BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bank merupakan salah satu urat nadi
perekonomian sebuah negara, tanpa Bank, bisa kita bayangkan bagaimana kita
sulitnya menyimpan dan mengirimkan uang, memperoleh tambahan modal usaha atau
melakukan transaksi perdagangan Internasional secara efektif dan aman. Saat ini
banyak orang memperbincangkan tentang perbankan syariah, yang merupakan salah
satu perangkat ekonomi syariah. Sebenarnya apa definisi dari Bank syariah itu?
Bagaimana cara kerja Bank Syariah? Dan apa bedanya Bank Syariah dengan Bank
Umum yang banyak berkembang di masyarakat saat ini atau yang sering disebut
juga dengan Bank Konvensional? Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas sekilas
satu persatu tentang Bank Konvensional dan Bank
Syariah menurut hukum Islam.
Menurut Undang‐Undang sendiri No.
10 Tahun 1998, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak. Berikut ada beberapa pengertian bank :
- Pengertian
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara
konvensional dan atau berdasarkan prisip syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa lalu lintas pembayaran;
- Bank
Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa lalu lintas pembayaran.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1.2.1 Apa pengertian dan dasar hukum
Bank konvensional dan Bank Syariah?
1.2.2 Apa saja hal-hal yang berkaitan
dengan Bank Konvensional dan Bank Syariah?
1.3
Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas, maka
diperoleh tujuan penulisan, diantaranya sebagai berikut:
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian dan
dasar hukum Bank konvensional dan Bank Syariah.
1.3.2 Untuk mengetahui hal-hal yang
berkaitan dengan Bank Konvensional dan Bank Syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian serta Dasar Hukum Bank Konvensional dan Bank Syariah.
1. Sistem
Perbankan
Dalam bukunya Hukum Perbankan
Nasional Indonesia, Hermansyah mengemukakan pengertian lembaga keuangan yang
bernama Bank. Beliau mengemukakan Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi
tempat bagi orang perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan usaha
milik negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana
yang dimilikinya. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang
diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta mekanisme sistem
pembayaran bagi semua sektor perekonomian. Selain itu Kamus Besar Bahasa
Indonesia juga mengemukakn pengertian Bank. Dikutip oleh Hermansyah, bank
adalah usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di
masyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan
peredaran uang.[1]
Berdasarkan dari dua
pengertian di atas dapat dikatakan bahwa pada dasarnya bank adalah badan
usaha yang mejalankan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkan kembali kepada pihak-pihak yang membutuhkan dalam betuk kredit dan
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Lebih lanjut dalam buku yang sama,
Hermansyah mengemukakan pengertian perbankan adalah segala sesuatu yang
menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan
proses dalam melakukan kegiatan usahanya. Berdasarakan pengertian tersebut
dapat dikatakan bahwa sistem perbankan adalah suatu sistem yang menyangkut
tentang bank, mencakup kelembagaan kegiatan usaha, serta cara, dan proses melaksanakan
kegiatan usahanya secara keseluruhan.[2]
2. Bank
Konvensional
a. Pengertian
Pengertian kata “konvensional”
menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah “menurut apa yang sudah menjadi
kebiasaan”. Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
“berdasarkan kesepakatan umum” seperti adat, kebiasaan, kelaziman.
Berdasarkan pengertian itu, bank
konvensional adalah bank yang dalam operasionalnya menerapkan metode bunga,
karena metode bunga sudah ada terlebih dahulu, menjadi kebiasaan dan telah
dipakai secara meluas dibandingkan dengan metode bagi hasil.
b. Dasar Hukum
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun
1998.
2. Bank
Syariah
a. Pengertian
Bank syariah muncul di Indonesia
pada awal tahun 1990-an. Pemrakarsa pendirian bank syariah di Indonesia
dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990.
Bank syariah adalah bank yang
beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam, maksudnya adalah bank
yang dalam operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya
yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam.
Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang
dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan
sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun
meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta
larangan investasi untuk
usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan
produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll), dimana hal
ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.
Bank syariah beroperasi tidak dengan
menerapkan metode bunga, melainkan dengan metode bagi hasil dan penentuan biaya
yang sesuai dengan syariah islam.
Falsafah dasar beroperasinya bank
syariah yang menjiwai seluruh hubungan transaksinya adalah efesiensi, keadilan,
dan kebersamaan. Efisiensi mengacu pada prinsip saling membantu secara sinergis
untuk memperoleh keuntungan sebesar mungkin.
Keadilan mengacu pada hubungan yang
tidak dicurangi, ikhlas, dengan persetujuan yang matang atas proporsi masukan
dan keluarannya. Kebersamaan mengacu pada prinsip saling menawarkan bantuan dan
nasihat untuk saling meningkatkan produktivitas.
b. Dasar Hukum
Dalam rangka menjalankan
kegiatannya, bank syariah harus berlandaskan pada Alquran dan hadis. Bank
syariah mengharamkan penggunaan harga produknya dengan bunga tertentu. Bagi
bank syariah, bunga bank adalah riba. Menerapkan sistem bagi hasil dan
perdagangan dengan mengacu pada al-Quran Surah A-Baqarah ayat 275.
ª!$#
Í<ur
úïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
Oßgã_Ì÷ã
z`ÏiB
ÏM»yJè=à9$#
n<Î)
ÍqY9$#
( úïÏ%©!$#ur
(#ÿrãxÿx.
ãNèdät!$uÏ9÷rr&
ßNqäó»©Ü9$#
NßgtRqã_Ì÷ã
ÆÏiB
ÍqY9$#
n<Î)
ÏM»yJè=à9$#
3 Í´¯»s9'ré&
Ü=»ysô¹r&
Í$¨Y9$#
( öNèd
$pkÏù
crà$Î#»yz
ÇËÎÐÈ
Artinya: “Orang-orang yang Makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.
Apabila hanya melihat pada
Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, memang tidak ada aturan
tentang Bank Syariah, karena dalam undang-undang tersebut secara umum hanya
menjelaskan tentang perbankan konvensioanal, kecuali dalam Pasal 13.c yang
mengatur tentang Usaha Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip bagi hasil.
Bank Syariah pertama berdiri di Indonesia sekitar tahun 1992 didasarkan pada
Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 sebagai landasan hukum bank dan Peraturan
Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 tentang Bank Umum berdasarkan prinsip bagi hasil
sebagai landasan hukum Bank Umum Syariah dan Peraturan Pemerintah Nomor 73
tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip bagi hasil sebagai landasan
hukum Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
Sesuai dengan perkembangan perbankan
maka Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan disempurnakan dengan
Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun
1992 tentang perbankan dan juga tercakup hal-hal yang berkaitan dengan
perbankan syariah.
Dalam Undang-undang Nomor 10 tahun
1998 Pasal 1 pengertian bank, bank umum, dan Bank Perkreditan Rakyat
disempurnakan menjadi sebagai berikut:
“Bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, sedangkan pengertuan Bank Umum adalah
bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau “berdasarkan
prinsip usaha syariah” yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran. Serta pengertian Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPR-Syariah)
adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan
prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran”.
Selain itu,
yang dimaksud dengan prinsip syariah dijelaskan pada Pasal 1 butir 13
Undang-undang tersebut, yakni sebagai berikut.
Prinsip
syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak
lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnyayang dinyatakan sesuai dengan syariah, anatara lain pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah),
pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keintungan
(murabahah), atau pembiayaan barang
modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas
barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Dengan
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 10ntahun 1998 maka Peraturan Pemerintah
Nomor 72 tahun 1992 dan Peraturan pemerintah Nomor 73 tahun 1992 dicabut dengan
Peraturan penerintah Nomor 30 tahun 1998 dan sebagai tindak lanjut dari
Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tersebut, Bank Indonesia sebagai otoritas
perbankan mengeluarkan beberapa ketentusn berkaitan dengan perbankan syariah,
yaitu Bank Umum Syariah, BPR Syariah, dan Bank Konvensional.
1.
Bank Umum Syariah
Peraturan
Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tertanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum
yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Ketentuan
ini merupakan penyempurnaan ketentuan lama yang telah dicabut, yaitu meliputi
a.
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
32/2/UPPB tertanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan prinsip Syariah,
dan
b.
Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 32/34/KEP/DIR tertanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum
Berdasarkan Prinsip Syariah.
2.
Bank Perkreditan Rakyat Syariah
(BPR-Syariah)
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2004 tanggal 1
Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Ketentuan ini merupakan penyempurnaan ketentuan lama
yang telah dicabut, yaitu meliputi
a.
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
32/4/UPPB tertanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan
Prinsip Syariah, dan
b.
Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 32/36/KEP/DIR tertanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan
Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
3.
Bank Konvensioanal yang Membuka
Usaha Syariah (Cabang Syariah).
Peraturan
Bank Indonesia Nomor 4/1/PBI/2002 tanggal 27 Maret 2002 tentang Perubahan
Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensiaonal menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip
Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum
Konvensiaonal.
Ketentuan
ini merupakan penyempurnaan ketentuan lama yang telah dicabut, yaitu Peraturan
Bank Indonesia Nomor 2/27/PBI/2000 tanggal 15 desember 2000 tentang Bank Umum
Konvensiaonal yang melakukan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Dalam
ketentuan-ketentuan tersebut diatur tata cara pendirian bank, perizinan prinsip
maupun perizinan kegiatan usaha, kepemilikan, Dewan Pengawas Syariah, Dewan
Komisaris, Dewan Direksi dan pemimpin Kantor Cabang, Kegiatan Usaha Bank,
Pembukaan Kantor Bank, Peningkatan dan penurunan Status Kantor Bank, Pemindahan
Alamat Kantor, Perubahan Nama dan Bentuk Badan Hukum, Penutupan Kantor.
2.1
Hal-hal yang Berkaitan dengan Bank Konvensional dan Bank Syariah.
2.1.1
Konsep Dasar Bank Konvensional dan Bank
Syariah
Prinsip Bank Konvensional
Pada bank konvensional, prinsip yang digunakan adalah:
1. Bunga sudah ditentukan besarnya terlebih dahulu oleh bank tanpa memperhitungkan apakah bank sedang mendapatkan keuntungan atau tidak.
2.Besarnya bunga adalah tetap, baik bank sedang rugi atau laba. Walaupun ekonomi sedang baik dan bank sedang mendapatkan banyak laba, akan tetapi tetap bunga yang diberikan kepada nasabah tidak bertambah.
1. Bunga sudah ditentukan besarnya terlebih dahulu oleh bank tanpa memperhitungkan apakah bank sedang mendapatkan keuntungan atau tidak.
2.Besarnya bunga adalah tetap, baik bank sedang rugi atau laba. Walaupun ekonomi sedang baik dan bank sedang mendapatkan banyak laba, akan tetapi tetap bunga yang diberikan kepada nasabah tidak bertambah.
Produk Bank
Konvensional
Produk-produk
Bank Konvensional antara lain :
a. Simpanan
Giro (Demand Deposit), Simpanan giro merupakan simpanan pada bank yang
penarik¬annya dapat dilakukan dengan menggunakan cek atau bilyet giro.
b. Simpanan
Tabungan (Saving Deposit), Merupakan simpanan pada bank yang penarikan sesuai
dengan persyaratan yang ditetapkan oleh bank. Penarikan tabungan di lakukan
menggunakan buku tabungan, slip penarikan, kuitansi atau kartu Anjungan Tunai
Mandiri (ATM).
c. Simpanan
Deposito (Time Deposit), Deposito merupakan simpanan yang memiliki jangka
wak¬tu tertentu (jatuh tempo). Penarikannya pun dilakukan sesuai jangka waktu
tersebut. Dalam praktiknya jenis deposito terdiri dari deposito berjangka,
sertifikat deposito dan deposit on call.
d. Kredit
Investasi, Merupakan kredit yang diberikan kepada pengusaha yang melakukan
investasi atau penanaman modal.
e. Kedit
Modal Kerja, Merupakan kredit yang digunakan sebagai modal usaha.
f. Kredit
Perdagangan, Merupakan kredit yang diberikan kepada para pedagang dalam rangka
memperlancar atau memperluas atau memperbesar kegiatan perdagangannya.
g. Kredit
Produktif, Merupakan kredit yang dapat berupa investasi, modal keda atau
perdagangan.
h. Kredit
Konsumtif, Merupakan kredit yang digunakan untuk keperluan pribadi mi¬sainya
keperluan konsumsi, baik pangan, sandang maupun papan.
i. Kredit Profesi, Merupakan kredit yang diberikan kepada para kalangan profe¬sional seperti dosen, dokter atau pengacara.
i. Kredit Profesi, Merupakan kredit yang diberikan kepada para kalangan profe¬sional seperti dosen, dokter atau pengacara.
Prinsip
Bank Syariah
Pada
dasarnya prinsip bank syariah menghendaki semua dana yang diperoleh dalam
sistem perbankan syariah dikelola dengan integritas tinggi dan sangat
hati-hati.
1. Shiddiq,
memastikan bahwa pengelolaan bank syariah dilakukan dengan moralitas yang
menjunjung tinggi nilai kejujuran. Dengan nilai ini pengelolaan diperkenankan
(halal) serta menjauhi cara-cara yang meragukan (subhat) terlebih lagi yang
bersifat dilarang (haram).
2. Tabligh,
secara berkesinambungan melakukan sosialisasi dan mengedukasi masyarakat
mengenai prinsip-prinsip, produk dan jasa perbankan syariah. Dalam melakukan
sosialisasi sebaiknya tidak hanya mengedepankan pemenuhan prinsip syariah
semata, tetapi juga harus mampu mengedukasi masyarakat mengenai manfaat bagi
pengguna jasa perbankan syariah.
3. Amanah,
menjaga dengan ketat prinsip kehati-hatian dan kejujuran dalam mengelola dana
yang diperoleh dari pemilik dana (shahibul maal) sehingga timbul rasa saling
percaya antara pemilik dana dan pihak pengelola dana investasi (mudharib).
4. Fathanah,
memastikan bahwa pegelolaan bank dilakukan secara profesional dan kompetitif
sehingga menghasilkan keuntungan maksimum dalam tingkat resiko yang ditetapkan
oleh bank. Termasuk di dalamnya adalah pelayanan yang penuh dengan kecermatn
dan kesantunan (ri’ayah) serta penuh rasa tanggung jawab (mas’uliyah).
Oleh sebab
itu, dalam ekonomi Islam, hanya pemeluk Islam yang berimanlah yang dapat
mewakili satuan ekonomi Islam.[3]
Tujuan Bank Syariah
Bank syariah
adalah bank yang aktivitasnya meninggalkan masalah riba. Dengan demikian,
penghindaran bunga yang dianggap riba merupakan salah satu tantangan yang
dihadapi dunia Islam dewasa ini. Suatu hal yang sangat menggembirakan bahwa
belakangan ini para ekonom Muslim telah mencurahkan perhatian besar, guna
menemukan cara untuk menggantikan sistem bunga dalam transaksi perbankan dan
membangun model teori ekonomi yang bebas dan pengujiannya terhadap pertumbuhan
ekonomi, alokasi dan distribusi pendapatan. Oleh karena itu, maka mekanisme
perbankan bebas bunga yang biasa disebut dengan bank syariah didirikan. Tujuan
perbankan syariah didirikan dikarenakan pengambilan riba dalam transaksi
keuangan maupun non keuangan (QS. Al-Baqarah 2 : 275). Dalam sistem bunga, bank
tidak akan tertarik dalam kemitraan usaha kecuali bila ada jaminan kepastian
pengembalian modal dan pendapatan bunga (Zaenul Arifin, 2002: 39-40).[4]
Fungsi Bank Syariah
1. Intermediary agent (sama seperti bank konvensional)
2. Fund atau investment manager
3. Penyedia jasa perbankan pada
umumnya (sama seperti bank konvensional) sepanjang tidak melanggar syariah
4. Pengelola fungsi sosial (ZISWA)
5. Alat transmisi kebijakan moneter (sama seperti bank
Konvensional)
Falsafah Operasional Bank Syariah
Setiap
lembaga keuangan syariah mempunyai falsafah mencari keridhoan Allah untuk
memperoleh kebajikan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, setiap kegiatan
lembaga keuangan yang dikhawatirkan menyimpang dari tuntunan agama, harus
dihindari.
a)
Menjauhkan diri dari unsur riba, caranya :
1.
Menghindari penggunaan sistem yang
menetapkan dimuka secara pasti keberhasilan usaha (QS. Luqman, ayat: 34).
2.
Menghindari penggunaan sistem
prosentasi untuk pembebanan biaya terhadap hutang atau pemberian imbalan
terhadap simpanan yang mengandung unsur melipat gandakan secara otomatis
hutang/simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu (QS. Ali-Imron, 130).[5]
3.
Menghindari penggunaan sistem
perdagangan/penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya dengan
memperoleh kelebihan baik kuantitas maupun kualitas (HR. Muslim Bab Riba No.
1551 s/d 1567).
4.
Menghindari penggunaan sistem yang
menetapkan tambahan dimuka atas hutang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai
hutang secara sukarela (HR. Muslim, Bab Riba No. 1569 s/d 1572).
b)
Menerapkan sistem bagi hasil dan perdagangan. Dengan mengacu pada Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 dan
An-Nisa ayat 29, “maka setiap transaksi kelembagaan syariah harus dilandasi
atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya didasari oleh
adanya pertukaran antara uang dan barang. Akibatnya pada kegiatan muamalah
berlaku prinsip ada barang/jasa uang dengan barang, sehingga akan
mendorong produksi barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa,
dapat dihindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi, dan inflasi.
Produk
Perbankan Syariah
Dari hasil
musyawarah (ijma internasional) para ahli ekonomi Muslim beserta para ahli
fiqih dari Academi Fiqh di Mekkah pada tahun 1973, dapat disimpulkan bahwa
konsep dasar hubungan ekonomi berdasarkan syariah Islam dalam bentuk sistem
ekonomi Islam ternyata dapat diterapkan dalm operasional lembaga keuangan bank
maupun lembaga keuangan non bank. Penerapan atas konsep tersebut terwujud
dengan munculnya lembaga keuangan Islam di persada nusantara ini.[6]
Sepuluh
tahun sejak diundangkannya pada Lembaga Negara, Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan Bagi Hasil, yang direvisi dengan UU No. 10 tahun 1998,
bank syariah dan lembaga keuangan non bank secara kuantitatif tumbuh dengan
pesat. Bank syariah dengan sistem bagi hasil dirancang untuk terbinanya
kebersamaan dalam menanggung resiko usaha dan berbagi hasil usaha antara :
pemilik dana (shahibul mal) yang menyimpan uangnya di lembaga, lembaga selaku
pegelola dana (mudharib) dan masyarakat yang membutuhkan dana yang bisa
berstatus peminjam dana atau pengelola usaha.
Pada sisi pengerahan dana masyarakat, shahibul maal berhak atas bagi hasil dari usaha lembaga keuangan sesuai dengan porsi yang telah disepakati bersama, bagi hasil yang diterima shahibul mal akan naik turun secara wajar sesuai dengan keberhasilan lembaga keuangan dalam mengelola dana yag dipercayakan kepadanya. Tidak ada biaya yang perlu digeserkan karena konsep bagi hasil bukan konsep biaya.
Pada sisi pengerahan dana masyarakat, shahibul maal berhak atas bagi hasil dari usaha lembaga keuangan sesuai dengan porsi yang telah disepakati bersama, bagi hasil yang diterima shahibul mal akan naik turun secara wajar sesuai dengan keberhasilan lembaga keuangan dalam mengelola dana yag dipercayakan kepadanya. Tidak ada biaya yang perlu digeserkan karena konsep bagi hasil bukan konsep biaya.
Pada
penyaluran dana kepada masyarakat, sebagian besar pembiayaan Bank Islam
disalurkan dalam bentuk barang dan jasa yang dibelikan Bank Islam untuk
nasabahnya.
Dengan
demikian, pembiayaan hanya diberikan apabila barang dan jasa telah ada terlebih
dahulu. Dengan metode ada barang dahulu, baru ada uang maka masyarakat dipacu
untuk memproduksi barang dan jasa atau mengadakan barang dan jasa. Selanjutnya
barang yang dibeli/diadakan menjadi jaminan (collateral) hutang.
Secara garis
besar, hubungan ekonomi berdasarkan syariah Islam tersebut ditentukkan oleh
hubungan aqad yang terdiri dari lima konsep aqad. Bersumber dari lima konsep
ini bank syariah dapat menerapkan produk-produk lembaga keuangan bank syariah
dan lembaga keuangan bukan bank syariah yang dapat dioperasionalkan. Kelima
konsep tersebut adalah :
1)
Prinsip Simpanan Murni (al’Wadiah)
Prinsip
simpanan murni merupakan fasilitas yang diberikan oleh bank Islam untuk
memberikan kesempatan kepada pihak yang kelebihan dana untuk menyimpan dananya
dalam bentuk al-Wadiah. Fasilitas al-Wadiah diberikan utnuk tujuan investasi
guna mendapatkan keuntungan seperti halnya tabungan dan deposito.
2)
Bagi Hasil (Syirkah)
Sistem ini
adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara
penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi
antara bank dengan penyimpan dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima
dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah mudharabah dan
musyarakah
3)
Prinsip Jual beli (at-Tijarah
Prinsip ini
merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, dimana bank akan
membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai
agen bank melakukan pembelian atas nama bank, kemudian bank menjual barang
tersebut kepada nasabah dengan harga beli ditambah keuntungan (margin).
4)
Prinsip Sewa (al-Ijarah)
Prinsip ini
secara garis besar terbagi atas dua jenis : (1). Ijarah, sewa murni, seperti
halnya penyewaan alat-alat produk (operating lease). Dalam teknis perbankan,
bank dapat membeli equipment yang dibutuhkan nasabah kemudian menyewakan dalam
waktu dan hanya telah disepakati kepada nasabah. (2) Bai al takjiri atau ijarah
al muntahiya bit tamlik merupakan penggabungan sewa dan beli, dimana si penyewa
mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa (finansial lease).
5)
Prinsip jasa/fee (al-Ajr walumullah)
Prinsip ini
meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan bank. Bentuk produk yang
berasarkan prinsip ini antara lain Bank Garansi, Kliring, Inkaso, Jasa,
Transfer, dll.
Perkembangan
Produk Perbankan Syariah di Indonesia
Seiring
dengan perkembangannya, bank syariah tahun demi tahun mengalami peningkatan
dari sisi asset dan share secara nasional, begitu pula dengan jumlah dana pihak
ketiga (deposito fund) dan kredit (financing) yang diberikan. Pada akhir tahun
2002 total asset bank syariah sebesar Rp 4 Trilyun atau share sebesar 0,36%
dari total aset perbankan nasional, sedangkan pada akhir tahun 2003 meningkat
menjadi Rp 7,8 Trilyun atau share sebesar 0,74% dari total aset perbankan
nasional atau meningkat hampir sebesar 100% dari total aset perbankan syariah
tahun sebelumnya. Dari sisi produk perbankan syariah maka total deposit fund
yang dimiliki bank syariah pada akhir tahun 2002 sebesar Rp 2,92 Trilyun dan
pada akhir tahun 2003 sebesar Rp 5,72 Trilyun atau mengalami peningkatan hampir
sebesar 100%. Sedangkan disisi financing posisi pada tahun 2002 akhir sebesar
Rp 3,28 Trilyun dan pada akhir tahun 2003 sebesar Rp 5,53 Trilyun atau
mengalami penongkatan hampir sebesar 70%. Secara keseluruhan akan dapat dilihat
pada tabel pangsa perbankan syariah terhadap total bank posisi Desenber 2003
dibawah ini.[7]
Prospek Perkembangan Produk Perbankan Syariah di
Indonesia
Prospek
perkembangn produk bank syariah masih terbuka lebar, jika bank syariah
melakukan kajian mendalam untuk pengembangan produk baru. Sehingga muncul
inovasi dalam membuat produk-produk baru yang customized bagi customers.
Pemahaman akan produk (product knowledge) dan skim-skim syariah menjadi dasar
dalam pengembangan produk bank syariah. Minimnya pengetahuan mengenal aspek
fiqh dalam perbankan syariah juga menjadi salah satu kendala dalam pengembangan
produk di bank syariah. Berdasarkan perkembangan perkembangan secara nasional
maka ada kecenderungan ke depan trennya adalah kepeminjaman konsumen.
Disisi lain pemberian pinjaman kepada kelompok UKM (Usaha Kecil Menengah)
juga menjadi salah satu pilihan karena hal ini dapat mengurangi resiko
kemacetan kredit yang biasanya disebabkan oleh debitur-debitur besar, jika satu
debitur besar mengalami kemacetan maka akan mempengaruhi posisi CAR suatu bank
secara signifikan.
Sumber
Dana Bank Syariah
Pertumbuhan
setiap bank sangat dipengaruhi oleh perkembangan kemampuannya menghimpun dana
masyarakat, baik berskala kecil maupun besar dengan masa pendapatan yang
memadai. Sebagai lembaga keuangan, masalah bank yang yang paling utama adalah
dana. Tanpa dana yang cukup, bank tidak dapat berbuat apa-apa, atau dengan kata
lain bank menjadi tidak berfungsi sama sekali.[8]
Dana adalah
uang tunai yang dimiliki atau dikuasai oelh bank dalam bentuk tunai, atau
aktiva lain yang dapat segera diubah menjadi uang tunai. Uang tunai yang
dimiliki atau dikuasai oleh bank tidak hanya berasal dari para pemilik bank itu
sendiri, tetapi juga dari titipan atau penyertaan dana orang lain atau pihak
lain yang sewaktu-waktu atau pada suatu saat tertentu akan ditarik kembali,
baik sekaligus ataupun secara berangsur-angsur.
Bagi bank
konvensional selain modal, sumber dana lainnya cenderung bertujuan untuk
“menahan” uang. Hal ini sesuai dengan pendekatan yang dilakukan Keynes yang
mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang untuk tiga kegunaan: transaksi,
cadangan(jaga-jaga), dan investasi (John M. Keynes, 1936). Oleh karena itu,
produk penghimpunan dana pun sesuai dengan tiga fungsi tersebut yaitu berupa
giro, tabungan, dan deposito.[9]
Dalam
pandangan syariah uang bukanlah suatu komoditi melainkan hanya sebagai alat
untuk mencapai pertambahan nilai ekonomis (economic added value). Hal ini
bertentangan dengan perbankan berbasis bunga di mana “uang mengembang-biakan
uang”, tidak peduli apakah uang itu dipakai dalam kegiatan produktif atau tidak.
Untuk menghasilkan keuntungan, uang harus dikaitkan dengan kegiatan ekonomi
dasar (primary economic activities) baik secara langsung maupun melalui
transaksi perdagangan ataupun secara tidak langsung melalui penyertaan modal
guna melakukan salah satu atau seluruh kegiatan usaha tersebut.
Berdasarkan
prinsip tersebut Bank syariah dapat menarik dana pihak ketiga atau masyarakat
dalam bentuk. [10]
1.
Titipan (wadiah) simpanan yang
dijamin keamanan dan pengembaliannya (guaranteed deposit) tetapi tanpa
memperoleh imbaaln atau keuntungan.
2.
Partisipasi modal berbagi hasil dan
berbagi resiko (non guaranteed account) untuk investasi umum (general
investment account/ mudharabah mutlaqah) di mana bank akan membayar bagian
keuntungan secara proporsional dengan porofolio yang didanai dengan modal
tersebut.
3.
Investasi khusus (spesial investment
account/mudharabah muqayyadah) di mana bank bertindak sebagai manajer investasi
untuk memperoleh fee. Jadi bank tidak ikut berinvestasi sedangkan investor
sepenuhnya mengambil resiko atas investasi.
Dengan demikian sumber dana bank syariah terdiri dari
(Ibid):
· Modal Inti
(core capital)
· Kuasi
ekuitas (mudharabah account)
·
Titipan (wadiah) atau simpanan tanpa
imbalan (non remunerated deposit)
Laporan
Keuangan Perbankan Syariah
Laporan
keuangan pada sektor perbankan syariah, sama seperti sektor lainnya, adalah
untuk menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta
perubahan posisi keuangan aktifitas operasi bank yang bermanfaat dalam
mengambil keputusan.
Fungsi
Laporan Keuangan
Sebagai
bahan informasi yang dapat digunakan oleh pihak-pihak yang membutuhkan, laporan
keuangan setidaknya harus berfungsi sebagai berikut:
1.
Menyediakan informasi yang
bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan.
Pihak-pihak yang berkepentingan antara lain:
· sahibul
maal/pemilik dana
· kreditur
· pembayar
zakat, infak, dan sadaqah
· pemegang
saham
· otoritas
pengawasan
· Bank
Indonesia
· Pemerintah
· Lembaga
penjamin simpanan
· Masyarakat
2.
informasi dalam menilai prospek arus
kas bertujuan untuk memberikan informasi yang dapat mendukung investor/pemilik
dana, kreditur, dan pihak-pihak lain dalam memperkirakan jumlah, aset, dan
ketidakpastian dalam penerimaan kas di masa depan atas deviden, bagi hasil,dan
hasil dari penjualan, pelunasan(redemption), dan jatuh tempo dari surat
berharga atau pinjaman.
3.
informasi atas sumber daya ekonomi
bertujuan memberikan informasi tentang sumber daya ekonomis bank (economic
resources), kewajiban bank untuk mengalihkan sumber daya tersebut kepada
entitas lain atau pemilik saham serta kemungkinan terjadinya transaksi, dan
peristiwa yang dapat mempengaruhi perubahan sumber daya tersebut.
4.
informasi mengenai kepatuhan bank
terhadap prinsip syariah, serta informasi mengenai pendapatan dan pengeluaran
yang tidak sesuai dengan prinsip syariah dan pegelolaan pendapatan dana bank
tersebut.
5.
informasi untuk membantu pihak
terkait di dalam menentukan zakat bank atau pihak lainnya.
Acuan
Penyusunan Laporan Keuangan
Penyusunan
laporan keuangan bank syariah didasarkan dari beberapa acuan yang relevan,
adapun acuan tersebut adalah:
1.
Peraturan yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia
2.
Kerangka Dasar Penyusunan dan
Penyajian Laporan Keuangan Umum, Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian
Laporan Keuangan Syariah, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Umum,
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Syariah (PSAKS) dan
Interprestasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK).
3.
Accounting and Auditing Standard for
Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan oleh AAOIFI
(Accounting and Auditing Organization of Islamic Financial
Institutions).
4.
International Accounting Standard
(IAS), Statement of Financial Accounting Standard (SFAS), sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah.
5.
Peraturan perundang-undagan yang
relevan dengan laporan keuangan
6.
Praktik-praktik akuntansi yang
berlaku umum, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah.
2.1.2 Perbedaan
antara Bank Islam dan Bank Konvensional
Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan, terutama dalam
sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang
digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan, dan sebagainya. Akan
tetapi terdapat banyak perbedaan mendasar di antara keduanya.
Islam
memandang harta yang dimiliki oleh manusia adalah titipan/amanah Allah SWT
sehingga cara memperoleh, mengelola, dan memanfaatkannya harus sesuai ajaran
Islam
Bank syariah mendorong nasabah untuk
mengupayakan pengelolaan harta nasabah (simpanan) sesuai ajaran Islam
1.
Bank syariah menempatkan
karakter/sikap baik nasabah maupun pengelola bank pada posisi yang sangat
penting dan menempatkan sikap akhlakul karimah sebagai sikap dasar hubungan
antara nasabah dan bank.
2.
Adanya kesamaan ikatan emosional
yang kuat didasarkan prinsip keadilan, prinsip kesederajatan dan prinsip
ketentraman antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah atas jalannya
usaha bank syariah
· Prinsip bagi
hasil:
Dengan
mengacu kepada petunjuk Al-Qur’an, QS. Al-Baqarah (2):275 dan surat an-Nisaa’
(4):29 yang intinya Allah SWT. telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan
riba serta suruhan untuk menempuh jalan perniagaan dengan suka sama suka, maka
setiap transaksi kelembagaan ekonomi islami harus selalu dilandasi atas dasar
sistem bagi hasil dan perdagangan atau yang transaksinya didasari oleh adanya
pertukaran antara uang dengan barang/jasa. Akibatnya pada kegiatan muamalah
berlaku prinsip “ada barang/jasa dulu baru ada uang”, sehingga akan mendorong
produksi barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa, dapat menghindari
adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi, dan inflasi.[11]
1.
Penentuan besarnya resiko bagi hasil
dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi
2.
Besarnya nisbah bagi hasil
berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
3.
Jumlah pembagian bagi hasil
meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan
4.
Tidak ada yang meragukan keuntungan
bagi hasil
5.
Bagi hasil tergantung kepada
keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapatkan keuntungan
maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak
Bank Konvensional
Pada bank
konvensional, kepentingan pemilik dana (deposan) adalah memperoleh imbalan berupa
bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham adalah
diantaranya memperoleh spread yang optimal antara suku bunga simpanan dan suku
bunga pinjaman (mengoptimalkan interest difference). Dilain pihak kepentingan
pemakai dana (debitor) adalah memperoleh tingkat bunga yang rendah (biaya
murah). Dengan demikian terhadap ketiga kepentingan dari tiga pihak tersebut
terjadi antagonisme yang sulit diharmoniskan. Dalam hal ini bank konvensional
berfungsi sebagai lembaga perantara saja
1.
Tidak adanya ikatan emosional yang
kuat antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah karena masing-masing
pihak mempunyai keinginan yang bertolak belakang
2.
Sistem bunga:
3.
Penentuan suku bunga dibuat pada
waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank
4.
Besarnya prosentase berdasarkan pada
jumlah uang (modal) yang dipinjamkan Penentuan suku bunga dibuat pada waktu
akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank
5.
Jumlah pembayaran bunga tidak
mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang
baik
6.
Eksistensi bunga diragukan
kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam
7.
Eksistensi bunga diragukan
kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam
8.
Pembayaran bunga tetap seperti yang
dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung
atau rugi.
TABEL
PERBEDAAN BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL
Permasalahan
|
Bank syariah
|
Bank konvensional
|
Risiko akad
|
1. akad jual-beli ( al murabahah)
2. akad bagi hasil( al musyarakah dan al mudharabah)
3. akad sewab (ijaroh mutlaq
dan ijaroh muntahiyah bitamlik)
Sesuai
dengan akadnya sehingga angsuran akan selalu tetap, sesuai dengan kesepakatan
di muka
|
1. akadnya adalah kredit / pinjam uang
sehingga angsuran tidak bisa dijamin akan tetap
|
Landasan operasional
|
tidak bebas
nilai (berdasarkan prinsipsyariah islam)
uang sebagai alat tukar bukan
komoditi bunga dalam berbagai bentuknya dilarang
menggunakan
prinsip bagi hasil dan keuntungan atas transaksi riil
|
bebas nilai
(berdasarkan prinsip materialistis) uang sebagai komoditi yang dipertahankan
bunga sebagai
instrument imbalan teradap
pemilik uang yang ditetapkan dimuka
|
Fungsi dan peran
|
agen investasi/manajer investasi minvesto penyediaan jasa lalu lintas pembayaran (tidak bertentangan
syariah) pengelola dana kebajikan, ZIS
hubungan dengan nasabah
adalah hubungan kemitraan
|
penghimpun
dana masyarakat dan meminjamkan kembali kepada masyarakat dalam kredit dengan
imbalan bunga
penyedia jasa/lalu lintas pembayaran
hubungan
dengan nasabah adalah hubungan debitur kreditur
|
Risiko usaha
|
dihadapi
bersama antara bank dengan nasabah dengan prinsip keadilan dan kejujuran
tidak mengenal kemungkinan
terjadinya selisih negatif (negative spread) karena sistem yang
digunakan.
|
risiko bank
tidak terkait langsung dengan debitur, dan sebaliknya
kemungkinan terjadi selisih
negatif antara pendapatan dan beban bunga
|
Sistem pengawasan
|
Adanya Dewan Pengawas Syariah untuk memastikan operasional bank
tidakmenyimpangdari syariahdisamping
tuntutan moralitas pengelola bank dan nasabah sesuai denganakhlakul
karimah
|
Aspek
moralitas seringkali terlanggar karena tidak adanya nilai-nilai religius yangmendasari operasional
|
BAB III
KESIMPULAN
Dari paparan makalah di atas, maka
disini penulis dapat menyimpulkan bahwa Bank Syariah adalah lembaga keungan
yang memiliki misi dan metodologi yang ekslusif, misi yang bukan sekedar ada
pada jumlah nominal investasi tapi juga mencakup pada jenis, objek dan
tujuannya itu sendiri. Adapun metodologinya adalah kerangka syariat dan
kaidah-kaidahnya yang bersumber dari etika dan nilai-nilai syariat Islam yang
universal.
Perbedaan tujuan dari bank konvensional
dengan bank syariah; Bank konvensional didirikan untuk mendapatkan keuntungan
material sebesar-besarnya, sedangkan bank syariah didirikan untuk memberikan
kesejahteraan material dan spiritual.Kesejahteraan material dan spiritual
tersebut didapat melalui usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang halal.
Artinya, bank syariah tidak akan menyalurkan dana untuk usaha pabrik minuman
keras atau usaha lain yang tidak bisa dijamin bahwa hasilnya berasal dari
kegiatan yang halal. Dari perbandingan yang telah dijelaskan di atas terlihat
bahwa dengan sistem riba pada Bank Konvensional penabung akan menerima bunga
sebesar ketentuan bank.
[3]. Muhammad Syafi’i Antonio. 2001. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik.
Jakarta: Gema Insani.Hlm 13.
[4]
. Menteri Agama Republik Indonesia, Al-Qur`an dan terjemahnya, jakarta,
1971.
[5]
. Ibid
[6] .
http://tugaskuliah-ilham.blogspot.com/2011/03/makalah-manajemen-perbankan-yusran.html.
[7] .
http://www.scribd.com/febzz/d/13141543-Perbedaan-Bank-Syariah-dan-Bank-Konvensional.
[8]
. Arifin, Zainul. 2002. Dasar-Dasar
Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Alvabet.
[10]
. Arifin, Zainul. 2002. Dasar-Dasar
Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Alvabet.
[11]
. Wirdyaningsih. 2005. Bank dan
Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.Hlm 18.
No comments:
Post a Comment