PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP HASIL
BELAJAR AQIDAH AKHLAK SISWA SMPN 1 MALANG
A. Identifikasi
masalah/ merasakan ada masalah
Selama ini banyak pendapat yang menyatakan
bahwa untuk meraih prestasi belajar yang tinggi diperlukan Kecerdasan
Intelektual (IQ) yang tinggi juga. Namun, menurut hasil penelitian terbaru
dalam bidang psikologi membuktikan bahwa IQ bukan satu-satunya faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar seseorang. Terdapat banyak faktor lain yang
mempengaruhi, salah satunya adalah kecerdasan emosional.
Menurut Cooper dan Sawaf ; “Emosi adalah sumber
energi, pengaruh dan informasi yang bersifat batiniah. Emosi yang baik atau
buruk sudah ada sejak lahir, sehingga sangat penting dalam eksistensi
kepribadian untuk mendukung kemapuan bertindak cerdas”. (Abdullah Jalaluddin,
1997: 31)
Para ahli psikologi meyakini bahwa terdapat
hubungan erat antara kemampuan pengendalian emosi dengan kesuksesan dalam
kehidupan bersosialisasi karena hal itu membutuhkan akhlak yang baik pula.
Menurut Mc Celland bahwa “Keinginan untuk berprestasi adalah suatu motif untuk
mencapai suatu standar kualitas. Sesorang yang digerakkan oleh motif akan
berusaha melakukan usahanya atau pekerjaannya sebaik mungkin”. Oleh karena itu
emosi merupakan suatu sistem sebagai pemandu akhlak internal dalam melayani
kebutuhan dasar manusia. Emosi dapat mempermudah dan mempersulit pengambilan
keputusan, demikian pula sebaliknya.
B. Explorasi Dan
Analisis Masalah
Hasil beberapa penelitian di University of
Vermont mengenai analisis struktur neurologis otak manusia dan penelitian
perilaku oleh LeDoux (1970), menunjukkan bahwa dalam peristiwa penting
kehidupan seseorang, EQ selalu mendahului intelegensi rasional. EQ yang baik
dapat menentukan keberhasilan individu dalam prestasi kerja membangun
kesuksesan karier, mengembangkan hubungan suami-istri yang harmonis dan dapat
mengurangi agresivitas (Goleman, 2002).
Pengendalian rasa marah, sedih, gembira, takut,
membantu seseorang untuk berhasil dalam mengendalikan akhlaknya. Mencetuskan
kecerdasan emosi serta memperluasnya menjadi lima wilayah utama kecerdasan
emosi, yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali
emosi orang lain, dan membina hubungan. Dalam kehidupan berlingkungan pada
masa-masa pubertas.
Tidak setiap individu dapat mewujudkan
kecerdasan emosi dalam perilakunya, karena tidak sedikit individu yang
mempunyai kecerdasan intelektual tinggi namun mempunyai kecerdasan emosi yang
rendah. Oleh karena itu untuk mengoptimalkan kecerdasan emosi individu pada
akhlaknya maka sangatlah diperlukan melalui latihan dan bimbingan apalagi pada
saat mereka masuk pada masa-masa pubertas setingkat saat mereka masuk di
jenjang SMP baik dalam lingkungan
keluarga maupun dalam lingkungan sekolah hingga mereka merasa terbiasa.
Dari uraian di atas kita dapat mengetahui bahwa
sangatlah penting kaitannya antara kecerdasan emosional pada seorang pelajar atau
siswa dalam meraih prestasi belajarnya dan menjaga akhlaknya. Apalagi bila
sudah dikatakan di atas tadi oleh LeDoux bahwa EQ selalu mendahului inteligensi
rasional, Bahkan Golemen (1999) menyatakan bahwa setinggi-tingginya IQ hanya
menyumbang kira-kira 20% bagi faktor-faktor yang menentukan sukses dalam hidup,
sementara 80% diisi oleh kekuatan-kekuatan lain, termasuk EQ. Namun masalahnya
adalah, tidak semua orang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Selain itu
juga (Hurlock, 1992) mengatakan bahwa Masa pubertas berada tumpang tindih
antara masa anak dan masa remaja, sehingga kesulitan pada masa tersebut dapat
menyebabkan remaja mengalami kesulitan menghadapi fase-fase perkembangan
selanjutnya. Pada fase itu remaja mengalami perubahan dalam sistem kerja hormon
dalam tubuhnya dan hal ini memberi dampak baik pada bentuk fisik (terutama
organ-organ seksual) dan psikis terutama emosi. Sehingga hal ini (kurangnya
kesadaran siswa terhadap lingkungan sekitar dan kesulitan pada saat masa
pubertas) dapat menghambat suksesnya sebuah pembelajaran aqidah akhlak bila
tidak segera ditangani oleh pendidik.
C. Penyajian masalah
Setelah kita dapat mengetahui bahwa tidak semua
orang memiliki kemampuan yang tinggi dalam kecerdasan emosialnya, dan apa lagi
bila kecerdasan emosional memeiliki peran yang relatif besar pada aqidak akhlak
siswa, maka sebagai seorang pendidik kita dituntut untuk dapat mengembangkan
dan memotivasi kecerdasan emosional siswa agar mereka dapat memperoleh prestasi
belajar yang baik dan dapat menjaga akhlaknya pada lingkungan yang mereka
hadapi.
Agar fungsi pendidik sebagai motivator,
inspirator dan fasilitator dapat dilakonkan dengan baik, maka pendidik perlu
memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar subjek
didik. Faktor-faktor itu lazim dikelompokkan atas dua bahagian, masing-masing
faktor fisiologis dan faktor psikologis (Depdikbud, 1985 :11).
D. Pemecahan Masalah
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan
emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan
inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga
keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and
its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri,
motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Beberapa penelitian yang sudah dilakukan guna
menguji dan membuktikan kebenaran mengenai kecerdasan emosional telah dilakukan
dalam salah satu penelitian yaitu; Sebuah laporan dari National Center for
Clinical Infant Programs (1992) menyatakan bahwa keberhasilan di sekolah bukan
diramalkan oleh kumpulan fakta seorang siswa atau kemampuan dininya untuk
membaca, melainkan oleh ukuran-ukuran emosional dan sosial: yakni pada diri
sendiri dan mempunyai minat; tahu pola perilaku yang diharapkan orang
lain dan bagaimana mengendalikan dorongan hati untuk berbuat nakal; mampu
menunggu, mengikuti petunjuk dan mengacu pada guru untuk mencari bantuan; serta
mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan saat bergaul dengan siswa lain. Hampir semua
siswa yang prestasi sekolahnya buruk, menurut laporan tersebut, tidak memiliki
satu atau lebih unsur-unsur kecerdasan emosional ini (tanpa memperdulikan
apakah mereka juga mempunyai kesulitan-kesulitan kognitif seperti
kertidakmampuan belajar). (Goleman, 2002:273).
Sangat tertariknya banyak
orang kepada konsep kecerdasan emosional memang
dimulai dari perannya dalam membesarkan dan
mendidik anak-anak, tetapi selanjutnya orang menyadari pentingnya
konsep ini baik di lapangan kerja maupun dihampir
semua tempat lain yang mengharuskan manusia
saling berhubungan. (Lawrence E. Shapiro, 1998: 6) Contohnya adalah
pada saat seorang anak menempuh jenjang pendidikan, di sana mereka berusaha
mempelajari tentang konsep kecerdasan emosional secara tidak langsung. Tidak
langsung di sini maksudnya adalah seorang siswa selalu belajar untuk memahami
diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar mereka serta menerapkan
akhlaknya walaupun mereka masi terbilang masa-masa pubertas. Nah, di sini tidak
semua murid memiliki kecenderungan untuk mencoba memahaminya, maka peran guru
di dalam pembelajaran aqidah akhlak merupakan sebuah peran yang signifikan guna
menggiring siswa agar sadar dan mampu mengembangkan kecerdasan emosional siswa.
Guru yang berperan signifikan
dalam pendidikan sudah seharusnya memiliki komitmen
yang dapat menumbuhkan kinerja, keyakinan dan
seperangkat nilai-nilai aqidah akhlak yang dapat menarik
siswa-siswa untuk memiliki dedikasi yang tinggi guna pencapaian
tujuan sekolah. Dengan demikian mereka
secara bersama-sama memiliki dan memegang teguh prinsip-prinsip yang
telah ditetapkan dan berjuang untuk mewujudkannya dalam
tindakan nyata. Mereka juga memiliki komitmen bersama guna
mencapai tujuan-tujuan sekolah yang telah ditentukan sebelumnya.
E. Refleksi terhadap
pemecahan masalah
Salah satu faktor dalam keberhasilan belajar aqidah
akhlak adalah perkembangan energi yang sehat, untuk itulah guru sangat berperan
guna membimbing anak atau peserta didik dalam mengolah emosinya sesuai dengan
situasi yang dihadapi. Dari situlah suatu kondisi di mana siswa tetap merasa
gembira diusianya dan mampu untuk mengembangkan emosinya secara normal. Dalam
kehidupan anak, emosi memiliki sejumlah peranan, antara lain:
1. Emosi menambah
kesenangan terhadap pengalaman sehari-hari, baik pengalaman yang menyenangkan
maupun pengalaman yang tidak menyenangkan. Kesenangan terhadap pengalaman
tersebut dirasakan dalam bentuk “after effect ” (efek yang dirasakan anak
sesudah pengalaman itu terjadi).
2. Emosi berperan
sebagai bentuk komunikasi akhlak pada lingkungan, dengan ekspresi dan
reaksi-reaksi tubuh lainnya. Seseorang menyampaikan perasaannya kepada orang
lain.
3. Emosi merupakan
sumber penilaian sosial dan penilaian akhlak diri. Seseorang dinilai
berdasarkan emosi yang bekerja secara dominan dalam dirinya dan juga
berdasarkan caranya mengungkapkan emosinya.
4. Emosi mempengaruhi
interaksi seseorang. (T. Sutjihati Somantri, 2006: 54)
Dan masih banyak lagi peranan emosi pada aqidah
akhlak siswa, dan dengan itu kita bisa mengetahui begitu pentingnya mendampingi
siswa dalam setiap tingkah lakunya, dengan harapan nantinya anak bisa terlatih
untuk mengembangkan emosinya sendiri. Karena banyak ditemui kurangnya pemahaman
untuk mengembangkan kecerdasan emosi anak pada masa pubertas. Untuk itu memberi
perhatian pada tahap-tahap emosi anak, sangat diperlukan karena orang yang
memiliki kecerdasan emosi tinggi akan merasa nyaman dengan sendirinya, orang
lain, dan dunia lingkungan pergaulannya. Ia selalu berfikir positif, simpatik
dan menyenangkan, penuh semangat dan tanggung jawab selalu ceria mudah bergaul
dengan orang baru. (Iman Musbikin, 2004, 279-280)
Keterangan di atas menggambarkan begitu
urgensinya membimbing kecerdasan emosi anak masa pubertas dengan tidak
mengindahkan dunia kesenangan anak-anak yang diimplementasikan lewat
Pembelajaran. Maka lembaga pendidikan, diperlukan adanya suatu Model
Pembelajaran aqidah akhlak yang bisa meningkatkan kecerdasan emosi pada anak.
Karena kedua faktor tersebut yaitu bermain dalam proses sosialisasi aqidah
akhlak diduga bisa mengembangkan kecerdasan emosi anak dan keduanya saling
berhubungan satu sama lain.
Hal tersebut bisa kita lihat proses bermain
merupakan wahana untuk bisa bersosialisasi dengan orang lain karena dalam
melakukan kegiatan bermain anak akan mampu mengembangkan, menyalurkan
keinginannya tanpa beban. Di saat bermain inilah emosi anak juga ikut andil
didalam pengembangan akhlaknya. Karena emosi anak akan tampak terlihat ketika
dia bersosialisasi dengan teman sebayanya. Untuk menjadikan Pembelajaran itu
menyenangkan dan mampu memotivasi anak untuk bisa mengendalikan emosinya.
Jika siswa atau anak didik mampu mengendalikan
emosinya, maka kemungkinan yang sangat besar keberhasilan belajar mereka akan
mereka raih dalam aqidah akhlak yang nantinya dapat ditindak lantjuti. Dan
selain sisi itu, mereka juga mampu bersosialisasi dengan sangat baik terhadap
teman sebaya, teman di bawah umur ataupun orang-orang yang lebih tua dari
mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Goleman, Daniel
(2002). Emitional Intelligence (terjemahan). Jakata : PT Gramedia
Pustaka Utama.
Musbikin, Iman.
2004. Anak-anak Didikan Teletubbies. Yogyakarta: Mitra Pustaka
Jalaluddin,
Abdullah. 1997. Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Lawrence
E. Shapiro. 1998. Mengajarkan Emotional Intellegence
pada Anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Somantri , T.
Sutjihati. 2006 . Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama.
Sudarsono, dkk.
Dekdikbud. 1985. Pendidikan, Moral dan Ilmu
Jiwa Jawa. Yayasan. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan panunggalan
No comments:
Post a Comment