Friday, November 14, 2014

ilmu tasawwuf



Bab I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tasawuf adalah nama lain dari mistisisme dalam Islam. Tasawuf atau mistisisme dalam Islam ber-esensi pada hidup dan berkembang mulai dari bentuk hidup kezuhudan, dalam bentuk tasawuf amali, kemudian tasawuf falsafi.
Barangkali sepanjang sejarahnya, dalam peradaban Islam, elemen ‘Tasawuf’ adalah yang paling banyak disalahpahami dan paling sering memicu kontroversi. Secara garis besar ada dua pendapat tentang Tasawuf: (1) para penentang, yg menuduh Tasawuf adalah sesat, bid’ah, khurafat, berbau klenik (takhayul), dan sinkretis serta tidak berasal dari tradisi Islam; (2) pendukung, yg menganggap Tasawuf adalah inti dari Islam. Perdebatan ini sudah terjadi sejak istilah ‘tasawuf’ atau ‘sufi’ muncul pertama kali dan sampai sekarang tetap tak terjadi titik temu, bahkan cenderung lebih ‘keras’ benturannya.
Secara umum, istilah tasawuf merujuk pada aspek keruhanian dan tazkiyatun nafs (akhlak) dalam ajaran Islam. Karena penekanannya pada aspek keruhanian, maka membicarakan tasawuf adalah seperti membicarakan samudera tanpa tepi, dan mustahil kita memberikan gambaran yang utuh tentang
tasawuf dalam ribuan buku sekalipun. Karenanya tulisan ini dibatasi hanya pada aspek sejarah dan perkembangannya dalam tradisi Islam, sebagaimana telah dicatat dalam berbagai literatur yang penyusun temukan.
1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah perkembangan Ilmu Tasawuf sebelum masa Al-Ghazali ?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan Ilmu Tasawuf setelah masa Al-Ghazali?
3.      Apa yang dimaksud dengan tasawuf amali dan siapa tokoh-tokohnya?
4.      Apa yang dimaksud tasawuf nadhari dan siapa tokoh tokohnya?


1.3 Tujuan Pembahasan
1.      Mampu menjelaskan bagaimana perkembangan ilmu tasawuf sebelum masa Al-Ghazali .
2.      Mampu menjelaskan bagaimana perkembangan ilmu tasawuf setelah masa Al-Ghazali.
3.      Mampu menjelaskan tasawuf amali dan tokoh tokohnya.
4.      Mampu menjelaskan tasawuf nadhari dan tokoh tokohnya.
















BAB II
PEMBAHASAN
A.   Perkembangan Tasawuf Sebelum Masa Al-Ghazali

1.     Lahirnya Ilmu Tasawuf
          Tasawuf berarti kesadaran seorang hamba, adanya dialog dan komunikasi langsung dengan Tuhan. Dengan adanya kesadaran secara terus menerus itu, maka seseorang akan berlaku baik (berakhlak) terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama manusia dan terhadap alam semesta.[1] Sedangkan zuhud adalah salah satu cikal bakal lahirnya ilmu tasawuf , karena ilmu zuhud mendahului ilmu tasawuf .
            Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution, statiun yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhud yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi .
            Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘an syai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah [2].
            Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes. Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu statiun (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini, zuhud  berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah. Zuhud  adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”. Zuhud disini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang – kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan ahirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yakni ridha, bertemu dan ma’rifat Allah swt.
            Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat – sifat mazmumah (tercela). Keadaan seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya.
            Zuhud disini berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada ditangan dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi Abu Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya.[3] Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun zahid. Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki. Zuhud menurut Nabi serta para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh dari hal-hal duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam menghadapi segala sesuatu.
            Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalam tasawuf. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqamat, meskipun dengan sistematika yang berbeda – beda. Al-Ghazali menempatkan zuhud dalam sistematika : al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-zuhud, al-tawakkul, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla. Al-Tusi menempatkan zuhud dalam sistematika: al-taubah,al-wara’,al-zuhd, al-faqr,al-shabr,al-ridla,al-tawakkul, dan al-ma’rifah . Sedangkan al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan maqam : al-taubah,al-wara’, al-zuhud, al-tawakkul dan al-ridla.[4]
            Benih – benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari –hari ia berkhalwat di gua Hira terutama pada bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak berdzikir bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan diri Nabi di gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteduhan iman, ketaqwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad – abad sesudahnya .

2.      Perkembangan Ilmu Tasawuf Sebelum Al-Ghazali
            Jauh sebelum lahirnya agama islam, memang sudah ada ahli Mistik yang menghabiskan masa hidupnya dengan mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya; antara lain terdapat pada India Kuno yang beragam Hindu maupun Budha. Orang-orang mistik tersebut dinamakan Gymnosophists oleh penulis barat dan disebut al-hukama’ul uroh oleh penulis Arab. Yang dapat diartikan sebagai orang-orang bijaksana yang berpakaian terbuka. Hal tersebut dimaksudkan, karena ahli-ahli mistik orang-orang India selalu berpakaian dengan menutup separuh badannya. Selanjutnya dapat dikemukakan beberapa nash yang mengandung ajaran tasawuf yaitu:
a)         Nash-nash al-qur’an, antara lain QS; Al-Ahzab ayat 41-42 yang artinya : Hai orang-orang yang beriman berdzikirlah dengan menyebut nama Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya di waktu pagi dan petang”.
b)         Nash-nash hadits yang antara lain artinya berbunyi;” Bersabda Rosulullah saw: takutilah firasat orang-orang mu’min, karena ia dapat memandang dengan nur (petunjuk Allah). H.R.Bukhary yang bersumber dari Abi Sa’id Al-Khudriyyi.
Kehidupan Rosulullah saw yang menggambarkan kehidupan sebagai sufi yang sangat sederhana, karena beliau menjauhkan dirinya dari kehidupan mewah, yang sebenarnya merupakan amalan zuhud dalam ajaran Tasawuf . Berbicara mengenai perkembangan tasawuf sebelum masa Al-Ghazali maka di sini akan dibedakan menjadi 2 yaitu :
a. Tasawuf Abad Pertama dan Kedua
            Menurut para ahli sejarah tasawuf, zuhud atau asketisime merupakan fase yang mendahului lahirnya tasawuf pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Dalam Islam, asketisisme mempunyai pengertian khusus. Asketisisme bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, melainkan hikmah pemahaman yang membuat para penganutnya mempunyai pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi, di mana mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbu mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya.[5]
            Istilah yang populer digunakan pada masa awal tersebut adalah nussaak, zuhhaad dan ‘ubbaad. Nussaak merupakan bentuk jamak dari nasik, yang berarti orang-orang yang telah menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada Tuhan. Zuhhaad adalah bentuk plural dari zahid, yang berarti “tidak ingin” kepada dunia, kemegahan, harta benda dan pangkat. Sedangkan ‘ubbaad merupakan bentuk jamak dari abid yakni orang-orang yang telah mengabdikan dirinya semata-mata kepada Tuhan.
            Para ahli berbeda pendapat mengenai faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan asketisisme dalam Islam. R.A. Nicholson berpandangan bahwa asketisisme dalam Islam bersumber dari gerakan Islam itu sendiri, bahkan hasil nyata dari ide Islam tentang Allah, walaupun ada dampak pengaruh agama Masehi (Kristen). Sedangkan Ignaz Goldziher melihatnya melalui dua perspektif. Pertama, asketisisme yang mendekati semangat Islam dan Ahlus Sunnah, sekalipun terkena pula dampak asketisisme Masehi. Kedua, tasawuf dalam pengertiannya yang luas yang berkaitan dengan pengenalan terhadap Allah (ma’rifah), keadaan ruhaniah (hal), dan rasa (dzauq). Menurutnya yang kedua ini terkena dampak Neo-Platonisme dan ajaran-ajaran Budha ataupun Hindu. Dengan demikian, kedua orientalis di atas menganggap asketisisme dalam Islam muncul dikarenakan dua faktor utama, yaitu Islam itu sendiri dan kependetaan Nasrani, sekalipun keduanya berbeda pendapat tentang sejauh mana dampak faktor yang terakhir.[6]
            Sementara itu, Abu al-Ala Afifi berpendapat bahwa ada empat faktor yang mengembangkan asketisisme dalam Islam. Pertama, ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Kitab suci Al-Quran sendiri telah mendorong manusia agar hidup saleh, takwa kepada Allah, menghindari dunia beserta hiasannya, memandang rendah hal-hal yang duniawi, dan memandang tinggi kehidupan di akhirat. Selain itu Al-Quran juga menyeru manusia agar beribadah, bertingkah laku baik, salat malam, salat tahajud, berpuasa dan lain-lain.
            Kedua, revolusi ruhaniah kaum Muslim terhadap sistem sosio-politik yang berlaku. Ketiga, karena dampak asketisisme Masehi. Di zaman pra-Islam, menurutnya, bangsa Arab terkena dampak para pendeta Masehi. Dampaknya terhadap para asketis Muslim, setelah timbulnya Islam, masih tetap berlangsung. Namun dampak asketisisme Masehi itu lebih banyak terhadap organisasionalnya ketimbang terhadap aspek prinsip-prinsip umumnya.
            Keempat, penentangan terhadap fikih dan kalam. Sebagian kaum Muslim yang saleh pada masa itu merasa bahwa pemahaman para fuqaha dan ahli kalam tentang Islam tidak dapat sepenuhnya memuaskan perasaan keagamaan mereka. Sehingga mereka pun mengarah pada tasawuf untuk memenuhi kehausan perasaan keagamaan mereka.
            Sedangkan Abu al-Wafa’ al-Taftazani sendiri, melihatnya secara global dari dua aspek.Pertama, faktor Al-Quran dan Sunnah. Faktor pertama dan utama yang mengembangkan asketisisme dalam Islam adalah ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah yang berkaitan dengan uraian tentang ketidakartian dunia maupun hiasannya, dan perlunya berusaha secara sungguh-sungguh demi akhirat, untuk memperoleh pahala surga ataupun selamat dari azab neraka. Bagi Taftazani, ada banyak ayat tentang kefanaan dunia, serta hamba-hamba Allah yang selalu membersihkan diri.[7]
            Kedua, kondisi sosio-politik. Konflik politik yang terjadi sejak akhir masa Khalifah Utsman bin Affan r.a. mempunyai dampak terhadap kehidupan religius, sosial dan politik kaum Muslim. Puncaknya adalah pada zaman dinasti Umayyah yang banyak terjadi kelaliman dan penindasan sehingga banyak orang cenderung pada asketisisme. Kekuasan Bani Umayyah yang juga hidup dalam kemewahan duniawi mengundang reaksi kaum asketisisme yang menginginkan kesederhanaan hidup dan tercipta kesetaraan hidup umat Islam.
            Kaum asketisisme pertama ini melihat para Khalifah Umayyah bertingkah laku sama sekali bertentangan dengan kesalehan dan kesederhanaan empat Khalifah yang pertama. Para Khalifah, keluarga dan para pembesar istana hidup dalam kemewahan sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syria, Mesir, Mesopotamia, dan Persia. Muawiyah telah hidup sebagai raja-raja Roma dan Persia dalam kemewahannya. Di antara Khalifah Bani Umayyah, hanya Khalifah Umar Abdul Aziz (717-720M.) yang dikenal sebagai Khalifah yang mempunyai sifat takwa dan patuh kepada ajaran-ajaran Islam dan sederhana hidupnya.
            Khalifah lainnya hidup dalam kemewahan. Khalifah-khalifah Bani Abbas juga demikian, selalu dipenuhi dengan keglamoran hidup dan pertikaian. Melihat fakta-fakta tersebut, orang-orang yang tidak mau terlena dalam hidup kemewahan dan ingin mempertahankan hidup sederhana, menjauhkan diri dari kemewahan dunia tersebut. Bahkan di antara sebagian sahabat ada juga melakukan protes secara keras, seperti Abu Dzar al-Ghiffari dan Said Ibnu Zubair, sehingga menimbulkan gejolak pada Bani Umayyah.
            Era abad pertama dan kedua Hijriyah tersebut sudah banyak para tokoh zahid, baik dari kalangan sahabat maupun generasi tabi’in. Berikut ini merupakan tokoh-tokohnya menurut tempat perkembangannya. Para zahid yang tinggal di Madinah dari kalangan sahabat, seperti Abu Ubaidah al-Jarrah (w.18H), Abu Dzar Al-Ghiffari (w 22H), Salman Al-Farisi (w 32 H), dan Abdullah ibn Mas’ud (w 33 H). Sedangkan dari kalangan tabi’in, termasuk di antaranya adalah Said ibn Musayyab (w 91 H) dan Salim ibn Abdullah (w 106 H).
            Tokoh-tokoh zahid dari Basrah adalah Hasan Al-Bashri ( w 110 H), Malik ibn Dinar (w 131 H), Fadl Al-Raqqasyi, Kahmas ibn Al-Hadan Al-Qais (w 149 H), Shalih Al-Murri dan Abdul Wahid ibn Zaid (w 171 H) dari Abadan. Tokoh-tokoh aliran Kufah adalah Al-Rabi ibn Khasim (w 67 H), Said ibn Jubair (w 96 H), Thawus ibn Kisan (w 106 H), Sufyan Al-Tsauri (w 161 H), Al-Laits ibn Said (w 175 H), Sufyan ibn Uyainah (w 198 H), dan lain-lain.
            Sedangkan tokoh-tokoh yang berasal dari Mesir antara lain, adalah Salim Ibn Attar Al-Tajibi (w 75 H), Abdurrahman Al-Hujairah (w 83 H), Nafi’ hamba sahaya Abdullah ibn Umar (w 117 H), Hayah ibn Syuraih (w 158 H), dan Abu Abdullah ibn Wahhab ibn Muslim Al-Mishri (w 197 H). Pada masa terakhir tahap ini juga muncul tokoh-tokoh, seperti Ibrahim ibn Adham (w 161 H), Fudhail ibn Iyadh (w 187 H), Dawud Al-Tha’i (w 165 H), dan Rabi’ah Al-Adawiyyah.[8]
            Menurut Abu al-Wafa’, aliran asketisisme abad pertama dan kedua hijriyah dapat disimpulkan dengan beberapa karakteristik berikut. Pertama, asketisisme ini berdasarkan ide menjauhi hal-hal duniawi, demi meraih pahala akhirat, dan memelihara dari azab neraka. Ide ini berakar pada ajaran-ajaran Al-Quran dan Sunnah, dan terkena dampak berbagai kondisi sosio-politik yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika itu.
            Kedua, asketisisme ini bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoretis atas asketisismenya tersebut. Sarana-sarana praktisnya merupakan hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan secara penuh, sedikit makan maupun minum, banyak beribadah dan mengingat Allah, berlebih-lebih dalam merasa berdosa, tunduk mutlak pada kehendak Allah, dan berserah diri kepada-Nya. Dengan begitu, asketisisme ini mengarah pada tujuan moral.
            Ketiga, motivasi asketisisme ini adalah rasa takut (khouf), yakni rasa yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada akhir abad kedua Hijriyah, di tangan Rabi’ah al-Adawiyyah, muncul motivasi cinta kepada Allah (mahabatullah), yang bebas dari rasa takut terhadap azab-Nya maupun rasa harap terhadap pahala-Nya. Hal ini mencerminkan penyucian diri dan abstraksi dalam hubungan antara manusia dengan Allah.
            Keempat, asketisisme sebagian asketis yang terakhir, khususnya di Khurasan, dan pada Rabia’ah al-Adawiyyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bisa dipandang sebagai pendahuluan tasawuf. Kelompok ini sekalipun dekat dengan tasawuf, tidak dipandang sebagai para sufi dalam pengertiannya yang terinci. Mereka lebih tepat dipandang sebagai cikal bakal para sufi abad-abad ketiga dan keempat Hijriyah.[9]
b. Tasawuf Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah
            Walaupun sulit menentukan secara tepat kapan peralihan waktu antara gerakan asketisisme dan tasawuf dalam Islam, namun pada permulaan abad ketiga Hijriyah sudah terlihat adanya peralihan dari asketisisme menuju tasawuf. Para asketis pada masa ketiga Hijriyah tidak lagi dikenal dengan gelar tersebut, tapi mereka lebih dikenal dengan sebutan sufi. Istilah-istilah lain yang sebelumnya lebih populer, seperti zuhhaad dan nussaak, secara perlahan-lahan digantikan oleh istilah sufi yang menjadi sangat terkenal.[10]
            Para sufi pada era tersebut mulai cenderung memperbincangkan konsep-konsep yang sebelumnya justru tidak dikenal, semacam tentang moral, jiwa, tingkah laku, pembatasan arah yang harus ditempuh seorang penempuh jalan menuju Allah, yang dikenal dengan istilah tingkatan (maqam) serta keadaan (hal), ma’rifat dan metode-metodenya, tauhid, fana, penyatuan atau hulul. Selain itu mereka menyusun prinsi-prinsip teoretis dari semua konsep tersebut. Bahkan mereka menyusun aturan-aturan praktis bagi tarekat mereka dan mempunyai bahasa simbolis khusus yang hanya dikenal dalam kalangan mereka sendiri, yang asing bagi kalangan luar. Sejak saat itu muncul karya-karya tentang tasawuf, dengan para pengarang seperti Al-Muhasibi (w. 243 H), Al-Kharraz (w. 277 H), Al-Hakim Al-Tirmidzi (w. 285 H), dan Al-Junaid (w. 297 H). Sehingga dapat dikatakan bahwa abad ketiga Hijriyah merupakan mulai tersusunnya ilmu tasawuf dalam arti yang luas.
            Sejak abad ketiga Hijriyah, dari segi objek, metode, dan tujuannya tasawuf menjadi terpisah dari ilmu fikih. Ibn Khaldun menguraikan bahwa ilmu agama menjadi dua bagian: yang satu berkaitan denga fuqaha dan para pemberi fatwa, yaitu mengenai hukum-hukum ibadah yang umum, adat istiadat atau pun niaga. Satunya lagi berkaitan dengan kelompok sufi yang melakukan latihan ruhaniah, introspeksi diri, memperbincangkan rasa dan intuisi yang ditempuh dalam perjalanannya, dan cara peningkatan diri dari satu rasa ke rasa yang lain, atau menerapkan terminologi-terminologi yang berkaitan dengan hal itu semua.
            Sejak masa itu dan masa-masa selanjutnya, para sufi mulai mengemukakan terminologi-terminologi khusus tentang ilmu mereka. Maka terkenal pulalah ilmu mereka sebagai ilmu batin, ilmu hakikat, ilmu wiratsah dan ilmu dirayah. Semua istilah tersebut merupakan kebalikan dari ilmu lahir, ilmu syariah, ilmu dirasah, dan ilmu riwayah.
            Pembagian Al-Thusi di atas memperlihatkan dengan jelas bahwa para Sufi, dalam menyebut ilmunya dengan dirayah, ilmu batin ataupun sebutan lain yang serupa, justru membedakan adanya dua ilmu: ilmu teoretis yang berkaitan dengan hukum, serta ilmu yang membahas cara-cara merealisasikan hukum-hukum tersebut, baik dalam kalbu ataupun dalam tingkah laku. Yang pertama adalah fikih atau lahir, sementara yang kedua adalah tasawuf atau batin.
            Selanjutnya menurut Abu Al-Wafa’, pada abad-abad ini ada dua macam aliran tasawuf. Pertama, aliran para sufi yang pendapat-pendapatnya moderat. Tasawufnya selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan kata lain, tasawuf aliran ini selalu mengikuti pertimbangan syari’ah. Sebagian sufinya adalah ulama terkenal dan tasawufnya didominasi ciri-ciri moral. Kedua, aliran para sufi yang terpesona keadaan-keadaan fana. Mereka ini sering mengucapkan kata-kata ganjil, yang terkenal sebagai syathahat. Di antara tokohnya adalah Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Busthami.
            Kendati demikian, secara global pada periode abad ini setidaknya ada lima karakteristik kedua jenis tasawuf tersebut.Pertama, peningkatan moral. Pada dasarnya, pada abad ketiga dan keempat Hijriyah, tasawuf adalah ilmu tentang moral agama. Sebab, aspek moral tasawuf pada masa itu berkaitan erat dengan pembahasan jiwa, klasifikasinya, uraian kelemahannya, penyakitnya, ataupun jalan keluarnya. Karenanya dapat dikatakan bahwa tasawuf pada masa tersebut ditandai ciri-ciri psikologis, di samping ciri-ciri moral.
            Semua sufi abad ketiga dan keempat Hijriyah menaruh perhatian terhadap pembahasan moral maupun hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti latihan jiwa, taubat, kesabaran, ridha, tawakkal, takwa, rasa takut, rasa heran, cinta, ingat Allah, jiwa dan penyakit-penyakitnya, dan tingkah laku maupun etika serta fase-fasenya. Karya-karya biografi mereka penuh dengan pendapat-pendapat mereka tentang hal itu semua.
            Barangkali, dalam kalangan para sufi yang pertama kali membahas masalah tersebut secara mendalam adalah Al-Harits ibn Asad Al-Muhasibi. Ia adalah salah seorang sufi yang mengkompromikan ilmu syariat dengan ilmu hakikat. Ia mengarang banyak buku yang berhubungan dengan persoalan jiwa dan permasalahannya. Salah satunya yang cukup terkenal, yaitu ‘Adabun Nufus yang menguraikan perawatan jiwa dan kalbu, akhlak-akhlak jiwa, evaluasi diri, jenjang-jenjang amal, hawa nafsu, kelengahan dan kewaspadaan serta konsep-konsep lain yang berhubungan dengan peningkatan moral dan spiritual.
            Kedua, pengetahuan intuitif secara langsung atau disebut ma’rifat. Ini merupakan prinsip epistemologis yang membedakan tasawuf dengan filsafat. Apabila dengan filsafat, yang dalam memahami realitas seseorang menggunakan metode-metode intelektual, maka dia disebut seorang filosof. Sedangkan kalau dia menggunakan metode intuisi atau ma’rifat, maka dalam kondisi demikian dia disebut sebagai seorang sufi atau mistikus dalam pengertiannya yang lengkap.
            Tokoh yang mula-mula membahas persoalan ma’rifat adalah Ma’ruf Al-Karkhi, yang diikuti oleh Abu Sulaiman Al-Darani, dan yang paling terkenal yaitu Dzun Nun Al-Mishri. Namun lagi-lagi, adalah Al-Muhasibi yang secara spesifik menulis sebuah buku kecil yang cukup terkenal tentang ma’rifah yaitu Syarh al-Ma’rifah wa Badzl al-Nashihah.  Secara garis besar, Al-Muhasibi membahas empat pilar utama ma’rifat yaitu (1) ma’rifat kepada Allah; (2) mengenal iblis sebagai musuh Allah; (3) mengenal nafs; dan (4) mengenal amal yang dilakukan karena Allah semata.
            Ketiga, pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak. Yang dimaksud fana ialah bahwa dengan latihan-latihan fisik dan psikis yang ditempuhnya, akhirnya seorang sufi sampai pada kondisi tertentu, di mana dia tidak lagi merasakan adanya diri atau pun keakuannya. Fana juga bisa didefinisikan sebagai ketiadaan diri di dalam Allah, yakni menjadikan sifat-sifat baik Allah, bukan Eksistensi, sebagai ganti sifat-sifat manusiawi yang rendah.
            Keempat, ketenteraman atau kebahagiaan. Ini merupakan karakteristik khusus pada semua bentuk tasawuf. Sebab, tasawuf diniatkan sebagai petunjuk atau pengendali berbagai dorongan hawa nafsu, serta pembangkit keseimbanagn psikis pada diri seorang sufi. Dengan sendirinya, tujuan tersebut akan membuat sang sufi terlepas dari semua rasa takut dan merasakan ketenteraman jiwa dan kebahagiaan dirinya pun terwujudkan.
            Kelima, pemakaian simbol-simbol dalam mengungkapkan hakikat realitas-realitas tasawuf. Yang dimaksud dengan simbol di sini adalah ungkapan-ungkapan yang dipergunakan sufi biasanya mengandung dua pengertian; 1) pengertian yang terdapat pada kata-kata tekstual. 2) pengertian yang digali dengan analisis dan pendalaman. Pengertian yang kedua ini hampir sepenuhnya tertutup bagi yang bukan sufi dan sulit untuk dapat memahami maksud tujuan mereka. Sebab, tasawuf merupakan kondisi-kondisi efektif yang khusus, yang mustahil dapat diungkapkan dengan kata-kata. Terlebih lagi, kondisi itu tidak sama pada setiap tokoh sufi. Setiap sufi punya cara tersendiri dalam mengungkapkan kondisi-kondisi yang mereka alami. Dengan demikian, tasawuf merupakan pengalaman yang subjektif.
            Pada tahun kelima hijriyah lahirlah aliran tasawuf moderat atau sunni terus tumbuh dan berkembangpada abad kelima Hijriyah. Sementara aliran kedua yang bercorak semi-filosofis, yang cenderung dengan ungkapan-ungkapan ganjil serta bertolak dari keadaan fana, mulai tenggelam dan kelak akan muncul kembali dalam bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam Hijriyah dan setelahnya.
            Tenggelamnya aliran kedua pada abad kelima Hijriyah, pada dasarnya disebabkan oleh berjayanya aliran teologi Ahlus Sunnah wal Jama’ah melalui keunggulan Abu Al-Hasan Al-Asy’ari atas aliran-aliran lainnya. Tasawuf pada era ini cenderung melakukan pembaruan dengan mengembalikannya ke landasan AlQuran dan Sunnah. Di antara tokoh-tokohnya yang sangat terkenal yaitu Al-Qusyairi, Al-Hawari dan Al-Ghazali .





B.   Perkembangan Tasawuf Setelah Al Ghazali
Di saat Timur Islam terhenyak dengan serangan al-Ghazalipada filsafat. Islam di Eropa justru terus menemukan semangatnya pada ilmu pengetahuan termasuk filsafat.Semenjak era Islam melebarkan sayapnya di Eropa lewat penaklukan Thariq bin Ziyad, seakan menjadi penanda bahwa Eropa akan tercerahkan oleh peradaban Islam yang sedang berada di puncak.
            Semenjak dikalahkannya dinasti Umayyah di Timur oleh Dinasti Abbasiyah. Para keluarga dinasti Umayyah memilih untuk menyingkir dari keramaian kota Bagdad dan memutuskan menetap di Andalusia. Saat itu Andalusia tidak lebih sebagai propinsi pinggiran bagi Bagdad. Sebuah gambaran bagi daerah yang kurang diperhitungkan dalam hiruk pikuk pemerintahan, perdagangan, dan pengetahuan yangberpusatdiBagdad.Akan tetapi semenjak Islam membuka wilayah ini, ia terus berkembang. Puncaknya di saat timur Sunni terhenyak dan terkesima oleh kecemerlangan pemikiran al-Ghazali, dan membuat masyarakatnya takut dan pada akhirnya terkurungpada doktrin-doktrin ortodoksi.
            Di Barat Islam budaya pengetahuan masih terus berlangsung dan masih berada dalam masa kegairahan ilmu pengetahuan. Di saat Timur mulai terjebak pada budaya penghormatan pada guru yang begitu mendalam dalam bidang inteleklektual hingga terjebak pada dialektika matan, syarah, khasiyah, dan mukhtashar , di Barat justru muncul para pengarang-pengarang kitab yang tidak terikat pada satu naskah.
            Salah seorang yang termasyhur dari bumi Andalusia adalah Ibnu Rusyd (1126-1198 M), ia hidup 100 tahun setelah al-Ghazali wafat. Ia banyak menulis buku. Diantaranya yang masyhur di kalangan sunni adalah sanggahannya pada tahafut al-falasifahdari al-Ghazali yang mendekonstruksi (dengan metode hadm) semua pemikiran filsafat lewat dua tokoh pentingnya di dunia Islam Ibnu Sina dan al-Farabi, karangan tersebut diberi judul tahafut al-tahafut.
            Ibun Rusyd (12 M), rasionalis muslim Eropa mengemukakan kerancuan-kerancuan al-Ghazali, kritiknya terutama mengacu pada kesalah fahaman al-Ghazali atas filsafat yang disandarkannnya pada Ibnu Sina dan al-Farabi. Bagi Ibnu Rusyd sebenarnya al-Ghazali hanya salah paham saja, karena al-Ghazali tidak pernah mempelajari langsung filafat Yunani, ia hanya membaca terjemahannya saja dalam bahasa Arab dan mendengar tentang filasafat dari orang kedua sehingga pemahaman al-Ghazali tidak utuh dan memandang filsafat secara parsial, apalagi Ibnu Rusyd juga mengkritik Ibnu Sina atas terjemahannya pada filsafat Aristoteles sehingga terjadi kesalah pahaman.
            Bagi Ibnu Rusyd misalnya kesalah pahaman terjadi pada pasal pengetahuan Tuhan yang kulliat dan bukannya juz’iyat. Al-Ghazali menganggap bahwa mustahil Tuhan tidak mengetahui hal juz’iyat. Dan menurut Ibnu Rusd, Tuhan tahu tentang yang juz’iyat tapi pengetahuannya tidaklah memakai pengetahuan juz’iyat itu sendiri layaknya makhluk tapi dengan pengetahuannya yang kulliayat, terus pula diantara kesalahpahaman al-Ghazali terletak pada kesalahan masaataulamanya waktu, sebenarnya menurut Ibnu Rusd waktu itu hanyalah ukuran atas apa yang ada.
            Sejak materi pertama ada secara otomatis waktu juga berlaku pada materi jadi waktu itu juga lama dan masa waktu tidaklah sama dengan masaAllah. 20 masalah yang dikritik oleh al-Ghazali dikritik kembali oleh Ibnu Rusyd. Tapi seandainya al-Ghazali masih hidup ketika itu mungkin akan ditulis lagi Tahafut Al-Tahafut Al-Tahafut oleh al- Ghazali untuk menjawab sanggahan Ibnu Rusyd.
            Dengan begitu Ibnu Rusyd berharap agar umat Islam tidak terus hanyut dalam sebuah tradisi yang bisa mengkerdilkan umat Islam dari pengetahuan. Akan tetapi pemikirannya tidak banyak berpengaruh pada dunia Islam timur, ia malah menjadi bapak rasionalitas di Kristen barat.
            Ibnu Rusyd adalah seorang pemikir Islam yang mencoba menggabungkan antara rasionalitas dan ortodoksi, baginya syariah tidak lah harus dipertentangkan dengan akal, filsafat dan rasionalitas. Karena seperti Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd yakin bahwa kebenaran yang dilalui dengan akal dan syariat hasilnya akan sama yaitu hakikat kebenaran. Kitab beliau yang masih sering dipakai di Pesantren Salaf hanya karangan Ibnu Rusyd yang berjudul Bidayah al-Mujtahid yang berisi tentang ilmu fiqh.
            Selain Ibnu Rusyd, di Saragoza telah lahir Ibnu Bajjah pada abad 11 M, beberapa karangannya yang pernah kita dengar adalah Risalah al-Wada’ (berisi kajian filosofis) dan Tatbir al-Mutawahhid (berisi tentang menejemen diri), disamping itu ia juga dikenal sebagai komentator Aristoteles, selain itu juga sebelum Ibnu Rusyd ada Ibnu Tuffail (1110 M) yang dikenal sebagai filosuf juga dokter dan karangannya yang paling kita kenal adalah berupa Novel dengan bergenre filsafat berjudul Hayy Ibn Yaqzan, ada pula Ibnu Batutah yang terkenal dengan catatan ekspedisinya dan pernah sampai di Indonesia. Dan yang tidak terlupa adalah Ibnu Malik yang mengarang kitab nadham Alfiyah yang hingga kini masih dipakai oleh hampir seluruhPesantren di Indonesia.
            Disamping tokoh-tokoh di atas, masih banyak tokoh lain dari berbagai bidang ilmu pengetahuan yang terus bermunculan di Eropa Islam. Mulai dari bidang pendidikan,bahasa dan sastra, logika dan filsafat, sains, seni musik dan kaligrafi, juga tentu tidak pernah ketinggalan ilmu-ilmu fiqh. Di Cordova juga berdiri Universitas Cordova yang menyaingi Universitas Nidhamiyah di Bagdad dan Uniersitas al-Azhar di Kairo. Setelah itu juga berdiri Universitas Granada. Dan disusul oleh Universitas Sisilia.
            Kebesaran ilmu pengetahuan dan filsafat masih terus bergema walauEropa Islam terpecah menjadi beberapa dinasti, setelah Andalusia, hadir pula Islam Sisilia, Italia dan Granada, disana juga berdiri universitas-universitas yang terus melakukan kajian-kajian ilmu pengetahuan dan filsafat hingga pada satu titik dinasti-dinasti Islam di Eropa berebut kekuasaan dan menjadi lemah. Khalifah pada prakteknya bukanlah menjadi sentrum masyarakat dalam segala hal seperti masa Nabi Muhammad dan empat khalifah awal.khalifah berfungsi sebagai penjaga teritori. Perannya dalam ilmu pengetahuan adalah pada pemberian kebebasan untuk kegiatan ilmu pengetahuan dan menfasilitasinya. Tapi banyak pula para ilmuwan swasta yang tidak memperoleh fasilitas Negara tapi giat mengembangkan pengetahuan dan memiliki jaringan pengetahuan yang kuat di komuni Islam.
            Pada puncaknya, Barat Kristen merasa mampu untuk menyerang Islam dan merebut kota-kotanya, mereka melakukannya. Dari sanalahsejarahkebudayaan Barat Islam tamat, tapi ilmu pengetahuan dan filsafat diambil alih oleh Barat Kristen dengan mengambil pengetahuan-pengetahuan Islam.



C.   Tasawuf Amali dan Tokoh Tokohnya
A.        Pengertian Tasawuf ‘Amali
Tasawuf ‘amali adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah dengan menekankan pada ‘amaliah seseorang. Dalam tasawuf ini untuk mencapai hubungan yang dekat dengan Allah, seseorang harus mentaati dan melaksanakan syari’at atau ketentuan-ketentuan agama.
Ketaatan pada ketentuan agama harus diikuti dengan amalan-amalan lahir maupun batin yang disebut dengan tariqoh, seperti wirid dan ‘amaliah lainnya. Di dalam tasawuf ‘amali terdapat kaedah-kaedah suluk (perjalanan tarbiyah ruhaniyah) dan macam-macam etika (adab) secara terperinci, seperti hubungan antara murid dengan syaikh, tidak banyak makan, mengoptimalkan waktu malam, memperbanyak dziir, dll.
Pada hakikatnya metode kaum shufi ini hanyalah sebuah lanjutan atau pengembangan dari tasawuf sunni. Dinamakan tasawuf ‘amali karena sisi ‘amal di dalamnya lebih dominan dari sisi teori.

B.        Istilah-istilah Dalam Tasawuf ‘Amali
ada beberapa istilah yang harus diketahui dalam tasawuf ‘amali ini. Dilihat  dari tingkatan dan komunitasnya terdapat beberapa istilah, yaitu:
1.         Murid
Menurut Al-Kalabazi dalam bukunya “At-Ta’arruf Lil Madzhab Ahli Ash-Shaufiyah” menyatakan bahwa murid adalah orang yang mencari pengetahuan dan bimbingan dalam melaksanakan ‘amal ibadahnya, dengan memusatkan segala perhatian dan usahanya kearah tersebut, melepas segala kemauannya dengan menggantungkan diri dan nasibnya kepada iradah Allah.
Murid dalam tasawuf ini ada tiga tingkat, yaitu:
a.         Mubtadi (pemula), yaitu orang yang baru mempelajari syari’at
b.         Mutawassith (tingkatan menengah), yaitu orang yang sudah dapat melewati kelas pemula dan telah mempunyai pengetahuan yang cukup dengan syari’at.
c.         Muntahi (tingkat atas), yaitu orang yang telah matang ilmu syari’at, sudah menjalani tarekat, dan sudah mendalami ilmu bathiniyah.
2.         Syaikh
Yaitu seorang pemimpin kelompok kerohanian dan pengawas murid-murid dalam segala kehidupannya.
3.         Wali dan Quthub
Yaitu seseorang yang telah sampai ke puncak kesucian bathin, menperoleh ilmu laduni yang tinggi sehingga tersingkap tabir rahasia yang ghaib-ghaib. Orang seperti ini akan memperoleh karunia dari Allah dan itulah yang disebut wali.
Sedangkan dilihat dari sudut amalan serta jenis ilmu yang dipelajari, ada beberapa istilah yang has dalam ilmu tasawuf ini, yaitu ilmu lahir dan ilmu bathin. Kedua aspek ini dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:
1.         Syari’at
adalah amalan-amalan lahiriyah yang diwajibkan dalam agama. Seperti rukun islam dan segala hal yang berhubungan dengan itu yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.
2.         Tarekat
Yaitu dalam melakukan syari’at haruslah berdasarkan tata cara yang telah digariskan dalam agama dan dilakukan hanya karena penghambaan diri kepada Allah dan karena ingin berjumpa dengan-Nya.
3.         Hakikat
Dalam dunia sufi hakikat diartikan sebagai aspek lain dari syari’at yang bersifat lahiriyah, yaitu aspek bathiniyah. Dengan demikian dapat diartikan sebagai rahasia yang paling dalam dari segala amal, inti dari syari’at dan akhir dari perjalanan yang ditempuh oleh seorang sufi.
4.         Ma’rifah
Yaitu pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Para sufi beranggapan bahwa ma’rifat adalah ilmu laduni, yakni ilmu yang diperoleh dari anugerah Tuhan yang tidak bisa didapatkan melalui usaha manusia. Ilmu laduni ini diberikan kepada hambanya yang diistimewakan atau dipilih melalui ketakwaan, keshalihan dan sufi.
 Untuk mendapatkan ma’rifah seoran sufi harus menyucikan jiwa dari perbuatan-perbuatan yang kotor dan memperbaiki diri dengan sebaik-baiknya serta melakukan pendakian tingkat-tingkat rohani yang disebut dengan maqomat.

C.        Tokoh-Tokoh Tasawuf ‘Amali
1.         Rabi’ah Al-Adawiyah
Nama lengkapnya adalah Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah. Ia lahir pada tahun 95 H/ 713 M di suatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat pada tahun 185 H/ 801 M. Rabi’ah Al-Adawiyah dalam perkembangan mistisme dalam islam tercatat sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah.

2.         Dzu An-Nun Al-Mishri
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim, lahir di ikhkim (dataran tinggi Mesir) tahun 180 H/ 856 M dan wafat pada tahun 246 H/ 856 M. Julukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatannya yang diberikan Allah kepadanya. Diantara yang pernah ia lakukan adalah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya di sungai nil dalam keadaan selamat atas permintaan ibu dari anak tersebut.



3.         Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Syarusan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 M dan wafat 947 M.  Ajaran tasawuf yang terpenting dari Abu Yazid adalah fana dan baqa. Fana berasal dari kata faniya yang berarti lenyap, sedangkan dalam istilah tasawuf, fana diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Adapun baqa berasal dari kata baqiya yang artinya tetap. Sedangkan dalam istilah tasawuf adalah mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah.

4.         Abu Manshur Al-Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Mughits Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi, lahir di Baida sebuah kota kecil di daerah Persia pada tahun 244 H/ 855 M. Diantara ajaran tasawufnya, yang paling terkenal adalah al-hulul dan Wahdat Asy-Syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan oleh Ibn ‘Arabi.











D.   Tasawuf Nadhari (Falsafi) dan Tokoh Tokohnya
A.Pengertian Tasawuf Nadhari (Falsafi)
Tasawuf Nadhari atau falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Tasawuf falsafi menggunakan terminologi gilosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran yang telah mempengaruhi para tokohnya. Menurut at-taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah islam sejak abad keenam hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak itu, tasawuf jenis ini tersu hidup dan berkembang, terutamadi kalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini .[11]
Adanya pemaduan antar tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf ini dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar islam, seperti yunani, persia, india, dan agama nasrani. Akan tetapi, orisianiltasnya sebagai tasawuf  tidak hilang. Karena para tokohnya mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beragam, seiring dengan ekspansi islam, yang telah meluas pada waktu itu berusaha  menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan dengan kedudukan mereka sebagai umat islam. Ciri umum tasawuf ialah kesamar-samaran ajarannya akibat banyak ungkapa dan peristilahan ,khususnya yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf.
Tasawuf falsafi tidak dapat di pandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa dan sebaliknya, tidak  pula bisa di kategorikan pada tasawuf, dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan berkecenderungan mendalam pada panteisme.
B. Sejarah Tasawuf Nadhari.
 Pada mulanya tasawuf merupakan perkrmbangan dari pemahaman tentang makna institusi Islam.Sejak zaman sahabat dan tabi’in, kecenderungan pandangan orang terhadap islam secara lebih analitis sudah muncul. Ajaran Islam di pandang dari dua aspek yaitu aspek lahiriyah dan batiniyah .[12]
Corak dari pada tasawwuf falsafi tentunya sangat berbeda dengan tasawwuf yang pernah diamalkan oleh masa sahabat dan tabi’in, karena tasawwuf ini muncul karena pengaruh filasafat Neo-Platonisme. Berkembangnya tasaawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucia batin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah, juga menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah (teologi dan filsafat) tampil sejumlah kelompok sufi yang filosofis atau filosofis yang sufi. Konsep-konsep mereka yang disebut dengan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. ajaran filsafat yang paling banyak dipergunakan dalam analisis tasawuf adalah Paham emanasi neo-Plotinus.
Adanya pemaduan antara filsafat dengan tasawuf pertama kali di motori oleh para filsuf muslim yang pada saat itu mengalami helenisme pengetahuan. Misalnya filsuf muslim yang terkenal yang membahas tentang Tuhan dengan menggunakan konsep-konsep neo-plotinus ialah Al-Kindi. Dalam filsafat emanasi Plotinus roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat lagi kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha. dari sini di tarik ke dalam ranah konsep tasawuf yang berkeyakinan bahwa penciptaan alam semesta adalah pernyataan cinta kasih Tuhan yang direfleksikan dalam bentuk empirik atau sebagai Sifat madzohir dari sifat tuhan.
Namun istilah tasawuf   falsafi bulum terkenal pada waktu itu, setelah itu baru tokoh-tokoh sufi falfasi  yang populer. Abu Yazid al-Bustami, Ibn Masarrah (w.381 H) dari Andalusia dan sekaligus sebagai perintisnya. orang kedua yang mengombinasikan antara teori filsafat dan tasawuf ialah Suhrawardi al-Maqtul yang berkembang di Persia atau Iran. Masih banyak tokoh tasawwuf falsafi yang berkembang di Persia ini sepeti al-Haljj dengan konsep al-Hulul yakni perpaduan antara Mansusia dengan sifat-sifat tuhan.

C. Ajaran Pokok Tasawuf Nadhari.
Secara garis besar tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional.Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya,yang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya. Ajarannya Tasawuf  Falsafi lebih mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam dan Mengedepankan akal mereka  serta ajarannya memadukan antara visi mistis dan rasional.
Ajaran pokok tasawuf falsafi
a. Fana' dan Baqa': lenyapnya kesadaran dan kekal
b. Ittihad: persatuan antara manusia dengan Tuhan
c. Hulul: penyatuan sifat ketuhanan dg sifat kemanusiaan
d. Wahdah al-Wujud: alam dan Allah adalah sesuatu yang satu
e. Isyraq: pancaran cahaya atau iluminasi .[13]

D. Tokoh Tokoh Tasawuf Nadhari dan Ajaranya.
1. Ibn ‘Arabi (560-638)
A.Biografi Singkat Ibn’arabi
Nama lengkap ibn ‘arabi adalah muhammad bin ‘ali bin ahmad bin ‘abdullah ath-tha’i al-haitami. Ia lahir di mercia, andalusia tenggara, spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan dan ilmuan. Tahun 620 H, ia tinggal di Hijaz dan meninggal di sana pada tahun 638 H. Namaya biasa di sebut tanpa Al untuk membedakan dengan abu bakar tanpa “al” untuk membedakan dengan abu bakar ibn al-‘arabi seorang qadhi dari sevilla yang wafat tahun 543 H. Di sevilla (spanyol), ia mempelajari al-Qur’an, hadis serta fiqih pada sejumlah murid andalusia terkenal, yakni ibn hazm az-zhahiri .[14]
B.Ajaran-ajaran tasawuf ibn’arabi
Wahdat al-wujud
Ajaran sentral ibn ‘ibn arabi adalah tentang wahdat al-wujud (keastuan wujud). Meskipun demkian, istilah wahdat al-wujud yang di pakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari ibnu taimiyah, tokoh yang hwahdat al-wujud untuk menyebut ajaran sentral ibn ‘arabi, mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian wahdar al-wujud.
Menurut ibnu taimiyah wadah al-wujud adalah penyamaan tuhan dengan alam menurut penjelasannya, orang yang mempunya paham wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang di miliki oleh khaliq juga mukmin al-wujud yabg di miliki oleh makhluk, selain itu, orang-orang yang mempunyai paham wahdat al-wujud itu juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud tuhan, tidak ada perbedaan .[15]
Dari pengertian tersebut, ibn taimiyah telah menilai ajaran sentral ibn ‘arabi dari aspek tasybih-nya (penyerupaan khaliq dengan makhluk) saja, tetapi belum menilainya dari asek tanzihnya (penyusia khaliq). Sebab, kedua aspek itu terdapat dalam ajaran ibn ‘arabi akan tetapi , perlu pula di dasari bahwa kata-kata ibn ‘arabi. Banyak membawa pada pengertian seperti yang pahami oleh ibn taimiyah meskipun di tempat lain terdapat kata-kata ibn ‘arabi yang membedakan antara khalik dengan makhluk dan antara tuhan dengan alam.
Demi syu’ur (perasaa) ku, siapakah yang mukallaf? Jika engkau katakan hamba, padahal dia (pada hakikatnya) tuhan juga. Atau engkau katakan tuhan, lalu siapa yang di bebani ta’lif? ” Kalau di antara khaliq dan makhluk bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibn ‘arabi menjawab, sebab adalah manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu, tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya adalah khaliq dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi lain. Jika mereka merasa memandang keduanya dari sisi yang satu, mereka pasti akan dapat mengetahui hakikat keduannya, yakni dzatnya satu yang tidak terbiang dan berpisah .[16]
C.Haqiqah muhamaddiyah
Dari konsep wahdat ibn ‘arabi muncul lagi dua konsep sekaligus merupakan lanjutan atau cabang dari konsep wahdat al-wujud, yaitu konsep al-hakikat al muhamaddiyah dan konsep wahdat al-dyan (kesamaan agama) Menurut ibn ‘arabi, tuhan adalah pencipat alam semsesta adapun proses penciptaannya adalah sebagai berikut:
1)      Tajalli dzat tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah
2)      Tanzul kepada dzat tuhan ma’ani ke alam (ta’ayyunat) realitas-realitas rohaniah, yaitu alam arwah yang mujarrad
3)      Tanazul kepada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berpikir.
4)      Tanazul tuhan dalam bentk ide materi yang bukan materi yaitu alam mistal atau khayal.
5)      Alam materi, yaitu alam indrawi.
D. Wahdatul adyann
Adapun yang berkenaan dengan konsepnya wahdat al-ady (kesamaan agama), bin ‘arabi memandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikat muhamaddiyah.k onsekuensinya, semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah. Seseorang yang benar-benar arif adalah menyembah Allah dalam setiap bidang kehidupanya, dengan kata lain dapat di katakan bahwa ibadah yang benar hendaknya abid memandang semua apa saja sebagai segbagian dari ruang lingkup realitas dzat tuhan yang tunggal sebagaimana ‘irnya, dikemukakannya dalam sya’irnya “kini Qalbuku bisa menampung semua Ilalang perburan kijang atau biara penderan Kuil pemuja berhala atau ka’bah Lau taurah dan mushalaf al-qur’an Aku hanya memeluk agama cinta ke mana pun Kendaraan-kendaraan menghadap. Karena cinta adalah  Agamaku dan imanku.
Menurut para penulis, pernyataa ibn ‘arabi ini terlalu berlebihan dan tidak punya landasan yang kuat sebab agama berbeda-beda satu sama lain.
2. Al-Jili (1365-1417)
A.Biografi singkat al-jili
Nama lengkapnya adalah ‘abdul karim bin ibrahim al-jilil. Ia lahir pada tahun 1365 H. Di jilan (gilan), sebuah propinsi di sebelah selatan kaspia dn wafat pada tahun 1417 M. Nama al-jili di ambil dari tempat kelahirannya di glan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari baghad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke india tahun 1387 M. Kemudian belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir al-jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadariyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula pada syekh syafaruddin sima’il bin ibrahim AL-jabarti di zabid (yaman) pada tahun 1393-14-3 M.
B. Ajaran tasawuf al-jili
Ajaran tasawuf al-jili yang terpenting adalah paham insan kamil (manusia sempurna) menurut al-jili insan kamil adalah nuskhah atau copy tuhan, seperti di sebutkan dalam hadis Artinya: Allah menciptakan adam dalam bentuk yang maharman “ Hadis lain: Artinya “Allah menciptakan adam dalam bentuk dirinya”
C. Maqamat (al-martabah)
Sebagai seorang sufi, al-jili dengan membawa filsafat inasn kamil merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi, yang menganut istilahnya ia disebut al-martabah (jenjang atau tingkat) tingkat itu adalah
1)      Islam
2)      Iman
3)      Shalah
4)      Ihsan
5)      Syahdah
6)      Shiddiqiyah
7)      urbah
3.Ibnu Sabi’in
A. Biografi singkat ibn sab’in
Nama lengkapnya adalah ibn sabi’in adalah ‘abdul haqq ibn ibrahim muhammad ibn nashr, seorang sufi yang juga filosof dari andalusia. Dia terkenal di eropa karena jawaban-jawabannya atas pernyataan federik II, penguasa sicilia. Di dipanggil ibn sabi’in dan digelari Quthbuddin. Terkadang, dia dikenal pula dengan abu muhammad dan mempunyai asal-usul arab, dan dilahirkan tahun 614 H (1217/1218M) di kawasan murcia.
Dia mempelajari bahasa arab dan sastra pada kelompok gurunya. Ia juga mempelajari ilmu-ilmu agama dari mazhab maliki, ilmu-ilmu logika dan filsafat. Dia mengemukakan bahwa di antara guru-gurunya adalah ibn dihaq, yang di kenal dengan ilmu al-mir’ah (meniggal tahun 611 H) yang keduanya ahli tentang huruf dan nama. Menurut salah seorang murid ibn sabi’in, yang mansyarah kitab risalah al-‘abd hubungan antara ibn sabi’in dan gurunya tersebut lebih banyak terjalin lewat kitab dari pada langsung
B.Ajaran tasawuf ibn sabi’in
Ibn sabiin adalah seorang pengagas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensial pahamnya sederhana saja, yaitu wujud adalah suatu alias wujud Allah semata. Wujud-wujud lainnya hanyalah wujud yang satu itu sendiri. Jelasnya, wujud-wujud yang lain itu hakikatnya sama sekali tidak lebih dari wujud yang satu semata. Dengan demikian, wujud dalam kenyataan hanya satu persoalan yang tetap.



Bab III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia.
Sumber dan kriteria tasawuf adalah Al Qur’an dan amaliyahnya mencontoh perilaku Nabi Saw. Obyek pembahasan dalam tasawuf adalah masalah dzat Allah dan kesucian hati atau atau shofa’ dan musyahadah.
Zuhud adalah fase yang mendahului tasawuf, karena station yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Gerakan tasawuf sebagai sebuah perilaku yang khusus baru muncul paska era Shahabat dan Tabi’in (Abad ke-II dan ke-III H.). Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup dan orang yang pertama kali dijuluki as-shufi adalah Abu Hasyim . Sedangkan pada abad 3 dan 4 H  terdapat dua kecenderungan para tokoh. Pertama cenderung pada kajian tasawuf yang bersifat amali yang didasarkan pada Alquran dan assunnah. Kedua cenderung pada kajian tasawuf falsafati dan banyak berbauar dengan kajian filsafat metafisika. Tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis. Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfân (Gnostisisme) karena orientasinya pada pengetahuan (ma’rifah atau gnosis) tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu.-Shufi (w. 150 H).
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajarannya-ajarannya memadukan antara visi dan mistis dan visi rasional pengagasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketingkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.



















DAFTAR PUSTAKA
Abu Al-wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad far’i ustmani, Pustaka, Bandung, 1985, hlm, 187.
Anwar, Rosihon. Ilmu tasawuf. Bandung, CV Pustaka Setia. 2006
Drs. Asmaran As., M.A., Pengantar Studi Tasawuf, Rajawali Pers, 1996,
Abu Al-wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad far’i ustmani, Pustaka, Bandung, 1985, hlm, 193
Muhammad Mahdi Al-Istanbuli, Ibn Taimiyah: Batha Al-Ishlah ad-Diniy, Dar Al-Ma’rifah, Damaskus, 1397 H/1977, hlm.
Muhammad musthafa himli, al-hayat ar-ruhiyyah fi al-islm, al-ha’i al-misriy al’-ammah al-kitab, mesir, 1984, hlm. 182



[1]   Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 86
[2] Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir : Kamus Arab – Indonesia, (PP. Al-Munawwir, Yogyakarta, 1984), hlm. 626.
[3] Abu Nashr as-Sarraj, Al-Luma’, hlm. 65
[4]   Harun Nasution, falsafat …., hlm. 62-63
[5] Taftazani, Sufi, hlm. 54
[6] Taftazani, Sufi,hlm. 56-57
[7] Taftazani menunjuk ayat-ayat berikut: Al-Hadiid: 20, Yunus: 7-8, An-Naazi’aat: 37-41, Al-A’laa:14-17, Al-Fajr: 17-20, At-Taubah: 112, dan As-Sajadah: 16-36
[8] Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf, (Bandung: Mizan, 2006), hlm. 99-100. Taftazani, Sufi…, hlm. 69-79.
[9] Taftazani, Sufi,hlm. 89-90.
[10]   Fazlur Rahman, Islam, (Bandung, Pustaka: 1997), Cet. Ke-3, hlm. 190
[11]   Abu Al-wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad far’i ustmani, Pustaka, Bandung, 1985, hlm, 187.
[12]   Anwar, Rosihon. Ilmu tasawuf. Bandung, CV Pustaka Setia. 2006

[13]   Drs. Asmaran As., M.A., Pengantar Studi Tasawuf, Rajawali Pers, 1996
[14] Abu Al-wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad far’i ustmani, Pustaka, Bandung, 1985, hlm, 193

[15] Muhammad Mahdi Al-Istanbuli, Ibn Taimiyah: Batha Al-Ishlah ad-Diniy, Dar Al-Ma’rifah, Damaskus, 1397 H/1977, hlm.
[16] Muhammad musthafa himli, al-hayat ar-ruhiyyah fi al-islm, al-ha’i al-misriy al’-ammah al-kitab, mesir, 1984, hlm. 182

No comments:

Post a Comment