4.
Aspek
Pendidikan dan
ilmu pengetahuan
Pada masa khalifah Umar bin Khatab, sahabat-sahabat yang sangat berpengaruh
tidak diperbolehkan untuk keluar daerah kecuali atas izin dari khalifah dan
dalam waktu yang terbatas. Jadi kalau ada diantaa umat Islam yang ingin belajar
hadis harus perdi ke Madinah, ini berarti bahwa penyebaran ilmu dan pengetahuan
para sahabat dan tempat pendidikan adalah terpusat di Madinah. Dengan meluasnya
wilayah Islam sampai keluar jazirah Arab, nampaknya khalifah memikirkan
pendidikan Islam didaerah-daerah yang baru ditaklukkan itu. Untuk itu Umar bin
Khatab memerintahkan para panglima perangnya, apabila mereka berhasil menguasai
satu kota, hendaknya mereka mendirikan Mesjid sebagai tempat ibadah dan
pendidikan.
Berkaitan dengan masalah pendidikan ini, khalifah Umar bin Khatab merupakan
seorang pendidik yang melakukan penyuluhan pendidikan di kota Madinah, beliau
juga menerapkan pendidikan di mesjid-mesjid dan pasar-pasar serta mengangkat
dan menunjuk guru-guru untuk tiap-tiap daerah yang ditaklukkan itu, mereka
bertugas mengajarkan isi al-Qur'an dan ajaran Islam lainnya seperti fiqh kepada
penduduk yang baru masuk Islam.
Diantara sahabat-sahabat yang ditunjuk oleh Umar bin Khatab ke daerah adalah
Abdurahman bin Ma’qal dan Imran bin al-Hashim. Kedua orang ini ditempatkan di
Basyrah. Abdurrahman bin Ghanam dikirim ke Syiria dan Hasan bin Abi Jabalah
dikirim ke Mesir. Adapun metode yang mereka pakai adalah guru duduk dihalaman
mesjid sedangkan murid melingkarinya.[1]
Meluasnya kekuasaan Islam, mendorong kegiatan pendidikan Islam bertambah besar,
karena mereka yang baru menganut agama Islam ingin menimba ilmu keagamaan dari
sahabat-sahabat yang menerima langsung dari Nabi. Pada masa ini telah terjadi
mobilitas penuntut ilmu dari daerah-daerah yang jauh dari Madinah, sebagai
pusat agama Islam. Gairah menuntut ilmu agama Islam ini yang kemudian mendorong
lahirnya sejumlah pembidangan disiplin keagamaan.
Pada masa khalifah Umar bin Khatab, mata pelajaran yang diberikan adalah
membaca dan menulis al-Qur'an dan menghafalnya serta belajar pokok-pokok agama
Islam. Pendidikan pada masa Umar bin Khatab ini lebih maju dibandingkan dengan
sebelumnya. Pada masa ini tuntutan untuk belajar bahasa Arab juga sudah mulai
tampak, orang yang baru masuk Islam dari daerah yang ditaklukkan harus belajar
bahasa Arab, jika ingin belajar dan memahami pengetahuan Islam. Oleh karena itu
pada masa ini sudah terdapat pengajaran bahasa Arab.[2]
Ia
memang orang yang suka bekerja keras, ia tidak sekedar mengajarkan agama
semata-mata, tapi juga mengajarkan agama dengan menerangkan bagaimana
mempertemukan ajaran agama dengan kehidupan sehari-hari,bagaimana menyesuaikan
agama dengan kehidupan sehari-hari.[3]
Ia mengutus pejabat-pejabat kedaerah
melakukan sembayang bersama rakyat, mengajarkan hukum-hukum agama kepada
mereka, meneruskan sifat-sifat dan perlakuan yang adil dan beradab menempuh
cara hidup yang baik,benar-benar sesuai dengan ajaran agama.[4]
Selain dari menetapkan tahun hijriah
yang dihitung dari sejak hijrahnya nabi Muhammad saw. ke Madinah, pada masa
Umar bin Khattab r.a juga tercatat ijtihad-ijtihad baru. Beberapa sebab-sebab munculnya
ijtihad baru di masa awal Islam berkataitan dengan Alquran maupun sunnah. Di dalam
Alquran al-Karim pada saat itu sudah mulai ditemukan kata-kata yang musytarak,
makna lugas dan kiasan, adanya pertentangan nash, juga makna tekstual dan makna
kontekstual.
Sedangkan tentang sunnah itu sendiri,
karena ternyata para sahabat tidak mempunyai pengetahuan yang merata tentang
sunnah nabi, karena kehati-hatian para sahabat untuk menerima suatu riwayat,
terjadinya perbedaan nilai hadist, dan adanya sunnah yang bersifat kondisional.[5]
Selain beberapa alasan diatas, tentu
saja faktor lainnya ikut mewarnai beberapa kemunculan ijtihad pada masa Umar
bin Khattab, seperti faktor militer, yakni dengan meluasnya wilayah kekuasaan
Islam, faktor sosial yang semakin heterogennya rakyat negara Islam, dan faktor
ekonomi.
Ijtihad Umar Bin Khattab ini, yang berbasis
atas keberanian intelektual selanjutnya berpengaruh kepada dua mazhab besar
dalam memutuskan hukum, yakni ahl ra’yi yang berbasis di Baghdad dan ahl hadist
yang berbasis di Madinah. Keberanian Umar ini menjadikannya sebagai contoh dan
imam tauladan bagi para penganut mazhab ahl ra’yi, yang kemudian pada tingkat
yang lebih besar dipimpin oleh Abu Hanifah, sementara ahl hadist lebih
mencontoh Abdullah putra Umar Bin Khattab, yang selanjutnya dipimpin oleh Imam
Malik di Madinah.[6]
No comments:
Post a Comment