Monday, April 6, 2015

konsep pendidikan menurut oleh Ibnu Kholdun




MOH.KAMILUS ZAMAN Spd.I (085755107987)
 

BAB I
1.1. PENDAHULUAN
            Sejak awal perkembangan pendidikan islam telah berdiri tegak diatas dua sumber pokok yang amat penting yaitu Al-Qur’an dan sunnah nabi. Di dalam kitab suci terkandung ayat-ayat mufasshalaat (terinci) dan ayat-ayat mubayyinaat (yang memberikan bukti-bukti kebenaran) yang mendorong kepada orang untuk belajar membaca dan menulis serta untuk menuntut ilmu, memikirkan, merenungkan, dan menganalisis penciptaan langit dan bumi. Oleh karena itu maka tujuan da’wah islamiyah adalah untuk memberi cahaya terang kepada hati nurani dan pikiran serta menambah kemampuan umat islam dalam melakukan proses pengajaran dan pendidikan.
            Walaupun sasaran, metode dan tujuan-tujuan pendidikan islam sangat berbeda dengan apa yang terdapat dalam pendidikan umum, karena pendidikan islam berlandaskan pada Al-Qur’an dan sunnah rosul-Nya,tetapi sistem pendidikan islam selalu mengkaitkan pola dan sistem pendidikan umum. Dalam hubungan ini Al-Qur’an telah memberikan penjelasan tentang ketentuan-ketentuan hukum yang memperhatikan kepentingan umat manusia, yaitu antara lain: mengkaitkan antara ketentuan agama, dengan norma-norma akhlak, meletakkan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia sehari-hari,meciptakan kondisi kehidupan yang ideal bagi manusia dalam mencapai kesatuan hidup sosial. Disamping itu dijelaskan pula tentang akidah/kepercayaan, ibadah dan muamalah,dan lain-lain[1].
            Tujuan pendidikan islam pada dasarnya ialah mempersiapkan perkembangan anak agar mampu berperan serta secara berkesinambungan dalam pembangunan manusia yang berkembang terus dan mampu beramal kebajikan selama dalam upaya mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
1.2. RUMUSAN MASALAH
a.       Siapakah Ibnu Kholdun itu ?
b.      Bagaimana konsep pendidikan menurut oleh Ibnu Kholdun ?
c.       Bagaimana konsep pendidikan Nasional Indonesia ?
d.      Bagaimana perbedaan dan persamaan antara konsep pendidikan menurut Ibnu Kholdun dan Pendidkan Nasional
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Biografi Ibnu Kholdun
Tokoh ini mempunyai nama lengkap Abd. Al-Rahman Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad Al-Hasan Ibn Jabir Ibn Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Khalid Ibn Usman Ibn Hani Ibn Al-Khattab Ibn Kuraib Ibn Ma’dikarib Ibn Al-Haris Ibn Uwail Ibn Hujr. dilahirkan di Tunisia pada 1 Ramadan 732 H / 27 Mei 1332 M, dan beliau meninggal dunia pada 26 Ramadan 808 H / 18 Mac 1406 M di Kaherah. Kawasan Khalduniyah di Tunisia masih ada sekarang hampir-hampir tidak berubah, dengan rumah yang dipercayai tempat kelahirannya. Keluarga Ibn Khaldun telah berpindah ke Tunisia dimana Ibn Khaldun dilahirkan, dan juga beliau mendapat pendidikan awalnya.
Sejarawan yang mempunyai nama kecil Abd. Al-Rahman ini biasanya dipanggil dengan nama keluarga (kunyah) Abu Zaid, yang diambil dari nama putra sulungnya, Zaid. Dia pun sering disebut dengan gelar  (laqab) wali al-din, sebuah gelar yang dibeikan kepadanya suatu memangku jabatan Hakim Agung di Mesir. Akan tetapi, lebih populer dengan nama Ibn Kholdun, yang didnisbatkan kepada nama kakeknya yang ke-9, yaitu Khalid. Khalid Ibn Usman adalah nenek moyangnya yang pertama kali memasuki Andalusia bersama para penakluk berkebangsaann Arab lainnya pada abad ke-8 masehi. Ia menetap di Karmona, sebuah kota kecil yang terletak diantara segitiga Kordova, Sevilla, Granada. Dengan demikian, karmona adalah kota pertama yang dijadikan tempat tinggal nenek moysng Ibn Kholdun. Setelah ekspansi ke Andalusia. Kemudian keturunan Khalid di kenal dengan sebutan Banu khaldun[2].
Muhammad ibn Muhammad adalah ayah Ibnu khaldun yang namanya sama dengan nama kakeknya, yang lebih suka bergelut dalam bidang ilmu pengetahuan. Dia telah layak menerima pengaruh dari ayahnya yang pada akhir hidupnya lebih memfokuskan diri pada bidanh ini, dia memiliki pandangan bahwa dalam keadan yang serba tidak menentu ini,sangatlah berbahaya bermain dalam dunia politik. Oleh karena itu, ayah Ibnu Khaldun lebih serius menekuni dunia ilmu pengetahuan, sehingga dalam sejarah ia terkenal sebagai orang yang yang mahir bidang bahasa arab,tasawuf,tafsir dan saatra. Dia meninggal dunia pada tahun 1349 M,pada saat Ibnu Khaldun berusia 17 tahun. Dari latar belakang kluarga yang banyak bergerak dalam bidang politik dan ilmu pengetahuan separtininilah Ibni Khaldun dilahirkan di tunis pada awal ramadhan 732 H. Menuntut perhitungan para sejarawan, hal ini bertepatan dengan 27 Mei 1332 M. kondisi kluarga seperti itu kiranya teleh berperan dominan dalam membentuk Ibnu Khaldun. Dunia politik dan ilmu pengetahuan telah begitu menyatu dalam diri Ibnu Khaldun. Ditambah lagi kecerdasan dalam otaknya yang juga bertanggung jawab bagi pengembangan karirnya.[3]
a. Corak pemikiran Ibnu Kholdun
Sebagai seorang pemikir , Ibnu Khaldun adalah produk sejarah. Oleh karena itu, untuk membaca pemikirannya,aspek historis yang mengitarinya tidak dapat dilepaskan begitu saja. Namun yang jelas, pemikiran Ibnu Khaldun tidak dapat dipisahkan dari pakar pemikiran Islamnya. Di sinilah letak alasan mengapa Iaqbal mengetakan bahwa seluruh semangat Muqaddimah, yang merupakan manifestasi pemikiran Ibnu Khaldun, diilhami pengarangnya Al-Quran sebagai sumber utama dan pertama ajaran Islam. Dengan demikian, pemikiran Ibnu Khaldundapat di baca melalui setting sosial yang mengitarinya yang diungkapkan,baik secara lisan maupun tulisan, sebagai sebuah kecenderungan.
Sebagai seorang filosof muslim, pemikiran Ibnu Khaldun sangatlah rasional dan banyak berpegang teguh pada logika. Hal ini sangat dimungkinkan, karena Ibnu Khaldun pernah belajar filsafat pada masa mudanya.banyak pemikiranj para filosof sebelumnya telah mempengaruhi pamikiran filsafatnya, ada pandangan lain yang mengutarakan bahwa Ibnu Khaldun mendapat pengaruh dari Ibnu Rusydi(1126-1198 M) dalam masalh hubungan filsafat dan agama. Menurut Watt, ada kesan bahwa pemikiran Ibnu Khaldun merupakan kelanjutan dari Ibnu Rusyd dalam masalah ini. Akan tetapi pada sisi lain, Ibnu Khaldun juga berbeda dengan Ibnu Rusd dalam hal mencela filsafat,terutama dalam metafisika. Bahkan karena tajamnya kritik Ibnu Khaldun terhadap filsafat, banyak orang mengatakan bahwa Ibnu Khaldun memusuhi filsafat, meskipunsesungguhnya Ibnu Khaldun sendiri adalah seorang filosof.
Ibnu Khaldun sebagai seorang filosof kiranya mendukung posisinya sebagai seorang ilmuan. Selain sebagai seorang rasionalis, Ibnu Khaldun juga sebagai seorang empiris. Ibnu Khaldun telah berhasil memadukan antara metode induksi dan deduksi dalam pengetahuan islam. sebagai seorang ilmuan, Ibnu Khaldun berhasil membuat pemikiran sintesis antara aliran Rsionalisme dengan aliran Empirisme, antara induksi dan diduksi. Perpaduan antara kedua aliran pemikiran inilah yang kini disebut metode ilmiah. Dengan demikian, corak pemikiran Ibnu Khaldun dapat di katakan  “modern” pada masanya.
Bebeda dengan posisinya sebagai seorang filosof dan ilmuan, pemikiran Ibnu Khaldun dalam bidang  keagamaan sangatlah religious. Bahkan menuru Fua BaaliAli Wardi, Ibnu Khaldun memiliki sufistik  yang sangat kuat, karena dpengaruhi oleh doktrin sufi. Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir  yang teguh memegang ajaran islam. Ibnu Khaldun telah berhasil memperlihatkan hubungan yang erat antara sains dan agama, sehingga meskipun berpandangan empiris,tetapi diliputi jiwa ketuhanan yang berasal dari semangat keagamaan. Semua gaya pemikiran Ibnu Khaldun di atas, baik selaku filosof, ilmuwan, maupun agamawan, terbentuk sebagai hasil dari kondisi sosio-kultiral yang ada pada masanya. Corak pemikirannya yang rasionalistik-empiristik-sufistik inilah yang dijadikan dasar pijakan Ibnu Khaldun dalam membangun konsep-konsep mengenai penhdidikan.
b. Cara memperoleh ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan menurut Ibnu Khaldun merupakan kemampuan manusia untuk membuat analisis dan sintesis sebagai hasil dari proses berpikir. Ada tiga tingkatan proses berpikir menurut Ibnu K haldun. Tingkatan pertama disebut Al-aql Al-tamyizi, yaitu pemahaman iitelektual manusi terhadap segala sesuatu yang ada di luar alam semesta dalam tatanan alam yang berubah, dengan maksud supaya manusia mampu menyeleksinya dengan dengan kemampuannya sendiri. Bentuk pemikiran seperti ini kebanyakan berupa persepsi-persepsi(tasbawwur), yang dapat membantu manusia membedakan segala sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, dengan menolak yang tidak bermanfaat.
Tingkatan kedua disebut Al-‘aql Al-tajribi ,yaitu pemikiran yang memperlengkapi manusia dengan ide-ide dan perilaku yang dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang lain. Bentuk pemikiran seperti ini kebanyakan berupa apersepsi(tasbdik)yang di capai manusia melalui pengalaman, hingga benar-benar dirasakan manfaatnya.
Tingkatan ketiga disebut Al-‘aql Al-nazbari, yaitu pikiran yang memperlengkapi manusia dengan pengetahuan (‘ilm) atau pengetahuan hipotesis (dzann) mengenai sesuatu yang berada di belakang persepsi indra dalam tindakanpraktis yang menyertainya, bentuk pemikiran seperti ini merupakan gabungan persepsi dan apersepsi yang tersusun secara khusus yang dapat membentuk sebuah pengetahuan.
Dengan tiga tingkatan cara memperoleh ilmu pengetahuan tersebut, Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan dalam dua katagori, yaitu Al-‘ulum Al-aqliyah dan Al-‘ulum Al-‘aliyah. Al-‘ulum Al-‘aqliyah bersifat alami (thabi’i) yang diperoleh manusia melalui kemampuan berpikirnya. Ilmu-ilmu ini mencakup empat ilmu pokok, yaitu logika, fisika, metafisika dan matematika.  Adapun Al-‘ulum Al-naqliyyh bersifat wadb’i (berdasarkan otoritas syariat) yang dalam batas-batas tertentu, akal tidak mendapat tempat, ilmu-ilmu ini diantaranya mencakup ilmu tafsir,ilmu kalam, ilmu balaghah,ilmu nahwu, kalam dan tasawuf[4].
c. Pendidikan
Menurut Ibnu khaldun pendidikan itu adalah proses menstransformasi yang di peroleh dari nilai-nilai Al-qur’an dan Hadist serta berlandaskan filosofis dan empiris atau pengalaman agar dapat mempertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. [5]
c. Metode pendidikan menurut Ibnu Khaldun
Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah pendidikan Islam dapat kita simak bahwa dalam berbagai kondisi dan situasi yang berbeda, telah diterapkan metode pengajaran. Dan metode yang dipergunakan bukan hanya metode mengajar bagi pendidik, melainkan juga metode belajar yang harus digunakan oleh anak didik. Hal ini sebagaimana telah dibahas Ibnu Khaldun dalam buku atau kitab karangannya yang monumental yaitu “Muqaddimahnya. Didalam kitab tersebut kita dapat memberikan pengetahuan kepada anak didik kita.
a.       pendidik hendaknya memberikan problem-problem pokok yang bersifat umum dan menyeluruh, dengan memperhatikan kemampuan akal anak didik.
b.      Setelah pendidik memberikan problem-problem yang umum dari pengetahuan tadi baru pendidik membahasnya secara lebih detail dan terperinci.
c.       Pada langkah ketiga ini pendidik menyampaikan pengetahuan kepada anak didik secara lebih terperinci dan menyeluruh, dan berusaha membahas semua persoalan bagaimapaun sulitnya agar anak didik memperoleh pemahaman yang sempurna. Beliau berpendapat : ”....dan cara yang paling gampang dalam menumbuhkan kemampuan memahami ilmu adalah kelancaran dalam berbicara dalam diskusi dan pembahasan tentang problema ilmiah, maka ia akan dapat mendekati seluk beluk yang terkandung dalam problema dan dapat memperoleh pengetahuan tentang maksud tujuan sebenarnya“.  Demikian itu metode umum yang ditawarkan Ibnu Khaldun di dalam proses belajar mengajar.[6]
Ibnu Khaldun juga menyebutkan keutamaan metode diskusi, karena dengan metode ini anak didik telah terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan mengasah otak, melatih untuk berbicara, disamping mereka mempunyai kebebasan berfikir dan percaya diri. Atau dengan kata lain metode ini dapat membuat anak didik berfikir reflektif dan inovatif. Lain halnya dengan metode hafalan, yang menurutnya metode ini membuat anak didik kurang mendapatkan pemahaman yang benar.
Disamping metode yang sudah disebut di atas Ibnu Khaldun juga menganjurkan metode peragaan, karena dengan metode ini proses pengajaran akan lebih efektif dan materi pelajaran akan lebih cepat ditangkap anak didik. Satu hal yang menunjukkan kematangan berfikir Ibnu Khaldun, adalah prinsipnya bahwa belajar bukan penghafalan di luar kepala, melainkan pemahaman, pembahasan dan kemampuan berdiskusi. Karena menurutnya belajar dengan berdiskusi akan menghidupkan kreativitas pikir anak, dapat memecahkan masalah dan pandai menghargai pendapat orang lain, disamping dengan berdiskusi anak akan benar-benar mengerti dan paham terhadap apa yang dipelajarinya.
Setelah mengadakan penelitian, maka Ibnu Khaldun membagi ilmu berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat macam, yang masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
1.      Ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
2.      Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan (metafisika)
3.      Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari agama.
4.      Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.
Menurut Ibnu Khaldun, kedua kelompok ilmu yang pertama itu adalah merupakan ilmu pengetahuan yang dipelajari karena faidah dari ilmu itu sendiri. Sedangkan kedua ilmu pengetahuan yang terakhir (ilmu alat) adalah merupakan alat untuk mempelajari ilmu pengetahuan golongan pertama.
Demikian pandangan Ibnu Khaldun tentang materi ilmu pengetahuan yang menunjukkan keseimbangan antara ilmu syari’at (agama) dan ilmu ‘Aqliyah (filsafat). Meskipun dia meletakkan ilmu agama pada tempat yang pertama, hal itu ditinjau dari segi kegunaannya bagi anak didik, karena membantunya untuk hidup dengan seimbang namun dia juga meletakkan ilmu aqliyah (filsafat) di tempat yang mulia sejajar dengan ilmu agama. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu pengetahuan tersebut dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar banyak tergantung pada para pendidik, bagaimana dan sejauh mana mereka pandai mempergunakan berbagai metode yang tepat dan baik.[7]
d. Tujuan pendidikan
Adapun tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun, bahwa di dalam Muqaddimahnya ia tidak merumuskan tujuan pendidikan secara jelas, akan tetapi dari uraian yang tersirat, dapat diketahui tujuan yang seharusnya dicapai di dalam pendidikan. Dalam hal ini al-Toumy mencoba menganalisa isi Muqaddimahnya dan ditemukan beberapa tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Dijelaskan menurutnya ada enam tujuan yang hendak dicapai melalui pendidikan, antara lain:[8]
a.       Menyiapkan seseorang dari segi keagamaan, yaitu dengan mengajarkan syair-syair agama menurut al-Qur’an dan Hadits Nabi sebab dengan jalan itu potensi iman itu diperkuat, sebagaimana dengan potensi-potensi lain yang jika kita mendarah daging, maka ia seakan-akan menjadi fithrah.
b.      Menyiapkan seseorang dari segi akhlak. Hal ini sesuai pula dengan apa yang dikatakan Muhammad AR., bahwa hakekat pendidikan menurut Islam sesungguhnya adalah menumbuhkan dan membentuk kepribadian manusia yang sempurna melalui budi luhur dan akhlak mulia.
c.       Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial.
d.      Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan. Ditegaskannya tentang pentingnya pekerjaan sepanjang umur manusia, sedang pengajaran atau pendidikan menurutnya termasuk di antara ketrampilan-ketrampilan itu.
e.       Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan pemikiran seseorang dapat memegang berbagai pekerjaan atau ketrampilan tertentu.
f.       Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, di sini termasuk musik, syair, khat, seni bina dan lain-lain.[9]
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian. Dia telah memberikan porsi yang sama antara apa yang akan dicapai dalam urusan ukhrowi dan duniawi, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki. Maka atas dasar itulah Ibnu Khaldun beranggapan bahwa target pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena dia memandang aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu. Karena kematangan berfikir adalah alat kemajuan ilmu industri dan sistem sosial.
Dari rumusan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun menganut prinsip keseimbangan. Dia ingin anak didik mencapai kebahagiaan duniawi dan sekaligus ukhrowinya kelak. Berangkat dari pengamatan terhadap rumusan tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun, secara jelas kita dapat melihat bahwa ciri khas pendidikan Islam yaitu sifat moral religius nampak jelas dalam tujuan pendidikannya, dengan tanpa mengabaikan masalah-masalah duniawi. Sehingga secara umum dapat kita katakan bahwa pendapat Ibnu Khaldun tentang pendidikan telah sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan Islam yakni aspirasi yang bernafaskan agama dan moral.[10]
e. Hakikat Pendidik
Seorang pendidik hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan psikologis peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat membantunya untuk mengenal setiap individu peserta didik dan mempermudah dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Para pendidik hendaknya mengetahui kemampuan dan daya serap peserta didik. Kemampuan ini akan bermanfaat bagi menetapkan materi pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Bila pendidik memaksakan materi di luar kemampuan peserta didiknya, maka akan menyebabkan kelesuan mental dan bahkan kebencian terhadap ilmu pengetahuan yang diajarkan. Bila ini terjadi, maka akan menghambat proses pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara materi pelajaran yang sulit dan mudah dalam cakupan pendidikan.
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan metode mengajar yang efektif dan efisien. Ibnu Khaldun mengemukakan 6 (enam) prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu:
a.       Prinsip pembiasaan
b.      Prinsip tadrij (berangsur-angsur)
c.       Prinsip pengenalan umum (generalistik)
d.      Prinsip kontinuitas
e.       Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik
f.       Menghindari kekerasan dalam mengajar[11]
f. Hakikat Peserta Didik
Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.
Melalui paradigma di atas, menjelaskan bahwa peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kecerdasan.
Pada dasarnya peserta didik adalah:
Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlakuan terhadap mereka dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan orang dewasa, bahkan dalam aspek metode, mengajar, materi yang akan diajarkan, sumber bahan yang digunakan dan sebagainya.
Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi periodesasi perkembangan dan pertumbuhan. Aktivitas kependidikan Islam disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya dilalui oleh setiap peserta didik. Karena kadar kemampuan peserta didik ditentukan oleh faktor-faktor usia dan periode perkembangan atau pertumbuhan potensi yang dimilikinya.[12]
Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik menyangkut kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani yang harus dipenuhi.
Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual (diferensiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan di mana ia berada.
Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur alam, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan. Sementara unsur rohani memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa. Untuk mempertajam daya akal maka proses pendidikan hendaknya melalui ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah.[13]
Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.
2.2 . Pendidikan nasional
Pendidikan nasional itu berdasarkan kepada :
1.      Dasar ideal : pancasila
2.      Dasar konstitusional : UUD 1945
3.      Dasar operasional :
                            i.      UUPP No. 4 tahun 1950 jo UUPP No. 12 tahun 1954.
                          ii.      TAP MPR No. II/MPR/1978(Penjabarannya pada P-4 )
                        iii.      TAP MPR No.IV/MPR/1983(penjabarannya pada GBHN)
                        iv.      Keputusan Presiden No. 145 Tahun 1965
4.      Dasar sosio budaya.[14]
Menurut Ki Hajar Dewantoro Pendidikan nasional itu berlandaskan pada garis hidup dari bangsanya seperti corak budayanya atau latar belakang bangsanya .
2.3 . Metode Pendidikan Nasional
Sebagai metode pendidikan nasional, pendidik dalam menyampaikan pelajaran pada peserta didik memiliki beberapa unsur antara lain :
1.      Komunikasi
2.      Kesengajaan
3.      Kewibawaan
4.      Normatif
5.      Kasih Sayang dan Perhatian
6.      Kedewasaan[15]
2.4 . Tujuan pendidikan nasional  
Tujuan pendidikan nasional secara umum yaitu membangun kualitas manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu dapat meningkatkan kebudayaan-Nya sebagai warga negara yang berjiwa pancasila, mempunyai semangat dan kesadaran yang tinggi, berbudi pekerti yang luhur, dan berkepribadian yang kuat, cerdas, terampil, dapat mengembangkan dan menyuburkan sikap demokrasi, dapat memelihara hubungan yang baik antara manusia dan lingkungannya, sehat jasmani, mampu mengembangkan daya estetik, berkesanggupan untuk membangun diri dan masyarakatnya.
Dengan demikian dapatlah kita kemukakan buti-butir tujuan pendidikan nasional sebagai berikut :
1.      Meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
2.      Memperkuat kepribadian pancasia
3.      Mempertebal semangat kebangsaan
4.      Meningkatkan kecerdasan
5.      Meningkatkan keterampilan
6.      Meningkatkan keahlian
7.      Meningkatkan kebudayaan
8.      Meningkatkan kesadaran yang tinggi
9.      Mempertinggi budi pekerti
10.  Mengembang suburkan sikap demokrasi
11.  Memelihara kerukunan hidup
12.  Mampu memngembangkan daya estetik
13.  Berkesanggupan untuk membangun diri dan masyarakatnya
2.5 . Hakikat pendidik
1.      Pendidik harus mengetahui tujuan pendidikan yang bdianut oleh suatu negaranya, kalau di Indonesia mengetahui tujuan pendidikan Nasional yang tertuang di dalam GBHN
2.      Pendidik harus mengenal peserta didik
3.      Pendidik harus mempunyai prinsip dp dalam menggunakan alat pendidikan. Dapat memilih alat mendidik yang sesuai dengan situasinya
4.      Pendidik harus mempunyai sikap bersedia membantu peserta didik dalam arti lebih sabar (ingat, terutama untuk pendidik anak luar biasa)
5.      Pendidik harus mengidentifikasikan diri dengan peserta didik dalam arti mampu menyesuaikan diri dengan anak guna mencapai tujuan pendidikan. Jadi, pendidik tetap harus sebagai pendidik yang berpribadi tetap cara melakukan proses pendidikan dapat menyesuaikan dalam dunia anak/peserta didik
6.      Pendidik harus mampu bermasyarakat yang berarti pendidik dan keterampilan dapat diterapkan di dalam masyarakat sehingga baik langsung maupun tidak langsung peserta akan ikut merasakan manfaatnya.[16]
2.6 . Hakikat peserta didik
Manurut pendidikan nasional, peserta didik adalah anak didik/seseorang yang memperoleh pendidikan dari seorang dan/atau beberapa pendidik.[17]
4.1. persamaan antara konsep pendidikan Ibnu khaldun dengan konsep pendidikan nasional
2.7. Perbandingan konsep Ibnu Kholdun dan Pendidikan Nasional
Persamaan antara konsep pendidikan Ibnu khaldun dengan konsep pendidikan nasional banyak sekali antara lain :
a.       Harus ada pendidik
b.      Harus ada peserta didik
c.       Harus ada pentransformasian ilmu dari pendidik ke peserta didik
Perbedaan antara konsep pendidikan Ibnu khaldun dengan konsep pendidikan nasional:
a.       Ibnu Koldun lebih mendasarkan pada dalil Al-Qur’an dan Hadis Nabi
b.      Pendidikan Nasional mendasarkan konsep pendidikan pada Pancasila dan UU Pendidikan














BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
a.       Tokoh ini mempunyai nama lengkap Abd. Al-Rahman Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad Al-Hasan Ibn Jabir Ibn Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Khalid Ibn Usman Ibn Hani Ibn Al-Khattab Ibn Kuraib Ibn Ma’dikarib Ibn Al-Haris Ibn Uwail Ibn Hujr. dilahirkan di Tunisia pada 1 Ramadan 732 H / 27 Mei 1332 M, dan beliau meninggal dunia pada 26 Ramadan 808 H / 18 Mac 1406 M di Kaherah. Kawasan Khalduniyah di Tunisia masih ada sekarang hampir-hampir tidak berubah, dengan rumah yang dipercayai tempat kelahirannya. Keluarga Ibn Khaldun telah berpindah ke Tunisia dimana Ibn Khaldun dilahirkan, dan juga beliau mendapat pendidikan awalnya.
b.      Menurut Ibnu khaldun pendidikan itu adalah proses menstransformasi yang di peroleh dari nilai-nilai Al-qur’an dan Hadist serta berlandaskan filosofis dan empiris atau pengalaman agar dapat mempertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat.
c.       Menurut UUD 1945 pendidikan adalah proses pengajaran yang dilakukan pendidik kepada anak didik yang berlandaskan Pancasila dan UU Pendidikan agar anak didik menjadi insan yang berjiwa Pancasila, berbudi tinggi, menjunjung tinggi sikap pratriotik.
d.      Konsep pendidikan menurut Ibnu Koldun dan Sistem Pendidikan Nasional sama-sama berazaskan ilmu pengetahuan untuk mewujudkan nk didik yang berilmu pengetahuan tinggi dan berbudi luhur. Hanya saja dasar yang keduanya gunakan berbeda, yakni Ibnu Kholdun berpacu pada Al-Qur’an dan Hadis, sedangkan sistem Pendidikan Nasional berpacu pada Pancasila dan Undang-Undang.

3.2. Kritik dan saran
Sistem pendidikan nasional  yang ada di Indonesia merupakan sistem penyerapan dari system pendidikan islam dan sistem pendidikan modern yang pada awal mulanya kemerdekaan pemerintahan bangsa Indonesia yang mewarisi sistem pendidikan yang bersifat dualistis, yaitu :
a)      Sistem pendidikan yang dan pengajaran modern yang bercorak sekuler atau sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum, yang merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda.
b)      Sistem pendidikan islam, yang tumbuh dan berkembang di kalangan umat islam sendiri, yaitu sistem pendidikan dan pengajaran yang berlansung di surau/langgar, masjid dan pesantren serta madrasah yang bersifat tradisional yang bercorak keagamaan. 
Sedangkan bangsa indonesia adalah bangsa yang mempunyai banyak agama yang sebagian besar beragama islam, dan penduduk indonesia bersepakat untuk membentuk satu negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasiala dan UUD 1945,dan bukan berdasarkan islam. Namun Pancasila dan UUD 1945, menjamin kemerdekaan bagi umat islam untuk mengembangkan pendidikan Islam.





                                                                                                 










DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi,Abu, 1991, ilmu pendidikan, Jakarta: Rineka cipta.
Muchsin,Bashori, 2009, pendidikan islam kontemporer, Bandung: Refika aditama.
Nasir, Ridlwan, 2005, format pendidikan ideal, Yogyakarta: Pustaka pelajar.



[1] H.M. Ridwan Nasir,MA, mancari tipologi format pendidikan ideal (Yogyakarta: pustaka pelajar) cet: 1, hal: 35.
[2] Toto Suharto,”Filsafat pendidikan islam” jokjakarta September 2005, hal 218.
[3] Toto Suharto,”Filsafat pendidikan islam” penerbit: Ar-ruzzs media,jogjakarta September 2005cet: 1, hal: 220  
[4] Muhammad iqbal “Pemikiran pendidikan ibnu khaldun “ jurnal Indonesia 2010.

[5] Saepul anwar “konsep pemikiran ibnu khaldun (refleksi pemikiran seorang sosiolog muslim abad 14 M tentang pendidikan) “ jurnal indonesia maret tahun 2008.
[6] Konsep pendidikan islam menurut ibnu khaldun “sustu kajian terhadap elemen-elemen kemasyarakatan islam
[7] Konsep pendidikan islam menurut ibnu khaldun “sustu kajian terhadap elemen-elemen kemasyarakatan islam

[8] Saepul anwar “konsep pemikiran ibnu khaldun (refleksi pemikiran seorang sosiolog muslim abad 14 M tentang pendidikan) “ jurnal indonesia maret tahun 2008.

[9] Saepul anwar “konsep pemikiran ibnu khaldun (refleksi pemikiran seorang sosiolog muslim abad 14 M tentang pendidikan) “ jurnal indonesia maret tahun 2008.

[10] Ahmad khoirudin “pemikiran pendidikan menurut ibnu kholdun “ jurnal Indonesia 2010.
[11] Asma Hasan Fahmi, sejarah dan filsafat pendidikan islam,alih bahasa Ibrahim Husein (Jakarta: bulan bintang 1979),cet: 1, hal: 107.
[12] Muqaddimah ibn kholdun, hal: 471.
[13] Ibid, hal: 472-473
[14] H. Abu Ahmadi,ilmu pendidikan,(jakarta: rineka cipta), cet: 1, hal: 195.
[15] Ibid,hal: 93.
[16] H. Abu Ahmadi,ilmu pendidikan,(jakarta: rineka cipta), cet: 1, hal: 49
[17] Tim dosen FKIP – UNS, pengantar ilmu pendidikan, hal: 114.

No comments:

Post a Comment