BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bangsa Indonesia hidup dalam keadaan
“plural society”, masyarakat serba ganda, ganda kepercayaan, kebudayaan,
aspirasi politik, agama, dan sebagainya. Dalam keragaman agama khususnya,
Indonesia memiliki 5 agama yang diakui dalam undang-undang dasar yakni; Islam,
Kristen, Hindu, Budha, dan Konghuchu.Agama yang memiliki kepercayaan
masing-masing mengenai Tuhannya ini berkumpul dalam satu Negara yang kita naungi
yakni Indonesia.
Masyarakat Indonesia yang beragama
dituntut supaya rukun dalam kehidupan agama.Kericuhan dalam kehidupan agama
merupakan suatu halangan bagi sistem pembangunan.Pembangunan mustahil
dilaksanakan dalam masyarakat yang kacau.Kerukunan hidup masyarakat merupakan
prakondisi bagi pembangunan. Rukun dalam kehidupan beragama akan tercipta
apabila tiap-tiap orang saling tenggang-menenggang rasa dan lapang dada
(toleransi). Ini bukan suatu hal yang mudah.[1]
Pemerintahan merupakan pusat dari
segala pengaturan dalam suatu Negara. Oleh karena itu dalam hal kerukunan agama
pun diperlukan kebijakan-kebijakan yang mampu menimbulkan suatu bentuk
lingkungan yang rukun dalam beragama di Indonesia khususnya.Kebijakan-kebijakan
yang diambil merupakan hal yang sangat mempengaruhi keutuhan bangsa Indonesia.
Jadi dalam menentukan segala bentuk kebijakan haruslah mempertimbangkan
berbagai agama yang ada didalamnya agar tidak terjadi gesekan seperti saat
dibentuknya dasar Negara yakni Pancasila yang sempat menuai protes dari agama
selain Islam tentang sila yang pertama yang pada awalnya “ Ke-Tuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” , yang kemudian
diganti dengan “Ketuhanan yang maha Esa”.
Dari sini terlihatlah bagaimana
Pancasila itu muncul dari berbagai agama yang ada di Indonesia yang ingin
meneguhkan kerukunan diantara umat beragama di Indonesia. Oleh karena itu,
dalam makalah ini akan dibahas mengenai “Kebijakan-kebijakan Pemerintah Dalam
Pembinaan Kerukunan Umat Beragama.”
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ $pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's?
ÇÎÒÈ
Dari ayat diatas dijelaskan secara luas
bawasannya wajib bagi umat manusia untuk taat kepada Nabi SAW, Rosull dan Ulil
Amri atau Pemimpin. Apabila pemimpin itu membawa keadilan dan kema’rufkan. Demi
menciptakan suatu kebijakan pemerintah untuk pembinaan kerukunan umat beragama.
Maka wajib bagi seorang pemimpin untuk bersikap adil yang diamana agar
masyarakat mentaati semua kebijakan-kebijakanya . Sehingga secara tidak
langsung akan tercipta masyarakat yang rukun dan damai seperti yang diinginkan.
1.2
Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut
mengenai kebijakan pemerintah tentang kerukunan umat beragama. Maka dari
masalah pokok ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Apa pengertian kerukunan umat beragama dan kebijakan pemerintah?
2.
Apa saja faktor-faktor penyebab terjadinya kerukunan beragama?
3.
Bagaimana kebijakan pemerintah dalam pembinaan kerukunan umat
beragama dalam Indonesia?
1.3
Tujuan
1.
Untuk mengetahui apa pengertian kerukunan umat beragama dan
kebijakan pemerintah.
2.
Untuk mengetahui faktor-faktor
yang menyebabkan timbulnya kerukunan dalam beragama.
3.
Untuk mengetahui kebijakan pemerintah dalam pembinaan kerukunan
umat beragama di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kerukunan Umat Beragama dan Kebijakan Pemerintah
Kebijakan adalah rangkaian konsep
dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu
pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi).
Pemerintah adalah sistem yang
menjalankan wewenang dan kekuasaan mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan
politik suatu Negara atau bagian-bagiannya.Bisa juga diartikan Sekelompok orang
yang secara bersama-sama memikul tanggung jawab terbatas untuk menggunakan
kekuasaan.
Pembinaan adalah usaha, tindakan,
dan kegiatan yang dilakukan secara efisien, dan efektif untuk memperoleh hasil
yang lebih baik. Kerukunan adalah istilah yang berarti baik, dan damai.
Intinya, hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat”
untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran. Jadi, Kerukunan umat
beragama yaitu hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi,
saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai, dan kerja sama dalam
kehidupan masyarakat dan bernegara. Kerukunan akan bisa tercapai apabila setiap
kelompok agama bisa memahami dan memiliki prinsip “setuju dalam perbedaan” yang
berarti mau menerima perbedaan orang lain dan menghormati dengan keyakinan,
kebiasaan, dan pola hidupnya, dan menghormati orang lain dengan kebebasannya
untuk menganut agamanya sendiri menurut keyakinan masing-masing.
Departemen agama juga menjadikan
kerukunan antar umat beragama sebagai tujuan pembangunan nasional bangsa
Indonesia yang diarahkan dalam tiga bentuk:
Pembinaan dan pemeliharaan kerukunan hidup umat beragama mengarah
kepada tiga bentuk, yaitu:
a.
Kerukunan intern umat beragama
b.
Kerukunan antar umat beragama
c.
Kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah.
Kerukunan hidup beragama bukan
sekedar terciptanya keadaan di mana tidak ada pertentangan intern umat
beragama, antar golongan-golongan agama dan antara umat-umat beragama dengan
pemerintah.Ia adalah keharmonisan hubungan dalam dinamika pergaulan dan kehidupan
masyarakat yang saling menguatkan dan diikat oleh sikap mengendalikan diri
dalam wujud:
a.
Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan
agamanya.
b.
Saling menghiormati dan bekerjasama intern pemeluk agama, antar
berbagai golongan agama dan antar umat-umat beragama dengan pemerintah yang
sama-sama bertanggung jawab membangun bangsa dan Negara.
c.
Saling tegang rasa dengan tidak
memaksakan agama kepada orang.[2]
A.
Tugas Pokok Pemerintahan
·
Pembinaan kehidupan beragama
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat No.IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara menyebutkan tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan suatu
masyarakat yang adil dan makmur yang merata materil dan spiritual berdasarkan
pancasila.Dari rumusan tersebut sudah jelas bahwa agama mempunyai arti dan
peranan yang sangat penting dalam pembangunan nasional kita.
Masyarakat yang
hendak kita bangun tidak hanya menitik beratkan kepada pembangunan materil saja
tetapi juga pembangunan spiritual.Pembangunan yang kita laksanakan adalah
pembangunan yang seimbang antara pembangunan materil dan spiritual.Pembangunan
yang menyatu dan utuh untuk pembangunan manusia Indonesia seutuhnya untuk
kepentingan kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Berdasarkan pokok
pikiran bahwa hakikat Pembangunan Nasional adalah pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, maka landasan
pelaksanaan Pembangunan Nasional adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Tentang Agama Undang-Undang Dasar
1945 (Pasal 29) menyebutkan:
1.
Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
2.2 Faktor-faktor Terjadinya Kerukunan Beragama
Salah satu fungsi dari Agama adalah
pemupuk persaudaraan (toleransi dan solidaritas). Sosiologi mempunyai peran
penting dalam proses perwujudannya yakni melalui komunikasi yang baik antar
umat beragama. Indonesia yang notabene memiliki berbagai macam agama yang
berbeda-beda diharuskan memiliki cara yang baik dalam komunikasi antar umat
beragama. Salah satu cara komunikasi yang baik adalah dialog, yakni merupakan salah satu proses sosial yaitu
suatu proses yang selalu terjadi di masyarakat sebagai wadah kerja sama dari
pihak yang berkepentingan. Dengan demikian dialog adalah suatu proses yang
diperlukan untuk mengatasi keadaan yang dilanda ketegangan dan permusuhan agar
tercipta kerjasama, saling menghormati dan menghargai.[3]
Agar proses kearah kerjasama dan
saling menghargai terwujud maka dibutuhkan situasi yang mendukung yaitu keadaan
yang menyatukan nilai-nilai kehidupan yang sama dan dapat diterima dengan baik
oleh semua pihak. Namun, sangat disayangkan apabila cita-cita kedamaian dan
keselamatan yang ingin dicapai tersebut malah bukan membuahkan kedamaian yang
merata, melainkan bisa jadi menimbulkan konflik, permusuhan dan bentrokan antar
umat beragama.
Kejadian bentrok
atau permusuhan bisa saja terjadi di Indonesia yang memiliki agama yang
berbeda-beda.Kejadian konflik dan permusuhan di Indonesia saat ini sudah mulai
mereda dengan seiring berjalannya waktu dengan timbulnya kesadaran antar umat
beragama untuk menciptakan kedamaian di negaranya. Untuk mencapai suatu
kedamaian, seluruh warga Negara tentu memerlukan yang namanya komunikasi dan
sikap terbuka satu sama lain.[4]
Perkembangan zaman
yang menyebabkan kondisi dunia yang terbuka membutuhkan kerjasama antar umat
beragama baik secara regional, nasional, ataupun internasional dalam menghadapi
keadaan sosial politik, seperti adanya pembedaan warna kulit, kemiskinan yang
diderita Negara-negara miskin dan berkembang, sekulerisme materialistic yang
menghancurkan nilai rohani, terorisme internasional yang ada dimana-mana satu
dasawarsa belakangan ini.
Keadaan yang
demikian ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan sekelompok agama saja,
melainkan harus adanya penanganan terpadu antar komponen, baik moral, spiritual
maupun material dari semua umat beragama.[5]
Ada beberapa
pedoman dalam rangka kerukunan antar umat beragama yaitu:
1.
Saling Menghormati
Setiap penganut
agama pastinya berkehendak bahwa apa yang menjadi keyakinannya merupakan yang
terbaik bagi dirinya. Oleh karena itu, setiap penganut agama pastinya tidak
ingin jika apa yang dipercayainya dihilangkan. Bahkan setiap agama wajib untuk
lebih memupuk pemahaman tentang agamanya dengan melestarikan dan meningkatkan
keyakinannya. Dalam Islam misalnya, setiap khotbah di hari jum’at seorang
Khotib pasti menganjurkan kepada pendengar untuk senantiasa meningkatkan
ketaqwaan pada Allah SWT. dengan mempertebal keyakinan maka setiap umat
beragama akan lebih saling menghormati sehingga perasaan takut dan curiga dapat
dihilangkan bersamaan dengan meningkatnya ketaqwaan.
Rasa saling
menghormati juga termasuk menanamkan rasa simpati atas kemajuan-kemajuan yang
dicapai kelompok lain, sehingga menggugah optimisme dengan persaingan yang
sehat. Diusahakan tidak mencari kelemahan agama yang lain agar tidak
menimbulkan konflik, yang timbul dari perasaan tidak senang pada awalnya.[6]
2.
Kebebasan Beragama
Setiap manusia
mempunyai kebebasan untuk menganut agama yang disukai serta situasi dan kondisi
yang memberikan kesempatan yang sama terhadap semua agama. Tentunya dalam
menjabarkan kebebasan perlu juga adanya pertimbangan sosiologis yakni tentang
wilayah, keturunan dan pendidikan yang juga berpengaruh terhadap agama yang
dianut seseorang. Contohnya: seseorang yang dilahirkan dan dibesarkan di
lingkungan agama Islam misalnya Indonesia atau orang yang beragama Katholik
yang notabene dilahirkan di Italia yang orang tuanya beragama Katholik, contoh
diatas hampir merata di daerah manapun di dunia.
3.
Menerima Orang Lain Apa Adanya
Setiap umat
beragama harus mampu menerima seseorang apa adanya dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Melihat umat yang beragama lain tidak dengan persepsi agamanya
baik Kristen ataupun Islam. Melainkan dilihat daripadanya pribadinya yang baik
dan sopan, selama bentuk penerimaan itu adalah dalam bidang sosial dan tidak
mengganggu akidah masing-masing. Jika menerima seseorang dengan persepsi
kristen ataupun islam malah akan menimbulkan konflik, bukan lagi menimbulkan
kerukunan.
4.
Berfikir positif
Berfikir
positif atau husnudzon merupakan hal yang dianjurkan oleh agama Islam
khususnya.Dalam pergaulan umat beragama seharusnya dikembangan berbaik sangka.
Jika orang berburuk sangka maka akan selalu timbul rasa curiga dalam hati saat
bergaul dengan orang lain apalagi yang berbeda agama.
Dasar dari
berbaik sangka adalah rasa saling percaya. Sudah kita ketahui bahwa proses
interaksi dapat terjadi diantara individu dengan individu, individu dengan
kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Dalam proses interaksi inilah perlu
dipupuk rasa saling percaya satu sama lain. Dalam memulai usaha kerukunan di cari
dalam agama masing-masing tentang adanya prinsip kerukunan (toleransi),
selanjutnya tahap deemi tahap dengan adanya dialog akan mengurangi timbulnya
prasangka, jika prasangka sudah hilang maka jalan menuju kearah kerukunan dapat
tercapai.[7]
Dengan memperhatikan
faktor-faktor penyebab kerukunan hidup antar umat beragama tersebut, hendaknya
kita sesama manusia saling tolong-menolong dan kita harus bisa menerima bahwa
perbedaan agama dengan orang lain adalah sebuah realita dalam masyarakat yang multicultural agar
kehidupan antar umat beragama bisa terwujud.[8]
2.3. Kebijakan Pemerintah Dalam Kerukunan
Beragama
1. Kedudukan
Agama di Indonesia
Agama di Indonesia mempunyai kedudukan yang jelas dan
konstitusional.Salah satu Bab dalam UUD’45, memuat
Bab agama dalam pasal 29 dirumuskan dalam dua ayat yaitu :
a.
Negara berdasarkan atas ke Tuhanan Yang Maha Esa
b.
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
Agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
Selanjutnya dalam pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila (p4)
yang merupakan ketetapan MPR No. II/MPR/1978 pada sila pertama dijelaskan :
dengan sila ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan
dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karenanya manusia Indonesia
percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan
kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dalam TAP MPR NO : IV/MPR/78 tentang Agama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa diuraikan lebih rinci yaitu :
a.
Atas dasar kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha
Esa maka kehidupanberagama dan peri kehidupan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa adalah selaras dengan penghayatan dan pengamalan pancasila.
b.
Kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
makin dikembangkan sehingga terbina kerukunan antara sesame umat beragama,
diantara sesama penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan antara
sesama umat beragama dan semua penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dalam usaha memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa dan meningkatkan amal
untuk bersama sama membangun masyarakat.
c.
Dengan semakin meningkatnya dan meluasnya pembangunan maka
kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus semakin
diamalkan baik didalam kehidupan pribadi maupun kehidupan social
kemasyarakatan.
Untuk merealisasikan pokok-pokok diatas maka telah dibuat program-program
yang dituangkan kedalam Repelita III Bab 16 tentang agama yang diantara lain
memuat hal-hal sebagai berikut:” sesuai dengan landasan dan pengarahan GBHN
maka tujuan –tujuan utama pembangunan dibidang Agama adalah :
1)
Menciptakan masyarakat beragama yang pancasialis, dimana
masing-masing penganut agama dapat secara bebas menikmati kehidupan beragama.
2)
Seluruh umat beragama menjadi unsur utama dari Negara berdasarkan
pancasila.
3)
Masyarakat beragama menempatkan diri sebagai modal utama
pembangunan, keamanan dan ketahanan nasional, dari Negara yang berdasarkan pancasila
dan UUD’45.
Dalam rangka
mencapai tujuan-tujuan tersebut diatas maka selama Repelita III pembangunan di
bidang agama lebih diarahkan pada :
1)
Meningkatkan usaha-usaha pembangunan di bidang agama dengan
mengintegrasikan dengan pembangunan di bidang-bidang yang lain, sehingga lebih
dirasakan sebagai bagian yang terpadu dari pemenuhan tujuan pembangunan serta
menjawab kebutuhan hidup masyarakat pada umumnya.
2)
Memasyarkatkan dan membudayakan pedoman penghayatan dan pengamalan
pancasila, menurut system dan pendekatan yang dapat dan mudah diterima oleh
masing-masing umat beragama.
Demikian sedikit uraian tentang kedudukan Agama di Indonesia yang
dikutipkan dari tulisan A.Ludjito dalam buku “ penelitian agama masalah dan
pemikiran “ yang diterbitkan oleh BALITBANG Departemen Agama.
Pemerintah Republik Indonesia dalam menghadapi kenyataan yang
pluralitas sangat berperan dalam penataan umat beragama. Ada beberapa alasan
mengapa pemerintah berkepentingan dala menata umat beragama yaitu:
a.
Kehidupan keagaman secara historis berhubungan dengan penataan
pemerintahan.
b.
Diperlukan pembagian urusan yang jelas serta tetap saling
berhubungan antara umat beragama dengan pemerintah.
c.
Kerukunan dan keamanan nasional merupakan persyaratan mutlak bagi
pembangunan Bangsa dan Negara.
Yang dimaksud dengan pemerintah berdasarkan pembagian tugas ialah
Departeman Agama Republik Indonesia yang didirikan tanggal 3 Januari 1956
dengan tugas berdasarkan keppres No. 45
tahun 1974 Bab I yaitu :
a.
Departeman agama (sekarang; Kementerian agama) sebagai bagian dari
pemerintahan Negara dipimpin oleh seorang menteri yang bertanggung jawab
langsung pada presiden.
b.
Tugas pokok kementerian agama ialah menyelenggarakan sebagian tugas
umum pemerintah dan pembangunan di bidang agama.
Dalam merealisasikan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan
menteri agama mengeluarkan surat keputusan no.35 tahun 1980 tentang Wadah
Musyawarah Antar Umat Beragama. Naskah pedoman dasarnya ditandatangani oleh
pemimpin –pemimpin majelis agama masing-masing dan pada akhirnya menjadi forum
konsultasi dan komunikasi antar pemuka-pemuka agama.
Dengan demikian kemungkinan dialog menjadi lebih realistis dengan
adanya system structural yang dibuat oleh pemerintah, setidak-tidaknya
ketegangan antar penganut agama bisa berkurang.[9]
Pada masa kementerian agama dijabat oleh Prof. Dr. Mukti Ali
kondisi kerukunan bertambah stabil statement serta semboyan yang dikeluarkan
sering bernada dialogis dan kerukunan misalnya :” Dialog dan bukan apologi” dan
“ Agree in disagreement”. Semboyan- semboyan tersebut sering dikemukakan dalam
berbagai kesempatan.
Sesudah Mukti Ali, kementerian agama dijabat oleh Letjen Alamsyah
Ratu Prawironegara. Dalam program kerukunan umat beragama, mengarahkan pada
tema pokok yaitu” Trilogi Kerukunan umat beragama” yaitu :
a.
Kerukunan intern umat beragama.
b.
Kerukunan antar umat beragama.
c.
Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.
2.
Peran organisasi keagamaan dalam kerukunan beragama
Menyadari atas peran agama yang penting demi terciptanya
kesejahteraan umat manusia maka agama-agama tumbuh di Indonesia mendirikan
organisasi keagamaan sebagai
wadah pembinaan umat.
Gereja katholik mempunyai organisasi “ Majelis Agung Waligereja
Indonesia (MAWI) yang juga mempunyai bagian organisasi “Panitia Waligereja
Indonesia” (PWI). Untuk yang beragama Kristen protestan mempunyai persekutuan
gereja Indonesia (PGI).Disamping itu juga mempunyai bagian organisasi yang
menangani masalah dialag antar umat beragama.Oleh pemerintah PGI dan MAWI
ditunjuk oleh pemerintah sebagai puncak organisasi yang mewakili umat Kristen
dalam membina kerukunan antar umat beragama.
Sedangkan umat islam mempunyai organisasi “ Majelis Ulama Indonesia”
(MUI). Organisasi ini juga bertugas ikut membina kerukunan antar umat beragama
bersama dengan badan-badan keagamaan yang lain seperti Nahdlatul Ulama,
Muhamadiyah dll.
Bagi umat hindu sudah mempunyai organisasi parisada Hindhu Dharma
pusat dan umat budha mempunyai perwakilan umat budha Indonesia (WALUBI). Untuk
agama dan kepercayaan diluar lima agama tersebut diatas seperti Kong Hu Chu
juga mempunyai organisasi MATAKIN yaitu Majelis Tinggi Agama Kong Hu Chu Indonesia. Demikian juga golongan
penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sudah mempunyai secretariat
sendiri.[10]
3.
Dialaog Antar Umat Beragama
Sebagai langkah awal dalam mencapai kerukunan antar umat beragama
cara “dialaog” merupakan salah satu cara yang diambil guna mendekatkan lebih
dahulu. Cara ini dipakai agar umat beragama memahami dan berusaha saling
mengenal antara pihak yang satu dengan yang lain.
Guna tercapai suatu hasil yang wajar dalam suatu dialog maka
diperlukan kesepakatn-kesepakatan yang harus ditaati oleh pihak-pihak yang
mengadakan dialog atau seperangkat pedoman yang harus ditaati yaitu :
a.
Dasar pijak yang sama
Setiap umat yang akan mengadakan dialog hendakny menyadari bahwa walaupun manusia berbeda
dalam menganut agama tetapi harus disadari bahwa antar sesama manusia merupakan
satu keluarga, saling menyayangi, menghormati, saling tolong menolong atau
dengan kata lain yang diungkap dalam dialog adalah materi-materi yang mempunyai
kesamaan-kesamaan, bukan mengungkapkan perbedaan-perbedaan yang justru
mempertajam perpecahan.
Bahaya atheisme merupakan tema sentral yang mampu untuk dibahas
dalam dialog antar umat beragama, disamping juga tema-tema lain yang disepakati
dalam rangka dialog pada masa-masa yang akan datang.
b.
Tujuan yang jelas
Tujuan dialog tidak bermaksud untuk kompromi aqidah atau
sinkritisme agama baru yang memuat semua unsure agama yang mengikuti dialog.
Juga tidak bermaksud untuk menonjolkan agama masing-masing agar mendapat
pengakuan atau mencari rumusan mana agama yang paling benar. Perbedaan yang ada
dalam tiap-tiap agama tidak perlu ditiadakan bahkan dalam dialog tersebut harus
disadari dan diakui tentang adanya perbedaan-perbedaan antara agama yang satu
dengan yang lain, sehingga tercapai tujuan positif saling pengertian dan saling
menghargai lebih baik daripada sebelum terjadinya dialog.
c.
Tema yang jelas
Tema-tema yang dibahas harus disepakati sehingga tidak salah arah
dan tumpang tindih antara materi yang satu dengan yang lain. Misalnya masalah
dakwah, setiap agama mempunyai tuntunan atau suatu perintah untuk menyebarkan
agama. Bagaimanapun pada saat-saat yang tertentu akan bersinggungan antara
agama yang satu dengan yang lain, bahkan saling berbenturan. Karena
masing-masing mempunyai misi yang sama. Bagaimanapun cara pemecahannya agar
saling menyebarkan ajaran agama tidak saling berbenturan.
4.
Teknologi Kerukunan
Teknologi kerukunan adalah suatu pandangan keagamaan yang tidak
memonopoli kebenaran dan keselamatan. Suatu pandangan keagamaan yang didasarkan
atas kesadaran bahwa agama sebagai ajaran kebenaran setelah dianut oleh
persepsi manusia dalam mengekspresikan agama yang dianut.
Dengan pandangan teknologi kerukunan tersebut tentu timbul masalah
apakah tidak mengurangi makna kebergaman tersebut. Jika berpandangan bahwa
agama yang dipeluk sebagai satu-satunya yang menyelamatkan sedang yang lain
tidak, maka pandangan tersebut tidak bermakna. Dalam melahirkan suatu teknologi
kerukunan tentu diperluakn dialog-dialog secara berkesinambungan sehingga
terjadi interaksi antar umat beragama yang dimulai dari tokoh-tokohnya dan
pemimpin-pemimpin agama.
Tampaknya dialog-dialog sudah dilaksanakan namun ditingkatkan baik
secara kualitas maupun kuantitas, namun kita belum berani berbuat banyak guna
mendiskusikannya karena dianggap masih tabu. Lepas dari masalah diatas,
perkembangan masyarakat dan kebudayaan kita menghadapi pandangan keagamaan yang
moderat dan liberal.Tanpa pandangan keagamaan semacam itu sukar bagi agama
untuk menginterpretasikan kemajuan masyarakat dalam menganut agama.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kerukunan beragama merupakan dambaan setiap umat manusia sebagian besar
umat di dunia, ingin hidup, rukun, damai, dan tentram dalam menjalankan
kehidupan bermasyarkat dan bernegara serta dalam menjalankan ibadahnya.
Kerukunan umat beragama yaitu hubungan sesama ummat beragama yang dilandasi
toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam
kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan masyarakat
dan bernegara. Umat beragama dan pemerintah harus melakukan upaya bersama dalam
memelihara kerukunan umat beragama, dibidang pelayanan, pengaturan, dan
pemberdayaan. Sebagai contoh yaitu dalam mendirikan rumah ibadah harus
memperhatikan pertimbangan organisasi masyarakat keagamaan yang berbadan hukum
dan telah terdaftar di pemerintah daerah.
Kerukunan agama sangat diperlukan, agar bisa menjalani kehidupan beragama
dan bermasyarakat dibumi Indonesia ini dengan damai, sejahtera, dan jauh dari
kecurigaan kepada kelompok-kelompok lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ishomuddin. 2002. “Pengantar Sosiologi
Agama”. Jakarta: Ghalia Indonesia.
1980. Pedoman dasar kerukunan hidup beragama”.
Jakarta: Proyek pembinaan kerukunan hidup beragama departemen agama RI.
Tualeka, Hamzah. 2011. “Sosiologi
Agama”. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press.
Kahmad, Dadang. 2009. “Sosiologi Agama”. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Sairin,
Weinata. 2002. “Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa”. Yogyakarta:
Butir-Butir Pemikiran.
[1]Ishomuddin. “Pengantar Sosiologi Agama”.Jakarta: Ghalia
Indonesia(2002). Hal 120
[2]Departemen Agama Ri, “Pedoman dasar kerukunan hidup beragama”,
Proyek pembinaan kerukunan hidup beragama departemen agama RI.(1980) Hal: 35.
[3] Hamzah Tualeka, Sosiologi Agama, IAIN Sunan Ampel Press
(Surabaya : 2011) hlm 157
[4] Kahmad, Dadang. “Sosiologi Agama”. PT Remaja Rosdakarya (Bandung :
2009) hlm 174
[5] Hamzah Tualeka, Sosiologi Agama, IAIN Sunan Ampel Press
(Surabaya : 2011) hlm 158-159
[6] ibid. hlm 159-160
[7] ibid. hlm 161.
[8]Sairin, Weinata. “Kerukunan Umat Beragama
Pilar Utama Kerukunan Berbangsa”. Butir-Butir Pemikiran. (Yogyakarta: 2002)
hlm 172.
[9] Hamzah Tualeka, Sosiologi Agama, IAIN Sunan Ampel Press
(Surabaya : 2011) hlm.160-162
[10] Ibid, hlm.163-165
No comments:
Post a Comment