Tuesday, November 25, 2014

Budaya Mutu PAI



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Islam merupakan salah satu agama samawi yang dibawa oleh Muhammad saw untuk disampaikan dan diajarkan kepada seluruh umat manusia. Dalam doktrin ajaran Islam yang syamil (komprehensif) menjelaskan semua aspek baik yang berhubungan dengan kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat atau pun segala sesuatu yang akan dikerjakan oleh manusia untuk jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Untuk melakukan pekerjaan harus terencana, terukur dan terarah, sebagai pengejewantahan nilai-nilai Islam. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sesuatu yang akan dikerjakan haruslah terprogram tidak boleh asal-asalan. Oleh sebab itu Islam memberikan tatanan “nilai pengelolaan” mulai dari urusan yang terkecil sampai yang terbesar, mulai dari mengurus diri sendiri (keluarga) hingga mengurus masyarakat, mulai dari mengurus kehidupan berumah tangga sampai dengan mengurus negara dalam bingkai sebuah manajemen agar tujuan yang hendak dicapai melalui visi dan misi bisa diraih dan bisa selesai secara efisien dan efektif.
Tujuan pertama reformasi pendidikan adalah membangun suatu sistem pendidikan nasional yang lebih baik, lebih mantap, dan lebih maju dengan mengoptimalkan dan memberdayakan semua potensi dan partisipasi masyarakat. Sebab pendidikan merupakan struktur pokok yang memberikan fasilitas bagi warga masyarakat untuk bisa menentukan barang dan jasa apa yang diperlukan.[1]  Bahkan secara makro, pendidikan merupakan “jantung” sekaligus “tulang punggung” masa depan bangsa dan negara,[2]  bahkan keberhasilan suatu bangsa sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam memperbaiki dan memperbarui sektor pendidikan.[3] Sedangkan di sisi yang lain, sistem pendidikan Islam merupakan suatu kawah candradimuka pembentuk manusia sempurna sebagai fondasi awal dalam pembangunan peradaban madani,[4]  dan mewujudkan rahmat bagi seluruh umat manusia.[5]  Dengan demikian, pendidikan tersebut dilakukan manusia dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan taraf hidupnya, melalui proses pendidikan diharapkan manusia menjadi cerdas atau memiliki kemampuan, yang biasa dikenal dengan istilah skill dalam menjalani kehidupannya.[6]
Problema pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini, tanpa terkecuali pendidikan Islam di antaranya adalah: 1) masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan, 2) masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan; 3) masih lemahnya manajemen pendidikan, di samping belum terwujudnya keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademisi dan kemandirian. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi masalah pendidikan lebih khusus pendidikan Islam, misalnya penggantian kurikulum nasional dan lokal dari kurikulum 2006 atau yang lebih dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi kurikulum 2013, namun dengan melalui penggantian kurikulum ini bukannya menyelesaikan permasalahan pendidikan tapi justru malah menambah permasalahan baru dalam pendidikan di negeri ini. Usaha selanjutnya dalam mengatasi problema pendidikan yaitu peningkatan kompetensi dan konvensasi guru melalui pelatihan dan sertifikasi, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah.
Terlebih dalam pengelolaan pendidikan Islam yang merupakan salah satu segi penopang kehidupan yang urgen untuk membangun peradaban dan menjadikan manusia yang lebih baik dan berkarakter serta penuh dengan “keridhaan” Tuhan. Pengelolaan pendidikan Islam yang profesional dan bermutu bukan merupakan hal yang mudah bagi seseorang atau lembaga pendidikan di negeri ini.
Dunia pendidikan Islam merupakan tempat yang penuh dengan liku-liku permasalahan yang secara subtansial bisa dikatakan sebagai cawah candradimuka pemeras waktu, tenaga, biaya dan pikiran dalam membentuk manusia yang paripurna. Oleh sebab itu, yang paling inti di dalamnya adalah pola manajemen pengembangan kelembagaan dan kependidikan yang akan menjadi barometer keberhasilan pendidikan Islam itu sendiri dalam peningkatan mutunya.[7]
Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan Islam belum menunjukan peningkatan yang berarti. Sebagian mutu pendidikan Islam di negeri ini, terutama di pulau Jawa, menunjukan peningkatan mutu pendidikan yang cukup signifikan dan menggembirakan, namun sebagian mutu pendidikan Islam lainnya yang berada di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua serta daerah lainnya masih memprihatinkan. Secara fungsional, pendidikan Islam pada dasarnya ditujukan untuk memelihara dan mengembangkan manusia seutuhnya (insan kamil) yakni manusia berkualitas sesuai dengan pandangan Islam.[8]
Mengkaji dan mengembangkan pendidikan Islam untuk melahirkan manusia-manusia unggul (insan kamil) dengan berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Sunnah (selain nalar juga wahyu)[9] merupakan suatu bentuk kemutlakan pada ranah teoritis-normatif maupun aplikatif-normatif. Artinya, al-Qur’an dan Sunnah merupakan nilai normatif yang “harus” dijadikan sebagai kerangka yang bermuara pada pandangan hidup, sikap hidup, dan tujuan hidup yang semuanya harus bernapaskan Islam dan dijiwai oleh ajaran-ajaran yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah.
B.  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari Budaya Mutu PAI ?
2.      Bagaimana proses Budaya Mutu PAI ?
C.  Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari Budaya Mutu PAI.
2.      Untuk mengetahui proses Budaya Mutu PAI.

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Budaya Mutu PAI
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya (cultural) diartikan sebagai: pikiran; adat istiadat; suatu yang sudah berkembang; sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sukar diubah.[10] Dalam pemakaian sehari-hari orang biasanya mensinonimkan pengertian budaya dengan tradisi (tradition). Dalam hal ini tradisi diartikan sebagai ide-ide umum, sikap dan kebiasaan dari masyarakat yang nampak dari perilaku sehari-hari yang menjadi kebiasaan dari kelompok dalam masyarakat tersebut.
Secara terminologi istilah mutu memiliki pengertian yang cukup beragam, mengandung banyak tafsir dan pertentangan. Hal ini disebabkan karena tidak ada ukuran yang baku tentang mutu itu sendiri. Sehingga sulit kiranya untuk mendapatkan sebuah jawaban yang sama, apakah sesuatu itu bermutu atau tidak. Namun demikian ada kriteria umum yang telah disepakati bahwa sesuatu itu dikatakan bermutu, pasti ketika bernilai baik atau mengandung makna yang baik. Secara esensial istilah mutu menunjukan kepada sesuatu ukuran penilaian atau penghargaan yang diberikan atau dikenakan kepada barang dan atau kinerjanya.[11]
Muhammad Hamid An-Nashir dan Qullah Abdul Qadir Darwis mendefinisikan pendidikan Islam sebagai proses pengarahan perkembangan manusia pada sisi jasmani, akal, bahasa, tingkah laku, dan kehidupan sosial keagamaan yang diarahkan pada kebaikan menuju kesempurnaan.[12]  Sementara itu Omar Muhammad At-Taumi Asy-Syaibani sebagaimana dikutip oleh M. Arifin, menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadi atau kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan di alam sekitarnya.[13]
Sedangkan menurut Achmadi yang dimaksud dengan pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam.[14]
Pendidikan Islam dalam wacana umum merujuk pada tiga pengertian yang merupakan satu kesatuan, yaitu : Pertama, pendidikan menurut Islam atau pendidikan Islami, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam pengertian ini, pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan diri atau dikembangkan dari sumber-sumber dasar tersebut. Kedua, pendidikan keislaman atau pendidikan agama Islam yakni upaya pendidikan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi pandangan dan sikap hidup seseorang. Dalam pengertian yang kedua ini pendidikan Islam dapat berujud: (a) segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga tertentu untuk membantu seseorang atau sekelompok peserta didik dalam menanamkan dan menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya,  (b) segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah tertanamnya dan tumbuhkembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa pihak. Ketiga, pendidikan dalam Islam atau proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam, baik Islam sebagai agama, ajaran, maupun sistem budaya dan peradaban sejak zaman nabi Muhammad saw sampai sekarang. Jadi dalam pengertian ini istilah pendidikan Islam dapat dipahami sebagai pembudayaan dan warisan ajaran agama, budaya, dan peradaban umat Islam dari generasi ke generasi sepanjang sejarahnya.[15]  Walaupun istilah pendidikan Islam dapat dipahami dengan cara yang berbeda, namun pada hakikatnya merupakan satu kesatuan dan mewujud secara operasional dalam satu sistem yang utuh.
Jadi secara garis besar Budaya Mutu PAI adalah suatu kebiasaan dalam menilai perkembangan individual atau kelompok secara rohani maupun jasmani sesuai ajaran dalam Al Qur’an dan Hadis.
B.  Proses Budaya Mutu PAI
Indonesia merupakan negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia. Pada dekade 1990an, Indonesia pernah disebut-sebut sebagai sebuah negara yang akan memunculkan kembali kejayaan Islam. Hal ini bukan tidak mendasar, karena menurut beberapa penelitian yang mengangkat fenomena islamisasi di kawasan ini sangat akseleratif bahkan berimbas pada skala makro yaitu di Asia Tenggara.[16]  Sayangnya yang dirasakan sampai sekarang adalah bahwa pendidikan Islam baik secara kelembagaan, proses, maupun outputnya belum menunjukan data yang menggembirakan.
Pada ranah institusional, banyak ditemui lembaga pendidikan Islam yang secara fisik belum memadai atau layak secara standar kualitas sarana dan prasarana. Walupun dalam penyelenggaraannya diiringi motif dakwah dan penanaman ajaran Islam, namun masih jauh dari mutu standar penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Jika dilihat dari prespektif manajemen, maka pengelolaannya masih sangat konvensional. Implikasinya adalah kualitas output yang ditelurkannya kurang atau bahkan jauh dari standar mutu pendidikan global. Walupun pada tataran riil ada produk lembaga pendidikan Islam yang mungkin melebihi kualitas sekolah umum, tetapi data ini belum representatif untuk mewakili komunitas lembaga pendidikan Islam secara keseluruhan.
Berdasarkan data Human Development Indexs Report 1999, melaporkan bahwa pembangunan pendidikan Islam di Indonesia masih tertinggal dari negara-negara lain. Bahkan dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, kita berada diurutan 105, jauh di bawah Singapura (22), Brunai (25), Malaysia (56), Thailand (67), dan Srilanka (90).[17]  Sedangkan penelitian tahun 2000, peringkat mutu pendidikan Indonesia menurun menjadi urutan ke-109.[18] Hasil penelitian PBB (UNDP) tahun 2000 menunjukan bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia menduduki urutan ke-109 dari 174 negara yang diteliti.[19]  Bahkan pada tahun 2009, Indonesia pun masih menduduki urutan ke-111 dari 182 negara, atau sangat jauh dibandingkan dengan negara tetangga.[20]
Dari deskripsi tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia yang berpenduduk mayoritas beragama Islam tertinggal jauh dibanding negara yang lainnya. Tentunya di dalamnya termasuk pula pendidikan Islam di Indonesia. Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius pada  lembaga pendidikan Islam formal, maupun non formal untuk memainkan peran signifikan pada arah pengelolaannya. Artinya diperlukan manajemen yang bermutu dalam pengembangan lembaga pendidikan Islam yang profesional sebagai jawaban atas problematika tersebut lebih-lebih dalam konteks otonomi pendidikan dewasa ini.
Pengembangan Menuju Budaya Yang Kuat[21]
Dapat dikatakan suatu budaya mutu selama ini yang kita alami terdapat tiga tahapan yang selalu ada. Tahapan ini menggambarkan bagaimana terjadi suatu perubahan budaya mutu yang mengarah sesuai zamannya.Budaya mutu PAI sendiri jika kita lihat dari masa ke masa mengalami banyak peningkatan hal ini dikarenakan proses transisi yang diwarnai oleh banyak pemikiran dari intelektual Muslim sendiri.
1.      Budaya Mutu Lama (Current State) adalah budaya mutu yang belum mengalami perubahan. Budaya mutu lama dalam PAI jika kita kaitkan dalam proses pembelajaran bisa disebut pembelajaran konvensional. Namun dalam pembelajaran PAI sendiri jangan sampai meninggalkan Budaya Mutu Lama secara keseluruhan karena Islam sendiri sangat mengajarkan kita bagaimana mempertahankan tradisi lama yang dianggap sebagai ajaran murni islam. Contohnya dahulu jika kita lihat dalam pembelajaran tingkatan keberhasilan mutu pembelajaran itu dinilai berdasarkan proses internalisasi nilai dan penerapannya pada kehidupan sehari-hari sedangkan pada masa sekarang lebih dihadapkan pada perolehan nilai fisik semata. Maka dari itu dalam proses transformasi Budaya Mutu sendiri perlu adanya sikap untuk mempertahankan Budaya Mutu Lama sehingga Budaya yang masih bagus tidak sampai hilang.
2.      Proses transformasi (Delta State) adalah proses berpindahnya suatu budaya lama ke budaya baru. Dalam pembelajaran PAI proses tranformasi dianggap sangat penting perannya sebab melalui proses inilah kita dapat memahami apa kebutuhan yang diperlukan pada zaman sekarang. Melalui proses transformasi suatu budaya mutu lama yang telah dianggap usang dan tidak relevan dapat tergantikan dengan budaya mutu yang lebih relevan. Dalam proses transformasi budaya mutu sendiri banyak pengaruh dari faktor eksternal sebab faktor inilah yang nantinya akan menjadi pendorong terciptanya suatu era baru dalam pembelajaran PAI.
3.      Budaya Mutu Baru (Desired State) adalah keadaan dimana sesuai dengan keinginan dari pengembang Budaya mutu maupun konsumen dari budaya mutu itu sendiri. Ketika terjadi suatu keberhasilan dalam proses transformasi maka akan ditemukan wujud baru dari suatu budaya. Dalam PAI budaya mutu baru ini sama halnya dengan perubahan dari budaya mutu yang konvensional ke budaya mutu yang kontemporer.
Pengembangan budaya mutu PAI sendiri sangat terkait erat dengan pelaksanaan manajemen mutu yang baik karena melalui manajemen mutu yang baik akan tercipta suatu budaya mutu yang relevan. Pengembangan Manajemen mutu PAI yang baik merupakan proses transformasi budaya mutu terstruktur. Karenanya bisa dianggap bahwa budaya mutu yang baik dapat dilihat dari pelaksanaan manajemen mutu yang diterapkan.
Menurut kamus ilmiah populer manajemen mempunyai arti pengelolaan usaha, kepengurusan, ketatalaksanaan penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran yang diinginkan.[22]Secara etimologis, kata manajemen berasal dari kata managio yang berarti pengurusan atau managiare yaitu melatih dalam mengatur langkah-langkah, atau dapat juga berarti getting done through other people. Ada juga yang berpandangan lain bahwa dari sudut istilah, manajemen berasal dari manage. Kata ini, berasal dari Italia; managgiare yang secara harfiah berarti menangani atau melatih kuda, secara maknawi berarti memimpin, membimbing, atau mengatur. Sehingga dari asal kata ini, manajemen dapat diartikan sebagai pengurusan, pengendalian, memimpin atau membimbing.[23]Menurut para ahli manajemen adalah proses mendayagunakan orang atau sumber lainnya untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien.[24] Nanang Fattah memberikan batasan tentang istilah manajemen bahwa manajemen merupakan proses merencana, mengorganisasi, memimpin, dan mengendalikan upaya organisasi dengan segala aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien.[25]
Sementara itu menurut Malayu Hasibuan memberikan definisi bahwa manajemen sebagai ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu.[26]  Oemar Hamalik memberikan batasan definisi manajemen sebagai suatu proses sosial yang berkenaan dengan keseluruhan usaha manusia dengan bantuan manusia lainnya serta sumber-sumber lain, menggunakan metode yang efisien dan efektif untuk mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya.[27]
Dari berbagai definisi-definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen adalah ilmu atau seni yang mengatur tentang proses pendayagunaan sumber daya manusia maupun sumber-sumber lainnya yang mendukung pencapaian tujuan secara efektif dan efisien. Dari pengertian ini dapat diangkat suatu bentuk pemahaman bahwa dalam manajemen ada sebuah proses yang merupakan bentuk kemampuan atau keterampilan memperoleh hasil dalam rangka mencapai tujuan melalui kegiatan-kegiatan organisasi. Proses ini meliputi tahapan awal berupa perencanaan (planning), mengorganisasi (organizing), memimpin (guiding) dan mengendalikan (controlling) sampai pada pencapaian tujuan.
Selanjutnya yang berkaitan dengan mutu dalam dunia manajemen, mutu mempunyai arti kualitas, derajat, tingkat.[28]  Dalam bahasa Inggris, mutu diistilahkan dengan “quality”.[29]  Sedangkan dalam bahasa Arab disebut dengan istilah “juudah”.[30]
Secara terminologi istilah mutu memiliki pengertian yang cukup beragam, mengandung banyak tafsir dan pertentangan. Hal ini disebabkan karena tidak ada ukuran yang baku tentang mutu itu sendiri. Sehingga sulit kiranya untuk mendapatkan sebuah jawaban yang sama, apakah sesuatu itu bermutu atau tidak. Namun demikian ada kriteria umum yang telah disepakati bahwa sesuatu itu dikatakan bermutu, pasti ketika bernilai baik atau mengandung makna yang baik. Secara esensial istilah mutu menunjukan kepada sesuatu ukuran penilaian atau penghargaan yang diberikan atau dikenakan kepada barang dan atau kinerjanya.[31]  Menurut B. Suryobroto, konsep mutu mengandung pengertian makna derajat keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa, baik yang tangible maupun intangible.[32]
Dari beberapa pengertian diatas, mutu mempunyai makna ukuran, kadar, ketentuan dan penilaian tentang kualitas sesuatu barang maupun jasa (produk) yang mempunyai sifat absolut dan relatif. Dalam pengertian yang absolut, mutu merupakan standar yang tinggi dan tidak dapat diungguli. Biasanya disebut dengan istilah baik, unggul, cantik, bagus, mahal, mewah dan sebagainya.[33] Jika dikaitkan dengan konteks pendidikan, maka konsep mutu pendidikan adalah elit, karena hanya sedikit institusi yang dapat memberikan pengalaman pendidikan dengan mutu tinggi kepada anak didik. Dalam pengertian relatif, mutu memiliki dua pengertian. Pertama, menyesuaikan diri dengan spesifikasi. Kedua, memenuhi kebutuhan pelanggan.[34] Mutu dalam pandangan seseorang terkadang bertentangan dengan mutu dalam pandangan orang lain, sehingga tidak aneh jika ada pakar yang tidak mempunyai kesimpulan yang sama tentang bagaimana cara menciptakan institusi yang baik.[35] 
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen mutu adalah ilmu atau seni yang mengatur tentang proses pendayagunaan sumber daya manusia maupun sumber-sumber lainnya yang mendukung pencapaian tujuan secara efektif dan efisien. berdasarkan ukuran, kadar, ketentuan dan penilaian tentang kualitas sesuatu barang maupun jasa (produk) sesuai dengan kepuasan pelanggan.
Manajemen mutu dalam pendidikan (Islam) lebih populer dengan sebutan istilah Total Quality Education (TQE). Secara filosofis, konsep ini menekankan pada pencarian secara konsisten terhadap perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Strategi yang dikembangkan dalam penggunaan manajemen mutu dalam dunia pendidikan adalah institusi pendidikan memposisikan dirinya sebagai institusi jasa atau dengan kata lain menjadi industri jasa. Yakni institusi yang memberikan pelayanan (service) sesuai dengan apa yang diinginkan pelanggan (custumer).
Manajemen pendidikan mutu berlandaskan kepada kepuasaan pelanggan sebagai sasaran utama. Pelanggan pendidikan ada dua aspek, yaitu; pelanggan internal dan pelanggan eksternal.[36] Pendidikan berkulitas apabila :
1.    Pelanggan internal (kepala sekolah, guru, dan karyawan) berkembang baik fisik maupun psikis. Secara fisik antara lain mendapatkan imbalan finasial. Sedangkan secara psikis adalah bila mereka diberi kesempatan untuk terus belajar mengembangkan kemampuan, bakat dan kreativitasnya.
2.    Pelanggan eksternal :
a.    Eksternal primer (para siswa) : Menjadi pembelajar sepanjang hayat, komunikator yang baik, punya keterampilan dalam kehidupan sehari-hari, integritas tinggi, pemecah masalah, dan pencipta pengetahuan serta menjadi warga negara yang bertanggungjawab.
b.    Eksternal sekunder (orang tua, pemerintah, dan perusahaan) : Para lulusan dapat memenuhi harapan orang tua, pemerintah, dan perusahaan dalam hal menjalankan tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
c.    Eksternal tersier (pasar kerja dan masyarakat luas) : Para lulusan memiliki kompetensi dalam dunia kerja dan pengembangan masyarakat, sehingga mempengaruhi pada pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat, dan keadilan sosial.
Maka dari itu, untuk memposisikan institusi pendidikan Islam sebagai industri jasa harus memenuhi standar mutu. Institusi dapat disebut bermutu, harus memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan. Secara operasional, mutu ditentukan dua faktor, yaitu terpenuhinya spesifikasi yang telah ditentukan sebelumnya dan terpenuhinya spesifikasi yang diharapkan menurut tuntutan dan pengguna jasa. Mutu yang pertama disebut, mutu sesungguhnya, mutu yang kedua disebut mutu persepsi.
Standar mutu produksi dan pelayanan diukur dengan kriteria sesuai dengan spesifikasi, cocok dengan tujuan pembuatan dan penggunaan, tanpa cacat, dan selalu baik sejak awal. Mutu dalam persepsi diukur dari kepuasaan pelanggan atau pengguna, meningkatnya minat dan harapan serta kepuasaan pengguna. Dalam penyelenggaraannya mutu sesungguhnya merupakan profil lulusan institusi pendidikan yang sesuai dengan kualifikasi tujuan pendidikan, yang berbentuk standar kemampuan dasar berupa kualifikasi akademik minimal yang dikuasai peserta didik. Sedangkan pada mutu persepsi pendidikan adalah kepuasaan dan bertambahnya minat pelanggan eksternal terhadap lulusan institusi pendidikan.
Beranjak dari pembahasan tersebut dalam operasi manajemen mutu dunia pendidikan Islam ada beberapa hal yang harus diperhatikan :
1.     Perbaikan secara terus menerus
Konsep ini mengandung pengertian bahwa pihak pengelola pendidikan Islam (manajemen personalia) senantiasa melakukan berbagai perbaikan dan peningkatan terus menerus untuk menjamin semua komponen penyelenggara pendidikan telah mencapai standar mutu yang telah ditetapkan. Konsep ini juga berarti bahwa antara institusi pendidikan senantiasa memperbaharui proses berdasarkan kebutuhan dan tuntutan pelanggan. Jika tuntutan dan kebutuhan pelanggan berubah, maka pihak pengelola institusi pendidikan Islam dengan sendirinya akan merubah mutu, serta selalu memperbaharui komponen produksi atau komponen-komponen yang ada dalam institusi pendidikan Islam.
Perbaikan terus-menerus ini dilakukan secara menyeluruh meliputi semua unsur-unsur manajemen pendidikan Islam, seperti; manajemen pembelajaran dan kurikulum pendidikan Islam, manajemen personalia di lembaga pendidikan Islam, perencanaan kebutuhan sumber daya manusia manajemen peserta didik di lembaga pendidikan Islam, dan manajemen hubungan lembaga pendidikan Islam dengan masyarakat.[37]
2.    Menentukan standar mutu
Paham ini digunakan untuk menetapkan standar-standar mutu dari semua komponen yang bekerja dalam proses produksi atau transformasi lulusan institusi pendidikan Islam. Standar mutu pendidikan Islam misalnya, dapat berupa kepemilikan, kemampuan dasar pada masing-masing pembelajaran dan sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditempuh. Selain itu, pihak manajemen juga harus menentukan standar mutu materi kurikulum dan standar evaluasi yang akan dijadikan sebagai alat untuk mencapai standar kemampuan dasar.
Standar mutu proses pembelajaran harus pula ditetapkan, dalam arti bahwa pihak manajemen pendidikan Islam perlu menetapkan standar mutu proses pembelajaran yang diharapkan dapat berdayaguna untuk mengoptimalkan proses produksi dan untuk melahirkan produk yang sesuai, yaitu yang menguasai standar mutu pendidikan berupa penguasaan standar kemampuan dasar. Pembelajarn yang dimaksud sekurang-kurangnya memenuhi karakteristik : menggunakan pendekatan pembelajaran aktif, pembelajaran kooperatif dan kolaboratif, pembelajaran konstruktif, dan pembelajaran tuntas.
Begitu pula pada akhirnya, pihak pengelola pendidikan Islam menentukan standar mutu evaluasi pembelajaran. Standar mutu evaluasi yaitu, bahwa evaluasi harus dapat mengukur tiga bentuk penguasaan peserta didik atas dasar standar kemampuan dasar, yaitu penguasaan materi, penguasaan metodologi, dan penguasaan keterampilan yang aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain penilaian diarahkan pada dua aspek hasil pembelajaran, yaitu instructional effects dan nurturant effects. instructional effects adalah hasil-hasil yang kasat mata dari proses hasil pembelajaran, sedangkan nurturant effects adalah hasil-hasil laten proses pembelajaran, seperti kebiasaan membaca dan kebiasaan memecahkan masalah.
Bagi pendidikan Islam, mutu yang mengacu kepada output harus menghasilkan minimal dua ranah yaitu, pertama terciptanya manusia yang dapat mengakomodasi seluruh fenomena kehidupannya sesuai dengan ajaran atau dasar al-Qur’an dan as-Sunnah, kedua terbentuknya manusia yang mempunyai skill kompetitif di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (ITC) sesuai dengan perkembangan zaman.
3.    Perubahan kultur
Konsep ini bertujuan membentuk budaya organisasi yang menghargai mutu dan menjadikan mutu sebagai orientasi semua komponen organisasi. Jika manajemen ini diterapkan di institusi pendidikan Islam maka pihak pimpinan harus berusaha membangun kesadaran para anggotanya, mulai dari pemimpin sendiri, staff, guru, pelajar, dan berbagai unsur terkait seperti yayasan, orang tua dan para pengguna lulusan pendidikan Islam akan pentingnya mempertahankan dan meningkatkan mutu pembelajaran baik mutu hasil maupun proses pembelajaran. Disinilah letak penting dikembangkannya faktor rekayasa dan faktor motivasi agar secara bertahap dan pasti kultur mutu itu akan berkembang di dalam organisasi institusi pendidikan Islam. Perubahan kultur ke arah kultur mutu ini antara lain dilakukan dengan menempuh cara-cara rumusan keyakinan bersama, intervensi nilai-nilai keagamaan Islam, yang dilanjutkan dengan perumusan visi-misi organisasi pendidikan Islam sesuai dengan ajaran sumber ajaran Islam.
4.    Perubahan organisasi
Jika visi-misi serta tujuan organisasi sudah berubah atau mengalami perkembangan, maka sangat dimungkinkan terjadinya perubahan organisasi. Perubahan organisasi ini bukan berarti perubahan wadah organisasi, melainkan sistem atau struktur organisasi yang melambangkan hubungan-hubungan kerja struktur organisasi yang melambangkan hubungan-hubungan kerja dan kepengawasan dalam organisasi. Perubahan ini menyangkut perubahan kewenangan, tugas-tugas dan tanggungjawab. Misalnya, dalam kerangka manajemen berbasis sekolah struktur organisasi dapat berubah terbalik dibandingkan dengan struktur konvensional. Berdirinya yayasan dalam pendidikan Islam merubah pola kepemimpinan manajemen organisasi di pesantren maupun madrasah.
5.    Mempertahankan hubungan dengan pelanggan
Karena organisasi pendidikan Islam berbasis mutu menghendaki kepuasan pelanggan, maka perlunya mempertahankan hubungan baik dengan pelanggan menjadi sangat penting. Inilah yang dikembangkan dalam unit publik relations.[38] Berbagai informasi antara organisasi pendidikan dan pelanggan harus terus-menerus dipertukarkan, agar institusi pendidikan senantiasa dapat melakukan perubahan-perubahan atau improvisasi yang diperlukan terutama berdasarkan perubahan sifat dan pola tuntutan serta kebutuhan pelanggan. Apalagi mengingat bahwa pendduduk Indonesia mayoritas Islam, tentu pendidikan Islam harus mampu mengambil “hati” masyarakat Indonesia.
Untuk itu, pelanggan juga diperkenankan melakukan kunjungan, pengamatan, penilaian, dan pemberian masukan kepada institusi pendidikan Islam. Selanjutnya semua masukan itu akan diolah dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan mutu proses dan hasil-hasil pembelajaran. Dan yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam manajemen berbasis sekolah, guru dan staff justru dipandang sebagai pelanggan internal, sedangkan pelajar termasuk orang tua pelajar dan masyarakat umum masuk pada pelanggan eksternal. Jerome S. Arcaro menyampaikan bahwa terdapat lima karakteristik sekolah atau lembaga pendidikan yang bermutu yaitu: 1) fokus pada pelanggan, 2) keterlibatan total, 3) pengukuran, 4) komitmen, dan 5) perbaikan berkelanjutan.[39]   Maka, pelanggan baik internal maupun eksternal  harus dapat terpuaskan melalui interval kreatif pimpinan insititusi pendidikan Islam.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Memasuki abad ke 21 atau milenium ketiga ini, dunia pendidikan dihadapkan pada berbagai masalah yang sangat urgen. Jika masalah ini tidak diatasi secara tepat, tidak mustahil dunia pendidikan akan ditinggal oleh putaran zaman. Kesadaran akan tampilnya dunia pendidikan sebagai memecahkan dan merespon berbagai tantangan baru yang timbul setiap zaman adalah hal yang logis, bahkan sebagai suatu keharusan.
Pendidikan Islam sebagai proses pengarahan perkembangan manusia pada sisi jasmani, akal, bahasa, tingkah laku, dan kehidupan sosial keagamaan yang diarahkan pada kebaikan menuju kesempurnaan, juga mempunyai kewajiban yang sama  untuk memecahkan masalah yang ada tersebut.
Hanya saja, kondisi obyektif pendidikan Islam dewasa ini berada pada posisi yang sangat memprihatinkan. Pendidikan Islam baik secara kelembagaan, proses, maupun outputnya belum menunjukan data yang menggembirakan. Pada ranah institusional, banyak ditemui lembaga pendidikan Islam yang secara fisik belum memadai atau layak secara standar kualitas sarana dan prasarana. Walupun dalam penyelenggaraannya diiringi motif dakwah dan penanaman ajaran Islam, namun masih jauh dari mutu standar penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Jika dilihat dari prespektif manajemen, maka pengelolaannya masih sangat konvensional. Implikasinya adalah kualitas output yang ditelurkannya kurang atau bahkan jauh dari standar mutu pendidikan global.
Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius pada lembaga pendidikan Islam formal, maupun non formal untuk memainkan peran signifikan pada arah pengelolaannya. Artinya diperlukan manajemen yang bermutu dalam pengembangan lembaga pendidikan Islam yang profesional sebagai jawaban atas problematika tersebut lebih-lebih dalam konteks otonomi pendidikan dewasa ini.
Salah satu tawaran yang patut dipertimbangkan adalah dengan memberikan sentuhan manajeman mutu dalam pendidikan Islam. Sebab, manajemen mutu adalah ilmu atau seni yang mengatur tentang proses pendayagunaan sumber daya manusia maupun sumber-sumber lainnya yang mendukung pencapaian tujuan secara efektif dan efisien. berdasarkan ukuran, kadar, ketentuan dan penilaian tentang kualitas sesuatu barang maupun jasa (produk) sesuai dengan kepuasan pelanggan. Secara filosofis, konsep ini menekankan pada pencarian secara konsisten terhadap perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Strategi yang dikembangkan dalam penggunaan manajemen mutu dalam dunia pendidikan Islam adalah institusi pendidikan memposisikan dirinya sebagai institusi jasa atau dengan kata lain menjadi industri jasa. Yakni institusi yang memberikan pelayanan (service) sesuai dengan apa yang diinginkan pelanggan (costumer).
Beberapa hal yang dapat ditawarkan dalam manajemen mutu pendidikan Islam adalah : perbaikan secara terus menerus, menentukan standar mutu, perubahan kultur, perubahan organisasi, dan mempertahankan hubungan dengan pelanggan pendidikan Islam.
Untuk keberhasilan penerapan manajemen mutu dalam pendidikan Islam tersebut memang tidak mudah. Diperlukan komitmen dan kerjasama yang baik antara lembaga terkait, pemerintah pusat dengan daerah, serta institusi pendidikan setempat, serta masyarakat di sekitarnya. Jika manajemen ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada dengan segala dinamika dan fleksibilitasnya, maka akan terjadi perubahan yang cukup efektif bagi pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan Islam dan pendidikan nasional.








DAFTAR PUSTAKA
Achmadi. 2010. Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Aassegaf, Abd. Rachman. 2011. Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Ali, Attabik. 2003. Kamus Inggris-Indonesia-Arab. Yogyakarta: Mukti Karya Grafika.
Arifin, M. 1987.  Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara.
Azra, Azumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Bastian , Aulia Reza. 2002. Reformasi Pendidikan: Langkah-langkah Pembaharuan dan Pemberdayaan Pendidikan Dalam Rangka Desentralisasi Sistem Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
Ellyasin, Muhammad dan Nanik Nurhayati. 2012. Manajemen Pendidikan Islam. Yogyakarta: Aditya Media Publishing.
Farodis, Zian.  2011. Panduan Manajemen Pendidikan ala Harvard University. Yogyakarta: Diva Press.
Fattah, Nanang. 2001. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hamalik, Oemar. 2010. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya.
http://hdr. Undp. Urg/en/.
Hasibuan, Malayu. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Arcaro. S, Jerome. 2007. Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-Prinsip Perumusan Dan Tata Langkah Penerapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sukarno. 2012. Budaya Politik Pesantren Perspektif Interaksionisme Simbolik. Yogyakarta: Interpena.
Komariah, Aan dan Cepi Triatna. 2008. Visionary Leadership: Menuju Sekolah Efektif. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Kompas. Edisi 1 Mei 2001.
Makawimbang, H. Jerry. 2011. Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta.
Media Indonesia. Edisi 29 Maret 2001.
Mulyadi,  2010, Kepemimpinan; Kepala Sekolah; Budaya Mutu ,Malang: UIN Maliki Press
Mulyono. 2008. Manajemen Administrasi dan Organisasi Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Muhaimin, dkk. 2012. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Muhroqib. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: LkiS.
Muriah, Siti. 2011. Kata Pengantar Dalam Manajemen Pendidikan Islam; Konstruksi Teoritis dan Praktis. Malang & Yogyakarta: Aditya Media Publishing.
Nata, Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.Partanto,
Pius dan Dahlan Albari.  2001. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arloka.
Republika, Edisi 8 Oktober 2001.
Salim, Peter. 1987. The Contemporary English Indonesian Dictionary. Jakarta: Modern English Press.
Sallis, Edward. 2012. Total Quality Management in Education. Yogyakarta: Ircisod.Subroto, B. 2004. Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta: Rieneka Cipta.
Tobrani. 2008. Pendidikan Islam; Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualis. Malang: UMM Press.Zamroni. 2011. Dinamika Peningkatan Mutu. Yogyakarta: Gavin Kalam Utama. Malang: UMM Press.


[1] Zamroni, Dinamika Peningkatan Mutu, (Yogyakarta: Gavin Kalam Utama, 2011), hlm. 83
[2] Zian Farodis, Panduan Manajemen Pendidikan ala Harvard University, (Yogyakarta: Diva Press, 2011), hlm. 7
[3] Aulia Reza Bastian, Reformasi Pendidikan: Langkah-langkah Pembaharuan dan Pemberdayaan Pendidikan Dalam Rangka Desentralisasi Sistem Pendidikan Indonesia, (Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2002) hlm. 24
[4] Sukarno, Budaya Politik Pesantren Perspektif Interaksionisme Simbolik, (Yogyakarta: Interpena, 2012), hlm. 15
[5] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 44
[6] Jerry H. Makawimbang, Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan, (Bandung: CV Alfabeta, 2011),  hlm. 1
[7] Siti Muriah, Kata Pengantar Dalam Manajemen Pendidikan Islam; Konstruksi Teoritis dan Praktis, (Malang & Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2012)
[8] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), cet. II, hlm. 32
[9] Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 2
[10] Depdikbud.Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah. (Jakarta: Depdikbud, 1997).hlm. 149
[11] Aan Komariah dan Cepi Triatna, Visionary Leadership: Menuju Sekolah Efektif, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), hlm. 9
[12] Muhroqib, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2009), hlm. 17
[13] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 15
[14] Op.Cit.,Achmadi, Ideologi..., hlm. 31
[15] Muhaimin dkk, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 29-30
[16] Azumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999)
[17] Laporan Bank Dunia sebagaimana diberitakan harian umum Kompas, edisi I Mei 2001
[18] Media Indonesia dalam laporan pendidikan dan kebudayaan, edisi 29 Maret 2001
[19] Republika, edisi 8 Oktober 2001 dengan judul: Kualitas Sistem Pendidikan Indonesia Terendah di Asia.
[20] http://hdr. Undp. Urg/en/.
[21] Mulyadi, Kepemimpinan; Kepala Sekolah; Budaya Mutu (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hlm. 105
[22] Pius Partanto & Dahlan Albari, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arloka, 2001), hlm. 440
[23] Mulyono, Manajemen Administrasi dan Organisasi Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 33
[24] Muhammad Eliyasin & Nanik Nurhayati, Manajemen Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2012), hlm. 60
[25] Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 1
[26] Malayu Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 1-2
[27] Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 16
[28] Op.Cit.,Pius Partanto dan Dahlan Albari, Kamus..., hlm. 510.
[29] Peter Salim, The Contemporary English Indonesian Dictionary, (Jakarta: Modern English Press, 1987), hlm. 550
[30] Attabik Ali, Kamus Inggris-Indonesia-Arab, (Yogyakarta: Mukti Karya Grafika, 2003), hlm.1043.
[31] Aan Komariah dan Cepi Triatna, Visionary Leadership: Menuju Sekolah Efektif, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), hlm. 9
[32]B. Suryobroto,  Manajemen Pendidikan di Sekolah, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2004), hlm. 210.
[33] Edward Sallis, Total Quality Management in Education, terj. Ahmad Ali Riadi & Fahrurozi, (Yogyakarta: Ircisod, 2012), hlm. 52.
[34] Ibid., hlm. 54.
[35] Ibid., hlm. 29-30.
[36] Ibid., hlm. 6.
[37] Op. Cit. Mukhamad Ilyas dan Nanik Nurhayati, Manajemen..., hlm. 74-106
[38] Op.Cit.Mukhamad Ilyasin dan Nanik Nurhayati, Manajemen..., hlm. 117
[39] Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-Prinsip Perumusan Dan Tata Langkah Penerapan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 36

No comments:

Post a Comment