Tuesday, February 6, 2018

pluralisme agama dalam realita sosial



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Secara fenomenologis, istilah ‘pluralisme beragama’ (religious pluralism) menunjukkan pada fakta, bahwa sejarah agama-agama menampilkan suatu pluralitas tradisi dan berbagai varian masing-masing tradisi. Secara filosofis, istilah ‘pluralisme beragama’ menunjukkan pada suatu teori partikular tentang hubungan antara berbagai tradisi itu. Teori itu berkaitan dengan hubungan antar berbagai agama besar dunia yang menampakkan berbagai konsepsi, persepsi, dan respon tentang ultim yang satu, realitas ketuhanan yang penuh dengan misteri. Teori hubungan antar agama itu, paling tidak didekati melalui dua bentuk utama, eksklusivisme dan inklusivisme.
Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Demikian pula, pluralisme tidak boleh dipahami sekadar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme. Tetapi, pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”. Bahkan, pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya.
Makna pluralisme seperti itu, terungkap dalam Kitab Suci Alquran Surat Al-Baqarah ayat 251 yang artinya “Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur; namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam”. Suatu penegasan, bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia.
Pada situsi dewasa ini, diperlukan kesadaran akan sifat dan hakekat “pluralistik” dan “lintas budaya”. Disebut pluralistik, karena tidak ada lagi satu budaya, ideologi, maupun agama yang dapat mengklaim sebagai satu-satunya sistem yang unik dan bahkan terbaik dalam pengertian absolut. Di sebut lintas budaya, karena komunitas manusia tidak lagi hidup dalam sekat-sekat, sehingga setiap persoalan manusia saat ini yang tidak dilihat dalam parameter kemajemukan budaya adalah persoalan yang secara metodologis salah letak.

B.  Rumasan Masalah
Bebarapa hal penting yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut;
1.    Apa pengertian dari pluralisme agama?
2.    Bagaimana kondisi pluralisme agama dalam realita sosial?

C.  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut;
1.    Mengetahui pengertian dari pluralisme agama?
2.    Mengetahui kondisi pluralisme agama dalam realita sosial.

















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Pluralisme Agama
Kata “pluralisme” berasal dari bahasa Inggris, “pluralism”. Apabila merujuk dari Wikipedia bahasa Inggris, arti dari definisi pluralism adalah suatu kerangka interaksi tempat setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleransi satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi  (pembauran/ pembiasan). Saat ini pluralisme, menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya, pluralism; perbedaan itu adalah:
a.    Pluralisme diliputi semangat religious, bukan hanya sosial kultural.
b.    Pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar-ajaran agama.
c.    Pluralisme digunakan sebagai alasan untuk merubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain.[1]
Nurcholish Madjid menegaskan, pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok agama lain untuk ada, melainkan juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling menghormati. Allah berfirman:
žw â/ä38yg÷Ytƒ ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ムÎû ÈûïÏd9$# óOs9ur /ä.qã_̍øƒä `ÏiB öNä.̍»tƒÏŠ br& óOèdrŽy9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍköŽs9Î) 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ  
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi dalam urusan agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. QS, al-Mumtahanah [60]: ayat 8.

Paparan di atas menyampaikan pada suatu pengertian sederhana bahwa pluralisme agama adalah suatu sistem nilai yang memandang keberagaman atau kemajemukan agama secara positif sekaligus optimis dengan menerimanya sebagai kenyataan (sunnatullâh) dan berupaya untuk berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.[2]
Belakangan, muncul fatwa MUI pada bulan Juli 2005 yang melarang pluralisme. Keluarnya fatwa MUI ini tidak dapat dilepaskan dari konteks lokal dan global. Di tingkat lokal, maraknya gerakan pemikiran sosial yang mengagungkan pluralisme dan giat mempromosikan liberalisme sebagai agama baru cukup meresahkan para elit MUI. MUI khawatir jika umat Islam akan semakin jauh dari Islam karena pandangan bahwa semua agama sama. Sedangkan di tingkat global, karena ada desakan dari negara-negara di dunia untuk membangun sebuah tatanan kehidupan dunia yang damai dengan membangun sebuah dialog antar-agama secara intensif. Salah satunya diupayakan dengan membentuk berbagai forum yang secara spesifik mempromosikan pluralisme.[3]
Dalam fatwa tersebut, MUI mendefinisikan pluralisme sebagai “suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agama-nya saja yang benar, sedang agama lain salah. Salah satu konsekuensi dari penyamaan itu adalah berubahnya aspek-aspek baku dari suatu ajaran mengikuti ajaran yang lain, yang merupakan hal yang tidak dikehendaki  ajaran manapun.[4] MUI membedakan makna pluralisme dan pluralitas secara terminologis. MUI melarang pluralisme namun menerima pluralitas agama sebagai kenyataan bahwa terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup berdampingan di negara tertentu.
Salah seorang tokoh yang giat menolak fatwa MUI adalah M. Dawam Rahardjo. Menurutnya, pembedaan dan pemisahan antara pluralitas dan pluralisme yang dilakukan MUI mengandung persoalan sebab pluralisme sebagai pemikiran dan pemahaman atas sebuah kenyataan yang majemuk tidak dapat dipisahkan dengan kenyataan kemajemukan itu sendiri; keduanya berkaitan satu sama lain.[5] Tanpa pandangan pluralis, kerukunan dan toleransi umat beragama tidak mungkin terjadi.
Sudah merupakan hal logis jika iman harus berkaitan dengan paham pluralitas, baik pluralitas intraumat, maupun antarumat. Dalam Al-Quran terdapat petunjuk tegas bahwa pluralitas itu adalah kepastian Allah. Segala persoalan perbedaan menyangkut kebenaran teologis atau kebenaran dari suatu truth claim diserahkan saja kepada Tuhan.[6]
Menurut Nurcholish Madjid, sebagai kepastian Tuhan, pluralitas itu secara teologis termasuk dalam kategori Sunnatullah yang tak terhindarkan. Kalau ada perbedaan dalam menumbuhkan pluralitas, perbedaan yang dapat ditenggang adalah perbedaan yang tidak membawa kerusakan kehidupan bersama sebagai prinsip etika agama.[7] Jika terjadi percekcokan dalam masyarakat maka ia harus dipandang sebagai hal yang wajar. Pluralitas adalah keragaman hidup yang telah menjadi sunnatullah. sedangkan pluralisme merupakan suatu kejiwaan dan kedewasaan mental dalam menerima keraraman itu.
Meskipun agama itu plural, namun semuanya akan menuju pada satu kebenaran, yakni kebenaran Tuhan. Kebenaran itu bersifat plural. Namun kebenaran dalam terminologi agama (Islam), semuanya harus bermuara pada satu kebenaran mutlak, yaitu kebenaran Tuhan. Bahkan, semua agama itu, sebgaimana dianalisis Frihjof Schoun, mengandung kebenaran. Sebab, pada dasarnya semua agama dan ilmu itu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.[8]
Pluralisme dan pluralitas merupakan dua terma yang sering digunakan secara bergantian tanpa ada penjelasan apakah dua kata tersebut memiliki arti yang sama atau berbeda. Adakalanya, pluralisme dan pluralitas diartikan sama, yakni sebuah keadaan yang bersifat plural, jamak, atau banyak. Pluralisme agama adalah suatu sikap mengakui, menghargai, menghormati, memelihara dan bahkan mengembangkan keadaan yang bersifat plural tersebut. Dalam konteks agama-agama, pluralisme mengacu kepada teori atau sikap bahwa semua agama, meskipun dengan jalan yang berbeda, menuju kepada satu tujuan yang sama, Yang Absolut, Yang Terakhir, yakni Tuhan.
Salah satu hal yang mewarnai dunia dewasa ini adalah pluralisme keagamaan, demikian ungkap Coward[9] Pluralisme merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin dihindari. Manusia hidup dalam pluralisme dan merupakan bagian dari pluralisme itu sendiri, baik secara pasif maupun aktif, tak terkecuali dalam hal keagamaan.
Pluralisme keagamaan merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-agama dunia dewasa ini. Dan seperti pengamatan Coward[10], setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural ditinjau dari sudut agama dan membentuk dirinya sebagai tanggapan terhadap pluralisme tersebut. Jika tidak dipahami secara benar dan arif oleh pemeluk agama, pluralisme agama akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa konflik antar umat beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi bangsa.
MenurutTracy[11], diantara agama-agama yang ada di dunia ini memang tidak ada yang memiliki esensi tunggal, tidak ada muatan tunggal tentang pencerahan atau wahyu, tidak ada cara tunggal tentang emansipasi atau liberasi yang dibangun dalam semua pluralitas itu. Ada perbedaan penafsiran  tentang Tuhan itu sendiri: God, Emptiness, Suchness, the One, Nature, the Many. Ada perbedaan pemahaman mengenai apa yang diwahyukan oleh Tuhan tentang Tuhan dan tentang diri kita dalam hubungan kita tentang harmoni dan disharmoni dengan Tuhan tersebut. Ada perbedaan penafsiran tentang cara apa yang harus kita ikuti untuk mengubah (pandangan kita) dari pemusatan-diri secara fatal menuju pemusatan-kepada Tuhan secara bebas. Tetapi diskurus dan cara-cara agama seperti itu kadang-kadang bisa saling melengkapi, dan pada batas tertentu,  melengkapi beberapa aspek yang belum maju dari yang lain, tetapi pada saat yang sama juga bisa saling mengganggu dan melenyapkan.  
Menurut Hick[12], bahwa pluralisme agama mengimplikasikan pengakuan terhadap  fondasi bersama bagi seluruh varitas pencarian agama dan konvergensi agama-agama dunia. Bagi sebagian lainnya, pluralsime agama mengimplikasikan saling menghargai di antara berbagai pandangan dunia (wold-view) dan mengakui sepenuhnya perbedaan tersebut. Jika yang pertama menekankan kebebasan beragama individu, maka yang kedua menekankan pengakuan atas denominasi sebagai pemberi jawaban khas. Hick memang, sebagaimana kata Soroush[13], adalah seorang teolog yang membela pluralisme dan inklusivisme sejajar dengan Kung, Smart dan Toynbee.
Tetapi, kenapa pula pemeluk agama monoteis justru inheren dengan intoleransi dan kekerasan? Menurut Rodney Stark[14], claim pemeluk agama monoteisme yang partikularistk-subjektif --bahwa agama yang dipeluknya adalah satu-satunya yang benar, yang hanya percaya pada satu Tuhan, Yang Esa dan Sejati (One True God)-- banyak memicu konflik. Stark menyoroti subjektivisme para pemeluk agama monoteistik (baik Yahudi, Kristen maupun Islam) yang memandang rendah agama lain. Melalui penelitiannya, Stark berkesimpulan, bahwa berbedaan agama dalam seluruh masyarakat berakar pada relung-relung sosial, kelompok-kelompok orang yang saling berbagi preferensi berkaiatan dengan intensitas keagamaan. Ketika beberapa agama partikularistik  yang kuat saling mengancam antara satu dengan yang lain, maka konflik akan termaksimalisasikan, begitu pula tingkat intoleransi.[15]
Menurut Stark, pluralisme agama memang merupakan keniscayaan dan pluralisme dalam orde sosial dapat menjadi stabil selama dalam organisasi-organisasi keagamaan tidak terdapat satu pun dari padanya yang terlalu kuat. Namun jika sebaliknya yang terjadi, maka sudah dapat dipastikan akan terjadi konflik yang intens. Stark sampai pada kesimpulan, bahwa konflik agama akan menjadi memuncak jika beberapa organisasi keagamaan yang kuat dan partikularistik hidup berdampingan.[16]
Huston Smith, dalam memberikan komentar karya Schuon mengenai hubungan antar agama-agama, mengatakan bahwa segala sesuatu memiliki persamaan dan sekaligus perbedaan, demikian juga dengan agama. Agama-agama yang hidup di dunia ini disebut “agama” karena masing-masing memiliki persamaan. Persamaan atau titik temu antara agama-agama tersebut berada pada level esoterisme, sedangkan pada level eksoterieme, agama-agama tampak berbeda.[17]
Menurut  Raimundo Panikkar, untuk memahami agama-agama orang lain secara komprehensif, kita harus memahami agamanya melalui bahasa aslinya. Kita tidak bisa mengabaikan perbedaan-perbedaan yang ada dalam masing-masing agama untuk menarik kesimpulan bahwa “semua harus menjadi satu”. Menurutnya, ada tiga macam sikap keagamaan manusia: eksklusif, inklusif dan paralel/ plural. Sikap ekslusif artinya, seseorang menganggap bahwa hanya agamanya saja yang benar, sementara yang lain salah; sikap inklusif artinya  seseorang beranggapan, bahwa agamanya yang paling benar, tetapi agama lain juga mengandung kebenaran; sikap plural artinya, seseorang menganggap bahwa semua agama sama dan mengandung kebenaran masing-masing.[18]

B.  Kondisi Pluralisme Agama dalam Realita Sosial
Bila mencermati kehidupan kita sehari-hari, maka yang namanya pluralisme itu adalah identik dengan kehidupan keseharian itu sendiri. Dia ada karena kehidupan itu ada. Tidak ada kehidupan yang tidak plural; sebaliknya tidak ada pluralisme tanpa kehidupan. Artinya bahwa, keduanya mengandung unsur dinamika, interaksi, aktif, dan hidup.
Salah satunya adalah pluralisme agama, yang selalu menyatu dengan masyarakat. Ada yang beragama budha, hindu, protestan, katolik, khonghucu, islam, agama suku, baha’i, dan sebagainya. Kepelbagaian itu dapat dikenal, antara lain melalui simbol-simbol masing-masing agama. Misalnya, untuk agama Islam, yaitu masjid, jilbab, al-Qur’an, sarung; untuk agama kristen protestan dan katolik, yaitu gereja, al-Kitab, Rosario (katolik); untuk agama budha, yaitu vihara, tripitaka dan lain sebagainya.
Sekalipun disadari, bahwa ada simbol-simbol yang dalam beberapa hal perlu dikaji lebih jauh lagi, apakah benar simbol tersebut adalah simbol agama atau bukan? Misalnya, sarung, peci. Secara sepintas, orang bisa langsung mengidentifikasi bahwa si pemakai sarung atau peci adalah orang yang beragama Islam, karena dalam kehidupan sehari-hari, keduanya bisa dipakai oleh orang yang beragama Islam – misalnya untuk sembahyang, mengaji, atau sehari-hari dirumah, di pesantren. Tetapi, dalam praktek, keduanya (bisa) digunakan secara umum juga. Contohnya, dikalangan masyarakat etnis Jawa. Di Jawa, peci dan sarung dipakai juga oleh orang-orang yang bukan beragama Islam. Dan itu terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, pluralisme agama di masyarakat, tidak semata-mata hanya soal perbedaan agama-agama, atau hubungan antaragama, tetapi juga perbedaan dan hubungan dalam agama-agama itu sendiri. Semuanya memiliki identitas masing-masing, yaitu simbol-simbol yang membedakan, dan membuat orang lain dapat mengenal sekaligus bisa merasakan perbedaan tersebut. Bahwa saya dan kau berbeda; kami dan kalian berbeda. Tetapi bila disimak, polanya nyaris sama. Semuanya ditampakkkan, mengumpulkan massa pengikut, berkhutbah dengan penuh semangat (khususnya bagi agama Kristen dan Islam), berdoa dengan khusuk, memainkan drama melalui layar tv,menyanyi dengan alat-alat musik, dan lain sebagainya. Berikut ini dapat dilihat beberapa contoh interaksi pluralisme agama dalam kehidupan sehari-hari.[19]



1.    Plurisme Agama dalam Keluarga
Kita mengalami dinamika pluralisme agama dalam keluarga. Ada keluarga yang suaminya beragama Islam, istrinya beragama kristen protesta atau sebaliknya. Ada keluarga yang orang tuanya kristen protestan tapi anak-anaknya beragama Islam, Kristen Protestan, Katolik. Ada keluarga yang orang tuanya beragama Budha salah satu anaknya beragama Islam, yang satunya beragama Kristen Protestan, Katolik , dan seterusnya.  Keadaan seperti ini dapat ditemui, sejak pada lingkaran pertama satu keluarga, sampai pada lingkaran kedua dan ketiga. Ini terjadi karena beberapa alasan:
  1. Keputusan pribadi yang muncul karena melihat, membaca atau mendapatkan atau menemukan suatu dari agama yang lain, lalu memutuskan untuk pindah agama setelah mengalami proses yang begitu panjang.
  2. Kawin-Mawin. Alasan ini yang umum terjadi. Semakin banyak pasangan berbeda agama yang menghargai kepercayaannya masing-masing, sehingga memutuskan untuk menikah dan masing-masing tetap pada keyakinan agamanya.
  3. Pergaulan. Bisa juga karena pergaulan, lalu menjadi tertarik dengan agama lain, yang dianut teman yang memutuskan untuk mengikuti agama yang dianut temannya itu. Hal menarik disini adalah, ketertarikan seseorang terhadap agama lain bukan semata-mata karena agama itu sendiri, tetapi sikap, perbuatan dari teman yang beragama lain. Misalnya ada orang yang tadinya beragama kristen kemudian berpindah kepada agama Islam. Perpindahan agama ini terjadi, karena orang yang beragama kristen itu melihat temannya yang beragama Islam sangat baik (menururt ukurannya), terutama sikapnya dibandingkan dengan teman-teman yang beragama Kristen. Pertemanan seperti ini menjadi sebuah pengalaman kongkrit yang dialami yang dirasakan sehari-hari. Artinya orang ini menemukan sesuatu yang berarti bagi dirinya, dan memutuskan untuk pindah agama.
  4. Karena terpaksa. Cara ini juga sering terjadi, baik melalui perikahan, pergaulan, perbedaan, dsb. Mungkin karena lingkungan, jabatan, situasi politik, atau apa saja.

Ada banyak alasan serta cara, bagaiamana terjadi pergeseran dalam kehidupan keluarga khususnya menyangkut isu pluralisme agama. Hidup bersama dalam keluarga secara pluralis, menghasilkan pengalaman yang berbeda-beda. Ada keluarga yang tidak mendapatkan masalah, selain karena mereka mampu untuk saling menghargai, juga karena mekanisme hidup bersama-sama dalam keluaraga tersebut sangat mendukung. Misalnya, bila ada ibadah yang dilakukan menurut tradisi salah satu agama dalam keluarga – katakanlah agama kristen – maka anggota keluarga yang islam atau Budha juga turut membantu mempersiapkan hal-hal yang diperlukan, melayani para tamu. Kalau ada anggota keluarga yang beragama Islam sakit, seluruh keluarga ikut menjenguk bahakan membantu meringankan beban biaya rumah sakit, sekalipun beda agama. Bila ada seorang suami yang beragama Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa, maka istri yang beragama Kristen harus melayaninya, membantu mempersiapkan buka dan sahur.
Ada keluarga yang mendapat masalah. Mungkin karena faktor keluarga, lingkungan masyarakat, atau karena keluarga tersebut sama sekali tidak siap untuk saling menghargai. Biasanya dengan keadaan seperti ini akan sangat merepotkan, bukan hanya keluarga itu sendiri tapi juga keluarga besarnya, juga masyarakat disekitarnya. Situasi ini memungkinkan munculnya isu-isu atau gosipyang bisa membangkitkan ketegangan.
Gambaran diatas menunjukkan bahwa pluralisme agama bukan merupakan hal yang aneh karena sudah dimulai dalam lingkungan keluarga, yang sangat dibutuhkan disini adalah bagaimana masyarakat, anggota keluarga dipersiapkan untuk bisa bersikap pluralis satu dengan lainnya.[20]

2.    Plurisme Agama dalam Pertemanan
Plurisme agama juga dijumpai dalm kehidupan pertemenan, sekolah-sekolah, dikampus, dipusat-pusat pendidikan, diperkantoran, dan sebagainya. Di sekolah-sekolah atau di kampus, murid sekolah, mahasiswa, berbaur dalam berbagai macam agama. Biasanya murid atau mahasiswa yang seagama, menggabungkan diri dalam sebah perkumpulan dan melakukan kegiatan-kegiatan agama meraka secara rutin. Sementara dalam kegiatan-kegiatan rutin di kampus, perkuliahan dimasing-masing fakultas, atau kegiatan senat mahasiswa, semuanya berada dalam atu kelompok yang sama. Bahkan ada yang pacaran beda agama. Ada yang memiliki kelompok belajar bersama tanpa membedakan latar belakang agama. Keadaan in erjadi tidak hanya di sekolah-sekolah atu universitas negeri, tetapi juga di sekolah-sekolah atau universitas swasta yang berlabel agama. Dibeberapa universitas atau sekolah yang berlabel agama, ada juga murid atau mahasiswa beragam lain yang bersekolah tatau berkuliah, ada karyawan atau guru yang beragama lain yang bekerja di sana. Mislnya di sekolah Kanissius ada murid beragam Islam. Keadaan ini memperlihatkan, meskepun sekolah tersebut berbasis agama tertentu akan tetapi terbuka juga bagi mereka yang beragama lain.
Pertemanan yang tidak membutuhkan agama biasanya juga ditemui dalam acara bergadang atau rekreasi bersama. Dalam suasana semacam itu, orang tidak memandan perbedaan agama. Mereka mampu mnegaktualisasikan makna pluralisme dalm kebersamaan ekpresi-ekpresi sepontan yang sportif, akrab, santai tetapi bermakna.[21]

3.    Pluralisme Agama dalam Masyarakat Luas
Pluralisme agama juga dialami dalam komunitas masyarakat yang lebihingan  luas. Dalam organisasi politik,organisasi sosial kemasyarakatan, dan lain sebagainya. Di sana kita berinteraksi dengan teman atau orang lain yang berbeda agaama, etnis, ras, dan antar golongan.
Dalam kehidupan sehari-hari dikampung-kampung, bertetangga, orang bisa mengatakan bahwa kehidupan yang majemuk sangat menyenangkan. Mereka bisa kerja bakti bersama dimasjid, di gereja, merayakan halal bil halal bersama, melakukan kegiatan-kegiatan desa secara bersama-sama.
Secara sosiologis persentuhan agama, dalam struktur sosial masyarakat bukan saja melahirkan aneka corak keberagaman dalam wujud berbagai aliran dan corak pegngalaman iman yang diajarkan oleh agama tertentu, melainkan juga membuat persentuhan, saling berkaitan antara kepentingan yang berdimensi keagamaan dengan kepentingan-kepentingan aktual masyarakat seperti kepentingan ekonomi dan politik. Hal tersebut dapat melahirkan konflik-konflik yang baru yang dapat diterima sebagai akibat interaksi dan saling bertemunya kepentingan itu.
Pengalaman kemajemukan dalam komunitas luas ini biasanya dijumpai pula dalam organisasi kemahasiswaan, organisasi kepemudaan, dan sebagainya. Masing-masing mempunyai kebutuhan serta kepetingan.
Dalam konteks itu, bukan mustahil konflik terjadi, yang tentunya dengan karakteristiknya masing-masing. Yang dibutuhkan dalam konyeks ini adalah pengetahuan serta pengalaman, bagaimana menciptakan mekanisme antisipasi serta penyelesaian yang relevan.[22]




















BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa secara harfiah pluralisme berarti jamak, beberpa, berbagai hal, atau jamak. Oleh karena itu sesuatau yang dikatakan plural senantiasa terdiri dari berbagai macam hal. Sedangkan yang dimaksud dengan pluralisme agama adalah suatu sistem nilai yang memandang keberagaman atau kemajemukan agama secara positif sekaligus optimis dengan menerimanya sebagai kenyataan (sunnatullâh) dan berupaya untuk berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.
Dalam realitas sosial, kita tidak dapat terlepas dari sesuatau yang plural, karena manusia sendiri diciptakan dalam keadaan yang bermacam-macam. Sama halnya dengan pluralisme dalam agama, pasti dalam kehidupan juga sering kali dijumpai keanekaragaman dalam agama, apalagi di tanah air Indonesia yang mengakui banyak agama. Dari relaita tesebut, diharapkan kita mampu menjaga keutuhan persaudaraan diatas keanekaragaman agama yang kita peluk. Menjalankan perintah agama masing-masing dengan baik dan menghormati kepercayaan orang lain adalah suatu keniscayaan yang tidak akan terlepas dari kenyataan sosial.












DAFTAR PUSTAKA

Coward. 1989. Pluralisme dan Tantangan Agama-agama. Yogyakarta: Kanisius
Elmirzaniah, Syafa’atun. 2002. Pluralisme, Konflik, Dan Perdamaian, Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Madjid, Nurcholish. 2001. Pluralitas Agama Kerukunan Dalam Keragaman. Jakarta: Buku Kompas
Merayakan Kebebasan Beragama, Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi (Yayasan Abad Demokrasi: Jakarta, 2011), hal. 288.
Munawar, Budhy. 1996. Tugas Cendekia Muslim: Modernisme dan Tantangan Pluralisme Keagamaan, dalam Kebebasan Cendekiawan. Yogyakarta: Pustaka Republika
Pannikar. 1994. Dialog Intra Religius. Yogyakarta: Kanisius
Soroush. 2003. Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terj. Abdullah Ali. Bandung: Mizan
Subkhan, Iimam. 2007. Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Sukidi. 2001. Teologi Inklusif Cak Nur. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Stark. 2003. One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu, terj. M. Sadat Ismail. Jakarta: Nizam, Yogyakarta: Qalam
Tracy, David. 1987. Plurality and Ambiguity, Hermeneutic, Religion, Hope. University of Chicago Press
Zakiyuddin. 2002.  Ambivelensi  Agama, Konflik dan Nirkekerasan. Yogyakarta: Lesfi


[1]Iimam Subkhan, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hal. 28.
[2]Merayakan Kebebasan Beragama, Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2011), hal. 288.
[3] Ibid, hal. 30-31
[4] Ibid, hal. 31-32
[5] Ibid, hal. 32
[6] Budhy Munawar, Tugas Cendekia Muslim: Modernisme dan Tantangan Pluralisme Keagamaan, dalam Kebebasan Cendekiawan (Yogyakarta: Pustaka Republika, 1996), hal. 234.
[7] Ibid, hal. 235.
[8] Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), hal. 9

[9] Coward, Pluralisme dan Tantangan Agama-agama (Yogyakarta: Kanisius: 1989), 5.
[10] Ibid, hal 167
[11] David Tracy, Plurality and Ambiguity, Hermeneutic, Religion, Hope (University of Chicago Press, 1987), 89-90.
[12] Zakiyuddin,  Ambivelensi  Agama, Konflik dan Nirkekerasan (Yogyakarta: Lesfi, 2002), 20.
[13] Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terj. Abdullah Ali (Bandung: Mizan. 2003),
[14] Stark, One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu, terj. M. Sadat Ismail (Jakarta: Nizam, Yogyakarta: Qalam. 2003), 171-173.
[15] Ibid, hal 175
[16] Ibid,hal 181
[17] Schuon, The transcendent Unity of Religions. Wheston (Illinois: The Theosophical Publishing House, 1984), xii.
[18] Pannikar, Dialog Intra Religius (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 18.
[19] Syafa’atun Elmirzaniah, Pluralisme, Konflik, Dan Perdamaian (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002), hal. 93

[20] Ibid., hal. 96.
[21] Ibid., hal 98.
[22] Ibid., hal. 100.

No comments:

Post a Comment