Tuesday, February 6, 2018

RIWAYAT DAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN TAN MALAKA



RIWAYAT DAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN TAN MALAKA

Melihat kondisi dunia pendidikan dewasa ini, sebaiknyankita perlu melihat ke belakang bagaimana bentuk dan ide pendidikan yang pernah digagas aatau diterapkan oleh para tokoh besar Republik Indonesia. Oleh sebab itu,penulis ingin mewacanakan salah satu bentuk dan ide pendidikan zaman pergerakan nasional, yaitu sekolah Sarekat Islam atau lebih dikenal dengan sebutan sekolah Tan Malaka.Mendengar nama ini, tentu pikiran kita tertuju pada ideologi komunis. Suatu ideologi yang dilarang bahkan menjadi sindrom traumatik bagi bangsa ini, sama halnya dengan ideologi Nazi di Jerman. Walaupun begitu, bukanlah lantas tujuan dan praktik pendidikan di sekolah ini mengarah pada absolutisme “Pengomunisan manusia’’ Indonesia. Tan Malaka menggunakan pendidikan sebagai instrumen menjaga harkat dan martabat bangsa Indonesia atas praktik penindasan bangsa asing. Untuk itu, pendidikan sosialis pun diciptakan Tan Malaka guna melawan praktik ketidakadilan dan diskriminasi yang dilakukan oleh kolonialis Belanda. Pendidikan sosialis merupakan pendidikan yang bersifat kerakyatan, berkeadilan, demokratis, dan membebaskan. Senada dengan apa yang pernah diungkapkan oleh Yohanes Amos Comenus(1592-1670) seorang uskup Ceko dan dikenal sebagai “Bapak Pendidikan modern’’.[1]  Nurani Soyomukti menandaskan bahwa “Pendidikan sosialis merupakan jalan pembebasan manusia, yang demokratis, rasional, aktif, independen, dan tidak melihat hubungan ekonomi.[2] Sebagaimana tujuan tipologi masyarakat, Tan Malaka sendiri mengakui dalam konteks Indonesia masyarakat komunis merupakan utopis. Jika merujuk pada tipologi ideologi pendidikan, ada tiga ideologi besar yaitu konservatif, liberal, dan kritis.[3] Posisi pendidikan Tan Malaka sebagai seorang marxis diletakkan pada ideologi pendidikan kritis. Maka pada pendidikan kritis memosisikan pendidikan sebagai alat untuk mengubah struktur yang fundamental atau mentransformasikan ketidakadilan sosial. Tan Malaka memang seorang marxis,namun dalam praktik pendidikannya, bukanlah tujuan utama dirinya untuk menyosialisasikan dan atau melegitimasi ideologi komunis. Bahkan dalam perjalanan hidupnya, di persinggahan pelarian politik, Tan Malaka mempertahankan hidupnya dengan menjadi guru. Simbol pemikiran Tan Malaka secara nyata dapat kita lihat pada model sekolah yang didirikannya. Menurut Tan Malaka, sebagaimana dikutip Harry A. Poeze, pendidikannya yang diterapkan oleh penindas Belanda digunakan untuk melahirkan anak-anak pribumi yang nantinya menindas bangsa sendiri dan kemanusiaan. Keironisan nasib rakyat Indonesia salah satunya dituliskan juga oleh seorang anggota Pari, Dawud,
“Rakyat Indonesia! Kalian sudah bungkuk karena diinjak-injak oleh kaum imperealis! Kalian sudah tinggal kulit pembalut tulang saja karena diperas habis-habisan oleh kaum kapitalis! Kalian sudah hancur  karena diracun oleh orang-orang yang dogmatis! Jika ada satu bangsa di dunia yang sangat bodoh, paling banyak dianiaya, paling banyak dihina, paling terbelakang, maka bangsa itu tiada lain adalah bangsa kalian sendiri!’’[4]
            Keironisan inilah yang menggerakkan Tan Malaka untuk mentransformasi ketidakadilan sosial dan perlawanan praktik imperialis dan kapitalisme melalui media pendidikan, yaitu sekolah Sarekat Islam. Jika dikontekskan dengan jalur pendidikan pada sistem pendidikan  sekarang, sekolah yang didirikan Tan Malaka ini merupakan sekolah nonformal.[5] Sekolah ini selain memberi modal hidup, peserta didik juga dididik sebagai kader-kader pergerakan. Oleh karena itu, sekolah ini juga disebut sekolah kader. Konteks kader dalam hal ini adalah generasi yang kelak mewujudkan cita-cita sekolah, yaitu mewujudkan kemerdekaan Indonesia dan mentrasformasikan ketidakadilan sosial. Melalui pendidikan yang dijalankan secara demokratis, kritis, berkeadilan, dan menanamkan mentalis sosial. Dengan demikian, proses kehidupan seperti ini secara perlahan akan mewujudkan bentuk ideal masyarakat Indonesia, yaitu masyarakat sosialistis. Masyarakat sosialistis adalah masyarakat yang memiliki sifat kesadaran kritis dan anti terhadap segala bentuk penindasan, pemerasan, dan mampu menegakkan keadilan serta menjunjung tinggi persamaan derajat dan nilai-nilai religiusitas dalam masyarakat tanpa diskriminatif. Untuk itu dalam praktik pendidikan, Tan Malaka selalu berusaha menginternalisasi dan metrasformasikan nilai-nilai sosialis kepada setiap peserta didiknya. Karena pada dasarnya peserta didik merupakan bagian dari masyarakat, kelak nanti membaur menjadi masyarakat. Dengan demikian, gagasan pendidikan Tan Malaka kiranya dapat diterima menjadi khazanah pemikiran pendidikan yang dapat dikontekstualisasikan dalam praktik pendidikan dewasa ini (di tengah masyarakat yang sindrom komunis) terlepas dari ideologi yang dianut Tan Malaka.
A.Dari Deli Menuju Sekolah Revolusioner
            Sejarah pendidikan Indonesia tidak lepas dari sejarah stratifikasi kelas, khususnya pada masa kolonial Belanda. Selain Stratifikasi kelas, kepentingan atau ideologi pada institusi pendidikan pun sangat kuat. Hal ini dapat dilihat pada konteks didirikannya sebagai sekolah seperti Europeeche Lagere School (ELS),[6]MarineSchool (Sekolah Pelayaran),[7]Kweekschool (sekolah guru),[8] dan HoofdenSchool(sekolah raja).[9] Pembangunan sekolah dan pemberian pelayanan pendidikan kepada penduduk pribumi semakin  meningkat saat diberlakukannya politik etis pada 1901 oleh pemerintah kolonial Belanda. Ada dua jenis sekolah formal pada masa itu, Yaitu Sekolah Dasar kelas 1 (lagere School der Eerste Klasse) dan sekolah dasar kelas 2 (Lagere School der Tweede Klasse). lagere School der Eerste Klasse dikhususkan untuk anak-anak pribumi yang memiliki status bangsawan dan priyai tinggi.Tujuan dari sekolah ini adalah untuk memenuhi kebutuhan pegawai pemerintah, perdagangan, dan perusahaan yang dikuasai oleh pemerintah kolonial. Mata pelajaran yanh diajarkan disekolah ini meliputi membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah, pengetahuan alam, menggambar, dan ilmu ukur. Sedangkan Lagere School der Tweede Klasse, diperuntukan bagi anak-anak pribumi yang berasal dari golongan rendah atau rakyat jelata. Mata pelajaran yang diajarkan meliputi bidang tulis-menulis, membaca dan berhitung. Perbedaan itu terjadi karena kolonial Belanda mengiginkan agar kaum pribumi tidak menjadi pintar dan tetap berada pada posisi rendah. Anak-anak pribumi yang yang dapat mengakses pendidikan formal tinggi dan menghasilkan golongan terpelajar. Dengan kesadaran dan kemampuan serta pengetahuan yang luas tentang kemerdekaan dari negara-negara yang dulu pernah dijajah, akhirnya mendorong golongan terpelajar untuk mendirikan organisasi-organisasi atau partai-partai sebagai alat perjuangan untuk melawan penindasan. Salah satu golongan terpelajar itu adalah Soetomo. Pada 20 Mei 1908, disalah satu ruang belajar school tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) atau sekolah pendidikan Dokter Hindia di Batavia (sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Soetomo menyatakan bahwa hari depan bangsa dan tanah air berada di tangan para golongan terpelajar pribumi. Pernyataan Soetomo saat itu juga melahirkan organisasi “Budi Utomo”. Para golongan terpelajar yang sadar akan realitas bangsanya, setelah menyelesaikan studi mereka tidak mau bekerja menjadi pegawai pemerintah kolonial dan bahkan tidak mau diajak bekerja sama. Dari beberapa sekolah yang ada pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, sejarah mencatat bahawa sekolah yang didirikan oleh Sarekat Islam dikenal sebagai sekolah kader yang radikal dan sangat ditakuti oleh pemerintah kolonial pada masa itu. Selain ideologi, pendiri dari sekolah Sarekat Islam ini pun dikenal sebagai seorang Marxisme-Leninisme yang militan Tan Malaka dan ketua PKI Semaun. Menurut Harry A. Poeze, inspirasi sekolah Tan Malaka didasarkan pada bentuk dan ide pendidikan Belanda dan Rusia.[10] Saat Tan Malaka masih menyelesaikan studi pendidikannya di Rijkskweekschool Belanda, Tan Malaka tidak hanya melihat dan terlibat di organisasi-organisasi komunis yang bergerak di bidang politik seperti Partai Sosial Demokrat (SDP) Belanda. Pemahaman dan pengamatan Tan Malaka selama di negeri Belanda tentang arti penting pendidikan, mendorong dia untuk membuat sekolah rakyat dengan tujuan mendidik masyarakat Indonesia dalam melawan kolonialis-kapitalis. Maka dari itu, setelah menyelesaikan studi pendidikan gurunya pada tahun 1919, Tan Malaka kemudian kembali ke Indonesia dan menjadi guru sekolah dasar kelas 2 diperkebunan teh milik Belanda yang ada di daerah Sanembah, Tanjung Morawi, Deli, Sumatera Timur. Di sanembah, Tan Malaka mengajar anak-anak buruh teh tentang bagaimana cara menulis. Tindakan ini memancing amarah pengurus perkebunan dan sempat memanggil Tan Malaka. Berbagai penindasan serta ketidakadilan baik di bidang ekonomi, sosial, dankhususnya pendidikan, membuat Tan Malaka empati dan sadar bahwa bangsanya harus keluar dari penindasan kolonial. Dari Deli Tan Malaka mendapat pelajaran penting dan ini juga sebagai tonggak awal perjuangan revolusinya.
“Sebentar saja saya sudah mendapat keyakinan betapa beratnya pekerjaan mengangkat derajatnya kuli kontrak sekeluarganya. Mereka terikat oleh bermacam-macam peraturan yang ditetapkan oleh kontrak, yang mereka sendiri tak bisa baca, apalagi mengerti, tetapi mereka takuti seperti perjanjian dengan hantu. Mereka terikat kekolotan, kebodahan, kegelapan... Tiadalah ada hak dan kemungkinan sama sekali buat kuli kontrak memperbaiki nasibnya, memang seluruhnya masyarakat jajahan penuh pengkhianatan bangsa atau calon-calonnya.”[11]
Untuk itu, Tan Malaka bercita-cita mendirikan sekolah yang berasaskan keadilan, kerakyatan, keindonesiaan, dan yang utama sekolah menjadi alat perjuangan melawan praktik-praktik imperialis kapitalis atau revolusioner. Oleh sebab itu, pada 23Februari 1921 Tan Malaka memutuskan untuk berhenti bekerja di perkebunan teh tersebut dan hijrah menuju pulau jawa dengan berbekal ide-ide pendidikan kerakyatan dan revolusioner. Sesampainya di Pulau Jawa, Tan Malaka terlebih dahulu ke Batavia untuk bertemu Horensma. Tan Malaka dapat tawaran kerja, namun tawaran itu ditolak. Tan Malaka menceritakan alasan penolakannya dan keinginannya untuk mendirikan sekolah. Atas keinginan Tan Malaka ini, Horensma mendukung dan berkata “teruskanlah saja”. Atas rekomendasi dari sahabatnya yang juga pimpinan organisasi Budi Utomo di Medan, Tan Malaka melanjutkan perjalanannya ke yogjakarta untuk bertemu Sutopo, mantan pimpinan surat kabar Budi Utomo. Sutopo berjanji akan mendirikan sebuah sekolah yang kelak akan dipimpin langsung Tan Malaka.[12] Tanpa direncanakan, gayung pun bersambut. Kedatangan Tan Malaka di yogjakarta ternyata bersamaan dengan diselenggarakannya kongres kelima Sarekat Islam. Di saat itu, oleh Sutopo, Tan Malaka untuk kali pertamanya diperkenalkan dengan para tokoh Sarekat Islam seperti Tjokroaminoto, Semaun, dan Darsono. Perkenalan ini pun diartikan sebagai sebuah perkenalan ideologis antara Tan Malaka dan para tokoh Sarekat Islam. Atas kemelut ini, Tan Malaka yang pada saat itumasih terbilang baru bahkan asing bagi anggota lain di internal S.I., angkat bicara. Menurutnya, untuk rangkap keanggotaan di SI harus dikecualikan untuk PKI. Sampai akhirnya, kongres tetap memutusakan bahwa keanggotaan S.I tidak bisa rangkap, khususnya keanggotaan S.I. tidak bisa rangkap, khususnya keanggotaan PKI. Kesetujuan Semaun atas ide Tan Malaka sebenernya tidak lepas dari kesepahaman pemikiran Tan Malaka dengan Semaun. Berangkatlah Tan Malaka ke Semarang bersama Semaun dan Darsono. Sesampainyadi Semarang, Tan Malaka jatuh sakit.Sebagaimana yang dituliskan Tan Malaka dalam buku autobiografi,
“Semenjak hari pertama saya jatuh berbaring di tempat tidur di kampung Suburan, di rumah saudara Semaun. Demam, panas, sampai akhirnya terpaksa dihantarkan oleh saudara Semaun ke rumah sakit. Saya menderita serangann paru-paru, satu bulan lamanya harus dirawat.”[13]
          Sebulan kemudian, setelah Tan Malaka agak sehat. Semaun bersama para anggota SI Semarang melakukan rapat istimewa. Dirapat itu, Semaun mengusulkan perlunya S.I. Semarang mendirikan perguruan atau sekolah pribumi sebagai perlawanan atas sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial. Ide yang diusulkan oleh Semaun dengan Tan Malaka tentang sekolah rakyat. Tan Malaka menambahkan bahwa rakyat perlu dibebaskan dari kebodohan dan praktik penindasan melalui didikan rakyat. Akhirnya, usulan pun diterima baik oleh seluruh anggota. Dalam konteks ini, Tan Malaka yang juga Marxis berada pada posisi negara yang belum merdeka atau masih tertindas. Dengan demikian, orientasi utama pendidikan bukan”mengomuniskan” masyarakat Indonesia, tetapi lebih bersifat bagaimana membangun kesadaran kritis rakyat Indonesia dengan bingkai analisis. Walaupun begitu, ekuivalensi dari kurikulum Marxisme ini adalah mengajarkan anti-imperealisme-kapitalisme. Lagi pula Tan Malaka menyadari tidaklah mungkin “mengomuniskan” masyarakat Indonesia yang secara sosiologis maupun antropologis adalah penganut agama yang taat. Mengomuniskan berarti mengateiskan, mengateiskan berarti berlawanan dengan keyakinan masyarakat Indonesiayang mayoritas muslim, termasuk Tan Malaka sendiri. Pada 21 Juni 1921,secara resmi sekolah S.i. dibuka. Tan Malaka sebagai inspirator, diberi tanggung jawab oleh Semaun untuk memimpin dan mengurus sekolah ini. Awal berdirinya sekolah ini pun langsung mendapat perhatian serius dari pihak pemerintah kolonial. Nmaun Tan Malaka tidak gentar dan tetap menjalankan kegiatan-kegiatan sekolah. Tan Malaka menuliskan, “Baru saja sekolah kita dibuka, Surabayasch Handelsblad serta konco-konconya sudah berteriak: “Hai, pemerintah awasi sekolah SI itu.”[14]  Agar sekolah ini berjalan terarah, Tan Malaka membuat dasar dan tujuan sekolah S.I. berupa brosur yang diberi judul “S.I. Semarang dan Onderwijs. Dalam brosur ini, Tan Malaka menuliskan prinsip sekolah S.I. yaitu,
“Bahwa sekolah SI bukan seperti sekolah partikuler yang lain-lain, yakni pertama sekali buat mencari keuntungan, belehlah kita buktikan dengan bermacam-macam jalan. Bukan saja karena ongkosbuat uang sekolah adalah lebih enteng, dan pengajaran ternyata lebih baik seperti keterangan anak-anak sendiri yang datang dari sekolah-sekolah partikuler.....”[15]
            Tan Malaka menunjukkan bahwa sekolah yang didirikannya bukanlah untuk mencari keuntungan kapital. Sementara strategi atau gaya pendidikan yang diterapkan Tan Malaka lebih bersifat andragogi. Maksudnya, pendidikan tidak berpusat dari guru, melainkan pada peserta didik.[16]Karena sulitnya memperoleh buku-buku yang berisi materi Marxisme di Indonesia. Sekolah Tan Malaka tidak terpaku pada jadwal sekolah tetap serta pakaian seragam seperti sekolah formal pemerintah pada umumnya. Untuk itu asas dan tujuan sekolah ini adalah “kebebasan jiwa pada anak didik agar kelak menjadi manusia yang kreatif dan dapat berdiri sendiri, membela rakyat kecil yang sengsara nasibnya karena sistem kapitalise, dan berdasarkan kebudayaan asli Indonesia.” Oleh karena itu, sekolah Tan Malaka juga disebut sebagai sekolah kader. Sekolah Tan Malaka kemudian tidak hanya berkembang di Pulau Jawa (semarang, Bandung), tetapi juga diluar Pulau Jawa yakni sampai ke Ternate. Pada 13 Februari 1922 saat Tan Malaka mengunjungi sekolahnya yang ada di Bandung. Dia ditangkap oleh polisi  rahasia Belanda.Penangkapan Tan Malaka ini tidak lain karena aktivitas politiknya yang dinilai sangat membahayakan bagi status quo pemerintah kolonial pada saat itu. Tan Malaka pun dijatuhi hukuman pengasingan ke Kupang. Namun, dia menginginkan agar pengasingan itu ke negeri Belanda. Akhirnya pada 10 Maret 1922 Tan Malaka pun pergi untuk kedua kalinya meninggalkan Indonesia menuju negeri Belanda.
            Sepeninggal Tan Malaka ke luar negeri, pada tahun 1923 saat kongres ketujuh Sarekat Islam di Madiun. SI putih kemudian berganti nama menjadi partai Sarekat Islam dan SI merah berganti nama menjadi Sarekat rakyat. Perubahan nama ini pun berdampak eksistensi sekolah Tan Malaka. Pada April 1924, sekolah Tan Malaka yang tersebar di Indonesia ikut berganti nama menjadi Sekolah Rakyat(SR). Tidak hanya berganti nama. Sekolah yang selama berdiri selalu dalam pengawasan pemerintah kolonial ini pun banyak yang ditutup dan diserahkan kepada badan lain untuk mengurusnya, seperti SR yang berada di Bandung diserahkan kepada  Ir. Soekarno, yang kemudian diserahkan kepada Taman Siswa.[17]Dengan kata lain cikal bakal lahirnya sekolah-sekolah rakyat di Indonesia tidak lepas dari konstribusi pemikiran pendidikan Tan Malaka. Perihal masalah ini Tan Malaka mengungkapkan,”Saya sendiri tidak bisa menyaksikan kemajuannya.
            Walaupun sekolah yang didirikannya ditutup, namun jiwa pedagogis Tan Malaka tidak lantas terhenti. Dengan situasi dan kondisi yang tidak stabil dan sewaktu-waktu mengintai nyawanya, Tan Malaka tidak gentar untuk mentransformasikan nilai-nilai revolusioner melalui pendidikan kader yang dijalankannya. Bahkan, dalam setiap rumusan program  organisasiyang didirikan tidak lepasdari point pendidikan yang sosialistis. Misalnya saja, seperti dasar program Partai Murba, tempat Tan Malaka merumuskan pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan atas dasar kolektivitasi sebagai program dari Partai Murba.[18] Selama dalam petualangan  revolusi, tidak sedikit Tan Malaka melahirkan generasi muda yang kritis dan revolusioner. Nama-nama di bawah ini merupakan sekian dari beberapa tokoh pergerakan nasional yang pernah mendapatkan pendidikan kader Tan Malaka.
1.      Muhammad Yamin
2.      Adam Malik
3.      Sayuti Melik
4.      Chaerul Saleh
5.      Maruto Nitimiharjo
6.      Nyi Mangoensakoro
7.      Wasid Suwarto
B. Filsafat Pendidikan Tan Malaka
            Filsafat pendidikan merupakan suatu filsafat terapan. Secara etimologis, filsafat pendidikan terdiri dari tern filsafat dan pendidikan. Pengertian filsafat  dan pendidikan secara umum telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Filsafat pendidikan pada dasarnya sebagai kaidah filosofis dalam badang pendidikan yang menggambarkan aspek-aspek pelaksanaan falsafah umum dan sebagai upaya memecahkan persoalan-persoalan pendidikan secara praktis. Menurut John Dewey, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin dan Abdullah Idi, “ Filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional), menuju tabiat manusia.”Pada dasarnya filsafat pendidikan menyelidiki hakikat pelaksanaan pendidikan yang berkaitan dengan tujuan, cara, dan hasil yang berdasarkan analisis kritis terhadap struktur dan kegunaan dari pendidikan itu sendiri. Adapun subyek filsafat pendidikan adalah subyek atau seseorang yang berpikir secara mendalam dan kritis tentang hakikat sesuatu serta bagaimana memecahkan permasalahan pendidikan Sedangkan objek filsafat pendidikan terbagi menjadi dua,yaitu objek material berupa sesuatu atau realitas dan objek formal berupa sifat mengasaskan atau berprinsip.
            Dalam filsafat pendidikan modern ada empat aliran utama, yaitu Progesivisme, Parenialisme, Esensialisme, dan Rekonstruksionisme. Pada posisi progesivisme, Tan Malaka melihat peserta didik bukanlah subjek yang pasif, peserta didik adalah subjek aktif yang berpikir. Oleh karena itu, Tan Malaka memberikan kebebasan kepada pesrta didik untuk mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Adapun  sudut pandang perenialisme dan esensialisme secara makro, Tan Malaka tidak terlalu menekankan pandangannya. Sebab, Tan Malaka meyakin dalam masyarakat akan selalu mengalami perkembangan dan perubahan karena masyarakat itu dinamis dan animasi rational. Atas  kemungkinan terjadinya perubahan di  dalam masyarakat, bagi Tan Malaka yang menjadi persoalan bukanlah kembali kepada nilai-nilai kebudayaan yang sudah ada, melainkan bagaimana masyarakat (peserta didik) diberikan modal hidup untuk dapat suvive dan menjaga harkat dan martabatnya sebagai manusia dan warga negara.
            Tata nilai lam dan spirutual tidak eksteren dilupakan bahkan dihilangkan Tan Malaka. Tata nilai lam bagi Tan Malaka sebagai reflektor dalam mengkonstruksi nilai-nilai barukritis. Guna  menciptakan tatanan kehidupan yang lebih baik lagi. Sedangkan spiritual,diposisikan sebagai filter dari tindakan manusia.
C. Pendidikan yang Sosialistis dan Transformatif
            Pembahasan mengenai filsafat pendidikan Tan Malaka sudad dijelaskan di atas. Untuk memperkuat penjelasan mengenai posisi aliran filsafat pendidikan Tan Malaka, penulis akan menguraikan dimensi makro dan mikro dari pemikiran pendidikan Tan Malaka. Dimensi makro yang dimaksud adalah perihal pandangan dan tujuan pendidikan Tan Malaka. Sederhananya dimensi makro memmengaruhi dimensi mikro dan atau sebaliknya. Bagi Tan Malaka dalam S.I. Semarang dan Onderwijs, pendidikan merupakan proses usaha memaksimalkan segala potensi manusia sebagai modal kehidupannya. Dengan adanya pendidikan, manusia dapat memperoleh kemerdekaannya melalui konstruksi pikiran yang rasional. Kaitan kemerdekaan dalam konteks kontemporer adalah bagaimana manusia mendapatkan keadilan dan haknya sebagai warga negara. Melalui pendidikan, manusia dapat meningkatkan kualitas dan harga dirinya.Secara implisit, menurut Tan Malaka pendidikan memiliki dua fungsi, yaitu
1.      Instrumen menumbuhkan kesadaran sosial
2.      Instrumen transformasi
Transformasi sosial, inilah yang ada dalam pikiran Tan Malaka tentang fungsi pendidikan itu sendiri. Secara umum, ada beberapa tujuan pendidikan Tan Malaka.[19] Pertama, memberi snjata cukup, buat pencari penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dan sebagainya). Menurut Tan Malaka, tujuan pendidikan tidak lain memberika kemampuan manusia untuk untuk bertahan hidup. Bertahan dari segala serangan dan teakanan. Namun demikian, tujuan pendidikan Tan Malaka bukanlah semata-mata melakukan praktik induktrinisasi ideologi Marxisme. Dengan kata lain, posisi Tan Malaka sebagai seorang Marxis ditempatkan dalam koridor membangun kesadaran kritis pesrta didik yang dunjukkan untuk kepentingan peserta didik pada khususnya dan negara pada umumnya, dan bukan cenderung untuk kepentingan kelompok. “Tindakan tersebut bukan hanya bermanfaat bagi individu dalam proses individuasi. Dalam hal ini Tan Malaka mengungkapakan, politik pemerintahan Belanda ini dalam soal pengajaran boleh disimpulkan dengan perkataan : “ Bangsa Indonesia harus tetap bodoh supaya ketentraman dan keamanan umum terpelihara.”[20] Oleh karena itu, Tan Malaka mendesain praktik pendidikannya yang mengarah pada pembentukan manusia yang empatis dan humanis. Maka Tan Malaka menanamkan filofofi “bersih-bersih” dan dalam “bersih-bersih” dan ada juga kegiatan gotong royong sehingga sikap tolong menolong dan menghargai satu sama lain pun terbentuk. Dengan demikian, interaksi antara guru dan peserta didik bukanlah proses komunikasi, melainkan guru hanya menyampaikan pernyataan-pernyataan dan “mengisi tabungan yang diterima”, dihafal, dan diulangi dengan patuh oleh peserta didik.[21]

D. Pendidikan yang Taktis
            Dalam psikologi pendidikan melihat relasi efesiensi dan efektivitas kegiatan peserta didik pada faktor psikologis seperti mental, minat, sikap, dan sifat kepribadian, serta kecakapan peserta didik. Adapun ruang lingkup psikologi pendidikan, antara lain, meliputi analisis faktor-faktor lingkungan, kesiapan belajar, prosedur pembelajaran, teknik pembelajaran yang tepat, serta pengaruh pembelajaran baik secara psikologis maupun sosiologis bagi peserta didik. Pada aspek lingkungan sekolah, dalam buku SI Semarang dan Onderwijsserta autobiografinya dari penjara ke penjara jilid I,secara implisit Tan Malaka meyakini faktor lingkunagn sekolah menentukan proses belajar peserta didik. Lingkungan sekolah sendiri adalah segala sesuatu yang ada di sekitar sekolah yang memengaruhi perkembangan kehidupan warga sekolah baik secara langsung maupun tidak. Pada aspek proses belajar-pembelajaran, Tan Malaka menekankan integrasi dengan lingkungan baik sekolah maupun sosial dan psikologis peserta didik.
E. Metode Pembelajaran Kritis dan Humanis
            Pencapain tujuan pendidikan tentu tidak lepas dari proses pembelajaran yang ada didalamnya. Prosespembelajaran merupakan sesuatu yang inheren dalam pelaksanaan visi-misi suatu lembaga pendidikan. Secara normatif disebutkan dalam UU sisdiknas 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 20, bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan. Selain faktor guru-peserta didik, perangkat administrasi, sarana-prasarana, dan kurikulum, yang terpenting dari proses pembelajaran itu sendiri adalah metode pembelajaran.Di dalam metode pembelajaran, peserta didik sitransformasikan segala potensi kemampuan yang ada dalam dirinya. Dengan kata lain, metode pembelajaran menjadi determinan atas keberhasilan dari proses pendidikan sendiri. Banyak berbagai metode pembelajaran tersaji, tergantung bagaimana situasi, kondisi, ketepatan, dan keefisienan dalam penggunaan. Penggunaan suatu metode tertentu juga ditentukan dari tujuan pembelajaran itu sendiri. Berdasarkan kajian literatur yang penulis telusuri, terdapat empat kategori metode utama dalam proses pembelajaran yang diterapkan Tan Malaka.
1.      Metode Dialogis
2.      Metode “Jembatan Keledai” (Contextual Teaching and Learning)
3.      Metode Diskusi Kritis
4.      Metode Sosiodrama










[1]Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari Yohanes Amos Comenius Sampai Perkembangan PAK di Indonesia (Jakarta:BPKMGunung Mulia, 2009), hlm.1.
[2]Nurani Soyomukti, Metode Pendidikan Marxis Sosialis (Yogyakarta:Ar-Ruzz Media,2008), hlm. 102-103.
[3]William F.O’neil, Ideologi-ideologi Pendidikan.
[4]Ibid. Hlm 230.
[5]Lihat UU Sisdiknas 2003 pasal 13 ayat 1.
[6]Europeesche Lagere School(ELS)merupakan sekolah yang menggunakan sistem Barat yang mempunyai tujuh tingkat.
[7]Sekolah ini didirikan pada 1880 di semarang.
[8]Kweekschool didirikan untuk menghasilkan tenaga pendidik atau guru.
[9]Sekolah ini kali pertamanya didirikan di Magelang tahun 1878.
[10]Wawancara penulis dengan Harry A.
[11]Tan Malaka, Dari Penjara... Jilid 1, hlm. 69.
[12]Namun, setelah Tan Malaka bertemu Semaun, tawaran Sutopo ini ditolak Tan Malaka.
[13]Ibid. Jilid I, hlm. 84.
[14]Tan Malaka, S.I. Semarang dan Onderwijs (Jakarta: Yayasan Massa, 1987), hlm. 2.
[15]Ibid. Hlm 3.
[16]Pembedaan antara pedagogi dan andragogi secara populer diperkenalkan oleh Malcolm Knowles.
[17]Lengkapnya lihat Sajoga, Riwayat Perjuangan Taman Siswa 1922-1952.
[18]Lihat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Murba, Pasal IV, dalam Wasid Suwarto, Pokok-Pokok Ajaran Tan Malaka: Murbaisme...hlm.3-4
[19]Ibid. Hlm. 5-6.
[20]Tan Malaka, Aksi Massa... hlm. 62.
[21]Ibid. Hlm. 52.

No comments:

Post a Comment