PEMBAHASAN
SHALAT RAWATIB
Shalat sunnah rawatib[1]
yang dikerjakan sebelum atau sesudah shalat wajib, yaitu:
·
Shalat Sunnah Muakad yang Dikerjakan sebelum atau sesudah Shalat Wajib
Shalat ini terdiri dari dua
belas rakaat. Hal itu didasarkanpada hadits Ummu Habibah yang bercerita bahwa
dia pernah mendengar Rasulullah bersabda,
من صلى اثنتي عشرة ركعة فى يومو ليلة بني له بيت فى الجنة
“Orang yang
mengerjakan shalat dua belas rakaat dalam sehari semalam, pasti dibangun
untuknya sebuah rumah disurga.”
Tafsiran hadits di atas terdapat di dalam
sunan at-Tirmidzi: hadits Ummu Habibah yang bercerita bahwa rasulullah
bersabda,
من صلى فى
يوم و ليلة ثنتي عشرة ركعة بني له بيت فى الجنة: أربعا قبل الظهر و ركعتين بعدها و
ركعتين بعد المغرب و ركعتين بعد العشاء و ركعتين قبل الفجر
“Orang
yang mengerjakan shalat dua belas rakaat dalam sehari semalam, pasti dibangun
untuknya sebuah rumah disurga: empat rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat
setelahnya, dua rakaat setelah maghrib, dua rakaat setelah sholat isya, dan dua
rakaat sebelum shalat subuh.
Aisyah bercerita bahwa rasulullah bersabda,
من ثابر على
اثنتي عشرة ركعة من السنة بنى الله له بيتافى الجنة: أربع ركعات قبل الظهر و
ركعتين بعدها و ركعتين بعد المغرب و ركعتين بعد العشاء و ركعتين قبل الفجر
"Orang yang berkeinginan keras untuk mengerjakan shalat sunnah dua belas
rakaat, allah pasti membangun untuknya sebuah rumah di surga empat rakaat
sebelum zhuhuran dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah maghrib, dua rakaat
setelah isya, dan dua rakaat sebelum subuh.
Jadi, shalat rawatib, menurut Ummu Habibah dan
Aisyah terdiri dari dua belas rakaat, sedangkan menurut Ibnu Umar sepuluh
rakaat. Sementara itu, Syaikh Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengatakan
bahwa orang yang berpegang pada hadits Ibnu Umar, dia akan mengatakan bahwa
shalat rawatib itu ada sepuluh rakaat. Dan yang berpegang pada hadits Aisyah
dia akan mengatakan, dua belas rakaat.
Dalam kondisi prima, seorang muslim hendaknya
mengerjakan dua belas rakaat. Namun, jika ada kesibukan, dia cukup mengerjakan
sepuluh rakaat saja. Semua itu adalah shalatsunnah rawatib. Yang lengkap dan
sempurna adalah shalat seperti yang disebutkan di dalam hadits Ummu Habibah dan
Aisyah.
·
Shalat Sunnah Muakad dan Ghairu Muakad yang Dikerjakan sebelum atau
sesudah Shalat Fardhu
Secara
keseluruhan, shalat sunnah ini berjumlah dua puluh rakaat, yaitu:
Pertama, empat rakaat sebelum dan sesudah shalat zhuhur. Kedua,
empat rakaat sebelum shalat ashar. Ketiga, dua rakaat sebelum dan sesudah
shalat maghrib. Keempat, dua rakaat sebelum dan sesudah shalat isya. Kelima,
dua rakaat shalat subuh. Keenam, empat rakaat setelah shalat jum’at.
WAKTU
SHALAT SUNNAH RAWATIB
Setiap shalat sunnah yang dikerjakan
sebelum shalat wajib, waktunya adalah sejak masuknya waktu shalat wajib itu
sampai iqamah dikumandangkan. Sedangkan setiap shalat sunnah yang dikerjakan
setelah shalat wajib waktunya adalah sesuai shalat wajib itu sampai keluarnya
wakttu shalat tersebut.
PERMASALAHAN
YANG DIANGKAT
Meninggalkan Shalat Sunnah Rawatib
dan lainnya Ketika Iqamah Shalat Wajib dikumandangkan: Hal itu didasarkan pada
hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa nabi bersabda,
إذا أقيمت الصلاة فلا صلاة إلا
المكتوبة
“Jika
iqamah sudah dikumandangkan maka tidak ada shalat, kecuali shalat wajib.
Hadits di atas menunujukkan bahwa jika iqamah sudah
dikumandangkan, seorang muslim tidak boleh mengerjakan shalat sunnah, baik itu
shalat sunnah rawtib, seperti shalat sunnah sebelum subuh, maupun lainnya; di
dalam masjid maupun diluar masjid; dalam keadaan takut tertinggal rakaat
pertama maupun tidak.
Jika terjadi silang pendapat maka hujjah yang harus
dirujuk adalah as-Sunnah. Siapa saja yang berpegang padanya berarti dia telah
beruntung.[2]
Hikmah dari hal tersebut adalah agar ada persiapan untuk mengikuti shalat wajib
dari awal pelaksanaannya, yakni memulai shalat setelah imam memulainya. Sebab,
jika seseorang menyibukkan diri dengan shalat sunnah, berarti dia akan
tertinggal dari takbiratul ihram bersama imam, dan dia juga akan kehilangan
beberapa penyempurna shalat wajib. Dengan demikian, shalat wajib lebih pantas
untuk dipelihara kesempurnaannya. Hikmah lainnya adalah menaati larangan untuk
berbeda dengan imam.
SHALAT DHUHA
Shalat Sunnah Muakad
Shalat dhuha adalah sunah muakad.[3]
Sebab, nabi senantiasa mengerjakannya. Selain itu, beliau juga senantiasa
membimbing serta berpesan kepada para sahabatnya untuk selalu mengerjakan
shalat tersebut. Pesan nabi itu tidak hanya berlaku untuk para sahabat, tapi
juga berlaku bagi seluruh umatnya, kecuali ada dalil yang menunjukkan
pengkhususan. Hal itu didasarkan pada hadits Abu Hurairah yang bercerita,
“kekasihku rasulullah berpesan tiga hal kepadaku (yang tidak akan pernah
kutinggalkan sampai aku mati nanti), yaitu puasa tiga hari pada setiap bulan,
dua rakaat dhuha, dan shalat witir sebelum tidur.[4]
Menurut hadits di atas, imam an-Nawawi berpendapat bahwa hokum shalat dhuha itu
adalah sunnah muakad, karena dengan hadits lainnya tidak bertentangan.
KEUTAMAAN
SHALAT DHUHA
Keutamaan
shalat dhuha ini telah disebutkan dalam haidts-hadits shahih, antara lain
sebagai berikut:
·
Hadits Nu’aim bin Hammar yang bercerita bahwa dia pernah mendengar
rasulullah bersabda,
يقول الله عزّ وجل: يابن أدم لا تعجزنى
من أربع ركعات فى أوّل النهار أكفك اخره
“Allah ‘azza
wajalla berfirman: hai anak adam, janganlah engkau lemah untuk mngerjakan empat
rakaat pada awal siang, niscaya aku memberikan kecukupan kepadamu pada akhir
siang.[5]”
·
Hadits Abu Darda’ dan Abu Dzar dari rasulullah
bahwa allah berfirman,
يابن أدم اركع لى أربع ركعات من أوّل
النهار أكفك اخره
“Hai anak adam, ruku’lah untuk-ku empat rakaat di awal siang,
aku pasti mencukupimu di akhir siang.[6]
WAKTU SHALAT DHUHA
Waktu shalat dhuha adalah
dari naiknya matahari kira-kira setinggi tombak sampai sebelum berhentinya
matahari dipertengahan langit, sebelum zawal. Yang lebih baik, shalat ini
dikerjakan setelah matahari terik. Oleh Karen itu, orang yang mengerjakan
shalat dhuha setelah matahari naik sekitar satu tombak, itu tidak dilarang. Dan
siapa saja yang mengerjakan setelah panas terik sebelum waktunya habis, maka
yang demikian itu lebih baik.
SHALAT HAJAT
Disunnahkan
bagi orang yang mempunyai hajat atau keperluan yang diperbolehkan untuk
melaksanakan shalat hajat. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang memiliki
suatu keperluan di sisi Allah atau kepada salah seorang manusia, maka hendaklah
dia berwudhu dan membaguskan wudhu, kemudian hendaklah melaksanakan shalat 2
rakaat, lalu memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi saw, kemudian berdoa
“Tiada Tuhan selain Allah yang maha lembut dan mulia, Maha suci Allah Tuhan
pemilik singgasana yang agung, Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, aku
memohon pada-Mu sesuatu yang dapat mengundang rahmat-Mu, yang menarik ampunan-Mu,
karunia segala kebaikan, dan keselamatan dari segala dosa. Janganlah biarkan
padaku suatu dosa kecuali Engkau ampuni, kegelisahan kecuali Engkau lapangkan,
dan suatu hajat atau keperluan yang aku sukai kecuali Engkau takdirkan, wahai
Tuhan Yang Maha sayang dari segala yang sayang. (HR: Tirmidzi dari Abdullah bin
Abu Aufa)
HIKMAH
SHALAT HAJAT
1.Mencerahkan
pikiran dan jiwa
2.Salah
satu cara paling ampuh meminta sesuatu kepada Allah
3.Hidup
lebih bermakna serta lebih bijak dan matang dalam bersikap[7]
SHALAT
TAHAJJUD (Qiyamul Lail)
Shalat
tahajjud adalah shalat sunnah yang istimewa. Di dalam kitab-kitab fiqih, shalat
tahajjud adalah salah satu shalat sunnah yang selalu mendapat kupasan
pembahasan.
Rasulullah saw. Bersabda, “shalat
sunnah yang utama dari shalat fardhu adalah shalat tahajjud” (HR.Abu Daud).
Disunnahkan shalat tahajjud di malam
hari, karena Rasulullah saw bersabda, “Hendaklah shalat di malam hari meskipun
memeras susu kambing.”(HR: Tabrani)
Shalat
tahajjud lebih utama daripada shalat di siang hari. Sabda Rasulullah saw,
“Shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam” (HR:
Muslim)
Di dalam hadits yang lain
ditegaskan, “Shalat tahajjud dapat menghapus dosa, mendatangkan ketenangan dan
menghindarkan dari penyakit”.(HR. Tirmidzi)
Disunnahkan pula shalat istikhoroh. Jabir bin Abdullah ra
berkata, “Adalah Rasulullah saw mengajarkan kami istikharoh dalam setiap
perkara, sebagaimana beliau mengajarkan kami surat dari al-Quran, beliau
bersabda, “ Jika seseorang berkeinginan (bingung) terhadap suatu perkara maka
hendaklah dia shalat dua rakaat selain shalat fardhu, kemudian berdo’a, “Ya Allah
aku memohon pilihan pada-Mu dengan pengetahuan-Mu, dan mohon kesanggupan dengan
kekuasaan-Mu, aku memohon dari karunia-Mu yang agung. Karena sesungguhnya
Engkau Maha Kuasa dan aku tak kuasa, Engkau mengetahui dan aku tak mengetahui,
dan Engkau Maha mengetahui segala yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui
bahwa perkara ini baik bagiku untuk agamaku, kehidupanku, kesudahan urusanku,
cepat atau lambatnya, maka kuasakanlah ia padaku, mudahkanlah ia untukku lalu
berkahilah untukku. Dan jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini buruk bagiku,
untuk agamaku, kehidupanku,, dan kesudahan urusanku, cepat atau lambatnya, maka
jauhkanlah ia dariku dan jauhkanlah aku darinya. Dan takdirkanlah padaku
kebaikan dimanapun, kemudian ridhokanlah aku dengannya. (kemudian sebutkan
kebutuhannya)” (HR: Ashab Sunan kecuali Muslim).
SYARAT PELAKSANAAN SHALAT TAHAJJUD
Dalam tata cara shalat tahajjud, shalat tahajjud memiliki
syarat untuk sahnya dilakukan. Jika syarat tersebut tidak dilakukan, shalat
dilakukan bukalah dinamakan shalat tahajjud. Ada dua syarat bahwa shalat yang
dilakukan adalah shalat tahajjud :
1. Dilakukan
di malam hari. Mulai dari masuknya waktu shalat isya’ hingga masuknya waktu
shalat shubuh. Adapun dalilnya firman Allah Swt, “Dan pada sebagian malam hari,
bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu.
Mudah-mudahan Tuhan-Mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra’
[17]:79)
2. Harus
tidur terlebih dahulu. Adapun dalilnya adalah pernyataan terhadap apa yang
dilakukan Abu Bakar dan Umar bin Khattab sebelum shalat tahajjud Abu Bakar
melaksanakan shalat tahajjud dengan tidur terlebih dahulu.
Namun sebelum tidur, ia melakukan shalat witir, bangun
sepertiga malam lalu shalat tahajjud. Berbeda dengan Umar bin Khattab, ia tidur
dahulu. Bangun di sepertiga malam, lalu melaksanakan shalat tahajjud dan
ditutup dengan shalat sunnah witir. Rasulullah Saw berkomentar,”yang dilakukan
Abu Bakar adalah kehati-hatian, sedangkan yang dilakukan Umar adalah bukti
kuatnya.”
Apabila kedua syarat ini dipenuhi, maka pelaksanaan shalat
tahajjud baru bisa dilakukan. Inilah syarat sahnya pelaksanaan shalat tahajjud.
Shalat sunnah tahajjud minimalnya adalah dua rakaat dan maksimalnya adalah dua
belas rakaat. Sementara pelaksanaannya menurut ulama madzhab Syafi’I secara
umum adalah setiap dua rakaat salam.
TATA CARA SHALAT TAHAJJUD
Adapun tata cara shalat tahajjud
yang dilakukan sama dengan shalat-shalat fardhu atau shalat sunnah lainnya,
seperti shalat dhuha, shalat sunnah rawatib dan lain-lain. Ada 11 rukun yang
dilakukan menurut imam Syafi’i:
1. Niat
2. Takbiratul
ihram
3. Membaca
surat al-Fatihah
4. Ruku’
5. I’tidal
6. Sujud
7. Duduk
antara dua sujud
8. Thuma’ninah
9. Tasyahud
akhir
10. Membaca
shalawat atas nabi saw.
11. Tertib
HIKMAH SHALAT TAHAJJUD
Sperti yang dikemukakan di awal bahwa shalat tahajjud
memberikan kesehatan bagi orang yang melaksanakan. Secara spiritual, orang yang
gemar melaksanakan shalat tahajjud akan mendapatkan ketenangan, karena ia dekat
dengan Allah SWT.
Sementara itu secara medis, orang
yang gemar shalat tahajjud akan sebuh dari beragam penyakit. Didalam sebuah
buku yang membahas hikmah shalat tahajjud dijelaskan “Hidup sehat ala
Rasulullah saw.” Di jelaskan ihwal gerakan dilakukan shalat tahajjud memberi manfaat
yang luar biasa bagi tubuh.
Misalnya, rukuk yang mesti dilakukan dengan keharusan
meluruskan tulang belakang dengan di ibaratkan seperti papa yang lurus.
Ternyata, penelitian medis membuktikan bahwa rukuk membuat posisi jantung yang
sejajar dengan otak sehingga menjadikan aliran darah maksimal pada bagian
tengah. Posisi rukuk juga dapat dijadikan sarana latihan untuk organ kemih agar
terhindar dari penyakit prostat.
Maka wajar sekali, bila Rasulullah
saw. Selama hidupnya hanya dua kali mengalami sakit. Karena Rasulullah saw.
Selalu menjaga kesehatan dengan melaksanakan shalat tahajjud. Tinggal kita yang
menjadi pengikutnya, mau menirukan Rasulullah.
Menjadikan shalat tahajjud seperti shalat fardhu dengan
tidak pernah meninggalkannya kecuali hal-hal yang memang mewajibkan kita untuk
meninggalkan. Pasalnya, kesehatan yang
dijanjikan bagi orang yang gemar melaksanakan shalat tahajjud cukup luar biasa.
Dijelaskan di dalam salah satu buku yang menjelaskan hikmah
shalat-shalat sunnah, dan salah satunya hikmah shalat tahajjud sebagai berikut:
1. Ibadah
sunnah paling di sukai Allah
2. Wahana
penghapus dosa
3. Di
tulis sebagai golongan Allah
4. Media
mendapatkan kamar istimewa di surge
5. Waktu
paling dekat dengan Allah dan kemenangan atas setan[8]
SHOLAT WITIR
HUKUM DAN SIFAT SHALAT WITIR
Rasulullah saw.
Bersabda,
يا
أهل ااقر آن أوتروا فإنّ االله وتر يهبُّ الْوتر
“Wahai Ahli Al-Qur’an, dirikanlah sholat Witir karena Allah itu
tunggal dan Dia menyukai sholat Witir”
Shalat
Witir wajib hukumnya bagi Rasulullah saw. Karena beliau bersabda, “Ada iga hal yang diwajibkan bagiku, namun
tidak wajib bagi kalian. Tiga hal itu adalah shalat Dhuha, shalat Idul Adha,
dan shalat Witir”[9]
Shalat
Witir menurut Abu Hanifah hukumnya wajib seperti shalat Idul Adha dan Idul
Fitri. Namun menurut Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf, hukum shalat Witir
adalah sunnah mu’akkadah. Abu Hanifah mendasarkan pendapatnya pada sebuah
hadits Nabi saw. yang berbunyi, “Allah
telah menambahkan shalat kepada kalian. Shalat itu berupa shalat Witir. Karena
itu, dirikanlah shalat Witir antara Isya sampai terbitnya Fajar.”[10]
Hadits ini menunjukan perintah, dan perintah itu mengandung arti wajib. Namun,
ulama Hanafiyyah menganggap bahwa orang yang meninggalkan Witir tidak termasuk
kafir. Hal ini karena wajibnya shalat Witir hanya berdasarkan hadits ahad.
Mayoritas
ulama menyatakan bahwa shalat Witir termasuk sunnah dengan berdasarkan
hadits-hadits berikut.
Ketika
seorang badui bertanya tentang shalat apa saja yang wajib dilaksanakan,
Rasulullah menjawab, “Shalat lima waktu.”
Orang itu bertanya lagi, “Apakah tidak ada shalat lain selain lima itu?”
Beliau menjawab, “Tidak, kecuali shalat
Sunnah.”[11]
Ubadah
ibnush Shamit menganggap dusta pada orang yang mengatakan bahwa shalat Witir
itu wajib. Lantas ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw.berkata,
خمْسُ
صلواتٍ كتبهنَّ الله على الْعبْد في الْيوْم واللَّيْلة
“Allah telah mewajibkan shalat lima waktu bagi hamba-Nya dalam sehari
semalam.”[12]
Dari
Ali, ia berkata, “Shalat Witir itu hukumnya tidak wajib sebagaimana shalat lima
waktu, karena shalat Witir itu termasuk sunnah Nabi saw.”[13]
Karena shalat Witir termasuk sunnah, maka boleh dilakukan di atas kendaraan
meski tidak dalam keadaan darurat. Ibnu Umar berkata, “Rasulullah saw.perrnah
melakukan shalat Witir di atas unta beliau.”[14]
Pendapat
tentang sunnahnya shalat Witir adalah pendapat yang benar, karena hadits-hadits
yang digunakan dasar wajibnya shalat Witir oleh kalangan Hanafiyyah. Para ulama
hadits juga sudah melakukan penelitian lebih dalam mengenai hadits-hadits yang
mereka gunakan, sebagai dasar wajibnya shalat Witir. Hadits yang berbunyi, “Siapa saja yang tidak melakukan shalat Witir
maka tidak termasuk dari kami,” adalah hadits dhaif. Sedangkan hadits
riwayat Abu Ayyub yang berbunyi, “Shalat Witir itu haq,” meski para perawinya
tsiqah, namun tujuan hadits ini adalah untuk menguatkan sunnahnya shalat Witir.
Karena, Imam Ahmad sendiri berkata, “Siapa saja yang meninggalkan shalat Witir
dengan sengaja, maka orang itu termasuk orang yang jelek dan kesaksiannya tidak
diterima.”
ORANG YANG WAJIB MELAKUKAN SHALAT WITIR MENURUT ABU
HANIFAH
Shalat Witir menurut Abu Hanifah sama seperti shalat
Jumat dan shalat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, yaitu hukumnya wajib bagi
setiap Muslim, baik lelaki maupun perempuan. Tentu saja setelah memasuki usia
yang layak mengemban beban kewajiban. Dasarnya adalah hadits riwayat Abu Ayyub
di atas yang berbunyi,
الْوتْر
حقُّ واجبٌ فمنْ شاء أنْ يوتر بثلاثٍ فلْيوترْ ومنْ شاءَ أنْيوترَ بواحدةٍ
فليوْترْ
“Shalat Witir itu haq [masyru’] wajib bagi setiap Muslim. Shalat
Witir boleh dilakukan sebanyak lima rakaat, tiga rakaat, dan boleh juga satu
rakaat.”[15]
Akan
tetapi, mayoritas ulama berpendapat bahwa shalat Witir termasuk sunnah
mu’akadah bagi setiap Muslim.
TATA CARA DAN BILANGAN RAKAAT SHALAT WITIR
Jumlah rakaat shalat Witir menurut madzab Hanafiyyah
adalah tiga rakaat sekaligus tanpa diselingi dengan salam, karena salamnya
dilakukan di akhir rakaat, sama seperti shalat Magrib. Sehingga jika lupa duduk
tasyahud awal, maka tidak perlu mengulangnya karena justru akan membatalkan
shalat jika mengulangnya. Jumlah rakaat ini diambil dari hadits riwayat Aisyah
yang berbunyi, “Rasulullah saw.melakukan shalat Witir sebanyak tiga rakaat dan
tidak melakukan salam kecuali pada akhir shalat.”[16]
Shalat Witir tiga rakaat tidak boleh dilakukan tanpa
niat terlebih dahulu. Kemudian setelah niat dan takbir lantas membaca surah
al-Faatihah dan surah lain pada rakaat pertama dan kedua. Melakukan dua
tasyahud, awal dan akhir. Pada rakaat ketiga tidak perlu membaca doa iftitah
lagi. Bertakbir dengan mengangkat kedua tangan kemudian membaca doa Qunut
setelah membaca surah, yaitu sebelum ruku’ pada rakaat ketiga. Shalat Witir
dimulai dengan salam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.
Ulama Malikiyyah berkata, “Shalat Witir itu satu
rakaat yang didahului dengan shalat syafa’ (shalat sunnah ba’diyyah isya)
dengan diselingi salam. Setelah membaca surah al-Faatihah, dianjurkan membaca
surah al-Ikhlaash dan mu’awwidzatain.”
Ulama Hanabilah sependapat dengan Malikiyyah bahwa
shalat Witir itu hanya satu rakaat. Imam Ahmad berkata, “Kami berpendapat bahwa
shalat Witir itu satu rakaat. Namun jika melakukannya sebanyak tiga rakaat atau
lebih, juga tidak apa-apa.”
Ulama Syafi’iyyah berkata, “Minimal bilangan shalat
Witir itu adalah satu rakaat dan maksimalnya sebelas rakaat. Jika hendak
melakukan shalat Witir lebih dari satu rakaat, maka afdhalnya diselingi dengan
salam. Pertama, niat shalat Witir dua rakaat kemudian salam, dan kedua niat
shalat Witir satu rakaat kemudian salam lagi. Ibnu Hibban meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw.memisahkan antara shalat genap dan shalat Witir dengan salam.”
Bilangan shalat Witir minimal sempurnanya adalah
tiga rakaat dan lebih sempurnanya adalah lima, tujuh, Sembilan, dan sebelas
rakaat. Sebelas rakaat itu batas maksimal bilangan shalat Witir. Sayyidah
Aisyah r.a.berkata, “Rasulullah saw.selalu melakukan shalat malam sebanyak
sebelas rakaat, dan beliau tidak menambahnya baik dalam bulan Ramadhan maupun
bulan-bulan lainnya.” Karena itu, tidak sah hukumnya menambah jumlah bilangan
rakaat Witir seperti shalat sunnah Rawatib.
Bilangan
Witir sebanyak lima rakaat berdasarkan hadits riwayat Abu Ayyub yang berbunyi,
الْوتْر
حقٌّ واجبٌ على كلِّ مسْلم منْ أحبَّ أنْ يوْتر بوا حدةٍ فلْيفْعلْ
“Shalat Witir iu haq dan wajib atas setiap
Muslim. Siapa saja yang ingin shalat Witir sebanyak lima rakaat, maka
lakukanlah…..,”
Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit bahwa ia melakukan
shalat Witir sebanyak lima rakaat. Dari Sayyidah Aisyah, ia meriwayatkan—hadits
muttafaq ‘alaih—yang berbunyi, “Setiap malam Rasulullah saw.mendirikan shalat
sebanyak tiga belas rakaat. Lima rakaat dari tigabelas itu digunakan untuk
shalat Witir, dan beliau tidak duduk dalmla rakaat itu kecuali pada akhir
shalat.” Hadits serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Nabi saw.[17]
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw.bersabda,
لا
توتِّرُوا بثلاثٍ أوْتروْا بخمْسٍ أوْ سبْعٍ ولا تشبِّهوْا بصلا ةِ الْمغْربِ
“Janganlah kalian shalat Witir tiga rakaat, tetapi Witirlah
sebanyak lima atau tujuh rakaat. Janganlah kalian menyerupakan shalat Witir
dengan shalat Maghrib.”[18]
Bilangan shalat Witir sebanyak tujuh atau sembilan
rakaat dalilnya dari hadits riwayat Aisyah dalam Shahih Muslim dan Sunan Abu
Dawud, serta dikuatkan oleh riwayat Ibnu Abbas.
Adapun bilangan shalat Witir sebanyak sebelas rakaat
dalilnya adalah hadits riwayat Aisyah di atas dalam Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim.
Imam Ahmad berkata, “Hadits-hadits yang menyatakan
bahwa Nabi saw.melakukan Witir dengan satu rakaat dilakukan setelah didahulukan
shalat sebelumnya.”
WAKTU SHALAT WITIR
Menurut
Abu Hanifah, waktu shalat Witir adalah waktu Isya. Hanya saja, dilakukan
berurutan setelah shalat Isya, dan tidak boleh dilakukan sebelum shalat Isya
meskipun waktunya sama karena satu syarat tidak terpenuhi yaitu syarat tertib,
kecuali jika memang lupa maka tidak perlu mengulangnya lagi. Muhammad bin Hasan
Abu Yusuf berkata, “Yang melakukan shalat Witir sebelum Isya karena lupa, maka
ia harus mengulangnya lagi.” Dalilnya hadits berbunyi, “Allah telah menyediakan
shalat yang lebih baik bagi kalian daripada harta yang paling berharga. Shalat
itu adalah shalat Witir yang ditentukan untuk kalian dari Isya sampai terbit
fajar.”
Waktu
pilihan untuk shalat witir menurut Malikiyyah adalah pada sepertiga malam,
sedangkan waktu dharuri atau mendesaknya adalah menjelang terbit fajar shalat
Subuh. Jika shalat witir di luar batas waktu dharuri, maka gugur shalat
witirnya. Jika ada udzur, makhruh hukumnya melakukan shalat witir sampai batas
waktu dharuri, sedangkan afdhalnya adalah pada akhir malam.
Siapa
saja yang melakukan shalat Witir, namun kemudian melakukan shalat nafilah lain,
maka tidak perlu mengulang witirnya lagi, menurut pendapat mayoritas ulama
karena tidak ada dua witir dalam satu malam.
Waktu
pilihan shalat witir menurut Syafi’iyyah adalah sampai pertengahan malam,
sedangkan setelah itu termasuk waku jawaz (boleh). Dalil hadits riwayat Bukhari
Muslim yang berbunyi,
اجْعلوْا
آخر صلاتكمْ باللَّيْلِ وِتْرًا
“Jadikanlah akhir shalat
malam kalian untuk shalat Witir.”
Jika
seorang berhendak hendak shalat Tahajud,maka shalat witirnya diakhirkan. Namun
boleh juga melakukan witir setelah shalat isya dan sunnah rawatib jika memang
tidak yakin bisa bangunpada tengah malam. Akan tetapi jika yakin bisa bangun
pada pertengahan malam, maka afdhalnya mengakhirkan shalat witir. Dalilnya
hadist riwayat Muslim yang artinya “ siapa saja yang khawatir tidak bisa bangun
pada akhir malam, maka shalatlah witir sebelum tidur. Namun jika mampu,maka
akhirkanlah Witir di akhir malam karena
shalat pada waktu itu disaksikan [ para malaikat].”
Waktu
shalat Witir yang mustahab menurut Hanafiyah adalah pada akhir malam karena
riwayat Sayyidah Aisyah yang mengatakan ia bahwa pernah ditanya mengenai shalat
witir Rasulullah saw., dan ia menjawab, “ Terkadang Rasulullah saw. Melakukan
shalat witir diawal malam, terkadang di pertengahan, dan erkadang diakhir
malam. Akan tetapi pada akhir hayatnya, beliau melakukan shalat witir di akhir
hayatnya.
Waktu
shalat witir yang afdhal menurut Hanabilah adalah akhir malam, sama seperti
pendapat Hanafiyah. Pendapat ini muttafaq ‘alaih seperti sabda Rasulullah saw ,
“ Siapa saja yang khawatir tidak bisa bangun pada akhir malam, maka lakukanlah
shalat witir pada awal malam”[19]
Siapa saja yang melakukan shalat witir diawal malam, lantas
melakukan shalat Tahajud maka baiknya, menurut Hanabilah untuk melakukannya dua
rakaaat-dua rakaat tanpa mengurangi shalat witirnya. Artinya
jika ia terbangun pada malam hari dan sudah melakukan witir sebelum tidur, maka
baiknya melakukan shalat satu rakaat untuk menggenapkan witirnya yang pertama.
Kemudian baru shalat tahajud dan diakhiri dengan shalat witir lagi karena
Rasulullah saw. Bersabda , “ jadikanlah akhir shalat kalian untuk shalat
witir.” Pendapat ini dengan pendapat mayotitas ulama.
Bacaan Dalam Shalat Witir
Membaca
surah dalam tiap rakaat shalat witir hukumnya wajib menurut Hanafiyah dan
menurut mereka, mandub membaca surah al- A’laa pada rakaat pertama, membaca
surah al- kafiruun pada rakaat kedua, dan membaca surah al-ikhlaash pada rakaat
ketiga.
Menurut
madzhab Malikiyah, mandub membaca surah al-ikhlash dan surah al- Mu’awwidzatain
stelah surah al-Faatihah pada satu rakaat shalat witir, sedangkan dalam shalat
syaf (genap) membaca surah al-A’laa pada rakaat pertama, dan surah al-kafiruun
pada rakaat kedua setelah surat al-faatihah. Mengucapkan salam setelah dua
rakaat.
Menurut
Syafi’iyyah, sunnah hukumnya bagi orang yang melakukan shalat witir tiga
rakaat, setelah surah al-faatihah untuk membaca surah al-a’laa pada rakaat
pertama, surah al-Kaafiruun pada rakaat kedua, dan pada rakaat ketiga membaca
surah al-Ikhlaash dan surah al-Mu’awwidzatain [surah al-Falaq dan surah
an-Naas]. Sebaiknya bagi orang yang melakukan shalat Witir lebih dari tiga
rakaat untuk membaca surah-surah di atas juga.
Menurut
Hanabilah, dalam shalat Witir sunnahnya cukup dengan membaca surah al-Ikhlaash
saja setelah al-Faatihah. Dalilnya hadits riwayat Ubay bin Ka’ab yang telah
lewat di atas. Mereka berpendapat bahwa hadits riwayat Sayyidah Aisyah yang
digunakan hujjah kurang kuat, karena dalam sanadnya terdapat Yahya bin Ayyub
yang tergolong dhaif.
DOA QUNUT DALAM SHALAT WITIR
Ulama
Hanafiyyah dan Hanabilah berkata,[20]doa
Qunut dalam shalat Witir dibaca sepanjang tahun, tidak hanya pada waktu bulan
Ramadhan saja. Hanya saja ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa doa Qunut itu
dibaca pada rakaat ketiga sebelum ruku’, karena Rasulullah saw.juga membaca doa
Qunut sebelum ruku’.[21]
Imam Ali meriwayatkan dari Nabi saw.bahwa beliau jika hendak membaca doa Qunut
memulainya dengan bertakbir terlebih dahulu. Pendapat ini sama dengan pendapat
Malikiyyah, namun bukan pada shalat Witir, melainkan pada shalat Subuh.
Ulama
Hanabilah berkata, “Doa Qunut dibaca setelah ruku’ karena hadits riwayat Muslim
dari Ibnu Mas’ud yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw.membaca doa Qunut
setelah ruku.’” Dikuatkan lagi dengan hadits riwayat Zuhri dari Sa’id dan Abu
Salamah, juga riwayat Abu Hurairah dan
dari Anas bahwa Nabi saw.membaca doa Qunut setelah ruku’. Menurut mereka hadits
riwayat Ubay menjadi perdebatan, sedangkan hadits riwayat Ibnu Mas’ud termasuk matruk.
Doa
Qunut menurut Hanafiyyah adalah doa yang masyhur dari Umar dan putranya, yaitu
doa yang berbunyi, “Allahumma inna
nasta’iinuka wa nastahdiik….” Sebagaimana telah kami tuturkan dalam
pembahasan tentang doa Qunut. Setelah itu membaca shalawat Nabi pada akhir
Qunut menurut pendapat ulama yang memfaftwakannya.
Akan
tetapi, yang lebih utama menurut ulama Hanabilahh adalah doa Qunut yang
berbunyi, اللَّهمَّ اهْدنيْ فيْمنْ هَدَيْتَ namun boleh
menambahkan doa dengan allahumma inna
nasta’iinuka….. Akan tetapi, yang lebih shahih menurut Hanafiyyah adalah
doa iu dibaca secara samar.[22]
Menurut
Hanabilah doa Qunut itu dibaca dengan suara keras bagi imam dan orang yang
shalat munfarid.
Ulama
Syafi’iyyah berkata, “Disunnahkan membaca doa Qunut setelah ruku’ pada akhir
Witir pertengahan kedua bulan Ramadhan. Bacaannya sama dengan doa Qunut shalat
Subuh.
SHALAT TERAWIH
Shalat Tarawih adalah
shalat malam yang dilakukan pada bulan Ramadhan. Dinamakan dengan tarawih yang
berarti istirahat karena terdapat istirahat pada setiap empat raka’at.
Hukum shalat tarawih
Para ulama
sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunnah berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ
إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang melaksanakan Qiyam Ramadhan dengan
iman dan mengharapkan pahala, maka dosa-dosanya yang lalu diampuni oleh
Allah SWT”.
Waktu shalat tarawih
Jumhur ulama
berpendapat bahwa waktu shalat tarawih adalah setelah shalat ‘Isya’ dan sebelum
shalat witir sampai terbit fajar karena inilah yang dilakukan oleh para
sahabat.
Adzan dan Iqamah untuk shalat
tarawih
Para ulama’
sepakat bahwa adzan dan iqamah hanya ada pada shalat lima waktu dan shalat
Jum’at. Adapun shalat-shalat lain, tidak disyari’atkan adzan dan iqamah. Hanya
saja, Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa dianjurkan untuk mengucapkan الصَّلاَةُ جَامِعَةٌ atau yang seumpamanya, berdasarkan qiyas kepada
shalat kusuf ( gerhana ) yang pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW dan
pada waktu itu diserukan : الصَّلاَةُ
جَامِعَةٌ
Jumlah raka’at shalat tarawih
Jumhur ulama’
dari mazhab Hanafi, Mazhab Hanbali, Mazhab Syafi’i dan sebagian ulama’ mazhab
Maliki, dan mazhab Zhahiri berpendapat bahwa shalat tarawih itu 20 raka’at.
Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh imam Malik dari Yazid bin
Ruman dan al-Baihaqi dari Saib bin Yazid bahwa Sshalat tarawih dilaksanakan
secara berjama’ah dengan 20 raka’at.
al-Dasuki berkata : “Inilah
yang diamalkan oleh para sahabat dan tabi’in”.
Ibnu ‘Abidin berkata : “Inilah
yang diamalkan di timur dan di barat.
Ulama’ mazhab maliki berpendapat
bahwa shalat tarawih boleh dilakukan 20, 36, atau 39 raka’at. sebagian
ulama’ , di antaranya al-Shan’ani, berpendapat bahwa shalat tarawih itu 8
raka’at.
Istirahat dalam shalat tarawih
Para ulama’ sepakat
bahwa dianjurkan istirahat setiap selesai 4 raka’at, karena inilah yang
diterima dari ulama’-ulama salaf, yaitu mereka lama berdiri dalam shalat
tarawih dan mereka duduk setelah selesai 4 raka’at untuk shalat. Ketika duduk
ini, dianjurkan untuk berzikir, membaca al-Qur’an, dan yang sejenisnya.
Salam dalam shalat tarawih
Jumhur ulama’
berpendapat bahwa shalat tarawih itu dilakukan dengan mengucapkan salam
pada setiap 2 raka’at, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan
Muslim dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :
صَلاَةُ اللَّيْل مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat malam itu
2 raka’at-2raka’at”.
Adapun jika
seseorang shalat tarawih secara sekaligus dengan satu salam, atau 4 raka’at
dengan satu salam, maka menurut ulama’ mazhab Hanafi, shalatnya sah. Ulama’
mazhab Maliki memakruhkannya. Sedangkan ulama’ mazhab Syafi’i menyatakan tidak
sah jika dilakukan dengan sengaja, tetapi jika tidak sengaja, maka shalat
tarawih tersebut menjadi shalat sunnah muthlaq.
Adapun hadits
yang diriwayatkan ‘Aisyah r.a bahwasanya Rasulullah SAW shalat malam 4 raka’at,
kemudian 4 raka’at, kemudian 3 raka’at, tidaklah dapat dijadikan dalil bahwa
beliau melaksanakan 4 raka’at secara sekaligus, karena di dalam hadits tersebut
tidak ada penjelasan apakah 4 raka’at – 4 raka’at tersebut dengan 1 salam atau
dengan 2 salam. Sedangkan di dalam hadits Ibnu Umar, terdapat penegasan
langsung bahwa shalat malam itu 2 raka’at – 2 raka’at. Oleh karena itu, para
ulama’ menafsirkan hadits ‘Aisyah tersebut bahwa Rasulullah SAW shalat 4
raka’at – 4 raka’at dengan dengan 2 kali salam pada setiap 4 raka’at. Lalu,
mengapa disebut 4 – 4, bukan 2 – 2 ? Jawabnya adalah karena Rasulullah SAW
beristirahat cukup lama pada setiap 4 raka’at.
Berjama’ah dalam shalat tarawih
Shalat
tarawih boleh dilakukan secara berjama’ah dan boleh juga dilaksanakan sendiri,
Tetapi yang afdhalnya adalah dilakukan secara berjama’ah berdasarkan apa yang
pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW, pada masa sahabat, dan inilah yang
berlangsung hingga sekarang.
IDUL
FITRI DAN IDUL ADHA
Pengertian
‘Id berasal dari kata ‘ada ya’udu
yang berarti kembali. Dikatakan demikian karena sepertinya seseorang kembali
kepada ilahnya. Ada juga yang mengatakan, ‘Id diambil dari kata Al-‘adah
(kebiasaan) karena mereka membiasakan diri untuk merayakan. Bentuk jamaknya
adalah ‘ayaad. Ibnu Al-A’rabi berpendapat, disebut ‘Id karena ia datang setiap
tahun dengan kegembiraan yang senantiasa diperbarui[23].
Menurut istilah, kata Al-‘Id berarti hari perkumpulan untuk memperingati kebahagiaan
atau salah satu dari dua ‘Id, Idul Fitri dan Idul Adha[24].
Dasar
Hukum Shalat Id
Dasar hukum shalat ‘Id ini diambil
dari al-Qur’an, sunah dan ijma’. Dasar hukum yang diambil dari al-Qur’an
sebagaimana firman Allah SWT
فصل لربك وانحر
“Dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah” (QS. Al-Kautsar
108: 2)
Dasar hukum sunah diambil dari
riwayat yang telah ditetapkan secara mutawatir bahwa Rosulullah saw melakukan
shalat Idul Fitri dan Idul Adha[25].
Ibnu Abbas meriwayatkan, Aku pernah menghadiri shalat ‘Id bersama Rosulullah
saw, Abu Bakar, Umar dan Ustman. Masing-masing mereka melaksanakan shalat
sebelum khutbah, sedangkan dasar hukum ijma’ diambil dari kesepakatan kaum
muslimin untuk mengerjakan shalat Idul Fitri dan Idul Adha.
Hukum
Shalat ‘Id
Hukum shalat ‘Id yaitu fardhu ‘ain
sebagaimana firman Allah, “Dirikanlahshalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah (QS.
Al-Kautsar 108: 2)
Ummu Athiya meriwayatkan, Nabi pernah memerintahkan kami,
para remaja putri dan para gadis pingitan untuk pergi ke tempat pelaksanaan
shalat ‘Id, beliau juga memerintahkan para wanita yang sedang haid untuk keluar
namun memisahkan diri dari tempat shalat kaum muslimin.
Kewajiban shalat ‘Id diperkuat oleh
kenyataan bahwa Rosulullah saw selalu melaksanakannya. Di dalam sejarah
disebutkan bahwa beliau melaksanakan
shalat ‘Id pertama kali pada saat Idul Fitri tahun ke-2 H. setelah itu, beliau
selalu melaksanakan shalat ‘Id sampai akhir hayatnya. Allah senantiasa
melimpahkan anugerah dan ketentraman baginya, para khalifah setelah beliaupun
juga selalu melaksanakannya, shalat ‘Id menjadi satu syi’ar agama yang paling
tampak, kenyataannya-kenyataan demikian itulah yang menjadi dasar bahwa shalat
‘Id itu wajib.
Sebagian Ulama berpendapat bahwa
shalat ‘Id fardu ‘ain sebagaimana shalat jum’at. Dengan demikian, laki-laki
yang mukallaf, merdeka dan menetap tidak boleh meninggalkannya. Bagi wanita,
disunahkan menghadirinya dengan mengenekan hijab, menutup aurat serta tidak
memakai wangi-wangian.
Waktu
Pelaksanaan Shalat ‘Id
Waktu pelaksanaannya dimulai sejak
meningginya matahari sekitar satu tombak. Sementara itu, akhir waktu shalat ‘Id
adalah ketika matahari sudah tergelincir dari kulminasinya (zawal). Ibnu
Qodamah berpendapat, waktu pelaksanaan shalat ‘Id adalah ketika matahari naik
dan berakhir pada waktu zawal. Jika waktu hari raya tidak diketahui kecuali
setelah waktu zawal, hendaklah imam
berangkat pada keesokan harinya dan shalat bersama para jamaah[26].
Dasarnya adalah hadist Abu Umair bin Anas dari sahabat anshar yang menyatakan ,
“ kami pernah mengalami kesulitan untuk melihat hilal bulan syawal sehingga
pada pagi harinya kami tetap berpuasa, kemudian ada beberapa orang pengendara
datang pada akhir siang memberikan kesaksian kepada Nabi bahwa kemarin petang
mereka telah melihat hilal. Akhirnya Rosulullah memerintahkan pada kami berbuka
pada saat itu dan berangkat ke tempat shalat ‘Id pada keesokan harinya.
Aisyah ra meriwayatkan sabda Rosulullah saw
ا
لفطر يوم يفطر ا لنا س والآضحى يوم يضحي ا لنا س
“Idul Fitri adalah hari saatnya orang-orang
berbuka dan Idul Adha adalah saatnya orang-orang berkurban”
Yang afdhal adalah menyegerakan shalat Idul Adha, yakni ketika
matahari sudah naik kira-kira setinggi tombak dan mengakhirkan shalat Idul
Fitri yakni ketika matahari sudah naik kira-kira setinggi dua tombak[27].
Setiap hari raya memiliki fungsi
masing-masing. Ketika Idul Fitri zakat fitrah dikeluarkan sebelum shalat,
sedangkan ketika Idul Adha penyembelihan kurban dilaksanakan setelah shalat.
Pengakhiran waktu shalat Idul fitri dan penyegeraan shalat Idul Adha itu
bermaksud untuk memberi keleluasan bagi pemenuhan tugas masing-masing.
Mengenai hikmah penyegeraan shalat
Idul Adha dan pengakhiran waktu shalat Idul Fitri, Ibnu Utsaimin menyatakan
bahwa pada hari raya Idul Fitri orang-orang memerlukan perluasan waktu untuk
mengeluarkan zakat fitrah. Sebab, waktu terbaik untuk mengeluarkan zakat fitrah
adalah pada pagi hari sebelum pelaksanaan shalat ‘Id. Ini berdasarkan hadist
Ibnu Umar yang mengatakan, zakat fitrah itu diperintahkan supaya diberikan
sebelum orang-orang berangkat ke tempat pelaksanaan shalat. Dengan demikian,
ketika waktu shalat diakhirkan, maka waktu pelaksanaan zakat akan semakin lama.
Adapun shalat Idul Adha, umat islam disyariatkan untuk segera berkurban. Sebab,
berkurban merupakan salah satu syiar islam. Sebagaimana firman Allah.
فصل
لر بك و انحر
“Dirikanlah
shalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah” (QS.al-Kautsar 108: 2)
Allah juga berfirman,
قل
إ ن صلا تى ونسكى ومحياى ومما تى لله رب العا لمين
“katakanlah sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Allah semesta alam”
(QS. al-An’am 6:162)
Dengan demikian, menyegerakan pelaksanaan kurban pada Idul Adha itu
lebih utama. Hal itu bisa terwujud dengan dipercepatnya pelaksanaan shalat.
Sebab, hewan kurban tidak bisa disembelih sebelum pelaksanaan shalat “Id.
Sifat
Shalat ‘Id
Ketika shalat, seorang imam
disunahkan menghadap sutrah (pembatas). Dasarnya adalah hadist Ibnu Umar,
ketika Rosulullah hendak melaksanakan shalat Idul Fitri, beliau memerintahkan
agar dihadapannya ditancapkan tombak, lalu beliau shalat dengan menghadap
ketombak tersebut dan para jamaah bermakmum dibelakangnya.
Para Ulama tidak berbeda pendapat
mengenai jumlah rakaat shalat ‘Id, yaitu dua rakaat. Sumber yang mutawatir
menunjukkan bahwa Nabi melaksanakan shalat ‘Id dua rakaat. Para imam setelah
beliau sampai sekarang masih mengerjakannya (jumlah rakaat yang sama). Tidak
ada seorangpun yang melaksanakannya dengan jumlah berbeda dan tidak ada satupun
yang menentangnya.
Umar bin Khattab berkata, shalat
jum’at itu dua rakaat, shalat Idul Fitri dua rakaat, shalat Idul Adha dua
rakaat, shalat safar dua rakaat juga dua rakaat, dilakukan secara lengkap bukan
karena diqhasar. Ini disampaikan melalui lisan Nabi kalian, Muhammad.
Shalat ‘Id itu dikerjakan sebelum
khutbah, membaca takbiratul ihram pada rakaat pertama, diikuti bacaan do’a
iftitah, kemudian bertakbir enam kali. Sebagaimana hadist Abdullah bin Amr bin
‘Ash yang menyampaikan sabda Nabi saw:
التكبير
في الفطر: سبع في الأولى و خمس في الاخرة و القراءة بعد هما كلتيهما
“ Takbir dalam shalat Idul Fitri itu tujuh
kalipada rakaat pertama, dan lima kali pada rakaat terakhir, serta membaca
bacaan setelah takbir-takbir itu pada masing-masing rakaatnya.
Syaikh Imam Abdul aziz bin Abdullah bin Baz berkata, “ Ketujuh
takbir itu sudah termasuk takbiratul ihram, sedangkan pada rakaat kedua
dilakukan takbir lima kali, tidak termasuk takbir intiqal (takbir
pindahan).Selanjutnya membaca ta’awudz, diikuti dengan surat al-Fatihah dan surat
qaf atau surat al-A’la, kemudian menyempurnakan satu rakaat lalu berdiri dari
rakaat pertama sambil bertakbir, kemudian bertakbir lima kali setelah berdiri
sempurna. Pada rakaat kedua membaca surat al-Fatihah dan surat al-Qamar atau
al-ghasiyah.
Ibnu al-Qayyim mengatakan,
Rosulullah biasa memulai shalat sebelum khutbah, beliau mengerjakan shalat dua
rakaat. Pada rakaat pertama, beliau membaca takbir tujuh kali secara
berturut-turut setelah takbir pembuka dengan berdiam sejenak diantara setiap
takbir. Tidak ada keterangan dari beliau mengenai mengenai dzikir diantara
takbir-takbir. Tapi, Ibnu Mas’ud berkata, memanjatkan pujian kepada Allah dan
memberikan sanjungan kepada-Nya serta bershalawat kepada Nabi
Khutbah
Shalat ‘Id
Khutbah ‘Id ini dilaksanaka nsetelah
shalat. Setelah imam mengucapkan salam, dia langsung berdiri dan menghadap ke
arah jamaah sambil menyampaikan khutbahnya mengenai permasalahan yang dengan
keadaan yang sedang dihadapi saat itu. Saat Idul Fitri, imam hendaknya menyuruh
mereka mengeluarkan zakat fitrah sambil menerangkan kewajiban dan pahalanya,
banyaknya zakat yang harus dikeluarkan, jenisnya, orang yang berkewajiban
mengeluarkannya dan para mustahiq (orang yang berhak menerimanya). Selain itu,
imam juga menerangkan bahwa zakat seseorang itu hanya bisa diterima jika
dikeluarkan sebelum shalat ‘Id. Jika seseorang mengeluarkannya setelah shalat
‘Id berarti dia hanya mengeluarkan sedekah biasa.
Pada Idul Adha, sebaiknya imam
menyampaikan tentang kurban dan keutamaannya. Imam hendaknya juga menerangkan
bahwa hukum berkurban itu sunah muakad. Selain itu, dianjurkan menjelaskan
proses pelaksanaan kurban, waktu berkurban, cara menyembelih, beebrapa cacat
yang tidak boleh pada hewan kurban serta apa yang diucapkan seorang muslim pada
saat menyembelihnya.
Khutbah ‘Id itu dimulai dengan
memanjatkan pujian. Ibnu al-Qayyim mengatakan, Rosulullah biasa memulai seluruh
khutbah dengan ucapan “Alhamdulillah”. Belum ditemukan satu hadistpun yang
menyebutkan bahwa beliau membuka khutbah ‘Id dengan takbir. Nabi telah memberi
keringanan kepada orang-orang yang menghadiri shalat ‘Id untuk duduk
mendengarkan khutbah atau pergi meninggalkannya. Ini sesuai dengan hadist
Abdullah bin Sa’ib yang meriwayatkan, aku pernah menghadiri shalat ‘Id bersama
Rasulullah seusai shalat beliau bersabda :
انا
نخطب فمن احب أن يجلس للخطبة فليجلس و من احب أن يذهب فليذهب
“Aku akan memberi khutbah. bagi yang berkenan duduk untuk mendengar
khutbah, duduklah. Bagi yang ingin pergi, silahkan pergi”
Hari
Raya pada Hari Jum’at
Jika hari raya bertepatan dengan
hari jum’at, maka seorang imam harus menghadiri shalat jum’at bersama beberapa
orang yang hendak mengerjakannya. Para ulama berselisih pendapat mengaenai
shalat Idul Fitri dan Idul Adha, apakah hukumnya wajib atau sunnah?. Menurut
Imam Hanafi kedua shalat ‘Id itu hukumnya fardhu ‘ain dengan syarat-syarat yang
ada pada shalat jum’at. Jika
syarat-syarat tersebut atau sebagian dari padanya tidak terpenuhi, maka
kewajiban tersebut menjadi gugur. Menurut Imam Hambali: hukumnya fardhu
kifayah, menurut Imam Syafi’I dan Imam Malik hukumnya sunnah mu’akadah.
Tentang tata cara shalat, menurut Imam Malik yaitu :
1.
Niat
2.
Mengucapkan takbiratul ihram
3.
Mengucapakan puji takbir tiga kali yang diselingi dengan diam
sejenak sekedar membaca tiga kali takbir atau membaca subhanallah wal
hamdulillah wala ilaha illallah wallahu akbar
4.
Membaca alfatihah dan salah satu surat
5.
Ruku’ kemudian sujud
6.
Pada rakaat kedua memulai dengan membaca alfatihah dan salah satu
surat kemudian meneruskan shalat ituseperti biasa.
Menurut Imam Hambali, yaitu :
1.
Membaca do’a iftitah
2.
Mengucapkan takbir enam kali yang
diantara tiap-tiap dua takbir mengucapkan
الله اكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحا ن الله بكرة واصيلا وصلى الله
على محمد و اله وسلم تسليما
3.
Membaca al-Fatihah dan surat al-A’la
4.
Pada rakaat kedua mengucapkan takbir lima kali selain ucapan takbir
untuk bangkit ke rakaat kedua yang diantara tiap-tiap takbir membaca bacaan
yang sama dengan rakaat pertama
5.
Membaca al-Fatihah dan surat al-Ghosiyah sampai sempurnanya rakaat
kedua
Menurut Imam Hanafi, yaitu :
1.
Niat kemudian takbiratul ihram
2.
Mengucapakan puji syukur tiga kali yang diselingi dengan diam
sejenak sekadar tiga kali takbir atau boleh membaca
سبحا ن ا لله و الحمد لله و لا اله الا الله و الله اكبر
3.
Membaca alfatihah dan salah satu
surat
4.
Pada rakaat kedua memulai dengan membaaca al-Fatihah dan salah satusurat kemudian mengucapakan takbir tiga
kali lalu menyempurnakan shalat hingga selesai
Menurut Imam Syafi’I, yaitu :
1.
Mengucapkan takbiratul ihram kemudian membaca al-Fatihah
2.
Mengucapkan takbir tujuh kali yang diantara tiap-tiap dua takbir
diselingi ucapan
سبحا ن ا لله و الحمد لله و لا اله الا الله و الله اكبر
3.
Membaca al-Fatihah dan surat Qaf
4.
Ketika bangkit dari rakaat
kedua dimulai dengan mengucapkan takbir yang kemudian ditambah takbir lima kali
yang diantara dua takbir diselingi dengan ucapan yang sama seperti rakaat
pertama
5.
Diteruskan dengan membaca al-Fatihah dan surat al-anbiya serta
menyempurnakan shalat hingga selesai
Menurut Imam Malik, yaitu :
1.
Mengucapakan takbiratul ihram dilanjutkan dengan ucapan takbir enam
kali
2.
Membaca surat al-fatihah dan surat al-A’la kemudian ruku dan sujud
3.
Ketika rakaat kedua sambil mengucapkan takbir ditambah dengan lima
takbir sesudahnya
Hikmah aturan syari’at ini antara lain:
a. Menyelisihi
Ahlul kitab, yang tidak mau makan pada hari raya mereka sampai mereka pulang.
b.Untuk
menampakkan perbedaan dengan Ramadhan.
c. Karena
sunnahnya Shalat Idul Fitri lebih siang (dibanding Idul Adha) sehingga makan
sebelum shalat lebih menenangkan jiwa. Berbeda dengan Shalat Idul Adha, yang
sunnah adalah segera dilaksanakan.
SHALAT
ISTISQA’
Pengertian
Istisqa’
Istisqa’ berarti meminta hujan.
Mengenai kata ini, Ibnu M anzhur menjelaskan, kata istisqa’ yang terdapat dalam hadist berarti meminta
hujan. Maksudnya, meminta hujan untuk daerah yang gersang dan oran-orang yang
membutuhkannya.
Namun dalam istilah ulama fiqh,
maksud shalat istisqa’ berarti meminta hujan kepada Allah saat terjadi
kekeringan panjang.
Sebagaimana firman Allah
وا ذ استسقى مو سى لقو مه
“Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya” (QS
Al-baqarah: 60)
Hukum
Shalat Istisqa’
Hukum shalat istisqa’ adalah sunah
muakad jika terjadi kekeringan yang sangat panjang. Mengenai hukum shalat
istisqa’ ini, Ibnu Qudamah menjelaskan shalat istisqa’ hukumnya sunah muakad.
Hal ini sebagaimana yang berlaku dalam sunah Nabi dan Khulafaur Rasyidin.
Macam-macam
istisqa’ ( meminta hujan)
Meminta hujan dengan cara mendirikan
shalat, baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri, adapun tata cara shalatnya sudah cukup jelas sebagaimana yang dilakukan
Nabi dan banyak terdapat dalam jumlah hadist shahih. Mengenai cara yang pertama
ini, para ulama menyepakatinya.
Khatib shalat jum’at meminta hujan
saat dia tengah berkhutbah, cara ini pernah dilakukan Nabi dan banyak riwayat
yang menyebutkannya, meminta hujan dengan cara seperti ini hukumnya sunah dan sering
dilakukan oleh kaum muslimin.
Anas bin Malik menuturkan, pada masa
Rosulullah terjadi kekeringan yang cukup lama, kemudian saat Nabi berkhutbah
jum’at, seorang badui berkata, Rosulullah harta kami telah ludes dan keluarga
kami kelaparan. Karena itu, do’akanlah kami. Rosulullah lalu mengangkat kedua
tangannya dan berdo’a
ا للهم أغثنا, اللهم أغثنا, ا للهم أغثنا,
“Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah
hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami”
Ketika itu, kami melihat di langit
ada mendung, ketika mendung tersebut telah merata hujanpun turun. Demi Allah,
kami tidak melihat matahari selama sepekan. Berdo’a selepas shalat, mengenai
cara meminta hujan dengan hanya berdoa tanpa shalat ini para ulama tidak
mempermasalahkannya.
Etika istisqa’ (meminta hujan).
1.
Berlindung kepada Allah dan shalat istisqa’
2.
Khatib menasihati jamaah untuk bertakwa kepada Allah. Suatu kali
khalifah Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada Maimun bin Mahran, melalui
surat tersebut dia mengatakan, saya memerintahkan kepada setiap penduduk untuk
keluar rumah dan berkumpul pada hari dan bulan ini untuk meminta hujan.siapa
saja yang mampu untuk bersedekah dan berpuasa, hendaklah dia melakukannya.
Allah telah berfirman :
قد افلح من تز
كى , و ذكر ا سم ربه فصلى
Artinya: sungguh beruntung orang
yang menyucikan diri (dengan beriman),
dan mengingat nama Rabbnya lalu dia shalat.
3.
Seorang imam menentukan waktu berkumpul. Hal ini berdasarkan hadist
Aisyah yang menuturkan, para sahabat
pernah mengadu kepada Rosulullah tentang paceklik, beliau lalu memerintahkan
agar dibuatkan mimbar, setelah mimbar diletakkan di tempat shalat, beliau
menentukan waktu kepada mereka untuk berkumpul di tempat tersebut.
4.
Waktu yang tepat untuk shalat istisqa’. Waktu yang paling utama
untuk melaksanakan shalat istisqa’ adalah waktu yang sesuai dengan pelaksanaan
shalat ‘Id. Namun shalat istisqa’ tidak memiliki waktu khusus, sehingga dapat
dilaksanakan kapan saja.
5.
Shalat istisqa’ dilaksanakan di tanah lapang. Abdullah bin Zaid
al-Mazini mengungkapkan, suatu kali Rosulullah menuju tanah laapang untuk
meminta hujan, lalu beliau menghadap kiblat dan membelakangi para jamaah, lalu
beliau berdo’a kepada Allah dan membalikkan selendangnya saat menghadap kiblat
laalu melaksanakan shalat dua rakaat dengan membaca surat al-Qur’an.
6.
Seluruh jamaah keluar dengan sikap tawadhu’, merasa hina dan sangat
khusyu’. Cara ini sesuai dengan hadist riwayat Ibnu Abbas dari Ishaq bin
Abdullah bin Kinanah yang mengatakan, saya diutus oleh al-Walid bin Uqbah
(gubernur madinah) untuk menemui Ibnu Abbas, saya diminta untuk bertanya
kepadanya tentang tata cara shalat yang dilakukan Rosulullah. Lalu Ibnu bbas
bertanya, kenapa ia tidak bertanya langsung kepada saya? Selanjutnya Ibnu Abbas
mengungkapkan, Rosulullah keluar dengan sikap tawadhu’ serta penuh khusyu’
hingga beliau sampai ke tanah lapang. Beliau tidak berkhutbah sebagaimana yang
biasa kalian lakukan, tetapi beliau senantiasa berdo’a, merendahkan diri dan
bertakbir kepada Allah kemudian Nabi melaksanakan shalat dua rakaat sebagaimana
shalat ‘Id.
7.
Anak-anak dan wanita juga boleh ikut shalat istisqa’. Ibnu Qudamah
menjelaskan, semua orang disunahkan untuk shalat istisqa’, apalagi orang-orang
yang mempunyai utang, menutup aurat, mempunyai hajat dan usia lanjut itu lebih
disunahkan, sebab dengan begitu do’a mereka cepat dikabulkan. Para wanita yang
telah lanjut usia dan yang berpenampilan kurang menarik boleh ikut shalat,
adapun para wanita yang berpenampilan menarik tidak dianjurkan untuk ikut
shalat, sebab ketika mereka ikut, kemudharatan yang timbul itu lebih besar
daripada kemaslahatannya. Selain itmembawa binatang ternak juga tidak
dianjurkan sebab Nabi tidak pernah melakukannya.
8.
Shalat istisqa’ tidak perlu adzan dan iqamah. Haritsah bin
Mudzribal-Abdi mengatakan, suatu hari kami keluar rumah menuju tanah lapang
bersama Abu Musa, ketika itu kami ingin meminta hujan lalu shalat dua rakaat
tanpa mengumandangkan adzan dan iqamah.
Cara
Shalat Istisqa’
Cara
shalat istisqa’ itu seperti shalat Id, ketentuan ini berdasarkanhadist
riwayat Ibnu Abbasyang menuturkan, Rosulullah keluar secara tawadhu’, memakai
pakaian sederhana, khusyu’, berjalan perlahan dan berendah diri hingga sampai
ke tanah lapang. Beliau tidak berkhutbah, senantiasa berdo’a, berendah diri dan
bertakbir. Kemudian beliau shalat dua rakaat sebagaimana dalam shalat ‘Id.
Hadist di atas menegaskan pendpat
jumhur ulama bahwa pelaksanaan shalat istisqa’ itu seperti shalat ‘Id, baik
dalam bilangan rakaat, bacaan surah secara jahr, bilangan takbir dan khutbah
yang dilaksanakanselepas shalat. Hanya saja tidak ada waktu khusus bagi shalat
istisqa’, yang penting shalat ini tidak dilaksanakan pada waktu yang terlarang
untuk shalat, inilah pendapat jumhur ulama. Namun shalat istisqa’ akan lebih
baik jika dilaksanakan pada waktu yang sama dengan pelaksanaan shalat ‘Id.
Tata
cara shalat istisqa’
Ulama telah bersepakat bahwa jumlah rakaat dalam shalat istisqa’ sama
dengan shalat Id, demikian pendapat semua madzhab selain madzhab maliki dan
hambali, mereka mengatakaan shalat istisqa’ sama sperti shalat Id hanya saja
tidak ditambah takbirnya.Sedangkan do’a yang dibaca oleh khatib, keempat
madzhab tersebut bersepakat bahwa do’a yang dibaca khatib diucapkan seseudah
shalat dan ditengah-tengah khutbah bukan di dalam shalat.
Hikmah shalat istisqa’ ada empat, antara lain:
1.
Shalat
istisqa merupakan bentuk ittiba’ (mengikuti dengan penuh kesadaran hati) akan
sunah Nabi SAW. Melalui shalat istisqa, kita diajarkan untuk memohon langsung
kepada Allah SWT.
2.
Shalat
istisqa merupakan realisasi pembuktian iman terhadap kemahabesaran dan
kemurahan Allah melalui doa. Melalui shalat istisqa kita dididik untuk meyakini
sepenuh hati bahwa Allah itu mendengar keluh kesah dan kesulitan kita. (QS
Al-Baqarah [2]: 186).
3.
Shalat
istisqa mendidik kita semua untuk memperbanyak zikir kepada Allah, beristighfar
atas segala dosa, sekaligus bertawakal kepada-Nya setelah mengoptimalkan usaha.
Dengan shalat istisqa, kita mengharapkan kemurahan dan kemahakuasaan Allah
dalam menurunkan hujan.
4.
Shalat
istisqa mendidik kita untuk bersabar dan tidak mudah berputus asa. Kelima,
shalat istisqa juga merupakan pembuka pintu rahmat dari Allah SWT. Rahmat
berupa air hujan yang kita mohonkan itu bukan hanya untuk keperluan hidup
manusia, melainkan juga untuk binatang dan makhluk lainnya[29].
Shalat Gerhana
Pengertian Sholat Gerhana
Shalat Gerhana adalah shalat sunnat
2 rakaat yang dikerjakan ketika terjadi gerhana matahari atau gerhana
bulan.Bila terjadi Matahari maka shalat yang dikerjakan disebut SHALAT KUSUF.
dan bila terjadi gerhana bulan maka sholat yang dikerjakan disdebut dengan
SHALAT KHUSUF. Shalat 2 Gerhana ini disebut juga shalat KUSUFAIN, dan di
sunnahkan di dalam masjid, tanpa harus diawali dengan adzan dan iqamat, Hanya
panggilan “Al-Shalatul Jami’ah.”
Sejarah Shalat Gerahana
Shalat gerhana pertama kali dilakukan sewaktu Ibrahim, anak
laki-laki Rasulullah, wafat.Dan kebetulan, meninggalnya Ibrahim bersamaan
dengan fenomena alam gerhana matahari. Hari itu adalah hari yang menyedihkan
untuk Rasulullah Muhammad SAW, sehingga beliau berdoa pada Allah sewaktu
matahari-bulan-bumi berada persis pada satu garis edar.Rasulullah waktu itu
bersabda bahwa dua gerhana (matahari dan bulan) dan kematian orang yang
dicintai, adalah tanda kekuasaan Allah. Jadi beliau waktu itu memerintahkan
umatnya untuk melakukan shalat setiap kali terjadi gerhana, sebagai wujud
ketundukkan manusia pada kebesaran Tuhan.
Dalil Yang Berkenaan Dengan Shalat
Gerhana
Dari hadist yang diriwayatkan Bukhari Muslim dengan sanad
yang shahih : “Telah terjadi gerhana Matahari pada hari wafatnya Ibrahim putra
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Berkatalah manusia: Telah terjadi
gerhana Matahari karana wafatnya Ibrahim. Maka bersabdalah Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam “Bahwasanya Matahari dan bulan adalah dua tanda
dari tanda-tanda kebesaran Allah. Allah mempertakutkan hamba-hambaNya dengan
keduanya. Matahari gerhana, bukanlah kerana matinya seseorang atau lahirnya.
Maka apabila kamu melihat yang demikian, maka hendaklah kamu salat dan berdoa
sehingga selesai gerhana.” (HR. Bukhari & Muslim).
Hukum Sholat Gerhana dan Waktu
Pelaksanaan Shalat Gerhana
Waktu Pelaksanaan shalat gerhana dimulai sejak terjadinya
gerhana hingga berakhirnya gerhana. Hukum Sholat Gerhana adalah Sunnat Muakkad
Tata
Cara Mengerjakan Shalat Gerhana
Shalat gerhana dilakukan sebanyak 2 rakaat, dengan 2 ruku’
di tiap rakaatnya, sangat berbeda sekali dengan shalat lainnya, dalam shalat
gerhana terdapat 2 kali rukuk pada setiap rakaatnya.Tata cara pelaksanaan
shalat gerhana adalah sebagai berikut:
1.
Niat dalam hati untuk melaksanakan sholat gerhana, bacaan niatnya adalah
sebagai berikutBaca’an niat shalat gerhana matahariUsholli Sunnatal Kusuufi
Rak’ataini (Imaaman/Makmuuman)Lillahi Ta’aala, Baca’an niat shalat gerhana
BulanUsholli Sunnatal Khusuufi Rak’ataini (Imaaman/Makmuuman) Lillahi Ta’aala
2.
Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.
3.
Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al Fatihah dan
membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah) sambil dijaherkan
(dikeraskan suaranya, bukan lirih).
4.
Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.
5.
Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN
HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’
6.
Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca
surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat
dari yang pertama.
7.
Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’
sebelumnya.
8.
Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).
9.
Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua
sujud kemudian sujud kembali.
10.
Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at
pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.
11.
Salam.
12.
Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jama’ah yang berisi anjuran
untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak.
[1]Ar-Rawatib berarti yang terus-menerus (rutin) dan
berkelanjutan. Lihat, asy-Syarh al-Mumti’, jilid IV, hlm. 93.
[2] Syarh an-Nawawi ala Shahih Muslim, jilid V,hlm. 229.
[3] Majmu Fatawa al-Imam ‘Abd al-Aziz bin ‘Abdullah Ibn Baz, jilid XI,
hlm. 399.
[4] Mutafaq ‘alaih: al-Bukhari, no. 1981 ; Muslim, no. 721.
[5] Abu Dawud, Kitab at-Tathawwu’, bab Shalah adh-Dhuha, no. 1289,
[6] At-Tirmidzi, Kitab al-Witr, bab Ma Ja’a fi Shalah adh-Dhuha, no.
475.
[7]Yuzni A.Ghazali, Mukjizat Shalat Tahajjud, Subuh,
Dhuha, Hajat, dan Istikharah, hal.320
[8] Ibid
[9] HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi.
[10] HR al-Hakim dan Ahmad dari Ibnu Abbas, Imam adz-Dzahabi berkata,
“Imam al-Hakim memilih diam dan tidak mengomentari hadits ini. Hadits ini
gharib munkar.” (Nashbur Raayah, Vol.
2, hlm. 115)
[11] HR Ahmad.
[12] Muttafaq ‘alaih. Hadits yang senada terdapat dalam Shahih Bukhari
dan Shahih Muslim dari riwayat Mu’adz yang berbunyi, “Allah telah mewajibkan
kepada kalian shalat lima waktu dalam sehari semalam.” (Nashbur Raayah, Vol. 2, hlm. 114)
[13] HR Abu Dawud dan Ahmad.
[14] HR Ahmad dan dianggap hasan oleh Imam at-Tirmidzi.
[15]Muttafaq ‘alaih.
[16] HR Abu Dawud, an-Nasa’I, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hiban, dan
al-Hakim(Nashbur Raayah, Vol.2, hlm.
112)
[17] Muttafaq ‘alaih
[18] Lihat al-Mughnii, Vol. 2, hlm. 159.
[19] HR Bukhari dan Muslim dari ibnu umar (Nashbur Raayah, Vol. 2,
hlm.145)
[20] HR para pemilik kitab empat Sunan dan Ibnu Hibban dalam
Shahihnya (Nashbur Raayah, Vol. 2, hlm. 118).
[22]Muttafaq alaih
[23] Sa’id bin Ali bin Wahaf Al-Qhathani, panduan shalat sunnah dan
shalat khusus, hlm 371, almahira
[26]Ibid, hlm 406
[27]Ibid, hlm 407
[28]Muhammad Jawad Mughniyah, 2001, fiqh lima madzhab, jakarta, PT Lentera
Basritama.
[29]Muhammad Jawad Mughniyah, 2001, fiqh lima madzhab, Jakarta, PT Lentera
Basritama.
No comments:
Post a Comment