Monday, April 6, 2015

PENDIDIKAN ISLAM MENURUT IMAM AL-GHAZALI




MOH.KAMILUS ZAMAN Spd.I (085755107987)
 

BAB I
PENDAHULUAN

I.I. Latar Belakang
Pendidikan Islam merupakan salah satu ilmu yang perlu dititik beratkan. Berbagai jenis kitab fiqh, tauhid, tafsir, hadith, ilmu-ilmu ‘ulum, sirah nabawi, akhlak, balaghah dan bahasa Arab telah ditulis oleh para ulama. Antara tokoh-tokoh ilmu Pendidikan Islam seperti Ibnu Maskawaih, al-Qabisi, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Ibnu Shahnun, Al-Ghazali dan masih banyak lagi. Dalam makalah ini hanya kami bahas secara singkat model pemikiran pendidikan Islam menurut pemikiran Al-Ghozali saja.
Al-Ghazali merupakan tokoh filosof Islam yang terkenal bukan hanya dalam kalangan umat Islam tetapi juga terkenal dikalangan orang non Islam.Kehebatan al-Ghazali telah memberi kesan mendalam di jiwa umat Islam dari segi pemikiran, budi pekerti, dan pendidikan. Keilmuannya sangat meluas dalam berbagai bidang ilmu terutama dalam bidang falsafah, akidah, fiqh, ilmu kalam, tasawuf, pendidikan, politik dan sebagainya. Serta dengan berbagai karya tulis ilmiah yang dikarangnya.
Makalah ini akan membahas mulai dari biografi al-Ghazali, latar belakang pendidikan, karya-karya yang dikarang oleh beliau dan model pemikiran pendidikan menurut beliau. Dalam kurikulum Pendidikan Islam pula menyentuh tujuan pendidikan, tugas dan tanggungjawab guru dan pelajar, metode yang disarankan dan digunakan oleh al-Ghazali.



I.II. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Siapa itu imam ghozali?
2.      Bagaimana pemikiran Al Ghozali tentang pendidikan ?
a.       Peranan pendidikan
b.      Tujuan pendidikan
c.       Pendidik
d.      Murid
e.       Kurikulum
f.       Metode pendidikan
g.      Hadiah Dan Hukuman Menurut Pandangan Al-Ghozali.
h.      Pendapat Ghozali tentang Mendidik Anak.
3.      Bagaimana Relevansi antara pendikan menurut imam ghozali dan pendidikan nasional?

I.III. Tujuan Penulisan
Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini selain untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Studi Al – Qur’an, tapi juga bertujuan diantaranya :
1.      Mengetahui siapa itu imam Ghozali.
2.      Menetahui pemikiran Al Ghozali tentang pendidikan.
a.       Peranan pendidikan
b.      Tujuan pendidikan
c.       Pendidik
d.      Murid
e.       Kurikulum
f.       Metode pendidikan
g.      Hadiah Dan Hukuman Menurut Pandangan Al-Ghozali.
h.      Pendapat Ghozali tentang Mendidik Anak.
3.      Mengetahui Relevansi antara pendikan menurut imam ghozali dan pendidikan nasional.
















BAB II
PEMBAHASAN

II.1 BIOGRAFI  AL-GHAZALI

II.II PEMIKIRAN PENDIDIKAN MENURUT AL GHOZALI
A.    Peranan pendidikan
Al-ghazali termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya.
Dalam masalah pendidikan al-ghazali lebih cenderung berpaham empirisme. hal ini antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya seorang anak tergantung kepada orang tua dan anaknya yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih, murni, laksana permata yang amat berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun. Hal ini sejalan dengan pesan Rasulullah SAW yang menegaskan : “bahwa setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan bersih, kedua orang tuanya lah yang menyebabkan anak itu menjadi penganut Yahudi, Nasrani atau Majusi (H.R. Muslim).
Al-ghazali mengatakan jika anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup yang baik, maka anak itu menjadi baik. Sebaliknya jika anak itu dibiasakan melakukan perbuatan buruk dan dibiasakan kepada hal-hal yang jahat, maka anak itu akan berakhlak jelek. Pentingnya pendidikan ini di dasarkan pada pengalaman hidup al-ghazali sendiri, yaitu sebagai orang yang tumbuh menjai ulama besar yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan, yang disebabkan karena pendidikan.[1]

B.     Tujuan pendidikan
Al-ghazali mempunyai pandangan berbeda dengan kebanyakan ahli filsafat pendidikan islam mengenai tujuan pendidikan. Beliau menekankan tugas pendidikan adalah mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dimana fadhilah (keutamaan) dan taqarrub kepada Allah merupakan tujuan yang paling penting dalam pendidikan. Sesuai penegasan beliau : “ Manakala seorang ayah menjaga anaknya dari siksaan dunia hendaknya ia menjaganya dari siksaan api neraka / akhirat, dengan cara mendidik dan melatihnya serta mengajarnya dengan keutamaan akhirat, karena akhlak yang baik merupakan sifat Rasulullah SAW dan sebaik-baik amal perbuatan orang-orang yang jujur, terpercaya, dan merupakan realisasi dari pada buahnya ketekunan orang yang dekat kepada Allah.”
Selanjutnya beliau mengatakan : ”wajiblah bagi seorang guru untuk mengarahkan murid kepada tujuan mempelajari ilmu, yaitu taqarrub kepada Allah bukannya mengarah kepada pimpinan dan kemegahan” Sebab-sebab yang mendorong Al-ghazali sangat memperhatikan tujuan keagamaan ialah karena pada waktu kerusakan akhlak orang banyak telah merajalela (yang ditimbulkan oleh gerakan yang merusak) agama seperti gerakan yang dipimpin oleh Al-Hasan bin Shabah.
Al-ghazali telah menjelaskan tentang tujuan sistem pendidikan dengan menerangkan tentang berbagai ilmu yang wajib dipelajari oleh murid, yang sesuai dengan kurikulum pengajaran masa kini dan juga mungkin metode-metode mengajar yang harus diikuti oleh guru dalam mendidik anak dan dalam menyajikan ilmu pengetahuan kepada murid sehingga menarik minat dan perhatian mereka serta sesuai dengan kecenderungan mereka. [2]
Tujuan pendidikan islam dapat diklasifikan kepada tiga, yaitu : (1) tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah, (2) tujuan utama pendidikan islam adalah pembentukan akhlaq karimah, (3) tujuan pendidikan islam islam adalah mengantarkan pada peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tujuan pendidikan (jangka pendek) menurut al-ghazali ialah diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Syarat untuk mencapai tujuan itu, manusia harus memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai dengan bakat yang dimilikinya.
Berhubungan dengan jangka pendek, yaitu terwujudnya kemampuan manusia untuk melaksanakan tugas-tugas keduniaan dengan baik, al-ghazali menyinggung masalah pangkat, kedudukan, kemegahan, popularitas, dan kemuliaan dunia secara naluri. Semua itu bukan menjadi tujuan dasar seseorang yang melibatkan diri dalam dunia pendidikan.
Adapun tujuan pendidikan (jangka panjang), menurut ghazali adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan, kegagahan, atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan uang. Jika tujuan pendidikan bukan diarahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan.[3]
C.  Pendidik
Sejalan pentingnya pendidikan mencapai tujuan sebagaimana yang telah disebutkan, al-ghazali juga menjelaskan tentang ciri-ciri pendidik yang boleh melaksanakan pendidikan. Ciri-ciri tersebut adalah :
a.       Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri
b.      Guru jangan mengharapkan materi (upah) sebagai tujuan utama dari pekerjaannya (mengajar), karena mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan upahnya adalah terletak pada terbentuknya anak didik yang mengamalkan ilmu yang di ajarkannya.
c.       Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau mencari keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah
d.      Guru harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia dan akhirat
e.       Di hadapan muridnya, guru harus memberikan contoh yang baik, seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah hati dan berakhlak terpuji lainnya.
f.       Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual  dan daya tangkap anak didiknya.
g.      Guru harus mengamalkan yang diajarkannya, karena ia menjadi idola dimata anak didiknya
h.      Guru harus memahami minat, bakat, dan jiwa anak didiknya, sehingga disamping tidak akan salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dan anak didiknya
i.        Guru harus dapat menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya, sehingga akal pikiran anak didik tersebut akan dijiwai keimanan itu.[4]
D.      Murid
Murid atau anak didik yang mengikuti pendidikan menurut al-ghazali harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
a)      Memuliakan guru dan bersikap rendah hati atau tidak takabbur
b)      Merasa satu bangunan dengan murid lainnya sehingga merupakan satu bangunan yang saling menyayangi, menolong dan saling kasih sayang
c)      Menjauhkan diri dari mempelajari berbagai madzhab yang dapat menimbulkan kekacauan dalam pikiran
d)     Tidak hanya mempelajari satu jenis ilmu yang bermanfaat saja, melainkan berbagai ilmu dengan berupaya sungguh-sungguh guna  mencapainya.
E.     Kurikulum
Secara tradisional kurikulum berarti mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah pengetahuan agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Kurikulum tersebut disusun agar dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Pandangan ghozali tentang kurikulum dapat dipahami dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan. Ia membagi ilmu pengetahuan kepada yang terlarang dan yang wajib dipelajari oleh anak didik menjadi tiga kelpmpok yaitu :
a.       Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit. Ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi manusia di dunia dan di akhirat, misalnya ilmu sihir, nujum dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudarat dan akan meragukan terhadap kebenaran adanya tuhan. Oleh karena itu ilmu ini harus di jauhi.
b.      Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit. Misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama. Ilmu ini bila dipelajari akan membawa seseorang kepada jiwa yang suci, bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah.
c.       Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena ilmu ini dapat membawa kegoncangan iman dan ilhad (meniadakan Tuhan) seperti filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, al-ghazali membagi lagi ilmu tersebut menjadi dua kelompok, ilmu dilihat dari segi kepentingannya, yaitu :
1)      Ilmu yang wajib yang diketahui oleh semua orang, yaitu ilmu agama, ilmu yang bersumber pada kitab Allah.
2)      Ilmu yang hukummempelajarinya fardhu kifayah, yaitu ilmu yang digunakan untuk memudahkan urusan duniawi seperti ilmu hitung, ilmu kedokteran, ilmu teknik,ilmu pertanian dan industri.[5]

F.       Metode pendidikan
Metode pendidikan diklasifikasikan al-ghazali menjadi dua bagian :
Pertama, metode khusus pendidikan Agama, metode khusus pendidikan agama ini memiliki orientasi terhadap pengetahuan aqidah karena pendidikan agama pada realitasnya lebih sukar dibandingkan dengan pendidikan lainnya, karena pendidikan agama menyangkut problematika intuitif dan lebih menitikberatkan kepada pembentukan personality peserta didik. Dengan demikian pendidikan akal yang kohesif pada diri peserta didik selama dalam proses pendidikan akan dapat dikendalikan, sehingga bukan hanya mementingkan rasio, rasa, berpikir sebenar-benarnya tanpa dzikir. Tetapi peserta didik yang memiliki kepribadian yang kamil. Dengan demikian, agama bagi peserta didik menjadi pembimbing akal. Dari sinilah kemudian letak kesempurnaan hidup manusia dalam keseimbangan.
Kedua, metode khusus pendidikan Akhlak, Al-ghazali mengungkapkan :” Sebagaimana dokter, jikalau memberikan pasiennya dengan satu macam obat saja, niscaya akan membunuh kebanyakan orang sakit, begitupun guru, jikalau menunjukkan jalan kepada murid dengan satu macam saja dari latihan, niscaya membinasakan hati mereka. Akan tetapi seyogyanyalah memperhatikan tentang penyakit murid, tentang keadaan umurnya, sifat tubuhnya dan latihan apa yang disanggupimya. Berdasarkan yang demikian itu, dibina latihan”. Dan berikutnya jika guru melihat murid yang sombong, keras kepala dan congkak maka suruhlah ia ke pasaruntuk meminta-minta. Sesungguhnya sifat bangga diri egois tidak akan hancur selain dengan sifat mandiri.
Dari keterangan tersebut, al-ghazali menegaskan bahwa untuk membuat diagnosis dan melakukan perbaikan akhlak tercela anak adalah dengan  menyuruhnya melakukan perbuatan sebaliknya. Layaknya bila badan sakit obatnya ialah dengan cara menurunkan panas atau obatnya ialah membuang penyakiy itu.[6]
G.                Pendapat Ghozali tentang Mendidik Anak
Al-ghazali mengingkari teori heroditas (faktor keturunan), yang oleh pendidikan modern akhir-akhir ini banyak diperhatikan dan dipandang penting namun hal ini Al-ghazali tidak antusias dalam menganalisa masalah ini. Pada hal ini nampak nampak jelas kepada kita bahwa ilmu jiwa modern  dengan pandangan barunya menganggap penting tentang teori heroditas ini, dan menetapkan sebagai suatu faktor yang berpengaruh. Sedang al-ghazali berpendapat lain, yaitu bahwa anak dilahirkan tanpa dipengaruhi oleh sifat-sifat heriditer kecuali hanya sedikit sekali, karena faktor pendidikan, limgkungan dan masyarakat merupakan faktor yang paling kuat mempengaruhi sifat-sifat anak. Pendapat beliau ini sejalan dengan pendapat para ahli psikologi yang mengingkari adanya pengaruh faktor keturunan.
Sebenarnya Al-ghazali dalam pendapat-pendapatnya yang mengaitkan dengan pengaruh faktor keturunan dan lingkungan itu telah mendahului para ahli ilmu jiwa dan pendidikan berabad-abad sebelumnya. Pendapat beliau ini diperkuat oleh kedalaman pengaruh agama yang beliau analisa mengenai pembentukan akhlak anak, atas dorongan keinginan beliau menjaga anak dari dampak lingkungan, maka beliau membuat program khusus untuk pendidikan anak.
H.      Hadiah Dan Hukuman Menurut Pandangan Al-Ghozali.
Sebelum lebih jauh dalam membahas masalah hadiah dan hukuman, Al-Ghozali membagi alat pendidikan langsung menjadi dua komponen; alat pendidikan preventif dan alat pendidikan kuratif. Namun pembahasan tentang hadiah dan hukuman hanya kita batasi pada alat pendidikan kuratif. Karena keduanya termasuk dalam kategori alat pendidikan kuratif.
Dalam alat pendidikan langsung kuratif Al-Ghozali mengkalsifikasikannya lagi menjadi beberapa kategori sebagai berikut :
1.Peringatan.
2.Teguran.
3.Sindiran.
4. Ganjaran dan,
5. Hukuman.
Seperti yang telah dijelaskan pada subtema diatas, pembahasan hanya mengenai hadiah dan hukuman maka, yang akan kita kaji hanya pada alat pendidikan kuratif yang pada urutan keempat (ganjaran/hadiah) dan kelima(hukuman).
1.      Ganjaran Atau Hadiah.
Ganjaran atau hadiah menjadi salah satu alat pendidikan yang diberikan kepada peserta didik sebagai imbalan atas prestasi atau tugas yang tela ia selesaikan dengan baik sehingga hasil yang diharapkan oleh pendidik tercapai.
Dalam hal ini al-Ghozali menjelaskan sebagai berikut :
“ kemudian sewaktu-waktu pada si anak telah nyata budi pekerti yang baik dan perbuatan yang terpuji maka seyoyanya ia dihargai, dibalas dengan sesuatu yang menggembirakan dan di puji di hadapan orang banyak (diberi hadiah)”.
Dari keterangan diatas dapat dipahami bahwa menurut Al-Ghozali ada tiga macam ganjaran yang di berikan kepada peserta didik, yaitu:
a.       Penghormatan (penghargaan), baik menggunakan kat-kata maupun isyarat.
Adapun yang dimaksud dengan penghormatan lewat kata-kata, misalnya, ucapan baik, bagus sekali, pintar, dan kata-kata lain yang mengandung makna penghormatan. Selanjutnya, penghormatan dengan cara isyarat, bisa seperti, menganggukkan kepala, mengacungkan jempol, tepuk tangan, menepuk bahu dan lain-lain.
b.      Hadiah, yaitu ganjaran yang berupa pemberian sesuatu/ materi yang bertujuan untuk menggembirakan hati anak. Hadih tidak perlu berupa barang yang mahal harganya yang penting pantas saja. Sebaiknya hadiah jangan terlalu sering diberikan, dan hanya melihat kondisi yang pantas saja, misalnya pada anak yang orang tuanya kurang mampu tapi berprestasi.
c.       Pujian di hadapan orang banyak.
Hadiah yang berupa pujian ini dapat diiberikan dihadapan teman-teman sekelas satu sekolahan ataupun di hadapan teman-teman dan orang tua/wali murid, seperti pada waktu penerimaan rapor atau kenaikan kelas.
Pada dasarnya, secara didaktis, ganjaran/hadiah ataupun beserta segala macamnya yang dibahas oleh Al-Ghozali tersebut, telah menjadi acuan dan anutan oleh pakar ahli pendidikan. Bahkan menurut istilah didaktik, hadiah sebagai “fungsi reinforcement” atau fungsi penguatan yang akan lebih mendorong peserta didik untuk lebih giat dan meningkatkan prestasi yang pernah ia capai.
2.      Hukuman
Hukuman ialah suatu perbuatan sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa pada orang lain dengan tujuan untuk memperbaiki atau melindungi dirinya sendiri dari kelemahan jasmani dan rohani,sehingga terhindar dari segala macam pelanggaran.
Dalam hal ini Al-Ghazali tidak sependapat dengan orang tua dan pendidik yang dengan cepat-cepat sekaligus memberi hukuman terhadap anak-anak yang berlaku salah dan melanggar peraturan. Hukuman adalah hukuman yang paling aqir apabila teguran, peringatan,
dan nasihat-nasihat belum bisa mencegah anak melakukan pelaggaran. Demikian itu harus melalui proses untuk memberi hukuman yang secara terinci
dijelaskan oleh Al-Ghazali :
“kalau anak itu satu kali menyimpang dari budi dan perbuatan baik tersebut dalam satu keadaan, maka sebaiknya orang tua pura-pura lupa dari hal itu dan tidak membuka rahasianya, tidak menjelaskan sianak bahwa tergambarlah keberanian orang lain untuk melakukan perbuatan seperti itu. Sianak itu itu sendiri akan menutup rahasia dirinya dengan sungguh-sungguh, sebab membuka rahasia yang demikian, mungkin menyebabkan ia berani (berbuat kagi) sampai ia tidak dipedulikan lagi biarprpun dibukakan rahasianya”.
Pada tahap pertama, anak diberi kesempatan untuk memperbaiki sendiri kesalahannya, sehingga ia mempunyai rasa kepercayaan terhadap dirinya kemudian ia merasakan akibat perbuatannya tersebut. Akhirnya ia sadar dan insaf terhadap kesalahannya dan berjanji dalam hatinya tidak akan mengulangi kesalahannya.
Apabila dalam tahap pertama ini belum berhasil maka dilanjutkan tahap yang kedua, yaitu berupa teguran, peringatan, dan nasihat-nasiahat sebagaimana penjelasan Al-Ghazali .
“maka dalam tindakan yang demikian kalau si anak masih kembali lagi berbuat tidak baik untuk kedua kalinya, maka sebaiknya ia tegur dengan sembunyi dan persoalan itu dianggap besar (akibatnya) terhadap anak itu. Kepadanya dikatakan awas setelah ini engkau jangan berbuat sepertt ini lagi ya, kalau sampai ketahuan engkau berbuat demikian, rahasiamu akan diberitahukan kepada orang banyak. Selanjutnyya setiap kali orang tua menegur anak, janganlah banyak bicara dengan hal ini, sebab banyak bicara disini akan menyebabkan si anak enteng mendengar celaan, menganggap mudah melakukan kejahatan-kejahatan dan perkataan (nasihat) itu tidak meresap dalam hati si anak”.
Pada tahap yang kedua ini apabila masih belum berhasil, maka Al-Ghozali memperbolehkan untuk memberikan hukuman kepada anak anak denagan cara yang seringan-ringannya dan tidak terlalu menyakitkan badannya.
II.III    PENDIDIKAN NASIONAL DAN PENDIDIKAN MENURUT AL GHOZALI
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar Negara republic Indonesia tahun 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman, untuk mewujudkan cita- cita ini, diperlukan pejuangan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dalam pendidikan nasional mempunyai tujuan yang tertera dalam UU 20/2003 pasal 3 yaitu tentang sistem pendidikan nasional. Didalamnya disebutkan bahwa ‘ pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembanya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berlimu, cakap kreatif mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan nasional diatas juga tidak banyak berbeda dengan tujuan pendidikan yang disebutkan oleh imam Ghozali, meskipun imam ghozali lebih menekankan pada agama dan syariah karena lebih mendekatkan manusia kepada tuhannya. Tujuan pendidikan menurut imam Ghozali yaitu lebih mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dimana fadhilah (keutamaan) dan taqorrub kepada Allah merupakan tujuan yang paling penting dalam pendidikan.
Imam ghozali Ghozali juga merumuskan tujuan pendidikan dalam jangka pendek dan jangka panjang, yang diman jangka pendek adalah diraihnya profesi manusia sesuai dengan kemampuannya, dan untuk mencapai tujuan itu terdapat syarat yaitu harus memanfaatkan dan mengembangkan  ilmu pengetahuan sesuai bakatnya masing-masing.
Sedangkan dalam jagka panjang itu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan, kegagahan, atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan uang. Jika tujuan pendidikan bukan diarahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan.
Sistem pendidikan nasional pada saat ini beda dengan dengan sistem yang di ungkapkan oleh imam Ghozali, yang dimana sistem pemerintahan saat ini kurang baik dan cenderung lebih bersifat parsial, juga  sering terjadi pergantian pemimpin yang sehingga mengakibatkan sering terjadi pergantian kurikulum. Hal semacam itulah yang menjadi perbedaan antara pendidikan nasional dengan pendidikan oleh imam Al Ghozali.
Karakteristik kurikulum saat ini nampak kurang bersifat progresif, rumusannya masih berkisar menjawab persoalan kekinian yang terjadi, dan belum mampu memeprediksikan persoalan dalam jangka waktu lima atau sepuh tahun yang akan datang, sedangkan dinegara-negara maju kurikulumnya bersifat progresif karena bersifat antisipatif terhadap tantangan kehidupan dalam jangka panjang.[7]
Memang adanya pergantian kurikulum merupakan suatu terobosan yang diharapkan menjadi kegembiraan dalam aspek kurikulum, namun harapan itu nampaknya masih jauh untuk terwujud. Dengan adanya kurikulum baru tidak serta merta memberikan perubahan secara drastis. Justru adanya kurikulum baru membawa masalah tersendiri, desain kurikulum baru tidak mudah untuk di implementasikan. Banyak kendala yang harus dihadapi untuk mengimplementasikannya. Banyak kalangan yang belum memiliki kesiapan yang memadai untuk mengimplementasikannya.
Memang kurikulum dibuat dengan sesungguhnya, berusaha untuk mengikuti tuntutan tantangan baru, tetapi substansi, metode, setrategi dan capaian yang dilakukan masih mengikuti standart kurikulum lama. Sehingga secara umum belum banyak perubahan yang terjadi
Adapun pandangan imam ghozali tentang kurikulum yaitu dengan membagi ilmu pengetahuan kepada yang terlarang dan ilmu pengetahuan yang diwajibkan untuk dipelajari murid-muridnya. Antara lain missal:
1.      Ilmu pengetahuan tersebut jika dipelajari akan timbul mudharat dan menjadikan keraguan terhadap adanya tuhan, maka diperintahkan untuk menjauhi ilmu tersebut.
2.      Jika ilmu yang dipelajari akan menimbulkan kesucian jiwa dan mendekatkan diri kepada-Nya, maka ilmu tersebut diwajibkan untuk dipelajari.
3.      Dan membatasi ilmu yang terpuji untuk diperdalam, karena dikhawatirkan akan menggoncang iman iman dan ilhad (meniadakan Tuhan), seperti filsafat.
Dari beberapa hal di atas, imam ghozali membagi ilmu lagi menjadi dua kelompok. Yakni:
3)      Ilmu yang wajib yang diketahui oleh semua orang, yaitu ilmu agama, ilmu yang bersumber pada kitab Allah.
4)      Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu kifayah, yaitu ilmu yang digunakan untuk memudahkan urusan duniawi seperti ilmu hitung, ilmu kedokteran, ilmu teknik,ilmu pertanian dan industri.
Sistem Pendididikan nasional berbeda dengan pendidikan oleh imam ghozali, pada pendidikan nasional penekanan pada proses belajar mengajar memang kreatif, akan tetapi sayangnya evaluasi belajar mengajar hanya melalui ujian nasional yang tetap menitik beratkan pada hasil. Hal semacam itu tidak ada dalam pemikiran pendidikan yang dikemukakan oleh imam Al- Ghozali.























BAB III
PENUTUP

III.I     KESIMPULAN


























DAFTAR PUSTAKA

1.       Nata, Abuddin Nata,MA, filsafat pendidikan islam 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,1997,
2.      Al-jumbulati Ali, Abdul futuh At-tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta:PT. RINEKA CIPTA,
3.      Syar’I Ahmad, filsafat Pendidikan Islam, Jakarata : Pustaka Firdaus,2005
4.      Nizar Samsul,filsafat pendidikan islam, Jakarta:Ciputat Press,2002
5.      Naim Ngainun,  rekontruksi pendidikan nasional {membangun paradigma yang mencerahkan} yogyakrta: TERAS, Yogyakarta.




[1] Drs. H. Abuddin Nata,MA, filsafat pendidikan islam 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,1997,hlm.161
[2] Ali Al-jumbulati, Abdul futuh At-tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta:PT. RINEKA CIPTA,hlm.134
[3] Dr. H. Samsul Nizar,filsafat pendidikan islam, Jakarta:Ciputat Press,2002,hlm.87
[4] H. Ahmad Syar’i, filsafat Pendidikan Islam, Jakarata : Pustaka Firdaus,2005,hlm.99
[5] Ibid,hlm.166
[6] Ibid,hlm.101
[7] ) Ngainun naim, rekontruksi pendidikan nasional (membangun paradigm yang menceahkan), Yogyakarta, TERAS,2009 hal 34.

No comments:

Post a Comment