RIWAYAT DAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN TAN
MALAKA
Melihat kondisi dunia pendidikan dewasa ini, sebaiknyankita perlu
melihat ke belakang bagaimana bentuk dan ide pendidikan yang pernah digagas
aatau diterapkan oleh para tokoh besar Republik Indonesia. Oleh sebab
itu,penulis ingin mewacanakan salah satu bentuk dan ide pendidikan zaman
pergerakan nasional, yaitu sekolah Sarekat Islam atau lebih dikenal dengan
sebutan sekolah Tan Malaka.Mendengar nama ini, tentu pikiran kita tertuju pada
ideologi komunis. Suatu ideologi yang dilarang bahkan menjadi sindrom traumatik
bagi bangsa ini, sama halnya dengan ideologi Nazi di Jerman. Walaupun begitu,
bukanlah lantas tujuan dan praktik pendidikan di sekolah ini mengarah pada
absolutisme “Pengomunisan manusia’’ Indonesia. Tan Malaka menggunakan
pendidikan sebagai instrumen menjaga harkat dan martabat bangsa Indonesia atas
praktik penindasan bangsa asing. Untuk itu, pendidikan sosialis pun diciptakan
Tan Malaka guna melawan praktik ketidakadilan dan diskriminasi yang dilakukan
oleh kolonialis Belanda. Pendidikan sosialis merupakan pendidikan yang bersifat
kerakyatan, berkeadilan, demokratis, dan membebaskan. Senada dengan apa yang
pernah diungkapkan oleh Yohanes Amos Comenus(1592-1670) seorang uskup Ceko dan
dikenal sebagai “Bapak Pendidikan modern’’.[1] Nurani Soyomukti menandaskan bahwa
“Pendidikan sosialis merupakan jalan pembebasan manusia, yang demokratis,
rasional, aktif, independen, dan tidak melihat hubungan ekonomi.[2]
Sebagaimana tujuan tipologi masyarakat, Tan Malaka sendiri mengakui dalam
konteks Indonesia masyarakat komunis merupakan utopis. Jika merujuk pada
tipologi ideologi pendidikan, ada tiga ideologi besar yaitu konservatif,
liberal, dan kritis.[3]
Posisi pendidikan Tan Malaka sebagai seorang marxis diletakkan
pada ideologi pendidikan kritis. Maka pada pendidikan kritis memosisikan
pendidikan sebagai alat untuk mengubah struktur yang fundamental atau
mentransformasikan ketidakadilan sosial. Tan Malaka memang seorang marxis,namun
dalam praktik pendidikannya, bukanlah tujuan utama dirinya untuk
menyosialisasikan dan atau melegitimasi ideologi komunis. Bahkan dalam
perjalanan hidupnya, di persinggahan pelarian politik, Tan Malaka
mempertahankan hidupnya dengan menjadi guru. Simbol pemikiran Tan Malaka secara
nyata dapat kita lihat pada model sekolah yang didirikannya. Menurut Tan
Malaka, sebagaimana dikutip Harry A. Poeze, pendidikannya yang diterapkan oleh
penindas Belanda digunakan untuk melahirkan anak-anak pribumi yang nantinya
menindas bangsa sendiri dan kemanusiaan. Keironisan nasib rakyat Indonesia
salah satunya dituliskan juga oleh seorang anggota Pari, Dawud,
“Rakyat Indonesia! Kalian sudah bungkuk karena diinjak-injak oleh
kaum imperealis! Kalian sudah tinggal kulit pembalut tulang saja karena diperas
habis-habisan oleh kaum kapitalis! Kalian sudah hancur karena diracun oleh orang-orang yang
dogmatis! Jika ada satu bangsa di dunia yang sangat bodoh, paling banyak
dianiaya, paling banyak dihina, paling terbelakang, maka bangsa itu tiada lain
adalah bangsa kalian sendiri!’’[4]
Keironisan inilah
yang menggerakkan Tan Malaka untuk mentransformasi ketidakadilan sosial dan
perlawanan praktik imperialis dan kapitalisme melalui media pendidikan, yaitu
sekolah Sarekat Islam. Jika dikontekskan dengan jalur pendidikan pada sistem pendidikan sekarang, sekolah yang didirikan Tan Malaka
ini merupakan sekolah nonformal.[5]
Sekolah ini selain memberi modal hidup, peserta didik juga dididik sebagai
kader-kader pergerakan. Oleh karena itu, sekolah ini juga disebut sekolah
kader. Konteks kader dalam hal ini adalah generasi yang kelak mewujudkan
cita-cita sekolah, yaitu mewujudkan kemerdekaan Indonesia dan mentrasformasikan
ketidakadilan sosial. Melalui pendidikan yang dijalankan secara demokratis,
kritis, berkeadilan, dan menanamkan mentalis sosial. Dengan demikian, proses
kehidupan seperti ini secara perlahan akan mewujudkan bentuk ideal masyarakat
Indonesia, yaitu masyarakat sosialistis. Masyarakat sosialistis adalah
masyarakat yang memiliki sifat kesadaran kritis dan anti terhadap segala bentuk
penindasan, pemerasan, dan mampu menegakkan keadilan serta menjunjung tinggi
persamaan derajat dan nilai-nilai religiusitas dalam masyarakat tanpa
diskriminatif. Untuk itu dalam praktik pendidikan, Tan Malaka selalu berusaha
menginternalisasi dan metrasformasikan nilai-nilai sosialis kepada setiap
peserta didiknya. Karena pada dasarnya peserta didik merupakan bagian dari
masyarakat, kelak nanti membaur menjadi masyarakat. Dengan demikian, gagasan
pendidikan Tan Malaka kiranya dapat diterima menjadi khazanah pemikiran
pendidikan yang dapat dikontekstualisasikan dalam praktik pendidikan dewasa ini
(di tengah masyarakat yang sindrom komunis) terlepas dari ideologi yang dianut
Tan Malaka.
A.Dari Deli Menuju Sekolah Revolusioner
Sejarah pendidikan Indonesia tidak lepas dari sejarah stratifikasi
kelas, khususnya pada masa kolonial Belanda. Selain Stratifikasi kelas,
kepentingan atau ideologi pada institusi pendidikan pun sangat kuat. Hal ini
dapat dilihat pada konteks didirikannya sebagai sekolah seperti Europeeche
Lagere School (ELS),[6]MarineSchool (Sekolah
Pelayaran),[7]Kweekschool
(sekolah guru),[8]
dan HoofdenSchool(sekolah raja).[9] Pembangunan
sekolah dan pemberian pelayanan pendidikan kepada penduduk pribumi semakin meningkat saat diberlakukannya politik etis
pada 1901 oleh pemerintah kolonial Belanda. Ada dua jenis sekolah formal pada
masa itu, Yaitu Sekolah Dasar kelas 1 (lagere School der Eerste Klasse)
dan sekolah dasar kelas 2 (Lagere School der Tweede Klasse). lagere
School der Eerste Klasse dikhususkan untuk anak-anak pribumi yang memiliki
status bangsawan dan priyai tinggi.Tujuan dari sekolah ini adalah untuk
memenuhi kebutuhan pegawai pemerintah, perdagangan, dan perusahaan yang
dikuasai oleh pemerintah kolonial. Mata pelajaran yanh diajarkan disekolah ini
meliputi membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah, pengetahuan alam,
menggambar, dan ilmu ukur. Sedangkan Lagere School der Tweede Klasse,
diperuntukan bagi anak-anak pribumi yang berasal dari golongan rendah atau
rakyat jelata. Mata pelajaran yang diajarkan meliputi bidang tulis-menulis,
membaca dan berhitung. Perbedaan itu terjadi karena kolonial Belanda
mengiginkan agar kaum pribumi tidak menjadi pintar dan tetap berada pada posisi
rendah. Anak-anak pribumi yang yang dapat mengakses pendidikan formal tinggi
dan menghasilkan golongan terpelajar. Dengan kesadaran dan kemampuan serta
pengetahuan yang luas tentang kemerdekaan dari negara-negara yang dulu pernah
dijajah, akhirnya mendorong golongan terpelajar untuk mendirikan organisasi-organisasi
atau partai-partai sebagai alat perjuangan untuk melawan penindasan. Salah satu
golongan terpelajar itu adalah Soetomo. Pada 20 Mei 1908, disalah satu ruang
belajar school tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) atau sekolah
pendidikan Dokter Hindia di Batavia (sekarang Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia), Soetomo menyatakan bahwa hari depan bangsa dan tanah air berada di
tangan para golongan terpelajar pribumi. Pernyataan Soetomo saat itu juga
melahirkan organisasi “Budi Utomo”. Para golongan terpelajar yang sadar akan
realitas bangsanya, setelah menyelesaikan studi mereka tidak mau bekerja
menjadi pegawai pemerintah kolonial dan bahkan tidak mau diajak bekerja sama. Dari
beberapa sekolah yang ada pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, sejarah
mencatat bahawa sekolah yang didirikan oleh Sarekat Islam dikenal sebagai
sekolah kader yang radikal dan sangat ditakuti oleh pemerintah kolonial pada
masa itu. Selain ideologi, pendiri dari sekolah Sarekat Islam ini pun dikenal
sebagai seorang Marxisme-Leninisme yang militan Tan Malaka dan ketua PKI
Semaun. Menurut Harry A. Poeze, inspirasi sekolah Tan Malaka didasarkan pada
bentuk dan ide pendidikan Belanda dan Rusia.[10] Saat Tan
Malaka masih menyelesaikan studi pendidikannya di Rijkskweekschool
Belanda, Tan Malaka tidak hanya melihat dan terlibat di organisasi-organisasi
komunis yang bergerak di bidang politik seperti Partai Sosial Demokrat (SDP)
Belanda. Pemahaman dan pengamatan Tan Malaka selama di negeri Belanda tentang
arti penting pendidikan, mendorong dia untuk membuat sekolah rakyat dengan
tujuan mendidik masyarakat Indonesia dalam melawan kolonialis-kapitalis. Maka
dari itu, setelah menyelesaikan studi pendidikan gurunya pada tahun 1919, Tan
Malaka kemudian kembali ke Indonesia dan menjadi guru sekolah dasar kelas 2
diperkebunan teh milik Belanda yang ada di daerah Sanembah, Tanjung Morawi,
Deli, Sumatera Timur. Di sanembah, Tan Malaka mengajar anak-anak buruh teh
tentang bagaimana cara menulis. Tindakan ini memancing amarah pengurus perkebunan
dan sempat memanggil Tan Malaka. Berbagai penindasan serta ketidakadilan baik
di bidang ekonomi, sosial, dankhususnya pendidikan, membuat Tan Malaka empati
dan sadar bahwa bangsanya harus keluar dari penindasan kolonial. Dari Deli Tan
Malaka mendapat pelajaran penting dan ini juga sebagai tonggak awal perjuangan
revolusinya.
“Sebentar saja saya sudah mendapat keyakinan
betapa beratnya pekerjaan mengangkat derajatnya kuli kontrak sekeluarganya.
Mereka terikat oleh bermacam-macam peraturan yang ditetapkan oleh kontrak, yang
mereka sendiri tak bisa baca, apalagi mengerti, tetapi mereka takuti seperti
perjanjian dengan hantu. Mereka terikat kekolotan, kebodahan, kegelapan...
Tiadalah ada hak dan kemungkinan sama sekali buat kuli kontrak memperbaiki
nasibnya, memang seluruhnya masyarakat jajahan penuh pengkhianatan bangsa atau
calon-calonnya.”[11]
Untuk itu, Tan Malaka bercita-cita mendirikan
sekolah yang berasaskan keadilan, kerakyatan, keindonesiaan, dan yang utama
sekolah menjadi alat perjuangan melawan praktik-praktik imperialis kapitalis
atau revolusioner. Oleh sebab itu, pada 23Februari 1921 Tan Malaka memutuskan
untuk berhenti bekerja di perkebunan teh tersebut dan hijrah menuju pulau jawa
dengan berbekal ide-ide pendidikan kerakyatan dan revolusioner. Sesampainya di
Pulau Jawa, Tan Malaka terlebih dahulu ke Batavia untuk bertemu Horensma. Tan
Malaka dapat tawaran kerja, namun tawaran itu ditolak. Tan Malaka menceritakan
alasan penolakannya dan keinginannya untuk mendirikan sekolah. Atas keinginan
Tan Malaka ini, Horensma mendukung dan berkata “teruskanlah saja”. Atas
rekomendasi dari sahabatnya yang juga pimpinan organisasi Budi Utomo di Medan,
Tan Malaka melanjutkan perjalanannya ke yogjakarta untuk bertemu Sutopo, mantan
pimpinan surat kabar Budi Utomo. Sutopo berjanji akan mendirikan sebuah
sekolah yang kelak akan dipimpin langsung Tan Malaka.[12] Tanpa
direncanakan, gayung pun bersambut. Kedatangan Tan Malaka di yogjakarta
ternyata bersamaan dengan diselenggarakannya kongres kelima Sarekat Islam. Di
saat itu, oleh Sutopo, Tan Malaka untuk kali pertamanya diperkenalkan dengan
para tokoh Sarekat Islam seperti Tjokroaminoto, Semaun, dan Darsono. Perkenalan
ini pun diartikan sebagai sebuah perkenalan ideologis antara Tan Malaka dan
para tokoh Sarekat Islam. Atas kemelut ini, Tan Malaka yang pada saat itumasih
terbilang baru bahkan asing bagi anggota lain di internal S.I., angkat bicara.
Menurutnya, untuk rangkap keanggotaan di SI harus dikecualikan untuk PKI.
Sampai akhirnya, kongres tetap memutusakan bahwa keanggotaan S.I tidak bisa
rangkap, khususnya keanggotaan S.I. tidak bisa rangkap, khususnya keanggotaan
PKI. Kesetujuan Semaun atas ide Tan Malaka sebenernya tidak lepas dari
kesepahaman pemikiran Tan Malaka dengan Semaun. Berangkatlah Tan Malaka ke
Semarang bersama Semaun dan Darsono. Sesampainyadi Semarang, Tan Malaka jatuh
sakit.Sebagaimana yang dituliskan Tan Malaka dalam buku autobiografi,
“Semenjak hari pertama saya jatuh berbaring di
tempat tidur di kampung Suburan, di rumah saudara Semaun. Demam, panas, sampai
akhirnya terpaksa dihantarkan oleh saudara Semaun ke rumah sakit. Saya
menderita serangann paru-paru, satu bulan lamanya harus dirawat.”[13]
Sebulan
kemudian, setelah Tan Malaka agak sehat. Semaun bersama para anggota SI
Semarang melakukan rapat istimewa. Dirapat itu, Semaun mengusulkan perlunya
S.I. Semarang mendirikan perguruan atau sekolah pribumi sebagai perlawanan atas
sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial. Ide yang
diusulkan oleh Semaun dengan Tan Malaka tentang sekolah rakyat. Tan Malaka
menambahkan bahwa rakyat perlu dibebaskan dari kebodohan dan praktik penindasan
melalui didikan rakyat. Akhirnya, usulan pun diterima baik oleh seluruh
anggota. Dalam konteks ini, Tan Malaka yang juga Marxis berada pada posisi
negara yang belum merdeka atau masih tertindas. Dengan demikian, orientasi utama
pendidikan bukan”mengomuniskan” masyarakat Indonesia, tetapi lebih bersifat
bagaimana membangun kesadaran kritis rakyat Indonesia dengan bingkai analisis.
Walaupun begitu, ekuivalensi dari kurikulum Marxisme ini adalah mengajarkan
anti-imperealisme-kapitalisme. Lagi pula Tan Malaka menyadari tidaklah mungkin
“mengomuniskan” masyarakat Indonesia yang secara sosiologis maupun antropologis
adalah penganut agama yang taat. Mengomuniskan berarti mengateiskan,
mengateiskan berarti berlawanan dengan keyakinan masyarakat Indonesiayang
mayoritas muslim, termasuk Tan Malaka sendiri. Pada 21 Juni 1921,secara resmi
sekolah S.i. dibuka. Tan Malaka sebagai inspirator, diberi tanggung jawab oleh
Semaun untuk memimpin dan mengurus sekolah ini. Awal berdirinya sekolah ini pun
langsung mendapat perhatian serius dari pihak pemerintah kolonial. Nmaun Tan
Malaka tidak gentar dan tetap menjalankan kegiatan-kegiatan sekolah. Tan Malaka
menuliskan, “Baru saja sekolah kita dibuka, Surabayasch Handelsblad
serta konco-konconya sudah berteriak: “Hai, pemerintah awasi sekolah SI itu.”[14] Agar sekolah ini berjalan terarah, Tan Malaka
membuat dasar dan tujuan sekolah S.I. berupa brosur yang diberi judul “S.I.
Semarang dan Onderwijs. Dalam brosur ini, Tan Malaka menuliskan prinsip sekolah
S.I. yaitu,
“Bahwa sekolah SI bukan seperti sekolah
partikuler yang lain-lain, yakni pertama sekali buat mencari keuntungan,
belehlah kita buktikan dengan bermacam-macam jalan. Bukan saja karena
ongkosbuat uang sekolah adalah lebih enteng, dan pengajaran ternyata lebih baik
seperti keterangan anak-anak sendiri yang datang dari sekolah-sekolah
partikuler.....”[15]
Tan
Malaka menunjukkan bahwa sekolah yang didirikannya bukanlah untuk mencari
keuntungan kapital. Sementara strategi atau gaya pendidikan yang diterapkan Tan
Malaka lebih bersifat andragogi. Maksudnya, pendidikan tidak berpusat dari
guru, melainkan pada peserta didik.[16]Karena sulitnya
memperoleh buku-buku yang berisi materi Marxisme di Indonesia. Sekolah Tan
Malaka tidak terpaku pada jadwal sekolah tetap serta pakaian seragam seperti
sekolah formal pemerintah pada umumnya. Untuk itu asas dan tujuan sekolah ini
adalah “kebebasan jiwa pada anak didik agar kelak menjadi manusia yang kreatif
dan dapat berdiri sendiri, membela rakyat kecil yang sengsara nasibnya karena
sistem kapitalise, dan berdasarkan kebudayaan asli Indonesia.” Oleh karena itu,
sekolah Tan Malaka juga disebut sebagai sekolah kader. Sekolah Tan Malaka
kemudian tidak hanya berkembang di Pulau Jawa (semarang, Bandung), tetapi juga
diluar Pulau Jawa yakni sampai ke Ternate. Pada 13 Februari 1922 saat Tan
Malaka mengunjungi sekolahnya yang ada di Bandung. Dia ditangkap oleh
polisi rahasia Belanda.Penangkapan Tan
Malaka ini tidak lain karena aktivitas politiknya yang dinilai sangat
membahayakan bagi status quo pemerintah kolonial pada saat itu. Tan Malaka pun
dijatuhi hukuman pengasingan ke Kupang. Namun, dia menginginkan agar pengasingan
itu ke negeri Belanda. Akhirnya pada 10 Maret 1922 Tan Malaka pun pergi untuk
kedua kalinya meninggalkan Indonesia menuju negeri Belanda.
Sepeninggal
Tan Malaka ke luar negeri, pada tahun 1923 saat kongres ketujuh Sarekat Islam
di Madiun. SI putih kemudian berganti nama menjadi partai Sarekat Islam dan SI
merah berganti nama menjadi Sarekat rakyat. Perubahan nama ini pun berdampak
eksistensi sekolah Tan Malaka. Pada April 1924, sekolah Tan Malaka yang
tersebar di Indonesia ikut berganti nama menjadi Sekolah Rakyat(SR). Tidak
hanya berganti nama. Sekolah yang selama berdiri selalu dalam pengawasan
pemerintah kolonial ini pun banyak yang ditutup dan diserahkan kepada badan
lain untuk mengurusnya, seperti SR yang berada di Bandung diserahkan
kepada Ir. Soekarno, yang kemudian
diserahkan kepada Taman Siswa.[17]Dengan kata
lain cikal bakal lahirnya sekolah-sekolah rakyat di Indonesia tidak lepas dari
konstribusi pemikiran pendidikan Tan Malaka. Perihal masalah ini Tan Malaka
mengungkapkan,”Saya sendiri tidak bisa menyaksikan kemajuannya.
Walaupun
sekolah yang didirikannya ditutup, namun jiwa pedagogis Tan Malaka tidak lantas
terhenti. Dengan situasi dan kondisi yang tidak stabil dan sewaktu-waktu
mengintai nyawanya, Tan Malaka tidak gentar untuk mentransformasikan
nilai-nilai revolusioner melalui pendidikan kader yang dijalankannya. Bahkan,
dalam setiap rumusan program
organisasiyang didirikan tidak lepasdari point pendidikan yang
sosialistis. Misalnya saja, seperti dasar program Partai Murba, tempat Tan
Malaka merumuskan pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan atas dasar
kolektivitasi sebagai program dari Partai Murba.[18] Selama dalam
petualangan revolusi, tidak sedikit Tan
Malaka melahirkan generasi muda yang kritis dan revolusioner. Nama-nama di
bawah ini merupakan sekian dari beberapa tokoh pergerakan nasional yang pernah
mendapatkan pendidikan kader Tan Malaka.
1.
Muhammad Yamin
2.
Adam Malik
3.
Sayuti Melik
4.
Chaerul Saleh
5.
Maruto Nitimiharjo
6.
Nyi Mangoensakoro
7.
Wasid Suwarto
B. Filsafat Pendidikan Tan Malaka
Filsafat
pendidikan merupakan suatu filsafat terapan. Secara etimologis, filsafat
pendidikan terdiri dari tern filsafat dan pendidikan. Pengertian filsafat dan pendidikan secara umum telah dijelaskan
pada bab sebelumnya. Filsafat pendidikan pada dasarnya sebagai kaidah filosofis
dalam badang pendidikan yang menggambarkan aspek-aspek pelaksanaan falsafah
umum dan sebagai upaya memecahkan persoalan-persoalan pendidikan secara
praktis. Menurut John Dewey, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin dan Abdullah
Idi, “ Filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang
fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan
(emosional), menuju tabiat manusia.”Pada dasarnya filsafat pendidikan
menyelidiki hakikat pelaksanaan pendidikan yang berkaitan dengan tujuan, cara,
dan hasil yang berdasarkan analisis kritis terhadap struktur dan kegunaan dari
pendidikan itu sendiri. Adapun subyek filsafat pendidikan adalah subyek atau
seseorang yang berpikir secara mendalam dan kritis tentang hakikat sesuatu
serta bagaimana memecahkan permasalahan pendidikan Sedangkan objek filsafat
pendidikan terbagi menjadi dua,yaitu objek material berupa sesuatu atau
realitas dan objek formal berupa sifat mengasaskan atau berprinsip.
Dalam
filsafat pendidikan modern ada empat aliran utama, yaitu Progesivisme,
Parenialisme, Esensialisme, dan Rekonstruksionisme. Pada posisi progesivisme,
Tan Malaka melihat peserta didik bukanlah subjek yang pasif, peserta didik
adalah subjek aktif yang berpikir. Oleh karena itu, Tan Malaka memberikan
kebebasan kepada pesrta didik untuk mengembangkan segala potensi yang
dimilikinya. Adapun sudut pandang
perenialisme dan esensialisme secara makro, Tan Malaka tidak terlalu menekankan
pandangannya. Sebab, Tan Malaka meyakin dalam masyarakat akan selalu mengalami
perkembangan dan perubahan karena masyarakat itu dinamis dan animasi
rational. Atas kemungkinan
terjadinya perubahan di dalam
masyarakat, bagi Tan Malaka yang menjadi persoalan bukanlah kembali kepada
nilai-nilai kebudayaan yang sudah ada, melainkan bagaimana masyarakat (peserta
didik) diberikan modal hidup untuk dapat suvive dan menjaga harkat dan
martabatnya sebagai manusia dan warga negara.
Tata
nilai lam dan spirutual tidak eksteren dilupakan bahkan dihilangkan Tan Malaka.
Tata nilai lam bagi Tan Malaka sebagai reflektor dalam mengkonstruksi
nilai-nilai barukritis. Guna menciptakan
tatanan kehidupan yang lebih baik lagi. Sedangkan spiritual,diposisikan sebagai
filter dari tindakan manusia.
C. Pendidikan yang Sosialistis dan
Transformatif
Pembahasan mengenai filsafat pendidikan Tan
Malaka sudad dijelaskan di atas. Untuk memperkuat penjelasan mengenai posisi
aliran filsafat pendidikan Tan Malaka, penulis akan menguraikan dimensi makro
dan mikro dari pemikiran pendidikan Tan Malaka. Dimensi makro yang dimaksud
adalah perihal pandangan dan tujuan pendidikan Tan Malaka. Sederhananya dimensi
makro memmengaruhi dimensi mikro dan atau sebaliknya. Bagi Tan Malaka dalam
S.I. Semarang dan Onderwijs, pendidikan merupakan proses usaha
memaksimalkan segala potensi manusia sebagai modal kehidupannya. Dengan adanya
pendidikan, manusia dapat memperoleh kemerdekaannya melalui konstruksi pikiran
yang rasional. Kaitan kemerdekaan dalam konteks kontemporer adalah bagaimana
manusia mendapatkan keadilan dan haknya sebagai warga negara. Melalui
pendidikan, manusia dapat meningkatkan kualitas dan harga dirinya.Secara
implisit, menurut Tan Malaka pendidikan memiliki dua fungsi, yaitu
1.
Instrumen menumbuhkan kesadaran sosial
2.
Instrumen transformasi
Transformasi sosial, inilah yang ada dalam
pikiran Tan Malaka tentang fungsi pendidikan itu sendiri. Secara umum, ada
beberapa tujuan pendidikan Tan Malaka.[19] Pertama,
memberi snjata cukup, buat pencari penghidupan dalam dunia kemodalan
(berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dan sebagainya).
Menurut Tan Malaka, tujuan pendidikan tidak lain memberika kemampuan manusia
untuk untuk bertahan hidup. Bertahan dari segala serangan dan teakanan. Namun
demikian, tujuan pendidikan Tan Malaka bukanlah semata-mata melakukan praktik
induktrinisasi ideologi Marxisme. Dengan kata lain, posisi Tan Malaka sebagai
seorang Marxis ditempatkan dalam koridor membangun kesadaran kritis pesrta
didik yang dunjukkan untuk kepentingan peserta didik pada khususnya dan negara
pada umumnya, dan bukan cenderung untuk kepentingan kelompok. “Tindakan
tersebut bukan hanya bermanfaat bagi individu dalam proses individuasi. Dalam
hal ini Tan Malaka mengungkapakan, politik pemerintahan Belanda ini dalam soal
pengajaran boleh disimpulkan dengan perkataan : “ Bangsa Indonesia harus tetap
bodoh supaya ketentraman dan keamanan umum terpelihara.”[20] Oleh karena
itu, Tan Malaka mendesain praktik pendidikannya yang mengarah pada pembentukan
manusia yang empatis dan humanis. Maka Tan Malaka menanamkan filofofi
“bersih-bersih” dan dalam “bersih-bersih” dan ada juga kegiatan gotong royong
sehingga sikap tolong menolong dan menghargai satu sama lain pun terbentuk.
Dengan demikian, interaksi antara guru dan peserta didik bukanlah proses
komunikasi, melainkan guru hanya menyampaikan pernyataan-pernyataan dan
“mengisi tabungan yang diterima”, dihafal, dan diulangi dengan patuh oleh
peserta didik.[21]
D. Pendidikan yang Taktis
Dalam psikologi pendidikan melihat relasi
efesiensi dan efektivitas kegiatan peserta didik pada faktor psikologis seperti
mental, minat, sikap, dan sifat kepribadian, serta kecakapan peserta didik.
Adapun ruang lingkup psikologi pendidikan, antara lain, meliputi analisis
faktor-faktor lingkungan, kesiapan belajar, prosedur pembelajaran, teknik
pembelajaran yang tepat, serta pengaruh pembelajaran baik secara psikologis
maupun sosiologis bagi peserta didik. Pada aspek lingkungan sekolah, dalam buku
SI Semarang dan Onderwijsserta autobiografinya dari penjara ke penjara
jilid I,secara implisit Tan Malaka meyakini faktor lingkunagn sekolah menentukan
proses belajar peserta didik. Lingkungan sekolah sendiri adalah segala sesuatu
yang ada di sekitar sekolah yang memengaruhi perkembangan kehidupan warga
sekolah baik secara langsung maupun tidak. Pada aspek proses
belajar-pembelajaran, Tan Malaka menekankan integrasi dengan lingkungan baik
sekolah maupun sosial dan psikologis peserta didik.
E. Metode Pembelajaran Kritis dan Humanis
Pencapain tujuan pendidikan tentu tidak lepas
dari proses pembelajaran yang ada didalamnya. Prosespembelajaran merupakan
sesuatu yang inheren dalam pelaksanaan visi-misi suatu lembaga pendidikan.
Secara normatif disebutkan dalam UU sisdiknas 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 20,
bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan. Selain faktor guru-peserta didik,
perangkat administrasi, sarana-prasarana, dan kurikulum, yang terpenting dari
proses pembelajaran itu sendiri adalah metode pembelajaran.Di dalam metode
pembelajaran, peserta didik sitransformasikan segala potensi kemampuan yang ada
dalam dirinya. Dengan kata lain, metode pembelajaran menjadi determinan atas
keberhasilan dari proses pendidikan sendiri. Banyak berbagai metode
pembelajaran tersaji, tergantung bagaimana situasi, kondisi, ketepatan, dan
keefisienan dalam penggunaan. Penggunaan suatu metode tertentu juga ditentukan
dari tujuan pembelajaran itu sendiri. Berdasarkan kajian literatur yang penulis
telusuri, terdapat empat kategori metode utama dalam proses pembelajaran yang
diterapkan Tan Malaka.
1.
Metode Dialogis
2.
Metode “Jembatan Keledai” (Contextual Teaching and
Learning)
3.
Metode Diskusi Kritis
4.
Metode Sosiodrama
[1]Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran
dan Praktek dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari Yohanes Amos Comenius
Sampai Perkembangan PAK di Indonesia (Jakarta:BPKMGunung Mulia, 2009),
hlm.1.
[2]Nurani Soyomukti, Metode Pendidikan Marxis
Sosialis (Yogyakarta:Ar-Ruzz Media,2008), hlm. 102-103.
[3]William F.O’neil, Ideologi-ideologi Pendidikan.
[5]Lihat UU Sisdiknas 2003 pasal 13 ayat 1.
[6]Europeesche Lagere School(ELS)merupakan sekolah yang menggunakan sistem
Barat yang mempunyai tujuh tingkat.
[7]Sekolah ini didirikan pada 1880 di semarang.
[9]Sekolah ini kali pertamanya didirikan di Magelang
tahun 1878.
[10]Wawancara penulis dengan Harry A.
[11]Tan Malaka, Dari Penjara... Jilid 1, hlm. 69.
[12]Namun, setelah Tan Malaka bertemu Semaun, tawaran
Sutopo ini ditolak Tan Malaka.
[14]Tan Malaka, S.I. Semarang dan Onderwijs (Jakarta:
Yayasan Massa, 1987), hlm. 2.
[16]Pembedaan antara pedagogi dan andragogi secara
populer diperkenalkan oleh Malcolm Knowles.
[17]Lengkapnya lihat Sajoga, Riwayat Perjuangan
Taman Siswa 1922-1952.
[18]Lihat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Partai Murba, Pasal IV, dalam Wasid Suwarto, Pokok-Pokok Ajaran Tan Malaka:
Murbaisme...hlm.3-4
[20]Tan Malaka, Aksi Massa... hlm. 62.
No comments:
Post a Comment