Saturday, July 20, 2019

Tafsir adabiy wa Ijtima’iy dari aspek Ontology, Epistimology dan Aksiology-nya


BAB I

PENDAHULUAN


A.        Latar Belakang Masalah
Bagi umat Islam, al-Qur’an merupakan hudan li al-nas dan rahmatan li al-‘alamin. Al-Qur’an sebagai hudan li al-nas berarti bahwa al-Qur’an adalah pedoman hidup (way of life) bagi ummat Islam, dan sebagai rahmatan li al-‘alamin artinya bahwa al-Qur’an adalah menjadi rahmat bagi seluruh alam tanpa kecuali. Oleh karena itu kalam ilahi yang berfungsi sebagai hidayat dan rahmat dibahasakan dengan bahasa manusia yakni bahasa Arab dengan tujuan agar ummat manusia mampu memahami al-Qur’an tersebut sesuai dengan kapasitas kemampuan kemanusiaannya. Namun walaupun begitu, masih banyak manusia terutama ummat Islam, yang belum bisa memahami makna-makna kandungan al-Qur’a secara baik, sehingga akibatnya mereka belum mampu menjadikan al-Qur’an sebagai hidayat dan rahmat bagi dirinya, keluarganya, bahkan masyarakatnya.
Dalam rangka mencapai tujuan makna dan memahami maksud Allah dalam firman-firman suci-Nya itu, maka perlu adanya sebuah pendekatan yang akan memudahkan umat Islam mengambil inti-inti ajarannya. Tatkala Rasulullah masih hidup, maka segala persoalan yang sulit atau samar dipahami ummatnya (shahabat) langsung ditanyakan kepadanya dan beliau bertindak sebagai mubayyin (penjelas). Setelah Rasulullah wafat, maka otoritas pemahaman terhadap al-Qur,an dipegang oleh para shahabat, tabi’in, tabi’ al-tabi’in, dan seterusnya sampai kepada ulama-ulama dan para pemikir-pemikir Islam (cendikiawan muslim) dengan persyaratan-persyaratan tertentu yang dibutuhkan untuk memahami dan menafsirkan al-Qur’an sebagai kitab hidayat. Pendekatan tersebut dikenal dengan sebutan ilmu tafsir, dan orang yang mengauasi ilmu ini serta mampu menafsirkan al-Qur’an disebut mufassir. Pada hakekatnya, mufassir juga seorang mubayyin, namun sebutan ini tidaklah popular.
Mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an acapkali bebeda satu sama lain dalam hal metode (manhaj) yang digunakannya, ada yang menggunakan metode ijmaliy, muqaran, tahliliy, atau maudhu’iy. Metode yang terakhir ini merupakan metode tafsir modern yang digunakan oleh ulama-ulama kontemporer. Apapun metode yang digunakannya, mufassir adalah orang yang berusaha sekuat dayanya untuk memahami al-Qur’an. Demikian pula, mufassir berbeda satu sama lain dalam hal kecenderungannya menafsirkan al-Qur’an; ada yang ilmiy-sentris dan disebut corak tafsir ilmiy, ada yang fiqhiy-sentris dan disebut tafsir fiqhiy, ada yang sastra-sosial sentries dan disebut tafsir adabiy-ijtima’iy, dan lain-lain[1].

B.        Rumusan Masalah
§  Bagaimana Pengertian Tafsir adabiy wa Ijtima’iy dari aspek Ontology, Epistimology dan Aksiology-nya?
§  Bagaimana Corak Adabiy Ijtima’i Dalam Sejarah Tafsir?
§  Siapakah Tokoh-Tokoh Mufasir Adabiy Wal Ijtima’i?
§  Seperti Apa Contoh-Contoh Tafsir Adabiy wa Ijtima’iy itu?
C.        Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan dari makalah ini adalah untuk mengetahui:
§  Pengertian Tafsir adabiy wa Ijtima’iy dari aspek Ontology, Epistimology dan Aksiology-nya
§  Corak Adabiy Ijtima’i Dalam Sejarah Tafsir
§  Tokoh-Tokoh Mufasir Adabiy Wal Ijtima’i
§  Contoh-Contoh Tafsir Adabiy wa Ijtima’iy.



BAB II
PEMBAHASAN

A.        Pengertian Tafsir Adabiy Wa Ijtima’iy
1.     Aspek Ontology
a.     Pengertian Tafsir Adabiy Wa Ijtima’iy
Secara bahasa, kata tafsir berarti keterangan, uraian, atau ta’wil. Ia merupakan bentuk mashdar dari fi’il tsulatsi mazid bi-harf wahid yakni: fassara – yufassiru –tafsir, yang berarti menerangkan isi; bentuk tuslatsi mujarrad-nya: fasara – yafsiru – fasr, yang mempunyai arti sama yakni menerangkan. Ia juga bermakna al-kasyfu wa al-izhhar yang berarti menyingkap dan menjelaskan. Sedangkan secara istilah, tafsir berarti “taudhih ma’na al-ayat wa sya’niha wa qishshatiha wa al-sabab al-ladziy nazalat fi-hi bi lafzh yadullu ‘alaihi dilalat zhahirat” (menjelaskan makan ayat, kaeadaannya, kisahnya, dan sebab diturunkannya dengan lafaz/kata yang ditunjukkan oleh dilalat (petunjuk) lahirnya.
Sedangkan kata adabiy berasal dari kata adab yang berarti: riyadhat al-nafs bi al-ta’lim wa al-tahdzib ‘ala ma yanbaghiy (latihan jiwa mellui pengajara dan pendidikan sebagaimana mestinya); kullu ma antajahu al-‘aql al-insaniy min dhurub al-ma’rifat (segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal manusia berupa macam-macam pengetahuan). Berkaitan dengan ini ada istilah ‘ilm al-adab, yang berarti menurut ulama mutaqaddimin meliputi: bahasa, sharaf, isytiqaq, nahw, ma’ani, bayan, badi’, ‘arudh, sajak, kaligrafi, insya’, dan muhadharat (peradaban). Menurut Mahmud Yunus, ‘ilm al-adab adalah ilmu kesusastraan. Kata adabiy adalah bentuk nisbat yang mempunyai makna sifat, yang berarti bersifat sastra.
Adapun kata ijtima’iy berasal dari kata ijtima’; merupakan bentuk mashdar dari ijtama’a – yajtami’u – ijtima’ yang berfaedah muthawa’ah/akibat dari kata kerja jama’a (mengumpulkan), sehingga kata ijtima’ berarti “berkumpul/ perkumpulan/ social”. Kata ijtima’iy adalah bentuk nisbat yang memiliki makna sifat, sehingga ia berarti “bersifat social”. Berkaitan dengan arti kata ini, ada istilah ‘ilm al-ijtima’ (ilmu social) yang berarti ilmu yang membahas tentang munculnya kelompok-kelompok manusia, perkembangannya, kebiasaannya, undang-undangnya, dan aturan-aturannya. Kelompok-kelompok manusia ini disebut al-mujtama’ yang berarti masyarakat.[2]
Merujuk kepada pengertian-pengertian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan tentang pengertian tafsir adabiy ijtima’iy, yaitu mengungkapkan dan menjelaskan maksud-maksud Tuhan dalam al-Qur’an menurut kemampuan manusiawi dengan menonjolkan sisi tujuan al-Qur’an sebagai kitab hidayat dalam menata aspek-aspek social kemasyarakatan.
Usaha untuk menafsirkan al-Qur’an dari seorang mufassir terkadang masih saja terdapat kekurangannya vbaik dalam aspek metodologinya maupun dalam aspek kajian makna kandungannya. Oleh karena itu, menurut para ahli terdapat tafsir yang belum mencapai taraf ideal yakni belum menjadikan al-Qur’an sebagai kitab tuntunan (hidayat) yang practicable dan realizable. Adanya penyimpangan dalam orientasi sebagian tafsir klasik dirasakan dan dicermati oleh ulama tafsir kontemporer seperti Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha. Keduanya kemudian memprakarsai lahirnya jenis tafsir adabiy-ijtima’iy. Kitab tafsirnya yang terkenal adalah al-Manar. Tujuannya adalah menghindari penafsiran para ulama sebelumnya yang seolah-olah menjadikan al-Qur’an terlepas dari akar kehidupan manusia, baik sebagai individu atau sebagai masyarakat. Dengan inovasi itu, Abduh berusaha membumikan al-Qur’an sehingga tujuannya sebagai hidayat dan rahmat bagi manusia dapat terrealisasi.
Corak tafsir adabiy-ijtima’iy berusaha memahami nash-nash al-Qur’an dengan cara: mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur’an secara teliti; menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur’an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik; dan menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang tengah dikaji dengan kenyataan social dan system budaya yang ada.
Rasihan Anwar mengemukakan pendapat Quraish Shihab, bahwa tafsir adabiy-ijtima’iy adalah tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an pada segi-segii ketelitian redaksinya, kandungan-kandungan ayat dalam suatu redaksi yng indah dengan penonjolan tujuan utama al-Qur’an, yaitu membawa petunjuk ilahiyyah ke dalam kehidupan, kemudian ayat-ayat tersebut dijelaskan dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia. Kata kunci dalam pendapat ini adalah bahwa al-Qur’an itu hidayat ilahiyyat (petunjuk ketuhanan) yang harus bisa dipahami oleh ummat Islam dan juga manusia pada umumnya sesuai dengan bunyi redaksi ayat 2, 97, dan 185.
Berdasarkan definisi di atas, ada empat hal yang dapat dianggap sebagai unsur pokok dari tafsir adabiy-ijtima’iy, yakni:
a.     Menguraikan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur’an;
b.     Menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dengan susunan kalimat yang indah;
c.     Aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama diuraikannya al-Qur’an;
d.     Penafsiran ayat dikaitkan dengan sunnatullah yang berlaku dalam masyarakat (sunnah ijtima’iyyah).
Prinsip-prinsip pokok tafsir adabiy-ijtima’iy secara operasional diperlihatkan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam kitab tafsirnya, prinsip-prinsip pokok itu adalah sebagai berikut:
a.     Al-Qur’an bersifat umum, representative, dan berkelanjutan terus menerus sampai hari kiamat;
b.     Al-Qur’an merupakan sumber pertama dan utama dari kaidah dan syariat Islam, sedangkan pendapat para ulama tidak mutlak harus diikuti;
c.     Memerangi taklid dan membuka pintu ijtihad seluas-luasnya bagi yang telah memenuhi persyaratan yang dituntut;
d.     Berpegang pada kekuatan akal dan bahkan menjadikannya sebagai penentu (tahkim) dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an;
e.     Mendorong penelitian dan penalaran serta menerapkan metode ilmiah dan hasil penemuan ilmu pengetahuan di masanya untuk menafsirkan al-Qur’an;
f.      Tidak merincikan persoalan-persoalan yang disinggung secara mubham oleh al-Qur’an;
g.     Bersikap sangat hati-hati terhadap tafsir ma’tsur dan menolak secara tegas isra’iliyah[3]
Tafsir dengan pendekatan adabiy-ijtima’iy (sastra-sosial) baru muncul pada era modern. Dimana para mufassir tak berpanjang lebar dengan pembahasan yang rumit. Bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana misi al-Qur’an bisa sampai kepada pembaca. Dalam tafsir ini al-Qur’an dikaitkan dengan realitas kehidupan masyarakat, tradisi social dan system peradaban, sehingga secara fungsional diharapkan mampu memecahkan problem social kemasyarakatan dan kebangsaan.
Menurut al-Farmawiy, kitab-kitab tafsir yang ditulis dengan corak tafsir adabiy-ijtima’iy selain kitab al-Manar karya dari Rashid Risdha (wafat 1345 H), adalah Tafsir al-Maraghiy karya al-Maraghiy (wafat 1945 M) dan Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Syekh Mahmud Syaltut.
b. Latar Belakang Munculnya Tafsir Adabiy-Ijtima’iy.
Munculnya tafsir adabiy-ijtima’iy dilatar belakangi oleh kondisi masyarakat muslim yang terbelakang. Pada abad ke 19, dunia Islam mengalami masa suram, terus menerus merosot, terbelakang dan banyak Negara muslim yang sedang menghadapi pendudukan asing. Pada masa itulah muncul seorang pemimpin Islam bernama Jamaluddin al-Afghani, mengumandangkan seruan untuk membangkitkan muslimin.Murid pertamanya, yang bernama Muhammad Abduh, mengikuti jejak langkah gurunya itu.Dia yang mengajarkan pembaharuan dalam berbagai prinsip dan pengertian Islam. Ia menghubungkan ajaran-ajaran agama dengan kehidupan modern, dan membuktikan bahwa Islam samasekali tidak bertentangan dengan peradaban, kehidupan modern, serta apa yang bernama kemajuan. 
Rashid Ridha - murid Muhammad Abduh – mencatat dan menuangkan kuliah-kuliah gurunya ke dalam majalah al-Manar. Ini merupakan langkah pertama. Langkah selanjutnya ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang diberi nama Tafsir al-Manar, kitab tafsir yang mengandung pembaharuan dan sesuai dengan perkembangan zaman. Ia berusaha menghubungkan ajaran-ajaran al-Qur’an dengan kehidupan masyarakat, di samping membuktikan bahwa Islam adalah agama yang memiliki sifat universal, umum, abadi dan cocok bagi segala keadaan, waktu dan tempat.[4]
Metode tafsir yang dipakainya adalah: menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, dengan hadits-hadits shahih dan dengan tetap berpegang pada makna menurut pengertian bahasa Arab. Muhammad Abduh memandang teks induk al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang saling melengkapai dan saling menyempurnakan.
Dalam tafsirnya ia tidak menjadikan ayat berupa kepingan-kepingan atau memisahkan ayat yang satu dengan yang lainnya, tetapi mengetengahkannya secara utuh, kemudian baru diterangkan maksud serta tujuannya secara umum. Ia tidak banyak mempermasalahkan segi bahasa, seperti nahwu dan balaghah, tetapi lebih menguatamakan soal makna. Ia pun tidak sampai terperosok masuk ke persoalan paling detail, atau soal-soal lainnya yang bersifat partial (juz’iyyat), tetapi langsung memasuki masalahnya yang bersifat universal (kulliyyat) serta maknanya yang bersifat umum.                                                                                                                                               Di samping hal di atas, ia juga menyelidiki sebab dan factor yang dapat menghubungkan ajaran al-Qur’an dengan ilmu-ilmu social dan politik. Sebagai dalil pembuktian, ia sajikan pendapat-pendapat para ahli filsafat zaman modern dan tokoh masyarakat, tokoh-tokoh politik, dan lain-lain. Ia berusaha mendapatkan titik temu antara ajaran-ajaran al-Qur’an dengan ilmu-ilmu pengetahuan. Karena itu Rashid Ridha menulis kulit Tafsir al-Manar beberapa karakteristik tafsirnya sebagai berikut:
(1) Kitab al-Manar sebagai satu-satunya kitab tafsir yang menyatukan hadits-hadits shahih dengan berbagai keterangan yang masuk akal; menjelaskan hikmah perundang-undangan dan sunnatullah yang berlaku dalam kehidupan ummat manusia.
(2) Menerangkan kedudukan al-Qur’an sebagai hidayat umum bagi seluruh ummat manusia di segala zaman dan tempat, sebagai hujjah ilahiy dan sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah yang tak mungkin dapat dibantah, baik oleh manusia maupun jin.
(3) Menciptakan keseimbangan antara hidayat ilahiy denga kewajiban yang harus dilakukan oleh kaum muslimin dewasa ini; zaman dimana telah banyak orang yang meninggalkan hidayat dan ajaran agama yang menjadi pegangan teguh sebagai jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
(4) Kitab tafsir ini mudah dipahami uraiannya dan susunan kalimatnya serta menghindari penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi.
Muhammad Abduh berpendapat, perhatian terlalu besar yang dicurahkan oleh para mufassir kepada segi bahasa seperti Nahwu dan Balaghah serta filsafat, dapat mengalihkan orang banyak dari tujuan yang dimaksud Kitabullah al-Qur’an, dan dapat pula membuat lupa kepada hakekat maknanya. Tafsir yang diinginkan Muhammad Abduh adalah tafsir yang mampu membuat orang memahami al-Qur’an sebagai sumber agama yang memberi petunjuk kepada seluruh ummat manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dalam menjelaskan dasar metode tafsir al-Manar, Rashid Ridha menekankan, bahwa al-Qur’an al-Karim adalah kitab hidayat dan hokum syari’ah, bukan kitab yang menguraikan ilmu pengetahuan atau teknologi secara terperinci. Di dalam muqaddimah Tafsir al-Manar, ia menyebutkan poin-poin penting, yakni:
(1) Al-Qur’an sebagai hidayat dan cahaya yang terang untuk mengajarkan hikmah dan hukum-hukumnya, mensucikan kehidupan, dan menjanjikan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
(2) Allah tidak menurunkan hokum-hukum duniawi yang gersang dan dangkal.        (3) Allah tidak menurunkan buku kedokteran untuk mengobati tubuh yang sakit, tidak pula menurunkan kitab sejarah yang menguraikan pelbagai peristiwa dan kejadian, dan juga tidak menurunkan buku yang mengajarkan keterampilan guna mencari penghidupan atau mata pencaharian. Hal-hal seperti itu semua, menurut Ridha, diserahkan sepenuhnya kepada manusia sesuai kemampuannya masing-masing, tidak bergantung pada wahyu Allah.
Kitab-kitab tafsir sebelumnya, biasa mengetengahkan tafsir ayat-ayat al-Qur’an satu dei satu menurut urutan yang terdapat di dalam Kitab Suci itu. Tidak demikian halnya dengan tafsir al-Manar. Kitab ini tidak terikat oleh cara-cara seperti itu. Ia menyebut beberapa ayat yang mempunyai makna umum, kemudian ditafsirkan. Setelah selesai, lalu pindah ke tafsir sekelompok ayat yang lain lagi, dan demikian seterusnya.
2.     Aspek Epistemology
Tafsir adabiy-ijtima’iy adalah sebuah corak tafsir yang menekankan kepada pembahasan tafsir al-Qur’an berdimensi social dengan mengungkapkannya secara menarik dan ketelitian redaksi. Quraish Shihab, sebagai dikutip Rasihan Anwar, mengatakan:
Tafsir adabiy-ijtima’iy adalah tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksinya, kandungan-kandungan ayat dalam suatu redaksi yang indah degan penonjolan utama al-Qur’an, yaitu membawa petunjuk Ilahiyah ke dalam kehidupan, kemudian ayat-ayat tersebut dijelaskan dengan hokum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat ditarik pengertian bahwa tafsir adabiy-ijtima’iy adalah corak tafsir yang meniikberatkan pembahasan tafsir pada aspek ketelitian dan keindahan redaksi, dan aspek social dengan tujuan utamanya yakni membangun tatanan social yang sesuai dengan petunjuk ilahiyah (hidayat) dengan tidak menyalahi hokum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat. Merujuk kepada pengertian ini, maka dapat diketahui bahwa tafsir adabiy-ijtima’iy bukanlah sebuah metode tafsir, akan tetapi lebih tepat disebut sebagai corak tafsir. Karena metode tafsir lebih mengarah kepada pengertian procedure (manhaj) atau cara kerja tafsir, sedangkan corak tafsir lebih mengarah kepada kecenderungan, sifat, atau karakteristik dari pembahasan tafsir. Oleh karena itu, metode tafsir yang digunakan dalam corak tafsir adabiy-ijtima’iy mungkin saja beragam.
Menurut al-Farmawiy, metode tafsir itu ada empat, yaitu metode tahliliy, ijmaliy, muqaran, dan maudhu’iy. Metode yang mungkin dapat digunakan dalam corak tafsir adabiy-ijtma’iy adalah metode tahliliy dan metode maudhu’iy. Al-Farmawi sendiri mengkategorikan tafsir adabiy-ijtima’iy sebagai corak tafsir yang menggunakan metode tahliliy. Metode tahliliy adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan-kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushhaf. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosakata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Ia juga mengemukakan munasabah (korelasi) ayat-ayat serta mejelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain.
Begitu pula penafsir membahas mengenai asbab al-nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, atau shahabat, atau para tabi’in, yang kadang-kadang bercampur baur dengan pendapat para penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya; dan sering pula bercampur baur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dipandang dapat membantu memahami nash al-Qur’an tersebut. Para penafsir tahlily ini ada yang terlalu bertele-tele dengan uraian panjang lebar, dan sebaliknya, ada pula yang terlalu sederhana dan ringkas. Mereka juga mempunyai kecenderungan dan arah penafsiran yang beraneka ragam. Karena kecenderungan tafsir mereka itu, maka metode tahlily dibedakan kepada: tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-ra’yi, tafsir shufi, tafsir fiqhi, tafsir falsafi, tafsir ‘ilmi, dan tafsir adabiy-ijtima’iy.
Metode tafsir kedua, yang dapat digunakan dalam corak tafsir adabiy-ijtima’iy adalah metode maudhu’iy. Menurut al-Farmawi, metode maudhu’iy mempunyai dua bentuk kajian, yakni: Pertama, pembahasan mengenai satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat.Kedua, menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu; ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan di bawah satu tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhu’iy.
Nama dan istilah tafsir maudhu’iy dalam bentuknya yang kedua ini, adalah istilah baru dari ulama zaman sekarang dengan pengertian: menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topic masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Kemudian penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan. Secara khusus, penafsir melakukan studi tafsirnya ini dengan metode maudhu’iy, dimana ia meneliti ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya, dan melakukan analisis berdasarkan ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk menjelaskan pokok permasalahan, sehingga ia dapat memahami permasalahan tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga memugkinkan baginya untuk memahami maksud yang terdalam dan dapat menolak segala kritik.
Adapun cara kerja metode tafsir maudhu’iy adalah dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Memilih atau menetapkan masalah al-Qur’an yang akan dikaji secara maudhu’iy (tematik).
b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat Makkiyah dan Madaniyyah.
c.  Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat atau asbab al-nuzul.
d.  Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing suratnya.
e.  Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan utuh (outline).
f.  Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadits bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas.
g.  Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian yang ‘am dan khas, antara yang muthlaq dan yang muqayyad, mensinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.[5]
Menurut Ali Khalil dalam kitabnya al-Mudzakarat al-Khathiyat, menyatakan bahwa kajian Tafsir Maudhu’iy ini sesuai dengan semangat zaman modern yang menuntut agar mufassir berupaya melahirkan suatu hokum yang bersifat universal untuk masyarakat Islam, suatu hokum yang bersumber dari al-Qur’an dalam bentuk materi dan hokum-hukum praktis yang mudah dipahami dan diterapkan.Dengan upaya ini diharapkan orang-orang yang selama ini lebih cenderung kepada hokum-hukum positif, mau menerima dan mengaplikasikan hokum-hukum al-Qur’an.

3.     Aspek Aksiology
Ada perbedaan titik pijak antara tafsir adabiy-ijtima’iy dan tafsir lainnya dalam cara menafsirkan al-Qur’an. Kalau tafsir-tafsir klasik umumnya berangkat dari teks-teks al-Qur’an terlebih dahulu, kemudian hasil penafsirannya dihadapkan pada persoalan-persoalan di masyarakat, tafsir adabiy-ijtima’iy terlebih dahulu berangkat dari persoalan-persoalan masyarakat kemudian dihadapkan pada teks-teks al-Qur’an. Hal ini sebagaimana yang terdapat di dalam tafsir Rashid Ridha al-Manar sebagai tafsir gerakan yang menggerakkan masyarakat ke arah kemajuan berpikir dan perwujudan keadilan social.
Perbedaan titik pijak itu pada gilirannya melahirkan konsekuensi paradoksal bagi eksistensi al-Qur’an. Karena berangkat dari teks-teks al-Qur’an terlebih dahulu, kerapkali produk tafsir klasik kurang memiliki daya solutif (pemecah masalah) terhadap persoalan-persoalan yang sedang dihadapi masyarakat. Belum lagi terkadang tafsir klasik mengutip karya-karya tafsir sebelumnya yang notabene daya solutif bagi persoalan-persoalan zaman dulu. Dan ketika dihadapkan dengan problematika sekarang, tentu saja produk tafsir itu tidak mampu lagi menjawab sebagian persoalan kekinian. Hal-hal itulah yang menyebabkan al-Qur’an kurang membumi, atau unapplicable dengan tuntutan zaman. Sedangkan tafsir adabiy-ijtima’iy berangkat dari persoalan masyarakat terlebih dahulu. Oleh karena itu maka tafsir adabiy-ijtima’iy memiliki daya solutif yang tinggi. Artinya, ia lebih diharapkan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan social dalam segala seginya dengan berdasarkan pada petunjuk-petunjuk ilahiyah.
Ada hal lain yang spesifik dimiliki tafsir adabaiy-ijtima’iy, yaitu ketidakpedulian tafsir itu terhadap cerita-cerita yang pantastis. Dalam terminology tafsir, cerita-cerita itu disebut Isra’iliyat (legenda Yahudi dan Nashrani). Bagi tafsir masa shahabat dan tabi’in, barangkali masuknya Isra’iliyat ke dalam tafsir masih dapat ditolerir. Karena menurut Ahmad Asy-Syirbashi, masyarakat Arab sangat gemar mendengar cerita-cerita itu yang merupakan satu medium untuk membumikan al-Qur’an.
Bila dihubungkan dengan situasi kekinian, cerita-cerita Isra’iliyat sudah tidak tepat lagi dimasukkan ke dalam tafsir. Karena menurut Syaltut, Isra’iliyat hanya menjauhkan ummat Islam dari mutiara al-Qur’an. Yang diperlukan ummat Islam sekarang adalah bagaimana al-Qur’an dapat memiliki daya solutif bagi persoalan-persoalan yang dihadapi mereka. Dalam istilah lain, bagaimana caranya agar al-Qur’an benar-benar membumi.
Pada iklim modern yang diwarnai oleh bombastis informasi yang pada gilirannya akan menyeret dunia, termasuk di dalamnya dunia Islam, ke dalam sangkar global, dan pada akhirnya manusia mencari alternative ideology, maka ummat Islam dituntut berusaha agar al-Qur’an benar-benar dapat menjadi alternative, dan dengan tafsir adabiy-ijtima’iy, mereka dapat diharapkan mampu merealisasikan tugas sucinya itu.
Dengan demikian, dalam tataran aksiologis, tafsir dabiy-ijtima’iy mempunyai keunggulan fungsional dan praktis yang lebih dalam memberikan jalan keluar atas masalah-masalah kemasyarakatan yang selalu baru dan muncul dalam perkembangan era kekinian.
B.        Corak Adabiy Ijtima’i Dalam Sejarah Tafsir

Kata al-adaby dilihat dari bentuknya termasuk mashdar (infinitif) dari kata kerja (madhi) aduba, yang berarti sopan santun, tata krama dan sastra. Secara leksikal, kata tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. Oleh karena itu, istilah al-adaby bisa diterjemahkan sastra budaya. Sedangkan kata al-ijtima’iy bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi secara etimologis tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada satra budaya dan kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural.[3]
Corak tafsir al-Adaby al-Ijtima’I adalah corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit masyarakat atau masalah-maslah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar. [4]
Jadi, corak penafsiran al-Adaby al-Ijtima’ adalah corak penafsiran yang berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan, suatu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.[6]

C.        Tokoh mufasirr al-Adaby al-Ijtima’I

a.     Syaikh muhammad abduh
Tokoh utama corak penafsiran ini (al-Adaby al-Ijtima’i) serta yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah Syaikh Muhammad Abduh, yang kemudian dikembangkan oleh murid sekaligus sahabatnya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, dan dilanjutkan oleh ulama-ulama lain, terutama Muhammad Mustafa al-Maraghi.
Syaikh Muhammad Abduh adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M. ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, tidak pula keturunan bangsawan. Namun demikian ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan.[5]Mula-mula Muhammad Abduh dikirim oleh ayahnya ke Masjid al-Ahmadi Thantha untuk mempelajari tajwid al-Qur’an. Ia belajar disan sampai dua tahun. Setelah itu, ia memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara serta kaum kerabatnya. Waktu kembali ke desa inilah ia dikawinkan.Walaupun sudah kawin, ayahnya memaksanya untuk kembali belajar. Namun Muhammad Abduh sudah bertekad untuk tidak kembali. Maka ia lari ke desa Syibral Khit, di sana banyak paman dari pihak ayahnya bertempat tinggal. Di kota inilah ia bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan tentang al-Qur’an. Sang paman berhasil mengubah pandangan pemuda Muhammad Abduh dari seorang yang membenci ilmu pengetahuan menjadi seorang yang menggemarinya.
Dari sini Muhammad Abduh kembali ke Masjid al-Ahmadi Thantha, dan kali ini minat dan pandangannya untuk belajar telah jauh berbeda disbanding pertama kali ia ke sana.Dari Thantha, Muhammad Abduh menuju ke Kairo untuk belajar di al-Azhar, yaitu pada bulan Februari, 1866. Namun system pengajaran ketika itu tidak berkenan di hatinya, karena menurut Abduh:
“Kepada mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat para ulama terdahulu tanpa mengantarkan mereka kepada usaha penelitian, perbandingan dan pentarjihan.”
Namun demikian, di perguruan tinggi ia sempat berkenalan dengan sekian banyak dosen yang dikaguminya, antara lain:
1.Syaikh Hasan al-Thawil yang mengajarkan kitab filsafat, padahal kitab tersebut tidak diajarkan pada waktu itu.
2.Muhammad al-Basyuni, seorang yang banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra bahasa, bukan melaluiajaran tata bahasa melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktikkannya.
Pada tahun 1294 H ia telah memperoleh ijazah sarjana dari al-Azhar. Kemudian, Jamaluddin al-Afghani ketika itu dating ke Mesir. Muahmmad Abduh bertemu dengan dia dan mendengarkan kuliah-kuliahnya, baik di rumahnya, di kafenya, ketika ia sedang berkunjung atau dikunjungi. Kedua tokoh ini mersa ada kesamaan tujuan dan cocok, sehingga mereka akhirnya saling membantu dan sama-sama menaruh rasa suka. Setelah dua tahun sejak pertemuannya dengan Jamaluddin al-Afghani, terjadilah perubahan yang sangat berarti pada keperibadian Abduh, dan mulailah ia menulis kitab-kitab karangannya seperti Risalah al-‘Aridat (1873), disusul kemudian dengan Hasyiah-Syarah al-Jalal al-Dawwani Li al-Aqa’id al-Adhudhiyah (1875). Dalam karangannya ini, Abduh yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah menulis dengan mendalam tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi) dan tasawuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah.
Pada tahun 1888 Muahammad Abduh kembali ke tanah airnya yang sebelumnya ia berpindah-pidah tempat dengan berbagai alasan, dan oleh pemerintah Mesir ia diberi tugas sebagai hakim di Pengadilan Daerah Banha. Walaupun ketika itu Abduh sangat berminat untuk mengajar, namun agaknya pemerintah Mesir sengaja untuk merintangi, agar pemikiran-pemikirannya yang mungkin bertentangan dengan kebijakan pemerintah pada saat itu tidak dapat diteruskan pada putra-putri Mesir.Pada tahun 1905 Muhammad Abduh mencetuskan ide pembentukan universitas Mesir. Ide ini mendapat tanggapan antusias dari pemerintah maupun masyarakat, terbukti dengan disediakannya sebidang tanah untuk maksud tersebut. Namun sayang, universitas yang ia cita-citakan baru berdiri setelah ia berpulang ke Rahmatullah, dan universitas inilah yang kemudian menjadi “Universitas Kairo.”
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha telah merintis kebangkitan ilmiah dan memberikan buahnya kepada murid-muridnya. Kebangkitan ini berpusat pada kesadaran Islami, upaya pemahaman ajaran sosiologis Islam dan pemecahan agama terhadap problematika kehidupan masa kini. Benih-benih kebangkitan tersebut sebenarnya dimulai dengan gerakan Jamaluddin al-Afghani, yang kepadanya Abduh berguru. Abduh memebrikan mata kuliah tafsir di Universitas al-Azhar dan mendapat sambutan baik dari murid dan mahasiswanya. Dan Rasyid Ridha adalah murid paling tekun mempelajari mata kuliah tersebut, paling semangat dan mencatatnya dengan teliti, yang akhirnya dengan gurunya inilah ia buahkan kitab tafsir yang diberi nama al-Manar.[9]Pada 11 Juli 1905, Muhammad Abduh meninggal dunia di Kairo, Mesir. Yang menangisi kepergiannya bukan hanya umat Islam, tetapi ikut pula berduka sekian banyak tokoh non-Muslim.[10]



b.     Sayyid muhammad rasyid ridha
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon, pada 27 Juamadil ‘Ula 1282 H. Dia adalah bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain, Putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Putri Rasulullah saw.Disamping orangtuanya sendiri, Rasyid Ridha belajar juga kepada sekian banyak guru. Di masa kecil ia belajar di taman-taman pendidikan di kampungnya yang ketika itu dinamai al-Kuttab, di sana diajarkan membaca al-Qur’an, menulis, dan dasar-dasar berhitung.Setelah tamat Rasyid Ridha dikirim oleh orangtuanya ke Tripoli, Lebanon untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah yang mengajarkan Nahwu, Sharaf, Aqidah, Fiqh, behitung, dan ilmu bumi. Bahasa pengantar yang digunakan di sekolah tersebut adalah bahasa Turki, mengingat Lebanon pada saat itu berada di bawah kekuasaan Ustmaniyah. Mereka belajar di sana dipersiapkan untuk menjadi pegawai-pegawai pemerintah.

Karena itu Rasyid Ridha tidak tertarik untuk belajar di sana. Setahun kemudian, yatu pada tahun 1299 H/1822 M, ia pindah ke Sekolah Islam Negri, yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, disamping diajarkan pula bahasa Turki dan Prancis. Sekolah ini didirikan oleh ulama besar Syam ketika itu, yakni Syaikh Husain al-Jisr. Syaikh inilah yang kelak mempunyai andil sangat besar terhadap perkembangan pemikiran Rasyid Ridha, karena hubungan antara keduanya tidak terhenti walaupun kemudian sekolah itu ditutup oleh pemerintah Turki. Syaikh Husan al-Jisr juga yang memberi kesempatan kepada Rasyid Ridha untuk menulis di beberapa surat kabar Tripoli, kesempatan itu kelak mengantarnya memimpin majalah al-Manar.
Pada saat Rasyid Ridha memulai perjuangan di kampung halamannya, baik melalui pengajian-pengajian untuk kaumpria dan wanita maupun tulisan-tulisannya di media masa,Muhammad Abduh memimpin pula gerakan pembaruan di Mesir.Majalah al-‘Urwah al-Wutsqa yang diterbitkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muahammad Abduh di Paris, yang tersebar ke seluruh dunia Islam, ikut dibaca pula oleh Rasyid Ridha dan member pengaruh sangat besar terhadap jiwanya, sehingga mengubah sikap pemuda yang berjiwa sufi ini menjadi pemuda yang penuh semangat.Kekagumannya kepada Muhammad Abduhbertambah mendalam sejak Abduh kembali ke Beirut untuk kedua kalinya pada 1885 dan mengajar sambil mengarang. Pertemuan antar keduanya terjadi ketika Syaikh Muhammad Abduh berkunjung ke Tripoli untuk menemui temannya, Syaikh Abdullah al-Barakah, yang mengajar di sekolah al-Khanutiyah. Berkat inilah mereka berdua bertemu untuk pertama kali.Pertemuan kedua terjadi pada tahun 1312 H/1894 M, juga di Tripoli. Kali ini Rasyid Ridha menemani Abduh sepanjang hari, sehingga banyak kesempatan bagi Rasyid Ridha untuk menanyakan sesuatu yang masih kabur baginya.
Setelah lima tahun dari pertemuan kedua, maka baru pada 23 Rajab 1315 H/18 Januari 1898 M terjadi pertemuan ketiga di Kairo, Mesir. Sebulan setelah pertemuan ketiga ini, Rasyid Ridha mengemukakan keinginannya untuk menerbitkan suatu surat kabar yang mengolah masalah-masalah social, budaya dan agama.Pada mulanya Abduh tidak menyetujui gagasan ini, karena pada saat itu di Mesir sudah cukup banyak media massa, apalagi persoalan yang akan diolah kurang menarik perhatian umum. Namun Rasyid Ridha menyatakan tekadnya, walaupun harus menanggung kerugian selama satu sampai dua tahun setelah penerbitan itu. Akhirnya Abduh merestui dan memeilih nama al-Manar dari sekian banyak nama yang diusulkan Rasyid Ridha.Akhirnya al-Manar melangsungkan launching pertamanya pada 22 Syawwal 1315 H/17 Maret 1898 M berupa Mingguan sebanyak delapan halaman dan mendapat sambutan hangat, bahkan bukan hanya di Mesir atau Negara-negara Arab sekitarnya saja, tetapi sampai ke Eropa bahkan ke Indonesia. Setelah suksesnya penerbitan majalah al-Manar, kemudian Rasyid Ridha menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang juga diberi nama al-Manar, kitab tafsir ini mengandung pembaruan dan sesuai denga perkembangan zaman. Ia berusaha menghubungkan ajaran-ajaran al-Qur’an dengan kehidupan masyarakat, disamping membuktikan bahwa Islam adalah agama yang memiliki sifat universal, umum, abadi dan cocok bagi segala keadaan, waktu dan tempat.
Dalam perjalanan pulang dari kota suez di Mesir, setelah mengantar pangeran Sa’ud al-Faisal, mobil yang dikendarainya mengalami kecelakaan dan ia menderita gegar otak. Selama dalam perjalanan, Rasyid Ridha hanya membaca al-Qur’an, walau ia telah sekian kali muntah. Setelah memperbaiki posisinya, tanpa disadari oleh orang-orang yang menyertainya, tokoh ini wafat dengan wajah yang sangat cerah dan disertai senyuman, pada 23 Jumadil ‘Ula 1354 H, bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M.



D.        Contoh-contoh Tafsir Adabiy wa Ijtima’iy.
Pemikiran Muhammad Abduh yang dimasukkan dalam penafsiran atas al-Qur’an, yang dipublikasikan berdasarkan atas kitab yang diturunkan (wahyukan).perbedaan dalam tujuan menafsirkan al-Qur’an itu tampak ketika beliau menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan persepektif sosiologi, yang dapat menjelaskan bahwa al-Qur’an al-Hakim itu merupakan sumber kebahagiaan baik dalam konteks urusan agama dan urusan duniawi dalam setiap masa. Ketika spirit inilah, Muhammad Abduh memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan para ahli tafsir klasik, bahwa nilai al-Qur’an it uterus mengalami peningkatan disebabkan minimnya pengaruh konseptual dari aturan-atura balaghah tentang sinonimitas kata dalam al-Qur’an.[7] Hal itu sebagaimana dalam firman Allah yang berbunyi:

“Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang maha penyayang serta pengasih kepada semua manusia”.

Maka yang harus digaris bawahi dari bentuk penggunaan dua lafazh yang menunjukkan pada dua makna yang sangat berdekatan ini adalah menggambarkan tartib (susunan) makna yang ditunjukkan kedua lafazh tersebut, dengan menunjukkan lafzh yang datang setelahnya itu memiliki makna yang lebih tinggi daripada makna lafazh sebelumnya. Para ahli Balaghah kemudian menyebut kaidah ini dengan pola peningkatan dari makna yang lebih rendah ke makna yang lebih tinggi (al-taraqi min al-adna ila al-a’la). Serta pertayaan yang terkait dengan keyakinan: Apakah para nabi itu lebih mulia derajatnya daripada derajat para malaikat? Maka golongan Mu’tazilah dan sebagian dari golongan Asy’ari-al-Baqilani dan al-Hilimi menyatakan bahwa para malaikat itu lebih utama derajatnya, sedangkan mazhab Asy’ari pada umumnya menyatakan bahwa para nabi itulah yang memiliki derajat yang lebih utama daripada malaikat. Telah terjadi perdebatan sengit seputar manakah yang lebih utama , ketika menafsirkan ayat 172 surat an-Nisa’ yang berbunyi:

“Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat kepada Allah, barang siapa yang enggan untuk menyembah-Nya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya”.

Pada ayat tersebut para malaikat disebut setela nabi Isa menurut tartib ayat.
Jelaslah, bahwa (al-Baqarah; 142) tidak menganut kaidah tersebut. Lafazh “ra’uf” (yang maha pengasih) itu menunjukkan pada makna “kasih sayang yang sangat”, dan lafazh itu memiliki madlul (makna yang ditunjukkan) lebih kuat dari lafazh “rahim” yang jatuh setelahnya. Dalam tafsir al-Sya’bi karya al-Jalalain terdapat beberapa alasan (sebab) aat ini tidak mengikuti kaidah balaghah, karena lafazh itu memiliki kandungan makna yag lebih karena Berbicara tentang contoh-contoh corak tafsir adabiy-ijtima’iy, maka penulis pertama-tama kembali kepada tafsir Muhammad Abduh dan muridnya – Rashid Ridha dalam kitab tafsirnya al-Manar, mengingat kitab ini disebut-sebut sebagai kitab pertama yang bercorak adabiy-ijtima’iy, dan perlu dicatat bahwa pendapat Ridha itu sama dengan pendapat gurunya Muhammad Abduh dalam banyak hal; kedua, penulis akan mengambil contoh dari pendapat ulama lain yang dalam tafsirnya memiliki adanya pemisah.

corak adabiy-ijtima’iy, baik yang menggunakan metode tahliliy ataupun metode maudhu’iy.
a.     Pendapat Rasyid Ridha, tentang ayat tayammum; bagi beliau tayamum boleh dilakukan walaupun ada air, namun dengan syarat seseorang itu adalah musafir. Kalau bukan musafir, tidak bisa. Masih banyak lagi contoh lain.
b.     Pendapat Ashghar Ali Engineer tentang poligami; menurutnya, poligami itu bertentangan dengan nilai keadilan untuk konteks sekarang, oleh karena itu poligami tidak diperkenankan dalam Islam. Model pemahaman teksnya sebagai berikut:
§  Sosio-hisotis Poligami Pra-Islam:Tidak dibatasi, tidak adil
§  Poligami Islam: Maksimal 4 isteri dengan syarat Harus adil, kalau tidak adil Satu Isteri Saja
§  Keadilan dalam Poligami: Sulit Tercapai
§  Monogami lebih sesuai dengan: Keadilan, Poligami bertentangan dengan nilai, Keadilan untuk konteks, Sekarang


c.   Pendapat M. Quraish Shihab, tentang:
(1) Islam dan cita-cita sosial;
(2) Islam dan Perubahan Sosial:
(3) Keluarga Tiang Negara;
(4) Riba menurut al-Qur’an;
(5) Kedudukan Perempuan dalam al-Qur’an;
(6) Kualitas Pribadi Muslimah;
(7) Islam, Gizi, dan Kesehatan Masyarakat;
(8) Islam, Kependudukan, dan Lingkungan Hidup;
(9) Islam dan Pembangunan.[8]








E.        Kesimpulan
Corak Adabi Ijtima’i adalah corak penafsiran yang menekankan penjelasan tentang aspek-aspek yang terkait dengan ketinggian gaya bahasa al-Qur’an (balaghah) yang menjadi dasar kemukjizatannya. Atas dasar itu mufassir menerangkan makna-makna ayat-ayat al-Qur’an, menampilkan sunnatullah yang tertuang di alam raya dan sistem-sistem sosial, sehingga ia dapat memberikan jalan keluar bagi persoalan kaum muslimin secara khusus, dan persoalan ummat manusia secara universal sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh al-Qur’an. Karya-karya tafsir yang dapat dimasukkan dalam kategori ini adalah Tafsir al-Manar karya Muhammad Rasyid Rida (w. 1935), Tafsir al-Maraghi karya Mustafa al-Maraghi (w. 1945), dan Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Syaltut























Daftar Pustaka:

Al Dzahabi,Muhamad Husain,Al Tafsir wa Al Mufassirun,Kairo:Dar alqahirah,1976
Al-Farmawi,Abdul hayy Metode Tafsir Mawdhu’iy; Suatu pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994
Bisri Adib,Kamus AlBisri,Surabaya:Pustaka Progresif,1999
Nashrudin Baidan, Metode Penafsiran Alqur’an, Jogjakarta: Pustaka Pelajar Offset
Zufran Rahman, Studi Tentang Sejarah perkembangan Tafsir Alquran al-Karim,Terj. Qishshat al-Tafsir, Jakarta; Kalam Mulia,1999.

M. Quraish Shihab Dkk, Sejarah Dan Ulum Alquran, Jakarta: Pustaka firdaus, 1999.
Al Qaththan,Manna,Mabahis fi Ulum AlQur’an,Jakarta:Pustaka kautsar,2004.
Al Shadiq,Ayatullah Muhammad Bagir, Madrasatil Qur’aniyah,Jakarta: Risalah,1999.
Al Shobuni,Muhammad Ali,Al Tibyan fi Al ulum AlQur’an,jakarta:Pustaka Amani,2001
M. Amin Abdullah, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika Hingga Ideologi,
Bandung: Teraju, 2002.





[1] Al-Farmawi,Abdul hayy Metode Tafsir Mawdhu’iy; Suatu pengantar, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1994  hal. 30
[2] Zufran Rahman, Studi Tentang Sejarah perkembangan Tafsir Alquran al-Karim,Terj.
Qishshat al-Tafsir, Jakarta; Kalam Mulia,1999 hal. 56
[3] Ibid, hal. 58
[4] Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli
Tafsir, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006  hal. 158
[5] Syihab,M. Quraish , Rasionalitas Al-qur’an Studi Kritis Atas Tafsir Al-Manar, Jakarta:
Lentera Hati 2006 hal. 76
[6] M. Amin Abdullah, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika Hingga Ideologi,
Bandung: Teraju, 2002. hal. 132

[7] M. Quraish Shihab Dkk, Sejarah Dan Ulum Alquran, Jakarta: Pustaka firdaus, 1999. Hal. 186
[8] Al Shobuni,Muhammad Ali,Al Tibyan fi Al ulum AlQur’an,jakarta:Pustaka Amani,2001,hal. 106

No comments:

Post a Comment