BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan salah satu agama samawi
yang dibawa oleh Muhammad saw untuk disampaikan dan diajarkan kepada seluruh
umat manusia. Dalam doktrin ajaran Islam yang syamil (komprehensif) menjelaskan
semua aspek baik yang berhubungan dengan kehidupan dunia maupun kehidupan
akhirat atau pun segala sesuatu yang akan dikerjakan oleh manusia untuk jangka
pendek, menengah, dan jangka panjang. Untuk melakukan pekerjaan harus
terencana, terukur dan terarah, sebagai pengejewantahan nilai-nilai Islam. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa sesuatu yang akan dikerjakan haruslah terprogram
tidak boleh asal-asalan. Oleh sebab itu Islam memberikan tatanan “nilai
pengelolaan” mulai dari urusan yang terkecil sampai yang terbesar, mulai dari
mengurus diri sendiri (keluarga) hingga mengurus masyarakat, mulai dari
mengurus kehidupan berumah tangga sampai dengan mengurus negara dalam bingkai
sebuah manajemen agar tujuan yang hendak dicapai melalui visi dan misi bisa
diraih dan bisa selesai secara efisien dan efektif.
Tujuan pertama reformasi pendidikan
adalah membangun suatu sistem pendidikan nasional yang lebih baik, lebih
mantap, dan lebih maju dengan mengoptimalkan dan memberdayakan semua potensi
dan partisipasi masyarakat. Sebab pendidikan merupakan struktur pokok yang
memberikan fasilitas bagi warga masyarakat untuk bisa menentukan barang dan
jasa apa yang diperlukan.[1] Bahkan secara makro, pendidikan merupakan
“jantung” sekaligus “tulang punggung” masa depan bangsa dan negara,[2] bahkan keberhasilan suatu bangsa sangat
ditentukan oleh keberhasilan dalam memperbaiki dan memperbarui sektor
pendidikan.[3]
Sedangkan di sisi yang lain, sistem pendidikan Islam merupakan suatu kawah
candradimuka pembentuk manusia sempurna sebagai fondasi awal dalam pembangunan
peradaban madani,[4] dan mewujudkan rahmat bagi seluruh umat
manusia.[5] Dengan demikian, pendidikan tersebut
dilakukan manusia dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan taraf hidupnya,
melalui proses pendidikan diharapkan manusia menjadi cerdas atau memiliki
kemampuan, yang biasa dikenal dengan istilah skill dalam menjalani
kehidupannya.[6]
Problema
pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini, tanpa terkecuali
pendidikan Islam di antaranya adalah: 1) masih rendahnya pemerataan memperoleh
pendidikan, 2) masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan; 3) masih lemahnya
manajemen pendidikan, di samping belum terwujudnya keunggulan ilmu pengetahuan
dan teknologi di kalangan akademisi dan kemandirian. Berbagai usaha telah
dilakukan untuk mengatasi masalah pendidikan lebih khusus pendidikan Islam,
misalnya penggantian kurikulum nasional dan lokal dari kurikulum 2006 atau yang
lebih dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi kurikulum
2013, namun dengan melalui penggantian kurikulum ini bukannya menyelesaikan
permasalahan pendidikan tapi justru malah menambah permasalahan baru dalam
pendidikan di negeri ini. Usaha selanjutnya dalam mengatasi problema pendidikan
yaitu peningkatan kompetensi dan konvensasi guru melalui pelatihan dan
sertifikasi, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana
dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah.
Terlebih dalam pengelolaan pendidikan
Islam yang merupakan salah satu segi penopang kehidupan yang urgen untuk
membangun peradaban dan menjadikan manusia yang lebih baik dan berkarakter
serta penuh dengan “keridhaan” Tuhan. Pengelolaan pendidikan Islam yang
profesional dan bermutu bukan merupakan hal yang mudah bagi seseorang atau
lembaga pendidikan di negeri ini.
Dunia
pendidikan Islam merupakan tempat yang penuh dengan liku-liku permasalahan yang
secara subtansial bisa dikatakan sebagai cawah candradimuka pemeras waktu,
tenaga, biaya dan pikiran dalam membentuk manusia yang paripurna. Oleh
sebab itu, yang paling inti di dalamnya adalah pola manajemen pengembangan
kelembagaan dan kependidikan yang akan menjadi barometer keberhasilan
pendidikan Islam itu sendiri dalam peningkatan mutunya.[7]
Namun demikian, berbagai indikator mutu
pendidikan Islam belum menunjukan peningkatan yang berarti. Sebagian mutu
pendidikan Islam di negeri ini, terutama di pulau Jawa, menunjukan peningkatan
mutu pendidikan yang cukup signifikan dan menggembirakan, namun sebagian mutu
pendidikan Islam lainnya yang berada di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua serta
daerah lainnya masih memprihatinkan. Secara fungsional, pendidikan Islam pada
dasarnya ditujukan untuk memelihara dan mengembangkan manusia seutuhnya (insan
kamil) yakni manusia berkualitas sesuai dengan pandangan Islam.[8]
Mengkaji dan
mengembangkan pendidikan Islam untuk melahirkan manusia-manusia unggul (insan
kamil) dengan berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Sunnah (selain nalar juga
wahyu)[9] merupakan suatu bentuk kemutlakan pada ranah teoritis-normatif
maupun aplikatif-normatif. Artinya, al-Qur’an dan Sunnah merupakan nilai
normatif yang “harus” dijadikan sebagai kerangka yang bermuara pada pandangan
hidup, sikap hidup, dan tujuan hidup yang semuanya harus bernapaskan Islam dan
dijiwai oleh ajaran-ajaran yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari
Budaya Mutu PAI ?
2. Bagaimana proses
Budaya Mutu PAI ?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian dari Budaya Mutu PAI.
2.
Untuk mengetahui proses Budaya Mutu PAI.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Budaya
Mutu PAI
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, budaya (cultural) diartikan sebagai: pikiran;
adat istiadat; suatu yang sudah berkembang; sesuatu yang menjadi kebiasaan yang
sukar diubah.[10] Dalam pemakaian sehari-hari orang biasanya
mensinonimkan pengertian budaya dengan tradisi (tradition). Dalam hal
ini tradisi diartikan sebagai ide-ide umum, sikap dan kebiasaan dari masyarakat
yang nampak dari perilaku sehari-hari yang menjadi kebiasaan dari kelompok
dalam masyarakat tersebut.
Secara terminologi istilah mutu memiliki
pengertian yang cukup beragam, mengandung banyak tafsir dan pertentangan. Hal
ini disebabkan karena tidak ada ukuran yang baku tentang mutu itu sendiri.
Sehingga sulit kiranya untuk mendapatkan sebuah jawaban yang sama, apakah
sesuatu itu bermutu atau tidak. Namun demikian ada kriteria umum yang telah
disepakati bahwa sesuatu itu dikatakan bermutu, pasti ketika bernilai baik atau
mengandung makna yang baik. Secara esensial istilah mutu menunjukan kepada
sesuatu ukuran penilaian atau penghargaan yang diberikan atau dikenakan kepada
barang dan atau kinerjanya.[11]
Muhammad Hamid
An-Nashir dan Qullah Abdul Qadir Darwis mendefinisikan pendidikan Islam sebagai
proses pengarahan perkembangan manusia pada sisi jasmani, akal, bahasa, tingkah
laku, dan kehidupan sosial keagamaan yang diarahkan pada kebaikan menuju
kesempurnaan.[12] Sementara itu
Omar Muhammad At-Taumi Asy-Syaibani sebagaimana dikutip oleh M. Arifin,
menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku individu
dalam kehidupan pribadi atau kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan di alam
sekitarnya.[13]
Sedangkan
menurut Achmadi yang dimaksud dengan pendidikan Islam adalah segala usaha untuk
memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya yang ada padanya
menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam.[14]
Pendidikan Islam dalam wacana umum
merujuk pada tiga pengertian yang merupakan satu kesatuan, yaitu : Pertama,
pendidikan menurut Islam atau pendidikan Islami, yakni pendidikan yang dipahami
dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam
sumber dasarnya, yaitu al-Qur’an
dan as-Sunnah. Dalam pengertian ini, pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran
dan teori pendidikan yang mendasarkan diri atau dikembangkan dari sumber-sumber
dasar tersebut. Kedua, pendidikan keislaman atau pendidikan agama Islam yakni
upaya pendidikan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi
pandangan dan sikap hidup seseorang. Dalam pengertian yang kedua ini pendidikan
Islam dapat berujud: (a) segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu
lembaga tertentu untuk membantu seseorang atau sekelompok peserta didik dalam
menanamkan dan menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya, (b) segenap fenomena atau peristiwa
perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah tertanamnya dan
tumbuhkembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa
pihak. Ketiga, pendidikan dalam Islam atau proses dan praktik penyelenggaraan
pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam, baik Islam
sebagai agama, ajaran, maupun sistem
budaya dan peradaban sejak zaman nabi Muhammad saw sampai sekarang. Jadi dalam
pengertian ini istilah pendidikan Islam dapat dipahami sebagai pembudayaan dan
warisan ajaran agama, budaya, dan peradaban umat Islam dari generasi ke generasi
sepanjang sejarahnya.[15] Walaupun istilah pendidikan Islam dapat
dipahami dengan cara yang berbeda, namun pada hakikatnya merupakan satu
kesatuan dan mewujud secara operasional dalam satu sistem yang utuh.
Jadi secara
garis besar Budaya Mutu PAI adalah suatu kebiasaan dalam menilai perkembangan
individual atau kelompok secara rohani maupun jasmani sesuai ajaran dalam Al
Qur’an dan Hadis.
B. Proses Budaya Mutu
PAI
Indonesia merupakan negara yang
berpenduduk muslim terbesar di dunia. Pada dekade 1990an, Indonesia pernah
disebut-sebut sebagai sebuah negara yang akan memunculkan kembali kejayaan Islam.
Hal ini bukan
tidak mendasar, karena menurut beberapa penelitian yang mengangkat fenomena
islamisasi di kawasan ini sangat akseleratif bahkan berimbas pada skala makro
yaitu di Asia Tenggara.[16] Sayangnya yang dirasakan sampai sekarang
adalah bahwa pendidikan Islam baik secara kelembagaan, proses, maupun outputnya
belum menunjukan data yang menggembirakan.
Pada ranah institusional, banyak ditemui
lembaga pendidikan Islam yang secara fisik belum memadai atau layak secara
standar kualitas sarana dan prasarana. Walupun dalam penyelenggaraannya
diiringi motif dakwah dan penanaman ajaran Islam, namun masih jauh dari mutu
standar penyelenggaraan
pendidikan yang berkualitas. Jika dilihat dari prespektif manajemen, maka
pengelolaannya masih sangat konvensional. Implikasinya adalah kualitas output
yang ditelurkannya kurang atau bahkan jauh dari standar mutu pendidikan global.
Walupun pada tataran riil ada produk lembaga pendidikan Islam yang mungkin
melebihi kualitas sekolah umum, tetapi data ini belum representatif untuk
mewakili komunitas lembaga pendidikan Islam secara keseluruhan.
Berdasarkan data Human Development
Indexs Report 1999, melaporkan bahwa pembangunan pendidikan Islam di Indonesia masih tertinggal dari
negara-negara lain. Bahkan dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara,
kita berada diurutan 105, jauh di bawah Singapura (22), Brunai (25), Malaysia
(56), Thailand (67), dan Srilanka (90).[17] Sedangkan penelitian tahun 2000, peringkat
mutu pendidikan Indonesia menurun menjadi urutan ke-109.[18]
Hasil penelitian PBB (UNDP) tahun 2000 menunjukan bahwa kualitas sumber daya
manusia (SDM) Indonesia menduduki urutan ke-109 dari 174 negara yang diteliti.[19] Bahkan pada tahun 2009, Indonesia pun masih
menduduki urutan ke-111 dari 182 negara, atau sangat jauh dibandingkan dengan
negara tetangga.[20]
Dari deskripsi tersebut dapat
disimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia yang berpenduduk mayoritas beragama
Islam tertinggal jauh dibanding negara yang lainnya. Tentunya di dalamnya
termasuk pula pendidikan Islam di Indonesia. Hal ini perlu mendapatkan
perhatian serius pada lembaga pendidikan
Islam formal, maupun non formal untuk memainkan peran signifikan pada arah
pengelolaannya. Artinya
diperlukan manajemen yang bermutu dalam pengembangan lembaga pendidikan Islam
yang profesional sebagai jawaban atas problematika tersebut lebih-lebih dalam
konteks otonomi pendidikan dewasa ini.
Pengembangan Menuju
Budaya Yang Kuat[21]
Dapat
dikatakan suatu budaya mutu selama ini yang kita alami terdapat tiga tahapan
yang selalu ada. Tahapan ini menggambarkan bagaimana terjadi suatu perubahan
budaya mutu yang mengarah sesuai zamannya.Budaya mutu PAI sendiri jika kita
lihat dari masa ke masa mengalami banyak peningkatan hal ini dikarenakan proses
transisi yang diwarnai oleh banyak pemikiran dari intelektual Muslim sendiri.
1.
Budaya Mutu Lama (Current State) adalah budaya
mutu yang belum mengalami perubahan. Budaya mutu lama dalam PAI jika kita
kaitkan dalam proses pembelajaran bisa disebut pembelajaran konvensional. Namun
dalam pembelajaran PAI sendiri jangan sampai meninggalkan Budaya Mutu Lama
secara keseluruhan karena Islam sendiri sangat mengajarkan kita bagaimana
mempertahankan tradisi lama yang dianggap sebagai ajaran murni islam. Contohnya
dahulu jika kita lihat dalam pembelajaran tingkatan keberhasilan mutu
pembelajaran itu dinilai berdasarkan proses internalisasi nilai dan
penerapannya pada kehidupan sehari-hari sedangkan pada masa sekarang lebih
dihadapkan pada perolehan nilai fisik semata. Maka dari itu dalam proses
transformasi Budaya Mutu sendiri perlu adanya sikap untuk mempertahankan Budaya
Mutu Lama sehingga Budaya yang masih bagus tidak sampai hilang.
2.
Proses transformasi (Delta State) adalah proses
berpindahnya suatu budaya lama ke budaya baru. Dalam pembelajaran PAI proses
tranformasi dianggap sangat penting perannya sebab melalui proses inilah kita
dapat memahami apa kebutuhan yang diperlukan pada zaman sekarang. Melalui
proses transformasi suatu budaya mutu lama yang telah dianggap usang dan tidak
relevan dapat tergantikan dengan budaya mutu yang lebih relevan. Dalam proses
transformasi budaya mutu sendiri banyak pengaruh dari faktor eksternal sebab
faktor inilah yang nantinya akan menjadi pendorong terciptanya suatu era baru
dalam pembelajaran PAI.
3.
Budaya Mutu Baru (Desired State) adalah keadaan
dimana sesuai dengan keinginan dari pengembang Budaya mutu maupun konsumen dari
budaya mutu itu sendiri. Ketika terjadi suatu keberhasilan dalam proses
transformasi maka akan ditemukan wujud baru dari suatu budaya. Dalam PAI budaya
mutu baru ini sama halnya dengan perubahan dari budaya mutu yang konvensional
ke budaya mutu yang kontemporer.
Pengembangan
budaya mutu PAI sendiri sangat terkait erat dengan pelaksanaan manajemen mutu
yang baik karena melalui manajemen mutu yang baik akan tercipta suatu budaya
mutu yang relevan. Pengembangan Manajemen mutu PAI yang baik merupakan proses
transformasi budaya mutu terstruktur. Karenanya bisa dianggap bahwa budaya mutu
yang baik dapat dilihat dari pelaksanaan manajemen mutu yang diterapkan.
Menurut kamus
ilmiah populer manajemen mempunyai arti pengelolaan usaha, kepengurusan,
ketatalaksanaan penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran
yang diinginkan.[22]Secara
etimologis, kata manajemen berasal dari kata managio yang berarti pengurusan atau
managiare yaitu melatih dalam mengatur langkah-langkah, atau dapat juga berarti
getting done through other people. Ada juga yang berpandangan lain bahwa dari
sudut istilah, manajemen berasal dari manage. Kata ini, berasal dari Italia;
managgiare yang secara harfiah berarti menangani atau melatih kuda, secara maknawi
berarti memimpin, membimbing, atau mengatur. Sehingga dari asal kata ini,
manajemen dapat diartikan sebagai pengurusan, pengendalian, memimpin atau
membimbing.[23]Menurut
para ahli manajemen adalah proses mendayagunakan orang atau sumber lainnya
untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien.[24]
Nanang Fattah memberikan batasan tentang istilah manajemen bahwa manajemen
merupakan proses merencana, mengorganisasi, memimpin, dan mengendalikan upaya
organisasi dengan segala aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara
efektif dan efisien.[25]
Sementara itu menurut Malayu Hasibuan
memberikan definisi bahwa manajemen sebagai ilmu dan seni mengatur proses
pemanfaatan sumber daya lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai
tujuan tertentu.[26] Oemar Hamalik memberikan batasan definisi
manajemen sebagai suatu proses sosial yang berkenaan dengan keseluruhan usaha
manusia dengan bantuan manusia lainnya serta sumber-sumber lain, menggunakan
metode yang efisien dan efektif untuk mencapai tujuan yang ditentukan
sebelumnya.[27]
Dari berbagai definisi-definisi diatas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen adalah ilmu atau seni yang mengatur
tentang proses pendayagunaan sumber daya manusia maupun sumber-sumber lainnya
yang mendukung pencapaian tujuan secara efektif dan efisien. Dari pengertian
ini dapat diangkat suatu bentuk pemahaman bahwa dalam manajemen ada sebuah
proses yang merupakan bentuk kemampuan
atau keterampilan memperoleh hasil dalam rangka mencapai tujuan melalui
kegiatan-kegiatan organisasi. Proses ini meliputi tahapan awal berupa
perencanaan (planning), mengorganisasi (organizing), memimpin (guiding) dan
mengendalikan (controlling) sampai pada pencapaian tujuan.
Selanjutnya yang berkaitan dengan mutu
dalam dunia manajemen, mutu mempunyai arti kualitas, derajat, tingkat.[28] Dalam bahasa Inggris, mutu diistilahkan
dengan “quality”.[29] Sedangkan dalam bahasa Arab disebut dengan
istilah “juudah”.[30]
Secara terminologi istilah mutu memiliki
pengertian yang cukup beragam, mengandung banyak tafsir dan pertentangan. Hal
ini disebabkan karena tidak ada ukuran yang baku tentang mutu itu sendiri.
Sehingga sulit kiranya untuk mendapatkan sebuah jawaban yang sama, apakah
sesuatu itu bermutu atau tidak. Namun demikian ada kriteria umum yang telah
disepakati bahwa sesuatu itu dikatakan bermutu, pasti ketika bernilai baik atau
mengandung makna yang baik. Secara esensial istilah mutu menunjukan kepada
sesuatu ukuran penilaian atau penghargaan yang diberikan atau dikenakan kepada
barang dan atau kinerjanya.[31] Menurut B. Suryobroto, konsep mutu mengandung
pengertian makna derajat keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik
berupa barang maupun jasa, baik yang tangible maupun intangible.[32]
Dari beberapa pengertian diatas, mutu
mempunyai makna ukuran, kadar, ketentuan dan penilaian tentang kualitas sesuatu
barang maupun jasa (produk) yang mempunyai sifat absolut dan relatif. Dalam
pengertian yang absolut, mutu merupakan standar yang tinggi dan tidak dapat diungguli.
Biasanya disebut dengan istilah baik, unggul, cantik, bagus, mahal, mewah dan
sebagainya.[33]
Jika dikaitkan dengan konteks pendidikan, maka konsep mutu pendidikan adalah
elit, karena hanya sedikit institusi yang dapat memberikan pengalaman pendidikan
dengan mutu tinggi kepada anak didik. Dalam pengertian relatif, mutu memiliki
dua pengertian. Pertama, menyesuaikan diri dengan spesifikasi. Kedua, memenuhi
kebutuhan pelanggan.[34]
Mutu dalam pandangan seseorang terkadang bertentangan dengan mutu dalam pandangan
orang lain, sehingga tidak aneh jika ada pakar yang tidak mempunyai kesimpulan
yang sama tentang bagaimana cara menciptakan institusi yang baik.[35]
Dari uraian diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa manajemen mutu adalah ilmu atau seni yang mengatur tentang
proses pendayagunaan sumber daya manusia maupun sumber-sumber lainnya yang
mendukung pencapaian tujuan secara efektif dan efisien. berdasarkan ukuran,
kadar, ketentuan dan penilaian tentang
kualitas sesuatu barang maupun jasa (produk) sesuai dengan kepuasan pelanggan.
Manajemen mutu dalam pendidikan (Islam)
lebih populer dengan sebutan istilah Total Quality Education (TQE). Secara
filosofis, konsep ini menekankan pada pencarian secara konsisten terhadap
perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan dan kepuasan pelanggan.
Strategi yang dikembangkan dalam penggunaan manajemen mutu dalam dunia
pendidikan adalah institusi pendidikan memposisikan dirinya sebagai institusi
jasa atau dengan kata lain menjadi industri jasa. Yakni institusi yang memberikan
pelayanan (service) sesuai dengan apa yang diinginkan pelanggan (custumer).
Manajemen pendidikan mutu berlandaskan
kepada kepuasaan pelanggan sebagai sasaran utama. Pelanggan pendidikan ada dua aspek, yaitu; pelanggan internal dan
pelanggan eksternal.[36]
Pendidikan berkulitas apabila :
1. Pelanggan
internal (kepala sekolah, guru, dan karyawan) berkembang baik fisik maupun
psikis. Secara fisik antara lain mendapatkan imbalan finasial. Sedangkan secara
psikis adalah bila mereka diberi kesempatan untuk terus belajar mengembangkan
kemampuan, bakat dan kreativitasnya.
2. Pelanggan
eksternal :
a.
Eksternal primer (para siswa) : Menjadi pembelajar
sepanjang hayat, komunikator yang baik, punya keterampilan dalam kehidupan
sehari-hari, integritas tinggi, pemecah masalah, dan pencipta pengetahuan serta
menjadi warga negara yang bertanggungjawab.
b. Eksternal
sekunder (orang tua, pemerintah, dan perusahaan) : Para lulusan dapat memenuhi
harapan orang tua, pemerintah, dan perusahaan dalam hal menjalankan tugas-tugas
yang diberikan
kepadanya.
c. Eksternal
tersier (pasar kerja dan masyarakat luas)
: Para lulusan memiliki kompetensi dalam dunia kerja dan pengembangan
masyarakat, sehingga mempengaruhi pada pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan
rakyat, dan keadilan sosial.
Maka dari itu, untuk memposisikan
institusi pendidikan Islam sebagai industri jasa harus memenuhi standar mutu.
Institusi dapat disebut bermutu, harus memenuhi spesifikasi yang telah
ditetapkan. Secara operasional, mutu ditentukan dua faktor, yaitu terpenuhinya spesifikasi
yang telah ditentukan sebelumnya dan terpenuhinya spesifikasi yang diharapkan
menurut tuntutan dan pengguna jasa. Mutu yang pertama disebut, mutu
sesungguhnya, mutu yang kedua disebut mutu persepsi.
Standar mutu produksi dan pelayanan
diukur dengan kriteria sesuai dengan spesifikasi, cocok dengan tujuan pembuatan
dan penggunaan, tanpa cacat, dan selalu baik sejak awal. Mutu dalam persepsi
diukur dari kepuasaan pelanggan atau pengguna, meningkatnya minat dan harapan
serta kepuasaan pengguna. Dalam penyelenggaraannya
mutu sesungguhnya merupakan profil lulusan institusi pendidikan yang sesuai
dengan kualifikasi tujuan pendidikan, yang berbentuk standar kemampuan dasar
berupa kualifikasi akademik minimal yang dikuasai peserta didik. Sedangkan pada
mutu persepsi pendidikan adalah kepuasaan dan bertambahnya minat pelanggan
eksternal terhadap lulusan institusi pendidikan.
Beranjak dari pembahasan tersebut dalam
operasi manajemen mutu dunia pendidikan Islam ada beberapa hal yang harus diperhatikan :
1. Perbaikan secara terus menerus
Konsep ini mengandung pengertian bahwa
pihak pengelola pendidikan Islam (manajemen personalia) senantiasa melakukan berbagai perbaikan dan peningkatan
terus menerus untuk menjamin semua komponen penyelenggara pendidikan telah mencapai
standar mutu yang telah ditetapkan. Konsep ini juga berarti bahwa antara
institusi pendidikan senantiasa memperbaharui proses berdasarkan kebutuhan dan
tuntutan pelanggan. Jika tuntutan dan kebutuhan pelanggan berubah, maka pihak
pengelola institusi pendidikan Islam dengan sendirinya akan merubah mutu, serta
selalu memperbaharui komponen produksi atau komponen-komponen yang ada dalam
institusi pendidikan Islam.
Perbaikan terus-menerus ini dilakukan
secara menyeluruh meliputi semua unsur-unsur manajemen pendidikan Islam,
seperti; manajemen pembelajaran dan kurikulum pendidikan Islam, manajemen
personalia di lembaga pendidikan Islam, perencanaan kebutuhan sumber daya
manusia manajemen peserta didik di lembaga pendidikan Islam, dan manajemen
hubungan lembaga pendidikan Islam dengan masyarakat.[37]
2. Menentukan
standar mutu
Paham ini digunakan untuk menetapkan
standar-standar mutu dari semua komponen yang bekerja dalam proses produksi
atau transformasi lulusan institusi pendidikan Islam. Standar mutu pendidikan Islam
misalnya, dapat berupa kepemilikan, kemampuan dasar pada masing-masing
pembelajaran dan sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditempuh. Selain itu,
pihak manajemen juga harus menentukan standar mutu materi kurikulum dan standar
evaluasi yang akan dijadikan sebagai alat untuk mencapai standar kemampuan
dasar.
Standar mutu proses pembelajaran harus
pula ditetapkan, dalam arti bahwa pihak manajemen pendidikan Islam perlu
menetapkan standar mutu proses pembelajaran yang diharapkan dapat berdayaguna
untuk mengoptimalkan proses produksi dan untuk melahirkan produk yang sesuai,
yaitu yang menguasai standar mutu pendidikan berupa penguasaan standar
kemampuan dasar. Pembelajarn yang dimaksud sekurang-kurangnya memenuhi
karakteristik : menggunakan pendekatan pembelajaran aktif, pembelajaran
kooperatif dan kolaboratif, pembelajaran konstruktif, dan pembelajaran tuntas.
Begitu pula pada akhirnya, pihak
pengelola pendidikan Islam menentukan standar mutu evaluasi pembelajaran.
Standar mutu evaluasi yaitu, bahwa evaluasi harus dapat mengukur tiga bentuk
penguasaan peserta didik atas dasar standar kemampuan dasar, yaitu penguasaan
materi, penguasaan metodologi, dan penguasaan keterampilan yang aplikatif dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain penilaian diarahkan pada dua aspek
hasil pembelajaran, yaitu instructional effects dan nurturant effects.
instructional effects adalah hasil-hasil yang kasat mata dari proses hasil
pembelajaran, sedangkan nurturant effects adalah hasil-hasil laten proses
pembelajaran, seperti kebiasaan membaca dan kebiasaan memecahkan masalah.
Bagi pendidikan Islam, mutu yang mengacu
kepada output harus menghasilkan minimal dua ranah yaitu, pertama terciptanya
manusia yang dapat mengakomodasi seluruh fenomena kehidupannya sesuai dengan
ajaran atau dasar al-Qur’an dan as-Sunnah, kedua terbentuknya manusia yang
mempunyai skill kompetitif di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (ITC)
sesuai dengan perkembangan zaman.
3. Perubahan
kultur
Konsep ini bertujuan membentuk budaya
organisasi yang menghargai mutu dan menjadikan mutu sebagai orientasi semua
komponen organisasi. Jika manajemen ini diterapkan di institusi pendidikan
Islam maka pihak pimpinan harus berusaha membangun kesadaran para anggotanya,
mulai dari pemimpin sendiri, staff, guru, pelajar, dan berbagai unsur terkait
seperti yayasan, orang tua dan para pengguna lulusan pendidikan Islam akan
pentingnya mempertahankan dan meningkatkan mutu pembelajaran baik mutu hasil
maupun proses pembelajaran. Disinilah letak penting dikembangkannya faktor rekayasa
dan faktor motivasi agar secara bertahap dan pasti kultur mutu itu akan
berkembang di dalam organisasi institusi pendidikan Islam. Perubahan kultur ke
arah kultur mutu ini antara lain dilakukan dengan menempuh cara-cara rumusan
keyakinan bersama, intervensi nilai-nilai keagamaan Islam, yang dilanjutkan
dengan perumusan visi-misi organisasi pendidikan Islam sesuai dengan ajaran
sumber ajaran Islam.
4. Perubahan
organisasi
Jika visi-misi serta tujuan organisasi
sudah berubah atau mengalami perkembangan, maka sangat dimungkinkan terjadinya
perubahan organisasi. Perubahan organisasi ini bukan berarti perubahan wadah
organisasi, melainkan sistem atau struktur organisasi yang melambangkan
hubungan-hubungan kerja struktur organisasi yang melambangkan hubungan-hubungan
kerja dan kepengawasan dalam organisasi. Perubahan ini menyangkut perubahan
kewenangan, tugas-tugas dan tanggungjawab. Misalnya, dalam kerangka manajemen
berbasis sekolah struktur organisasi dapat berubah terbalik dibandingkan dengan
struktur konvensional. Berdirinya yayasan dalam pendidikan Islam merubah pola
kepemimpinan manajemen organisasi di pesantren maupun madrasah.
5. Mempertahankan
hubungan dengan pelanggan
Karena organisasi pendidikan Islam
berbasis mutu menghendaki kepuasan pelanggan, maka perlunya mempertahankan
hubungan baik dengan pelanggan menjadi sangat penting. Inilah yang dikembangkan
dalam unit publik relations.[38]
Berbagai informasi antara organisasi pendidikan dan pelanggan harus
terus-menerus dipertukarkan, agar institusi pendidikan senantiasa dapat
melakukan perubahan-perubahan atau improvisasi yang diperlukan terutama
berdasarkan perubahan sifat dan pola tuntutan serta kebutuhan pelanggan.
Apalagi mengingat bahwa pendduduk Indonesia mayoritas Islam, tentu pendidikan
Islam harus mampu mengambil “hati” masyarakat Indonesia.
Untuk itu, pelanggan juga diperkenankan
melakukan kunjungan, pengamatan, penilaian, dan pemberian masukan kepada
institusi pendidikan Islam. Selanjutnya semua masukan itu akan diolah dalam
rangka mempertahankan dan meningkatkan mutu proses dan hasil-hasil
pembelajaran. Dan yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam manajemen berbasis
sekolah, guru dan staff justru dipandang sebagai pelanggan internal, sedangkan
pelajar termasuk orang tua pelajar dan masyarakat umum masuk pada pelanggan
eksternal. Jerome S. Arcaro menyampaikan bahwa terdapat lima karakteristik
sekolah atau lembaga pendidikan yang bermutu yaitu: 1) fokus pada pelanggan, 2)
keterlibatan total, 3) pengukuran, 4) komitmen, dan 5) perbaikan berkelanjutan.[39] Maka, pelanggan baik internal maupun
eksternal harus dapat terpuaskan melalui
interval kreatif pimpinan insititusi pendidikan Islam.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Memasuki
abad ke 21 atau milenium ketiga ini, dunia pendidikan dihadapkan pada berbagai masalah
yang sangat urgen. Jika masalah ini tidak diatasi secara tepat, tidak mustahil
dunia pendidikan akan ditinggal oleh putaran zaman. Kesadaran akan tampilnya
dunia pendidikan sebagai memecahkan dan merespon berbagai tantangan baru yang
timbul setiap zaman adalah hal yang logis, bahkan sebagai suatu keharusan.
Pendidikan
Islam sebagai proses pengarahan perkembangan manusia pada sisi jasmani, akal,
bahasa, tingkah laku, dan kehidupan sosial keagamaan yang diarahkan pada
kebaikan menuju kesempurnaan, juga mempunyai kewajiban yang sama untuk memecahkan masalah yang ada tersebut.
Hanya
saja, kondisi obyektif pendidikan Islam dewasa ini berada pada posisi yang
sangat memprihatinkan. Pendidikan Islam baik secara kelembagaan, proses, maupun
outputnya belum menunjukan data yang menggembirakan. Pada ranah institusional,
banyak ditemui lembaga pendidikan Islam yang secara fisik belum memadai atau
layak secara standar kualitas sarana dan prasarana. Walupun dalam
penyelenggaraannya diiringi motif dakwah dan penanaman ajaran Islam, namun
masih jauh dari mutu standar penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Jika
dilihat dari prespektif manajemen, maka pengelolaannya masih sangat
konvensional. Implikasinya adalah kualitas output yang ditelurkannya kurang
atau bahkan jauh dari standar mutu pendidikan global.
Hal
ini perlu mendapatkan perhatian serius pada lembaga pendidikan Islam formal,
maupun non formal untuk memainkan peran signifikan pada arah pengelolaannya.
Artinya diperlukan manajemen yang bermutu dalam pengembangan lembaga pendidikan
Islam yang profesional sebagai jawaban atas problematika tersebut lebih-lebih
dalam konteks otonomi pendidikan dewasa ini.
Salah
satu tawaran yang patut dipertimbangkan adalah dengan memberikan sentuhan
manajeman mutu dalam pendidikan Islam. Sebab, manajemen mutu adalah ilmu atau
seni yang mengatur tentang proses pendayagunaan sumber daya manusia maupun
sumber-sumber lainnya yang mendukung pencapaian tujuan secara efektif dan
efisien. berdasarkan ukuran, kadar, ketentuan dan penilaian tentang kualitas
sesuatu barang maupun jasa (produk) sesuai dengan kepuasan pelanggan. Secara
filosofis, konsep ini menekankan pada pencarian secara konsisten terhadap
perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan dan kepuasan pelanggan.
Strategi yang dikembangkan dalam penggunaan manajemen mutu dalam dunia
pendidikan Islam adalah institusi pendidikan memposisikan dirinya sebagai
institusi jasa atau dengan kata lain menjadi industri jasa. Yakni institusi
yang memberikan pelayanan (service) sesuai dengan apa yang diinginkan pelanggan
(costumer).
Beberapa
hal yang dapat ditawarkan dalam manajemen mutu pendidikan Islam adalah :
perbaikan secara terus menerus, menentukan standar mutu, perubahan kultur,
perubahan organisasi, dan mempertahankan hubungan dengan pelanggan pendidikan
Islam.
Untuk
keberhasilan penerapan manajemen mutu dalam pendidikan Islam tersebut memang
tidak mudah. Diperlukan komitmen dan kerjasama yang baik antara lembaga
terkait, pemerintah pusat dengan daerah, serta institusi pendidikan setempat,
serta masyarakat di sekitarnya. Jika manajemen ini dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan yang ada dengan segala dinamika dan fleksibilitasnya, maka akan
terjadi perubahan yang cukup efektif bagi pengembangan dan peningkatan mutu
pendidikan Islam dan pendidikan nasional.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmadi. 2010. Ideologi Pendidikan
Islam; Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Aassegaf, Abd. Rachman. 2011. Filsafat
Pendidikan Islam; Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis
Integratif-Interkonektif. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Ali,
Attabik. 2003. Kamus Inggris-Indonesia-Arab. Yogyakarta: Mukti Karya
Grafika.
Arifin, M. 1987. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:
Bina Aksara.
Azra, Azumardi. Renaisans Islam Asia
Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Bastian , Aulia Reza. 2002. Reformasi
Pendidikan: Langkah-langkah Pembaharuan dan Pemberdayaan Pendidikan Dalam
Rangka Desentralisasi Sistem Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Lapera
Pustaka Utama.
Ellyasin, Muhammad dan Nanik Nurhayati.
2012. Manajemen Pendidikan Islam. Yogyakarta: Aditya Media Publishing.
Farodis, Zian. 2011. Panduan Manajemen Pendidikan ala
Harvard University. Yogyakarta: Diva Press.
Fattah,
Nanang. 2001. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hamalik,
Oemar. 2010. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
http://hdr.
Undp. Urg/en/.
Hasibuan,
Malayu. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Arcaro. S, Jerome. 2007. Pendidikan
Berbasis Mutu: Prinsip-Prinsip Perumusan Dan Tata Langkah Penerapan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sukarno. 2012. Budaya Politik
Pesantren Perspektif Interaksionisme Simbolik. Yogyakarta: Interpena.
Komariah, Aan dan Cepi Triatna. 2008. Visionary
Leadership: Menuju Sekolah Efektif. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Kompas.
Edisi 1 Mei 2001.
Makawimbang, H. Jerry. 2011. Supervisi
dan Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta.
Media
Indonesia. Edisi 29 Maret 2001.
Mulyadi, 2010, Kepemimpinan; Kepala Sekolah; Budaya
Mutu
,Malang: UIN Maliki Press
Mulyono. 2008. Manajemen Administrasi
dan Organisasi Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Muhaimin, dkk. 2012. Paradigma
Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Muhroqib.
2009. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: LkiS.
Muriah, Siti. 2011. Kata Pengantar
Dalam Manajemen Pendidikan Islam; Konstruksi Teoritis dan Praktis. Malang
& Yogyakarta: Aditya Media Publishing.
Nata,
Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.Partanto,
Pius
dan Dahlan Albari. 2001. Kamus Ilmiah
Populer. Surabaya: Arloka.
Republika,
Edisi 8 Oktober 2001.
Salim, Peter. 1987. The Contemporary
English Indonesian Dictionary. Jakarta: Modern English Press.
Sallis, Edward. 2012. Total Quality
Management in Education. Yogyakarta: Ircisod.Subroto, B. 2004. Manajemen
Pendidikan di Sekolah. Jakarta: Rieneka Cipta.
Tobrani. 2008. Pendidikan Islam;
Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualis. Malang: UMM Press.Zamroni.
2011. Dinamika Peningkatan Mutu. Yogyakarta: Gavin Kalam Utama. Malang: UMM
Press.
[1]
Zamroni, Dinamika Peningkatan Mutu, (Yogyakarta: Gavin Kalam Utama, 2011), hlm.
83
[2] Zian Farodis, Panduan Manajemen
Pendidikan ala Harvard University, (Yogyakarta: Diva Press, 2011), hlm. 7
[3] Aulia Reza Bastian, Reformasi
Pendidikan: Langkah-langkah Pembaharuan dan Pemberdayaan Pendidikan Dalam
Rangka Desentralisasi Sistem Pendidikan Indonesia, (Yogyakarta: Lapera Pustaka
Utama, 2002) hlm. 24
[4]
Sukarno, Budaya Politik Pesantren Perspektif Interaksionisme Simbolik,
(Yogyakarta: Interpena, 2012), hlm. 15
[5] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 44
[6] Jerry H. Makawimbang, Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan,
(Bandung: CV Alfabeta, 2011), hlm. 1
[7] Siti Muriah, Kata Pengantar Dalam Manajemen Pendidikan
Islam; Konstruksi Teoritis dan Praktis, (Malang & Yogyakarta: Aditya
Media Publishing, 2012)
[8]
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam;
Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), cet.
II, hlm. 32
[9] Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru
Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2011), hlm. 2
[10]
Depdikbud.Manajemen
Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah. (Jakarta: Depdikbud,
1997).hlm. 149
[11] Aan Komariah dan Cepi Triatna, Visionary Leadership: Menuju Sekolah Efektif,
(Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), hlm. 9
[12]
Muhroqib, Ilmu Pendidikan Islam,
(Yogyakarta: LKiS, 2009), hlm. 17
[13]
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 15
[14]
Op.Cit.,Achmadi, Ideologi..., hlm. 31
[15]
Muhaimin dkk, Paradigma Pendidikan Islam:
Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2012), hlm. 29-30
[16] Azumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah
Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999)
[17]
Laporan Bank Dunia sebagaimana diberitakan harian umum Kompas, edisi I Mei 2001
[18]
Media Indonesia dalam laporan pendidikan dan kebudayaan, edisi 29 Maret 2001
[19]
Republika, edisi 8 Oktober 2001 dengan judul: Kualitas Sistem Pendidikan
Indonesia Terendah di Asia.
[20]
http://hdr. Undp. Urg/en/.
[22]
Pius Partanto & Dahlan Albari, Kamus
Ilmiah Populer, (Surabaya: Arloka, 2001), hlm. 440
[23]
Mulyono, Manajemen Administrasi dan
Organisasi Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 33
[24] Muhammad Eliyasin & Nanik
Nurhayati, Manajemen Pendidikan Islam,
(Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2012), hlm. 60
[25]
Nanang Fattah, Landasan Manajemen
Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 1
[26]
Malayu Hasibuan, Manajemen Sumber Daya
Manusia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 1-2
[27]
Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan
Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 16
[28]
Op.Cit.,Pius Partanto dan Dahlan Albari, Kamus..., hlm. 510.
[29] Peter Salim, The Contemporary English Indonesian
Dictionary, (Jakarta: Modern English Press, 1987), hlm. 550
[30]
Attabik Ali, Kamus Inggris-Indonesia-Arab,
(Yogyakarta: Mukti Karya Grafika, 2003), hlm.1043.
[31] Aan Komariah dan Cepi Triatna, Visionary Leadership: Menuju Sekolah Efektif,
(Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), hlm. 9
[32]B.
Suryobroto, Manajemen Pendidikan di
Sekolah, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2004), hlm. 210.
[33] Edward Sallis, Total Quality
Management in Education, terj. Ahmad Ali Riadi & Fahrurozi, (Yogyakarta:
Ircisod, 2012), hlm. 52.
[34] Ibid., hlm. 54.
[35] Ibid., hlm. 29-30.
[36]
Ibid., hlm. 6.
[39] Jerome S. Arcaro, Pendidikan
Berbasis Mutu: Prinsip-Prinsip Perumusan Dan Tata Langkah Penerapan,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 36
No comments:
Post a Comment