Tuesday, February 6, 2018

SHALAT RAWATIB



BAB II
PEMBAHASAN
SHALAT RAWATIB
Shalat sunnah rawatib[1] yang dikerjakan sebelum atau sesudah shalat wajib, yaitu:
·         Shalat Sunnah Muakad yang Dikerjakan sebelum atau sesudah Shalat Wajib
Shalat ini terdiri dari dua belas rakaat. Hal itu didasarkanpada hadits Ummu Habibah yang bercerita bahwa dia pernah mendengar Rasulullah bersabda,
من صلى اثنتي عشرة ركعة فى يومو ليلة بني له بيت فى الجنة
Orang yang mengerjakan shalat dua belas rakaat dalam sehari semalam, pasti dibangun untuknya sebuah rumah disurga.”
Tafsiran hadits di atas terdapat di dalam sunan at-Tirmidzi: hadits Ummu Habibah yang bercerita bahwa rasulullah bersabda,
من صلى فى يوم و ليلة ثنتي عشرة ركعة بني له بيت فى الجنة: أربعا قبل الظهر و ركعتين بعدها و ركعتين بعد المغرب و ركعتين بعد العشاء و ركعتين قبل الفجر
“Orang yang mengerjakan shalat dua belas rakaat dalam sehari semalam, pasti dibangun untuknya sebuah rumah disurga: empat rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah maghrib, dua rakaat setelah sholat isya, dan dua rakaat sebelum shalat subuh.
Aisyah bercerita bahwa rasulullah bersabda,
من ثابر على اثنتي عشرة ركعة من السنة بنى الله له بيتافى الجنة: أربع ركعات قبل الظهر و ركعتين بعدها و ركعتين بعد المغرب و ركعتين بعد العشاء و ركعتين قبل الفجر
"Orang yang berkeinginan keras untuk mengerjakan shalat sunnah dua belas rakaat, allah pasti membangun untuknya sebuah rumah di surga empat rakaat sebelum zhuhuran dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah maghrib, dua rakaat setelah isya, dan dua rakaat sebelum subuh.
Jadi, shalat rawatib, menurut Ummu Habibah dan Aisyah terdiri dari dua belas rakaat, sedangkan menurut Ibnu Umar sepuluh rakaat. Sementara itu, Syaikh Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengatakan bahwa orang yang berpegang pada hadits Ibnu Umar, dia akan mengatakan bahwa shalat rawatib itu ada sepuluh rakaat. Dan yang berpegang pada hadits Aisyah dia akan mengatakan, dua belas rakaat.
Dalam kondisi prima, seorang muslim hendaknya mengerjakan dua belas rakaat. Namun, jika ada kesibukan, dia cukup mengerjakan sepuluh rakaat saja. Semua itu adalah shalatsunnah rawatib. Yang lengkap dan sempurna adalah shalat seperti yang disebutkan di dalam hadits Ummu Habibah dan Aisyah.
·         Shalat Sunnah Muakad dan Ghairu Muakad yang Dikerjakan sebelum atau sesudah Shalat Fardhu
Secara keseluruhan, shalat sunnah ini berjumlah dua puluh rakaat, yaitu:
Pertama, empat rakaat sebelum dan sesudah shalat zhuhur. Kedua, empat rakaat sebelum shalat ashar. Ketiga, dua rakaat sebelum dan sesudah shalat maghrib. Keempat, dua rakaat sebelum dan sesudah shalat isya. Kelima, dua rakaat shalat subuh. Keenam, empat rakaat setelah shalat jum’at.
WAKTU SHALAT SUNNAH RAWATIB
Setiap shalat sunnah yang dikerjakan sebelum shalat wajib, waktunya adalah sejak masuknya waktu shalat wajib itu sampai iqamah dikumandangkan. Sedangkan setiap shalat sunnah yang dikerjakan setelah shalat wajib waktunya adalah sesuai shalat wajib itu sampai keluarnya wakttu shalat tersebut.
PERMASALAHAN YANG DIANGKAT
Meninggalkan Shalat Sunnah Rawatib dan lainnya Ketika Iqamah Shalat Wajib dikumandangkan: Hal itu didasarkan pada hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa nabi bersabda,
إذا أقيمت الصلاة فلا صلاة إلا المكتوبة
“Jika iqamah sudah dikumandangkan maka tidak ada shalat, kecuali shalat wajib.
Hadits di atas menunujukkan bahwa jika iqamah sudah dikumandangkan, seorang muslim tidak boleh mengerjakan shalat sunnah, baik itu shalat sunnah rawtib, seperti shalat sunnah sebelum subuh, maupun lainnya; di dalam masjid maupun diluar masjid; dalam keadaan takut tertinggal rakaat pertama maupun tidak.
Jika terjadi silang pendapat maka hujjah yang harus dirujuk adalah as-Sunnah. Siapa saja yang berpegang padanya berarti dia telah beruntung.[2] Hikmah dari hal tersebut adalah agar ada persiapan untuk mengikuti shalat wajib dari awal pelaksanaannya, yakni memulai shalat setelah imam memulainya. Sebab, jika seseorang menyibukkan diri dengan shalat sunnah, berarti dia akan tertinggal dari takbiratul ihram bersama imam, dan dia juga akan kehilangan beberapa penyempurna shalat wajib. Dengan demikian, shalat wajib lebih pantas untuk dipelihara kesempurnaannya. Hikmah lainnya adalah menaati larangan untuk berbeda dengan imam.
SHALAT DHUHA
Shalat Sunnah Muakad
Shalat dhuha adalah sunah muakad.[3] Sebab, nabi senantiasa mengerjakannya. Selain itu, beliau juga senantiasa membimbing serta berpesan kepada para sahabatnya untuk selalu mengerjakan shalat tersebut. Pesan nabi itu tidak hanya berlaku untuk para sahabat, tapi juga berlaku bagi seluruh umatnya, kecuali ada dalil yang menunjukkan pengkhususan. Hal itu didasarkan pada hadits Abu Hurairah yang bercerita, “kekasihku rasulullah berpesan tiga hal kepadaku (yang tidak akan pernah kutinggalkan sampai aku mati nanti), yaitu puasa tiga hari pada setiap bulan, dua rakaat dhuha, dan shalat witir sebelum tidur.[4] Menurut hadits di atas, imam an-Nawawi berpendapat bahwa hokum shalat dhuha itu adalah sunnah muakad, karena dengan hadits lainnya tidak bertentangan.
KEUTAMAAN SHALAT DHUHA
Keutamaan shalat dhuha ini telah disebutkan dalam haidts-hadits shahih, antara lain sebagai berikut:
·         Hadits Nu’aim bin Hammar yang bercerita bahwa dia pernah mendengar rasulullah bersabda,
يقول الله عزّ وجل: يابن أدم لا تعجزنى من أربع ركعات فى أوّل النهار أكفك اخره
“Allah ‘azza wajalla berfirman: hai anak adam, janganlah engkau lemah untuk mngerjakan empat rakaat pada awal siang, niscaya aku memberikan kecukupan kepadamu pada akhir siang.[5]
·         Hadits Abu Darda’ dan Abu Dzar dari rasulullah bahwa allah berfirman,
يابن أدم اركع لى أربع ركعات من أوّل النهار أكفك اخره
“Hai anak adam, ruku’lah untuk-ku empat rakaat di awal siang, aku pasti mencukupimu di akhir siang.[6]
WAKTU SHALAT DHUHA
Waktu shalat dhuha adalah dari naiknya matahari kira-kira setinggi tombak sampai sebelum berhentinya matahari dipertengahan langit, sebelum zawal. Yang lebih baik, shalat ini dikerjakan setelah matahari terik. Oleh Karen itu, orang yang mengerjakan shalat dhuha setelah matahari naik sekitar satu tombak, itu tidak dilarang. Dan siapa saja yang mengerjakan setelah panas terik sebelum waktunya habis, maka yang demikian itu lebih baik.
SHALAT HAJAT
Disunnahkan bagi orang yang mempunyai hajat atau keperluan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat hajat. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang memiliki suatu keperluan di sisi Allah atau kepada salah seorang manusia, maka hendaklah dia berwudhu dan membaguskan wudhu, kemudian hendaklah melaksanakan shalat 2 rakaat, lalu memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi saw, kemudian berdoa “Tiada Tuhan selain Allah yang maha lembut dan mulia, Maha suci Allah Tuhan pemilik singgasana yang agung, Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, aku memohon pada-Mu sesuatu yang dapat mengundang rahmat-Mu, yang menarik ampunan-Mu, karunia segala kebaikan, dan keselamatan dari segala dosa. Janganlah biarkan padaku suatu dosa kecuali Engkau ampuni, kegelisahan kecuali Engkau lapangkan, dan suatu hajat atau keperluan yang aku sukai kecuali Engkau takdirkan, wahai Tuhan Yang Maha sayang dari segala yang sayang. (HR: Tirmidzi dari Abdullah bin Abu Aufa)
HIKMAH SHALAT HAJAT
1.Mencerahkan pikiran dan jiwa
2.Salah satu cara paling ampuh meminta sesuatu kepada Allah
3.Hidup lebih bermakna serta lebih bijak dan matang dalam bersikap[7]

SHALAT TAHAJJUD (Qiyamul Lail)
Shalat tahajjud adalah shalat sunnah yang istimewa. Di dalam kitab-kitab fiqih, shalat tahajjud adalah salah satu shalat sunnah yang selalu mendapat kupasan pembahasan.
Rasulullah saw. Bersabda, “shalat sunnah yang utama dari shalat fardhu adalah shalat tahajjud” (HR.Abu Daud).
Disunnahkan shalat tahajjud di malam hari, karena Rasulullah saw bersabda, “Hendaklah shalat di malam hari meskipun memeras susu kambing.”(HR: Tabrani)
Shalat tahajjud lebih utama daripada shalat di siang hari. Sabda Rasulullah saw, “Shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam” (HR: Muslim)
Di dalam hadits yang lain ditegaskan, “Shalat tahajjud dapat menghapus dosa, mendatangkan ketenangan dan menghindarkan dari penyakit”.(HR. Tirmidzi)
Disunnahkan pula shalat istikhoroh. Jabir bin Abdullah ra berkata, “Adalah Rasulullah saw mengajarkan kami istikharoh dalam setiap perkara, sebagaimana beliau mengajarkan kami surat dari al-Quran, beliau bersabda, “ Jika seseorang berkeinginan (bingung) terhadap suatu perkara maka hendaklah dia shalat dua rakaat selain shalat fardhu, kemudian berdo’a, “Ya Allah aku memohon pilihan pada-Mu dengan pengetahuan-Mu, dan mohon kesanggupan dengan kekuasaan-Mu, aku memohon dari karunia-Mu yang agung. Karena sesungguhnya Engkau Maha Kuasa dan aku tak kuasa, Engkau mengetahui dan aku tak mengetahui, dan Engkau Maha mengetahui segala yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku untuk agamaku, kehidupanku, kesudahan urusanku, cepat atau lambatnya, maka kuasakanlah ia padaku, mudahkanlah ia untukku lalu berkahilah untukku. Dan jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini buruk bagiku, untuk agamaku, kehidupanku,, dan kesudahan urusanku, cepat atau lambatnya, maka jauhkanlah ia dariku dan jauhkanlah aku darinya. Dan takdirkanlah padaku kebaikan dimanapun, kemudian ridhokanlah aku dengannya. (kemudian sebutkan kebutuhannya)” (HR: Ashab Sunan kecuali Muslim).
SYARAT PELAKSANAAN SHALAT TAHAJJUD
Dalam tata cara shalat tahajjud, shalat tahajjud memiliki syarat untuk sahnya dilakukan. Jika syarat tersebut tidak dilakukan, shalat dilakukan bukalah dinamakan shalat tahajjud. Ada dua syarat bahwa shalat yang dilakukan adalah shalat tahajjud :
1.      Dilakukan di malam hari. Mulai dari masuknya waktu shalat isya’ hingga masuknya waktu shalat shubuh. Adapun dalilnya firman Allah Swt, “Dan pada sebagian malam hari, bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhan-Mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra’ [17]:79)
2.      Harus tidur terlebih dahulu. Adapun dalilnya adalah pernyataan terhadap apa yang dilakukan Abu Bakar dan Umar bin Khattab sebelum shalat tahajjud Abu Bakar melaksanakan shalat tahajjud dengan tidur terlebih dahulu.
Namun sebelum tidur, ia melakukan shalat witir, bangun sepertiga malam lalu shalat tahajjud. Berbeda dengan Umar bin Khattab, ia tidur dahulu. Bangun di sepertiga malam, lalu melaksanakan shalat tahajjud dan ditutup dengan shalat sunnah witir. Rasulullah Saw berkomentar,”yang dilakukan Abu Bakar adalah kehati-hatian, sedangkan yang dilakukan Umar adalah bukti kuatnya.”
Apabila kedua syarat ini dipenuhi, maka pelaksanaan shalat tahajjud baru bisa dilakukan. Inilah syarat sahnya pelaksanaan shalat tahajjud. Shalat sunnah tahajjud minimalnya adalah dua rakaat dan maksimalnya adalah dua belas rakaat. Sementara pelaksanaannya menurut ulama madzhab Syafi’I secara umum adalah setiap dua rakaat salam.
TATA CARA SHALAT TAHAJJUD
Adapun tata cara shalat tahajjud yang dilakukan sama dengan shalat-shalat fardhu atau shalat sunnah lainnya, seperti shalat dhuha, shalat sunnah rawatib dan lain-lain. Ada 11 rukun yang dilakukan menurut imam Syafi’i:
1.      Niat
2.      Takbiratul ihram
3.      Membaca surat al-Fatihah
4.      Ruku’
5.      I’tidal
6.      Sujud
7.      Duduk antara dua sujud
8.      Thuma’ninah
9.      Tasyahud akhir
10.  Membaca shalawat atas nabi saw.
11.  Tertib

HIKMAH SHALAT TAHAJJUD
Sperti yang dikemukakan di awal bahwa shalat tahajjud memberikan kesehatan bagi orang yang melaksanakan. Secara spiritual, orang yang gemar melaksanakan shalat tahajjud akan mendapatkan ketenangan, karena ia dekat dengan Allah SWT.
Sementara itu secara medis, orang yang gemar shalat tahajjud akan sebuh dari beragam penyakit. Didalam sebuah buku yang membahas hikmah shalat tahajjud dijelaskan “Hidup sehat ala Rasulullah saw.” Di jelaskan ihwal gerakan dilakukan shalat tahajjud memberi manfaat yang luar biasa bagi tubuh.
Misalnya, rukuk yang mesti dilakukan dengan keharusan meluruskan tulang belakang dengan di ibaratkan seperti papa yang lurus. Ternyata, penelitian medis membuktikan bahwa rukuk membuat posisi jantung yang sejajar dengan otak sehingga menjadikan aliran darah maksimal pada bagian tengah. Posisi rukuk juga dapat dijadikan sarana latihan untuk organ kemih agar terhindar dari penyakit prostat.
Maka wajar sekali, bila Rasulullah saw. Selama hidupnya hanya dua kali mengalami sakit. Karena Rasulullah saw. Selalu menjaga kesehatan dengan melaksanakan shalat tahajjud. Tinggal kita yang menjadi pengikutnya, mau menirukan Rasulullah.
Menjadikan shalat tahajjud seperti shalat fardhu dengan tidak pernah meninggalkannya kecuali hal-hal yang memang mewajibkan kita untuk meninggalkan.  Pasalnya, kesehatan yang dijanjikan bagi orang yang gemar melaksanakan shalat tahajjud cukup luar biasa.
Dijelaskan di dalam salah satu buku yang menjelaskan hikmah shalat-shalat sunnah, dan salah satunya hikmah shalat tahajjud sebagai berikut:
1.      Ibadah sunnah paling di sukai Allah
2.      Wahana penghapus dosa
3.      Di tulis sebagai golongan Allah
4.      Media mendapatkan kamar istimewa di surge
5.      Waktu paling dekat dengan Allah dan kemenangan atas setan[8]
SHOLAT WITIR
HUKUM DAN SIFAT SHALAT WITIR
Rasulullah saw. Bersabda,
يا أهل ااقر آن أوتروا فإنّ االله وتر يهبُّ الْوتر
“Wahai Ahli Al-Qur’an, dirikanlah sholat Witir karena Allah itu tunggal dan Dia menyukai sholat Witir”

Shalat Witir wajib hukumnya bagi Rasulullah saw. Karena beliau bersabda, “Ada iga hal yang diwajibkan bagiku, namun tidak wajib bagi kalian. Tiga hal itu adalah shalat Dhuha, shalat Idul Adha, dan shalat Witir”[9]
Shalat Witir menurut Abu Hanifah hukumnya wajib seperti shalat Idul Adha dan Idul Fitri. Namun menurut Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf, hukum shalat Witir adalah sunnah mu’akkadah. Abu Hanifah mendasarkan pendapatnya pada sebuah hadits Nabi saw. yang berbunyi, “Allah telah menambahkan shalat kepada kalian. Shalat itu berupa shalat Witir. Karena itu, dirikanlah shalat Witir antara Isya sampai terbitnya Fajar.”[10] Hadits ini menunjukan perintah, dan perintah itu mengandung arti wajib. Namun, ulama Hanafiyyah menganggap bahwa orang yang meninggalkan Witir tidak termasuk kafir. Hal ini karena wajibnya shalat Witir hanya berdasarkan hadits ahad.
Mayoritas ulama menyatakan bahwa shalat Witir termasuk sunnah dengan berdasarkan hadits-hadits berikut.
Ketika seorang badui bertanya tentang shalat apa saja yang wajib dilaksanakan, Rasulullah menjawab, “Shalat lima waktu.” Orang itu bertanya lagi, “Apakah tidak ada shalat lain selain lima itu?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali shalat Sunnah.”[11]
Ubadah ibnush Shamit menganggap dusta pada orang yang mengatakan bahwa shalat Witir itu wajib. Lantas ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw.berkata,
خمْسُ صلواتٍ كتبهنَّ الله على الْعبْد في الْيوْم واللَّيْلة
“Allah telah mewajibkan shalat lima waktu bagi hamba-Nya dalam sehari semalam.”[12]
Dari Ali, ia berkata, “Shalat Witir itu hukumnya tidak wajib sebagaimana shalat lima waktu, karena shalat Witir itu termasuk sunnah Nabi saw.”[13] Karena shalat Witir termasuk sunnah, maka boleh dilakukan di atas kendaraan meski tidak dalam keadaan darurat. Ibnu Umar berkata, “Rasulullah saw.perrnah melakukan shalat Witir di atas unta beliau.”[14]
Pendapat tentang sunnahnya shalat Witir adalah pendapat yang benar, karena hadits-hadits yang digunakan dasar wajibnya shalat Witir oleh kalangan Hanafiyyah. Para ulama hadits juga sudah melakukan penelitian lebih dalam mengenai hadits-hadits yang mereka gunakan, sebagai dasar wajibnya shalat Witir. Hadits yang berbunyi, “Siapa saja yang tidak melakukan shalat Witir maka tidak termasuk dari kami,” adalah hadits dhaif. Sedangkan hadits riwayat Abu Ayyub yang berbunyi, “Shalat Witir itu haq,” meski para perawinya tsiqah, namun tujuan hadits ini adalah untuk menguatkan sunnahnya shalat Witir. Karena, Imam Ahmad sendiri berkata, “Siapa saja yang meninggalkan shalat Witir dengan sengaja, maka orang itu termasuk orang yang jelek dan kesaksiannya tidak diterima.”

ORANG YANG WAJIB MELAKUKAN SHALAT WITIR MENURUT ABU HANIFAH
Shalat Witir menurut Abu Hanifah sama seperti shalat Jumat dan shalat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, yaitu hukumnya wajib bagi setiap Muslim, baik lelaki maupun perempuan. Tentu saja setelah memasuki usia yang layak mengemban beban kewajiban. Dasarnya adalah hadits riwayat Abu Ayyub di atas yang berbunyi,
الْوتْر حقُّ واجبٌ فمنْ شاء أنْ يوتر بثلاثٍ فلْيوترْ ومنْ شاءَ أنْيوترَ بواحدةٍ فليوْترْ
“Shalat Witir itu haq [masyru’] wajib bagi setiap Muslim. Shalat Witir boleh dilakukan sebanyak lima rakaat, tiga rakaat, dan boleh juga satu rakaat.”[15]
Akan tetapi, mayoritas ulama berpendapat bahwa shalat Witir termasuk sunnah mu’akadah bagi setiap Muslim.
TATA CARA DAN BILANGAN RAKAAT SHALAT WITIR
Jumlah rakaat shalat Witir menurut madzab Hanafiyyah adalah tiga rakaat sekaligus tanpa diselingi dengan salam, karena salamnya dilakukan di akhir rakaat, sama seperti shalat Magrib. Sehingga jika lupa duduk tasyahud awal, maka tidak perlu mengulangnya karena justru akan membatalkan shalat jika mengulangnya. Jumlah rakaat ini diambil dari hadits riwayat Aisyah yang berbunyi, “Rasulullah saw.melakukan shalat Witir sebanyak tiga rakaat dan tidak melakukan salam kecuali pada akhir shalat.”[16]
Shalat Witir tiga rakaat tidak boleh dilakukan tanpa niat terlebih dahulu. Kemudian setelah niat dan takbir lantas membaca surah al-Faatihah dan surah lain pada rakaat pertama dan kedua. Melakukan dua tasyahud, awal dan akhir. Pada rakaat ketiga tidak perlu membaca doa iftitah lagi. Bertakbir dengan mengangkat kedua tangan kemudian membaca doa Qunut setelah membaca surah, yaitu sebelum ruku’ pada rakaat ketiga. Shalat Witir dimulai dengan salam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.
Ulama Malikiyyah berkata, “Shalat Witir itu satu rakaat yang didahului dengan shalat syafa’ (shalat sunnah ba’diyyah isya) dengan diselingi salam. Setelah membaca surah al-Faatihah, dianjurkan membaca surah al-Ikhlaash dan mu’awwidzatain.”
Ulama Hanabilah sependapat dengan Malikiyyah bahwa shalat Witir itu hanya satu rakaat. Imam Ahmad berkata, “Kami berpendapat bahwa shalat Witir itu satu rakaat. Namun jika melakukannya sebanyak tiga rakaat atau lebih, juga tidak apa-apa.”
Ulama Syafi’iyyah berkata, “Minimal bilangan shalat Witir itu adalah satu rakaat dan maksimalnya sebelas rakaat. Jika hendak melakukan shalat Witir lebih dari satu rakaat, maka afdhalnya diselingi dengan salam. Pertama, niat shalat Witir dua rakaat kemudian salam, dan kedua niat shalat Witir satu rakaat kemudian salam lagi. Ibnu Hibban meriwayatkan bahwa Rasulullah saw.memisahkan antara shalat genap dan shalat Witir dengan salam.”
Bilangan shalat Witir minimal sempurnanya adalah tiga rakaat dan lebih sempurnanya adalah lima, tujuh, Sembilan, dan sebelas rakaat. Sebelas rakaat itu batas maksimal bilangan shalat Witir. Sayyidah Aisyah r.a.berkata, “Rasulullah saw.selalu melakukan shalat malam sebanyak sebelas rakaat, dan beliau tidak menambahnya baik dalam bulan Ramadhan maupun bulan-bulan lainnya.” Karena itu, tidak sah hukumnya menambah jumlah bilangan rakaat Witir seperti shalat sunnah Rawatib.
Bilangan Witir sebanyak lima rakaat berdasarkan hadits riwayat Abu Ayyub yang berbunyi,
الْوتْر حقٌّ واجبٌ على كلِّ مسْلم منْ أحبَّ أنْ يوْتر بوا حدةٍ فلْيفْعلْ
Shalat Witir iu haq dan wajib atas setiap Muslim. Siapa saja yang ingin shalat Witir sebanyak lima rakaat, maka lakukanlah…..,”
Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit bahwa ia melakukan shalat Witir sebanyak lima rakaat. Dari Sayyidah Aisyah, ia meriwayatkan­—hadits muttafaq ‘alaih—yang berbunyi, “Setiap malam Rasulullah saw.mendirikan shalat sebanyak tiga belas rakaat. Lima rakaat dari tigabelas itu digunakan untuk shalat Witir, dan beliau tidak duduk dalmla rakaat itu kecuali pada akhir shalat.” Hadits serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Nabi saw.[17] Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw.bersabda,
لا توتِّرُوا بثلاثٍ أوْتروْا بخمْسٍ أوْ سبْعٍ ولا تشبِّهوْا بصلا ةِ الْمغْربِ
“Janganlah kalian shalat Witir tiga rakaat, tetapi Witirlah sebanyak lima atau tujuh rakaat. Janganlah kalian menyerupakan shalat Witir dengan shalat Maghrib.”[18]
Bilangan shalat Witir sebanyak tujuh atau sembilan rakaat dalilnya dari hadits riwayat Aisyah dalam Shahih Muslim dan Sunan Abu Dawud, serta dikuatkan oleh riwayat Ibnu Abbas.
Adapun bilangan shalat Witir sebanyak sebelas rakaat dalilnya adalah hadits riwayat Aisyah di atas dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Imam Ahmad berkata, “Hadits-hadits yang menyatakan bahwa Nabi saw.melakukan Witir dengan satu rakaat dilakukan setelah didahulukan shalat sebelumnya.”
WAKTU SHALAT WITIR
Menurut Abu Hanifah, waktu shalat Witir adalah waktu Isya. Hanya saja, dilakukan berurutan setelah shalat Isya, dan tidak boleh dilakukan sebelum shalat Isya meskipun waktunya sama karena satu syarat tidak terpenuhi yaitu syarat tertib, kecuali jika memang lupa maka tidak perlu mengulangnya lagi. Muhammad bin Hasan Abu Yusuf berkata, “Yang melakukan shalat Witir sebelum Isya karena lupa, maka ia harus mengulangnya lagi.” Dalilnya hadits berbunyi, “Allah telah menyediakan shalat yang lebih baik bagi kalian daripada harta yang paling berharga. Shalat itu adalah shalat Witir yang ditentukan untuk kalian dari Isya sampai terbit fajar.”
Waktu pilihan untuk shalat witir menurut Malikiyyah adalah pada sepertiga malam, sedangkan waktu dharuri atau mendesaknya adalah menjelang terbit fajar shalat Subuh. Jika shalat witir di luar batas waktu dharuri, maka gugur shalat witirnya. Jika ada udzur, makhruh hukumnya melakukan shalat witir sampai batas waktu dharuri, sedangkan afdhalnya adalah pada akhir malam.
Siapa saja yang melakukan shalat Witir, namun kemudian melakukan shalat nafilah lain, maka tidak perlu mengulang witirnya lagi, menurut pendapat mayoritas ulama karena tidak ada dua witir dalam satu malam.
Waktu pilihan shalat witir menurut Syafi’iyyah adalah sampai pertengahan malam, sedangkan setelah itu termasuk waku jawaz (boleh). Dalil hadits riwayat Bukhari Muslim yang berbunyi,
اجْعلوْا آخر صلاتكمْ باللَّيْلِ وِتْرًا
Jadikanlah akhir shalat malam kalian untuk shalat Witir.”

Jika seorang berhendak hendak shalat Tahajud,maka shalat witirnya diakhirkan. Namun boleh juga melakukan witir setelah shalat isya dan sunnah rawatib jika memang tidak yakin bisa bangunpada tengah malam. Akan tetapi jika yakin bisa bangun pada pertengahan malam, maka afdhalnya mengakhirkan shalat witir. Dalilnya hadist riwayat Muslim yang artinya “ siapa saja yang khawatir tidak bisa bangun pada akhir malam, maka shalatlah witir sebelum tidur. Namun jika mampu,maka akhirkanlah  Witir di akhir malam karena shalat pada waktu itu disaksikan [ para malaikat].”
Waktu shalat Witir yang mustahab menurut Hanafiyah adalah pada akhir malam karena riwayat Sayyidah Aisyah yang mengatakan ia bahwa pernah ditanya mengenai shalat witir Rasulullah saw., dan ia menjawab, “ Terkadang Rasulullah saw. Melakukan shalat witir diawal malam, terkadang di pertengahan, dan erkadang diakhir malam. Akan tetapi pada akhir hayatnya, beliau melakukan shalat witir di akhir hayatnya.
Waktu shalat witir yang afdhal menurut Hanabilah adalah akhir malam, sama seperti pendapat Hanafiyah. Pendapat ini muttafaq ‘alaih seperti sabda Rasulullah saw , “ Siapa saja yang khawatir tidak bisa bangun pada akhir malam, maka lakukanlah shalat witir pada awal malam”[19]
Siapa saja yang melakukan shalat witir diawal malam, lantas melakukan shalat Tahajud maka baiknya, menurut Hanabilah untuk melakukannya dua rakaaat-dua rakaat tanpa mengurangi shalat witirnya. Artinya jika ia terbangun pada malam hari dan sudah melakukan witir sebelum tidur, maka baiknya melakukan shalat satu rakaat untuk menggenapkan witirnya yang pertama. Kemudian baru shalat tahajud dan diakhiri dengan shalat witir lagi karena Rasulullah saw. Bersabda , “ jadikanlah akhir shalat kalian untuk shalat witir.” Pendapat ini dengan pendapat mayotitas ulama.
Bacaan Dalam Shalat Witir
Membaca surah dalam tiap rakaat shalat witir hukumnya wajib menurut Hanafiyah dan menurut mereka, mandub membaca surah al- A’laa pada rakaat pertama, membaca surah al- kafiruun pada rakaat kedua, dan membaca surah al-ikhlaash pada rakaat ketiga.
Menurut madzhab Malikiyah, mandub membaca surah al-ikhlash dan surah al- Mu’awwidzatain stelah surah al-Faatihah pada satu rakaat shalat witir, sedangkan dalam shalat syaf (genap) membaca surah al-A’laa pada rakaat pertama, dan surah al-kafiruun pada rakaat kedua setelah surat al-faatihah. Mengucapkan salam setelah dua rakaat.
Menurut Syafi’iyyah, sunnah hukumnya bagi orang yang melakukan shalat witir tiga rakaat, setelah surah al-faatihah untuk membaca surah al-a’laa pada rakaat pertama, surah al-Kaafiruun pada rakaat kedua, dan pada rakaat ketiga membaca surah al-Ikhlaash dan surah al-Mu’awwidzatain [surah al-Falaq dan surah an-Naas]. Sebaiknya bagi orang yang melakukan shalat Witir lebih dari tiga rakaat untuk membaca surah-surah di atas juga.
Menurut Hanabilah, dalam shalat Witir sunnahnya cukup dengan membaca surah al-Ikhlaash saja setelah al-Faatihah. Dalilnya hadits riwayat Ubay bin Ka’ab yang telah lewat di atas. Mereka berpendapat bahwa hadits riwayat Sayyidah Aisyah yang digunakan hujjah kurang kuat, karena dalam sanadnya terdapat Yahya bin Ayyub yang tergolong dhaif.
DOA QUNUT DALAM SHALAT WITIR
Ulama Hanafiyyah dan Hanabilah berkata,[20]doa Qunut dalam shalat Witir dibaca sepanjang tahun, tidak hanya pada waktu bulan Ramadhan saja. Hanya saja ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa doa Qunut itu dibaca pada rakaat ketiga sebelum ruku’, karena Rasulullah saw.juga membaca doa Qunut sebelum ruku’.[21] Imam Ali meriwayatkan dari Nabi saw.bahwa beliau jika hendak membaca doa Qunut memulainya dengan bertakbir terlebih dahulu. Pendapat ini sama dengan pendapat Malikiyyah, namun bukan pada shalat Witir, melainkan pada shalat Subuh.
Ulama Hanabilah berkata, “Doa Qunut dibaca setelah ruku’ karena hadits riwayat Muslim dari Ibnu Mas’ud yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw.membaca doa Qunut setelah ruku.’” Dikuatkan lagi dengan hadits riwayat Zuhri dari Sa’id dan Abu Salamah,  juga riwayat Abu Hurairah dan dari Anas bahwa Nabi saw.membaca doa Qunut setelah ruku’. Menurut mereka hadits riwayat Ubay menjadi perdebatan, sedangkan hadits riwayat Ibnu Mas’ud termasuk matruk.
Doa Qunut menurut Hanafiyyah adalah doa yang masyhur dari Umar dan putranya, yaitu doa yang berbunyi, “Allahumma inna nasta’iinuka wa nastahdiik….” Sebagaimana telah kami tuturkan dalam pembahasan tentang doa Qunut. Setelah itu membaca shalawat Nabi pada akhir Qunut menurut pendapat ulama yang memfaftwakannya.
Akan tetapi, yang lebih utama menurut ulama Hanabilahh adalah doa Qunut yang berbunyi, اللَّهمَّ اهْدنيْ فيْمنْ هَدَيْتَ namun boleh menambahkan doa dengan allahumma inna nasta’iinuka….. Akan tetapi, yang lebih shahih menurut Hanafiyyah adalah doa iu dibaca secara samar.[22]
Menurut Hanabilah doa Qunut itu dibaca dengan suara keras bagi imam dan orang yang shalat munfarid.
Ulama Syafi’iyyah berkata, “Disunnahkan membaca doa Qunut setelah ruku’ pada akhir Witir pertengahan kedua bulan Ramadhan. Bacaannya sama dengan doa Qunut shalat Subuh.



SHALAT TERAWIH

Shalat Tarawih adalah shalat malam yang dilakukan pada bulan Ramadhan. Dinamakan dengan tarawih yang berarti istirahat karena terdapat istirahat  pada setiap empat raka’at.
Hukum shalat tarawih
Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunnah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang melaksanakan Qiyam Ramadhan dengan iman dan mengharapkan pahala, maka dosa-dosanya  yang lalu diampuni oleh Allah SWT”.
Waktu shalat tarawih
Jumhur ulama berpendapat bahwa waktu shalat tarawih adalah setelah shalat ‘Isya’ dan sebelum shalat witir sampai terbit fajar karena inilah yang dilakukan oleh para sahabat.
Adzan dan Iqamah untuk shalat tarawih
Para ulama’ sepakat bahwa adzan dan iqamah hanya ada pada shalat lima waktu dan shalat Jum’at. Adapun shalat-shalat lain, tidak disyari’atkan adzan dan iqamah. Hanya saja, Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa dianjurkan untuk mengucapkan الصَّلاَةُ جَامِعَةٌ atau yang seumpamanya, berdasarkan qiyas kepada shalat kusuf ( gerhana ) yang pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW dan pada waktu itu diserukan : الصَّلاَةُ جَامِعَةٌ
Jumlah raka’at shalat tarawih
Jumhur ulama’ dari mazhab Hanafi, Mazhab Hanbali, Mazhab Syafi’i dan sebagian ulama’ mazhab Maliki, dan mazhab Zhahiri berpendapat bahwa shalat tarawih itu 20 raka’at. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh imam Malik dari Yazid bin Ruman dan al-Baihaqi dari Saib bin Yazid bahwa Sshalat tarawih dilaksanakan secara berjama’ah dengan 20 raka’at.
al-Dasuki berkata : “Inilah yang diamalkan oleh para sahabat dan tabi’in”.
Ibnu ‘Abidin berkata : “Inilah yang diamalkan di timur dan di barat.
Ulama’ mazhab maliki berpendapat bahwa shalat tarawih boleh  dilakukan 20, 36, atau 39 raka’at. sebagian ulama’ , di antaranya al-Shan’ani, berpendapat bahwa shalat tarawih itu 8 raka’at.
Istirahat dalam shalat tarawih
Para ulama’ sepakat bahwa dianjurkan istirahat setiap selesai 4 raka’at, karena inilah yang diterima dari ulama’-ulama salaf, yaitu mereka lama berdiri dalam shalat tarawih dan mereka duduk setelah selesai 4 raka’at untuk shalat. Ketika duduk ini, dianjurkan untuk berzikir, membaca al-Qur’an, dan yang sejenisnya.
Salam dalam shalat tarawih
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa  shalat tarawih itu dilakukan dengan mengucapkan salam pada setiap 2 raka’at, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :
صَلاَةُ اللَّيْل مَثْنَى مَثْنَى
      “Shalat malam itu 2 raka’at-2raka’at”.
Adapun jika seseorang shalat tarawih secara sekaligus dengan satu salam, atau 4 raka’at dengan satu salam, maka menurut ulama’ mazhab Hanafi, shalatnya sah. Ulama’ mazhab Maliki memakruhkannya. Sedangkan ulama’ mazhab Syafi’i menyatakan tidak sah jika dilakukan dengan sengaja, tetapi jika tidak sengaja, maka shalat tarawih tersebut menjadi shalat sunnah muthlaq.
Adapun hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah r.a bahwasanya Rasulullah SAW shalat malam 4 raka’at, kemudian 4 raka’at, kemudian 3 raka’at, tidaklah dapat dijadikan dalil bahwa beliau melaksanakan 4 raka’at secara sekaligus, karena di dalam hadits tersebut tidak ada penjelasan apakah 4 raka’at – 4 raka’at tersebut dengan 1 salam atau dengan 2 salam. Sedangkan di dalam hadits Ibnu Umar, terdapat penegasan langsung bahwa shalat malam itu 2 raka’at – 2 raka’at. Oleh karena itu, para ulama’ menafsirkan hadits ‘Aisyah  tersebut bahwa Rasulullah SAW shalat 4 raka’at – 4 raka’at dengan dengan 2 kali salam pada setiap 4 raka’at. Lalu, mengapa disebut 4 – 4, bukan 2 – 2 ? Jawabnya adalah karena Rasulullah SAW beristirahat cukup lama pada setiap 4 raka’at.
Berjama’ah dalam shalat tarawih
Shalat tarawih boleh dilakukan secara berjama’ah dan boleh juga dilaksanakan sendiri, Tetapi yang afdhalnya adalah dilakukan secara berjama’ah berdasarkan apa yang pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW, pada masa sahabat, dan inilah yang berlangsung hingga sekarang.
IDUL FITRI DAN IDUL ADHA
Pengertian
‘Id berasal dari kata ‘ada ya’udu yang berarti kembali. Dikatakan demikian karena sepertinya seseorang kembali kepada ilahnya. Ada juga yang mengatakan, ‘Id diambil dari kata Al-‘adah (kebiasaan) karena mereka membiasakan diri untuk merayakan. Bentuk jamaknya adalah ‘ayaad. Ibnu Al-A’rabi berpendapat, disebut ‘Id karena ia datang setiap tahun dengan kegembiraan yang senantiasa diperbarui[23]. Menurut istilah, kata Al-‘Id berarti hari perkumpulan untuk memperingati kebahagiaan atau salah satu dari dua ‘Id, Idul Fitri dan Idul Adha[24].
Dasar Hukum Shalat Id
Dasar hukum shalat ‘Id ini diambil dari al-Qur’an, sunah dan ijma’. Dasar hukum yang diambil dari al-Qur’an sebagaimana firman Allah SWT
فصل لربك وانحر
“Dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah” (QS. Al-Kautsar 108: 2)
Dasar hukum sunah diambil dari riwayat yang telah ditetapkan secara mutawatir bahwa Rosulullah saw melakukan shalat Idul Fitri dan Idul Adha[25]. Ibnu Abbas meriwayatkan, Aku pernah menghadiri shalat ‘Id bersama Rosulullah saw, Abu Bakar, Umar dan Ustman. Masing-masing mereka melaksanakan shalat sebelum khutbah, sedangkan dasar hukum ijma’ diambil dari kesepakatan kaum muslimin untuk mengerjakan shalat Idul Fitri dan Idul Adha.
Hukum Shalat ‘Id
Hukum shalat ‘Id yaitu fardhu ‘ain sebagaimana  firman Allah, “Dirikanlahshalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah (QS. Al-Kautsar 108: 2)
Ummu Athiya  meriwayatkan, Nabi pernah memerintahkan kami, para remaja putri dan para gadis pingitan untuk pergi ke tempat pelaksanaan shalat ‘Id, beliau juga memerintahkan para wanita yang sedang haid untuk keluar namun memisahkan diri dari tempat shalat kaum muslimin.
Kewajiban shalat ‘Id diperkuat oleh kenyataan bahwa Rosulullah saw selalu melaksanakannya. Di dalam sejarah disebutkan  bahwa beliau melaksanakan shalat ‘Id pertama kali pada saat Idul Fitri tahun ke-2 H. setelah itu, beliau selalu melaksanakan shalat ‘Id sampai akhir hayatnya. Allah senantiasa melimpahkan anugerah dan ketentraman baginya, para khalifah setelah beliaupun juga selalu melaksanakannya, shalat ‘Id menjadi satu syi’ar agama yang paling tampak, kenyataannya-kenyataan demikian itulah yang menjadi dasar bahwa shalat ‘Id itu wajib.
Sebagian Ulama berpendapat bahwa shalat ‘Id fardu ‘ain sebagaimana shalat jum’at. Dengan demikian, laki-laki yang mukallaf, merdeka dan menetap tidak boleh meninggalkannya. Bagi wanita, disunahkan menghadirinya dengan mengenekan hijab, menutup aurat serta tidak memakai wangi-wangian.
Waktu Pelaksanaan Shalat ‘Id
Waktu pelaksanaannya dimulai sejak meningginya matahari sekitar satu tombak. Sementara itu, akhir waktu shalat ‘Id adalah ketika matahari sudah tergelincir dari kulminasinya (zawal). Ibnu Qodamah berpendapat, waktu pelaksanaan shalat ‘Id adalah ketika matahari naik dan berakhir pada waktu zawal. Jika waktu hari raya tidak diketahui kecuali setelah waktu zawal, hendaklah  imam berangkat pada keesokan harinya dan shalat bersama para jamaah[26]. Dasarnya adalah hadist Abu Umair bin Anas dari sahabat anshar yang menyatakan , “ kami pernah mengalami kesulitan untuk melihat hilal bulan syawal sehingga pada pagi harinya kami tetap berpuasa, kemudian ada beberapa orang pengendara datang pada akhir siang memberikan kesaksian kepada Nabi bahwa kemarin petang mereka telah melihat hilal. Akhirnya Rosulullah memerintahkan pada kami berbuka pada saat itu dan berangkat ke tempat shalat ‘Id pada keesokan harinya.
Aisyah ra meriwayatkan sabda Rosulullah saw
ا لفطر يوم يفطر ا لنا س والآضحى يوم يضحي ا لنا س
“Idul Fitri adalah hari saatnya orang-orang berbuka dan Idul Adha adalah saatnya orang-orang berkurban”
Yang afdhal adalah menyegerakan shalat Idul Adha, yakni ketika matahari sudah naik kira-kira setinggi tombak dan mengakhirkan shalat Idul Fitri yakni ketika matahari sudah naik kira-kira setinggi dua tombak[27].
Setiap hari raya memiliki fungsi masing-masing. Ketika Idul Fitri zakat fitrah dikeluarkan sebelum shalat, sedangkan ketika Idul Adha penyembelihan kurban dilaksanakan setelah shalat. Pengakhiran waktu shalat Idul fitri dan penyegeraan shalat Idul Adha itu bermaksud untuk memberi keleluasan bagi pemenuhan tugas masing-masing.
Mengenai hikmah penyegeraan shalat Idul Adha dan pengakhiran waktu shalat Idul Fitri, Ibnu Utsaimin menyatakan bahwa pada hari raya Idul Fitri orang-orang memerlukan perluasan waktu untuk mengeluarkan zakat fitrah. Sebab, waktu terbaik untuk mengeluarkan zakat fitrah adalah pada pagi hari sebelum pelaksanaan shalat ‘Id. Ini berdasarkan hadist Ibnu Umar yang mengatakan, zakat fitrah itu diperintahkan supaya diberikan sebelum orang-orang berangkat ke tempat pelaksanaan shalat. Dengan demikian, ketika waktu shalat diakhirkan, maka waktu pelaksanaan zakat akan semakin lama. Adapun shalat Idul Adha, umat islam disyariatkan untuk segera berkurban. Sebab, berkurban merupakan salah satu syiar islam. Sebagaimana firman Allah.
فصل لر بك و انحر
Dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah” (QS.al-Kautsar 108: 2)
Allah juga berfirman,
قل إ ن صلا تى ونسكى ومحياى ومما تى لله رب العا لمين
katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Allah semesta alam” (QS. al-An’am 6:162)
Dengan demikian, menyegerakan pelaksanaan kurban pada Idul Adha itu lebih utama. Hal itu bisa terwujud dengan dipercepatnya pelaksanaan shalat. Sebab, hewan kurban tidak bisa disembelih sebelum pelaksanaan shalat “Id.
Sifat Shalat ‘Id
Ketika shalat, seorang imam disunahkan menghadap sutrah (pembatas). Dasarnya adalah hadist Ibnu Umar, ketika Rosulullah hendak melaksanakan shalat Idul Fitri, beliau memerintahkan agar dihadapannya ditancapkan tombak, lalu beliau shalat dengan menghadap ketombak tersebut dan para jamaah bermakmum dibelakangnya.
Para Ulama tidak berbeda pendapat mengenai jumlah rakaat shalat ‘Id, yaitu dua rakaat. Sumber yang mutawatir menunjukkan bahwa Nabi melaksanakan shalat ‘Id dua rakaat. Para imam setelah beliau sampai sekarang masih mengerjakannya (jumlah rakaat yang sama). Tidak ada seorangpun yang melaksanakannya dengan jumlah berbeda dan tidak ada satupun yang menentangnya.
Umar bin Khattab berkata, shalat jum’at itu dua rakaat, shalat Idul Fitri dua rakaat, shalat Idul Adha dua rakaat, shalat safar dua rakaat juga dua rakaat, dilakukan secara lengkap bukan karena diqhasar. Ini disampaikan melalui lisan Nabi kalian, Muhammad.
Shalat ‘Id itu dikerjakan sebelum khutbah, membaca takbiratul ihram pada rakaat pertama, diikuti bacaan do’a iftitah, kemudian bertakbir enam kali. Sebagaimana hadist Abdullah bin Amr bin ‘Ash yang menyampaikan sabda Nabi saw:
التكبير في الفطر: سبع في الأولى و خمس في الاخرة و القراءة بعد هما كلتيهما
“ Takbir dalam shalat Idul Fitri itu tujuh kalipada rakaat pertama, dan lima kali pada rakaat terakhir, serta membaca bacaan setelah takbir-takbir itu pada masing-masing rakaatnya.
Syaikh Imam Abdul aziz bin Abdullah bin Baz berkata, “ Ketujuh takbir itu sudah termasuk takbiratul ihram, sedangkan pada rakaat kedua dilakukan takbir lima kali, tidak termasuk takbir intiqal (takbir pindahan).Selanjutnya membaca ta’awudz, diikuti dengan surat al-Fatihah dan surat qaf atau surat al-A’la, kemudian menyempurnakan satu rakaat lalu berdiri dari rakaat pertama sambil bertakbir, kemudian bertakbir lima kali setelah berdiri sempurna. Pada rakaat kedua membaca surat al-Fatihah dan surat al-Qamar atau al-ghasiyah.
Ibnu al-Qayyim mengatakan, Rosulullah biasa memulai shalat sebelum khutbah, beliau mengerjakan shalat dua rakaat. Pada rakaat pertama, beliau membaca takbir tujuh kali secara berturut-turut setelah takbir pembuka dengan berdiam sejenak diantara setiap takbir. Tidak ada keterangan dari beliau mengenai mengenai dzikir diantara takbir-takbir. Tapi, Ibnu Mas’ud berkata, memanjatkan pujian kepada Allah dan memberikan sanjungan kepada-Nya serta bershalawat kepada Nabi
Khutbah Shalat ‘Id
Khutbah ‘Id ini dilaksanaka nsetelah shalat. Setelah imam mengucapkan salam, dia langsung berdiri dan menghadap ke arah jamaah sambil menyampaikan khutbahnya mengenai permasalahan yang dengan keadaan yang sedang dihadapi saat itu. Saat Idul Fitri, imam hendaknya menyuruh mereka mengeluarkan zakat fitrah sambil menerangkan kewajiban dan pahalanya, banyaknya zakat yang harus dikeluarkan, jenisnya, orang yang berkewajiban mengeluarkannya dan para mustahiq (orang yang berhak menerimanya). Selain itu, imam juga menerangkan bahwa zakat seseorang itu hanya bisa diterima jika dikeluarkan sebelum shalat ‘Id. Jika seseorang mengeluarkannya setelah shalat ‘Id berarti dia hanya mengeluarkan sedekah biasa.
Pada Idul Adha, sebaiknya imam menyampaikan tentang kurban dan keutamaannya. Imam hendaknya juga menerangkan bahwa hukum berkurban itu sunah muakad. Selain itu, dianjurkan menjelaskan proses pelaksanaan kurban, waktu berkurban, cara menyembelih, beebrapa cacat yang tidak boleh pada hewan kurban serta apa yang diucapkan seorang muslim pada saat menyembelihnya.
Khutbah ‘Id itu dimulai dengan memanjatkan pujian. Ibnu al-Qayyim mengatakan, Rosulullah biasa memulai seluruh khutbah dengan ucapan “Alhamdulillah”. Belum ditemukan satu hadistpun yang menyebutkan bahwa beliau membuka khutbah ‘Id dengan takbir. Nabi telah memberi keringanan kepada orang-orang yang menghadiri shalat ‘Id untuk duduk mendengarkan khutbah atau pergi meninggalkannya. Ini sesuai dengan hadist Abdullah bin Sa’ib yang meriwayatkan, aku pernah menghadiri shalat ‘Id bersama Rasulullah seusai shalat beliau bersabda :
انا نخطب فمن احب أن يجلس للخطبة فليجلس و من احب أن يذهب فليذهب
“Aku akan memberi khutbah. bagi yang berkenan duduk untuk mendengar khutbah, duduklah. Bagi yang ingin pergi, silahkan pergi”
Hari Raya pada Hari Jum’at
Jika hari raya bertepatan dengan hari jum’at, maka seorang imam harus menghadiri shalat jum’at bersama beberapa orang yang hendak mengerjakannya. Para ulama berselisih pendapat mengaenai shalat Idul Fitri dan Idul Adha, apakah hukumnya wajib atau sunnah?. Menurut Imam Hanafi kedua shalat ‘Id itu hukumnya fardhu ‘ain dengan syarat-syarat yang ada pada shalat jum’at. Jika  syarat-syarat tersebut atau sebagian dari padanya tidak terpenuhi, maka kewajiban tersebut menjadi gugur. Menurut Imam Hambali: hukumnya fardhu kifayah, menurut Imam Syafi’I dan Imam Malik hukumnya sunnah mu’akadah.
Tentang tata cara shalat, menurut Imam Malik yaitu :
1.      Niat
2.      Mengucapkan takbiratul ihram
3.      Mengucapakan puji takbir tiga kali yang diselingi dengan diam sejenak sekedar membaca tiga kali takbir atau membaca subhanallah wal hamdulillah wala ilaha illallah wallahu akbar
4.      Membaca alfatihah dan salah satu surat
5.      Ruku’ kemudian sujud
6.      Pada rakaat kedua memulai dengan membaca alfatihah dan salah satu surat kemudian meneruskan shalat ituseperti biasa.
Menurut Imam Hambali, yaitu :
1.      Membaca do’a iftitah
2.      Mengucapkan takbir enam kali yang  diantara tiap-tiap dua takbir mengucapkan
الله اكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحا ن الله بكرة واصيلا وصلى الله على محمد و اله وسلم تسليما
3.      Membaca al-Fatihah dan surat al-A’la
4.      Pada rakaat kedua mengucapkan takbir lima kali selain ucapan takbir untuk bangkit ke rakaat kedua yang diantara tiap-tiap takbir membaca bacaan yang sama dengan rakaat pertama
5.      Membaca al-Fatihah dan surat al-Ghosiyah sampai sempurnanya rakaat kedua
Menurut Imam Hanafi, yaitu :
1.      Niat kemudian takbiratul ihram
2.      Mengucapakan puji syukur tiga kali yang diselingi dengan diam sejenak sekadar tiga kali takbir atau boleh membaca
سبحا ن ا لله و الحمد لله و لا اله الا الله و الله اكبر
3.      Membaca alfatihah dan salah satu  surat
4.      Pada rakaat kedua memulai dengan membaaca al-Fatihah dan salah  satusurat kemudian mengucapakan takbir tiga kali lalu menyempurnakan shalat hingga selesai
Menurut Imam Syafi’I, yaitu :
1.      Mengucapkan takbiratul ihram kemudian membaca al-Fatihah
2.      Mengucapkan takbir tujuh kali yang diantara tiap-tiap dua takbir diselingi ucapan
سبحا ن ا لله و الحمد لله و لا اله الا الله و الله اكبر
3.      Membaca al-Fatihah dan surat Qaf
4.      Ketika bangkit dari  rakaat kedua dimulai dengan mengucapkan takbir yang kemudian ditambah takbir lima kali yang diantara dua takbir diselingi dengan ucapan yang sama seperti rakaat pertama
5.      Diteruskan dengan membaca al-Fatihah dan surat al-anbiya serta menyempurnakan shalat hingga selesai
Menurut Imam Malik, yaitu :
1.      Mengucapakan takbiratul ihram dilanjutkan dengan ucapan takbir enam kali
2.      Membaca surat al-fatihah dan surat al-A’la kemudian ruku dan sujud
3.      Ketika rakaat kedua sambil mengucapkan takbir ditambah dengan lima takbir sesudahnya
4.      Membaca al-Fatihah dan surat al- syams dengan menyempurnakan shalat hingga selesai[28].

Hikmah aturan syari’at ini antara lain:
a. Menyelisihi Ahlul kitab, yang tidak mau makan pada hari raya mereka sampai mereka pulang.
b.Untuk menampakkan perbedaan dengan Ramadhan.
c. Karena sunnahnya Shalat Idul Fitri lebih siang (dibanding Idul Adha) sehingga makan sebelum shalat lebih menenangkan jiwa. Berbeda dengan Shalat Idul Adha, yang sunnah adalah segera dilaksanakan.
SHALAT ISTISQA’
Pengertian Istisqa’
Istisqa’ berarti meminta hujan. Mengenai kata ini, Ibnu M anzhur menjelaskan, kata istisqa’  yang terdapat dalam hadist berarti meminta hujan. Maksudnya, meminta hujan untuk daerah yang gersang dan oran-orang yang membutuhkannya.
Namun dalam istilah ulama fiqh, maksud shalat istisqa’ berarti meminta hujan kepada Allah saat terjadi kekeringan panjang.
Sebagaimana firman Allah
وا ذ استسقى مو سى لقو مه
“Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya” (QS Al-baqarah: 60)
Hukum Shalat Istisqa’
Hukum shalat istisqa’ adalah sunah muakad jika terjadi kekeringan yang sangat panjang. Mengenai hukum shalat istisqa’ ini, Ibnu Qudamah menjelaskan shalat istisqa’ hukumnya sunah muakad. Hal ini sebagaimana yang berlaku dalam sunah Nabi dan Khulafaur Rasyidin.

Macam-macam istisqa’ ( meminta hujan)
Meminta hujan dengan cara mendirikan shalat, baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri,  adapun tata cara shalatnya  sudah cukup jelas sebagaimana yang dilakukan Nabi dan banyak terdapat dalam jumlah hadist shahih. Mengenai cara yang pertama ini, para ulama menyepakatinya.
Khatib shalat jum’at meminta hujan saat dia tengah berkhutbah, cara ini pernah dilakukan Nabi dan banyak riwayat yang menyebutkannya, meminta hujan dengan cara seperti ini hukumnya sunah dan sering dilakukan oleh kaum muslimin.
Anas bin Malik menuturkan, pada masa Rosulullah terjadi kekeringan yang cukup lama, kemudian saat Nabi berkhutbah jum’at, seorang badui berkata, Rosulullah harta kami telah ludes dan keluarga kami kelaparan. Karena itu, do’akanlah kami. Rosulullah lalu mengangkat kedua tangannya dan berdo’a
ا للهم أغثنا, اللهم أغثنا, ا للهم أغثنا,
“Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami”
Ketika itu, kami melihat di langit ada mendung, ketika mendung tersebut telah merata hujanpun turun. Demi Allah, kami tidak melihat matahari selama sepekan. Berdo’a selepas shalat, mengenai cara meminta hujan dengan hanya berdoa tanpa shalat ini para ulama tidak mempermasalahkannya.
Etika istisqa’ (meminta hujan).
1.      Berlindung kepada Allah dan shalat istisqa’
2.      Khatib menasihati jamaah untuk bertakwa kepada Allah. Suatu kali khalifah Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada Maimun bin Mahran, melalui surat tersebut dia mengatakan, saya memerintahkan kepada setiap penduduk untuk keluar rumah dan berkumpul pada hari dan bulan ini untuk meminta hujan.siapa saja yang mampu untuk bersedekah dan berpuasa, hendaklah dia melakukannya. Allah telah berfirman :
قد افلح من تز كى , و ذكر ا سم ربه فصلى
Artinya: sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan beriman),  dan mengingat nama Rabbnya lalu dia shalat.
3.      Seorang imam menentukan waktu berkumpul. Hal ini berdasarkan hadist Aisyah yang  menuturkan, para sahabat pernah mengadu kepada Rosulullah tentang paceklik, beliau lalu memerintahkan agar dibuatkan mimbar, setelah mimbar diletakkan di tempat shalat, beliau menentukan waktu kepada mereka untuk berkumpul di tempat tersebut.
4.      Waktu yang tepat untuk shalat istisqa’. Waktu yang paling utama untuk melaksanakan shalat istisqa’ adalah waktu yang sesuai dengan pelaksanaan shalat ‘Id. Namun shalat istisqa’ tidak memiliki waktu khusus, sehingga dapat dilaksanakan kapan saja.
5.      Shalat istisqa’ dilaksanakan di tanah lapang. Abdullah bin Zaid al-Mazini mengungkapkan, suatu kali Rosulullah menuju tanah laapang untuk meminta hujan, lalu beliau menghadap kiblat dan membelakangi para jamaah, lalu beliau berdo’a kepada Allah dan membalikkan selendangnya saat menghadap kiblat laalu melaksanakan shalat dua rakaat dengan membaca surat al-Qur’an.
6.      Seluruh jamaah keluar dengan sikap tawadhu’, merasa hina dan sangat khusyu’. Cara ini sesuai dengan hadist riwayat Ibnu Abbas dari Ishaq bin Abdullah bin Kinanah yang mengatakan, saya diutus oleh al-Walid bin Uqbah (gubernur madinah) untuk menemui Ibnu Abbas, saya diminta untuk bertanya kepadanya tentang tata cara shalat yang dilakukan Rosulullah. Lalu Ibnu bbas bertanya, kenapa ia tidak bertanya langsung kepada saya? Selanjutnya Ibnu Abbas mengungkapkan, Rosulullah keluar dengan sikap tawadhu’ serta penuh khusyu’ hingga beliau sampai ke tanah lapang. Beliau tidak berkhutbah sebagaimana yang biasa kalian lakukan, tetapi beliau senantiasa berdo’a, merendahkan diri dan bertakbir kepada Allah kemudian Nabi melaksanakan shalat dua rakaat sebagaimana shalat ‘Id.
7.      Anak-anak dan wanita juga boleh ikut shalat istisqa’. Ibnu Qudamah menjelaskan, semua orang disunahkan untuk shalat istisqa’, apalagi orang-orang yang mempunyai utang, menutup aurat, mempunyai hajat dan usia lanjut itu lebih disunahkan, sebab dengan begitu do’a mereka cepat dikabulkan. Para wanita yang telah lanjut usia dan yang berpenampilan kurang menarik boleh ikut shalat, adapun para wanita yang berpenampilan menarik tidak dianjurkan untuk ikut shalat, sebab ketika mereka ikut, kemudharatan yang timbul itu lebih besar daripada kemaslahatannya. Selain itmembawa binatang ternak juga tidak dianjurkan sebab Nabi tidak pernah melakukannya.
8.      Shalat istisqa’ tidak perlu adzan dan iqamah. Haritsah bin Mudzribal-Abdi mengatakan, suatu hari kami keluar rumah menuju tanah lapang bersama Abu Musa, ketika itu kami ingin meminta hujan lalu shalat dua rakaat tanpa mengumandangkan adzan dan iqamah.
Cara Shalat Istisqa’
Cara  shalat istisqa’ itu seperti shalat Id, ketentuan ini berdasarkanhadist riwayat Ibnu Abbasyang menuturkan, Rosulullah keluar secara tawadhu’, memakai pakaian sederhana, khusyu’, berjalan perlahan dan berendah diri hingga sampai ke tanah lapang. Beliau tidak berkhutbah, senantiasa berdo’a, berendah diri dan bertakbir. Kemudian beliau shalat dua rakaat sebagaimana dalam shalat ‘Id.
Hadist di atas menegaskan pendpat jumhur ulama bahwa pelaksanaan shalat istisqa’ itu seperti shalat ‘Id, baik dalam bilangan rakaat, bacaan surah secara jahr, bilangan takbir dan khutbah yang dilaksanakanselepas shalat. Hanya saja tidak ada waktu khusus bagi shalat istisqa’, yang penting shalat ini tidak dilaksanakan pada waktu yang terlarang untuk shalat, inilah pendapat jumhur ulama. Namun shalat istisqa’ akan lebih baik jika dilaksanakan pada waktu yang sama dengan pelaksanaan shalat ‘Id.
Tata cara shalat istisqa’
Ulama telah bersepakat bahwa  jumlah rakaat dalam shalat istisqa’ sama dengan shalat Id, demikian pendapat semua madzhab selain madzhab maliki dan hambali, mereka mengatakaan shalat istisqa’ sama sperti shalat Id hanya saja tidak ditambah takbirnya.Sedangkan do’a yang dibaca oleh khatib, keempat madzhab tersebut bersepakat bahwa do’a yang dibaca khatib diucapkan seseudah shalat dan ditengah-tengah khutbah bukan di dalam shalat.
Hikmah shalat istisqa’ ada empat, antara lain:
1.      Shalat istisqa merupakan bentuk ittiba’ (mengikuti dengan penuh kesadaran hati) akan sunah Nabi SAW. Melalui shalat istisqa, kita diajarkan untuk memohon langsung kepada Allah SWT.
2.      Shalat istisqa merupakan realisasi pembuktian iman terhadap kemahabesaran dan kemurahan Allah melalui doa. Melalui shalat istisqa kita dididik untuk meyakini sepenuh hati bahwa Allah itu mendengar keluh kesah dan kesulitan kita. (QS Al-Baqarah [2]: 186).
3.      Shalat istisqa mendidik kita semua untuk memperbanyak zikir kepada Allah, beristighfar atas segala dosa, sekaligus bertawakal kepada-Nya setelah mengoptimalkan usaha. Dengan shalat istisqa, kita mengharapkan kemurahan dan kemahakuasaan Allah dalam menurunkan hujan.  
4.      Shalat istisqa mendidik kita untuk bersabar dan tidak mudah berputus asa. Kelima, shalat istisqa juga merupakan pembuka pintu rahmat dari Allah SWT. Rahmat berupa air hujan yang kita mohonkan itu bukan hanya untuk keperluan hidup manusia, melainkan juga untuk binatang dan makhluk lainnya[29].
Shalat Gerhana
Pengertian Sholat Gerhana
Shalat Gerhana adalah shalat sunnat 2 rakaat yang dikerjakan ketika terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan.Bila terjadi Matahari maka shalat yang dikerjakan disebut SHALAT KUSUF. dan bila terjadi gerhana bulan maka sholat yang dikerjakan disdebut dengan SHALAT KHUSUF. Shalat 2 Gerhana ini disebut juga shalat KUSUFAIN, dan di sunnahkan di dalam masjid, tanpa harus diawali dengan adzan dan iqamat, Hanya panggilan “Al-Shalatul Jami’ah.”
Sejarah Shalat Gerahana
Shalat gerhana pertama kali dilakukan sewaktu Ibrahim, anak laki-laki Rasulullah, wafat.Dan kebetulan, meninggalnya Ibrahim bersamaan dengan fenomena alam gerhana matahari. Hari itu adalah hari yang menyedihkan untuk Rasulullah Muhammad SAW, sehingga beliau berdoa pada Allah sewaktu matahari-bulan-bumi berada persis pada satu garis edar.Rasulullah waktu itu bersabda bahwa dua gerhana (matahari dan bulan) dan kematian orang yang dicintai, adalah tanda kekuasaan Allah. Jadi beliau waktu itu memerintahkan umatnya untuk melakukan shalat setiap kali terjadi gerhana, sebagai wujud ketundukkan manusia pada kebesaran Tuhan.

Dalil Yang Berkenaan Dengan Shalat Gerhana
Dari hadist yang diriwayatkan Bukhari Muslim dengan sanad yang shahih : “Telah terjadi gerhana Matahari pada hari wafatnya Ibrahim putra Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Berkatalah manusia: Telah terjadi gerhana Matahari karana wafatnya Ibrahim. Maka bersabdalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam “Bahwasanya Matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah. Allah mempertakutkan hamba-hambaNya dengan keduanya. Matahari gerhana, bukanlah kerana matinya seseorang atau lahirnya. Maka apabila kamu melihat yang demikian, maka hendaklah kamu salat dan berdoa sehingga selesai gerhana.” (HR. Bukhari & Muslim).
Hukum Sholat Gerhana dan Waktu Pelaksanaan Shalat Gerhana
Waktu Pelaksanaan shalat gerhana dimulai sejak terjadinya gerhana hingga berakhirnya gerhana. Hukum Sholat Gerhana adalah Sunnat Muakkad

Tata Cara Mengerjakan Shalat Gerhana
Shalat gerhana dilakukan sebanyak 2 rakaat, dengan 2 ruku’ di tiap rakaatnya, sangat berbeda sekali dengan shalat lainnya, dalam shalat gerhana terdapat 2 kali rukuk pada setiap rakaatnya.Tata cara pelaksanaan shalat gerhana adalah sebagai berikut:
1. Niat dalam hati untuk melaksanakan sholat gerhana, bacaan niatnya adalah sebagai berikutBaca’an niat shalat gerhana matahariUsholli Sunnatal Kusuufi Rak’ataini (Imaaman/Makmuuman)Lillahi Ta’aala, Baca’an niat shalat gerhana BulanUsholli Sunnatal Khusuufi Rak’ataini (Imaaman/Makmuuman) Lillahi Ta’aala
2. Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.
3. Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah) sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih).
4. Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.
5. Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’
6. Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.
7. Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.
8. Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).
9. Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.
10. Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.
11. Salam.
12. Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak.













[1]Ar-Rawatib berarti yang terus-menerus (rutin) dan berkelanjutan. Lihat, asy-Syarh al-Mumti’, jilid IV, hlm. 93.
[2] Syarh an-Nawawi ala Shahih Muslim, jilid V,hlm. 229.
[3] Majmu Fatawa al-Imam ‘Abd al-Aziz bin ‘Abdullah Ibn Baz, jilid XI, hlm. 399.
[4] Mutafaq ‘alaih: al-Bukhari, no. 1981 ; Muslim, no. 721.
[5] Abu Dawud, Kitab at-Tathawwu’, bab Shalah adh-Dhuha, no. 1289,
[6] At-Tirmidzi, Kitab al-Witr, bab Ma Ja’a fi Shalah adh-Dhuha, no. 475.
[7]Yuzni A.Ghazali, Mukjizat Shalat Tahajjud, Subuh, Dhuha, Hajat, dan Istikharah, hal.320
[8] Ibid
[9] HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi.
[10] HR al-Hakim dan Ahmad dari Ibnu Abbas, Imam adz-Dzahabi berkata, “Imam al-Hakim memilih diam dan tidak mengomentari hadits ini. Hadits ini gharib munkar.” (Nashbur Raayah, Vol. 2, hlm. 115)
[11] HR Ahmad.
[12] Muttafaq ‘alaih. Hadits yang senada terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari riwayat Mu’adz yang berbunyi, “Allah telah mewajibkan kepada kalian shalat lima waktu dalam sehari semalam.” (Nashbur Raayah, Vol. 2, hlm. 114)
[13] HR Abu Dawud dan Ahmad.
[14] HR Ahmad dan dianggap hasan oleh Imam at-Tirmidzi.
[15]Muttafaq ‘alaih.
[16] HR Abu Dawud, an-Nasa’I, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hiban, dan al-Hakim(Nashbur Raayah, Vol.2, hlm. 112)
[17] Muttafaq ‘alaih
[18] Lihat al-Mughnii, Vol. 2, hlm. 159.
[19] HR Bukhari dan Muslim dari ibnu umar (Nashbur Raayah, Vol. 2, hlm.145)
[20] HR para pemilik kitab empat Sunan dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya  (Nashbur Raayah, Vol. 2, hlm. 118).
[21]Al-Mughnii, Vol. 2, hlm. 151-153.
[22]Muttafaq alaih
[23] Sa’id bin Ali bin Wahaf Al-Qhathani, panduan shalat sunnah dan shalat khusus, hlm 371, almahira
[24]Ibid, hlm 372
[25]Ibid, hlm 372
[26]Ibid, hlm 406
[27]Ibid, hlm 407
[28]Muhammad Jawad Mughniyah, 2001,  fiqh lima madzhab, jakarta, PT Lentera Basritama.
[29]Muhammad Jawad Mughniyah, 2001,  fiqh lima madzhab, Jakarta, PT Lentera Basritama.

No comments:

Post a Comment