BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum – hukum atau syariah islam tidak
bisa di reka atau di buat dengan logika manusia, karena syariah islam telah di
tentukan oleh Allah Swt dengan sumber al-quran, al-Hadist, para ijtihad ulama’.
Oleh sebab itu setiap orang islam harus berhati hati dalam menerima segala
sesuatu mengenai ilmu yang berkaitan dengan syariah islam.
Banyak imam – imam yang telah membimbing
umat islam agar umat islam berdiri diatas syariah islam yang benanr benar di
ridhoi oleh allah, diantara mereka adalah imam Hambali, Imam Hanafi, Imam
Syafi’i, Imam Ghozali serta masih banhyak lagi imam – imam dari kalangan ulama'
yang senantiasa berjihad menegakkan syariat islam yang sesuai dengan ajaran
rasulullah dan para sahabat.
Akan tetapi banayak dikalangan umat
islam saat ini tidak mengerti bahkan tidak mau mengerti mengenai syariat islam,
sehingga banyak dari mereka salah dalam menjalankan syariah bahkan jauh dari
benar dari ajaran yang telah di bawa oleh rasulullah. Hal tersebut diantaranya
disebabkan oleh degan mudahnya umat islam menerima pelajaran mengenai syariah
dari orang orang yang salah dan tidak ada pengkajian ulang dalam menerimanya.
Itulah mengapa saat ini banyak ajaran - ajaran dan aliran - aliran yang
menyesatkan di sekitar kita.
Oleh karenany perlu kita kulik kembali
dan kita dalami mengenai syariat islam dengan mengkaji beberapa kitab mengenai
syariat islam yang sesuai dengan rasulullah Saw serta mempelajari beberapa
pendapat dan hasil ijtihad para ulama’ terdahulu, agar kita berada di jalan
yang benar. Salah satu komponen syariah yang terpenting yang harus kita
pelajari adalah maqasid
B.
Rumusan
Masalah
Dari
beberapa uraian dalam latar belakang di atas dapat di temukan beberapa rumusan
masalah, Diantaranya :
1. Apa
pengertian Maqasid syariah ?
2. Bagaimana
pendapat para ulama’ mengenai Maqasid Syariah ?
3. Apasaja
macam – macam Maqasid syariah ?
C. Tujuan
Dari
bebrapa rumusan masalah di atas makalah ini memiliki tujuan :
1. Mengetahui
pengertian Maqasid Syariah.
2. Mengetahui
pendapat para ulama’ mengenai maqasid Syariah.
3. Mengetahui
macam – macam maqasid syariah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengetian
Maqasid Syariah
Secara lughawi maqasid al syari’ah
terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan syari’ah. Maqasid adalah bentuk jama’
dari maqsud yang berarti kesengajaan atau tujuan.[1] Syari’ah
secara bahasa berartiالمواضع تحدر الى الماء yang berarti jalan menuju sumber air.
Jalan menuju air ini dapat dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok
kehidupan.[2]
Maqasid syariah atau tujuan akhir ilmu
fiqih adalah mencapai keridhoan Allah Swt; dengan melaksanakan syariahnya di
muka bumi ini, sebagai pedoman hidup individual hidup berkeluarga, maupun hidup
bermasyarakat.[3]
Banyak orang terkadang menanyakan
sesuatu atau perbuatan apa hukuimnya, apakah itu boleh ? Apakah itu haram ?
apakah itu halal ? atau bahkan sudahkah sesuai dengan nilai – nilai syariah
yang telah di tentukan dan di ridhoi oleh Allah Swt. Sesungguhnya setiap apa
yang kita lakukan sdelayaknya kita dasarkan pada syariah islam tak perlu
menanyakan hukumnya akan tetapi kita pelajari dan dalami syriah islam, karena
setiap pedoman hidup seorang muslim adalah al – quran dan Hadist yang telah
terpampang dalam syariah islam.
Di dalam syariah islam bebera pedoman
yang harus kita perhatikan dalam kehidupan ini adalah bagaimana kita menjaga
jiwa kita, agama, akal, harta, serta keturunan kita dan pedoman pedoman
tersebut tridak terlepas dari hubungan kita dengan allah atau hablum minallah,
dan hubungan kita dengan sesama manusia atau hablumminannas.
B. Pendapat para
Ulama’ mengenai Maqasid Syariah
Dalam karyanya al-Muwafaqat, al-Syatibi
mempergunakan kata yang berbeda-beda berkaitan dengan maqasid al-syari’ah.
Kata-kata itu ialah maqasid al-syari’ah,[4] al-maqasid
al-syar’iyyah fi al-syari’ah,[5]dan
maqasid min syar’i al-hukm.[6]
Menurut al-Syatibi sebagai yang dikutip
dari ungkapannya sendiri:
هذه الشريعة...وضعت لتحقيق مقاصد الشارع
فى قيام مصالحهم فى الدين والدنيا معا[7]
[8]“
Sesungguhnya syariat itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di
dunia dan di akhirat.”
Dalam ungkapan yang lain dikatakan oleh
al-Syatibi
الآحكام مشروعة لمصالحالعباد8
“Hukum-hukum
disyari’atkan untuk kemaslahatan hamba."
Jadi, maqashid merupakan tujuan yang
ingin dicapai dalam melakukan
sesuatu. Terdapat berbagai pendefinisian telah dilontarkan
oleh ulama usul fiqh tentang istilah maqasid. Ulama klasik tidak pernah
mengemukakan definisi yang spesifik terhadap maqasid,[9]malah
al-Syatibi yang terkenal sebagai pelopor ilmu maqasid pun tidak pernah
memberikan definisi tertentu kepadanya. Namun ini tidak bermakna mereka
mengabaikan maqasid syara' di dalam hukum-hukum syara'.Berbagai tanggapan
terhadap maqasid dapat dilihat di dalam karya-karya mereka. Kita akan dapati
tanggapan ulama klasik yang pelbagai inilah yang menjadi unsur di dalam
definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama mutakhir selepas mereka. Apa yang
pasti ialah nilai-nilai maqasid syara' itu terkandung di dalam setiap ijtihad
dan hukum-hukum yang dikeluarkan oleh mereka. Ini karena nilai-nilai maqasid
syara' itu sendiri memang telah terkandung di dalam al-Quran dan
al-Sunnah.
Sementara
Al-Izz bin Abdul Salam juga berpendapat sedemikian apabila beliau mengatakan
"Syariat itu semuanya maslahah,menolak kejahatan atau menarik
kebaikan…".[10]
Ada juga yang
memahami maqasid sebagai lima prinsip Islam yang asas yaitu menjaga agama, jiwa, akal , keturunan dan
harta. Di satu sudut yang lain, ada juga ulama klasik yang menganggap
maqasid itu sebagai logika pensyariatan sesuatu hukum.[11]
Kesimpulannya maqasid syariah ialah
"matlamat-matlamat yang ingin dicapai oleh syariat demi kepentingan umat
manusia". Para ulama telah menulis tentang maksud-maksud syara’, beberapa
maslahah dan sebab-sebab yang menjadi dasar
syariah telah menentukan bahwa maksud-maksud tersebut dibagi dalam dua golongan
sebagai berikut:
a.) Golongan
Ibadah, yaitu membahas masalah-masalah Ta’abbud yang berhubungan langsung
antara manusia dan khaliqnya, yang satu persatu nya telah dijelaskan oleh
syara’.
b.) Golongan
Muamalah Dunyawiyah, yaitu kembali pada maslahah-maslahah dunia, atau seperti
yang ditegaskan oleh Al Izz Ibnu Abdis Salam sebagai berikut:
“Segala macam hukum yang membebani kita
semuanya, kembali kepada maslahah di dalam dunia kita, ataupun dalam akhirat.
Allah tidak memerlukan ibadah kita itu. Tidak memberi manfaat kepada Allah
taatnya orang yang taat, sebagaimana tidak memberi mudarat kepada
Allah maksiatnya orang yang durhaka”.
Akal dapat mengetahui maksud syara’
terhadap segala hukummuamalah, yaitu berdasarkan pada upaya untuk mendatangkan
manfaat bagi manusia dan menolak mafsadat dari mereka. Segala manfaat ialah
mubah dan segala hal mafsadat ialah haram. Namun ada beberapa ulama,
diantaranya, Daud Azh – Zhahiri tidak membedakan antara ibadah dengan muamalah.
C.
Macam
– macam Maqasid Syariah
a.) Syariat
yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia (Maqashid
al- Dharuriyat)
Hal-hal yang bersifat kebutuhan primer
manusia seperti yang telah kami uraikan adalah bertitik tolak kepada lima
perkara, yaitu: Agama, jiwa, akal, kehormatan (nasab), dan harta. Islam telah
mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara itu, hukum yang menjamin
realisasinya dan pemeliharaannya. lantaran dua jaminan hukum ini, terpenuhilah
bagi manusia kebutuhan primernya. Untuk itu imam al – Syatibi telah melakukan
istiqra’ atau penelitian yang digali dari al – Quran maupun sunnah yang
menyimpulkan bahwa tujuan hukum islam atau maqasid syariah di dunia ada 5 Hal,
yang dikenal degan al – maqasid al – Khomsah yaitu :
1. Memlihara
Agama (Hifdz al-Dzin). Yang dimaksud dengan agama disini adalah agama dalam
arti sempit (ibadah mahdhah) yaitu hubungan manusia dengan Allah Swt.
2. Memelihara
diri (Hifdz al-Nafs). Termasuk didaamnya bagian kedua ini, larangan membunuh
diri sendiri dan membunuh orang lain, larang menghina dan lain sebgainya dan
kewajiban menjaga diri.
3. Memelihra
keturunan dan kehormatan (Hifdz al-Nas/irdl). Seperti aturan aturan tentang
pernikahan, larangan perzinahan, dan lain – lain
4. Memlihara
harta (Hifdz al-Mal). Termasuk Bagian ini, kewajiban kasb alhalal, larangan
mencuri dan menghasab harta orang.
5. Memlihara
akal (Hifdz al-Aql). Termasuk didalamnya larangan meminum minuman keras dan
kewajiban menuntut ilmu.[12]
b.)Syariat
yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder
manusia (Maqashid al-Hajiyat)
Hal-hal
yang bersifat kebutuhan sekunder bagi manusia bertitik tolak kepada sesuatu yangdapat
menghilangkan kesempitan manusia, meringankan beban yan gmenyulitkan mereka,
dan memudahkan jalan-jalan muamalah dan mubadalah (tukar menukar bagi
mereka). Islam telah benar-benar mensyariatkan sejumlah hukum dalam
berbagai ibadah, muamalah, dan uqubah (pidana), yang dengan itu dimaksudkan
menghilangkan kesempitan dan meringankan beban manusia.
Dalam
lapangan ibadah, Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhsoh (keringanan,
kelapangan) untuk meringankan beban mukallaf apabila ada kesullitan dalam
melaksanakan hukum azimah (kewajiban). contoh, diperbolehkannya berbuka puasa
pada siang bulan ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian.
Dalam
lapangan muamalah, Islam mensyariatkan banyak macam akad (kontrak) dan
urusan (tasharruf) yang menjadi kebutuhan manusia. seperti, jual beli, syirkah
(perseroan), mudharobah (berniaga dengan harta orang lain) dll.
c.) Syariat
yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan pelengkap
manusia (Maqashid al-Tahsini)
Dalam
kepentingan-kepentingan manusia yang bersifat pelengkap ketika Islam
mensyariatkan bersuci (thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat
menyempurnakannya. KetikaIslam menganjurkan perbuatan sunnat (tathawwu’),
maka Islam menjadikan ketentuan yang di dalamnya sebagai sesuatu yang
wajib baginya. Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan membatalkan amal
yang dilaksanakannya sebelum sempurna .
Ketika Islam
menganjurkan derma (infaq), dianjurkan agar infaq dari hasil bekerja yang
halal. Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan
adalah memelihara kepentingan pokok manusia, atau kepentingan sekundernya atau
kepentingan pelengkapnya, atau menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah
satu diantara tiga kepentingan tersebut.[13]
BAB
III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Secara lughawi maqasid al syari’ah
terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan syari’ah. Maqasid adalah bentuk jama’
dari maqsud yang berarti kesengajaan atau tujuan.[14]Syari’ah
secara bahasa berartiالمواضع تحدر الى الماء yang berarti jalan menuju sumber air.
Jalan menuju air ini dapat dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok
kehidupan.[15]
Maqasid syariah atau tujuan akhir ilmu
fiqih adalah mencapai keridhoan Allah Swt; dengan melaksanakan sariahnya di
muka bumi ini, sebagai pedoman hidup individual hidup berkeluarga, maupun hidup
bermasyarakat.[16]
Beberapa ulama’,
diantaranya Al-Syatibi, Al-Izz
bin Abdul Salam dan juga ulama’ yang lain berpendapat
bahwa maqasid Al-Syari’ah adalah bertujuan untuk kemaslahatan umat di dunia dan
di akhirat, dengan melaksanakan syari’ah islam. Akan tetapi para ulama’ klasik
terdahulu tidak menjelaskan secara spesifik mengenai definisi maqasid
Al-Syari’ah, akan tetapi para pendapat mereka dijadikan sebagai unsur dalam
definisi yang telah disusun oleh ulama’ mutakhir.
Macam-macam maqasid Al-Syari’ah ada tiga
macam, yaitu yang pertama Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang
bersifat kebutuhan primer manusia (Maqashid al- Dharuriyat). Hal-hal
yang bersifat kebutuhan primer manusia seperti yang telah kami uraikan adalah
bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu: Agama, jiwa, akal, kehormatan
(nasab), dan harta. Yang kedua adalah Syariat yang berhubungan dengan
hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder manusia (Maqashid al-Hajiyat).
Yang ketiga Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat
kebutuhan pelengkap manusia (Maqashid al-Tahsini)
[1]Hans
Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, J. Milton Cowan
(ed)(London: Mac Donald &Evan Ltd, 1980), hlm. 767
[2]Ibn
Mansur al-Afriqi, Lisan al-‘Arab, Dar al-Sadr, Beirut, hlm.175
[3]H.A.
Djazuli, Ilmu fiqh, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2005, hlm:27
[4]Al-Syatibi, al-Muwafaqat
fi Ushul al-Syari’ah, Kairo, I, hlm. 21
[5]Ibid,
hlm. 23
[6]Ibid,
hlm. 374
[7]Ibid,
hlm.6
[8]Ibid, hlm.
54
[9]Hammad
al-Obeidi, al-Syatibi wa Maqasid al-Syariah, Mansyurat Kuliat
al-Da'wah al-Islamiyyah, Tripoli, cet. Pertama, 1401H/1992M, m.s. 131
[10]Al-Izz bin Abdul Salam, opcit,
jil.1, m.s.9.
[11]Nuruddin Mukhtar, al-Khadimi, al-Ijtihad
al-Maqasidi,Qatar , 1998M , m.s.50
[12] H.A.
Djazuli, Ilmu fiqh, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2005, hlm:28
[13]Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Abdul
Wahab Khallaf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm 333-343
[14]Hans
Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, J. Milton Cowan
(ed)(London: Mac Donald &Evan Ltd, 1980), hlm. 767
[15]Ibn
Mansur al-Afriqi, Lisan al-‘Arab, Dar al-Sadr, Beirut, hlm.175
[16] H.A.
Djazuli, Ilmu fiqh, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2005, hlm:27
No comments:
Post a Comment