Tuesday, February 6, 2018

Maqasid syariah



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hukum – hukum atau syariah islam tidak bisa di reka atau di buat dengan logika manusia, karena syariah islam telah di tentukan oleh Allah Swt dengan sumber al-quran, al-Hadist, para ijtihad ulama’. Oleh sebab itu setiap orang islam harus berhati hati dalam menerima segala sesuatu mengenai ilmu yang berkaitan dengan syariah islam.
Banyak imam – imam yang telah membimbing umat islam agar umat islam berdiri diatas syariah islam yang benanr benar di ridhoi oleh allah, diantara mereka adalah imam Hambali, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Ghozali serta masih banhyak lagi imam – imam dari kalangan ulama' yang senantiasa berjihad menegakkan syariat islam yang sesuai dengan ajaran rasulullah dan para sahabat.
Akan tetapi banayak dikalangan umat islam saat ini tidak mengerti bahkan tidak mau mengerti mengenai syariat islam, sehingga banyak dari mereka salah dalam menjalankan syariah bahkan jauh dari benar dari ajaran yang telah di bawa oleh rasulullah. Hal tersebut diantaranya disebabkan oleh degan mudahnya umat islam menerima pelajaran mengenai syariah dari orang orang yang salah dan tidak ada pengkajian ulang dalam menerimanya. Itulah mengapa saat ini banyak ajaran - ajaran dan aliran - aliran yang menyesatkan di sekitar kita.
Oleh karenany perlu kita kulik kembali dan kita dalami mengenai syariat islam dengan mengkaji beberapa kitab mengenai syariat islam yang sesuai dengan rasulullah Saw serta mempelajari beberapa pendapat dan hasil ijtihad para ulama’ terdahulu, agar kita berada di jalan yang benar. Salah satu komponen syariah yang terpenting yang harus kita pelajari adalah maqasid


B.     Rumusan Masalah
Dari beberapa uraian dalam latar belakang di atas dapat di temukan beberapa rumusan masalah, Diantaranya :
1.      Apa pengertian Maqasid syariah ?
2.      Bagaimana pendapat para ulama’ mengenai Maqasid Syariah ?
3.      Apasaja macam – macam Maqasid syariah ?

C.    Tujuan
Dari bebrapa rumusan masalah di atas makalah ini memiliki tujuan :
1.      Mengetahui pengertian Maqasid Syariah.
2.      Mengetahui pendapat para ulama’ mengenai maqasid Syariah.
3.      Mengetahui macam – macam maqasid syariah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengetian Maqasid Syariah
Secara lughawi maqasid al syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan syari’ah. Maqasid adalah bentuk jama’ dari maqsud yang berarti kesengajaan atau tujuan.[1] Syari’ah secara bahasa berartiالمواضع تحدر الى الماء yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju air ini dapat dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan.[2]
Maqasid syariah atau tujuan akhir ilmu fiqih adalah mencapai keridhoan Allah Swt; dengan melaksanakan syariahnya di muka bumi ini, sebagai pedoman hidup individual hidup berkeluarga, maupun hidup bermasyarakat.[3]
Banyak orang terkadang menanyakan sesuatu atau perbuatan apa hukuimnya, apakah itu boleh ? Apakah itu haram ? apakah itu halal ? atau bahkan sudahkah sesuai dengan nilai – nilai syariah yang telah di tentukan dan di ridhoi oleh Allah Swt. Sesungguhnya setiap apa yang kita lakukan sdelayaknya kita dasarkan pada syariah islam tak perlu menanyakan hukumnya akan tetapi kita pelajari dan dalami syriah islam, karena setiap pedoman hidup seorang muslim adalah al – quran dan Hadist yang telah terpampang dalam syariah islam.
Di dalam syariah islam bebera pedoman yang harus kita perhatikan dalam kehidupan ini adalah bagaimana kita menjaga jiwa kita, agama, akal, harta, serta keturunan kita dan pedoman pedoman tersebut tridak terlepas dari hubungan kita dengan allah atau hablum minallah, dan hubungan kita dengan sesama manusia atau hablumminannas.





B.     Pendapat para Ulama’ mengenai Maqasid Syariah
Dalam karyanya al-Muwafaqat, al-Syatibi mempergunakan kata yang berbeda-beda berkaitan dengan maqasid al-syari’ah. Kata-kata itu ialah maqasid al-syari’ah,[4] al-maqasid al-syar’iyyah fi al-syari’ah,[5]dan maqasid min syar’i al-hukm.[6]
Menurut al-Syatibi sebagai yang dikutip dari ungkapannya sendiri:
هذه الشريعة...وضعت لتحقيق مقاصد الشارع فى قيام مصالحهم فى الدين والدنيا معا[7]
[8]“ Sesungguhnya syariat itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.”
Dalam ungkapan yang lain dikatakan oleh al-Syatibi
الآحكام مشروعة لمصالحالعباد8
“Hukum-hukum disyari’atkan untuk kemaslahatan hamba."
Jadi, maqashid merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan sesuatu. Terdapat berbagai pendefinisian telah dilontarkan oleh ulama usul fiqh tentang istilah maqasid. Ulama klasik tidak pernah mengemukakan definisi yang spesifik terhadap maqasid,[9]malah al-Syatibi yang terkenal sebagai pelopor ilmu maqasid pun tidak pernah memberikan definisi tertentu kepadanya. Namun ini tidak bermakna mereka mengabaikan maqasid syara' di dalam hukum-hukum syara'.Berbagai tanggapan terhadap maqasid dapat dilihat di dalam karya-karya mereka. Kita akan dapati tanggapan ulama klasik yang pelbagai inilah yang menjadi unsur di dalam definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama mutakhir selepas mereka. Apa yang pasti ialah nilai-nilai maqasid syara' itu terkandung di dalam setiap ijtihad dan hukum-hukum yang dikeluarkan oleh mereka. Ini karena nilai-nilai maqasid syara' itu sendiri memang telah terkandung di dalam al-Quran dan al-Sunnah.
Sementara Al-Izz bin Abdul Salam juga berpendapat sedemikian apabila beliau mengatakan "Syariat itu semuanya maslahah,menolak kejahatan atau menarik kebaikan…".[10]
Ada juga yang memahami maqasid sebagai lima prinsip Islam yang asas yaitu menjaga agama, jiwa, akal , keturunan dan harta. Di satu sudut yang lain, ada juga ulama klasik yang menganggap maqasid itu sebagai logika pensyariatan sesuatu hukum.[11]
Kesimpulannya maqasid syariah ialah "matlamat-matlamat yang ingin dicapai oleh syariat demi kepentingan umat manusia". Para ulama telah menulis tentang maksud-maksud syara’, beberapa maslahah dan sebab-sebab yang menjadi dasar syariah telah menentukan bahwa maksud-maksud tersebut dibagi dalam dua golongan sebagai berikut:
a.)    Golongan Ibadah, yaitu membahas masalah-masalah Ta’abbud yang berhubungan langsung antara manusia dan khaliqnya, yang satu persatu nya telah dijelaskan oleh syara’.
b.)    Golongan Muamalah Dunyawiyah, yaitu kembali pada maslahah-maslahah dunia, atau seperti yang ditegaskan oleh Al Izz Ibnu Abdis Salam sebagai berikut:
“Segala macam hukum yang membebani kita semuanya, kembali kepada maslahah di dalam dunia kita, ataupun dalam akhirat. Allah tidak memerlukan ibadah kita itu. Tidak memberi manfaat kepada Allah taatnya orang yang taat, sebagaimana tidak memberi mudarat kepada Allah maksiatnya orang yang durhaka”.
Akal dapat mengetahui maksud syara’ terhadap segala hukummuamalah, yaitu berdasarkan pada upaya untuk mendatangkan manfaat bagi manusia dan menolak mafsadat dari mereka. Segala manfaat ialah mubah dan segala hal mafsadat ialah haram. Namun ada beberapa ulama, diantaranya, Daud Azh – Zhahiri tidak membedakan antara ibadah dengan muamalah.




C.    Macam – macam Maqasid Syariah
a.)    Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia (Maqashid al- Dharuriyat)
Hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia seperti yang telah kami uraikan adalah bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu: Agama, jiwa, akal, kehormatan (nasab), dan harta. Islam telah mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara itu, hukum yang menjamin realisasinya dan pemeliharaannya. lantaran dua jaminan hukum ini, terpenuhilah bagi manusia kebutuhan primernya. Untuk itu imam al – Syatibi telah melakukan istiqra’ atau penelitian yang digali dari al – Quran maupun sunnah yang menyimpulkan bahwa tujuan hukum islam atau maqasid syariah di dunia ada 5 Hal, yang dikenal degan al – maqasid al – Khomsah yaitu :
1.      Memlihara Agama (Hifdz al-Dzin). Yang dimaksud dengan agama disini adalah agama dalam arti sempit (ibadah mahdhah) yaitu hubungan manusia dengan Allah Swt.
2.      Memelihara diri (Hifdz al-Nafs). Termasuk didaamnya bagian kedua ini, larangan membunuh diri sendiri dan membunuh orang lain, larang menghina dan lain sebgainya dan kewajiban menjaga diri.
3.      Memelihra keturunan dan kehormatan (Hifdz al-Nas/irdl). Seperti aturan aturan tentang pernikahan, larangan perzinahan, dan lain – lain
4.      Memlihara harta (Hifdz al-Mal). Termasuk Bagian ini, kewajiban kasb alhalal, larangan mencuri dan menghasab harta orang.
5.      Memlihara akal (Hifdz al-Aql). Termasuk didalamnya larangan meminum minuman keras dan kewajiban menuntut ilmu.[12]

b.)Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder manusia (Maqashid al-Hajiyat)
Hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder bagi manusia bertitik tolak kepada sesuatu yangdapat menghilangkan kesempitan manusia, meringankan beban yan gmenyulitkan mereka, dan memudahkan jalan-jalan muamalah dan mubadalah (tukar menukar bagi mereka). Islam telah benar-benar mensyariatkan sejumlah hukum dalam berbagai ibadah, muamalah, dan uqubah (pidana), yang dengan itu dimaksudkan menghilangkan kesempitan dan meringankan beban manusia.
Dalam lapangan ibadah, Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhsoh (keringanan, kelapangan) untuk meringankan beban mukallaf apabila ada kesullitan dalam melaksanakan hukum azimah (kewajiban). contoh, diperbolehkannya berbuka puasa pada siang bulan ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian.
Dalam lapangan muamalah, Islam mensyariatkan banyak macam akad (kontrak) dan urusan (tasharruf) yang menjadi kebutuhan manusia. seperti, jual beli, syirkah (perseroan), mudharobah (berniaga dengan harta orang lain) dll.
c.)    Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan pelengkap manusia (Maqashid al-Tahsini)
Dalam kepentingan-kepentingan manusia yang bersifat pelengkap ketika Islam mensyariatkan bersuci (thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat menyempurnakannya. KetikaIslam menganjurkan perbuatan sunnat (tathawwu’), maka Islam menjadikan ketentuan yang di dalamnya sebagai sesuatu yang wajib baginya. Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan membatalkan amal yang dilaksanakannya sebelum sempurna .
Ketika Islam menganjurkan derma (infaq), dianjurkan agar infaq dari hasil bekerja yang halal. Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan adalah memelihara kepentingan pokok manusia, atau kepentingan sekundernya atau kepentingan pelengkapnya, atau menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah satu diantara tiga kepentingan tersebut.[13]


BAB III
PENUTUPAN
A.    Kesimpulan
Secara lughawi maqasid al syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan syari’ah. Maqasid adalah bentuk jama’ dari maqsud yang berarti kesengajaan atau tujuan.[14]Syari’ah secara bahasa berartiالمواضع تحدر الى الماء yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju air ini dapat dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan.[15]
Maqasid syariah atau tujuan akhir ilmu fiqih adalah mencapai keridhoan Allah Swt; dengan melaksanakan sariahnya di muka bumi ini, sebagai pedoman hidup individual hidup berkeluarga, maupun hidup bermasyarakat.[16]
Beberapa ulama’, diantaranya Al-Syatibi, Al-Izz bin Abdul Salam dan juga ulama’ yang lain berpendapat bahwa maqasid Al-Syari’ah adalah bertujuan untuk kemaslahatan umat di dunia dan di akhirat, dengan melaksanakan syari’ah islam. Akan tetapi para ulama’ klasik terdahulu tidak menjelaskan secara spesifik mengenai definisi maqasid Al-Syari’ah, akan tetapi para pendapat mereka dijadikan sebagai unsur dalam definisi yang telah disusun oleh ulama’ mutakhir.
Macam-macam maqasid Al-Syari’ah ada tiga macam, yaitu yang pertama  Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia (Maqashid al- Dharuriyat). Hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia seperti yang telah kami uraikan adalah bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu: Agama, jiwa, akal, kehormatan (nasab), dan harta. Yang kedua adalah Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder manusia (Maqashid al-Hajiyat). Yang ketiga Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan pelengkap manusia (Maqashid al-Tahsini)



[1]Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, J. Milton Cowan (ed)(London: Mac Donald &Evan Ltd, 1980), hlm. 767
[2]Ibn Mansur al-Afriqi, Lisan al-‘Arab, Dar al-Sadr, Beirut, hlm.175
[3]H.A. Djazuli, Ilmu fiqh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm:27
[4]Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Kairo, I, hlm. 21
[5]Ibid, hlm. 23
[6]Ibid, hlm. 374
[7]Ibid, hlm.6
[8]Ibid,  hlm. 54
[9]Hammad al-Obeidi, al-Syatibi wa Maqasid al-Syariah, Mansyurat Kuliat al-Da'wah al-Islamiyyah, Tripoli, cet. Pertama, 1401H/1992M, m.s. 131

[10]Al-Izz bin Abdul Salam, opcit, jil.1, m.s.9.
[11]Nuruddin Mukhtaral-Khadimi, al-Ijtihad al-Maqasidi,Qatar , 1998M , m.s.50
[12] H.A. Djazuli, Ilmu fiqh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm:28
[14]Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, J. Milton Cowan (ed)(London: Mac Donald &Evan Ltd, 1980), hlm. 767
[15]Ibn Mansur al-Afriqi, Lisan al-‘Arab, Dar al-Sadr, Beirut, hlm.175
[16] H.A. Djazuli, Ilmu fiqh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm:27

No comments:

Post a Comment