Indonesia adalah Negara yang
masyarakatnyaberagam dalam keagamaan, suatu kewajiban Negara untuk menjaga
keamanan dan perlindungan bagi warga negaranya. Ditambahpula dengan sistem
demokrasi tentu prinsipnya adalah kebebasan, di antaranya kebebasan memeluk
agama tertentu sekaligus melakukan ibadah-ibadah tertentu pula yang harus
dibarengi dengan sikap toleran dari masrarakatnya
Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai Bangsa yang
mempunyai ragam kebudayaan, suku, bahasa, dan agama yang berbeda-beda. Menurut
laporan sensus tahun 2000, 88 pesen penduduk menyatakan diri sebagai
pemeluk Islam, 6 persen Kristen
Protestan, 3 persen Katolik Roma, 2 persen Hindu, dan kurang dari 1 persen Budha, penganut agama pribumi,
kelompok Kristen lain, dan Yahudi. Beberapa
penganut agama Kristen, Hindu, dan anggota kelompok agama minoritas lain
berpendapat bahwa sensus tersebut kurang akurat dalam menghitung jumlah
penganut non-Muslim.
Di
masyarakat juga masih terdapat suatu aliran kepercayaan, Sekitar 20
juta orang di
pulau Jawa, Kalimantan,
Papua, dan daerah
lain diperkirakan mempraktikkan
animisme dan jenis
sistem kepercayaan tradisional
lainnya yang disebut
sebagai ”Aliran Kepercayaan”.
Beberapa penganut animisme
menggabungkan kepercayaan mereka
dengan salah satu
agama yang diakui
Pemerintah dan selanjutnya
terdaftar sebagi agama yang
diakui.
Terdapat
sejumlah kecil komunitas Yahudi yang ada di Jakarta dan Surabaya. Komunitas
Baha’i memngakui memiliki ribuan
anggota, tetapi tidak ada angka yang dapat diandalkan. Falun Dafa, yang menganggap keyakinan mereka sebagai organisasi
spiritual ketimbang agama, mengklaim
penganutnya mencapai jumlah
antara 2.000 and
3.000, hampir separuhnya
tinggal di Yogyakarta, Bali, dan Medan[1].
Akan tetapi, dari keberagaman
tersebut sering terjadi konflik antar suku dan ras di Indonesia, terutama
tentang berbedaan keagamaan. Dari permasalahan tersebut ada dua muara titik
konflik yang terjadi yaitu “ inteloransi beragama dan gagalnya penanganan HAM
tentang keagamaan di indonesia”. Bisa berbentuk diskriminatif oleh Negara
dengan pembatasan, pelecehan, atau pengecualian yang langsung ataupun tak
langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik,
kelompok, golongan, status social, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi,
hokum, social, budaya dan aspek kehidupan lainnya.[2]
Sedangkan Bruce A Robinson
mengkategorikan mengenai bentuk-bentuk tindakan “religious intolerance” antara
lain; a. penyebaran informasi yang salah tentang kelompok kepercayaan atau
praktik, meski ketakakuratan informasi tersebut bisa dengan mudah dicek dan
diperbaiki; b. penyebaran kebencian mengenai seluruh kelompok; misalnya
menyatakan atau menyiratkan bahwa semua anggota kelompok tertentu itu jahat,
berperilaku immoral, melakukan tindak pidana, dan sebagainya. C, mengejek dan
meremehan kelompok iman tertentu untuk kepercayaan dan praktik yang mereka
anut; d. mencoba untuk memaksa keyakinan dan praktik keagamaan kepada orang
lain agar mengikuti kemauan mereka; e. pembatasan hak asasi manusia anggota
kelompok agama yang bisa diidentifikasi; f. mendevaluasi agama lain sebagai
tidak berharga atau jahat; g. menghambat kebebasan seseorang untuk mengubah
agama mereka[3]
Akibat dari dua muara tersebut permasalahan
keagamaan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin berkembang. Seperti laporan
dari wahid institute pada tahun 2009, ada 212 insiden pelanggaran pelanggaran
kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sementara pada tahun 2010 jumlahnya
menjadi 184 peristiwa dan bertambah lagi menjadi 267 kasus pada 2011.Puncaknya,
tahun 2012 yang mencapai angka 274 kasus. Direktur the wahid institute mengungkapkan
dari 274 kasus pada 2012, 166 pelanggaran justru dilakukan aparat Negara.(kompas 9/12/20013)
Hal
itu terjadi karena sistem demokrasi tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya,
sehingga permasalahan di atas bisa dimaklumi apabila terjadi dinegeri ini.
Sesuai dengan laporan jajak pendapat kompas pada tanggal 9 desember tentang hak
sipil dan politik yang paling belum dilindungi oleh Negara antara lain;
kebebasan beribadah/mendirikan rumah ibadah hanya 10%, kebebasan membentuk
serikat buruh 4,2%, dan kesamaan didepan hukum 42,5%, untuk mendapat rasa aman
23,0% sedangkan kebebasan berpendapat/unjuk rasa 12,6% yang terakhir tidak
tahu/tidak jawab 7,7%. Hasil ini menunjukkan untuk perlindungan Negara terhadap
keberagaan masih rendah yaitu hanya 10 %.(kompas 9/12/20013)
Landasan
negara Indonesia
Sejak
proklamasi kemerdekaan Indonesia, sejarah bangsa Indonesia dimulai dari sejarah
menyusun pemerintahan, politik, dan administrasi Negara.Landasan yang dijadikan
pijakan adalah konstitusi dan ideologi. Atas dasar tersebut, pada 18 agustus
1945, diselenggarakan sidng PPKI yang berhasil menetapkan ir.soekarno sebagai
presiden dan drs. Muhammad hatta sebagai wakil presiden.
Dalam rapat BPUPKI yang membahas
rancangan undang-undang dasar, permasalahan bentuk Negara menjadi salah satu
pembahasan yang diperdebatkan secara serius.Usulan bentuk Negara yang muncul
pada waktu itu yaitu Negara kesatuan dan Negara federal.Namun kemudian
disepakati bentuk Negara Indonesia adalah Negara kesatuan, sebgaimana tertera
dalam pasal 1 ayat (1) undang-undang dasar 1945.Pilihan BPUPKI ini tidak lagi
dipersoalkan ketika pada 18 agustus 1945 PPKI menetapkan undang-undang dasar
Negara republic Indonesia tahun 1945.
Pembentukan pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia itu bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut meaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan social. Tujuan tersebut bisa dicapai hanyalah
dengan adanya kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, sehingga dalam alinea keempat
ini secara tegas diproklamasikan,
disusunlah kemerdekaan undang-undang dasar Negara Indonesia itu dalam satu
undang-undang dasar Negara republic Indonesia tahun 1945, yang berbentuk dalam
satu susunan Negara republic Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada pancasila. [4]
Dalam
rumusan lima nilai dasar sebagaimana tercantum dalam pembukaan undang-undang
dasar Negara republik Indonesia tahun 1945 adalah. (1) ke-Tuhanan yang Maha
Esa, (2) kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) persatuan Indonesia (4)
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksaan dalam permusyawaratan dan perwakilan
(5) keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kelima sila tersebut sebagai satu
kesatuan nilai kehidupan masyarakat Indonesia dan dasar Negara republik
Indonesia.Dasar tersebut kukuh karena digali dan dirumuskan dari nilai
kehidupan rakyat Indonesia yang merupakan kepribadian dan pandangan hidup
bangsa kita.Karena itulah pancasila disepakati secara nasional, pancasila
merupakan suatu perjanjian luhur yang harus dijadikan pedoman bagi bangsa,
pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia.Itu pulalah bentuk dan corak masyarakat
hendak kita capai atau wujudkan, yaitu masyarakat Indonesia modern, adil dan
sejahtera.Dari sejarah ketatanegaraan kita terbukti bahwa pancasila mampu
mempersatukan bangsa kita yang majemuk.
Demokrasi
dan Ham
Suatupemerintahan
dikatakan demokratis bisa dalam mekanisme penyelenggaraannya melaksanakan
prinsip-prinsip demokrasi.Prinsip-prinsip dasar demokrasi itu adalah persamaan,
kebebasan, dan pluralisme.[5]dalam
hal ini keagamaan sangat bersinggungan langsung dalam prinsip demokrasi, dalam
hal memperkuat demokrasi maupun sebaliknya meruntuhkan demokrasi itu sendiri.
Melihat konsepsi
perumusan landasan Negara Indonesia berdasarkan ketuhanan yang maha esa.Sila
ini menekankan fundamen etis-religius dari Negara Indonesia yang bersumber dari
moral ketuhanan yang diajarkan agama-agama dan keyakinan yang ada, sekaligus juga merupakan pengakuan
akan adanya berbagai agama dan kepercayaan terhadap tuhan yang maha esa di
tanah air ndonesia. Kemerdekaan Indonesia dengan rendah hati di akui “atas
berkat rahmat Allah yang maha kuasa”. Dengan pengakuan ini, pemenuhan cita-cita
kemerdekaan indonesia, untuk mewujudkan suatu kehidupan kebangsaan yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, mengandung kewajiban moral.
Melihat dari
sini, konsepsi keagamaan di Indonesia bagaimana demokrasi bisa berjalan dengan
moral yang baik, dengan pemenuhan hak masing-masing rakyat Indonesia bisa
terpenuhi oleh Negara.Dalam hal ini tentu hak memeluk agama tertentu sesuai
dengan keyakinannya serta kenyamanan sekaligus perlindungan dalam melaksanakan
ibadah sesuai dengan aturan agamanya.Sehingga tidak terjadi suatu intoleransi
dalam beragama yang mengakibatkan konflik antar beragama, dengan kerendahan
hati bahwa kita berada pada masyarakat yang plural.
Tetapi yang kita tekankan adalah bagaimana demokrasi di
Indonesia bisa tercapai dengan adanya perlindungan HAM dalam beragama mengingat
Indonesia sampai saat ini masih belum memberikan perlindungan terhadap
kebebasan beragama seperti pendirian gereja di jawa barat yang merupakan bentuk
diskriminasi oleh Negara kepada pemeluk agama tertentu, dalam kasus ini
seharusnya tidak terjadi dalam Negara yang menjunjung tinggi kemerdekaan
individu warga negara ini sebagaimana yang tertera dalam UU NOMOR 39
TAHUN 1999 tentang hak asasi manusia dalam pasal Pasal 22 ayat 1 Setiap orang bebas memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Sedangkan pada ayat 2 Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Penyelesaian Konflik Agama di
Indonesia
Dalam
menyelsaikan permasalahan konflik keagamaan di Indonesia, ada dua pendekatan
yang harus dilakukan.Pertama; secara
institusional, pemerintah memberikan suatu titik penyelesaian masalah yaitu
dengan menjalankan peraturan bersama antara menteri agama dan menteri dalam
negeri nomer 9 dan 8 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala
daerah/wakil kepala daerah alam pemeliharaan kurukunan umat beragama,
pemberdayaan forum kerukunan umat beragama. Dan pendirian rumah ibadat. Dalam
bab penyelesaian perselisihan pada pasal 21 bisa dilakukan di antaranya:
(1) Perselisihan
akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat.
(2) Dalam
hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dicapai, penyelesaian
perselisihan dilakukan oleh bupati/wali kota dibantu kepala kantor departemen
agama kabupaten/kota melalui musyawaroh yang dilakukan secara adil dan tidak
memihak dengan mempertimbangkan pendapat atau saran FKUB kabupaten/kota.
(3) Dalam
hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat
dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan setempat.
Sedangkan
dalam pasal 22Gubernur melaksanakan pembinaan terhadap bupati/walikota serta
instansi terkait di daerah dalam menyelsaikan perselisihan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 21[6].
Kedua ;melalui
penyadaran, dalam penyadaran ada
beberapa langkah yang harus dilakukan oleh tokoh agama, mapun cendikiawan
muslim memberikan pemahaman akan pluralitas dalam bernegara dan beragama antara
lain, memberikan pemahaman akan pluralitas dalam berbagai aspek kehidupan
berbangsa. Berangkat dari bermacam perbedaan budaya, suku, bahasa dan agama
yang terjadi di Indonesia selama ini. Maka pluralitas agama dapat dikembangkan
sebagai bagian dari proses pengayaan spiritual dan penguatan moralitas
universal.
Munculnya
fanatisme terhadap paham keagamaan dan kebudayaan di tengah pluralitas dapat
dimaklumi sebagai bagian dari usaha memperkokoh eksistensi diri, baik
perorangan maupun kolektif.Akan tetapi, di tengah-tengah pluralitas seharusnya
fanatisme tersebut diberlakukan secara internal saja, yaitu dikenakan hanya
terdapat dirinya sendiri. Sebaliknya kepada pihak lain, ia menerima dan
mengakui adanya perbedaan. Fanatisme hanya dapat dikurangi melalui komunikasi
dan silaturrahmi, dengan kesediaan diri untuk mau mengerti dan mau belajar dengan
pihak lain. [7]dengan
seperti itu, konflik di Indonesia akan semakin berkurang bahkan tidak terjadi
lagi apabila masyarakat bisa memahami pluralisme yang ada di Indonesia.
Sedangkan dalam pandangan bahwa Islam merupakan agama kemanusiaan
(fitrah), yang berarti cita-citanya sejajar dengan cita-cita kemanusian
universal, Nurcholis Madjid berpendapat bahwa cita-cita keislaman sejalan
dengan cita-cita manusia Indonesia pada umumnya. Ini adalah salah satu pokok
ajaran Islam.Oleh karena itu sistem politik yang sebaiknya diterapkan di
Indonesia adalah sistem yang tidak hanya baik untuk umat Islam, tetapi juga
membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat. Dengan kata lain diperlukan
sistem yang menguntungkan semua pihak, termasuk mereka yang non-muslim. Hal
ini, papar Nurcholis, sejalan dengan watak inklusif Islam. Indonesia.
Menurutnya, pandangan ini telah memperolah dukungan dalam sejarah awal
Islam.Nurcholis menyadari bahwa masarakat Indonesia sangat pluralistik dari
segi etnis, adat-istiadat, dan agama. Dari segi agama, selain Islam, realitas
menunjukan bahwa hampir semua agama, khususnya agama-agama besar dapat
berkembanag subur dan terwakili aspirasinya di Indonesia[8]
Langkah
kedua; adanya Toleransi Ke Sikap Saling Menghormasi meskipun toleransi adalah sikap yang paling
mendasar dan penting, toleransi masih terbatas jangkauannya. Bersikap toleran
tidak hanya berarti meniadakan, tidak mengurangi, tidak memusuhi.Toleransi
tidak lebih dari sikap menahan diri, membiarkan, berbesar hati.Toleransi bukap
sikap yang positif.
Agar
hubungan antara agama menjadi positif, toleransi harus dikembangkan menjadi
saling menghormati. Saling menghormati berarti mengakui hak orang dan golongan
lain mengikuti agamanya. Kemampuan untuk
menghormati sikap orang lain berarti pula suatu sikap arif dalam melihat
pengembangan suatu budaya hati.
Budaya hati itu termasuk kemampuan hati untuk
bersikap hormat terhadap keyakinan orang lain, terhadap apa yang dianggapnya
suci, terhadap cara orang dan golongan lain mengungkapkan keyakinan mereka
adalah kemampuan untuk menghormati apa yang suci, luhur, ilahi bagi hati orang
lain terlepas dari apa keyakinan kita sendiri. Sikap itu akan kelihatan dalam
cara kita bicara dan menulis tentang agama lain, juga kalau tidak ada orang
dari agama lain itu hadir. Orang yang mempunyai budaya hati ini tidak pernah
akan bicara merendahkan pihak lain, sinis, mengejek tentang apa yang diyakini
orang lain sebagai junjungannya. Dan meskipun tidak menerima kepercayaan agama
lain, ia menghormati anggapan mereka tentang kepercayaan mareka. [9]
Langkah selanjutnya, Bukan Relativisme
AgamaSikap hormat terhadap agama dan keyakinan golongan lain tidak berarti
bahwa agama dan keyakinan itu harus dianggap benar. Menghormati kepercayaan
seseorang tidak berarti mempunyai
pandangan dunia yang sama dengan dia. Bahkan kita mengkin menganggap
kepercayaan keliru atau kurang benar, kurang lengkap, kurang tepat. Hakikat
sikap hormat terhadap agama lain adalah bahwa saya mengakui hak eksistensi
keyakinan dan kepercayaan yang lain itu. Saya tidak mengakui kebenaran isi
kepercayaan itu. Tetapi saya menerima baik bahwa seseorang dan suatu umat dapat
hidup sesuai dengan apa yang menjadi keyakinan mereka.
Sikap
hormat itu didasarkan pada pengakuan mendalam terhadap kesucian panggilan tuhan
dalam hati orang. Kita menerima dengan baik bahwa orang dan golongan dapat
mengikuti dengan setia apa yang mereka yakini kebenaran keyakinan mereka.
Maka
menghormati gama yang lain tidak ada hubungannya dengan ucapan “semua agama
sama saja”. Ucapan itu bertentangan baik dengan keyakinan saya sendiri, maupun
dengan sikap hormat dengan agama lain. Apabila saya menyangkal kekhasan
keyakinan golongan agama lain dengan mengatakan bahwa “semua agama bagaimanapun
juga sama saja”, saya malah tidak menghormatinya.
Jadi,
toleransi dan dan hormat terhadap agama lain, jauh dari relativisme agama.
Relativisme agama-yang banyak terdapat di barat, tetapi hanya di antara mereka
yang tidak lagi betul-betul beragama-berpendapat bahwa agama manapun di ikuti
orang sama saja, karena semua keyakinan sama saja.
Relativisme
agama berarti menyangkal kebenaran. Kalau agama sama saja, padahal agama-agama
itu jelas berbeda satu sama lain, padahal agama-agama itu jelas berbeda satu
sama lain, maka itu sama dengan melepaskan claim kebenaran agama lain. Lalu,
agama menjadi masalah perasaan, atau lingkungan budaya, atau
pendidikan.kemudian, dimensi religious tidak lebih daripada sebuah kebutuhan, mirip
akan kebutuhan akan adanya eman hidup, yang dapat dipenuhi sesuai dengan selera
masing-masing. Toleransi semacam itu sangat kurang berbobot karena
menyangkal-artinya; tidak toleransi terhadap apa yang diyakini oleh agama-agama
sendiri yaitu mengungkapkan kebenaran. [10]
DAFTAR PUSTAKA
Suhartana.Pluralism, Konflik Dan Pendidian Agama Di
Indonesia.
Franz
Magnis Suseno. Konstektualisasi Ajaran
Islam.Jakarta; PT Temprint. 1995
Peraturan
Bersama Antara Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri. Nomer 8 dan 9 tahun 2006
Empat Pilar Kehidupan Berbangsa Dan
Bernegara.Jakarta
:Secretariat MPR. 2013
Al-khanif.Hukum & Kebebasan Beragama Di Indonesia.Yogyakarta.
Laksbang mediatama 2002
http;//bloger.
Com. Ismail
Fahmi. Konflik Agama-Agama Di Indonesia.
Di unduh pada tanggal 5 nov 2013. Pada jam 13.00
http;//bloger.com. Makalah Pluralisme Agama ,Pluralisme Agama Dan Budaya. Diunduh pada tanggal 7 novem. 2013 jam 20.00
Demokrasi
Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani,
Jakarta, ICCE UIN JAKARTA
Bruce A Robinson, “religious
intolerance” dalam http;//www.religioustolerance.org/relintoh.htm#def. diakses,
9 desember 2013
UU Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999
www.kemenag.go.id/file/dokumen/5Juli06.pdfdi unduh pada
tanggal 5 nov 2013 pada jam 13.00
[2]UU Hak Asasi Manusia Nomor
39 Tahun 1999
[3]Bruce A Robinson,
“religious intolerance” dalam
http;//www.religioustolerance.org/relintoh.htm#def. diakses, 9 desember 2013.
[6]Peraturan Bersama
Antara Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri. Nomer 8 dan 9 tahun 2006.
[8]http;//bloger.com. Makalah Pluralisme Agama ,Pluralisme Agama Dan Budaya. Diunduh pada tanggal 7 novem. 2013 jam 20.00
[9]Franz magnis suseno.
Konstektualisasi ajaran islam. Jakarta; PT Temprint. 1995. Hal 469
[10]Franz magnis suseno.Konstektualisasi Ajaran Islam.Jakarta;
PT Temprint. 1995. Hal. 471
No comments:
Post a Comment