Sunday, July 21, 2019

Konsep Pembangunan Ekonomi Dalam Islam



A.           Konsep Pembangunan Ekonomi Dalam Islam
Menurut konsep ekonomi konvensional, pembangunan ekonomi hanya melihat aspek kebendaan dan fisik semata yang mengabaikan aspek pembangunan nilai-nilai moral dan spiritual diri manusia itu sendiri. Sebaliknya konsep pembangunan ekonomi dalam Islam menurut teoritikus ekonomi Islam bersifat komprehensif, tidak terbatas pada variabel-variabel ekonomi semata. Pembangunan ekonomi Islam meliputi pembangunan akhlak, spiritual dan kebendaan.[1]
Aspek akhlak, spiritual, kebendaan, sosial dan ekonomi tidak boleh dipisahlan untuk mencapai tujuan pembangunan sosio-ekonomi dalam Islam. Pembangunan harus diorientasikan pada pengembangan manusia dari semua dimensinya. Kepuasan manusia tidak hanya terwujud saat kebutuhan ekonominya tercukupi tapi juga kebutuhan spiritual dan non materi lainnya.[2]
Sebenarnya konsep pembangunan ekonomi Islam bertolak dari pengembangan sumber daya manusia (human capital) dan penguasaan teknologi sebagai penggerak utama (driving force) pembangunan ekonomi. Pengembangan sumber daya manusia merangkum seluruh potensi dan keberdayaan dan kualitas manusia dari sudut materi, spiritual dan moral. Pembangunan ekonomi merangkum pembangunan sistem keuangan dan dasar perniagaan secara adil.
Fokus dan inti utama pembangunan dalam Islam adalah pembangunan manusia itu sendiri termasuk aspek sosial dan budayanya. Ini berarti Islam menganggap diri manusia sendirilah yang merupakan tempat sebenarnya aktivitas pembangunan itu. Pemikiran ini berangkat dari pandangan Islam yang menempatkan manusia sebagai khalîfah yang diamanahkan oleh Allah untuk mengelola bumi sesuai dengan kehendak-Nya (syariat Islam) yang pada suatu saat nanti (di akhirat) akan diminta pertanggungjawaban atas pembangunan (amalan) yang telah dilakukannya
B.            Maqashid Syari’ah Sebagai Indikator Pembangunan
Salah satu dari tujuan pembangunan ekonomi dalam perspektif ekonomi Islam sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah terciptanya keadilan distribusi; berarti tercapainya minimal dalam pembangunan adalah terpenuhinya hak dasar kebutuhan ekonomi individu masyarakat, sebagai jaminan pemeliharaan maqâshid syari’ah , yang terdiri dari lima maslahat pokok, berupa keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta manusia, sebagai hak setiap individu. Tidak terpenuhinya hak dasar kebutuhan ekonomi disebabkan buruknya distribusi, akan menimbulkan problem ekonomi, yang jauh dari pengertian kondisi sejahtera.
Al Syatibi menganggap bahwa tujuan syariah (maqâshid syari’ah) adalah kemaslahatan umat manusia. Kemaslahatan, dalam hal ini, diartikannya sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezki manusia, pemenuhan penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak.[3] Kemaslahatan manusia dapat teralisasi apabila lima unsur pokok kehidupan manusia dapat dikembangkan, dijaga dan dilestarikan, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Sementara itu menurut Al Ghazali, tujuan utama syariah adalah untuk melayani kepentingan manusia dan untuk menjaga mereka dari segala sesuatu yang mengancam eksistensinya. Ia selanjutnya mengklasifikasikan maqashid (tujuan) ke dalam empat pembagian utama, yaitu dengan mengatakan.
“The very objective of the Shariah is to promote th e well-being of the people, which lies in safeguarding their faith (din), their self (nafs), their intellect (‘aql), their posterity (nasl), and their wealth (mal). Whatever ensures the safeguard of these five serves public interest and is desirable, and whatever hurts them is against public interest and its removal is desirable.”[4]
Olehnya, dengan jelas Al Ghazali mengungkapkan bahwa tujuan utama dari syariah adalah untuk mendorong kemaslahatan (kesejahteraan) manusia yang mana terletak pada pemeliharaan agama, hidup, akal, keturunan dan kekayaan. Selanjutnya, segala sesuatu yang melindung lima unsur kepentingan publik tersebut maka dianjurkan dilakukan. dan sebaliknya, segala sesuatu yang mengancamnya adalah harus dihilangkan.
Al Ghazali kemudian membagi tingkatan kebutuhan manusia menjadi tiga tingkatan, yaitu dharuriyat , hajiyat dan tahsiniyat . Dharuriyat adalah merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia (agama, hidup, akal, keturunan dan harta). Pengabaian terhadap kelima unsur pokok tersebut akan mengancam eksistensi kehidupan manusia dan akan menciptakan kerusakan di muka bumi dan kerugian di akhirat. Dan pemeliharaan dan pelestarian terhadap kelima unsur pokok tersebut akan mewujudkan kesejahteraan dan kebahagian hidup manusia.
Sementara hajiyat adalah dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, menghilangkan kesulitan atau menjadikan peeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia. Dan tahsiniyât adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehdidupan manusia. Ia tidak bermaksud untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai kesulitan, tetapi hanya bertindak sebagai pelengkap, penerang dan penghias kehidupan manusia.
Mustafa Anas Zarqa menjelaskan bahwa tidak terwujudnya aspek dharûriyât dapat merusak kehidupan manusia di dunia dan akhirat secara keseluruan. Pengabaian terhadap aspek hajiyât tidak sampai merusak keberadaan lima usur pokok, tetapi hanya membawa kesulitan bagi manusia sebagai mukallaf dalam merealisasikannya. Adapun pengabaian terhadap aspek tahsiniyat mengabaikan upaya pemeliharaan lima unsur pokok tidak sempurna. Lebih jauh, ia meyatakan bahwa segala aktivitas atau sesuatu yang bersifat tahsiniyât harus dikesampingkan jika bertentangan dengan maqashid yang lebih tinggi (dharuriyah dan hajiyat ).[5]
Kebutuhan pokok ekonomi, adalah jenis dan tingkat kebutuhan ekonomi minimal yang menjadi hak setiap individu, teridentifikasi dari maqâshid syari’ah pada tingkatan pertama, yakni al-dharûriyât al-khams . Kebutuhan ekonmi pada skala dharûriyâh adalah segala barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan skala tersebut yang harus selalu tercukupi, sebagai penentu bagi eksistensi kehidupan manusia, agar tetap mampu melaksanakan kewajiban dan tugas sebagai khalîfah di bumi, sesuai dengan tujuan manusia menurut perspektif Islam. Indikator-indikator pembangunan ekonomi yang didasarkan pada maqashid syari’ah (al-dharuriyat al-khams ).[6] dapat dilihat dari:
1.             Pemeliharaan agama
Jika pokok-pokok ibadah seperti “iman”, mengucapkan kalimat syahadat, pelaksanaan sholat, zakat, haji dan lain-lain, adalah sebagai indikator bagi terpeliharanya keberadaan agama, maka segala sesuatu yang mutlak dibutuhkan - baik materil maupun non materil, sarana barang dan jasa – untuk melaksanakan ibadah tersebut harus tersedia dan terealisasi terlebih dahulu. Kebutuhan dasar tersebut antara lain merujuk pada identifikasi kebutuhan berupa sarana, barang dan jasa yang dikemukakan ‘Abd al-Mun’im ‘Afar adalah sebagai berikut:
a.              Untuk menjaga kesinambungan iman dan akidah maka setidaknya perlu disediakan antara lain: jasa da’i dan pembimbing ibadah, pencetakan dan penerbitan buku-buku agama termasuk Al-Quran dan Al Hadist, pendirian pusat-pusat pengajian dan bimbingan agama.
b.             Untuk melaksanakan ibadah yang terdiri dari:
1)            Sholat: dibutuhkan mesjid dan mushollah, jasa imam dan muadzin, dana-dana waqaf untuk biaya pemeliharaan tempat ibadah, dan penyediaan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya.
2)            Zakat: pembentukan struktur kelembagaan zakat yang terintegrasi dan dikelola secara profesional dan transparan, pelatihan manajemen pengumpulan, pengelolaan dan distribusi zakat, pemetaan potensi pengumpulan dana zakat dari para muzakki dan pemetaan sebaran mustahiq zakat, penegakan hukum bagi pihak yang tidak mau membayar zakat, pembentukan lembaga yang intens mensosialisasikan kewajiban membayar zakat serta hukum-hukum agamnya.
3)            Puasa: lembaga pendidikan yang mengajarkan hukum-hukum puasa, penciptaan lingkungan yang mendukung lancarnya pelaksanaan puasa, menyemarakkan kegiataan keagamaan selama bulan ramadhan.
4)            Haji: pembentukan lembaga pengelolaan pelaksanaan haji dan lembaga pengelola dana haji, penyediaan alat transportasi dan penginapan yang nyaman dan lembaga bimbingan haji dan pengajaran manasik haji.[7]
c.              Lembaga peradilan: dibutuhkan jasa kepemimpinan kepala negara, majelis permusyawaratan, para hakim, lembaga urusan Islam.
d.             Lembaga keamanan: jasa aparat keamanan untuk menjaga keselamatan para pelaksana dakwah, keamanan masyarakat dan negara dan memberikan hukuman bagi para pelanggar aturan-aturan yang berlaku.[8]
2.             Pemeliharaan jiwa dan akal
Kebutuhan akan pemeliharaan jiwa dan akal meliputi makan dan minum, berpakaian dan bertempat tinggal (kebutuhan akan rumah). Artinya kebutuhan akan pangan, sandang dan papan adalah mutlak harus terpenuhi untuk menjaga jiwa dan akal manusia, agar dapat menjaga eksistensi hidup serta menjalankan fungsi utamanya sebagai pelaku utama pembangunan (khalîfah). Terpenuhinya kebutuhan dasar tersebut adalah merupakan hak dasar dari setiap individu. Pembangunan ekonomi harus menempatkan pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu sebagai prioritas utama, karena jika tidak terpenuhi akan mengancam eksistensi hidup manusia (jiwa). Pemeliharaan keselamtan jiwa menurut Afar meliputi sembilan bidang pokok:
a.             Makanan: makanan pokok dan perlengkapan penyajiannya, lauk-pauk beserta bumbu-bumbu, air bersih dan garam.
b.             Perangkat perlengkapan untuk pemeliharaan badan
c.             Pakaian
d.            Perumahan
3.             Pemeliharaan kesehatan: ketersediaan rumah sakit, peralatan sakit, obat-obat, dokter, ambulans, dan lain-lain.
a.             Transportasi dan telekomunikasi: alat transportasi darat, laut dan udara dan alat-alat komunikasi
b.             Keamanan: jasa keamanan bagi individu dan masyarakat
c.             Lapangan pekerjaan: pekerjaan yang halal dan manusiawi, upah yang adil, dan kondisi kerja yang nyaman
d.            Lindungan sosial: lembaga pemeliharaan lanjut usia, anak yatim piatu, bantuan bagi para penganggur dan jaminan sosial.
e.             Pendidikan: penyediaan lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, biaya pendidikan yang rendah bahkan gratis, penyediaan alokasi dana yang tinggi untuk sektor penidikan, penyediaan sarana pendidikan yang memadai termasuk guru dan tenaga pengajar.
f.              Penerangan dan kebudayaan
g.             Penelitian  ilmiah:  pusat  pengembangan  kurikulum,  pusat  pengembangan  ilmu modern, pusat penelitian, dan lain-lain.
Indikator kesuksesan pembangunan ekonomi dapat dilihat dari terpenuhinya kebutuhan dasar untuk memelihara jiwa dan akal manusia. Semua elemen-elemen penunjang dari pemeliharaan jiwa dan akal adalah mutlak disediakan.
4.             Pemeliharaan keturunan dan harta
Tidak ada peradaban yang mampu bertahan jika generasi mudanya memiliki kualitas spiritual, fisik dan mental yang rendah, sehingga berdampak pada ketidakmampuan untuk menghadapi tantangan kehidupan yang semakin dinamis.[9]
Oleh kerenanya mesti dilakukan perbaikan secara terencanan dan berkelanjutan untuk memperbaiki kualitas generasi muda. Salah satu langkah untuk memperbaiki karakter dan keperibadian mereka adalah dengan menanamkan akhlak baik (khuluq hasan) melalui proses tarbiyah di keluarga dan lembaga pendidikan.
Sementara harta merupakan fasilitas yang dianugerahkan Allah kepada manusia untuk menunjang fungsi utamanya sebagai khalîfah di bumi. Harta adalah amanah yang harus dikembangkan secara terencana untuk tujuan menghilangkan kemiskinan, memenuhi kebutuhan dasar setiap individu, membuat kehidupan terasan nyaman dan mendorong terciptanya distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata. Dalam memperoleh dan mengembangkan harta dituntut untuk didasarkan pada nilai-nilai Islam. Harus ada filter moral dalam pengelolaannya.[10]
a.              Untuk menjaga keselamatan keturunan dan harta maka dibutuhkan lembaga-lembaga yang terkait dengan Pemeliharaan keturunan
1)            Lembaga pernikahan: mempermudah legalitas pernikahan, pembelakan pra pernikahan, pembinaan rumah tangga paska pernikahan, dan lain-lain.
2)            Pusat pembinaan ibu-ibu berkenaan dengan kesehatan, psikologi, dan makanan, pemeriksaan rutin untul memastikan kesehatan dan keselamatan janin.
3)            Pemeliharaan anak-anak: bimbingan dan pendidikan kesehatan bagi anak-anak, lembaga pengasuhan anak, program dasar untuk kesehatan dan nutrisi anak, penanaman akidah yang benar dan prinsip-prinsip dasar agama Islam, memberikan bekal keahlian bagi anak-anak kurang mampu.
4)            Yayasan anak yatim: pusat pemeliharaan anak-anak yatim.
b.             Pemeliharaan harta
1)            Pembentukan lembaga keuangan dan investasi
2)            Strategi keuangan akurat untuk pembangunan dan pemeliharaan harta
3)            Pengamanan pemeliharaan harta dengan penerapan hukuman atas pencuri, perampas harta dan pelaku kecurangan, pelarangan riba, sogok dan korupsi.
4)            Menjamin keamanan harta dan kepemilikan pribadi, pengaturan aka-akad transaksi seperti jual beli, perkongsian, sewa, dan lain-lain.
5)            Pengajaran berkenaan dengan tata cara mendapatkan harta dan pengembangannya, sumber-sumber pendapatan halal dan haram, hukum-hukum transaksi, dan lain-lain.[11]
Berdasarkan uraian di atas, maka konsep kebutuhan dasar yang harus menjadi prioritas pembangunan ekonomi adalah segala kebutuhan dasar minimal yang harus ada dan diperlukan untuk menjaga keselamatan agama, jiwa, kekuatan jasmani, akal dan harta manusia, agar setiap individu dapat melaksanakan kewajiban terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat, sistem sosial dan keamanan; kebutuhan yang dimaksud mencakup segala macam barang dan jasa primer, sebagai sarana yang harus dihasilkan dalam proses pembangunan dengan perencanaan yang tepat disertai anggaran yang memadai.
Oleh karenya, pembangunan berbasisi maqashid syari’ah adalah pembangunan yang meletakkan prioritas utamanya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia demi terpeliharanya lima maslahat pokok (agama, akal, jiwa, keturunan dan harta) melalui usaha dalam proses produksi atau pembangunan ekonomi.
Terpenuhinya kebutuhan dasar setiap individu akan berkorelasi pada peningkatan kesejahteraan atau tercipta kesejahteraan. Dan sebaliknya apabila manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, ia akan merasakan ketidakpuasan, tidak damai, tidak senang, tidak bahagia, tidak aman. Kondisi ini adalah kondisi tidak sejahtera. Ketidakadaan kesejahteraan akan berdampak pada terganggunya lima maslahat pokok. Oleh karenanya Al Ghazali mengungkapkan bahwa tujuan utama dari syariah adalah untuk mendorong kemaslahatan (kesejahteraan) manusia yang mana terletak pada pemeliharaan agama, hidup, akal, keturunan dan kekayaan. Selanjutnya, segala sesuatu yang melindung lima unsur kepentingan publik tersebut maka dianjurkan dilakukan dan sebaliknya, segala sesuatu yang mengancamnya adalah harus dihilangkan.
Peningkatan pendapatan dan kekayaan melalui pembangunan adalah suatu keharusan untuk memenuhi kebutuhan dasar sekaligus untuk mewujudkan pemerataan pendapatan dan kekayaan, akan tetapi untuk mencapai kesejahteraan yang sebenarnya tidak boleh hanya berhenti di situ. Kesejahteraan harus dilihat secara komprehensif yang juga meliputi terpenuhinya kebutuhan dasar akan spiritual atau non material.
Sejalan dengan Pramuwito yang mengkategorikan kondisi sejahtera jika apabila kebutuhan jasmaninya terpenuhi yang meliputi: bebas dari kelaparan, kekurangan akan pakaian, kekurangan akan perumahan, air dan udara; terjaminnya kesehatarannya, tidak mengalami kesulitan dalam menjaga kesehatan dengan terjaminnya fasilitas-fasilitas kesehatan; dan kebutuhan rohaninya yang bebas dari rasa takut, cemas dan terancam. Terpenuhinya kebutuhan sosial, termasuk bebas darai berbagai ancaman dan kehidupan masyarakat yang tenteram dan harmonis.
Dengan demikian terdapat hubungan antara pembangunan ekonomi yang berbasis maqashid syari’ah (al-dharûriyat al-khams ) dengan pemenuhan kebutuhan dasar hidup manusia, dan juga hubungannya dengan kondisi kesejahteraan, yang bila disimpulkan bahwa pembangunan ekonomi yang memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dasar manusia adalah merupakan predisposisi dari kesejahteraan, dalam arti kesejahteraan sosial akan ditentukan oleh bagaimana masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasar warganya.[12]
Berdasarkan hal itu maka dalam perencanaan dan proses pembangunan harus memprioritaskan sektor yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar agar dapat menjadi lima maslahat pokok. Sedangkan sektor-sektor produksi yang terkait dengan kebutuhan sekunder yang tidak terkait dengan eksistensi hidup manusia, dilakukan pada tahap berikutnya ketika segala kebutuhan pokok setiap individu telah terpenuhi. Namun perlu dicatat di sini bahwa kebutuhan harus dilhat secara dinamis, tingkatannya akan berubah secara dinamis seiring dengan perubahan kondisi ekonomi masyarakat secara umum. Jika stnadar hidup rata-rata individu dalam suatu masyarakat berubah, maka otomatis standar dan tingkatan kebutuhan pun akan mengalami perubahan.


DAFTAR PUSTAKA
Anas Zarqa,  1989 Mustafa Islamic Economic: An Approach to Human Welfare, Reading in the Concept and Methodology of Islamic Economics Selangor Darul Ehsan: Pelanduk Publication
bin Borhan, Joni Tamkin 2008 “Pemikiran Pembanguan Ekon omi Berteraskan Islam”, Jurnal Ushuluddin, Vol. 27
Chapra, Umar 2008 The Islamic Vision of Development in the Light of Maqashid shariah , Jedah: ITIE Book
Chapra, Umar 2008 The Islamic Vision of Development in the Light of Maqashid Al Shariah, Jeddah: Islamic Research and Training Institute
Chapra, Umar 2000 Islam dan Tantangan Ekonomi, edisi terjemahan, Jakarta: Gema Insani
Djakfar, Muhammad 2015 Wacana Teologi  Ekonomi Membumikan Titah Langit di Ranah Bisnis dalam Era Globalisasi, edisi revisi Malang: UIN-Maliki Press
Djakfar, Muhammad 2012 Etika Bisnis: Menangkap Spirit Ajaran Langit Dan Pesan Moral Ajaran Bumi,Jakarta: Penebar Plus
Mun’im Afar, Abdul 1992 al-Tanmiya wa al-Takhtit wa taqwin al-masyru’at fi al-Islam , Jeddah: Dar al-Arabi
Pramuwito, C.  1996 Pengantar Ilmu Kesejahteraan Sosial, Yogyakarta: Depsos RI
Saifullah, 2012  Ekonomi Pembangunan Islam, Bandung: Gunungdjati Press



[1]Joni Tamkin bin Borhan, “Pemikiran Pembanguan Ekon omi Berteraskan Islam”, Jurnal Ushuluddin, Vol. 27, 2008, Hal. 95.
[2] Umar Chapra, The Islamic Vision of Development in the Light of Maqashid Al Shariah, (Jeddah: Islamic Research and Training Institute, 2008), hal. 5.
[3] Umar Chapra, The Islamic Vision of Development in the Light of Maqasid Al Shariah, (IDB, 2008), hal. 65
[4] Al Ghazali mengungkapkan bahwa tujuan utama dari syariah adalah untuk mendorong kemaslahatan (kesejahteraan) manusia yang mana terletak pada pemeliharaan agama, hidup, akal, keturunan dan kekayaan. Selanjutnya, segala sesuatu yang melindung lima unsur kepentingan publik tersebut maka dianjurkan dilakukan. dan sebaliknya, segala sesuatu yang mengancamnya adalah harus dihilangkan.
[5] Mustafa Anas Zarqa, Islamic Economic: An Approach to Human Welfare, Reading in the Concept and Methodology of Islamic Economics (Selangor Darul Ehsan: Pelanduk Publication, 1989) hal. 35-36
[6] Saifullah, Ekonomi Pembangunan Islam, (Bandung: Gunungdjati Press, 2012), hal. 124-138.
[7] Muhammad Djakfar, Etika Bisnis: Menangkap Spirit Ajaran Langit Dan Pesan Moral Ajaran Bumi,(Jakarta: Penebar Plus, 2012), hal 89-90
[8] Abdul Mun’im Afar, al-Tanmiya wa al-Takhtit wa taqwin al-masyru’at fi al-Islam , (Jeddah: Dar al-Arabi, 1992), hal. 71
[9] Umar Chapra, The Islamic Vision of Development in the Light of Maqashid shariah , (Jedah: ITIE Book, 2008), hal. 65.
[10] Umar Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, edisi terjemahan, (Jakarta: Gema Insani, 2000), hal. 78
[11] Muhammad Djakfar, Wacana Teologi  Ekonomi Membumikan Titah Langit di Ranah Bisnis dalam Era Globalisasi, edisi revisi (Malang: UIN-Maliki Press, 2015), hal 78
[12] C. Pramuwito, Pengantar Ilmu Kesejahteraan Sosial, (Yogyakarta: Depsos RI, 1996), hal. 20.

No comments:

Post a Comment