Monday, April 6, 2015

PEMIKIRAN IBNU KHALDUN TENTANG PENDIDIKAN ISLAM



moh.kamilus Zaman SPd.I
PEMIKIRAN IBNU KHALDUN TENTANG PENDIDIKAN ISLAM

1.    Biografi Singkat Ibnu Khaldun
Keluarga  Khaldun  lahir  di  kota  Carmon,  Andalus  di  mana  kakeknya bernama Khalid  bin Al-Khattab,  yang  kemudian  dikenal  dengan  nama Khaldun bin Usman bin Hani  bin Al-Khattab  bin Kuraib Maadi Karib  bin Al-Haris  bin Hijr.[1]
Sebuah ciri khas yang melatarbelakangi kehidupan Ibnu Khaldun adalah ia berasal dari keluarga politis, intelektual, dan aristokrat. Suatu latar belakang kehidupan yang jarang dijumpai orang. Keluarganya, sebelum menyeberang ke afrika, adalah para pemimpin politik di Moorish, Spanyol, selama beberapa abad.[2] Dalam kelurga elit semacam inilah ia dilahirkan pada tanggal 27 Mei 1332 di Tunisia. Oleh ayahnya ia diberi nama Abdur Rahman Abu Zayd ibn Muhammad ibn Khaldun.
Latar belakang keluarga dan saat ia dilahirkan serta menjalani hidupnya nampaknya merupakan factor yang menentukan dalam perkembangan pemikirannya. Keluarganya telah mewariskan tradisi intelektual ke dalam dirinya, sedangkan masa ketika ia hidup yang ditandai oleh jatuh bangunnya dinasti-dinasti islam, terutama dinasti Umayah dan Abbasiyah memberikan kerangka berfikir dan teori-teori ilmu sosialnya serta filsafatnya.
Sebagaimana para pemikir lainnya, pendidikan masa kecilnya berlangsung secara tradisional. Artinya ia harus belajar membaca al-Quran, hadust, Fiqh, sastra, dan nahwu sharaf dengan sarjana-sarjana terkenal waktu itu. Pada umur 20 tahun ia telah bekerja sebagai sekretaris Sultan Fez di Maroko. Selanjutnya pada tahun 1362 Ibnu Khaldun menyeberang ke Spanyol dan bekerja pada raja Granada. Karena kecakapannya yang luar biasa, ia ditawari bekerja oleh penguasa Sevilla saat itu.
Khaldun tidak lama di Granada, karena prestasi dan kecakapannya yang luar biasa itu, ia sering menimbulkan iri hati Perdana Menteri. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk kembali ke Afrika. Dan tak lama setelah itu, ia diangkat menjadi Perdana menteri oleh Sultan Aljazair, Bongi
Ketenangan hidup baru ia rasakan setelah melepaskan semua jabatannya resminya. Dan pada waktu itulah ia menciptakan karya monumental , yaitu Muqaddimah dan Sejarah alam semesta. Setelah itu, pada tahun 1382 ia pergi ke Iskandariah, dan singgah di Mesir. Raja dan rakyat Mesir yang cukup mengenal reputasi Khaldun lewat karyanya Muqaddimah jauh sebelum ibnu Khaldun singgah ke Mesir, menawari jabatan sebagai guru kemudian ketua mahkamah agung di bawah pemerintahan dinasti mamluk.
Ia meninggal pada tahun 1406 dalam usia 74 tahun, bersama jabatan yang dipegangnya.[3] Kini Ibnu Khaldun selain dikenal sebagai filosof, juga sebagai sosiolog yang memiliki perhatian yang besar terhadap bidang pendidikan. Hal ini antar lain terlihat dari pengalamannya sebagai guru yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.[4].
                                           
2.    Pandangan Tentang manusia Didik
Ibnu Khaldun melihat manusia tidak terlalu menekankan pada segi kepribadiannya, sebagaimana yang acapkali dibicarakan para filosof, baik islam maupun luar islam. Ia lebih banyak melihat manusia dalam hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah ia sering disebut sebagai salah seorang pendiri sosiologi dan antropologi.
Apa yang terkesan tentang konsep manusia menurut Ibnu Khaldun adalah, karena ia seorang muslim. Ia telah mempunyai asumsi-asumsi kemanusiaan sebelumnya lewat pengetahuan yang ia peroleh dari Islam. Oleh karena itu konsepsi-konsepsi kemanusiaannya adalah hasil dari derivasi upaya intelektual  Ibnu Khaldun untuk membuktikan dan memahami asumsi al-Quran tersebut lewat gejala dan aktifitas kemanusiaan. Ibnu Khaldun memandang manusia sebagai makhluk yang berbeda dengan makhluk yang lainnya. Manusia menurut Ibnu Khaldun adalah makhluk yang berfikir. Oleh karena itu, ia mampu melahirkan ilmu (pengetahuan ) dan teknologi. Sifat-sifat ini tidak dimiliki makhluk-makhluk lainnya. Lewat kemampuan berfikirnya itu manusia atidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses yang semacam ini melahirkan peradaban. [5]
Menurut Ibnu Khaldun, manusia memiliki perbedaan dengan makhluk lain, khususnya binatang. Perbedaan ini antara lain karena manusia di samping memiliki pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya, juga memiliki sikap bermasyarakat yang kemudian dapat membentuk suatu masyarakat yang antara satu dan lainnya dapat saling menolong. Dari keadaan manusia yang demikian itu, maka timbullah ilmu pengetahuan dan masyarakat. Pemikiran tersebut dalam suatu saat diperlukan dalam menghasilkan sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh panca indera. Ilmu yang demikian mesti diperoleh dari orang lain yang lebih dahulu mengetahuinya. Mereka itulah yang kemudian disebut guru. Agar proses pencapaian ilmu yang demikian itu, maka perlu diselenggarakan kegiatan pendidikan.
Pada bagialn lain Ibnu khaldun berpendapat bahwa dalam proses belajar atau menuntut ilmu pengetahuan, manusia di samping harus sungguh-sungguh jugs harus mempunyai bakat. Menurutnya dalam mencapai pengetahuan yang bermacaqm-macam itu seseorang tidak hanya memerlukan ketekunan, tetapi juga bakat. Berhasilnya suatu keahlian dalam satu bidang ilmu atau disiplin memerlukan pengajaran.
3.      Pandangan Tentang Ilmu
Selanjutnya Ibnu Kgaldun berpendapat bahwa pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh peradaban. Hal ini dapat dilihat pada Negara Qairawan dan Cordova yang keduanya berperadaban Andalus dan luas pula problematikanya atu heterogen. Di situ terdapat pertumbuhan ilmu, pabrik-pabrik, pasar yang tersusun rapi. Keadaan ini akan berpengaruh terhadap corak pendidikannya.
Pada bagian lain, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa adanya perbedaan lapisan social timbul dari hasil hasil kecerdasannya yang diproses melalui pengajaran.
Dalam Ilmu pengetahuan, Ibnu Khaldun membaginya menjadi tiga macam, yaitu:
a.       Ilmu Lisan (bahasa) yaitu ilmu tentang tata bahasa (gramatika) sastra atau bahasa yang tersusun secara puitis (syair)
b.      Ilmu naqli, yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunnah Nabi. Ilmu ini berupa membaca kitab suci al-Quran dan tafsirnya, sanad dan hadist. Serta istimbat tentang kaidah-kaidah fiqih.
c.       Ilmu ‘aqli, yaitu ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya pikir atau kecerdasannya kepada filsafat dan semua ilmu pengetahuan.
Di antara ilmu tersebut ada yang harus diajarkan kepada anak didik, yaitu:
a)      Ilmu syariah dengan semua jenisnya
b)      Ilmu filsafat seperti ilmu alam dan ilmu ketuhanan
c)      Ilmu alat yang membantu ilmu agama (seperti ilmu bahasa, matematika, dan lain-lain)
d)     Ilmu alat yang membantu ilmu falsafah seperti ilmu mantiq
Selain itu, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa Al-Quran adalah ilmu yang pertama kali harus diajarkan kepada anak, karena mengajarkan Al-Quran kepada anak termasuk syari’at islam yang dipegang teguh oleh para ahli agama dan dijunjung tinggi oleh setiap Negara Islam. Al-Quran yang telah ditanamkan pada anak didik akan jadi pegangan hidupnya, karena pengajaran pada masa kanak-kanak masih mudah, karena otak si anak masih jernih.
4.    Metode pengajaran
Menurut Ibnu khaldun bahwa mengajarkan pengetahuan kepada pelajar hanyalah akan bermanfaat apabila dilakukan dengan berangsur-angsur, setapak demi setapak dan sedikit demi sedikit. Pertama-tama ia harus diberi pelajaran tentang soal-soal mengenai setiap cabang pembahasan yang dipelajarinya. Keterangan-keterangan diberikan harus secara umum, dengan memperhatikan kekuatan pikiran pelajar dan dengan kesanggupannya memahami apa yang diberikan kepadanya. Apabial dengan jalan itu seluruh pembahasan pokok telah dipahami, maka ia telah memperoleh keahlian dalam cabang ilmu pengetahuan tersebut, tetapi itu baru sebagian keahlian yang belum lengkap. Ssedangkan hasil keseluruhan dari keahliannya itu adalah ia memahami pembahasan pokok itu seluruhnya dengan segala seluk-beluknya. Untuk itu jika pembahasan yang pokok itu belum dicapai dengan baik, maka harus diulanginya kembali hingga dikuasai benar.
Padahal jika kita menyaksikan fenomena pendidikan saat ini, maka kita lihat banyak guru-guru dari generasi kita ini yang tidak tahu sama sekali tentang cara-cara mengajar, akibatnya guru memberikan kepada pelajar sejak semula adalah masalah-masalah yang sukar dan menuntutnya supaya memecahkan masalah-masalah tersebut.
Dalam hubungannya mengajarkan ilmu kepada anak didik, Ibnu Khaldun menganjurkan agar para guru mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak didik dengan metode yang baik dan mengetahui faedah yang dipergunakannya dan seterusnya. Ibnu Khaldun lebih lanjut mengemukakan kesulitan yang dihadapi para pelajar yang dijumpainya. Kesalahan tersebut disebabkan karena para pendidik tidak menguasai ilmu jiwa anak. Menurutnya seseorang yang dahulunya diajarkan denga kasar, keras, cacian, akan dapat mengakibatkan gangguan jiwa pada si anak. Anak yang demikian cenderung menjadi pemalas dan pendusta, murung dan tidak percaya diri serta berpengarai busuk, mengemukakan sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya yang disebabkan ia merasa takut dipukul.
Sejalan dengan pemikirannya itu, Ibnu khaldun menganjurkan agar pendidik bersikap sopan dan dan halus pada muridnya. Hal ini termasuk juga sikap orang tua terhadap anaknya, karena orang tua adalah pendidik yang utama. Selanjutnya jika keadaan memaksa harus memukul si anak, maka pukulan tersebut tidak boleh lebih dari tiga kali.
5.      Cara memperoleh Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan menurut Ibnu Khaldun merupakan kemampuan manusia untuk membuat analisis dan sintesis sebagai hasil dari proses berpikir. Proses berpikir seperti ini disebut ibnu Khaldun sebagai af’idah (jamak dari fu’ad). Ada tingkatan proses berpikir menurut Ibnu Khaldun. Tingkatan yang pertama disebut al-aql al-tamyizi yaitu pemahaman intelektual manusia terhadap segala sesuatu yang ada di luar alam semesta dalam tatanan alam yang berubah, dengan maksud supaya manusia mampu menyeleksinya dengan kemampuannya sendiri.
Tingkatan kedua disebut al-aql al-tajribi, yaitu pikiran yang memperlengkapi manusia dengan ide-ide dan perilaku yang dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang lain. Bentuk pemikiran seperti ini kebenyakan berupa apersepsi (tashdiq) yang dicapai manusia melalui pengalaman, hingga benar-benar dirasa manfaatnya.
Tingkatan ketiga disebut al-aql al-nazhari, yaitu pikiran yang memperlengkapi manusia dengan pengetahuan (‘ilm) atau pengetahuan hipotesis (dzann) mengenai sesuatu yang berada di belakang persepsi indra tanpa tindakan praktis yang menyertainya.
Dengan tiga tingkatan cara memperoleh ilmu pengetuan tersebut, Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan dalam dua kategori, yaitu al-ulum al-aqliyyah dan al-ulum al-naqliyyah. Al-ulum al-aqliyyah bersifat alami (thabi’i) yang diperoleh manusia melalui kemampuan berpikirnya. Inilah ilmu-ilmu hikmah falsafi yang menjadi milik semua peradaban manusia. Ilmu-ilmu ini mencakup empat ilmu pokok, yaitu logika, fisika, metafisika, dan matematika.
Adapun al-ulum al-naqliyyah bersifat wadh’I (berdasarkan otoritas syariat) yang dalam batas-bats tertentu, akal tidak mendapat tempat. Ilmu-ilmu ini mencakup ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu qira’at, ilmu ushul fiqh dan fiqh,ilmu kalam, tasawuf dan berbagai ilmu alat yang menyertainya seperti ilmu bahasa, ilmu nahwu, ilmu balaghah, dan lain-lain.
6.      Tujuan Pendidikan
Fathiyyah Hasan Sulaiman dalam Pandangan Ibnu Khaldun tentang ilmu dan pendidikan menyebutkan bahwa tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah:
1)      Memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktifitas penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu, yang pada gilirannya kematangan individu ini bermanfaat bagi masyarakat.
2)      Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan, sebagai alat yang membantu manusia agar dapat hidup dengan baik, dalam rangka terwujudnya masyarakat yang maju dan berbudaya.
3)      Memperoleh lapangan pekerjaan yang dapat digunakan untuk mencari penghidupan.

Dari tujuan di atas, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa “ pendidikan atau ilmu dan mengajar merupakan suatu kemestian dalam membangun masyarakat manusia. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa maksud pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah mentransformasikan nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk dapat mempertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan adalah upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis. Inilah kiranya tujuan utama pendidikan menurut Ibnu Khaldun. Dalam konteks ini, Ibnu Khaldun telah memandang pendidikan sebagai bagian dari proses peradaban manusia.


















[1] Ali Abdullah Wafi,  Ibnu  Khaldun, Riwayat  dan  Karyanya,  (Jakarta:  Temrint,  1985), hlm.5
[2] NJ. Dawood, “The Muqaddimah an introduction to History” dalam Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 171
[3] Fachry Ali, “Realitas manusia: Pandangan Sosiologis Ibnu Khaldun” dalam Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 173

[4]  Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi aksara, 1991, hlm.91
[5] Ibid, hlm.155

No comments:

Post a Comment