Tuesday, February 6, 2018

IJTIHAD DALAM ILMU FIQIH



IJTIHAD DALAM ILMU FIQIH





Kata Pengantar
Assalaamualaikum Wr.Wb

Segala puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayah nya kepada kami sehingga makalah yang berjudul Ijtihad dalam ilmu fiqih dapat diselesaikan dengan sesuai rencana.
Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasullullah SAW. Berkat limpahan rahmat nya kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini kami buat untuk menyelesaikan tugas studi fiqih dari dosen pengampu dan juga sebagai penunjang bagi teman-teman yang belum bisa memahami Ijtihad secara mendalam, karena ijtihad sangatlah penting sebagai sumber hukum islam yang akan terus berkembang sebagaimana pertumbuhan dan perkembangan zaman.

Wassalaamualaikum Wr.Wb






























Daftar Isi

Judul...........................................................................................................................1
Kata pengantar...........................................................................................................2
Daftar Isi.....................................................................................................................3

BAB I. PENDAHULUAN
1.1   Latar belakang..........................................................................................4
1.2   Rumusan Masalah....................................................................................4
1.3   Tujuan penulisan......................................................................................4

BAB II. PEMBAHASAN
2.1   Pengertian Ijtihad....................................................................................5
2.2   Tingkatan-tingkatan Ijtihad berdasarkan tingkatan mujtahid.................6
2.3 Kedudukan Ijtihad dalam Hukum Islam....................................................6
2.4 Syarat-syarat mujtahid.............................................................................7
BAB III. Penutup
3.1 Kesimpulan..............................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA

























BAB I
PENDAHULUAN



1.       Latar Belakang Masalah
Seiring dengan perkembangan peradaban manusia di mana permaalahan-permasalan baru selalu muncul dan sangat mungkin belum ada ketentuan hukumnya,sangat di perlukan penetapan hukum nya.sangat diperlukan penitipan hukum yang memiliki keberanian mendasarkannya pada realitas dan kemaslahatan umum, dengan menguji ketetapan-ketetapan tersebut dihadapan realita dengan melalui ijtihad. Dengan cara demekian maka peran ijtihad menjadi sangat dibutuhkan dan perlu dikembangkan.
   Maka perhatian ulama terhadap persoalan-persoalan keagamaan telah terbukti dilakukan sepanjang sejarah islam. Ijtihad sebagai upaya interpretasi terhadap nash al-Quran dan as-sunnah telah banyak dilakukan oleh para ulama besar pada masa keemasan islam, yang pada akhirnya menghasilkan produk-produk hukum islam yang diikuti sebagai mazhab.
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.

2.       Rumusan Masalah
1.       Apakah pengertian Ijtihad ?
2.       Bagaimana ruang lingkup Ijtihad ?
3.       Bagaimana kedudukan Ijtihad dalam hukum islam ?
4.       Bagaimana syarat-syarat sebagai mujtahid ?

3.       Tujuan Penulisan
1.       Untuk menjelaskan pengertian ijtihad secara umum
2.       Untuk menjelaskan ruang lingkup ijtihad
3.       Untuk menjelaskan kedudukan Ijtihad dalam hukum islam
4.       Untuk menjelaskan syarat-syarat menjadi seorang mujtahid







BAB II
PEMBAHASAN


1.       Pengertian Ijtihad
   Ijtihad berasal dari kata jahada. Artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Menurut bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Dalam ushul fiqh, para ulama ushul fiqh mendefinisikan ijtihad secara berbeda-beda. Misalnya Imam as-Syaukani mendefinisikan ijtihad adalah mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan hukum).1
Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu. Sedangkan imam al-Ghazali menjadikan batasan tersebut sebagai bagian dari definisi al-ijtihad attaam (ijtihad sempurna).
   Imam Syafi’I menegaskan bahwa seseorang tidak boleh mengatakan tidak tahu terhadap permasalahan apabila ia belum melakukan dengan sungguh-sungguh dalam mencari sumber hukum dalam permasalahan tersebut. Demikian juga, ia tidak boleh mengatakan tahu sebelum ia sungguh-sungguh menggali sumber hukum dengan sepenuh tenaga. Imam Syafi-I hendak menyimpulkan bahwa dalam berijtihad hendaklah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Artinya, mujtahid juga harus memiliki kemampuan dari berbagai aspek criteria seorang mujtahid agar hasil ijtihadnya bisa menjadi pedoman bagi orang banyak.
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih dalam definisi tersebut sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih akan semua kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi komentar bahwa penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut istilah.
   Dalam definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan Sunah Rasul. Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian terhadap sesuatu hukum syara’. Jadi, yang ingin dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad).






1.        Nurul Hanani,Ijtihad dan Taqlid, Kediri,2008,hal.12

2.       Tingkatan-tingkatan Ijtihad berdasarkan tingkatan mujtahid
Tingkatan-tingkatan ini ada empat macam yaitu :
1.       Ijtihad fis syar’i, yaitu segala ijtihad yang dilakukan oleh orang alim yang memiliki syarat-syarat ijtihad secara sempurna, yang dilakukan didalam berbagai-bagai masalah hukum syara’, dengan tanpa terikat oleh suatu mazhab, ini disebut mujtahid fis syar’i atau mujtahid mustakbil.
2.       Ijtihad fil mazhab, yaitu segala ijtihad yang dilakukan oleh orang alim yang memiliki syarat-syarat ijtihad secara sempurna, dan dilakukan didalam berbagai masalah hukum syara’, namun masih terikat pada jalan yang telah ditempuh oleh imam-imam tertentu. Orang yang melakukan ijtihad ini disebut mujtahid fil mazhab, karena didalam berijtihad dia terikat dengan jalannya mazhab yang telah ditempuhnya.
3.        Ijtihad fil masail, yaitu segala ijtihad yang dilakukan oleh orang yang ahli, yang hanya sanggup mengadakan ijtihad dalam beberapa masalah saja, tidak dalam soal-soal pokok yang umum, orang-orangnya disebut mujtahid fil masail atau fil futya.
4.       Ijtihad fit takhrij, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara menentukan mana yang lebih utama atau lebih kuat dari pendapat yang berbeda-beda dalam suatu mazhab, dan dilakukan oleh orang yang mengetahui madarikil ahkam, dan mengetahui dalalah nya dalam suatu mazhab tertentu. Orangnya disebut ahli takhrij atau sahibutakhrij.2


3.       Kedudukan Ijtihad dalam hukum islam
Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an dan   Hadits. Dalilnya adalah

1.       QS An-Nahl 16:43 dan Al-Anbiya' 21:7
 Artinya: :  maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan  jika kamu  tidak mengetahui
2.      Hadits muttafaq alaih (Bukhari Muslim) dan Ahmad
 Artinya:  Apabila seorang hakim membuat keputusan apabila dia berijtihad dan benar maka dia mendapat dua pahala apabila salah maka ia mendapat satu pahala.

3.     Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi  tentang dialog antara nabi Muhammad SAW dengan Muadz bin Jabbal ketika akan diutus jadi gubernur di Yaman.

Adapun bentuk-bentuk ijtihad antara lain adalah :
1. Ijma’
adalah kesepakatan mujtahid tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa setelah Rosul wafat..Sebagai contoh adalah setelah rosul meninggal diperlukan pengangkatan pengganti beliau yang disebut dengan kholifah. maka kaum muslimin pada waktu itu sepakat mengangkat Abu Bakar sebagai kholifah pertama.

2. Qias
qias adalah menetapkan hukum suatu kejadian  atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkan dengan suatu kejadian yang telah ditetapakan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat/sifat diantara kejadian atau peristiwa itu. Contoh narkotika di Qiaskan dengan meminum khamar.


Asjmuni Abdurrahman, pengantar kepada ijtihad, Jakarta, 1978, hal.22-23
3.  Maslahah mursalah
adalah suatu kemaslahatan dimana syar;i tidak mensyariatkan sutau hukum ntuk merealisir kemaslahatan itu dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuanya atau pembatalanya.Contoh kemaslahatn yang karenanya para sahabat mensyariatkan pengadaan penjara, pencetakan mata uang, penetapan tanah pertanian, memungut pajak.

4. Urf
Menurut bahasa adalah kebiasaan sedangkan menurt istilah sesuatu yang telah dikenal orang banyak dan menjadi tradisi mereka dan tentunya tradisi disini adalah kebiasaan yang tidak dilarang. Contoh: saling pengertian manusia terhadap jual beli dengan cara saling memberikan tanpa adanya sighot lafdliyah.

4.       Syarat-syarat Mujtahid
Jika seseorang ingin menjdi salah satu dari pada bagian mujtahid tersebut maka dia harus mempunyai daya fikir yang baik, cerdas dan ingatan yang kuat , karna jika seseorang itu tiada pandai maka akan rusak lah sendi-sendi agama ini. Kenapa seseorang itu harus pandai karana seseorang itu jikalau ingin menjadi seorang mujtahid dia harus bias melewati 6 syarat ini:
1.       Harus mampu menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya seperti ilmu nahwu, syaraf, bayan, balaghah,’urudh,dan qawafi. Karana setiap mujtahid itu dasar hukumnya mengambil langsung dari Alqur’an yang berbahasa arab untuk bias mengetahui apa yang terkandung di dalam kalamullah tsb. Dan mustahil bagi seseorang  bisa menguasai ilmu tersebut jika tiada cerdas otaknya.
2.       Harus mampu memilah-memilahkan  ayat alquran dan mahir dalam menentukan yang mana diantara ayat-ayat tersebut yang umum sifatnya,yang khusus,yang mujmal, yang mubayyan,yang mutlak,yang muqayyat,yang zahir, yang nash, yang mansukh, yang nasikh,yang muhakkam, yang mutasyabihah dan yang lain-lainnya.kalau dia tiada cerdas dan pintar.
3.       Harus mampu ketika berijtihat terbayang tentang isi kandungan 30juz dari alquran, yang mana di dalam alquran tersebut ada perintah larangan, berita, dan hukum. Karna jika dia tiada tau bahwa itu adalah mengandung cerita tapi di buatnya menjadi sebuah hukum hancurlah seluruh prilaku sendi-sendi kehidupan manusia.
4.       Harus mengetahui asbabul nuzul ayat, karna setiap ayat turun itu mempunyai kejadian yang terjadi di masa rasul, bukan di turunkan sekaligus 30 juz, karna turunnya ayat untuk menjawab situasi yang terjadi di sekeliling rasul,maka jika seseorang  tiada mengetahui asbabul nujul tersebut mustahil dia bisa berfatwa dengan benar.
5.       Harus menguasai kitabussittah sekurang-kurangnya.yaitu shahih bukhari,muslim,turmizhi, sunan nasai, sunan abi daun, dan sunan ibnu majjah, selain itu juga masih banyak lagi hadis-hadis yang lain seperti musnad ibnu hambal, daraqudni,ibnu hibban. Thabrani dllnya.
6.       Harus bisa mengetahui pangkat setiap hadis-hadis yang terdapat di berbagai kitab-kitab hadis yang ada , mana hadis yang palsu yang di buat oleh musuh islam, atau mana yang shahih, yang dhaif, dllnya.
7.       Harus mengetahui mana saja hukum yang telah sepakat para ulama. Karna jika telah sepakat para ulama dalam satu masa maka telah meluaslah paham-paham mereka dan telah banyak di terbitkan kitab-kitab mereka jika berlainan maka bisa terjadi kekacauan.



































BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Problema hukum yang dihadapi umat Islam semakin beragam, seiring dengan berkembang dan meluasnya agama Islam, dan berbagai macam bangsa yang masuk Islam  dengan membawa berbagai macam adat istiadat, tradisi dan sistem kemasyarakatan.
Sementara itu, nash Al-Qur’an dan Sunnah telah berhenti, padahal waktu terus  berjalan dengan sejumlah peristiwa dan persoalan yang datang silih berganti (al-wahy qad intaha wal al-waqa’i la yantahi). Oleh karena itu, diperlukan usaha penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang tidak ditunjukkan secara tegas oleh nash itu.
Dengan demikian ijtihad menjadi sangat penting sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an dan al-Sunnah dalam memecahkan berbagai problematika masa kini.

























DAFTAR PUSTAKA

No comments:

Post a Comment