BAB I
PENDAHULUAN
Ajaran
filsafat adalah hasil pemikiran seseorang atau beberapa ahli filsafat tentang
sesuatu secara fundamental. Dalam memecahkan suatu masalah terdapat pebedaan di
dalam penggunaan cara pendekatan, hal ini melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang
berbeda pula, walaupun masalah yang dihadapi sama. Perbedaan ini dapat
disebabkan pula oleh faktor-faktor lain seperti latar belakang pribadi para
ahli tersebut, pengaruh zaman, dan kondisi alam pikiran manusia di suatu
tempat. Ajaran filsafat yang berbada-beda tersebut, oleh para peneliti disusun
dalam suatu sistematika dengan kategori tertentu, sehingga menghasilkan
klasifikasi. Dari sinilah kemudian lahir apa yang disebut aliran suatu
filsafat. Tetapi karena cara dan dasar yang dijadikan kriteria dalam menetapkan
klasifikasi tersebut berbeda-beda, maka klasifikasi tersebut berbeda-beda pula.
Di
Amerika Serikat misalnya, telah
berkembang mazhab-mazhab pemikiran pendidikan, yang dapat di petakan dalam dua kelompok yaitu
: kelompok tradisional dan kelompok kontemporer, untuk tradisional adalah : perenialism dan essentialism, sedangkan
yang termasuk dalam kelompok kontemporer adalah: progressivism, reconstructionism dan existentialism.[1]
Idealisme dan realisme adalah aliran
filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai
pendukung esensialisme, dengan demikian Renaissance adalah pangkal sejarah
timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme, karena itu timbul pada
zaman itu. Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap
simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang
sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi
tuntutan zaman.
Makalah
ini hanya membahas tentang aliran
essensialisme dengan rumusan masalahnya
sebagai berikut :
1. Apakah
hakikat aliran filsafat esensialisme ?
2. Bagaimanakah
pandangan tokoh-tokoh esensialime dalam pendidikan?
3. Bagaimanakah
pandangan aliran filsafat esensialisme terhadap kurikulum ?
4. Bagaimanakah
implikasi aliran filsafat esensialisme dalam pendidikan Islam?
5. Apakah
tujuan aliran filsafat esensialisme?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakekat
Filsafat Aliran Esensialisme
Filsafat
adalah Ilmu pengetahuan yang mempersoalkan hakikat dari segala yang ada. Kata filsafat atau dalam bahasa arab falsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia yang secara harfiah berarti cinta kepada
pengetahuan atau cinta kepada kebijaksanaan disebut philosophos atau dalam bahasa arab failosuf (filsuf). Pecinta pengetahuan sebagai usaha dan tujuan
hidupnya, atau orang yang mengabdikan hidupnya kepada pengetahuan sebagai usaha
dan tujuan hidupnya, atau orang yang mengabdikan hidupnya kepada pengetahuan.[2] Dalam pertumbuhannya aliran-aliran
filsafat berkembang sesuai pandangan yang berbeda-beda salah satunya adalah
aliran Esensialisme.
Esensialisme
bersumber dari filsafat idealisme dan realisme. Sumbangan yang diberikan
keduanya bersifat eklektik. Artinya, dua aliran tersebut bertemu sebagai
pendukung Esensialisme yang berpendapat bahwa pendidikan harus bersendikan
nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Dengan kata lain, nilai-nilai itu menjadi sebuah tatanan yang
menjadi pedoman hidup, sehingga dapat mencapai kebahagiaan. Nilai-nilai yang
dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif
selama empat abad yang lalu, yaitu zaman Renaisans. Esensialisme
muncul pada zaman Renaissans, dengan ciri-ciri utamanya yang berbeda dengan
progresivisme. Perbedaan ini terutama dalam memberikan dasar berpijak mengenai
pendidikan yang penuh fleksibelitas. Bagi essensalisme, pendidikan yang
berpijak pada dasar pandangan itu mudah goyah dan kurang terarah. Karena itu
essensalisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang
memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan kestabilan dan arah yang
jelas.[3]. Dengan
demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang
disebut esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu. Esensialisme adalah konsep meletakkan
sebagian ciri alam pikir modern. Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan
reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka,
disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam
semesta, yang memenuhi tuntutan zaman. Realisme yang menjadi salah satu
eksponen essensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia
fisik, sedangkan idealisme sebagai
eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual. John Butler
mengutarakan ciri dari keduanya yaitu, alam adalah yang pertama-tama memiliki
kenyataan pada diri sendiri, dan dijadikan pangkal berfilsafat.
Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik. Dan disana
terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan dan persepsi-persepsi yang
tidak semata-mata bersifat mental. Dengan demikian disini jiwa dapat
diumpamakan sebagai cermin yang menerima gambaran-gambaran yang berasal dari
dunia fisik, maka anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya
sebagai hasil tinjauan yang menyebelah, berarti bukan hanya dari subyek atau
obyek semata-mata, melainkan pertemuan keduanya. Idealisme mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama
dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Dibalik dunia fenomenal ini ada
jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos.
Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan.
Menurut pandangan ini bahwa idealisme merupakan suatu ide-ide atau
gagasan-gagasan manusia sebagai makhluk yang berpikir, dan semua ide yang
dihasilkan diuji dengan sumber yang ada pada Tuhan yang menciptakan segala
sesuatu yang ada di bumi dan di langit, serta segala isinya. Dengan menguji dan
menyelidiki semua ide serta gagasannya maka manusia akan mencapai suatu
kebenaran yang berdasarkan kepada sumber yang ada pada Allah SWT.
B.
Pandangan
Tokoh-Tokoh Aliran Esensialisme Terhadap Pendidikan
Imam
Barnadib menyebutkan beberapa tokoh utama yang berperan dalam penyebaran aliran
esensialisme, yaitu :
- Desiderius Erasmus,
Humanis belanda yang hidup pada akhir abad 15 dan permulaan abad 16, yang
merupakan tokoh pertama yang menolak pandangan hidup yang berpijak pada
dunia lain. Erasmus berusaha agar kurikulum sekolah bersifat humanistis
dan bersifat internasional, sehingga mencakup lapisan menengah dan kaum
aristocrat.
- Johann Amos
Comenius yang hidup diseputar tahun
1592-1670, adalah seorang yang memiliki pandangan realis dan dogmatis.
Comenius berpendapat bahwa pendidikan mempunyai peranan membentuk anak
sesuai dengan kehendak tuhan, karena dunia adalah dinamis dan bertujuan.
- John Locke,
tokoh dari Inggris yang hidup pada tahun 1632-1704 sebagai pemikir dunia
berpendapat bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan
kondisi. John locke mempunyai sekolah kerja untuk anak-anak miskin.
- Johann Friederich
Frobel, (1782-1852) sebagai tokoh
yang berpandangan kosmis-sintesis dengan keyakinannya bahwa manusia adalah
makhluk ciptaan Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini, sehingga
manusia tunduk dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum alam. Terhadap
pendidikan. Frobel Memandang anak sebagai makhluk yang berekspresi
kreatif, yang dalam tingkah lakunya akan nampak adanya kualitas metafisis.
Karenanya tugas pendidikan adalah memimpin anak didik kearah kesadaran
diri sendiri yang murni, selaras dengan fitrah kejadiannya.
·
Johann friederich Herbert,
Yang hidup pada tahun 1776-1841, sebagai salah seorang murid Immanuel kant yang
berpandangan kritis, Herbert berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah
menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari yang mutlak dalam arti
penyesesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan dan inilah yang disebut proses
pencapaian tujuan pendidikan oleh Herbert sebagai ‘pengajaran yang mendidik’.
·
William T. harris,
Tokoh dari Amerika Serikat hidup pada tahun 1835-1909. Harris yang pandangannya
di pengaruhui oleh hegel berusaha menerapkan idealisme obyektif pada pendidikan
umum. Tugas pendidikan baginya adalah mengizinkan terbukanya realita
berdasarkan susunan yang pasti, berdasarkan kesatuan spiritual. Kedudukan
sekolah adalah sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun
temurun dan menjadi penuntun penyesuaian diri kepada masyarakat.[4]
C. Pandangan Filsafat esensialisme tentang Pendidikan
Kalangan esensialis menganggap bahwa
sekolah seharusnya tidak terlalu berpusat pada keinginan-keinginan para peserta
didik, tetapi yang diperlukan peserta didik adalah pemerolehan pengetahuan
tentang dunia ini melalui penguasaan materi ajar yang esensial dan dasariah.[5] Kurikulum kaum esensialis menekankan
pengajaran fakta-fakta, dimana materi-materinya merupakan dasar yang esensial
bagi ‘general education’ yang diperlukan dalam hidup. Kurikulum
juga berpusat pada mata pelajaran (subject matter centered).[6] Menurut
pandangan kaum esensialis, belajar adalah sebuah usaha keras yang menuntut
kedisiplinan, dan guru adalah fokus (titik) otoritas ruang kelas.[7]
Sedangkan anak didik perlu mendisiplinkan diri untuk
memusatkan perhatian pada tugas yang ada di depan mata, dan di sisi lain, guru
adalah orang yang mengetahui apa yang dibutuhkan peserta didiknya untuk diketahui,
dan sudah sedemikian kenal dengan tataran logis materi ajar dan cara penyampaiannya.
Guru merupakan model contoh yang sangat baik untuk ditiru dan digugu.[8] Metode
yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran menurut aliran ini adalah metode
pemecahan masalah (problem solving).[9]
D. Implikasi Filsafat Pendidikan Terhadap
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Jika mengambil titik pandang dari aliran
esensialisme, maka tujuan pembelajaran PAI diarahkan pada upaya mempersiapkan
anak didik untuk hidup atau menjalani kehidupan dalam lingkungan sosialnya.
Anak didik harus memiliki rasa solidaritas sosial dan ikut berperan serta
mewujudkan kesejahteraan umum. Pewarisan nilai- nilai luhur ajaran Islam oleh
sosok guru juga menjadi titik tekan tujuan pembelajaran. Dari tujuan
pembelajaran di atas, aspek sosial tetap menjadi titik tekan. Tentu saja,
tercapainya kompetensi sosial, yakni kecakapan komunikasi dengan empati, sikap
penuh pengertian dan seni komunikasi dua arah serta kecakapan bekerja sama
dalam masyarakat, menjadi harapan. Oleh karena itu, prinsip belajar learning
to live together harus mampu diterapkan secara baik dalam proses pembelajaran
PAI. Adapun tentang materi/isi, maka kurikulum PAI hendaknya berisi ha-lhal
yang bersifat mendasar yang ingin ditanamkan ke dalam diri peserta didik. terutama
nilai-nilai penting (esensial) yang ingin ditanamkan kepada peserta didik
selain nilai-nilai keimanan (doktrin-doktrin agama dalam kitab suci), adalah
nilai kemanusiaan, dan nilai- nilai sosial. Nilai-nilai mendasar ini, tentunya
akan berguna bagi peserta didik agar kelak dapat menjalankan fungsinya sebagai
khalifah di muka bumi. Penanaman nilai, tentunya membutuhkan proses yang tidak
singkat atau tidak instan. Salah satu cara efektifnya adalah dengan memberi
contoh atau keteladanan dari sosok seorang guru PAI bagi anak didiknya. Maka, metode
yang dapat digunakan adalah pemberian contoh, keteladanan, pembiasaan, dan
pendekatan persuasif atau mengajak siswa dengan cara yang halus dengan
memberikan argumentasi dan prospek baik yang biasa meyakinkan anak didik. Tapi
bukan berarti harus meninggalkan metode ceramah. Maka di sini tampak bahwa
sosok guru merupakan fokus (titik) otoritas ruang kelas. Selain harus mampu
meracik strategi pembelajaran yang tepat dan menarik, Guru juga harus punya
kapasitas keteladanan yang lebih dibanding guru mata pelajaran lain, dan
membekali dirinya dengan kemampuan intelektual yang tinggi. Dalam praktik
skenario pembelajaran PAI, inisiatif-inisiatif guru berperan besar. Dalam segi
evaluasi pembelajaran PAI, ditekankan pada evaluasi acuan etik. Acuan ini
dipilih karena berkenaan dengan upaya mengukur internalisasi dari nilai- nilai
keimanan dan kemanusiaan pada siswa dan sejauh mana implementasi dari
nilai-nilai keimanan itu dalam ranah sosial. Asumsi acuan ini berusaha untuk
mengembangkan fitrah (aktualisasi) yang melekat pada diri peserta didik.
Evaluasi acuan etik ini dalam pandangan penulis, relevan dengan tujuan
pembelajaran, yakni menjadikan peserta didik sebagai manusia “baik”, bermoral,
beriman dan bertaqwa.
E.
Tujuan Aliran Filsafat Esensialisme.
Tujuan Umum aliran esensialisme adalah
membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu
pengetahua, kesenian, dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia.
Kurikulum sekolah bagi esensialisme merupakan semacam miniature dunia yang biasa
dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan. Maka dalam sejarah
perkembangannya, kurikulum esensialisme menerapkan berbagai pola idealisme
menerapkan berbagai pola kurikulum, seperti pola idealism, realism dan
sebagainya.[10]
Sehingga peranan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi
sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial yang ada dimasyarakat.[11]
BAB III
PENUTUP
Dari
pembahasan makalah tersebut maka penulis dapat mennyimpulkan :
1. Esensialisme adalah pendidikan yang di
dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat
manusia.
2. Pandangan tokoh esensialisme terhadap
pendidikan
·
Agar
kurikulum sekolah bersifathumanitis dan bersifat international
·
pendidikan
mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak tuhan
·
pendidikan
hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi
·
anak
sebagai makhluk yang berekspresi kreatif
·
tujuan
pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari yang mutlak
·
Kedudukan
sekolah adalah sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun
temurun dan menjadi penuntun penyesuaian diri kepada masyarakat
3. Kurikulum kaum esensialis menekankan
pengajaran fakta-fakta, dimana materi-materinya merupakan dasar yang esensial
bagi ‘general education’ yang diperlukan dalam hidup
4. Anak didik harus memiliki rasa
solidaritas sosial dan ikut berperan serta mewujudkan kesejahteraan umum.
5. Tujuan Umum aliran esensialisme adalah
membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu
pengetahua, kesenian, dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia.
DAFATAR PUSTAKA
Ellis,Cogan,Howey,
The foundations of education. New
York: Mc-grawhill, inc, 1978, cet. IV,
Ensiklopedi Islam,
Jakarta: Ikhtar Baru VanHoeve, 1997, Cet.XI,
Joe
park, selected readings in the philosophy
of education, New york, Macmillan publishing co, Inc.1974
Dra.Zuhairini,
Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta:
Bumi Aksara,1992,
George
R. Knight, Filsafat Pendidikan (terjemahan) (Yogyakarta: Gama Media,
2007).
Uyoh
Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2003).
Muhammad
noor syam, Pengantar Filsafat Pendidikan, penerbit IKIP, Malang ,1978
[1] Ellis,Cogan,Howey,
The foundations of education. New
York: Mc-grawhill, inc, 1978, cet. IV, 339.
[2] Ensiklopedi Islam,
Jakarta: Ikhtar Baru VanHoeve, 1997, Cet.XI, Hal.15
[3] Joe
park, selected readings in the philosophy
of education, New york, Macmillan publishing co, Inc.1974
[4] Dra.Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi
Aksara,1992, Hlm.25-26.
[11] Dra.Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi
Aksara,1992, Hlm.153
No comments:
Post a Comment