Bab I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tasawuf adalah nama lain dari mistisisme dalam Islam. Tasawuf atau
mistisisme dalam Islam ber-esensi pada hidup dan berkembang mulai dari bentuk
hidup kezuhudan, dalam bentuk tasawuf amali, kemudian tasawuf falsafi.
Barangkali sepanjang sejarahnya, dalam peradaban Islam, elemen
‘Tasawuf’ adalah yang paling banyak disalahpahami dan paling sering memicu
kontroversi. Secara garis besar ada dua pendapat tentang Tasawuf: (1) para
penentang, yg menuduh Tasawuf adalah sesat, bid’ah, khurafat, berbau klenik
(takhayul), dan sinkretis serta tidak berasal dari tradisi Islam; (2)
pendukung, yg menganggap Tasawuf adalah inti dari Islam. Perdebatan ini sudah
terjadi sejak istilah ‘tasawuf’ atau ‘sufi’ muncul pertama kali dan sampai sekarang
tetap tak terjadi titik temu, bahkan cenderung lebih ‘keras’ benturannya.
Secara umum, istilah tasawuf merujuk pada aspek keruhanian dan
tazkiyatun nafs (akhlak) dalam ajaran Islam. Karena penekanannya pada aspek
keruhanian, maka membicarakan tasawuf adalah seperti membicarakan samudera
tanpa tepi, dan mustahil kita memberikan gambaran yang utuh tentang
tasawuf dalam ribuan buku sekalipun. Karenanya tulisan ini dibatasi
hanya pada aspek sejarah dan perkembangannya dalam tradisi Islam, sebagaimana telah
dicatat dalam berbagai literatur yang penyusun temukan.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
sejarah perkembangan Ilmu Tasawuf sebelum masa Al-Ghazali ?
2.
Bagaimana
sejarah perkembangan Ilmu Tasawuf setelah masa Al-Ghazali?
3.
Apa yang
dimaksud dengan tasawuf amali dan siapa tokoh-tokohnya?
4.
Apa yang
dimaksud tasawuf nadhari dan siapa tokoh tokohnya?
1.3 Tujuan Pembahasan
1.
Mampu
menjelaskan bagaimana perkembangan ilmu tasawuf sebelum masa Al-Ghazali .
2.
Mampu
menjelaskan bagaimana perkembangan ilmu tasawuf setelah masa Al-Ghazali.
3.
Mampu
menjelaskan tasawuf amali dan tokoh tokohnya.
4.
Mampu
menjelaskan tasawuf nadhari dan tokoh tokohnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan
Tasawuf Sebelum Masa Al-Ghazali
1.
Lahirnya Ilmu
Tasawuf
Tasawuf berarti kesadaran seorang hamba, adanya dialog dan
komunikasi langsung dengan Tuhan. Dengan adanya kesadaran secara terus menerus
itu, maka seseorang akan berlaku baik (berakhlak) terhadap Tuhan, diri sendiri,
sesama manusia dan terhadap alam semesta.[1]
Sedangkan zuhud adalah salah satu cikal bakal lahirnya ilmu tasawuf , karena
ilmu zuhud mendahului ilmu tasawuf .
Zuhud menurut para
ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. Menurut Harun
Nasution, statiun yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhud yaitu
keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang
calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia
meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi
sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi .
Secara etimologis,
zuhud berarti raghaba ‘an syai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap
sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari
kesenangan dunia untuk ibadah [2].
Berbicara tentang
arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa
dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes.
Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara
manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu
statiun (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam
posisi ini, zuhud berarti menghindar
dari berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah.
Zuhud adalah “berpaling dari dunia dan
menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi
kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan
memperbanyak dzikir”. Zuhud disini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan
dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang
kadang – kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama.
Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan ahirat dan tercapainya tujuan
tasawuf, yakni ridha, bertemu dan ma’rifat Allah swt.
Kedua, zuhud
sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang
seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia
dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan
tujuan tujuan hidup, dan di sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat –
sifat mazmumah (tercela). Keadaan seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan
para sahabatnya.
Zuhud disini
berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada ditangan dan
tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi Abu
Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan
duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki
pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan
berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan
kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya.[3]
Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak bersyaratkan
kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun
zahid. Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi
keduanya adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki. Zuhud menurut Nabi
serta para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh dari hal-hal
duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam menghadapi segala
sesuatu.
Zuhud merupakan
salah satu maqam yang sangat penting dalam tasawuf. Hal ini dapat dilihat dari
pendapat ulama tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam pembahasan
tentang maqamat, meskipun dengan sistematika yang berbeda – beda. Al-Ghazali
menempatkan zuhud dalam sistematika : al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-zuhud,
al-tawakkul, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla. Al-Tusi menempatkan zuhud
dalam sistematika: al-taubah,al-wara’,al-zuhd,
al-faqr,al-shabr,al-ridla,al-tawakkul, dan al-ma’rifah . Sedangkan al-Qusyairi
menempatkan zuhud dalam urutan maqam : al-taubah,al-wara’, al-zuhud,
al-tawakkul dan al-ridla.[4]
Benih – benih
tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dalam
perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad SAW. Sebelum
diangkat menjadi Rasul, berhari –hari ia berkhalwat di gua Hira terutama pada
bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak berdzikir bertafakur dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan diri Nabi di gua Hira ini merupakan
acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Sumber lain yang diacu oleh para
sufi adalah kehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteduhan iman,
ketaqwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu setiap orang yang
meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan
kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad – abad
sesudahnya .
2.
Perkembangan
Ilmu Tasawuf Sebelum Al-Ghazali
Jauh sebelum
lahirnya agama islam, memang sudah ada ahli Mistik yang menghabiskan masa
hidupnya dengan mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya; antara lain terdapat pada
India Kuno yang beragam Hindu maupun Budha. Orang-orang mistik tersebut
dinamakan Gymnosophists oleh penulis barat dan disebut al-hukama’ul uroh oleh
penulis Arab. Yang dapat diartikan sebagai orang-orang bijaksana yang
berpakaian terbuka. Hal tersebut dimaksudkan, karena ahli-ahli mistik
orang-orang India selalu berpakaian dengan menutup separuh badannya.
Selanjutnya dapat dikemukakan beberapa nash yang mengandung ajaran tasawuf
yaitu:
a) Nash-nash
al-qur’an, antara lain QS; Al-Ahzab ayat 41-42 yang artinya : Hai orang-orang
yang beriman berdzikirlah dengan menyebut nama Allah, dzikir yang
sebanyak-banyaknya di waktu pagi dan petang”.
b) Nash-nash hadits
yang antara lain artinya berbunyi;” Bersabda Rosulullah saw: takutilah firasat
orang-orang mu’min, karena ia dapat memandang dengan nur (petunjuk Allah).
H.R.Bukhary yang bersumber dari Abi Sa’id Al-Khudriyyi.
Kehidupan Rosulullah saw yang menggambarkan kehidupan sebagai sufi
yang sangat sederhana, karena beliau menjauhkan dirinya dari kehidupan mewah,
yang sebenarnya merupakan amalan zuhud dalam ajaran Tasawuf . Berbicara
mengenai perkembangan tasawuf sebelum masa Al-Ghazali maka di sini akan
dibedakan menjadi 2 yaitu :
a. Tasawuf Abad Pertama dan Kedua
Menurut para ahli
sejarah tasawuf, zuhud atau asketisime merupakan fase yang mendahului lahirnya
tasawuf pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Dalam Islam, asketisisme
mempunyai pengertian khusus. Asketisisme bukanlah kependetaan atau terputusnya
kehidupan duniawi, melainkan hikmah pemahaman yang membuat para penganutnya
mempunyai pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi, di mana mereka tetap
bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan
kalbu mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya.[5]
Istilah yang
populer digunakan pada masa awal tersebut adalah nussaak, zuhhaad dan ‘ubbaad.
Nussaak merupakan bentuk jamak dari nasik, yang berarti orang-orang yang telah
menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada Tuhan. Zuhhaad adalah
bentuk plural dari zahid, yang berarti “tidak ingin” kepada dunia, kemegahan,
harta benda dan pangkat. Sedangkan ‘ubbaad merupakan bentuk jamak dari abid
yakni orang-orang yang telah mengabdikan dirinya semata-mata kepada Tuhan.
Para ahli berbeda
pendapat mengenai faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan asketisisme
dalam Islam. R.A. Nicholson berpandangan bahwa asketisisme dalam Islam
bersumber dari gerakan Islam itu sendiri, bahkan hasil nyata dari ide Islam tentang
Allah, walaupun ada dampak pengaruh agama Masehi (Kristen). Sedangkan Ignaz
Goldziher melihatnya melalui dua perspektif. Pertama, asketisisme yang
mendekati semangat Islam dan Ahlus Sunnah, sekalipun terkena pula dampak
asketisisme Masehi. Kedua, tasawuf dalam pengertiannya yang luas yang berkaitan
dengan pengenalan terhadap Allah (ma’rifah), keadaan ruhaniah (hal), dan rasa
(dzauq). Menurutnya yang kedua ini terkena dampak Neo-Platonisme dan
ajaran-ajaran Budha ataupun Hindu. Dengan demikian, kedua orientalis di atas
menganggap asketisisme dalam Islam muncul dikarenakan dua faktor utama, yaitu
Islam itu sendiri dan kependetaan Nasrani, sekalipun keduanya berbeda pendapat
tentang sejauh mana dampak faktor yang terakhir.[6]
Sementara itu, Abu
al-Ala Afifi berpendapat bahwa ada empat faktor yang mengembangkan asketisisme
dalam Islam. Pertama, ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Kitab suci Al-Quran
sendiri telah mendorong manusia agar hidup saleh, takwa kepada Allah,
menghindari dunia beserta hiasannya, memandang rendah hal-hal yang duniawi, dan
memandang tinggi kehidupan di akhirat. Selain itu Al-Quran juga menyeru manusia
agar beribadah, bertingkah laku baik, salat malam, salat tahajud, berpuasa dan
lain-lain.
Kedua, revolusi
ruhaniah kaum Muslim terhadap sistem sosio-politik yang berlaku. Ketiga, karena
dampak asketisisme Masehi. Di zaman pra-Islam, menurutnya, bangsa Arab terkena
dampak para pendeta Masehi. Dampaknya terhadap para asketis Muslim, setelah
timbulnya Islam, masih tetap berlangsung. Namun dampak asketisisme Masehi itu
lebih banyak terhadap organisasionalnya ketimbang terhadap aspek
prinsip-prinsip umumnya.
Keempat,
penentangan terhadap fikih dan kalam. Sebagian kaum Muslim yang saleh pada masa
itu merasa bahwa pemahaman para fuqaha dan ahli kalam tentang Islam tidak dapat
sepenuhnya memuaskan perasaan keagamaan mereka. Sehingga mereka pun mengarah
pada tasawuf untuk memenuhi kehausan perasaan keagamaan mereka.
Sedangkan Abu
al-Wafa’ al-Taftazani sendiri, melihatnya secara global dari dua aspek.Pertama,
faktor Al-Quran dan Sunnah. Faktor pertama dan utama yang mengembangkan
asketisisme dalam Islam adalah ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan
Sunnah yang berkaitan dengan uraian tentang ketidakartian dunia maupun
hiasannya, dan perlunya berusaha secara sungguh-sungguh demi akhirat, untuk
memperoleh pahala surga ataupun selamat dari azab neraka. Bagi Taftazani, ada
banyak ayat tentang kefanaan dunia, serta hamba-hamba Allah yang selalu
membersihkan diri.[7]
Kedua, kondisi
sosio-politik. Konflik politik yang terjadi sejak akhir masa Khalifah Utsman
bin Affan r.a. mempunyai dampak terhadap kehidupan religius, sosial dan politik
kaum Muslim. Puncaknya adalah pada zaman dinasti Umayyah yang banyak terjadi
kelaliman dan penindasan sehingga banyak orang cenderung pada asketisisme.
Kekuasan Bani Umayyah yang juga hidup dalam kemewahan duniawi mengundang reaksi
kaum asketisisme yang menginginkan kesederhanaan hidup dan tercipta kesetaraan
hidup umat Islam.
Kaum asketisisme
pertama ini melihat para Khalifah Umayyah bertingkah laku sama sekali
bertentangan dengan kesalehan dan kesederhanaan empat Khalifah yang pertama.
Para Khalifah, keluarga dan para pembesar istana hidup dalam kemewahan sebagai
akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syria, Mesir,
Mesopotamia, dan Persia. Muawiyah telah hidup sebagai raja-raja Roma dan Persia
dalam kemewahannya. Di antara Khalifah Bani Umayyah, hanya Khalifah Umar Abdul
Aziz (717-720M.) yang dikenal sebagai Khalifah yang mempunyai sifat takwa dan
patuh kepada ajaran-ajaran Islam dan sederhana hidupnya.
Khalifah lainnya
hidup dalam kemewahan. Khalifah-khalifah Bani Abbas juga demikian, selalu
dipenuhi dengan keglamoran hidup dan pertikaian. Melihat fakta-fakta tersebut,
orang-orang yang tidak mau terlena dalam hidup kemewahan dan ingin
mempertahankan hidup sederhana, menjauhkan diri dari kemewahan dunia tersebut.
Bahkan di antara sebagian sahabat ada juga melakukan protes secara keras,
seperti Abu Dzar al-Ghiffari dan Said Ibnu Zubair, sehingga menimbulkan gejolak
pada Bani Umayyah.
Era abad pertama
dan kedua Hijriyah tersebut sudah banyak para tokoh zahid, baik dari kalangan
sahabat maupun generasi tabi’in. Berikut ini merupakan tokoh-tokohnya menurut
tempat perkembangannya. Para zahid yang tinggal di Madinah dari kalangan
sahabat, seperti Abu Ubaidah al-Jarrah (w.18H), Abu Dzar Al-Ghiffari (w 22H),
Salman Al-Farisi (w 32 H), dan Abdullah ibn Mas’ud (w 33 H). Sedangkan dari
kalangan tabi’in, termasuk di antaranya adalah Said ibn Musayyab (w 91 H) dan
Salim ibn Abdullah (w 106 H).
Tokoh-tokoh zahid
dari Basrah adalah Hasan Al-Bashri ( w 110 H), Malik ibn Dinar (w 131 H), Fadl
Al-Raqqasyi, Kahmas ibn Al-Hadan Al-Qais (w 149 H), Shalih Al-Murri dan Abdul
Wahid ibn Zaid (w 171 H) dari Abadan. Tokoh-tokoh aliran Kufah adalah Al-Rabi
ibn Khasim (w 67 H), Said ibn Jubair (w 96 H), Thawus ibn Kisan (w 106 H),
Sufyan Al-Tsauri (w 161 H), Al-Laits ibn Said (w 175 H), Sufyan ibn Uyainah (w
198 H), dan lain-lain.
Sedangkan
tokoh-tokoh yang berasal dari Mesir antara lain, adalah Salim Ibn Attar
Al-Tajibi (w 75 H), Abdurrahman Al-Hujairah (w 83 H), Nafi’ hamba sahaya
Abdullah ibn Umar (w 117 H), Hayah ibn Syuraih (w 158 H), dan Abu Abdullah ibn
Wahhab ibn Muslim Al-Mishri (w 197 H). Pada masa terakhir tahap ini juga muncul
tokoh-tokoh, seperti Ibrahim ibn Adham (w 161 H), Fudhail ibn Iyadh (w 187 H),
Dawud Al-Tha’i (w 165 H), dan Rabi’ah Al-Adawiyyah.[8]
Menurut Abu
al-Wafa’, aliran asketisisme abad pertama dan kedua hijriyah dapat disimpulkan
dengan beberapa karakteristik berikut. Pertama, asketisisme ini berdasarkan ide
menjauhi hal-hal duniawi, demi meraih pahala akhirat, dan memelihara dari azab
neraka. Ide ini berakar pada ajaran-ajaran Al-Quran dan Sunnah, dan terkena
dampak berbagai kondisi sosio-politik yang berkembang dalam masyarakat Islam
ketika itu.
Kedua, asketisisme
ini bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk
menyusun prinsip-prinsip teoretis atas asketisismenya tersebut. Sarana-sarana
praktisnya merupakan hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan secara penuh,
sedikit makan maupun minum, banyak beribadah dan mengingat Allah,
berlebih-lebih dalam merasa berdosa, tunduk mutlak pada kehendak Allah, dan
berserah diri kepada-Nya. Dengan begitu, asketisisme ini mengarah pada tujuan
moral.
Ketiga, motivasi
asketisisme ini adalah rasa takut (khouf), yakni rasa yang muncul dari landasan
amal keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada akhir abad kedua
Hijriyah, di tangan Rabi’ah al-Adawiyyah, muncul motivasi cinta kepada Allah
(mahabatullah), yang bebas dari rasa takut terhadap azab-Nya maupun rasa harap
terhadap pahala-Nya. Hal ini mencerminkan penyucian diri dan abstraksi dalam
hubungan antara manusia dengan Allah.
Keempat,
asketisisme sebagian asketis yang terakhir, khususnya di Khurasan, dan pada
Rabia’ah al-Adawiyyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bisa dipandang
sebagai pendahuluan tasawuf. Kelompok ini sekalipun dekat dengan tasawuf, tidak
dipandang sebagai para sufi dalam pengertiannya yang terinci. Mereka lebih
tepat dipandang sebagai cikal bakal para sufi abad-abad ketiga dan keempat
Hijriyah.[9]
b. Tasawuf Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah
Walaupun sulit
menentukan secara tepat kapan peralihan waktu antara gerakan asketisisme dan
tasawuf dalam Islam, namun pada permulaan abad ketiga Hijriyah sudah terlihat
adanya peralihan dari asketisisme menuju tasawuf. Para asketis pada masa ketiga
Hijriyah tidak lagi dikenal dengan gelar tersebut, tapi mereka lebih dikenal
dengan sebutan sufi. Istilah-istilah lain yang sebelumnya lebih populer,
seperti zuhhaad dan nussaak, secara perlahan-lahan digantikan oleh istilah sufi
yang menjadi sangat terkenal.[10]
Para sufi pada era
tersebut mulai cenderung memperbincangkan konsep-konsep yang sebelumnya justru
tidak dikenal, semacam tentang moral, jiwa, tingkah laku, pembatasan arah yang
harus ditempuh seorang penempuh jalan menuju Allah, yang dikenal dengan istilah
tingkatan (maqam) serta keadaan (hal), ma’rifat dan metode-metodenya, tauhid,
fana, penyatuan atau hulul. Selain itu mereka menyusun prinsi-prinsip teoretis
dari semua konsep tersebut. Bahkan mereka menyusun aturan-aturan praktis bagi
tarekat mereka dan mempunyai bahasa simbolis khusus yang hanya dikenal dalam
kalangan mereka sendiri, yang asing bagi kalangan luar. Sejak saat itu muncul
karya-karya tentang tasawuf, dengan para pengarang seperti Al-Muhasibi (w. 243
H), Al-Kharraz (w. 277 H), Al-Hakim Al-Tirmidzi (w. 285 H), dan Al-Junaid (w.
297 H). Sehingga dapat dikatakan bahwa abad ketiga Hijriyah merupakan mulai
tersusunnya ilmu tasawuf dalam arti yang luas.
Sejak abad ketiga
Hijriyah, dari segi objek, metode, dan tujuannya tasawuf menjadi terpisah dari
ilmu fikih. Ibn Khaldun menguraikan bahwa ilmu agama menjadi dua bagian: yang
satu berkaitan denga fuqaha dan para pemberi fatwa, yaitu mengenai hukum-hukum
ibadah yang umum, adat istiadat atau pun niaga. Satunya lagi berkaitan dengan
kelompok sufi yang melakukan latihan ruhaniah, introspeksi diri,
memperbincangkan rasa dan intuisi yang ditempuh dalam perjalanannya, dan cara
peningkatan diri dari satu rasa ke rasa yang lain, atau menerapkan
terminologi-terminologi yang berkaitan dengan hal itu semua.
Sejak masa itu dan
masa-masa selanjutnya, para sufi mulai mengemukakan terminologi-terminologi
khusus tentang ilmu mereka. Maka terkenal pulalah ilmu mereka sebagai ilmu
batin, ilmu hakikat, ilmu wiratsah dan ilmu dirayah. Semua istilah tersebut
merupakan kebalikan dari ilmu lahir, ilmu syariah, ilmu dirasah, dan ilmu
riwayah.
Pembagian Al-Thusi
di atas memperlihatkan dengan jelas bahwa para Sufi, dalam menyebut ilmunya
dengan dirayah, ilmu batin ataupun sebutan lain yang serupa, justru membedakan
adanya dua ilmu: ilmu teoretis yang berkaitan dengan hukum, serta ilmu yang
membahas cara-cara merealisasikan hukum-hukum tersebut, baik dalam kalbu
ataupun dalam tingkah laku. Yang pertama adalah fikih atau lahir, sementara
yang kedua adalah tasawuf atau batin.
Selanjutnya
menurut Abu Al-Wafa’, pada abad-abad ini ada dua macam aliran tasawuf. Pertama,
aliran para sufi yang pendapat-pendapatnya moderat. Tasawufnya selalu merujuk
kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan kata lain, tasawuf aliran ini selalu
mengikuti pertimbangan syari’ah. Sebagian sufinya adalah ulama terkenal dan
tasawufnya didominasi ciri-ciri moral. Kedua, aliran para sufi yang terpesona
keadaan-keadaan fana. Mereka ini sering mengucapkan kata-kata ganjil, yang
terkenal sebagai syathahat. Di antara tokohnya adalah Al-Hallaj dan Abu Yazid
Al-Busthami.
Kendati demikian,
secara global pada periode abad ini setidaknya ada lima karakteristik kedua
jenis tasawuf tersebut.Pertama, peningkatan moral. Pada dasarnya, pada abad
ketiga dan keempat Hijriyah, tasawuf adalah ilmu tentang moral agama. Sebab,
aspek moral tasawuf pada masa itu berkaitan erat dengan pembahasan jiwa, klasifikasinya,
uraian kelemahannya, penyakitnya, ataupun jalan keluarnya. Karenanya dapat
dikatakan bahwa tasawuf pada masa tersebut ditandai ciri-ciri psikologis, di
samping ciri-ciri moral.
Semua sufi abad
ketiga dan keempat Hijriyah menaruh perhatian terhadap pembahasan moral maupun
hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti latihan jiwa, taubat, kesabaran,
ridha, tawakkal, takwa, rasa takut, rasa heran, cinta, ingat Allah, jiwa dan
penyakit-penyakitnya, dan tingkah laku maupun etika serta fase-fasenya. Karya-karya
biografi mereka penuh dengan pendapat-pendapat mereka tentang hal itu semua.
Barangkali, dalam
kalangan para sufi yang pertama kali membahas masalah tersebut secara mendalam
adalah Al-Harits ibn Asad Al-Muhasibi. Ia adalah salah seorang sufi yang mengkompromikan
ilmu syariat dengan ilmu hakikat. Ia mengarang banyak buku yang berhubungan
dengan persoalan jiwa dan permasalahannya. Salah satunya yang cukup terkenal,
yaitu ‘Adabun Nufus yang menguraikan perawatan jiwa dan kalbu, akhlak-akhlak
jiwa, evaluasi diri, jenjang-jenjang amal, hawa nafsu, kelengahan dan
kewaspadaan serta konsep-konsep lain yang berhubungan dengan peningkatan moral
dan spiritual.
Kedua, pengetahuan
intuitif secara langsung atau disebut ma’rifat. Ini merupakan prinsip
epistemologis yang membedakan tasawuf dengan filsafat. Apabila dengan filsafat,
yang dalam memahami realitas seseorang menggunakan metode-metode intelektual,
maka dia disebut seorang filosof. Sedangkan kalau dia menggunakan metode
intuisi atau ma’rifat, maka dalam kondisi demikian dia disebut sebagai seorang
sufi atau mistikus dalam pengertiannya yang lengkap.
Tokoh yang
mula-mula membahas persoalan ma’rifat adalah Ma’ruf Al-Karkhi, yang diikuti
oleh Abu Sulaiman Al-Darani, dan yang paling terkenal yaitu Dzun Nun Al-Mishri.
Namun lagi-lagi, adalah Al-Muhasibi yang secara spesifik menulis sebuah buku
kecil yang cukup terkenal tentang ma’rifah yaitu Syarh al-Ma’rifah wa Badzl
al-Nashihah. Secara garis besar,
Al-Muhasibi membahas empat pilar utama ma’rifat yaitu (1) ma’rifat kepada
Allah; (2) mengenal iblis sebagai musuh Allah; (3) mengenal nafs; dan (4)
mengenal amal yang dilakukan karena Allah semata.
Ketiga, pemenuhan
fana (sirna) dalam realitas mutlak. Yang dimaksud fana ialah bahwa dengan
latihan-latihan fisik dan psikis yang ditempuhnya, akhirnya seorang sufi sampai
pada kondisi tertentu, di mana dia tidak lagi merasakan adanya diri atau pun
keakuannya. Fana juga bisa didefinisikan sebagai ketiadaan diri di dalam Allah,
yakni menjadikan sifat-sifat baik Allah, bukan Eksistensi, sebagai ganti
sifat-sifat manusiawi yang rendah.
Keempat,
ketenteraman atau kebahagiaan. Ini merupakan karakteristik khusus pada semua
bentuk tasawuf. Sebab, tasawuf diniatkan sebagai petunjuk atau pengendali
berbagai dorongan hawa nafsu, serta pembangkit keseimbanagn psikis pada diri
seorang sufi. Dengan sendirinya, tujuan tersebut akan membuat sang sufi
terlepas dari semua rasa takut dan merasakan ketenteraman jiwa dan kebahagiaan
dirinya pun terwujudkan.
Kelima, pemakaian
simbol-simbol dalam mengungkapkan hakikat realitas-realitas tasawuf. Yang
dimaksud dengan simbol di sini adalah ungkapan-ungkapan yang dipergunakan sufi
biasanya mengandung dua pengertian; 1) pengertian yang terdapat pada kata-kata
tekstual. 2) pengertian yang digali dengan analisis dan pendalaman. Pengertian
yang kedua ini hampir sepenuhnya tertutup bagi yang bukan sufi dan sulit untuk
dapat memahami maksud tujuan mereka. Sebab, tasawuf merupakan kondisi-kondisi
efektif yang khusus, yang mustahil dapat diungkapkan dengan kata-kata. Terlebih
lagi, kondisi itu tidak sama pada setiap tokoh sufi. Setiap sufi punya cara
tersendiri dalam mengungkapkan kondisi-kondisi yang mereka alami. Dengan
demikian, tasawuf merupakan pengalaman yang subjektif.
Pada tahun kelima
hijriyah lahirlah aliran tasawuf moderat atau sunni terus tumbuh dan
berkembangpada abad kelima Hijriyah. Sementara aliran kedua yang bercorak
semi-filosofis, yang cenderung dengan ungkapan-ungkapan ganjil serta bertolak
dari keadaan fana, mulai tenggelam dan kelak akan muncul kembali dalam bentuk
lain pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam Hijriyah dan
setelahnya.
Tenggelamnya
aliran kedua pada abad kelima Hijriyah, pada dasarnya disebabkan oleh
berjayanya aliran teologi Ahlus Sunnah wal Jama’ah melalui keunggulan Abu
Al-Hasan Al-Asy’ari atas aliran-aliran lainnya. Tasawuf pada era ini cenderung
melakukan pembaruan dengan mengembalikannya ke landasan AlQuran dan Sunnah. Di
antara tokoh-tokohnya yang sangat terkenal yaitu Al-Qusyairi, Al-Hawari dan
Al-Ghazali .
B.
Perkembangan
Tasawuf Setelah Al Ghazali
Di saat Timur Islam terhenyak dengan serangan al-Ghazalipada
filsafat. Islam di Eropa justru terus menemukan semangatnya pada ilmu
pengetahuan termasuk filsafat.Semenjak era Islam melebarkan sayapnya di Eropa
lewat penaklukan Thariq bin Ziyad, seakan menjadi penanda bahwa Eropa akan
tercerahkan oleh peradaban Islam yang sedang berada di puncak.
Semenjak
dikalahkannya dinasti Umayyah di Timur oleh Dinasti Abbasiyah. Para keluarga
dinasti Umayyah memilih untuk menyingkir dari keramaian kota Bagdad dan
memutuskan menetap di Andalusia. Saat itu Andalusia tidak lebih sebagai propinsi
pinggiran bagi Bagdad. Sebuah gambaran bagi daerah yang kurang diperhitungkan
dalam hiruk pikuk pemerintahan, perdagangan, dan pengetahuan
yangberpusatdiBagdad.Akan tetapi semenjak Islam membuka wilayah ini, ia terus
berkembang. Puncaknya di saat timur Sunni terhenyak dan terkesima oleh
kecemerlangan pemikiran al-Ghazali, dan membuat masyarakatnya takut dan pada
akhirnya terkurungpada doktrin-doktrin ortodoksi.
Di Barat Islam
budaya pengetahuan masih terus berlangsung dan masih berada dalam masa kegairahan
ilmu pengetahuan. Di saat Timur mulai terjebak pada budaya penghormatan pada
guru yang begitu mendalam dalam bidang inteleklektual hingga terjebak pada
dialektika matan, syarah, khasiyah, dan mukhtashar , di Barat justru muncul
para pengarang-pengarang kitab yang tidak terikat pada satu naskah.
Salah seorang yang
termasyhur dari bumi Andalusia adalah Ibnu Rusyd (1126-1198 M), ia hidup 100
tahun setelah al-Ghazali wafat. Ia banyak menulis buku. Diantaranya yang
masyhur di kalangan sunni adalah sanggahannya pada tahafut al-falasifahdari
al-Ghazali yang mendekonstruksi (dengan metode hadm) semua pemikiran filsafat
lewat dua tokoh pentingnya di dunia Islam Ibnu Sina dan al-Farabi, karangan
tersebut diberi judul tahafut al-tahafut.
Ibun Rusyd (12 M),
rasionalis muslim Eropa mengemukakan kerancuan-kerancuan al-Ghazali, kritiknya
terutama mengacu pada kesalah fahaman al-Ghazali atas filsafat yang
disandarkannnya pada Ibnu Sina dan al-Farabi. Bagi Ibnu Rusyd sebenarnya
al-Ghazali hanya salah paham saja, karena al-Ghazali tidak pernah mempelajari
langsung filafat Yunani, ia hanya membaca terjemahannya saja dalam bahasa Arab
dan mendengar tentang filasafat dari orang kedua sehingga pemahaman al-Ghazali
tidak utuh dan memandang filsafat secara parsial, apalagi Ibnu Rusyd juga
mengkritik Ibnu Sina atas terjemahannya pada filsafat Aristoteles sehingga terjadi
kesalah pahaman.
Bagi Ibnu Rusyd
misalnya kesalah pahaman terjadi pada pasal pengetahuan Tuhan yang kulliat dan
bukannya juz’iyat. Al-Ghazali menganggap bahwa mustahil Tuhan tidak mengetahui
hal juz’iyat. Dan menurut Ibnu Rusd, Tuhan tahu tentang yang juz’iyat tapi
pengetahuannya tidaklah memakai pengetahuan juz’iyat itu sendiri layaknya
makhluk tapi dengan pengetahuannya yang kulliayat, terus pula diantara kesalahpahaman
al-Ghazali terletak pada kesalahan masaataulamanya waktu, sebenarnya menurut
Ibnu Rusd waktu itu hanyalah ukuran atas apa yang ada.
Sejak materi
pertama ada secara otomatis waktu juga berlaku pada materi jadi waktu itu juga
lama dan masa waktu tidaklah sama dengan masaAllah. 20 masalah yang dikritik
oleh al-Ghazali dikritik kembali oleh Ibnu Rusyd. Tapi seandainya al-Ghazali
masih hidup ketika itu mungkin akan ditulis lagi Tahafut Al-Tahafut Al-Tahafut
oleh al- Ghazali untuk menjawab sanggahan Ibnu Rusyd.
Dengan begitu Ibnu
Rusyd berharap agar umat Islam tidak terus hanyut dalam sebuah tradisi yang
bisa mengkerdilkan umat Islam dari pengetahuan. Akan tetapi pemikirannya tidak
banyak berpengaruh pada dunia Islam timur, ia malah menjadi bapak rasionalitas
di Kristen barat.
Ibnu Rusyd adalah
seorang pemikir Islam yang mencoba menggabungkan antara rasionalitas dan
ortodoksi, baginya syariah tidak lah harus dipertentangkan dengan akal,
filsafat dan rasionalitas. Karena seperti Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd yakin bahwa
kebenaran yang dilalui dengan akal dan syariat hasilnya akan sama yaitu hakikat
kebenaran. Kitab beliau yang masih sering dipakai di Pesantren Salaf hanya
karangan Ibnu Rusyd yang berjudul Bidayah al-Mujtahid yang berisi tentang ilmu
fiqh.
Selain Ibnu Rusyd,
di Saragoza telah lahir Ibnu Bajjah pada abad 11 M, beberapa karangannya yang
pernah kita dengar adalah Risalah al-Wada’ (berisi kajian filosofis) dan Tatbir
al-Mutawahhid (berisi tentang menejemen diri), disamping itu ia juga dikenal sebagai
komentator Aristoteles, selain itu juga sebelum Ibnu Rusyd ada Ibnu Tuffail
(1110 M) yang dikenal sebagai filosuf juga dokter dan karangannya yang paling
kita kenal adalah berupa Novel dengan bergenre filsafat berjudul Hayy Ibn
Yaqzan, ada pula Ibnu Batutah yang terkenal dengan catatan ekspedisinya dan
pernah sampai di Indonesia. Dan yang tidak terlupa adalah Ibnu Malik yang
mengarang kitab nadham Alfiyah yang hingga kini masih dipakai oleh hampir
seluruhPesantren di Indonesia.
Disamping
tokoh-tokoh di atas, masih banyak tokoh lain dari berbagai bidang ilmu
pengetahuan yang terus bermunculan di Eropa Islam. Mulai dari bidang
pendidikan,bahasa dan sastra, logika dan filsafat, sains, seni musik dan
kaligrafi, juga tentu tidak pernah ketinggalan ilmu-ilmu fiqh. Di Cordova juga
berdiri Universitas Cordova yang menyaingi Universitas Nidhamiyah di Bagdad dan
Uniersitas al-Azhar di Kairo. Setelah itu juga berdiri Universitas Granada. Dan
disusul oleh Universitas Sisilia.
Kebesaran ilmu
pengetahuan dan filsafat masih terus bergema walauEropa Islam terpecah menjadi
beberapa dinasti, setelah Andalusia, hadir pula Islam Sisilia, Italia dan
Granada, disana juga berdiri universitas-universitas yang terus melakukan
kajian-kajian ilmu pengetahuan dan filsafat hingga pada satu titik
dinasti-dinasti Islam di Eropa berebut kekuasaan dan menjadi lemah. Khalifah
pada prakteknya bukanlah menjadi sentrum masyarakat dalam segala hal seperti
masa Nabi Muhammad dan empat khalifah awal.khalifah berfungsi sebagai penjaga
teritori. Perannya dalam ilmu pengetahuan adalah pada pemberian kebebasan untuk
kegiatan ilmu pengetahuan dan menfasilitasinya. Tapi banyak pula para ilmuwan
swasta yang tidak memperoleh fasilitas Negara tapi giat mengembangkan
pengetahuan dan memiliki jaringan pengetahuan yang kuat di komuni Islam.
Pada puncaknya,
Barat Kristen merasa mampu untuk menyerang Islam dan merebut kota-kotanya,
mereka melakukannya. Dari sanalahsejarahkebudayaan Barat Islam tamat, tapi ilmu
pengetahuan dan filsafat diambil alih oleh Barat Kristen dengan mengambil
pengetahuan-pengetahuan Islam.
C.
Tasawuf Amali
dan Tokoh Tokohnya
A. Pengertian Tasawuf
‘Amali
Tasawuf ‘amali adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara
mendekatkan diri kepada Allah dengan menekankan pada ‘amaliah seseorang. Dalam
tasawuf ini untuk mencapai hubungan yang dekat dengan Allah, seseorang harus
mentaati dan melaksanakan syari’at atau ketentuan-ketentuan agama.
Ketaatan pada ketentuan agama harus diikuti dengan amalan-amalan
lahir maupun batin yang disebut dengan tariqoh, seperti wirid dan ‘amaliah
lainnya. Di dalam tasawuf ‘amali terdapat kaedah-kaedah suluk (perjalanan
tarbiyah ruhaniyah) dan macam-macam etika (adab) secara terperinci, seperti
hubungan antara murid dengan syaikh, tidak banyak makan, mengoptimalkan waktu
malam, memperbanyak dziir, dll.
Pada hakikatnya metode kaum shufi ini hanyalah sebuah lanjutan atau
pengembangan dari tasawuf sunni. Dinamakan tasawuf ‘amali karena sisi ‘amal di
dalamnya lebih dominan dari sisi teori.
B. Istilah-istilah
Dalam Tasawuf ‘Amali
ada beberapa istilah yang harus diketahui dalam tasawuf ‘amali ini.
Dilihat dari tingkatan dan komunitasnya
terdapat beberapa istilah, yaitu:
1. Murid
Menurut Al-Kalabazi dalam bukunya “At-Ta’arruf Lil Madzhab Ahli
Ash-Shaufiyah” menyatakan bahwa murid adalah orang yang mencari pengetahuan dan
bimbingan dalam melaksanakan ‘amal ibadahnya, dengan memusatkan segala
perhatian dan usahanya kearah tersebut, melepas segala kemauannya dengan
menggantungkan diri dan nasibnya kepada iradah Allah.
Murid dalam tasawuf ini ada tiga tingkat, yaitu:
a. Mubtadi (pemula),
yaitu orang yang baru mempelajari syari’at
b. Mutawassith
(tingkatan menengah), yaitu orang yang sudah dapat melewati kelas pemula dan
telah mempunyai pengetahuan yang cukup dengan syari’at.
c. Muntahi (tingkat
atas), yaitu orang yang telah matang ilmu syari’at, sudah menjalani tarekat,
dan sudah mendalami ilmu bathiniyah.
2. Syaikh
Yaitu seorang pemimpin kelompok kerohanian dan pengawas murid-murid
dalam segala kehidupannya.
3. Wali dan Quthub
Yaitu seseorang yang telah sampai ke puncak kesucian bathin,
menperoleh ilmu laduni yang tinggi sehingga tersingkap tabir rahasia yang
ghaib-ghaib. Orang seperti ini akan memperoleh karunia dari Allah dan itulah
yang disebut wali.
Sedangkan dilihat dari sudut amalan serta jenis ilmu yang
dipelajari, ada beberapa istilah yang has dalam ilmu tasawuf ini, yaitu ilmu
lahir dan ilmu bathin. Kedua aspek ini dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:
1. Syari’at
adalah amalan-amalan lahiriyah yang diwajibkan dalam agama. Seperti
rukun islam dan segala hal yang berhubungan dengan itu yang bersumber dari
Al-Qur’an dan Hadits.
2. Tarekat
Yaitu dalam melakukan syari’at haruslah berdasarkan tata cara yang
telah digariskan dalam agama dan dilakukan hanya karena penghambaan diri kepada
Allah dan karena ingin berjumpa dengan-Nya.
3. Hakikat
Dalam dunia sufi hakikat diartikan sebagai aspek lain dari syari’at
yang bersifat lahiriyah, yaitu aspek bathiniyah. Dengan demikian dapat
diartikan sebagai rahasia yang paling dalam dari segala amal, inti dari
syari’at dan akhir dari perjalanan yang ditempuh oleh seorang sufi.
4. Ma’rifah
Yaitu pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Para sufi
beranggapan bahwa ma’rifat adalah ilmu laduni, yakni ilmu yang diperoleh dari
anugerah Tuhan yang tidak bisa didapatkan melalui usaha manusia. Ilmu laduni
ini diberikan kepada hambanya yang diistimewakan atau dipilih melalui
ketakwaan, keshalihan dan sufi.
Untuk mendapatkan ma’rifah
seoran sufi harus menyucikan jiwa dari perbuatan-perbuatan yang kotor dan
memperbaiki diri dengan sebaik-baiknya serta melakukan pendakian
tingkat-tingkat rohani yang disebut dengan maqomat.
C. Tokoh-Tokoh Tasawuf
‘Amali
1. Rabi’ah Al-Adawiyah
Nama lengkapnya adalah Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiah Al-Bashriyah
Al-Qaisiyah. Ia lahir pada tahun 95 H/ 713 M di suatu perkampungan dekat kota
Bashrah (Irak) dan wafat pada tahun 185 H/ 801 M. Rabi’ah Al-Adawiyah dalam
perkembangan mistisme dalam islam tercatat sebagai peletak dasar tasawuf
berdasarkan cinta kepada Allah.
2. Dzu An-Nun
Al-Mishri
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim, lahir di
ikhkim (dataran tinggi Mesir) tahun 180 H/ 856 M dan wafat pada tahun 246 H/
856 M. Julukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatannya
yang diberikan Allah kepadanya. Diantara yang pernah ia lakukan adalah
mengeluarkan seorang anak dari perut buaya di sungai nil dalam keadaan selamat
atas permintaan ibu dari anak tersebut.
3. Abu Yazid
Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Syarusan
Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 M dan wafat 947 M. Ajaran tasawuf yang terpenting dari Abu Yazid
adalah fana dan baqa. Fana berasal dari kata faniya yang berarti lenyap,
sedangkan dalam istilah tasawuf, fana diartikan sebagai keadaan moral yang
luhur. Adapun baqa berasal dari kata baqiya yang artinya tetap. Sedangkan dalam
istilah tasawuf adalah mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah.
4. Abu Manshur
Al-Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Mughits Al-Husain bin Manshur bin
Muhammad Al-Baidhawi, lahir di Baida sebuah kota kecil di daerah Persia pada
tahun 244 H/ 855 M. Diantara ajaran tasawufnya, yang paling terkenal adalah
al-hulul dan Wahdat Asy-Syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud
(kesatuan wujud) yang dikembangkan oleh Ibn ‘Arabi.
D.
Tasawuf Nadhari
(Falsafi) dan Tokoh Tokohnya
A.Pengertian Tasawuf Nadhari (Falsafi)
Tasawuf Nadhari atau falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan
antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Tasawuf falsafi menggunakan
terminologi gilosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut
berasal dari bermacam-macam ajaran yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Menurut at-taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah
islam sejak abad keenam hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad
kemudian. Sejak itu, tasawuf jenis ini tersu hidup dan berkembang, terutamadi
kalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini .[11]
Adanya pemaduan antar tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf ini
dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur
dengan sejumlah ajaran filsafat di luar islam, seperti yunani, persia, india,
dan agama nasrani. Akan tetapi, orisianiltasnya sebagai tasawuf tidak hilang. Karena para tokohnya mempunyai
latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beragam, seiring
dengan ekspansi islam, yang telah meluas pada waktu itu berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka,
terutama bila dikaitkan dengan kedudukan mereka sebagai umat islam. Ciri umum
tasawuf ialah kesamar-samaran ajarannya akibat banyak ungkapa dan peristilahan
,khususnya yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf.
Tasawuf falsafi tidak dapat di pandang sebagai filsafat karena
ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa dan sebaliknya, tidak pula bisa di kategorikan pada tasawuf, dalam
pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa
filsafat dan berkecenderungan mendalam pada panteisme.
B. Sejarah Tasawuf Nadhari.
Pada mulanya tasawuf
merupakan perkrmbangan dari pemahaman tentang makna institusi Islam.Sejak zaman
sahabat dan tabi’in, kecenderungan pandangan orang terhadap islam secara lebih
analitis sudah muncul. Ajaran Islam di pandang dari dua aspek yaitu aspek
lahiriyah dan batiniyah .[12]
Corak dari pada tasawwuf falsafi tentunya sangat berbeda dengan
tasawwuf yang pernah diamalkan oleh masa sahabat dan tabi’in, karena tasawwuf ini
muncul karena pengaruh filasafat Neo-Platonisme. Berkembangnya tasaawuf sebagai
jalan dan latihan untuk merealisir kesucia batin dalam perjalanan menuju
kedekatan dengan Allah, juga menarik perhatian para pemikir muslim yang
berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah (teologi dan
filsafat) tampil sejumlah kelompok sufi yang filosofis atau filosofis yang
sufi. Konsep-konsep mereka yang disebut dengan tasawuf falsafi yakni tasawuf
yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. ajaran filsafat yang paling
banyak dipergunakan dalam analisis tasawuf adalah Paham emanasi neo-Plotinus.
Adanya pemaduan antara filsafat dengan tasawuf pertama kali di
motori oleh para filsuf muslim yang pada saat itu mengalami helenisme
pengetahuan. Misalnya filsuf muslim yang terkenal yang membahas tentang Tuhan
dengan menggunakan konsep-konsep neo-plotinus ialah Al-Kindi. Dalam filsafat
emanasi Plotinus roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi,
sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh masuk ke dalam tubuh manusia
juga kotor, dan tak dapat lagi kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan
tetap tinggal di bumi berusaha. dari sini di tarik ke dalam ranah konsep
tasawuf yang berkeyakinan bahwa penciptaan alam semesta adalah pernyataan cinta
kasih Tuhan yang direfleksikan dalam bentuk empirik atau sebagai Sifat madzohir
dari sifat tuhan.
Namun istilah tasawuf
falsafi bulum terkenal pada waktu itu, setelah itu baru tokoh-tokoh sufi
falfasi yang populer. Abu Yazid
al-Bustami, Ibn Masarrah (w.381 H) dari Andalusia dan sekaligus sebagai
perintisnya. orang kedua yang mengombinasikan antara teori filsafat dan tasawuf
ialah Suhrawardi al-Maqtul yang berkembang di Persia atau Iran. Masih banyak
tokoh tasawwuf falsafi yang berkembang di Persia ini sepeti al-Haljj dengan
konsep al-Hulul yakni perpaduan antara Mansusia dengan sifat-sifat tuhan.
C. Ajaran Pokok Tasawuf Nadhari.
Secara garis besar tasawuf falsafi adalah tasawuf yang
ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional.Tasawuf ini
menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya,yang berasal dari
berbagai macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya. Ajarannya
Tasawuf Falsafi lebih mengarah pada
teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam dan
Mengedepankan akal mereka serta
ajarannya memadukan antara visi mistis dan rasional.
Ajaran pokok tasawuf falsafi
a. Fana' dan Baqa': lenyapnya kesadaran dan kekal
b. Ittihad: persatuan antara manusia dengan Tuhan
c. Hulul: penyatuan sifat ketuhanan dg sifat kemanusiaan
d. Wahdah al-Wujud: alam dan Allah adalah sesuatu yang satu
e. Isyraq: pancaran cahaya atau iluminasi .[13]
D. Tokoh Tokoh Tasawuf Nadhari dan Ajaranya.
1. Ibn ‘Arabi (560-638)
A.Biografi Singkat Ibn’arabi
Nama lengkap ibn ‘arabi adalah muhammad bin ‘ali bin ahmad bin
‘abdullah ath-tha’i al-haitami. Ia lahir di mercia, andalusia tenggara,
spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan dan ilmuan. Tahun 620
H, ia tinggal di Hijaz dan meninggal di sana pada tahun 638 H. Namaya biasa di
sebut tanpa Al untuk membedakan dengan abu bakar tanpa “al” untuk membedakan
dengan abu bakar ibn al-‘arabi seorang qadhi dari sevilla yang wafat tahun 543
H. Di sevilla (spanyol), ia mempelajari al-Qur’an, hadis serta fiqih pada
sejumlah murid andalusia terkenal, yakni ibn hazm az-zhahiri .[14]
B.Ajaran-ajaran tasawuf ibn’arabi
Wahdat al-wujud
Ajaran sentral ibn ‘ibn arabi adalah tentang wahdat al-wujud
(keastuan wujud). Meskipun demkian, istilah wahdat al-wujud yang di pakai untuk
menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari
ibnu taimiyah, tokoh yang hwahdat al-wujud untuk menyebut ajaran sentral ibn
‘arabi, mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian wahdar
al-wujud.
Menurut ibnu taimiyah wadah al-wujud adalah penyamaan tuhan dengan
alam menurut penjelasannya, orang yang mempunya paham wahdat al-wujud
mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang di
miliki oleh khaliq juga mukmin al-wujud yabg di miliki oleh makhluk, selain
itu, orang-orang yang mempunyai paham wahdat al-wujud itu juga mengatakan bahwa
wujud alam sama dengan wujud tuhan, tidak ada perbedaan .[15]
Dari pengertian tersebut, ibn taimiyah telah menilai ajaran sentral
ibn ‘arabi dari aspek tasybih-nya (penyerupaan khaliq dengan makhluk) saja,
tetapi belum menilainya dari asek tanzihnya (penyusia khaliq). Sebab, kedua
aspek itu terdapat dalam ajaran ibn ‘arabi akan tetapi , perlu pula di dasari
bahwa kata-kata ibn ‘arabi. Banyak membawa pada pengertian seperti yang pahami
oleh ibn taimiyah meskipun di tempat lain terdapat kata-kata ibn ‘arabi yang
membedakan antara khalik dengan makhluk dan antara tuhan dengan alam.
Demi syu’ur (perasaa) ku, siapakah yang mukallaf? Jika engkau
katakan hamba, padahal dia (pada hakikatnya) tuhan juga. Atau engkau katakan
tuhan, lalu siapa yang di bebani ta’lif? ” Kalau di antara khaliq dan makhluk
bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibn ‘arabi menjawab, sebab adalah
manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu, tetapi memandang keduanya
dengan pandangan bahwa keduanya adalah khaliq dari sisi yang satu dan makhluk
dari sisi lain. Jika mereka merasa memandang keduanya dari sisi yang satu,
mereka pasti akan dapat mengetahui hakikat keduannya, yakni dzatnya satu yang
tidak terbiang dan berpisah .[16]
C.Haqiqah muhamaddiyah
Dari konsep wahdat ibn ‘arabi muncul lagi dua konsep sekaligus
merupakan lanjutan atau cabang dari konsep wahdat al-wujud, yaitu konsep
al-hakikat al muhamaddiyah dan konsep wahdat al-dyan (kesamaan agama) Menurut
ibn ‘arabi, tuhan adalah pencipat alam semsesta adapun proses penciptaannya
adalah sebagai berikut:
1) Tajalli dzat tuhan
dalam bentuk a’yan tsabitah
2) Tanzul kepada dzat
tuhan ma’ani ke alam (ta’ayyunat) realitas-realitas rohaniah, yaitu alam arwah
yang mujarrad
3) Tanazul kepada
realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berpikir.
4) Tanazul tuhan dalam
bentk ide materi yang bukan materi yaitu alam mistal atau khayal.
5) Alam materi, yaitu
alam indrawi.
D. Wahdatul adyann
Adapun yang berkenaan dengan konsepnya wahdat al-ady (kesamaan
agama), bin ‘arabi memandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikat
muhamaddiyah.k onsekuensinya, semua agama adalah tunggal dan semua itu
kepunyaan Allah. Seseorang yang benar-benar arif adalah menyembah Allah dalam
setiap bidang kehidupanya, dengan kata lain dapat di katakan bahwa ibadah yang
benar hendaknya abid memandang semua apa saja sebagai segbagian dari ruang
lingkup realitas dzat tuhan yang tunggal sebagaimana ‘irnya, dikemukakannya
dalam sya’irnya “kini Qalbuku bisa menampung semua Ilalang perburan kijang atau
biara penderan Kuil pemuja berhala atau ka’bah Lau taurah dan mushalaf
al-qur’an Aku hanya memeluk agama cinta ke mana pun Kendaraan-kendaraan
menghadap. Karena cinta adalah Agamaku
dan imanku.
Menurut para penulis, pernyataa ibn ‘arabi ini terlalu berlebihan
dan tidak punya landasan yang kuat sebab agama berbeda-beda satu sama lain.
2. Al-Jili (1365-1417)
A.Biografi singkat al-jili
Nama lengkapnya adalah ‘abdul karim bin ibrahim al-jilil. Ia lahir
pada tahun 1365 H. Di jilan (gilan), sebuah propinsi di sebelah selatan kaspia
dn wafat pada tahun 1417 M. Nama al-jili di ambil dari tempat kelahirannya di
glan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari baghad. Riwayat hidupnya tidak
banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa
ia pernah melakukan perjalanan ke india tahun 1387 M. Kemudian belajar tasawuf
di bawah bimbingan Abdul Qadir al-jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat
Qadariyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula pada syekh
syafaruddin sima’il bin ibrahim AL-jabarti di zabid (yaman) pada tahun
1393-14-3 M.
B. Ajaran tasawuf al-jili
Ajaran tasawuf al-jili yang terpenting adalah paham insan kamil
(manusia sempurna) menurut al-jili insan kamil adalah nuskhah atau copy tuhan,
seperti di sebutkan dalam hadis Artinya: Allah menciptakan adam dalam bentuk
yang maharman “ Hadis lain: Artinya “Allah menciptakan adam dalam bentuk
dirinya”
C. Maqamat (al-martabah)
Sebagai seorang sufi, al-jili dengan membawa filsafat inasn kamil
merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi, yang menganut
istilahnya ia disebut al-martabah (jenjang atau tingkat) tingkat itu adalah
1) Islam
2) Iman
3) Shalah
4) Ihsan
5) Syahdah
6) Shiddiqiyah
7) urbah
3.Ibnu Sabi’in
A. Biografi singkat ibn sab’in
Nama lengkapnya adalah ibn sabi’in adalah ‘abdul haqq ibn ibrahim
muhammad ibn nashr, seorang sufi yang juga filosof dari andalusia. Dia terkenal
di eropa karena jawaban-jawabannya atas pernyataan federik II, penguasa
sicilia. Di dipanggil ibn sabi’in dan digelari Quthbuddin. Terkadang, dia
dikenal pula dengan abu muhammad dan mempunyai asal-usul arab, dan dilahirkan
tahun 614 H (1217/1218M) di kawasan murcia.
Dia mempelajari bahasa arab dan sastra pada kelompok gurunya. Ia
juga mempelajari ilmu-ilmu agama dari mazhab maliki, ilmu-ilmu logika dan
filsafat. Dia mengemukakan bahwa di antara guru-gurunya adalah ibn dihaq, yang
di kenal dengan ilmu al-mir’ah (meniggal tahun 611 H) yang keduanya ahli
tentang huruf dan nama. Menurut salah seorang murid ibn sabi’in, yang mansyarah
kitab risalah al-‘abd hubungan antara ibn sabi’in dan gurunya tersebut lebih
banyak terjalin lewat kitab dari pada langsung
B.Ajaran tasawuf ibn sabi’in
Ibn sabiin adalah seorang pengagas sebuah paham dalam kalangan
tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensial
pahamnya sederhana saja, yaitu wujud adalah suatu alias wujud Allah semata.
Wujud-wujud lainnya hanyalah wujud yang satu itu sendiri. Jelasnya, wujud-wujud
yang lain itu hakikatnya sama sekali tidak lebih dari wujud yang satu semata.
Dengan demikian, wujud dalam kenyataan hanya satu persoalan yang tetap.
Bab III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan
perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat
menimbulkan akhlak mulia.
Sumber dan kriteria tasawuf adalah Al Qur’an dan amaliyahnya
mencontoh perilaku Nabi Saw. Obyek pembahasan dalam tasawuf adalah masalah dzat
Allah dan kesucian hati atau atau shofa’ dan musyahadah.
Zuhud adalah fase yang mendahului tasawuf, karena station yang
terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan dunia
dan hidup kematerian. Gerakan tasawuf sebagai sebuah perilaku yang khusus baru
muncul paska era Shahabat dan Tabi’in (Abad ke-II dan ke-III H.). Gerakan yang
bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup dan orang yang pertama kali
dijuluki as-shufi adalah Abu Hasyim . Sedangkan pada abad 3 dan 4 H terdapat dua kecenderungan para tokoh.
Pertama cenderung pada kajian tasawuf yang bersifat amali yang didasarkan pada
Alquran dan assunnah. Kedua cenderung pada kajian tasawuf falsafati dan banyak
berbauar dengan kajian filsafat metafisika. Tasawuf falsafi merupakan perpaduan
antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis.
Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfân (Gnostisisme) karena orientasinya
pada pengetahuan (ma’rifah atau gnosis) tentang Tuhan dan hakikat segala
sesuatu.-Shufi (w. 150 H).
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajarannya-ajarannya memadukan
antara visi dan mistis dan visi rasional pengagasnya. Berbeda dengan tasawuf
akhlaqi, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam
pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam
ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal
Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketingkat
yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan
yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga
dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran
filsafat.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Al-wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad far’i
ustmani, Pustaka, Bandung, 1985, hlm, 187.
Anwar,
Rosihon. Ilmu tasawuf. Bandung, CV Pustaka Setia. 2006
Drs.
Asmaran As., M.A., Pengantar Studi Tasawuf, Rajawali Pers, 1996,
Abu
Al-wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad far’i
ustmani, Pustaka, Bandung, 1985, hlm, 193
Muhammad
Mahdi Al-Istanbuli, Ibn Taimiyah: Batha Al-Ishlah ad-Diniy, Dar Al-Ma’rifah,
Damaskus, 1397 H/1977, hlm.
Muhammad
musthafa himli, al-hayat ar-ruhiyyah fi al-islm, al-ha’i al-misriy al’-ammah
al-kitab, mesir, 1984, hlm. 182
[2] Ahmad Warson
Munawir, Al-Munawir : Kamus Arab – Indonesia, (PP. Al-Munawwir, Yogyakarta,
1984), hlm. 626.
[3] Abu Nashr
as-Sarraj, Al-Luma’, hlm. 65
[5] Taftazani,
Sufi, hlm. 54
[6] Taftazani,
Sufi,hlm. 56-57
[7] Taftazani
menunjuk ayat-ayat berikut: Al-Hadiid: 20, Yunus: 7-8, An-Naazi’aat: 37-41,
Al-A’laa:14-17, Al-Fajr: 17-20, At-Taubah: 112, dan As-Sajadah: 16-36
[8] Haidar Bagir,
Buku Saku Tasawuf, (Bandung: Mizan, 2006), hlm. 99-100. Taftazani, Sufi…, hlm.
69-79.
[9] Taftazani,
Sufi,hlm. 89-90.
[10] Fazlur Rahman, Islam, (Bandung, Pustaka:
1997), Cet. Ke-3, hlm. 190
[11] Abu Al-wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman,
Terj. Ahmad far’i ustmani, Pustaka, Bandung, 1985, hlm, 187.
[14] Abu Al-wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman,
Terj. Ahmad far’i ustmani, Pustaka, Bandung, 1985, hlm, 193
[15] Muhammad Mahdi
Al-Istanbuli, Ibn Taimiyah: Batha Al-Ishlah ad-Diniy, Dar Al-Ma’rifah,
Damaskus, 1397 H/1977, hlm.
[16] Muhammad
musthafa himli, al-hayat ar-ruhiyyah fi al-islm, al-ha’i al-misriy al’-ammah
al-kitab, mesir, 1984, hlm. 182
No comments:
Post a Comment