhi dari sesuatu tersebut. Maksudnya, menjadikan al-‘Ain (barang, harta, yang barangnya berwujud kongkrit kebalikan dari utang) yang memiliki nilai menurut pandangan syara’ sebagai watsiiqah (jaminan) utang, sekiranya barang itu memungkinkan untuk membayar seluruh atau sebagian utang yang ada.
Ulama Syafi’iyyah mendefinisikan ar-Rahn sebagai berikut, menjadikan al-‘Ain (barang) sebagai watsiiqah (jaminan) utang yang barang itu digunakan untuk membayar utang tersebut (al-Marhuun bihi) ketika pihak al-Madiin (pihak yang berutang) tidak bisa membayar utang tersebut.
Ulama Hanabilah mendefinisikan ar-Rahn sebagai berikut, harga yang dijadikan sebagai watsiiqah utang yang ketika pihak yang menanggung utang tidak bisa melunasinya, maka  dibayar menggunakan harga hasil penjualan harta yang dijadikan watsiiqah tersebut.
Adapun menurut Ulama Malikiyah mendefinisikan ar-Rahn sebagai sesuatu yang mutamawwal (berbentuk harta dan memiliki nilai) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan watsiqah utang yang lazim (keberadaannya sudah positif dan mengikat) atau yang akan menjadi lazim.

B.     RUKUN AR-RAHN
Ar-Rahn memiliki empat unsur yaitu 1. ar-Rahin (pihak yang menggadaikan), 2.al-Murtahin (pihak yang menerima gadai), 3.al-marhun atau al-Rahn (barang yang digadaikan), 4.al-marhun bihi (tanggungan utang pihak ar-Rahin kepada al-Murtahin).

Rukun ar-Rahn menurut ulama hanafiyah adalah ijab dari ar-Rahiin dan qobul dari murtahin, seperti akad-akad yang lain. Akan tetapi, akad ar-Rahn belum sempurna dan belum berlaku mengikat kecuali setelah adanya serah terima barang dari yang digadaikan. Perbedaan seputar masalah rukun antara ulama Hanafiyah dan Ulama selain mereka terjadi di dalam semua bentuk akad.
 Rukun menurut jumhur lebih luas daripada menurut Ulama Hanafiyah. Karena, rukun  menurut Ulama Hanafiyah adalah sesuatu yang menjadi bagian dari suatu hal, yang ada tidaknya suatu hal tersebut tergantung kepada sesuatu tersebut.
Sedangkan menurut Jumhur, rukun adalah sesuatu yang menjadi penentu ada tidaknya suatu hal dan tidak mungkin suatu hal tersebut ada kecuali dengan adanya sesuatu tersebut, baik sesuatu tersebut merupakan bagian dari suatu hal tersebut maupun tidak.
 Al-‘Aqid adalah salah satu rukun akad, karena tidak mungkin suatu aka ada kecuali dengan adanya ‘aqid, meskipun ‘aqid tidak termasuk bagian dari akad. Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah, ‘aqid dimasukkan dalam syarat-syarat akad.

C.    SYARAT-SYARAT AR-RAHN
Ar-Rahn memiliki syarat syarat terbentuknya akad, syarat –syarat sah dan satu syarat al-Luzum (syarat supaya akad berlaku mengikat. Yaitu, al-Qabdhu (barang yang digadaikan telah diserahterimakan dan berada di tangan pihak al-Murtahin.

1.    Syarat-syarat kedua belah pihak yang melakukan akad (ar-Rahin dan al-Murtahin)
Al-Ahliyah menurut ulama Hanafiyah adalah ahliyatul ba’I  (kelayakan, kepantasan, kompetensi melakukan akad jual beli). Setiap orang yang sah dan boleh melakukan transaksi jual beli, maka sah dan boleh untuk melakukan akad ar-Rahn. Karena ar-Rahn adalah sebuah tindakan yang berkaitan dengan harta seperti jual beli. Oleh karena itu, kedua belah pihak yang melakukan akad ar-Rahn harus memenuhi syarat-syarat orang yang yang sah melakukan transaksi jual beli. Maka di syariatkan kedua belah pihak yang mengadakan akad ar-Rahn harus berakal dan mumayyiz. Berdasarkan hal ini, maka orang gila dan anak kecil yang belum mumayyiz tidak boleh mengadakan akad ar-Rahn atau dengan kata lain tidak boleh menggadaikan atau menerima gadai. Di dalam akad ar-Rahn tidak disyariatkan kedua belah pihak yang melakukan akad harus baligh. Oleh karena itu, anak kecil kecil yang telah diizinkan untuk melakukan perniagaan, sah untuk mengadakan akad ar-Rahn. Karena akad ar-Rahn adalah salah satu akad yang kemunculannya adalah sebagai konsekuensi aktifitas perniagaan. Anak kecil yang sudah mumayyiz dan orang safih sah untuk melakukan akad ar-Rahn. Namun, statusnya digantungkan pada persetujuan dan pengesahan pihak wali.

 Sedangkan ahliyah di dalam ar-Rahn menurut selain ulama  Hanafiyah adalah ahliyatul ba’i ( kelayakan dan kompetensi melakukan jual beli) dan ahliyatut tabarru’ (kelayakan dan kempetensi melakukan derma). Jadi, akad ar-Rahn sah jika diadakan oleh orang yang sah akad jual beli dan dermanya. Karena ar-Rahn mengandung unsure at-tabarru’ (derma) yang tidak wajib maka, akad tidak sah jika di adakan oleh orang yang dipaksa untuk mengadakanya Oleh anak kecil yang belum baligh, orang gila, orang safih, dan oleh muflis (orang yang bangkrut). Akad ar-Rahn juga tidak sah dilakukan oleh pihak wali, baik itu ayah, kakek maupun washi (pengasuh dan pengelola harta anak yatim) kecuali adanya kondisi darurat atau adanya kemaslahatan dan kebaikan yang nyata bagi al-qashir (anak yang di bawah perwalian).
Kondisi terpakasa adalah seperti menggadaikan barang si anak untuk mendapatkan pinjaman utang untuk memenuhi kebutuhan pokonknya, sedangkan penebusan barang yang di gadaikan tersebut menunggu hasil keuntungan atau menunggu lakunya barang yang waktu itu belum laku. Apabila wali menggadaikan barang si anak, maka harus menggadaikannya kepada orang yang jujur dan dapat dipercaya, memiliki kondisi ekonomi lapang, mempersaksikan penggadaian tersebut dan tempo yang ditentukan haruslah pendek, tidak terlalu lama menurut kebiasaan. Jika salah satu syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka ar-Rahn yang dilakukan tidak sah. Pihak wali tidak boleh menggadaikan harta si anak sebaagai jaminan utang pribadi si wali sendiri kepada orang lain, bukan utang untuk kepentingan si anak. Karena hal  itu tidak memberikan kemaslahatan bagi si anak.
Ulama hanabfilah mengungkapkan hukum ini dengan dua syarat, yaitu pihak yang menerima gadai harus orang yang dapat dipercaya dan itu dilakukan memang demi kemaslahatan dan kepentinan al-qashir. Boleh bagi seorang ayah menggadaikan barang anaknya kepada diri si ayah sendiri dan sebaliknya, si ayah juga boleh menggadaikan barangnya sendiri kepada si anak.

2.    Seorang wali atau washi menggadaikan harta si anak yang berada di bawah perwaliannya menurut Ulama hanafiyah

A.       Menggadaikan harta si anak atau orang gila sebagai jaminan.
Seorang wali atau washi boleh menggadaikan harta al-qashir sebagai jaminan utang yang utang tersebut demi kepentingan al-qashir untuk memenuhi kebutuhanya atau disebabkan aktifitas pengelolaan, pemutaran dan memeperdagangkan harta al-qashir.
 Apabila pihak yang berpiutang adalah si ayah atau kakek sendiri, maka boleh bagi kedua orang tersebut untuk menjalankan urusan kedua belah pihak yang mengadakan akad ar-Rahn tersebut. Namun hukum ini tidak berlaku bagi hakim atau washi, karena keduanya tidak memiliki perhatian dan rasa kasih sayang yang sama seperti seorang ayah, juga karena posisi keduanya hanya murni sebaagai wakil saja. Menurut hukum asal, arang satu tidak bisa memegang posisi atau menjalankan peran dua pihak yang mengadakan akad, baik di dalam masalah jual beli, ar-Rahn dan sebagainya.
B.       Menggadaikan harta al-qashir sebagai jaminan utang pihak wali sendiri
Menurut imam Abu Hanifah dan Muhammad, prinsip al-istihsan menghendaki hukum bolehnya seorang ayah, kakek atau washi menggadaikan harta al-qashir sebagai jaminan utang pribadi. Karena, seorang wali atau washi boleh menitipkan harta anak yang berada di bawah perwaliannya karena orang yang ditititpi posisisnya hanyalah sebagai orang yang diamanahi yang karenanya, ia tak wajib mengganti barang yang dititipkan jika mengalami kerusakan atau hilang, kecuali hal itu dikarenakan kelalaian dan keteledorannya atu karena ada unsure pelanggaran. Sedangkan al- Murtahin, menanggung kerugian barang yang digadaikan kepadanya jika hilang atau rusak, meskipun hal itu tidak dikarenakan kelalaian atau tindakan pelanggaran.

boleh bagi wali atau washi menggadaikan harta al-qashir sebagai jaminan utang pribadi si wali atau washi berdasarkan prinsip al-istihsan, kemudian harta yang digadaikan tersebut rusak ditangan pihak al-Murtahin, maka ia menaggung ganti rugi. Namun, ganti rugi yang harus ia bayarkan disesuaikan dengan yang jumlahnya lebih sedikit, jika yang lebih sedikit adalah nilai harga al-Marhun, maka si wali mengganti kerugian sesuai dengan nilai harga al-Marhun tersebut. Jika sebaliknya, yaitu yang ebih sedikit adalah utang yang ada, maka si wali mengganti kerugian sesuai dengan kadar utang tersebut. Adapun jika yang menggadaikan adalah seorang  washi, maka ia harus mengganti kerugian sejumlah nilai barang yang digadaikan. Perbedaan antara ayah, kakek dengan washi dalam masalah ganti rugi disini adalah, dikarenakan pada dasarnya seorang ayah atau kakek boleh menggunakan harta si anak, sedangkan seorang awshi tidak memiliki hak untuk menggunakan harta anak yang diasuhnya.

C.       Posisi anak terhadap ar-Rahn setelah mencapai usia baligh
Apabila anak telah baligh atau sesuatu yang menjadi penyebab seseorang mentasharufkan harta telah hilang, lalu ia menemukan hartanya telah tergadaikan, maka ia tidak boleh membatalkan akad ar-Rahn yang telah ada atau meminta kembali hrta yang tergadaikan tersebut hingga utang yang ada telah terbayar. Apabila harta si anak digadaikan oleh si wali sebagai jaminan utang si wali sendiri, lalu hutang tersebut dibayar dari harta si anak, maka si anak setelah baligh berhak meminta ganti dari harta si wali dan menagih agar haknya dipenuhi. Karena si anak harus menghidupkan kembali hak miliknya dan dan menjaga hak-haknya, baik si wali masih hidup maupun telah meninggal dunia. Dalam hal ini, si anak kedudukannya seperti seseorang yang meminjamkan hartanya kepada orang lain untuk selanjutnya dagadaikan oleh orang yang meminjam sebagai jaminan utang kepada pihak ketiga.

D.       Pihak yang mengadakan akad ar-Rahn lebih dari Satu
Ada dua orang yang menggadaikan barang sebagai jaminan utang mereka berdua (pihak ar-Rahin lebih dari satu orang) atau sebaliknya ada seseorang menggadaikan barangnya kepada dua orang (pihak al-Murtahin lebih dari satu). Penjelasan tentang hukum ar-Rahn jika pihak ar-Rahn atau al-Murtahin lebih dari satu orang adalah sebagai berikut:
1.      Jika yang terdiri dari satu adalah pihak ar-Rahin, maka ar-Rahn adalah sah sebagai jaminan utang yang ada dan pihak al-Murtahin menahan barang yang digadaikan sampai seluruh utang yang ada dibayar oleh para ar-Rahin. Jika salah satu ar-Rahin telah membayar utang yang menjadi tanggungannya, maka ia belum berhak mengambil sesuatu dari barang yang digadaikan.
2.      Jika yang terdiri lebih dari satu adalah pihak al-Murtahin, maka barang yang digadaikan semuanya dianggap sebagai gadaian yang ditahan oleh masing-masing al-Murtahin sebagai jaminan utang ar-Rain agar ia membayar utangnya selama ar-Rahn masih berlangsung. Apabila ar-Rahin baru membayar utangnya kepada salah satu al-Murtahin, maka barang yang digadaikan semuanya masih tergadaikan ditangan pihak al-Murtahin yang satu lagi, sampi ar-Rahn membayar utang kepadanya.

D.  SYARAT-SYARAT AS-SIGHAH
Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa syarat yang disyariatkan dalam gadai ada     tiga macam:
1.      Mensyaratkan di dalam akad gadai dengan sesuatu yang sesuai dengan tuntutan atau konsekuensi akad ar-Rahn itu sendiri, seperti mensyaratkan di utamakannya pihak pihak al-Murtahin untuk dibayar utangnya ketika pihak ar-Rahin tidak hanya memiliki tanggungan utang kepada al-Murtahin saja, akan tetapi memiliki tanggungan utang kepada orang lain. Akad ar-Rahn yang dibarengi dengan bentuk syarat seperti ini sah syarat tersebut juga sah, sama seperti akaad jual beli.
2.      Syarat yang tidak sah dan tidak berlaku
Mensyaratkan dengan sesuatu yang tidak mengandung kemaslahaatan dan tujuan, seperti mensyaratkan hewan yang digadaikan tidak memakan makaanan ini. Maka syarat seperti ini tidak sah dan tidak berlaku, namun akad ar-Rahn yang ada tetap sah.
3.      Syarat yang tidak sah sekaligus menjadikan akad ar-Rahn yang ada ikut menjadi tidak sah mensyaratkan dengan suatu syarat yang merugikan pihak al-Murtahin, seperti mensyaratkan pihak al-Murtahin tidak boleh menjual barang yang di gadaikan setelah utang yang ada telah jatuh tempo, sedangkan pihak ar-Rahin belum juga membayar utang yang ada kecuali setelah satu bulan misalnya, atau mensyaratkan dengan sesuatu yang merugikan pihak ar-Rahin seperti mensyaratkan pihak al-Murtahin tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan barang yang digadaikan tanpa dibatasi dengan jangka waktu tertentu dan tanpa dijelaskan biaya pemanfaatan tersebut atau mensyaratkan tambahan-tambahan yang di hasilkan oleh sesuatu yang di gadaikan di berikan kepada pihak al-Murtahin. Syarat seperti ini tidak sah karena apa yang disyaratkan tersebut mengandung unsur jahalah (tidak diketahui, tidak jelas) dan karena kemanfaatan maupun tambahan-tambahan yang dihasilkan oleh al-Marhun belum ada ketika disyaratkan. Juga berdasarkan hadist,


“setiap syarat yang tidak terdapat di dalam kitabullah, maka syarat tersebut batal dan tidak sah”
Ulam Hanafiyah mensyaratkan bahwa akad ar-Rahn tidak boleh di gantungkan kepada suatu syarat atau disandarkan kepada waktu yang akan datang, maka ar-Rahn tersebut tidak sah sebaagaimana akad jual beli. Dalam hal ini, Ulama Hanabilah memiliki pendapat yang sama dengan pendapat Ulama Malikiyah bahwa syarat ada dua macam, sah dan fasid. Syarat yang sah adalah syarat yang mengandung kemaslahatan akad, tidak bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh akad dan tidak membawa sesuatu yang dibenci oleh syara’. Sedangkan syarat yang fasid, adalah syarat yang bertentangan dengan apa yang dikehendaki akad, seperti mensyaratkan barang yang digadaikan tidak boleh dijual ketika dikhawatirkan rusak ( barang yang digadaikan di khawatirkan rusak sedangkan utang yang ada belum jatuh tempo).

E.  SYARAT-SYARAT AL-MARHUN BIHI
1.      Al-Marhun bihi harus merupakan hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya.
Ulama Hanafiyah mengungkapkan syarat ini seperti berikut, al-Marhun bihi harus berupa utang yang wajib dibayar dan diserahkan oleh ar-rahin. Jika al-marhun bihi dalam bentuk utang, maka akad ar-Rahn boleh bagaimanapun bentuk utang tersebut, baik itu berupa pinjaman utang (al-qard) atau jual beli secara tunai. Sementara itu, Imam Malik dan Imam Syafi’I mengatakan bahwa todak boleh mengadakan akad ar-Rahn dengan al-Marhu bihi berupa harga penukar akadas-sharfu dan harga barang yang dipesan terikat dengan tanggungan.
2.      Al-Marhun bihi harus berupa utang yang dibayar dari al-Marhun
Apabial al-Marhun bihi tidak mungkin untuk terbayarkan dari al-Marhun, mak akad ar-Rahn tidak sah, karena al-irtihan (menerima gadai) tujuannya adalah al-istifa’ (mendapat pembayaran hak atau utang). Oleh karena itu, apabila elemen al-istifa’ tidak ada, maka ar-Rahn dan tujuannya tidak ada juga.
3.      Hak yang menjadi al-marhun bihi harus diketahui dengan jelas dan pasti
Tidak sah suatu akad ar-Rahn dengan al-Marhun bihi berupa hak yang tidak diketahui dengan jelas, seandainya ada seseorang memiliki dua tanggungan utang terhadap orang lain, lalu dia menyerahkan barang gadaian sebagai jaminan salah satu dari dua utang tersebut tanpa menentukan utang yang mana, maka ar-Rahn tersebut tidak sah. Begitu juga dengan utang yang dijadikan al-Marhun bihi harus diketahui dengan jelas spesifikasinya, yaitu kadar dan sifatnya. Jika utang yang menjadi al-Marhun bihi tidak diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak, maka akad ar-Rahn tidak sah.

F.  SYARAT-SYARAT AL-MAHRUN (SESUATU YANG DIGADAIKAN)
Al-Marhun adalah harta yang ditahan oleh pihak al-murtahin untuk mendapatkan pemenuhan atau pembayaran haknya (al-istifa’) yang menjadi al-Marhun bihi. Jika al-Marhun sama jenisnya dengan hak yang menjadi al-Marhun bihi, maka diambilkan dari al-marhun. Jika tidak sama jenisnya, maka al-Marhun dijual terlebih dahulu lalu hak yang menjadi al-Marhun bihi dibayar dengan diambilkan dari harga hasil penjualan itu. Jika penjualan tersebut bisa digunakan untuk alistifa’ seperti jika utang yang ada berupa nuqud ( uang,dinar) sedangkan al-marhun dalam bentuk harta yang masuk kategori harta qimy. Namun jika penjualan tersebut tidak dapat digunakan untuk untuk al-Istifa’, maka pembayaran hak yang ada dilakukan dengan cara pertukaran seperti, jika al-marhun bihi berupa gandum sedangkan al-marhun uang atau harta selain uang.
Oleh karena itu, fuqaha sepakat bahwa syarat-syarat al-marhun sama dengan syarat-syarat mabi’supaya al-Marhun bisa dijual untuk selanjutnya digunakan untuk membayar utang yang menjadi al-Marhun bihi. Proses penjualan al-Marhun adalah, jika ar-Rahin tidak ada dan tidak diketahui apakah dia telah mati atau masih hidup, maka harus dengan seizin hakim. Namun jika ar-Rahin ada, maka dia dipaksa untuk menjual al-Marhun, apabila dia menolak, maka hakim atau wakilnya yang menjual al-Marhun, lalu hak al-Murtahin dibayar dan dipenuhi dari hasil penjualan tersebut.








G.    SYARAT SEMPURNA AKAD AR-RAHN
Al-qabdhu ( al-Marhun diserahterimakan ke tangan pihak al-Murtahin). Secara garis besar, fuqaha sepakat bahwa al-Qabdhu adalah salah satu syarat akad ar-Rahn berdasarkan ayat tersebut:
فرهان مقبوضة
 “maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)” (al-Baqarah:283)
Jumhur Ulama selain Ulama Malikiyah berpendapat bahwa al-qabdhu  tidak  merupakan syarat sah akad ar-Rahn akan tetapi syarat berlaku mengikatnya akad ar-Rahn. Selama belum ada al-Qabdu, maka ar-Rahin masih memiliki kebebasan untuk membatalkan dan mencabut kembali akad. Akan tetapi, setelah adanya al-Qabdhu, akad ar-Rahn tersebut tidak boleh di batalkan secara sepihak oleh ar-Rahin. Sementra itu ulama malikiyah berpendapat bahwa akad ar-Rahn tidak bisa sempurna kecuali dengan adanya al-Qabdhu. Jadi al-Qabdhu menurut ulama malikiyah adalah syarat kesempurnaan akad ar-Rahn, maksudnya kesempurnaan faedahnya, bukan syarat sah atau syarat berlaku mengikatnya akad ar-Rahn.
Dalil ulama malikiyah dalam hal ini mengqiaskan atau menganalogikan akad ar-Rahn dengan akad–akad yang berkaitan dengan harta benda lainnya yang sudah berstatus,  berlaku mengikat dengan ijab dan qobul berdasarkan ayat :
يا ايها الذين امنوا اوفوابا لعقود
                        “Hai orang – orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. (al-maidah :1)”





H.    DI SYARIATKANYA AR-RAHN DAN HUKUMNYA
Ar- Rahn di syariatkan berdasarkan al-qur’an, hadits, dan ijma’. Adapun al-qur’an adalah ayat.
وان كنتم على سفرولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة
“jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak menemukan seorang penulis maka hendaklah ada barang tangungan yang di pegang” (al-baqarah : 283).
                        Ulama bersepakat bahwa ar-Rahn hukumnya boleh, baik di tengah perjalanan maupun ketika menetap. Oleh karna itu ayat di atas hanya ingin menunjukkan ke pada manusia sebuah bentuk wasiqah yang mudah bagi mereka dalam kondisi tidak menemukan seorang juru tulis yang menuliskan utang tidak secara tunai yang mereka lakukan.
Adapun sunnah, maka al-Bukhari dan muslim meriwayatkan dari Aisyah r.a.
اشترى رسول الله صلى الله عليه وسلم من يهودي طعامابنسيئة ورهنه درعه
“suatu ketika, Rosulullah saw membeli makanan dari seorang yahudi tidak secara tunai dengan menggadaikan perisai beliau kepadanya.”
                        Hikmah disyariatkannya ar-Rahn adalah menjamin dan mengukuhkan utang. Apabila al-Kafalah adalah menjamin utang dengan penjaminan manusia, maka ar-Rahn adalah menjaminutang dengan menggunakan harta sebagai jaminannya, dalam rangka memudahkan masalah utang piutang. Ar-Rahn memberi manfaat bagi pihak ad-da’in (al-Murtahin) dengan memeberinya hak istimewa dan prioritas dibanding para pihak yang berpiutang tanpa disertai barang yang menjadi jaminan.

I.       HUKUM AR-RAHN MENURUT SYARA’
                        Ar-Rahn hukumnya adalah ja’iz (boleh), tidak wajib berdasarkan kesepakatan para Ulama, karena ar-Rahn adalah jaminan utang. Oleh karena itu, tidak wajib seperti halnya al-Kafalah. Adapun ayatnya:
فرهان مقبوضة
“maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang” (al-baqarah:283)
Maka perintah pada ayat ini adalah bersifat irsyad (pengarahan yang lebih baik)  bagi kaum mukminin, bukan perintah yang bersifat wajib. Hal ini berdasarkan ayat setelahnya, juga karena di dalam ayat ini, Allah SWT memerintahkan adanya ar-Rahn ketika tidak menemukan juru tulis. Menulis dan mendokumentasiakan utang piutang hukumnya tidak wajib, begitu juga solusi pengganti penulisan (ar-Rahn) hukumnya juga tidak wajib.


























BAB III
PENUTUP
Rahn adalah “menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang” pengambilan manfaat pada barang-barang  gadai seperti hewan dan kendaraan ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan. Sehingga, bagi yang memegang barang-barang gadai seperti diatas punya kewajiban tambahan, pemegang barang gadai berkewajiban memeberikan makanan bila barang gadaian itu berupa hewan dan harus memberikan bensin apabila barang tersebut berupa kendaraan.
Apabila pada waktu pembayaran telah ditentukan ar-Rahin belum membayar hutangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya bisa murtahin sendiri atau orang lain, tetapi dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya dengan akibat,  apabila harga penjualan Marhun lebih besar dari jumlah utang, sisanya dikembalikan kepada ar-Rahin, begitu pula sebaliknya, jika harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang,  ar-Rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.  

No comments:

Post a Comment