IJTIHAD DALAM ILMU FIQIH
Kata Pengantar
Assalaamualaikum Wr.Wb
Segala puji
syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayah
nya kepada kami sehingga makalah yang berjudul Ijtihad dalam ilmu fiqih dapat
diselesaikan dengan sesuai rencana.
Shalawat dan
salam selalu tercurahkan kepada Rasullullah SAW. Berkat limpahan rahmat nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini
kami buat untuk menyelesaikan tugas studi fiqih dari dosen pengampu dan juga
sebagai penunjang bagi teman-teman yang belum bisa memahami Ijtihad secara
mendalam, karena ijtihad sangatlah penting sebagai sumber hukum islam yang akan
terus berkembang sebagaimana pertumbuhan dan perkembangan zaman.
Wassalaamualaikum
Wr.Wb
Daftar
Isi
Judul...........................................................................................................................1
Kata
pengantar...........................................................................................................2
Daftar
Isi.....................................................................................................................3
BAB I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar
belakang..........................................................................................4
1.2
Rumusan
Masalah....................................................................................4
1.3
Tujuan
penulisan......................................................................................4
BAB II.
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Ijtihad....................................................................................5
2.2
Tingkatan-tingkatan Ijtihad
berdasarkan tingkatan mujtahid.................6
2.3 Kedudukan Ijtihad dalam Hukum Islam....................................................6
2.4 Syarat-syarat
mujtahid.............................................................................7
BAB III.
Penutup
3.1
Kesimpulan..............................................................................................9
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Seiring
dengan perkembangan peradaban manusia di mana permaalahan-permasalan baru
selalu muncul dan sangat mungkin belum ada ketentuan hukumnya,sangat di
perlukan penetapan hukum nya.sangat diperlukan penitipan hukum yang memiliki
keberanian mendasarkannya pada realitas dan kemaslahatan umum, dengan menguji
ketetapan-ketetapan tersebut dihadapan realita dengan melalui ijtihad. Dengan
cara demekian maka peran ijtihad menjadi sangat dibutuhkan dan perlu dikembangkan.
Maka perhatian ulama terhadap
persoalan-persoalan keagamaan telah terbukti dilakukan sepanjang sejarah islam.
Ijtihad sebagai upaya interpretasi terhadap nash al-Quran dan as-sunnah telah
banyak dilakukan oleh para ulama besar pada masa keemasan islam, yang pada
akhirnya menghasilkan produk-produk hukum islam yang diikuti sebagai mazhab.
Ijtihad
merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah
SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in
serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu
apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi
pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai
dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan,
untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang,
banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu disebabkan
dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal,
fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas
dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk
menemukan hukum yang terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes,
dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan
ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika
kehidupan yang semakin kompleks.
2.
Rumusan Masalah
1. Apakah
pengertian Ijtihad ?
2. Bagaimana ruang
lingkup Ijtihad ?
3. Bagaimana
kedudukan Ijtihad dalam hukum islam ?
4. Bagaimana
syarat-syarat sebagai mujtahid ?
3.
Tujuan Penulisan
1. Untuk
menjelaskan pengertian ijtihad secara umum
2. Untuk
menjelaskan ruang lingkup ijtihad
3. Untuk
menjelaskan kedudukan Ijtihad dalam hukum islam
4. Untuk
menjelaskan syarat-syarat menjadi seorang mujtahid
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Ijtihad
Ijtihad
berasal dari kata jahada. Artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung
beban kesulitan. Menurut bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan
dalam segala perbuatan. Dalam ushul fiqh, para ulama ushul fiqh mendefinisikan
ijtihad secara berbeda-beda. Misalnya Imam as-Syaukani mendefinisikan ijtihad
adalah mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat
operasional dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan hukum).1
Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad
adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat
dhonni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya
itu. Sedangkan imam al-Ghazali menjadikan batasan tersebut sebagai bagian dari
definisi al-ijtihad attaam (ijtihad sempurna).
Imam
Syafi’I menegaskan bahwa seseorang tidak boleh mengatakan tidak tahu terhadap
permasalahan apabila ia belum melakukan dengan sungguh-sungguh dalam mencari
sumber hukum dalam permasalahan tersebut. Demikian juga, ia tidak boleh
mengatakan tahu sebelum ia sungguh-sungguh menggali sumber hukum dengan sepenuh
tenaga. Imam Syafi-I hendak menyimpulkan bahwa dalam berijtihad hendaklah
dilakukan dengan sungguh-sungguh. Artinya, mujtahid juga harus memiliki
kemampuan dari berbagai aspek criteria seorang mujtahid agar hasil ijtihadnya
bisa menjadi pedoman bagi orang banyak.
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih
dalam definisi tersebut sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan seorang
faqih akan semua kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi komentar bahwa
penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan yang
dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut istilah.
Dalam
definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kemampuan
untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari
Kitabullah dan Sunah Rasul. Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan
pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk
memperoleh pengertian terhadap sesuatu hukum syara’. Jadi, yang ingin dicapai
oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan
perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan,
serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa
rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di
medannya (majalul ijtihad).
1.
Nurul Hanani,Ijtihad dan Taqlid, Kediri,2008,hal.12
2.
Tingkatan-tingkatan Ijtihad
berdasarkan tingkatan mujtahid
Tingkatan-tingkatan ini ada empat
macam yaitu :
1. Ijtihad fis
syar’i, yaitu segala
ijtihad yang dilakukan oleh orang alim yang memiliki syarat-syarat ijtihad secara
sempurna, yang dilakukan didalam berbagai-bagai masalah hukum syara’,
dengan tanpa terikat oleh suatu mazhab, ini disebut mujtahid fis syar’i
atau mujtahid mustakbil.
2. Ijtihad fil
mazhab, yaitu segala
ijtihad yang dilakukan oleh orang alim yang memiliki syarat-syarat ijtihad
secara sempurna, dan dilakukan didalam berbagai masalah hukum syara’, namun
masih terikat pada jalan yang telah ditempuh oleh imam-imam tertentu. Orang
yang melakukan ijtihad ini disebut mujtahid fil mazhab, karena didalam
berijtihad dia terikat dengan jalannya mazhab yang telah ditempuhnya.
3. Ijtihad fil masail, yaitu segala ijtihad yang dilakukan
oleh orang yang ahli, yang hanya sanggup mengadakan ijtihad dalam beberapa
masalah saja, tidak dalam soal-soal pokok yang umum, orang-orangnya disebut
mujtahid fil masail atau fil futya.
4. Ijtihad fit
takhrij, yaitu
ijtihad yang dilakukan dengan cara menentukan mana yang lebih utama atau lebih
kuat dari pendapat yang berbeda-beda dalam suatu mazhab, dan dilakukan oleh
orang yang mengetahui madarikil ahkam, dan mengetahui dalalah nya dalam suatu mazhab
tertentu. Orangnya disebut ahli takhrij atau sahibutakhrij.2
3.
Kedudukan Ijtihad dalam
hukum islam
Ijtihad menempati kedudukan sebagai
sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an dan
Hadits. Dalilnya adalah
1. QS An-Nahl 16:43 dan Al-Anbiya' 21:7
Artinya: :
maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengetahui
2. Hadits muttafaq alaih (Bukhari Muslim)
dan Ahmad
Artinya:
Apabila seorang hakim membuat keputusan apabila dia berijtihad dan benar
maka dia mendapat dua pahala apabila salah maka ia mendapat satu pahala.
3. Hadits
riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi
tentang dialog antara nabi Muhammad SAW dengan Muadz bin Jabbal ketika
akan diutus jadi gubernur di Yaman.
Adapun bentuk-bentuk ijtihad antara
lain adalah :
1. Ijma’
adalah kesepakatan mujtahid tentang
hukum syara’ dari suatu peristiwa setelah Rosul wafat..Sebagai contoh adalah
setelah rosul meninggal diperlukan pengangkatan pengganti beliau yang disebut
dengan kholifah. maka kaum muslimin pada waktu itu sepakat mengangkat Abu Bakar
sebagai kholifah pertama.
2. Qias
qias adalah menetapkan hukum suatu
kejadian atau peristiwa yang tidak ada
dasar nashnya dengan cara membandingkan dengan suatu kejadian yang telah
ditetapakan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat/sifat diantara
kejadian atau peristiwa itu. Contoh narkotika di Qiaskan dengan meminum khamar.
Asjmuni Abdurrahman, pengantar
kepada ijtihad, Jakarta, 1978, hal.22-23
3.
Maslahah mursalah
adalah suatu kemaslahatan dimana
syar;i tidak mensyariatkan sutau hukum ntuk merealisir kemaslahatan itu dan
tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuanya atau pembatalanya.Contoh
kemaslahatn yang karenanya para sahabat mensyariatkan pengadaan penjara,
pencetakan mata uang, penetapan tanah pertanian, memungut pajak.
4. Urf
Menurut bahasa adalah kebiasaan
sedangkan menurt istilah sesuatu yang telah dikenal orang banyak dan menjadi
tradisi mereka dan tentunya tradisi disini adalah kebiasaan yang tidak
dilarang. Contoh: saling pengertian manusia terhadap jual beli dengan cara
saling memberikan tanpa adanya sighot lafdliyah.
4. Syarat-syarat
Mujtahid
Jika seseorang ingin menjdi salah
satu dari pada bagian mujtahid tersebut maka dia harus mempunyai daya fikir
yang baik, cerdas dan ingatan yang kuat , karna jika seseorang itu tiada pandai
maka akan rusak lah sendi-sendi agama ini. Kenapa seseorang itu harus pandai
karana seseorang itu jikalau ingin menjadi seorang mujtahid dia harus bias
melewati 6 syarat ini:
1. Harus mampu
menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya seperti ilmu nahwu, syaraf, bayan,
balaghah,’urudh,dan qawafi. Karana setiap mujtahid itu dasar hukumnya mengambil
langsung dari Alqur’an yang berbahasa arab untuk bias mengetahui apa yang
terkandung di dalam kalamullah tsb. Dan mustahil bagi seseorang bisa menguasai ilmu tersebut jika tiada
cerdas otaknya.
2. Harus mampu memilah-memilahkan ayat alquran dan mahir
dalam menentukan yang mana diantara ayat-ayat tersebut yang umum sifatnya,yang
khusus,yang mujmal, yang mubayyan,yang mutlak,yang muqayyat,yang zahir, yang
nash, yang mansukh, yang nasikh,yang muhakkam, yang mutasyabihah dan yang lain-lainnya.kalau dia tiada cerdas dan pintar.
3. Harus mampu ketika berijtihat terbayang tentang isi kandungan
30juz dari alquran, yang mana di dalam alquran tersebut ada perintah larangan,
berita, dan hukum. Karna jika dia tiada tau bahwa itu adalah mengandung cerita
tapi di buatnya menjadi sebuah hukum hancurlah seluruh prilaku sendi-sendi
kehidupan manusia.
4. Harus mengetahui asbabul nuzul ayat, karna setiap ayat turun itu
mempunyai kejadian yang terjadi di masa rasul, bukan di turunkan sekaligus 30
juz, karna turunnya ayat untuk menjawab situasi yang terjadi di sekeliling
rasul,maka jika seseorang tiada mengetahui asbabul nujul tersebut
mustahil dia bisa berfatwa dengan benar.
5. Harus menguasai kitabussittah sekurang-kurangnya.yaitu
shahih bukhari,muslim,turmizhi, sunan nasai, sunan abi daun, dan sunan ibnu
majjah, selain itu juga masih banyak lagi hadis-hadis yang lain seperti musnad
ibnu hambal, daraqudni,ibnu hibban. Thabrani dllnya.
6. Harus bisa mengetahui pangkat setiap hadis-hadis yang terdapat di
berbagai kitab-kitab hadis yang ada , mana hadis yang palsu yang di buat oleh
musuh islam, atau mana yang shahih, yang dhaif, dllnya.
7. Harus mengetahui mana saja hukum yang telah sepakat para ulama.
Karna jika telah sepakat para ulama dalam satu masa maka telah meluaslah
paham-paham mereka dan telah banyak di terbitkan kitab-kitab mereka jika
berlainan maka bisa terjadi kekacauan.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Problema
hukum yang dihadapi umat Islam semakin beragam, seiring dengan berkembang dan
meluasnya agama Islam, dan berbagai macam bangsa yang masuk Islam dengan membawa berbagai macam adat istiadat,
tradisi dan sistem kemasyarakatan.
Sementara
itu, nash Al-Qur’an dan Sunnah telah berhenti, padahal waktu terus berjalan dengan sejumlah peristiwa dan
persoalan yang datang silih berganti (al-wahy qad intaha wal al-waqa’i la
yantahi). Oleh karena itu, diperlukan usaha penyelesaian secara sungguh-sungguh
atas persoalan-persoalan yang tidak ditunjukkan secara tegas oleh nash itu.
Dengan
demikian ijtihad menjadi sangat penting sebagai sumber ajaran Islam setelah
Al-Qur’an dan al-Sunnah dalam memecahkan berbagai problematika masa kini.
DAFTAR
PUSTAKA
No comments:
Post a Comment