Sunday, July 21, 2019

dasar hukum Bank konvensional dan Bank Syariah


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bank merupakan salah satu urat nadi perekonomian sebuah negara, tanpa Bank, bisa kita bayangkan bagaimana kita sulitnya menyimpan dan mengirimkan uang, memperoleh tambahan modal usaha atau melakukan transaksi perdagangan Internasional secara efektif dan aman. Saat ini banyak orang memperbincangkan tentang perbankan syariah, yang merupakan salah satu perangkat ekonomi syariah. Sebenarnya apa definisi dari Bank syariah itu? Bagaimana cara kerja Bank Syariah? Dan apa bedanya Bank Syariah dengan Bank Umum yang banyak berkembang di masyarakat saat ini atau yang sering disebut juga dengan Bank Konvensional? Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas sekilas satu persatu tentang Bank Konvensional dan Bank  Syariah menurut hukum Islam.
Menurut UndangUndang  sendiri No. 10 Tahun 1998, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Berikut ada beberapa pengertian bank :
  • Pengertian Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan atau berdasarkan prisip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa lalu lintas pembayaran;
  • Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa lalu lintas pembayaran.

1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang  diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.2.1 Apa pengertian dan dasar hukum Bank konvensional dan Bank Syariah?
1.2.2 Apa saja hal-hal yang berkaitan dengan Bank Konvensional dan Bank Syariah?
1.3 Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas, maka diperoleh tujuan penulisan, diantaranya sebagai berikut:
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian dan dasar hukum Bank konvensional dan Bank Syariah.
1.3.2 Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Bank Konvensional dan Bank Syariah.














BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian serta Dasar Hukum Bank Konvensional dan Bank Syariah.
1. Sistem Perbankan
Dalam bukunya Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Hermansyah mengemukakan pengertian lembaga keuangan yang bernama Bank. Beliau mengemukakan Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat  bagi orang perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan usaha milik negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana yang  dimilikinya. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta mekanisme sistem pembayaran  bagi semua sektor perekonomian. Selain itu Kamus Besar Bahasa Indonesia juga mengemukakn pengertian Bank. Dikutip oleh Hermansyah, bank adalah usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.[1]
Berdasarkan  dari dua pengertian di atas dapat dikatakan bahwa pada dasarnya  bank adalah badan usaha yang mejalankan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dan  menyalurkan kembali kepada pihak-pihak yang membutuhkan dalam betuk kredit dan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Lebih lanjut dalam buku yang sama, Hermansyah mengemukakan pengertian perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan proses dalam melakukan kegiatan usahanya. Berdasarakan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa sistem perbankan adalah suatu sistem yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan kegiatan usaha, serta cara, dan proses melaksanakan kegiatan usahanya secara keseluruhan.[2]
2. Bank Konvensional
a. Pengertian
Pengertian kata “konvensional” menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah “menurut apa yang sudah menjadi kebiasaan”. Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “berdasarkan kesepakatan umum” seperti adat, kebiasaan, kelaziman.
Berdasarkan pengertian itu, bank konvensional adalah bank yang dalam operasionalnya menerapkan metode bunga, karena metode bunga sudah ada terlebih dahulu, menjadi kebiasaan dan telah dipakai secara meluas dibandingkan dengan metode bagi hasil.
b. Dasar Hukum
Undang-Undang No. 7  Tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.
2. Bank Syariah
a. Pengertian
Bank syariah muncul di Indonesia pada awal tahun 1990-an. Pemrakarsa pendirian bank syariah di Indonesia dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990.
Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam, maksudnya adalah bank yang dalam operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam.
Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.
Bank syariah beroperasi tidak dengan menerapkan metode bunga, melainkan dengan metode bagi hasil dan penentuan biaya yang sesuai dengan syariah islam.
Falsafah dasar beroperasinya bank syariah yang menjiwai seluruh hubungan transaksinya adalah efesiensi, keadilan, dan kebersamaan. Efisiensi mengacu pada prinsip saling membantu secara sinergis untuk memperoleh keuntungan sebesar mungkin.
Keadilan mengacu pada hubungan yang tidak dicurangi, ikhlas, dengan persetujuan yang matang atas proporsi masukan dan keluarannya. Kebersamaan mengacu pada prinsip saling menawarkan bantuan dan nasihat untuk saling meningkatkan produktivitas.
b. Dasar Hukum
Dalam rangka menjalankan kegiatannya, bank syariah harus berlandaskan pada Alquran dan hadis. Bank syariah mengharamkan penggunaan harga produknya dengan bunga tertentu. Bagi bank syariah, bunga bank adalah riba. Menerapkan sistem bagi hasil dan perdagangan dengan mengacu pada al-Quran Surah A-Baqarah ayat 275.

ª!$# Í<ur šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Oßgã_̍÷ムz`ÏiB ÏM»yJè=à9$# n<Î) ÍqY9$# ( šúïÏ%©!$#ur (#ÿrãxÿx. ãNèdät!$uŠÏ9÷rr& ßNqäó»©Ü9$# NßgtRqã_̍÷ムšÆÏiB ÍqY9$# n<Î) ÏM»yJè=à9$# 3 šÍ´¯»s9'ré& Ü=»ysô¹r& Í$¨Y9$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz ÇËÎÐÈ 
Artinya: “Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.
Apabila hanya melihat pada Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, memang tidak ada aturan tentang Bank Syariah, karena dalam undang-undang tersebut secara umum hanya menjelaskan tentang perbankan konvensioanal, kecuali dalam Pasal 13.c yang mengatur tentang Usaha Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip bagi hasil. Bank Syariah pertama berdiri di Indonesia sekitar tahun 1992 didasarkan pada Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 sebagai landasan hukum bank dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 tentang Bank Umum berdasarkan prinsip bagi hasil sebagai landasan hukum Bank Umum Syariah dan Peraturan Pemerintah Nomor 73 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip bagi hasil sebagai landasan hukum Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
Sesuai dengan perkembangan perbankan maka Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan dan juga tercakup hal-hal yang berkaitan dengan perbankan syariah.
Dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 Pasal 1 pengertian bank, bank umum, dan Bank Perkreditan Rakyat disempurnakan menjadi sebagai berikut:
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, sedangkan pengertuan Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau “berdasarkan prinsip usaha syariah” yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Serta pengertian Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPR-Syariah) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”.
Selain itu, yang dimaksud dengan prinsip syariah dijelaskan pada Pasal 1 butir 13 Undang-undang tersebut, yakni sebagai berikut.
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnyayang dinyatakan sesuai dengan syariah, anatara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keintungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 10ntahun 1998 maka Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 dan Peraturan pemerintah Nomor 73 tahun 1992 dicabut dengan Peraturan penerintah Nomor 30 tahun 1998 dan sebagai tindak lanjut dari Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tersebut, Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan mengeluarkan beberapa ketentusn berkaitan dengan perbankan syariah, yaitu Bank Umum Syariah, BPR Syariah, dan Bank Konvensional.
1.    Bank Umum Syariah
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tertanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Ketentuan ini merupakan penyempurnaan ketentuan lama yang telah dicabut, yaitu meliputi
a.    Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 32/2/UPPB tertanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan prinsip Syariah, dan
b.    Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/KEP/DIR tertanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah.
2.    Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPR-Syariah)
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Ketentuan ini merupakan penyempurnaan ketentuan lama yang telah dicabut, yaitu meliputi
a.       Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 32/4/UPPB tertanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah, dan
b.      Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/36/KEP/DIR tertanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
3.         Bank Konvensioanal yang Membuka Usaha Syariah (Cabang Syariah).
Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/1/PBI/2002 tanggal 27 Maret 2002 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensiaonal menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensiaonal.
Ketentuan ini merupakan penyempurnaan ketentuan lama yang telah dicabut, yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/27/PBI/2000 tanggal 15 desember 2000 tentang Bank Umum Konvensiaonal yang melakukan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Dalam ketentuan-ketentuan tersebut diatur tata cara pendirian bank, perizinan prinsip maupun perizinan kegiatan usaha, kepemilikan, Dewan Pengawas Syariah, Dewan Komisaris, Dewan Direksi dan pemimpin Kantor Cabang, Kegiatan Usaha Bank, Pembukaan Kantor Bank, Peningkatan dan penurunan Status Kantor Bank, Pemindahan Alamat Kantor, Perubahan Nama dan Bentuk Badan Hukum, Penutupan Kantor.
2.1 Hal-hal yang Berkaitan dengan Bank Konvensional dan Bank Syariah.
2.1.1  Konsep Dasar Bank Konvensional dan Bank Syariah
Prinsip Bank Konvensional
Pada bank konvensional, prinsip yang digunakan adalah:
1. Bunga sudah ditentukan besarnya terlebih dahulu oleh bank tanpa memperhitungkan apakah bank sedang mendapatkan keuntungan atau tidak.
2.Besarnya bunga adalah tetap, baik bank sedang rugi atau laba. Walaupun ekonomi sedang baik dan bank sedang mendapatkan banyak laba, akan tetapi tetap bunga yang diberikan kepada nasabah tidak bertambah.
Produk Bank Konvensional
Produk-produk Bank Konvensional antara lain :
a. Simpanan Giro (Demand Deposit), Simpanan giro merupakan simpanan pada bank yang penarik¬annya dapat dilakukan dengan menggunakan cek atau bilyet giro. 
b. Simpanan Tabungan (Saving Deposit), Merupakan simpanan pada bank yang penarikan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh bank. Penarikan tabungan di lakukan menggunakan buku tabungan, slip penarikan, kuitansi atau kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM). 
c. Simpanan Deposito (Time Deposit), Deposito merupakan simpanan yang memiliki jangka wak¬tu tertentu (jatuh tempo). Penarikannya pun dilakukan sesuai jangka waktu tersebut. Dalam praktiknya jenis deposito terdiri dari deposito berjangka, sertifikat deposito dan deposit on call.
d. Kredit Investasi, Merupakan kredit yang diberikan kepada pengusaha yang melakukan investasi atau penanaman modal. 
e. Kedit Modal Kerja, Merupakan kredit yang digunakan sebagai modal usaha. 
f. Kredit Perdagangan, Merupakan kredit yang diberikan kepada para pedagang dalam rangka memperlancar atau memperluas atau memperbesar kegiatan perdagangannya. 
g. Kredit Produktif, Merupakan kredit yang dapat berupa investasi, modal keda atau perdagangan. 
h. Kredit Konsumtif, Merupakan kredit yang digunakan untuk keperluan pribadi mi¬sainya keperluan konsumsi, baik pangan, sandang maupun papan.
i. Kredit Profesi, Merupakan kredit yang diberikan kepada para kalangan profe¬sional seperti dosen, dokter atau pengacara.
Prinsip Bank Syariah
Pada dasarnya prinsip bank syariah menghendaki semua dana yang diperoleh dalam sistem perbankan syariah dikelola dengan integritas tinggi dan sangat hati-hati.
1.      Shiddiq, memastikan bahwa pengelolaan bank syariah dilakukan dengan moralitas yang menjunjung tinggi nilai kejujuran. Dengan nilai ini pengelolaan diperkenankan (halal) serta menjauhi cara-cara yang meragukan (subhat) terlebih lagi yang bersifat dilarang (haram).
2.      Tabligh, secara berkesinambungan melakukan sosialisasi dan mengedukasi masyarakat mengenai prinsip-prinsip, produk dan jasa perbankan syariah. Dalam melakukan sosialisasi sebaiknya tidak hanya mengedepankan pemenuhan prinsip syariah semata, tetapi juga harus mampu mengedukasi masyarakat mengenai manfaat bagi pengguna jasa perbankan syariah.
3.      Amanah, menjaga dengan ketat prinsip kehati-hatian dan kejujuran dalam mengelola dana yang diperoleh dari pemilik dana (shahibul maal) sehingga timbul rasa saling percaya antara pemilik dana dan pihak pengelola dana investasi (mudharib).
4.      Fathanah, memastikan bahwa pegelolaan bank dilakukan secara profesional dan kompetitif sehingga menghasilkan keuntungan maksimum dalam tingkat resiko yang ditetapkan oleh bank. Termasuk di dalamnya adalah pelayanan yang penuh dengan kecermatn dan kesantunan (ri’ayah) serta penuh rasa tanggung jawab (mas’uliyah).
Oleh sebab itu, dalam ekonomi Islam, hanya pemeluk Islam yang berimanlah yang dapat mewakili satuan ekonomi Islam.[3] 
Tujuan Bank Syariah
Bank syariah adalah bank yang aktivitasnya meninggalkan masalah riba. Dengan demikian, penghindaran bunga yang dianggap riba merupakan salah satu tantangan yang dihadapi dunia Islam dewasa ini. Suatu hal yang sangat menggembirakan bahwa belakangan ini para ekonom Muslim telah mencurahkan perhatian besar, guna menemukan cara untuk menggantikan sistem bunga dalam transaksi perbankan dan membangun model teori ekonomi yang bebas dan pengujiannya terhadap pertumbuhan ekonomi, alokasi dan distribusi pendapatan. Oleh karena itu, maka mekanisme perbankan bebas bunga yang biasa disebut dengan bank syariah didirikan. Tujuan perbankan syariah didirikan dikarenakan pengambilan riba dalam transaksi keuangan maupun non keuangan (QS. Al-Baqarah 2 : 275). Dalam sistem bunga, bank tidak akan tertarik dalam kemitraan usaha kecuali bila ada jaminan kepastian pengembalian modal dan pendapatan bunga (Zaenul Arifin, 2002: 39-40).[4]
Fungsi Bank Syariah
1. Intermediary agent (sama seperti bank konvensional)
2. Fund atau investment manager
3. Penyedia jasa perbankan pada umumnya (sama seperti bank konvensional) sepanjang tidak melanggar syariah
4. Pengelola fungsi sosial (ZISWA)
5. Alat transmisi kebijakan moneter (sama seperti bank Konvensional)

Falsafah Operasional Bank Syariah
Setiap lembaga keuangan syariah mempunyai falsafah mencari keridhoan Allah untuk memperoleh kebajikan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, setiap kegiatan lembaga keuangan yang dikhawatirkan menyimpang dari tuntunan agama, harus dihindari.
a)    Menjauhkan diri dari unsur riba, caranya :
1.      Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka secara pasti keberhasilan usaha (QS. Luqman, ayat: 34).
2.      Menghindari penggunaan sistem prosentasi untuk pembebanan biaya terhadap hutang atau pemberian imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur melipat gandakan secara otomatis hutang/simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu (QS. Ali-Imron, 130).[5]
3.      Menghindari penggunaan sistem perdagangan/penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas maupun kualitas (HR. Muslim Bab Riba No. 1551 s/d 1567).
4.      Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan tambahan dimuka atas hutang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai hutang secara sukarela (HR. Muslim, Bab Riba No. 1569 s/d 1572).
b)    Menerapkan sistem bagi hasil dan perdagangan. Dengan mengacu pada  Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 dan An-Nisa ayat 29, “maka setiap transaksi kelembagaan syariah harus dilandasi atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dan barang. Akibatnya pada kegiatan muamalah berlaku prinsip ada barang/jasa uang dengan barang, sehingga akan mendorong  produksi barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa, dapat dihindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi, dan inflasi. 
Produk Perbankan Syariah
Dari hasil musyawarah (ijma internasional) para ahli ekonomi Muslim beserta para ahli fiqih dari Academi Fiqh di Mekkah pada tahun 1973, dapat disimpulkan bahwa konsep dasar hubungan ekonomi berdasarkan syariah Islam dalam bentuk sistem ekonomi Islam ternyata dapat diterapkan dalm operasional lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan non bank. Penerapan atas konsep tersebut terwujud dengan munculnya lembaga keuangan Islam di persada nusantara ini.[6]
Sepuluh tahun sejak diundangkannya pada Lembaga Negara, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Bagi Hasil, yang direvisi dengan UU No. 10 tahun 1998, bank syariah dan lembaga keuangan non bank secara kuantitatif tumbuh dengan pesat. Bank syariah dengan sistem bagi hasil dirancang untuk terbinanya kebersamaan dalam menanggung resiko usaha dan berbagi hasil usaha antara : pemilik dana (shahibul mal) yang menyimpan uangnya di lembaga, lembaga selaku pegelola dana (mudharib) dan masyarakat yang membutuhkan dana yang bisa berstatus peminjam dana atau pengelola usaha.
Pada sisi pengerahan dana masyarakat, shahibul maal berhak atas bagi hasil dari usaha lembaga keuangan sesuai dengan porsi yang telah disepakati bersama, bagi hasil yang diterima shahibul mal akan naik turun secara wajar sesuai dengan keberhasilan lembaga keuangan dalam mengelola dana yag dipercayakan kepadanya. Tidak ada biaya yang perlu digeserkan  karena konsep bagi hasil bukan konsep biaya.
Pada penyaluran dana kepada masyarakat, sebagian besar pembiayaan Bank Islam disalurkan dalam bentuk barang dan jasa yang dibelikan Bank Islam untuk nasabahnya.
Dengan demikian, pembiayaan hanya diberikan apabila barang dan jasa telah ada terlebih dahulu. Dengan metode ada barang dahulu, baru ada uang maka masyarakat dipacu untuk memproduksi barang dan jasa atau mengadakan barang dan jasa. Selanjutnya barang yang dibeli/diadakan menjadi jaminan (collateral) hutang.
Secara garis besar, hubungan ekonomi berdasarkan syariah Islam tersebut ditentukkan oleh hubungan aqad yang terdiri dari lima konsep aqad. Bersumber dari lima konsep ini bank syariah dapat menerapkan produk-produk lembaga keuangan bank syariah dan lembaga keuangan bukan bank syariah yang dapat dioperasionalkan. Kelima konsep tersebut adalah :


1)    Prinsip Simpanan Murni (al’Wadiah)
Prinsip simpanan murni merupakan fasilitas yang diberikan oleh bank Islam untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang kelebihan dana untuk menyimpan dananya dalam bentuk al-Wadiah. Fasilitas al-Wadiah diberikan utnuk tujuan investasi guna mendapatkan keuntungan seperti halnya tabungan dan deposito.
2)    Bagi Hasil (Syirkah)
Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dengan penyimpan dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah mudharabah dan musyarakah
3)    Prinsip Jual beli (at-Tijarah
Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, dimana bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga beli ditambah keuntungan (margin).
4)    Prinsip Sewa (al-Ijarah)
Prinsip ini secara garis besar terbagi atas dua jenis : (1). Ijarah, sewa murni, seperti halnya penyewaan alat-alat produk (operating lease). Dalam teknis perbankan, bank dapat membeli equipment yang dibutuhkan nasabah kemudian menyewakan dalam waktu dan hanya telah disepakati kepada nasabah. (2) Bai al takjiri atau ijarah al muntahiya bit tamlik merupakan penggabungan sewa dan beli, dimana si penyewa mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa (finansial lease).
5)    Prinsip jasa/fee (al-Ajr walumullah)
Prinsip ini meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan bank. Bentuk produk yang berasarkan prinsip ini antara lain Bank Garansi, Kliring, Inkaso, Jasa, Transfer, dll.
Perkembangan Produk Perbankan Syariah di Indonesia
Seiring dengan perkembangannya, bank syariah tahun demi tahun mengalami peningkatan dari sisi asset dan share secara nasional, begitu pula dengan jumlah dana pihak ketiga (deposito fund) dan kredit (financing) yang diberikan. Pada akhir tahun 2002 total asset bank syariah sebesar Rp 4 Trilyun atau share sebesar 0,36% dari total aset perbankan nasional, sedangkan pada akhir tahun 2003 meningkat menjadi Rp 7,8 Trilyun atau share sebesar 0,74% dari total aset perbankan nasional atau meningkat hampir sebesar 100% dari total aset perbankan syariah tahun sebelumnya. Dari sisi produk perbankan syariah maka total deposit fund yang dimiliki bank syariah pada akhir tahun 2002 sebesar Rp 2,92 Trilyun dan pada akhir tahun 2003 sebesar Rp 5,72 Trilyun atau mengalami peningkatan hampir sebesar 100%. Sedangkan disisi financing posisi pada tahun 2002 akhir sebesar Rp 3,28 Trilyun dan pada akhir tahun 2003 sebesar Rp 5,53 Trilyun atau mengalami penongkatan hampir sebesar 70%. Secara keseluruhan akan dapat dilihat pada tabel pangsa perbankan syariah terhadap total bank posisi Desenber 2003 dibawah ini.[7]
Prospek Perkembangan Produk Perbankan Syariah di Indonesia
Prospek perkembangn produk bank syariah masih terbuka lebar, jika bank syariah melakukan kajian mendalam untuk pengembangan produk baru. Sehingga muncul inovasi dalam membuat produk-produk baru yang customized bagi customers. Pemahaman akan produk (product knowledge) dan skim-skim syariah menjadi dasar dalam pengembangan produk bank syariah. Minimnya pengetahuan mengenal aspek fiqh dalam perbankan syariah juga menjadi salah satu kendala dalam pengembangan produk di bank syariah. Berdasarkan perkembangan perkembangan secara nasional maka ada kecenderungan ke depan trennya adalah kepeminjaman konsumen. Disisi  lain pemberian pinjaman kepada kelompok UKM (Usaha Kecil Menengah) juga menjadi salah satu pilihan karena hal ini dapat mengurangi resiko kemacetan kredit yang biasanya disebabkan oleh debitur-debitur besar, jika satu debitur besar mengalami kemacetan maka akan mempengaruhi posisi CAR suatu bank secara signifikan.
Sumber Dana Bank Syariah
Pertumbuhan setiap bank sangat dipengaruhi oleh perkembangan kemampuannya menghimpun dana masyarakat, baik berskala kecil maupun besar dengan masa pendapatan yang memadai. Sebagai lembaga keuangan, masalah bank yang yang paling utama adalah dana. Tanpa dana yang cukup, bank tidak dapat berbuat apa-apa, atau dengan kata lain bank menjadi tidak berfungsi sama sekali.[8]
Dana adalah uang tunai yang dimiliki atau dikuasai oelh bank dalam bentuk tunai, atau aktiva lain yang dapat segera diubah menjadi uang tunai. Uang tunai yang dimiliki atau dikuasai oleh bank tidak hanya berasal dari para pemilik bank itu sendiri, tetapi juga dari titipan atau penyertaan dana orang lain atau pihak lain yang sewaktu-waktu atau pada suatu saat tertentu akan ditarik kembali, baik sekaligus ataupun secara berangsur-angsur.
Bagi bank konvensional selain modal, sumber dana lainnya cenderung bertujuan untuk “menahan” uang. Hal ini sesuai dengan pendekatan yang dilakukan Keynes yang mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang untuk tiga kegunaan: transaksi, cadangan(jaga-jaga), dan investasi (John M. Keynes, 1936). Oleh karena itu, produk penghimpunan dana pun sesuai dengan tiga fungsi tersebut yaitu berupa giro, tabungan, dan deposito.[9]
Dalam pandangan syariah uang bukanlah suatu komoditi melainkan hanya sebagai alat untuk mencapai pertambahan nilai ekonomis (economic added value). Hal ini bertentangan dengan perbankan berbasis bunga di mana “uang mengembang-biakan uang”, tidak peduli apakah uang itu dipakai dalam kegiatan produktif atau tidak. Untuk menghasilkan keuntungan, uang harus dikaitkan dengan kegiatan ekonomi dasar (primary economic activities) baik secara langsung maupun melalui transaksi perdagangan ataupun secara tidak langsung melalui penyertaan modal guna melakukan salah satu atau seluruh kegiatan usaha tersebut.
Berdasarkan prinsip tersebut Bank syariah dapat menarik dana pihak ketiga atau masyarakat dalam bentuk. [10]
1.      Titipan (wadiah) simpanan yang dijamin keamanan dan pengembaliannya (guaranteed deposit) tetapi tanpa memperoleh imbaaln atau keuntungan.
2.      Partisipasi modal berbagi hasil dan berbagi resiko (non guaranteed account) untuk investasi umum (general investment account/ mudharabah mutlaqah) di mana bank akan membayar bagian keuntungan secara proporsional dengan porofolio yang didanai dengan modal tersebut.
3.      Investasi khusus (spesial investment account/mudharabah muqayyadah) di mana bank bertindak sebagai manajer investasi untuk memperoleh fee. Jadi bank tidak ikut berinvestasi sedangkan investor sepenuhnya mengambil resiko atas investasi.
Dengan demikian sumber dana bank syariah terdiri dari (Ibid):
·   Modal Inti (core capital)
·   Kuasi ekuitas (mudharabah account)
·   Titipan (wadiah) atau simpanan tanpa imbalan (non remunerated deposit)

Laporan Keuangan Perbankan Syariah 
Laporan keuangan pada sektor perbankan syariah, sama seperti sektor lainnya, adalah untuk menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan aktifitas operasi bank yang bermanfaat dalam mengambil keputusan. 
Fungsi Laporan Keuangan 
Sebagai bahan informasi yang dapat digunakan oleh pihak-pihak yang membutuhkan, laporan keuangan setidaknya harus berfungsi sebagai berikut:
1.      Menyediakan informasi yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan. Pihak-pihak yang berkepentingan antara lain:
·   sahibul maal/pemilik dana
·   kreditur
·   pembayar zakat, infak, dan sadaqah
·   pemegang saham
·   otoritas pengawasan
·   Bank Indonesia
·   Pemerintah
·   Lembaga penjamin simpanan
·   Masyarakat
2.      informasi dalam menilai prospek arus kas bertujuan untuk memberikan informasi yang dapat mendukung investor/pemilik dana, kreditur, dan pihak-pihak lain dalam memperkirakan jumlah, aset, dan ketidakpastian dalam penerimaan kas di masa depan atas deviden, bagi hasil,dan hasil dari penjualan, pelunasan(redemption), dan jatuh tempo dari surat berharga atau pinjaman.
3.      informasi atas sumber daya ekonomi bertujuan memberikan informasi tentang sumber daya ekonomis bank (economic resources), kewajiban bank untuk mengalihkan sumber daya tersebut kepada entitas lain atau pemilik saham serta kemungkinan terjadinya transaksi, dan peristiwa yang dapat mempengaruhi perubahan sumber daya tersebut.
4.      informasi mengenai kepatuhan bank terhadap prinsip syariah, serta informasi mengenai pendapatan dan pengeluaran yang tidak sesuai dengan prinsip syariah dan pegelolaan pendapatan dana bank tersebut.
5.      informasi untuk membantu pihak terkait di dalam menentukan zakat bank atau pihak lainnya.

Acuan Penyusunan Laporan Keuangan 
Penyusunan laporan keuangan bank syariah didasarkan dari beberapa acuan yang relevan, adapun acuan tersebut adalah:
1.      Peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia
2.      Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Umum, Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah,  Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Umum, Pernyataan Standar     Akuntansi Keuangan Syariah (PSAKS) dan Interprestasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK).
3.      Accounting and Auditing Standard for Islamic Financial     Institutions yang dikeluarkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing     Organization of Islamic Financial Institutions).
4.      International Accounting Standard (IAS), Statement of  Financial Accounting Standard (SFAS), sepanjang tidak bertentangan dengan     prinsip syariah.
5.      Peraturan perundang-undagan yang relevan dengan laporan keuangan
6.      Praktik-praktik akuntansi yang berlaku umum, sepanjang tidak     bertentangan dengan prinsip syariah.

2.1.2 Perbedaan antara Bank Islam dan Bank Konvensional
Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan, dan sebagainya. Akan tetapi terdapat banyak perbedaan mendasar di antara keduanya.
Islam memandang harta yang dimiliki oleh manusia adalah titipan/amanah Allah SWT sehingga cara memperoleh, mengelola, dan memanfaatkannya harus sesuai ajaran Islam
      Bank syariah mendorong nasabah untuk mengupayakan pengelolaan harta nasabah (simpanan) sesuai ajaran Islam
1.      Bank syariah menempatkan karakter/sikap baik nasabah maupun pengelola bank pada posisi yang sangat penting dan menempatkan sikap akhlakul karimah sebagai sikap dasar hubungan antara nasabah dan bank.
2.      Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat didasarkan prinsip keadilan, prinsip kesederajatan dan prinsip ketentraman antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah atas jalannya usaha bank syariah
·   Prinsip bagi hasil:
Dengan mengacu kepada petunjuk Al-Qur’an, QS. Al-Baqarah (2):275 dan surat an-Nisaa’ (4):29 yang intinya Allah SWT. telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba serta suruhan untuk menempuh jalan perniagaan dengan suka sama suka, maka setiap transaksi kelembagaan ekonomi islami harus selalu dilandasi atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau yang transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang/jasa. Akibatnya pada kegiatan muamalah berlaku prinsip “ada barang/jasa dulu baru ada uang”, sehingga akan mendorong produksi barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa, dapat menghindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi, dan inflasi.[11]
1.      Penentuan besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi
2.      Besarnya nisbah bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
3.      Jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan
4.                  Tidak ada yang meragukan keuntungan bagi hasil
5.      Bagi hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak
Bank Konvensional 
Pada bank konvensional, kepentingan pemilik dana (deposan) adalah memperoleh imbalan berupa bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham adalah diantaranya memperoleh spread yang optimal antara suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman (mengoptimalkan interest difference). Dilain pihak kepentingan pemakai dana (debitor) adalah memperoleh tingkat bunga yang rendah (biaya murah). Dengan demikian terhadap ketiga kepentingan dari tiga pihak tersebut terjadi antagonisme yang sulit diharmoniskan. Dalam hal ini bank konvensional berfungsi sebagai lembaga perantara saja
1.      Tidak adanya ikatan emosional yang kuat antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah karena masing-masing pihak mempunyai keinginan yang bertolak belakang 
2.      Sistem bunga: 
3.      Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank 
4.      Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank 
5.      Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik 
6.      Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam 
7.      Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam 
8.      Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.

TABEL
PERBEDAAN BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL
Permasalahan
Bank syariah
Bank konvensional
Risiko akad
1. akad jual-beli ( al murabahah)
2. akad bagi hasil( al musyarakah dan al mudharabah)
3. akad sewab (ijaroh mutlaq dan ijaroh muntahiyah bitamlik)
Sesuai dengan akadnya sehingga angsuran akan selalu tetap, sesuai dengan kesepakatan di muka
1.   akadnya adalah kredit / pinjam uang sehingga angsuran tidak bisa dijamin akan tetap
Landasan operasional
tidak bebas nilai (berdasarkan prinsipsyariah islam) uang sebagai alat tukar bukan komoditi bunga dalam berbagai bentuknya dilarang
menggunakan prinsip bagi hasil dan keuntungan atas transaksi riil
bebas nilai (berdasarkan prinsip materialistis) uang sebagai komoditi yang dipertahankan bunga sebagai instrument imbalan teradap pemilik uang yang ditetapkan dimuka
Fungsi dan peran
agen investasi/manajer investasi minvesto penyediaan jasa lalu lintas pembayaran (tidak bertentangan syariah) pengelola dana kebajikan, ZIS hubungan dengan nasabah adalah hubungan kemitraan
penghimpun dana masyarakat dan meminjamkan kembali kepada masyarakat dalam kredit dengan imbalan bunga
penyedia jasa/lalu lintas pembayaran
hubungan dengan nasabah adalah hubungan debitur kreditur
Risiko usaha
dihadapi bersama antara bank dengan nasabah dengan prinsip keadilan dan kejujuran tidak mengenal kemungkinan terjadinya selisih negatif (negative spread) karena sistem yang digunakan.
risiko bank tidak terkait langsung dengan debitur, dan sebaliknya kemungkinan terjadi selisih negatif antara pendapatan dan beban bunga
Sistem pengawasan
Adanya Dewan Pengawas Syariah untuk memastikan operasional bank tidakmenyimpangdari syariahdisamping tuntutan moralitas pengelola bank dan nasabah sesuai denganakhlakul karimah
Aspek moralitas seringkali terlanggar karena tidak adanya nilai-nilai religius yangmendasari operasional





BAB III
KESIMPULAN
Dari paparan makalah di atas, maka disini penulis dapat menyimpulkan bahwa Bank Syariah adalah lembaga keungan yang memiliki misi dan metodologi yang ekslusif, misi yang bukan sekedar ada pada jumlah nominal investasi tapi juga mencakup pada jenis, objek dan tujuannya itu sendiri. Adapun metodologinya adalah kerangka syariat dan kaidah-kaidahnya yang bersumber dari etika dan nilai-nilai syariat Islam yang universal. 
Perbedaan tujuan dari bank konvensional dengan bank syariah; Bank konvensional didirikan untuk mendapatkan keuntungan material sebesar-besarnya, sedangkan bank syariah didirikan untuk memberikan kesejahteraan material dan spiritual.Kesejahteraan material dan spiritual tersebut didapat melalui usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang halal. Artinya, bank syariah tidak akan menyalurkan dana untuk usaha pabrik minuman keras atau usaha lain yang tidak bisa dijamin bahwa hasilnya berasal dari kegiatan yang halal. Dari perbandingan yang telah dijelaskan di atas terlihat bahwa dengan sistem riba pada Bank Konvensional penabung akan menerima bunga sebesar ketentuan bank.






[1] . Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta : Kencana, 2009.Hlm 17.

[2] . Ibid.Hlm 19

[3]. Muhammad Syafi’i Antonio. 2001. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.Hlm 13.

[4] . Menteri Agama Republik Indonesia, Al-Qur`an dan terjemahnya, jakarta, 1971.
[5] . Ibid
[6] . http://tugaskuliah-ilham.blogspot.com/2011/03/makalah-manajemen-perbankan-yusran.html.
[7] . http://www.scribd.com/febzz/d/13141543-Perbedaan-Bank-Syariah-dan-Bank-Konvensional.
[8] . Arifin, Zainul. 2002. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Alvabet.
[9] . John M. Keynes, 1936
[10] . Arifin, Zainul. 2002. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Alvabet.
[11] . Wirdyaningsih. 2005. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.Hlm 18.


No comments:

Post a Comment