Tuesday, February 6, 2018

kerukunan umat beragama



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Bangsa Indonesia hidup dalam keadaan “plural society”, masyarakat serba ganda, ganda kepercayaan, kebudayaan, aspirasi politik, agama, dan sebagainya. Dalam keragaman agama khususnya, Indonesia memiliki 5 agama yang diakui dalam undang-undang dasar yakni; Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghuchu.Agama yang memiliki kepercayaan masing-masing mengenai Tuhannya ini berkumpul dalam satu Negara yang kita naungi yakni Indonesia.
Masyarakat Indonesia yang beragama dituntut supaya rukun dalam kehidupan agama.Kericuhan dalam kehidupan agama merupakan suatu halangan bagi sistem pembangunan.Pembangunan mustahil dilaksanakan dalam masyarakat yang kacau.Kerukunan hidup masyarakat merupakan prakondisi bagi pembangunan. Rukun dalam kehidupan beragama akan tercipta apabila tiap-tiap orang saling tenggang-menenggang rasa dan lapang dada (toleransi). Ini bukan suatu hal yang mudah.[1]
Pemerintahan merupakan pusat dari segala pengaturan dalam suatu Negara. Oleh karena itu dalam hal kerukunan agama pun diperlukan kebijakan-kebijakan yang mampu menimbulkan suatu bentuk lingkungan yang rukun dalam beragama di Indonesia khususnya.Kebijakan-kebijakan yang diambil merupakan hal yang sangat mempengaruhi keutuhan bangsa Indonesia. Jadi dalam menentukan segala bentuk kebijakan haruslah mempertimbangkan berbagai agama yang ada didalamnya agar tidak terjadi gesekan seperti saat dibentuknya dasar Negara yakni Pancasila yang sempat menuai protes dari agama selain Islam tentang sila yang pertama yang pada awalnya “ Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” , yang kemudian diganti dengan “Ketuhanan yang maha Esa”.
Dari sini terlihatlah bagaimana Pancasila itu muncul dari berbagai agama yang ada di Indonesia yang ingin meneguhkan kerukunan diantara umat beragama di Indonesia. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai “Kebijakan-kebijakan Pemerintah Dalam Pembinaan Kerukunan Umat Beragama.”
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ   $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
Dari ayat diatas dijelaskan secara luas bawasannya wajib bagi umat manusia untuk taat kepada Nabi SAW, Rosull dan Ulil Amri atau Pemimpin. Apabila pemimpin itu membawa keadilan dan kema’rufkan. Demi menciptakan suatu kebijakan pemerintah untuk pembinaan kerukunan umat beragama. Maka wajib bagi seorang pemimpin untuk bersikap adil yang diamana agar masyarakat mentaati semua kebijakan-kebijakanya . Sehingga secara tidak langsung akan tercipta masyarakat yang rukun dan damai seperti yang diinginkan.
1.2  Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut mengenai kebijakan pemerintah tentang kerukunan umat beragama. Maka dari masalah pokok ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Apa pengertian kerukunan umat beragama dan kebijakan pemerintah?
2.      Apa saja faktor-faktor penyebab terjadinya kerukunan beragama?
3.      Bagaimana kebijakan pemerintah dalam pembinaan kerukunan umat beragama dalam Indonesia?

1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa pengertian kerukunan umat beragama dan kebijakan pemerintah.
2.      Untuk mengetahui  faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kerukunan dalam beragama.
3.      Untuk mengetahui kebijakan pemerintah dalam pembinaan kerukunan umat beragama di Indonesia.



















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kerukunan Umat Beragama dan Kebijakan Pemerintah
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi). Pemerintah adalah sistem yang menjalankan wewenang dan kekuasaan mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu Negara atau bagian-bagiannya.Bisa juga diartikan Sekelompok orang yang secara bersama-sama memikul tanggung jawab terbatas untuk menggunakan kekuasaan.
Pembinaan adalah usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efisien, dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Kerukunan adalah istilah yang berarti baik, dan damai. Intinya, hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat” untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran. Jadi, Kerukunan umat beragama yaitu hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai, dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Kerukunan akan bisa tercapai apabila setiap kelompok agama bisa memahami dan memiliki prinsip “setuju dalam perbedaan” yang berarti mau menerima perbedaan orang lain dan menghormati dengan keyakinan, kebiasaan, dan pola hidupnya, dan menghormati orang lain dengan kebebasannya untuk menganut agamanya sendiri menurut keyakinan masing-masing.
Departemen agama juga menjadikan kerukunan antar umat beragama sebagai tujuan pembangunan nasional bangsa Indonesia yang diarahkan dalam tiga bentuk:
Pembinaan dan pemeliharaan kerukunan hidup umat beragama mengarah kepada tiga bentuk, yaitu:
a.       Kerukunan intern umat beragama
b.      Kerukunan antar umat beragama
c.       Kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah.
Kerukunan hidup beragama bukan sekedar terciptanya keadaan di mana tidak ada pertentangan intern umat beragama, antar golongan-golongan agama dan antara umat-umat beragama dengan pemerintah.Ia adalah keharmonisan hubungan dalam dinamika pergaulan dan kehidupan masyarakat yang saling menguatkan dan diikat oleh sikap mengendalikan diri dalam wujud:
a.       Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya.
b.      Saling menghiormati dan bekerjasama intern pemeluk agama, antar berbagai golongan agama dan antar umat-umat beragama dengan pemerintah yang sama-sama bertanggung jawab membangun bangsa dan Negara.
c.       Saling tegang rasa dengan tidak  memaksakan agama kepada orang.[2]

A.    Tugas Pokok Pemerintahan
·         Pembinaan kehidupan beragama
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara menyebutkan tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata materil dan spiritual berdasarkan pancasila.Dari rumusan tersebut sudah jelas bahwa agama mempunyai arti dan peranan yang sangat penting dalam pembangunan nasional kita.
Masyarakat yang hendak kita bangun tidak hanya menitik beratkan kepada pembangunan materil saja tetapi juga pembangunan spiritual.Pembangunan yang kita laksanakan adalah pembangunan yang seimbang antara pembangunan materil dan spiritual.Pembangunan yang menyatu dan utuh untuk pembangunan manusia Indonesia seutuhnya untuk kepentingan kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Berdasarkan pokok pikiran bahwa hakikat Pembangunan Nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, maka landasan pelaksanaan Pembangunan Nasional adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Tentang Agama Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 29) menyebutkan:
1.    Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.    Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
2.2 Faktor-faktor Terjadinya Kerukunan Beragama
Salah satu fungsi dari Agama adalah pemupuk persaudaraan (toleransi dan solidaritas). Sosiologi mempunyai peran penting dalam proses perwujudannya yakni melalui komunikasi yang baik antar umat beragama. Indonesia yang notabene memiliki berbagai macam agama yang berbeda-beda diharuskan memiliki cara yang baik dalam komunikasi antar umat beragama. Salah satu cara komunikasi yang baik adalah dialog, yakni  merupakan salah satu proses sosial yaitu suatu proses yang selalu terjadi di masyarakat sebagai wadah kerja sama dari pihak yang berkepentingan. Dengan demikian dialog adalah suatu proses yang diperlukan untuk mengatasi keadaan yang dilanda ketegangan dan permusuhan agar tercipta kerjasama, saling menghormati dan menghargai.[3]
Agar proses kearah kerjasama dan saling menghargai terwujud maka dibutuhkan situasi yang mendukung yaitu keadaan yang menyatukan nilai-nilai kehidupan yang sama dan dapat diterima dengan baik oleh semua pihak. Namun, sangat disayangkan apabila cita-cita kedamaian dan keselamatan yang ingin dicapai tersebut malah bukan membuahkan kedamaian yang merata, melainkan bisa jadi menimbulkan konflik, permusuhan dan bentrokan antar umat beragama.
            Kejadian bentrok atau permusuhan bisa saja terjadi di Indonesia yang memiliki agama yang berbeda-beda.Kejadian konflik dan permusuhan di Indonesia saat ini sudah mulai mereda dengan seiring berjalannya waktu dengan timbulnya kesadaran antar umat beragama untuk menciptakan kedamaian di negaranya. Untuk mencapai suatu kedamaian, seluruh warga Negara tentu memerlukan yang namanya komunikasi dan sikap terbuka satu sama lain.[4]
            Perkembangan zaman yang menyebabkan kondisi dunia yang terbuka membutuhkan kerjasama antar umat beragama baik secara regional, nasional, ataupun internasional dalam menghadapi keadaan sosial politik, seperti adanya pembedaan warna kulit, kemiskinan yang diderita Negara-negara miskin dan berkembang, sekulerisme materialistic yang menghancurkan nilai rohani, terorisme internasional yang ada dimana-mana satu dasawarsa belakangan ini.
            Keadaan yang demikian ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan sekelompok agama saja, melainkan harus adanya penanganan terpadu antar komponen, baik moral, spiritual maupun material dari semua umat beragama.[5]
            Ada beberapa pedoman dalam rangka kerukunan antar umat beragama yaitu:
1.      Saling Menghormati
Setiap penganut agama pastinya berkehendak bahwa apa yang menjadi keyakinannya merupakan yang terbaik bagi dirinya. Oleh karena itu, setiap penganut agama pastinya tidak ingin jika apa yang dipercayainya dihilangkan. Bahkan setiap agama wajib untuk lebih memupuk pemahaman tentang agamanya dengan melestarikan dan meningkatkan keyakinannya. Dalam Islam misalnya, setiap khotbah di hari jum’at seorang Khotib pasti menganjurkan kepada pendengar untuk senantiasa meningkatkan ketaqwaan pada Allah SWT. dengan mempertebal keyakinan maka setiap umat beragama akan lebih saling menghormati sehingga perasaan takut dan curiga dapat dihilangkan bersamaan dengan meningkatnya ketaqwaan.
Rasa saling menghormati juga termasuk menanamkan rasa simpati atas kemajuan-kemajuan yang dicapai kelompok lain, sehingga menggugah optimisme dengan persaingan yang sehat. Diusahakan tidak mencari kelemahan agama yang lain agar tidak menimbulkan konflik, yang timbul dari perasaan tidak senang pada awalnya.[6]
2.      Kebebasan Beragama
Setiap manusia mempunyai kebebasan untuk menganut agama yang disukai serta situasi dan kondisi yang memberikan kesempatan yang sama terhadap semua agama. Tentunya dalam menjabarkan kebebasan perlu juga adanya pertimbangan sosiologis yakni tentang wilayah, keturunan dan pendidikan yang juga berpengaruh terhadap agama yang dianut seseorang. Contohnya: seseorang yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan agama Islam misalnya Indonesia atau orang yang beragama Katholik yang notabene dilahirkan di Italia yang orang tuanya beragama Katholik, contoh diatas hampir merata di daerah manapun di dunia.
3.      Menerima Orang Lain Apa Adanya
Setiap umat beragama harus mampu menerima seseorang apa adanya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Melihat umat yang beragama lain tidak dengan persepsi agamanya baik Kristen ataupun Islam. Melainkan dilihat daripadanya pribadinya yang baik dan sopan, selama bentuk penerimaan itu adalah dalam bidang sosial dan tidak mengganggu akidah masing-masing. Jika menerima seseorang dengan persepsi kristen ataupun islam malah akan menimbulkan konflik, bukan lagi menimbulkan kerukunan.
4.      Berfikir positif
Berfikir positif atau husnudzon merupakan hal yang dianjurkan oleh agama Islam khususnya.Dalam pergaulan umat beragama seharusnya dikembangan berbaik sangka. Jika orang berburuk sangka maka akan selalu timbul rasa curiga dalam hati saat bergaul dengan orang lain apalagi yang berbeda agama.
Dasar dari berbaik sangka adalah rasa saling percaya. Sudah kita ketahui bahwa proses interaksi dapat terjadi diantara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Dalam proses interaksi inilah perlu dipupuk rasa saling percaya satu sama lain. Dalam memulai usaha kerukunan di cari dalam agama masing-masing tentang adanya prinsip kerukunan (toleransi), selanjutnya tahap deemi tahap dengan adanya dialog akan mengurangi timbulnya prasangka, jika prasangka sudah hilang maka jalan menuju kearah kerukunan dapat tercapai.[7]
Dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab kerukunan hidup antar umat beragama tersebut, hendaknya kita sesama manusia saling tolong-menolong dan kita harus bisa menerima bahwa perbedaan agama dengan orang lain adalah sebuah realita  dalam masyarakat yang multicultural agar kehidupan antar umat beragama bisa terwujud.[8]
 2.3. Kebijakan Pemerintah Dalam Kerukunan Beragama
1. Kedudukan Agama di Indonesia
Agama di Indonesia mempunyai kedudukan yang jelas dan konstitusional.Salah satu Bab dalam UUD’45, memuat Bab agama dalam pasal 29 dirumuskan dalam dua ayat yaitu :
a.    Negara berdasarkan atas ke Tuhanan Yang Maha Esa
b.    Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk Agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
Selanjutnya dalam pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila (p4) yang merupakan ketetapan MPR No. II/MPR/1978 pada sila pertama dijelaskan : dengan sila ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karenanya manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dalam TAP MPR NO : IV/MPR/78 tentang Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diuraikan lebih rinci yaitu :
a.       Atas dasar kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa maka kehidupanberagama dan peri kehidupan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah selaras dengan penghayatan dan pengamalan pancasila.
b.      Kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa makin dikembangkan sehingga terbina kerukunan antara sesame umat beragama, diantara sesama penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan antara sesama umat beragama dan semua penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam usaha memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa dan meningkatkan amal untuk bersama sama membangun masyarakat.
c.       Dengan semakin meningkatnya dan meluasnya pembangunan maka kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus semakin diamalkan baik didalam kehidupan pribadi maupun kehidupan social kemasyarakatan.
Untuk merealisasikan pokok-pokok diatas maka telah dibuat program-program yang dituangkan kedalam Repelita III Bab 16 tentang agama yang diantara lain memuat hal-hal sebagai berikut:” sesuai dengan landasan dan pengarahan GBHN maka tujuan –tujuan utama pembangunan dibidang Agama adalah :
1)      Menciptakan masyarakat beragama yang pancasialis, dimana masing-masing penganut agama dapat secara bebas menikmati kehidupan beragama.
2)      Seluruh umat beragama menjadi unsur utama dari Negara berdasarkan pancasila.
3)      Masyarakat beragama menempatkan diri sebagai modal utama pembangunan, keamanan dan ketahanan nasional, dari Negara yang berdasarkan pancasila dan UUD’45.
Dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tersebut diatas maka selama Repelita III pembangunan di bidang agama lebih diarahkan pada :
1)      Meningkatkan usaha-usaha pembangunan di bidang agama dengan mengintegrasikan dengan pembangunan di bidang-bidang yang lain, sehingga lebih dirasakan sebagai bagian yang terpadu dari pemenuhan tujuan pembangunan serta menjawab kebutuhan hidup masyarakat pada umumnya.
2)      Memasyarkatkan dan membudayakan pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila, menurut system dan pendekatan yang dapat dan mudah diterima oleh masing-masing umat beragama.
Demikian sedikit uraian tentang kedudukan Agama di Indonesia yang dikutipkan dari tulisan A.Ludjito dalam buku “ penelitian agama masalah dan pemikiran “ yang diterbitkan oleh BALITBANG Departemen Agama.
Pemerintah Republik Indonesia dalam menghadapi kenyataan yang pluralitas sangat berperan dalam penataan umat beragama. Ada beberapa alasan mengapa pemerintah berkepentingan dala menata umat beragama yaitu:
a.       Kehidupan keagaman secara historis berhubungan dengan penataan pemerintahan.
b.      Diperlukan pembagian urusan yang jelas serta tetap saling berhubungan antara umat beragama dengan pemerintah.
c.       Kerukunan dan keamanan nasional merupakan persyaratan mutlak bagi pembangunan Bangsa dan Negara.
Yang dimaksud dengan pemerintah berdasarkan pembagian tugas ialah Departeman Agama Republik Indonesia yang didirikan tanggal 3 Januari 1956 dengan tugas berdasarkan keppres No. 45  tahun 1974 Bab I yaitu :
a.       Departeman agama (sekarang; Kementerian agama) sebagai bagian dari pemerintahan Negara dipimpin oleh seorang menteri yang bertanggung jawab langsung pada presiden.
b.      Tugas pokok kementerian agama ialah menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintah dan pembangunan di bidang agama.
Dalam merealisasikan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan menteri agama mengeluarkan surat keputusan no.35 tahun 1980 tentang Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama. Naskah pedoman dasarnya ditandatangani oleh pemimpin –pemimpin majelis agama masing-masing dan pada akhirnya menjadi forum konsultasi dan komunikasi antar pemuka-pemuka agama.
Dengan demikian kemungkinan dialog menjadi lebih realistis dengan adanya system structural yang dibuat oleh pemerintah, setidak-tidaknya ketegangan antar penganut agama bisa berkurang.[9]
Pada masa kementerian agama dijabat oleh Prof. Dr. Mukti Ali kondisi kerukunan bertambah stabil statement serta semboyan yang dikeluarkan sering bernada dialogis dan kerukunan misalnya :” Dialog dan bukan apologi” dan “ Agree in disagreement”. Semboyan- semboyan tersebut sering dikemukakan dalam berbagai kesempatan.
Sesudah Mukti Ali, kementerian agama dijabat oleh Letjen Alamsyah Ratu Prawironegara. Dalam program kerukunan umat beragama, mengarahkan pada tema pokok yaitu” Trilogi Kerukunan umat beragama” yaitu :
a.       Kerukunan intern umat beragama.
b.      Kerukunan antar umat beragama.
c.       Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.

2.      Peran organisasi keagamaan dalam kerukunan beragama
Menyadari atas peran agama yang penting demi terciptanya kesejahteraan umat manusia maka agama-agama tumbuh di Indonesia mendirikan organisasi keagamaan sebagai wadah pembinaan umat.
Gereja katholik mempunyai organisasi “ Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) yang juga mempunyai bagian organisasi “Panitia Waligereja Indonesia” (PWI). Untuk yang beragama Kristen protestan mempunyai persekutuan gereja Indonesia (PGI).Disamping itu juga mempunyai bagian organisasi yang menangani masalah dialag antar umat beragama.Oleh pemerintah PGI dan MAWI ditunjuk oleh pemerintah sebagai puncak organisasi yang mewakili umat Kristen dalam membina kerukunan antar umat beragama.
Sedangkan umat islam mempunyai organisasi “ Majelis Ulama Indonesia” (MUI). Organisasi ini juga bertugas ikut membina kerukunan antar umat beragama bersama dengan badan-badan keagamaan yang lain seperti Nahdlatul Ulama, Muhamadiyah dll.
Bagi umat hindu sudah mempunyai organisasi parisada Hindhu Dharma pusat dan umat budha mempunyai perwakilan umat budha Indonesia (WALUBI). Untuk agama dan kepercayaan diluar lima agama tersebut diatas seperti Kong Hu Chu juga mempunyai organisasi MATAKIN yaitu Majelis Tinggi Agama  Kong Hu Chu Indonesia. Demikian juga golongan penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sudah mempunyai secretariat sendiri.[10]
3.      Dialaog Antar Umat Beragama
Sebagai langkah awal dalam mencapai kerukunan antar umat beragama cara “dialaog” merupakan salah satu cara yang diambil guna mendekatkan lebih dahulu. Cara ini dipakai agar umat beragama memahami dan berusaha saling mengenal antara pihak yang satu dengan yang lain.
Guna tercapai suatu hasil yang wajar dalam suatu dialog maka diperlukan kesepakatn-kesepakatan yang harus ditaati oleh pihak-pihak yang mengadakan dialog atau seperangkat pedoman yang harus ditaati yaitu :
a.       Dasar pijak yang sama
Setiap umat yang akan mengadakan dialog hendakny  menyadari bahwa walaupun manusia berbeda dalam menganut agama tetapi harus disadari bahwa antar sesama manusia merupakan satu keluarga, saling menyayangi, menghormati, saling tolong menolong atau dengan kata lain yang diungkap dalam dialog adalah materi-materi yang mempunyai kesamaan-kesamaan, bukan mengungkapkan perbedaan-perbedaan yang justru mempertajam perpecahan.
Bahaya atheisme merupakan tema sentral yang mampu untuk dibahas dalam dialog antar umat beragama, disamping juga tema-tema lain yang disepakati dalam rangka dialog pada masa-masa yang akan datang.
b.      Tujuan yang jelas
Tujuan dialog tidak bermaksud untuk kompromi aqidah atau sinkritisme agama baru yang memuat semua unsure agama yang mengikuti dialog. Juga tidak bermaksud untuk menonjolkan agama masing-masing agar mendapat pengakuan atau mencari rumusan mana agama yang paling benar. Perbedaan yang ada dalam tiap-tiap agama tidak perlu ditiadakan bahkan dalam dialog tersebut harus disadari dan diakui tentang adanya perbedaan-perbedaan antara agama yang satu dengan yang lain, sehingga tercapai tujuan positif saling pengertian dan saling menghargai lebih baik daripada sebelum terjadinya dialog.
c.       Tema yang jelas
Tema-tema yang dibahas harus disepakati sehingga tidak salah arah dan tumpang tindih antara materi yang satu dengan yang lain. Misalnya masalah dakwah, setiap agama mempunyai tuntunan atau suatu perintah untuk menyebarkan agama. Bagaimanapun pada saat-saat yang tertentu akan bersinggungan antara agama yang satu dengan yang lain, bahkan saling berbenturan. Karena masing-masing mempunyai misi yang sama. Bagaimanapun cara pemecahannya agar saling menyebarkan ajaran agama tidak saling berbenturan.
4. Teknologi Kerukunan
Teknologi kerukunan adalah suatu pandangan keagamaan yang tidak memonopoli kebenaran dan keselamatan. Suatu pandangan keagamaan yang didasarkan atas kesadaran bahwa agama sebagai ajaran kebenaran setelah dianut oleh persepsi manusia dalam mengekspresikan agama yang dianut.
Dengan pandangan teknologi kerukunan tersebut tentu timbul masalah apakah tidak mengurangi makna kebergaman tersebut. Jika berpandangan bahwa agama yang dipeluk sebagai satu-satunya yang menyelamatkan sedang yang lain tidak, maka pandangan tersebut tidak bermakna. Dalam melahirkan suatu teknologi kerukunan tentu diperluakn dialog-dialog secara berkesinambungan sehingga terjadi interaksi antar umat beragama yang dimulai dari tokoh-tokohnya dan pemimpin-pemimpin agama.
Tampaknya dialog-dialog sudah dilaksanakan namun ditingkatkan baik secara kualitas maupun kuantitas, namun kita belum berani berbuat banyak guna mendiskusikannya karena dianggap masih tabu. Lepas dari masalah diatas, perkembangan masyarakat dan kebudayaan kita menghadapi pandangan keagamaan yang moderat dan liberal.Tanpa pandangan keagamaan semacam itu sukar bagi agama untuk menginterpretasikan kemajuan masyarakat dalam menganut agama.[11]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kerukunan beragama merupakan dambaan setiap umat manusia sebagian besar umat di dunia, ingin hidup, rukun, damai, dan tentram dalam menjalankan kehidupan bermasyarkat dan bernegara serta dalam menjalankan ibadahnya. Kerukunan umat beragama yaitu hubungan sesama ummat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Umat beragama dan pemerintah harus melakukan upaya bersama dalam memelihara kerukunan umat beragama, dibidang pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan. Sebagai contoh yaitu dalam mendirikan rumah ibadah harus memperhatikan pertimbangan organisasi masyarakat keagamaan yang berbadan hukum dan telah terdaftar di pemerintah daerah.
Kerukunan agama sangat diperlukan, agar bisa menjalani kehidupan beragama dan bermasyarakat dibumi Indonesia ini dengan damai, sejahtera, dan jauh dari kecurigaan kepada kelompok-kelompok lain.






DAFTAR PUSTAKA

Ishomuddin. 2002. Pengantar Sosiologi Agama”. Jakarta: Ghalia Indonesia.
1980. Pedoman dasar kerukunan hidup beragama”. Jakarta: Proyek pembinaan kerukunan hidup beragama departemen agama RI.
Tualeka, Hamzah. 2011. Sosiologi Agama”. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press.
Kahmad, Dadang. 2009. “Sosiologi Agama”. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sairin, Weinata. 2002. “Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa”. Yogyakarta: Butir-Butir Pemikiran.



















[1]Ishomuddin. “Pengantar Sosiologi Agama”.Jakarta: Ghalia Indonesia(2002). Hal 120
[2]Departemen Agama Ri, “Pedoman dasar kerukunan hidup beragama”, Proyek pembinaan kerukunan hidup beragama departemen agama RI.(1980) Hal: 35.
[3] Hamzah Tualeka, Sosiologi Agama, IAIN Sunan Ampel Press (Surabaya : 2011) hlm 157
[4] Kahmad, Dadang. “Sosiologi Agama”. PT Remaja Rosdakarya (Bandung : 2009) hlm 174
[5] Hamzah Tualeka, Sosiologi Agama, IAIN Sunan Ampel Press (Surabaya : 2011) hlm 158-159
[6] ibid. hlm 159-160
[7] ibid. hlm 161.
[8]Sairin, Weinata. “Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa”. Butir-Butir Pemikiran. (Yogyakarta: 2002) hlm 172.
[9] Hamzah Tualeka, Sosiologi Agama, IAIN Sunan Ampel Press (Surabaya : 2011) hlm.160-162
[10] Ibid, hlm.163-165
[11]Ibid, hlm.167-170

No comments:

Post a Comment