BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara
fenomenologis, istilah ‘pluralisme beragama’ (religious pluralism) menunjukkan
pada fakta, bahwa sejarah agama-agama menampilkan suatu pluralitas tradisi dan
berbagai varian masing-masing tradisi. Secara filosofis, istilah ‘pluralisme
beragama’ menunjukkan pada suatu teori partikular tentang hubungan antara
berbagai tradisi itu. Teori itu berkaitan dengan hubungan antar berbagai agama
besar dunia yang menampakkan berbagai konsepsi, persepsi, dan respon tentang
ultim yang satu, realitas ketuhanan yang penuh dengan misteri. Teori hubungan
antar agama itu, paling tidak didekati melalui dua bentuk utama, eksklusivisme
dan inklusivisme.
Pluralisme
tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka
ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan
kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Demikian pula, pluralisme tidak boleh
dipahami sekadar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari
kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme. Tetapi, pluralisme harus dipahami
sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”. Bahkan,
pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara
lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya.
Makna
pluralisme seperti itu, terungkap dalam Kitab Suci Alquran Surat Al-Baqarah
ayat 251 yang artinya “Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia
dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur; namun Allah mempunyai
kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam”. Suatu penegasan, bahwa Allah
menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna
memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang
melimpah kepada umat manusia.
Pada situsi
dewasa ini, diperlukan kesadaran akan sifat dan hakekat “pluralistik” dan
“lintas budaya”. Disebut pluralistik, karena tidak ada lagi satu budaya,
ideologi, maupun agama yang dapat mengklaim sebagai satu-satunya sistem yang
unik dan bahkan terbaik dalam pengertian absolut. Di sebut lintas budaya,
karena komunitas manusia tidak lagi hidup dalam sekat-sekat, sehingga setiap
persoalan manusia saat ini yang tidak dilihat dalam parameter kemajemukan
budaya adalah persoalan yang secara metodologis salah letak.
B. Rumasan Masalah
Bebarapa hal
penting yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut;
1. Apa pengertian dari pluralisme agama?
2. Bagaimana kondisi pluralisme agama dalam
realita sosial?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut;
1. Mengetahui pengertian dari pluralisme
agama?
2. Mengetahui kondisi pluralisme agama
dalam realita sosial.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pluralisme Agama
Kata “pluralisme” berasal dari
bahasa Inggris, “pluralism”. Apabila merujuk dari Wikipedia bahasa
Inggris, arti dari definisi pluralism adalah suatu kerangka interaksi
tempat setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleransi satu sama lain,
berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran/ pembiasan). Saat
ini pluralisme, menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara
pluralisme dengan pengertian awalnya, pluralism; perbedaan itu adalah:
a.
Pluralisme diliputi semangat
religious, bukan hanya sosial kultural.
b.
Pluralisme digunakan sebagai alasan
pencampuran antar-ajaran agama.
c.
Pluralisme digunakan sebagai alasan
untuk merubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran
agama lain.[1]
Nurcholish
Madjid menegaskan, pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia
mengakui hak kelompok agama lain untuk ada, melainkan juga mengandung makna
kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling
menghormati. Allah berfirman:
w
â/ä38yg÷Yt ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$#
öNs9
öNä.qè=ÏG»s)ã Îû
ÈûïÏd9$# óOs9ur /ä.qã_Ìøä `ÏiB
öNä.Ì»tÏ br&
óOèdry9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍkös9Î)
4
¨bÎ)
©!$#
=Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ
Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tidak memerangi dalam urusan agama dan tidak pula mengusir
kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
QS, al-Mumtahanah [60]: ayat 8.
Paparan di atas
menyampaikan pada suatu pengertian sederhana bahwa pluralisme agama adalah
suatu sistem nilai yang memandang keberagaman atau kemajemukan agama secara
positif sekaligus optimis dengan menerimanya sebagai kenyataan (sunnatullâh)
dan berupaya untuk berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.[2]
Belakangan, muncul fatwa MUI pada bulan Juli 2005 yang
melarang pluralisme. Keluarnya fatwa MUI ini tidak dapat dilepaskan dari
konteks lokal dan global. Di tingkat lokal, maraknya gerakan pemikiran sosial
yang mengagungkan pluralisme dan giat mempromosikan liberalisme sebagai agama
baru cukup meresahkan para elit MUI. MUI khawatir jika umat Islam akan semakin
jauh dari Islam karena pandangan bahwa semua agama sama. Sedangkan di tingkat
global, karena ada desakan dari negara-negara di dunia untuk membangun sebuah
tatanan kehidupan dunia yang damai dengan membangun sebuah dialog antar-agama
secara intensif. Salah satunya diupayakan dengan membentuk berbagai forum yang
secara spesifik mempromosikan pluralisme.[3]
Dalam fatwa tersebut, MUI mendefinisikan pluralisme
sebagai “suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, dan karenanya
kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama
tidak boleh mengklaim bahwa hanya agama-nya saja yang benar, sedang agama lain
salah. Salah satu konsekuensi dari penyamaan itu adalah berubahnya aspek-aspek
baku dari suatu ajaran mengikuti ajaran yang lain, yang merupakan hal yang tidak dikehendaki ajaran manapun.[4]
MUI membedakan makna pluralisme dan pluralitas secara terminologis. MUI
melarang pluralisme namun menerima pluralitas agama sebagai kenyataan bahwa
terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup berdampingan di negara tertentu.
Salah seorang tokoh yang giat menolak fatwa MUI adalah
M. Dawam Rahardjo. Menurutnya, pembedaan dan pemisahan antara pluralitas dan
pluralisme yang dilakukan MUI mengandung persoalan sebab pluralisme sebagai
pemikiran dan pemahaman atas sebuah kenyataan yang majemuk tidak dapat
dipisahkan dengan kenyataan kemajemukan itu sendiri; keduanya berkaitan satu
sama lain.[5]
Tanpa pandangan pluralis, kerukunan dan toleransi umat beragama tidak mungkin
terjadi.
Sudah merupakan hal logis jika iman harus berkaitan
dengan paham pluralitas, baik pluralitas intraumat, maupun antarumat. Dalam
Al-Quran terdapat petunjuk tegas bahwa pluralitas itu adalah kepastian Allah.
Segala persoalan perbedaan menyangkut kebenaran teologis atau kebenaran dari
suatu truth claim diserahkan saja kepada Tuhan.[6]
Menurut Nurcholish Madjid, sebagai kepastian Tuhan,
pluralitas itu secara teologis termasuk dalam kategori Sunnatullah yang tak
terhindarkan. Kalau ada perbedaan dalam menumbuhkan pluralitas, perbedaan yang
dapat ditenggang adalah perbedaan yang tidak membawa kerusakan kehidupan
bersama sebagai prinsip etika agama.[7]
Jika terjadi percekcokan dalam masyarakat maka ia harus dipandang sebagai hal
yang wajar. Pluralitas adalah keragaman hidup yang telah menjadi sunnatullah.
sedangkan pluralisme merupakan suatu kejiwaan dan kedewasaan mental dalam
menerima keraraman itu.
Meskipun agama itu plural, namun semuanya akan menuju
pada satu kebenaran, yakni kebenaran Tuhan. Kebenaran itu bersifat plural.
Namun kebenaran dalam terminologi agama (Islam), semuanya harus bermuara pada
satu kebenaran mutlak, yaitu kebenaran Tuhan. Bahkan, semua agama itu,
sebgaimana dianalisis Frihjof Schoun, mengandung kebenaran. Sebab, pada
dasarnya semua agama dan ilmu itu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.[8]
Pluralisme dan pluralitas merupakan dua terma yang
sering digunakan secara bergantian tanpa ada penjelasan apakah dua kata
tersebut memiliki arti yang sama atau berbeda. Adakalanya, pluralisme dan
pluralitas diartikan sama, yakni sebuah keadaan yang bersifat plural, jamak,
atau banyak. Pluralisme agama adalah suatu sikap mengakui, menghargai,
menghormati, memelihara dan bahkan mengembangkan keadaan yang bersifat plural
tersebut. Dalam konteks agama-agama, pluralisme mengacu kepada teori atau sikap
bahwa semua agama, meskipun dengan jalan yang berbeda, menuju kepada satu
tujuan yang sama, Yang Absolut, Yang Terakhir, yakni Tuhan.
Salah satu hal yang mewarnai dunia
dewasa ini adalah pluralisme keagamaan, demikian ungkap Coward[9]
Pluralisme merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin dihindari. Manusia
hidup dalam pluralisme dan merupakan bagian dari pluralisme itu sendiri, baik
secara pasif maupun aktif, tak terkecuali dalam hal keagamaan.
Pluralisme keagamaan merupakan
tantangan khusus yang dihadapi agama-agama dunia dewasa ini. Dan seperti
pengamatan Coward[10],
setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural ditinjau dari sudut agama dan
membentuk dirinya sebagai tanggapan terhadap pluralisme tersebut. Jika tidak
dipahami secara benar dan arif oleh pemeluk agama, pluralisme agama akan
menimbulkan dampak, tidak hanya berupa konflik antar umat beragama, tetapi juga
konflik sosial dan disintegrasi bangsa.
MenurutTracy[11],
diantara agama-agama yang ada di dunia ini memang tidak ada yang memiliki
esensi tunggal, tidak ada muatan tunggal tentang pencerahan atau wahyu, tidak
ada cara tunggal tentang emansipasi atau liberasi yang dibangun dalam semua
pluralitas itu. Ada perbedaan penafsiran
tentang Tuhan itu sendiri: God, Emptiness, Suchness, the One, Nature,
the Many. Ada perbedaan pemahaman mengenai apa yang diwahyukan oleh Tuhan
tentang Tuhan dan tentang diri kita dalam hubungan kita tentang harmoni dan
disharmoni dengan Tuhan tersebut. Ada perbedaan penafsiran tentang cara apa
yang harus kita ikuti untuk mengubah (pandangan kita) dari pemusatan-diri
secara fatal menuju pemusatan-kepada Tuhan secara bebas. Tetapi diskurus dan
cara-cara agama seperti itu kadang-kadang bisa saling melengkapi, dan pada
batas tertentu, melengkapi beberapa
aspek yang belum maju dari yang lain, tetapi pada saat yang sama juga bisa
saling mengganggu dan melenyapkan.
Menurut Hick[12],
bahwa pluralisme agama mengimplikasikan pengakuan terhadap fondasi bersama bagi seluruh varitas
pencarian agama dan konvergensi agama-agama dunia. Bagi sebagian lainnya,
pluralsime agama mengimplikasikan saling menghargai di antara berbagai
pandangan dunia (wold-view) dan mengakui sepenuhnya perbedaan tersebut.
Jika yang pertama menekankan kebebasan beragama individu, maka yang kedua
menekankan pengakuan atas denominasi sebagai pemberi jawaban khas. Hick memang,
sebagaimana kata Soroush[13],
adalah seorang teolog yang membela pluralisme dan inklusivisme sejajar dengan
Kung, Smart dan Toynbee.
Tetapi, kenapa pula pemeluk agama
monoteis justru inheren dengan intoleransi dan kekerasan? Menurut Rodney
Stark[14],
claim pemeluk agama monoteisme yang partikularistk-subjektif --bahwa
agama yang dipeluknya adalah satu-satunya yang benar, yang hanya percaya pada
satu Tuhan, Yang Esa dan Sejati (One True God)-- banyak memicu konflik.
Stark menyoroti subjektivisme para pemeluk agama monoteistik (baik Yahudi,
Kristen maupun Islam) yang memandang rendah agama lain. Melalui penelitiannya,
Stark berkesimpulan, bahwa berbedaan agama dalam seluruh masyarakat berakar
pada relung-relung sosial, kelompok-kelompok orang yang saling berbagi
preferensi berkaiatan dengan intensitas keagamaan. Ketika beberapa agama
partikularistik yang kuat saling
mengancam antara satu dengan yang lain, maka konflik akan termaksimalisasikan,
begitu pula tingkat intoleransi.[15]
Menurut Stark, pluralisme agama memang
merupakan keniscayaan dan pluralisme dalam orde sosial dapat menjadi stabil
selama dalam organisasi-organisasi keagamaan tidak terdapat satu pun dari padanya
yang terlalu kuat. Namun jika sebaliknya yang terjadi, maka sudah dapat
dipastikan akan terjadi konflik yang intens. Stark sampai pada kesimpulan,
bahwa konflik agama akan menjadi memuncak jika beberapa organisasi keagamaan
yang kuat dan partikularistik hidup berdampingan.[16]
Huston Smith, dalam
memberikan komentar karya Schuon mengenai hubungan antar agama-agama,
mengatakan bahwa segala sesuatu memiliki persamaan dan sekaligus perbedaan,
demikian juga dengan agama. Agama-agama yang hidup di dunia ini disebut “agama”
karena masing-masing memiliki persamaan. Persamaan atau titik temu antara
agama-agama tersebut berada pada level esoterisme, sedangkan pada level
eksoterieme, agama-agama tampak berbeda.[17]
Menurut Raimundo Panikkar, untuk memahami agama-agama
orang lain secara komprehensif, kita harus memahami agamanya melalui bahasa
aslinya. Kita tidak bisa mengabaikan perbedaan-perbedaan yang ada dalam
masing-masing agama untuk menarik kesimpulan bahwa “semua harus menjadi satu”.
Menurutnya, ada tiga macam sikap keagamaan manusia: eksklusif, inklusif dan
paralel/ plural. Sikap ekslusif artinya, seseorang menganggap bahwa hanya
agamanya saja yang benar, sementara yang lain salah; sikap inklusif
artinya seseorang beranggapan, bahwa
agamanya yang paling benar, tetapi agama lain juga mengandung kebenaran; sikap
plural artinya, seseorang menganggap bahwa semua agama sama dan mengandung
kebenaran masing-masing.[18]
B. Kondisi Pluralisme Agama dalam Realita
Sosial
Bila mencermati kehidupan kita
sehari-hari, maka yang namanya pluralisme itu adalah identik dengan kehidupan
keseharian itu sendiri. Dia ada karena kehidupan itu ada. Tidak ada kehidupan
yang tidak plural; sebaliknya tidak ada pluralisme tanpa kehidupan. Artinya
bahwa, keduanya mengandung unsur dinamika, interaksi, aktif, dan hidup.
Salah satunya adalah pluralisme
agama, yang selalu menyatu dengan masyarakat. Ada yang beragama budha, hindu,
protestan, katolik, khonghucu, islam, agama suku, baha’i, dan sebagainya.
Kepelbagaian itu dapat dikenal, antara lain melalui simbol-simbol masing-masing
agama. Misalnya, untuk agama Islam, yaitu masjid, jilbab, al-Qur’an, sarung;
untuk agama kristen protestan dan katolik, yaitu gereja, al-Kitab, Rosario
(katolik); untuk agama budha, yaitu vihara, tripitaka dan lain sebagainya.
Sekalipun disadari, bahwa ada
simbol-simbol yang dalam beberapa hal perlu dikaji lebih jauh lagi, apakah
benar simbol tersebut adalah simbol agama atau bukan? Misalnya, sarung, peci.
Secara sepintas, orang bisa langsung mengidentifikasi bahwa si pemakai sarung
atau peci adalah orang yang beragama Islam, karena dalam kehidupan sehari-hari,
keduanya bisa dipakai oleh orang yang beragama Islam – misalnya untuk
sembahyang, mengaji, atau sehari-hari dirumah, di pesantren. Tetapi, dalam
praktek, keduanya (bisa) digunakan secara umum juga. Contohnya, dikalangan
masyarakat etnis Jawa. Di Jawa, peci dan sarung dipakai juga oleh orang-orang
yang bukan beragama Islam. Dan itu terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, pluralisme agama di
masyarakat, tidak semata-mata hanya soal perbedaan agama-agama, atau hubungan
antaragama, tetapi juga perbedaan dan hubungan dalam agama-agama itu sendiri. Semuanya
memiliki identitas masing-masing, yaitu simbol-simbol yang membedakan, dan
membuat orang lain dapat mengenal sekaligus bisa merasakan perbedaan tersebut.
Bahwa saya dan kau berbeda; kami dan kalian berbeda. Tetapi bila disimak,
polanya nyaris sama. Semuanya ditampakkkan, mengumpulkan massa pengikut,
berkhutbah dengan penuh semangat (khususnya bagi agama Kristen dan Islam),
berdoa dengan khusuk, memainkan drama melalui layar tv,menyanyi dengan
alat-alat musik, dan lain sebagainya. Berikut ini dapat dilihat beberapa contoh
interaksi pluralisme agama dalam kehidupan sehari-hari.[19]
1. Plurisme Agama dalam Keluarga
Kita mengalami dinamika pluralisme
agama dalam keluarga. Ada keluarga yang suaminya beragama Islam, istrinya
beragama kristen protesta atau sebaliknya. Ada keluarga yang orang tuanya
kristen protestan tapi anak-anaknya beragama Islam, Kristen Protestan, Katolik.
Ada keluarga yang orang tuanya beragama Budha salah satu anaknya beragama
Islam, yang satunya beragama Kristen Protestan, Katolik , dan seterusnya. Keadaan seperti ini dapat ditemui, sejak pada
lingkaran pertama satu keluarga, sampai pada lingkaran kedua dan ketiga. Ini
terjadi karena beberapa alasan:
- Keputusan pribadi yang muncul karena melihat, membaca atau mendapatkan atau menemukan suatu dari agama yang lain, lalu memutuskan untuk pindah agama setelah mengalami proses yang begitu panjang.
- Kawin-Mawin. Alasan ini yang umum terjadi. Semakin banyak pasangan berbeda agama yang menghargai kepercayaannya masing-masing, sehingga memutuskan untuk menikah dan masing-masing tetap pada keyakinan agamanya.
- Pergaulan. Bisa juga karena pergaulan, lalu menjadi tertarik dengan agama lain, yang dianut teman yang memutuskan untuk mengikuti agama yang dianut temannya itu. Hal menarik disini adalah, ketertarikan seseorang terhadap agama lain bukan semata-mata karena agama itu sendiri, tetapi sikap, perbuatan dari teman yang beragama lain. Misalnya ada orang yang tadinya beragama kristen kemudian berpindah kepada agama Islam. Perpindahan agama ini terjadi, karena orang yang beragama kristen itu melihat temannya yang beragama Islam sangat baik (menururt ukurannya), terutama sikapnya dibandingkan dengan teman-teman yang beragama Kristen. Pertemanan seperti ini menjadi sebuah pengalaman kongkrit yang dialami yang dirasakan sehari-hari. Artinya orang ini menemukan sesuatu yang berarti bagi dirinya, dan memutuskan untuk pindah agama.
- Karena terpaksa. Cara ini juga sering terjadi, baik melalui perikahan, pergaulan, perbedaan, dsb. Mungkin karena lingkungan, jabatan, situasi politik, atau apa saja.
Ada banyak alasan serta cara,
bagaiamana terjadi pergeseran dalam kehidupan keluarga khususnya menyangkut isu
pluralisme agama. Hidup bersama dalam keluarga secara pluralis, menghasilkan
pengalaman yang berbeda-beda. Ada keluarga yang tidak mendapatkan masalah,
selain karena mereka mampu untuk saling menghargai, juga karena mekanisme hidup
bersama-sama dalam keluaraga tersebut sangat mendukung. Misalnya, bila ada
ibadah yang dilakukan menurut tradisi salah satu agama dalam keluarga –
katakanlah agama kristen – maka anggota keluarga yang islam atau Budha juga
turut membantu mempersiapkan hal-hal yang diperlukan, melayani para tamu. Kalau
ada anggota keluarga yang beragama Islam sakit, seluruh keluarga ikut menjenguk
bahakan membantu meringankan beban biaya rumah sakit, sekalipun beda agama.
Bila ada seorang suami yang beragama Islam yang sedang menjalankan ibadah
puasa, maka istri yang beragama Kristen harus melayaninya, membantu
mempersiapkan buka dan sahur.
Ada keluarga yang mendapat masalah.
Mungkin karena faktor keluarga, lingkungan masyarakat, atau karena keluarga
tersebut sama sekali tidak siap untuk saling menghargai. Biasanya dengan
keadaan seperti ini akan sangat merepotkan, bukan hanya keluarga itu sendiri
tapi juga keluarga besarnya, juga masyarakat disekitarnya. Situasi ini
memungkinkan munculnya isu-isu atau gosipyang bisa membangkitkan ketegangan.
Gambaran diatas menunjukkan bahwa
pluralisme agama bukan merupakan hal yang aneh karena sudah dimulai dalam
lingkungan keluarga, yang sangat dibutuhkan disini adalah bagaimana masyarakat,
anggota keluarga dipersiapkan untuk bisa bersikap pluralis satu dengan lainnya.[20]
2. Plurisme Agama dalam Pertemanan
Plurisme
agama juga dijumpai dalm kehidupan pertemenan, sekolah-sekolah, dikampus,
dipusat-pusat pendidikan, diperkantoran, dan sebagainya. Di sekolah-sekolah
atau di kampus, murid sekolah, mahasiswa, berbaur dalam berbagai macam agama.
Biasanya murid atau mahasiswa yang seagama, menggabungkan diri dalam sebah
perkumpulan dan melakukan kegiatan-kegiatan agama meraka secara rutin.
Sementara dalam kegiatan-kegiatan rutin di kampus, perkuliahan dimasing-masing
fakultas, atau kegiatan senat mahasiswa, semuanya berada dalam atu kelompok
yang sama. Bahkan ada yang pacaran beda agama. Ada yang memiliki kelompok
belajar bersama tanpa membedakan latar belakang agama. Keadaan in erjadi tidak
hanya di sekolah-sekolah atu universitas negeri, tetapi juga di sekolah-sekolah
atau universitas swasta yang berlabel agama. Dibeberapa universitas atau
sekolah yang berlabel agama, ada juga murid atau mahasiswa beragam lain yang
bersekolah tatau berkuliah, ada karyawan atau guru yang beragama lain yang
bekerja di sana. Mislnya di sekolah Kanissius ada murid beragam Islam. Keadaan
ini memperlihatkan, meskepun sekolah tersebut berbasis agama tertentu akan
tetapi terbuka juga bagi mereka yang beragama lain.
Pertemanan
yang tidak membutuhkan agama biasanya juga ditemui dalam acara bergadang atau
rekreasi bersama. Dalam suasana semacam itu, orang tidak memandan perbedaan
agama. Mereka mampu mnegaktualisasikan makna pluralisme dalm kebersamaan
ekpresi-ekpresi sepontan yang sportif, akrab, santai tetapi bermakna.[21]
3. Pluralisme Agama dalam Masyarakat Luas
Pluralisme
agama juga dialami dalam komunitas masyarakat yang lebihingan luas. Dalam organisasi politik,organisasi
sosial kemasyarakatan, dan lain sebagainya. Di sana kita berinteraksi dengan
teman atau orang lain yang berbeda agaama, etnis, ras, dan antar golongan.
Dalam kehidupan
sehari-hari dikampung-kampung, bertetangga, orang bisa mengatakan bahwa
kehidupan yang majemuk sangat menyenangkan. Mereka bisa kerja bakti bersama
dimasjid, di gereja, merayakan halal bil halal bersama, melakukan
kegiatan-kegiatan desa secara bersama-sama.
Secara
sosiologis persentuhan agama, dalam struktur sosial masyarakat bukan saja
melahirkan aneka corak keberagaman dalam wujud berbagai aliran dan corak
pegngalaman iman yang diajarkan oleh agama tertentu, melainkan juga membuat
persentuhan, saling berkaitan antara kepentingan yang berdimensi keagamaan
dengan kepentingan-kepentingan aktual masyarakat seperti kepentingan ekonomi
dan politik. Hal tersebut dapat melahirkan konflik-konflik yang baru yang dapat
diterima sebagai akibat interaksi dan saling bertemunya kepentingan itu.
Pengalaman
kemajemukan dalam komunitas luas ini biasanya dijumpai pula dalam organisasi
kemahasiswaan, organisasi kepemudaan, dan sebagainya. Masing-masing mempunyai
kebutuhan serta kepetingan.
Dalam konteks
itu, bukan mustahil konflik terjadi, yang tentunya dengan karakteristiknya
masing-masing. Yang dibutuhkan dalam konyeks ini adalah pengetahuan serta
pengalaman, bagaimana menciptakan mekanisme antisipasi serta penyelesaian yang
relevan.[22]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa secara harfiah pluralisme
berarti jamak, beberpa, berbagai hal, atau jamak. Oleh karena itu sesuatau yang
dikatakan plural senantiasa terdiri dari berbagai macam hal. Sedangkan yang
dimaksud dengan pluralisme agama adalah suatu sistem
nilai yang memandang keberagaman atau kemajemukan agama secara positif
sekaligus optimis dengan menerimanya sebagai kenyataan (sunnatullâh) dan
berupaya untuk berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.
Dalam realitas
sosial, kita tidak dapat terlepas dari sesuatau yang plural, karena manusia
sendiri diciptakan dalam keadaan yang bermacam-macam. Sama halnya dengan
pluralisme dalam agama, pasti dalam kehidupan juga sering kali dijumpai
keanekaragaman dalam agama, apalagi di tanah air Indonesia yang mengakui banyak
agama. Dari relaita tesebut, diharapkan kita mampu menjaga keutuhan
persaudaraan diatas keanekaragaman agama yang kita peluk. Menjalankan perintah
agama masing-masing dengan baik dan menghormati kepercayaan orang lain adalah
suatu keniscayaan yang tidak akan terlepas dari kenyataan sosial.
DAFTAR
PUSTAKA
Coward. 1989. Pluralisme dan Tantangan
Agama-agama. Yogyakarta: Kanisius
Elmirzaniah, Syafa’atun. 2002. Pluralisme, Konflik, Dan
Perdamaian, Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Madjid, Nurcholish. 2001. Pluralitas
Agama Kerukunan Dalam Keragaman. Jakarta: Buku Kompas
Merayakan Kebebasan Beragama, Bunga
Rampai 70 Tahun Djohan Effendi (Yayasan Abad Demokrasi: Jakarta,
2011), hal. 288.
Munawar, Budhy. 1996. Tugas
Cendekia Muslim: Modernisme dan Tantangan Pluralisme Keagamaan, dalam Kebebasan
Cendekiawan. Yogyakarta: Pustaka Republika
Pannikar.
1994. Dialog Intra Religius. Yogyakarta: Kanisius
Soroush. 2003. Menggugat
Otoritas dan Tradisi Agama, terj. Abdullah Ali. Bandung: Mizan
Subkhan, Iimam. 2007. Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme
di Yogya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Sukidi. 2001. Teologi Inklusif Cak Nur. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas
Stark. 2003. One True God:
Resiko Sejarah Bertuhan Satu, terj. M. Sadat Ismail. Jakarta: Nizam, Yogyakarta:
Qalam
Tracy, David. 1987. Plurality and Ambiguity, Hermeneutic, Religion, Hope. University of Chicago Press
Zakiyuddin. 2002. Ambivelensi
Agama, Konflik dan Nirkekerasan. Yogyakarta: Lesfi
[1]Iimam Subkhan, Hiruk Pikuk Wacana
Pluralisme di Yogya (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hal. 28.
[2]Merayakan
Kebebasan Beragama, Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi (Jakarta: Yayasan
Abad Demokrasi, 2011), hal. 288.
[6]
Budhy Munawar,
Tugas Cendekia Muslim: Modernisme dan Tantangan Pluralisme Keagamaan, dalam Kebebasan
Cendekiawan (Yogyakarta: Pustaka Republika, 1996), hal. 234.
[9]
Coward, Pluralisme dan Tantangan Agama-agama (Yogyakarta: Kanisius:
1989), 5.
[10] Ibid,
hal 167
[11]
David Tracy, Plurality and Ambiguity, Hermeneutic, Religion, Hope
(University of Chicago Press, 1987), 89-90.
[12] Zakiyuddin, Ambivelensi Agama, Konflik dan Nirkekerasan
(Yogyakarta: Lesfi, 2002), 20.
[13] Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terj.
Abdullah Ali (Bandung: Mizan. 2003),
[14] Stark, One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu,
terj. M. Sadat Ismail (Jakarta: Nizam, Yogyakarta: Qalam. 2003), 171-173.
[15] Ibid, hal 175
[16] Ibid,hal 181
[17] Schuon, The transcendent Unity of Religions.
Wheston (Illinois: The Theosophical Publishing House, 1984), xii.
[18] Pannikar, Dialog Intra Religius (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), 18.
[19] Syafa’atun
Elmirzaniah, Pluralisme, Konflik, Dan Perdamaian (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2002), hal. 93
No comments:
Post a Comment