BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Bagi umat Islam, al-Qur’an merupakan hudan
li al-nas dan rahmatan li al-‘alamin. Al-Qur’an sebagai hudan li
al-nas berarti bahwa al-Qur’an adalah pedoman hidup (way of life)
bagi ummat Islam, dan sebagai rahmatan li al-‘alamin artinya bahwa
al-Qur’an adalah menjadi rahmat bagi seluruh alam tanpa kecuali. Oleh karena
itu kalam ilahi yang berfungsi sebagai hidayat dan rahmat
dibahasakan dengan bahasa manusia yakni bahasa Arab dengan tujuan agar ummat
manusia mampu memahami al-Qur’an tersebut sesuai dengan kapasitas kemampuan
kemanusiaannya. Namun walaupun begitu, masih banyak manusia terutama ummat
Islam, yang belum bisa memahami makna-makna kandungan al-Qur’a secara baik,
sehingga akibatnya mereka belum mampu menjadikan al-Qur’an sebagai hidayat dan
rahmat bagi dirinya, keluarganya, bahkan masyarakatnya.
Dalam rangka mencapai tujuan makna dan
memahami maksud Allah dalam firman-firman suci-Nya itu, maka perlu adanya
sebuah pendekatan yang akan memudahkan umat Islam mengambil inti-inti
ajarannya. Tatkala Rasulullah masih hidup, maka segala persoalan yang sulit
atau samar dipahami ummatnya (shahabat) langsung ditanyakan kepadanya
dan beliau bertindak sebagai mubayyin (penjelas). Setelah Rasulullah
wafat, maka otoritas pemahaman terhadap al-Qur,an dipegang oleh para shahabat,
tabi’in, tabi’ al-tabi’in, dan seterusnya sampai kepada ulama-ulama
dan para pemikir-pemikir Islam (cendikiawan muslim) dengan
persyaratan-persyaratan tertentu yang dibutuhkan untuk memahami dan menafsirkan
al-Qur’an sebagai kitab hidayat. Pendekatan tersebut dikenal dengan
sebutan ilmu tafsir, dan orang yang mengauasi ilmu ini serta mampu
menafsirkan al-Qur’an disebut mufassir. Pada hakekatnya, mufassir
juga seorang mubayyin, namun sebutan ini tidaklah popular.
Mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an
acapkali bebeda satu sama lain dalam hal metode (manhaj) yang
digunakannya, ada yang menggunakan metode ijmaliy, muqaran, tahliliy, atau
maudhu’iy. Metode yang terakhir ini merupakan metode tafsir modern yang
digunakan oleh ulama-ulama kontemporer. Apapun metode yang digunakannya,
mufassir adalah orang yang berusaha sekuat dayanya untuk memahami al-Qur’an.
Demikian pula, mufassir berbeda satu sama lain dalam hal kecenderungannya
menafsirkan al-Qur’an; ada yang ilmiy-sentris dan disebut corak tafsir ilmiy,
ada yang fiqhiy-sentris dan disebut tafsir fiqhiy, ada yang sastra-sosial
sentries dan disebut tafsir adabiy-ijtima’iy, dan lain-lain[1].
B.
Rumusan Masalah
§ Bagaimana Pengertian
Tafsir adabiy wa Ijtima’iy dari aspek Ontology, Epistimology dan Aksiology-nya?
§ Bagaimana Corak Adabiy
Ijtima’i Dalam Sejarah Tafsir?
§ Siapakah Tokoh-Tokoh
Mufasir Adabiy Wal Ijtima’i?
§ Seperti Apa
Contoh-Contoh Tafsir Adabiy wa Ijtima’iy itu?
C.
Tujuan Pembahasan
Adapun
tujuan pembahasan dari makalah ini adalah untuk mengetahui:
§ Pengertian Tafsir
adabiy wa Ijtima’iy dari aspek Ontology, Epistimology dan Aksiology-nya
§ Corak Adabiy Ijtima’i
Dalam Sejarah Tafsir
§ Tokoh-Tokoh Mufasir
Adabiy Wal Ijtima’i
§ Contoh-Contoh Tafsir
Adabiy wa Ijtima’iy.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tafsir Adabiy Wa Ijtima’iy
1. Aspek Ontology
a. Pengertian
Tafsir Adabiy Wa Ijtima’iy
Secara
bahasa, kata tafsir berarti keterangan, uraian, atau ta’wil. Ia merupakan
bentuk mashdar dari fi’il tsulatsi mazid bi-harf wahid yakni: fassara –
yufassiru –tafsir, yang berarti menerangkan isi; bentuk tuslatsi
mujarrad-nya: fasara – yafsiru – fasr, yang mempunyai arti sama yakni menerangkan. Ia juga bermakna al-kasyfu wa al-izhhar yang
berarti menyingkap dan menjelaskan. Sedangkan secara
istilah, tafsir berarti “taudhih ma’na al-ayat wa sya’niha wa qishshatiha wa
al-sabab al-ladziy nazalat fi-hi bi lafzh yadullu ‘alaihi dilalat zhahirat”
(menjelaskan makan ayat, kaeadaannya, kisahnya, dan sebab diturunkannya dengan
lafaz/kata yang ditunjukkan oleh dilalat (petunjuk) lahirnya.
Sedangkan
kata adabiy berasal dari kata adab yang berarti: riyadhat al-nafs bi al-ta’lim
wa al-tahdzib ‘ala ma yanbaghiy (latihan jiwa mellui pengajara dan pendidikan
sebagaimana mestinya); kullu ma antajahu al-‘aql al-insaniy min dhurub
al-ma’rifat (segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal manusia berupa
macam-macam pengetahuan). Berkaitan dengan ini ada istilah ‘ilm al-adab,
yang berarti menurut ulama mutaqaddimin meliputi: bahasa, sharaf, isytiqaq,
nahw, ma’ani, bayan, badi’, ‘arudh, sajak, kaligrafi, insya’, dan muhadharat
(peradaban). Menurut Mahmud Yunus, ‘ilm al-adab
adalah ilmu kesusastraan. Kata adabiy adalah
bentuk nisbat yang mempunyai makna sifat, yang berarti bersifat
sastra.
Adapun
kata ijtima’iy berasal dari kata ijtima’; merupakan bentuk mashdar dari ijtama’a
– yajtami’u – ijtima’ yang berfaedah muthawa’ah/akibat dari kata
kerja jama’a (mengumpulkan), sehingga kata ijtima’ berarti “berkumpul/
perkumpulan/ social”. Kata ijtima’iy adalah bentuk nisbat
yang memiliki makna sifat, sehingga ia berarti “bersifat social”.
Berkaitan dengan arti kata ini, ada istilah ‘ilm al-ijtima’ (ilmu
social) yang berarti ilmu yang membahas tentang munculnya kelompok-kelompok
manusia, perkembangannya, kebiasaannya, undang-undangnya, dan aturan-aturannya.
Kelompok-kelompok manusia ini disebut al-mujtama’ yang berarti
masyarakat.[2]
Merujuk
kepada pengertian-pengertian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan tentang
pengertian tafsir adabiy ijtima’iy, yaitu mengungkapkan dan menjelaskan
maksud-maksud Tuhan dalam al-Qur’an menurut kemampuan manusiawi dengan
menonjolkan sisi tujuan al-Qur’an sebagai kitab hidayat dalam menata
aspek-aspek social kemasyarakatan.
Usaha
untuk menafsirkan al-Qur’an dari seorang mufassir terkadang masih saja terdapat
kekurangannya vbaik dalam aspek metodologinya maupun dalam aspek kajian makna
kandungannya. Oleh karena itu, menurut para ahli terdapat tafsir yang belum
mencapai taraf ideal yakni belum menjadikan al-Qur’an sebagai kitab tuntunan
(hidayat) yang practicable dan realizable. Adanya penyimpangan
dalam orientasi sebagian tafsir klasik dirasakan dan dicermati oleh ulama
tafsir kontemporer seperti Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha. Keduanya
kemudian memprakarsai lahirnya jenis tafsir adabiy-ijtima’iy. Kitab tafsirnya yang terkenal adalah al-Manar. Tujuannya adalah menghindari penafsiran para ulama
sebelumnya yang seolah-olah menjadikan al-Qur’an terlepas dari akar kehidupan
manusia, baik sebagai individu atau sebagai masyarakat. Dengan inovasi itu, Abduh
berusaha membumikan al-Qur’an sehingga tujuannya sebagai hidayat dan rahmat
bagi manusia dapat terrealisasi.
Corak
tafsir adabiy-ijtima’iy berusaha memahami nash-nash al-Qur’an dengan
cara: mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur’an secara teliti; menjelaskan
makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur’an tersebut dengan gaya bahasa yang indah
dan menarik; dan menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang tengah dikaji dengan
kenyataan social dan system budaya yang ada.
Rasihan
Anwar mengemukakan pendapat Quraish Shihab, bahwa
tafsir adabiy-ijtima’iy adalah tafsir yang menitikberatkan penjelasan
ayat-ayat al-Qur’an pada segi-segii ketelitian redaksinya, kandungan-kandungan
ayat dalam suatu redaksi yng indah dengan penonjolan tujuan utama al-Qur’an,
yaitu membawa petunjuk ilahiyyah ke dalam kehidupan, kemudian ayat-ayat
tersebut dijelaskan dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan
pembangunan dunia. Kata kunci dalam pendapat ini adalah
bahwa al-Qur’an itu hidayat ilahiyyat (petunjuk ketuhanan) yang harus
bisa dipahami oleh ummat Islam dan juga manusia pada umumnya sesuai dengan
bunyi redaksi ayat 2, 97, dan 185.
Berdasarkan
definisi di atas, ada empat hal yang dapat dianggap sebagai unsur pokok dari
tafsir adabiy-ijtima’iy, yakni:
a. Menguraikan ketelitian
redaksi ayat-ayat al-Qur’an;
b. Menguraikan makna dan
kandungan ayat-ayat al-Qur’an dengan susunan kalimat yang indah;
c. Aksentuasi yang
menonjol pada tujuan utama diuraikannya al-Qur’an;
d. Penafsiran ayat
dikaitkan dengan sunnatullah yang berlaku dalam masyarakat (sunnah
ijtima’iyyah).
Prinsip-prinsip
pokok tafsir adabiy-ijtima’iy secara operasional diperlihatkan oleh Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha dalam kitab tafsirnya, prinsip-prinsip pokok itu adalah
sebagai berikut:
b. Al-Qur’an merupakan
sumber pertama dan utama dari kaidah dan syariat Islam, sedangkan pendapat para
ulama tidak mutlak harus diikuti;
c. Memerangi taklid dan
membuka pintu ijtihad seluas-luasnya bagi yang telah memenuhi persyaratan yang
dituntut;
d. Berpegang pada
kekuatan akal dan bahkan menjadikannya sebagai penentu (tahkim) dalam memahami
ayat-ayat al-Qur’an;
e. Mendorong penelitian
dan penalaran serta menerapkan metode ilmiah dan hasil penemuan ilmu
pengetahuan di masanya untuk menafsirkan al-Qur’an;
f. Tidak merincikan
persoalan-persoalan yang disinggung secara mubham oleh al-Qur’an;
g. Bersikap sangat
hati-hati terhadap tafsir ma’tsur dan menolak secara
tegas isra’iliyah[3]
Tafsir
dengan pendekatan adabiy-ijtima’iy (sastra-sosial) baru muncul pada era modern.
Dimana para mufassir tak berpanjang lebar dengan pembahasan yang rumit. Bagi
mereka yang terpenting adalah bagaimana misi al-Qur’an bisa sampai kepada
pembaca. Dalam tafsir ini al-Qur’an dikaitkan dengan realitas kehidupan
masyarakat, tradisi social dan system peradaban, sehingga secara fungsional
diharapkan mampu memecahkan problem social kemasyarakatan dan kebangsaan.
Menurut
al-Farmawiy, kitab-kitab tafsir yang ditulis dengan corak tafsir
adabiy-ijtima’iy selain kitab al-Manar karya dari Rashid Risdha
(wafat 1345 H), adalah Tafsir al-Maraghiy karya al-Maraghiy (wafat 1945
M) dan Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Syekh Mahmud Syaltut.
b. Latar
Belakang Munculnya Tafsir Adabiy-Ijtima’iy.
Munculnya
tafsir adabiy-ijtima’iy dilatar belakangi oleh kondisi masyarakat muslim yang
terbelakang. Pada abad ke 19, dunia Islam mengalami masa suram, terus menerus
merosot, terbelakang dan banyak Negara muslim yang sedang menghadapi pendudukan
asing. Pada masa itulah muncul seorang pemimpin Islam bernama Jamaluddin
al-Afghani, mengumandangkan seruan untuk membangkitkan
muslimin.Murid pertamanya, yang bernama Muhammad Abduh,
mengikuti jejak langkah gurunya itu.Dia yang mengajarkan pembaharuan dalam
berbagai prinsip dan pengertian Islam. Ia menghubungkan ajaran-ajaran agama
dengan kehidupan modern, dan membuktikan bahwa Islam samasekali tidak
bertentangan dengan peradaban, kehidupan modern, serta apa yang bernama
kemajuan.
Rashid
Ridha - murid Muhammad Abduh – mencatat dan menuangkan kuliah-kuliah
gurunya ke dalam majalah al-Manar. Ini merupakan langkah pertama. Langkah
selanjutnya ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab
tafsir yang diberi nama Tafsir al-Manar, kitab tafsir yang mengandung
pembaharuan dan sesuai dengan perkembangan zaman. Ia berusaha menghubungkan
ajaran-ajaran al-Qur’an dengan kehidupan masyarakat, di samping membuktikan
bahwa Islam adalah agama yang memiliki sifat universal, umum, abadi dan cocok
bagi segala keadaan, waktu dan tempat.[4]
Metode
tafsir yang dipakainya adalah: menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, dengan
hadits-hadits shahih dan dengan tetap berpegang pada makna menurut pengertian
bahasa Arab. Muhammad Abduh memandang teks induk al-Qur’an sebagai satu
kesatuan yang saling melengkapai dan saling menyempurnakan.
Dalam
tafsirnya ia tidak menjadikan ayat berupa kepingan-kepingan atau memisahkan
ayat yang satu dengan yang lainnya, tetapi mengetengahkannya secara utuh,
kemudian baru diterangkan maksud serta tujuannya secara umum. Ia tidak banyak
mempermasalahkan segi bahasa, seperti nahwu dan balaghah, tetapi
lebih menguatamakan soal makna. Ia pun tidak sampai terperosok masuk ke
persoalan paling detail, atau soal-soal lainnya yang bersifat partial (juz’iyyat),
tetapi langsung memasuki masalahnya yang bersifat universal (kulliyyat)
serta maknanya yang bersifat umum.
Di samping hal
di atas, ia juga menyelidiki sebab dan factor yang dapat menghubungkan ajaran
al-Qur’an dengan ilmu-ilmu social dan politik. Sebagai dalil pembuktian, ia
sajikan pendapat-pendapat para ahli filsafat zaman modern dan tokoh masyarakat,
tokoh-tokoh politik, dan lain-lain. Ia berusaha mendapatkan titik temu antara
ajaran-ajaran al-Qur’an dengan ilmu-ilmu pengetahuan. Karena itu Rashid Ridha
menulis kulit Tafsir al-Manar beberapa karakteristik tafsirnya sebagai berikut:
(1) Kitab al-Manar sebagai satu-satunya kitab tafsir
yang menyatukan hadits-hadits shahih dengan berbagai keterangan yang masuk
akal; menjelaskan hikmah perundang-undangan dan sunnatullah yang berlaku
dalam kehidupan ummat manusia.
(2) Menerangkan kedudukan al-Qur’an sebagai hidayat
umum bagi seluruh ummat manusia di segala zaman dan tempat, sebagai hujjah
ilahiy dan sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah yang tak mungkin dapat
dibantah, baik oleh manusia maupun jin.
(3) Menciptakan keseimbangan antara hidayat ilahiy
denga kewajiban yang harus dilakukan oleh kaum muslimin dewasa ini; zaman
dimana telah banyak orang yang meninggalkan hidayat dan ajaran agama yang
menjadi pegangan teguh sebagai jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
(4) Kitab tafsir ini mudah dipahami uraiannya dan
susunan kalimatnya serta menghindari penggunaan istilah-istilah ilmu dan
teknologi.
Muhammad
Abduh berpendapat, perhatian terlalu besar yang dicurahkan oleh para mufassir
kepada segi bahasa seperti Nahwu dan Balaghah serta filsafat,
dapat mengalihkan orang banyak dari tujuan yang dimaksud Kitabullah al-Qur’an,
dan dapat pula membuat lupa kepada hakekat maknanya.
Tafsir yang diinginkan Muhammad Abduh adalah tafsir yang mampu membuat orang
memahami al-Qur’an sebagai sumber agama yang memberi petunjuk kepada seluruh
ummat manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dalam
menjelaskan dasar metode tafsir al-Manar, Rashid Ridha menekankan, bahwa
al-Qur’an al-Karim adalah kitab hidayat dan hokum syari’ah, bukan kitab yang
menguraikan ilmu pengetahuan atau teknologi secara terperinci. Di dalam muqaddimah Tafsir al-Manar, ia menyebutkan
poin-poin penting, yakni:
(1) Al-Qur’an sebagai hidayat dan cahaya yang terang
untuk mengajarkan hikmah dan hukum-hukumnya, mensucikan kehidupan, dan
menjanjikan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
(2)
Allah tidak menurunkan hokum-hukum duniawi yang gersang dan dangkal. (3) Allah tidak menurunkan buku
kedokteran untuk mengobati tubuh yang sakit, tidak pula menurunkan kitab
sejarah yang menguraikan pelbagai peristiwa dan kejadian, dan juga tidak
menurunkan buku yang mengajarkan keterampilan guna mencari penghidupan atau
mata pencaharian. Hal-hal seperti itu semua, menurut Ridha, diserahkan
sepenuhnya kepada manusia sesuai kemampuannya masing-masing, tidak bergantung
pada wahyu Allah.
Kitab-kitab tafsir sebelumnya, biasa mengetengahkan
tafsir ayat-ayat al-Qur’an satu dei satu menurut urutan yang terdapat di dalam Kitab
Suci itu. Tidak demikian halnya dengan tafsir al-Manar. Kitab ini
tidak terikat oleh cara-cara seperti itu. Ia menyebut beberapa ayat yang mempunyai
makna umum, kemudian ditafsirkan. Setelah selesai, lalu pindah ke tafsir
sekelompok ayat yang lain lagi, dan demikian seterusnya.
2. Aspek Epistemology
Tafsir
adabiy-ijtima’iy adalah sebuah corak tafsir yang menekankan kepada pembahasan
tafsir al-Qur’an berdimensi social dengan mengungkapkannya secara menarik dan
ketelitian redaksi. Quraish Shihab, sebagai dikutip Rasihan Anwar, mengatakan:
Tafsir adabiy-ijtima’iy adalah tafsir yang
menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian
redaksinya, kandungan-kandungan ayat dalam suatu redaksi yang indah degan
penonjolan utama al-Qur’an, yaitu membawa petunjuk Ilahiyah ke dalam kehidupan,
kemudian ayat-ayat tersebut dijelaskan dengan hokum-hukum alam yang berlaku
dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat ditarik
pengertian bahwa tafsir adabiy-ijtima’iy adalah corak tafsir yang
meniikberatkan pembahasan tafsir pada aspek ketelitian dan keindahan redaksi,
dan aspek social dengan tujuan utamanya yakni membangun tatanan social yang
sesuai dengan petunjuk ilahiyah (hidayat) dengan tidak menyalahi
hokum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat. Merujuk kepada pengertian ini,
maka dapat diketahui bahwa tafsir adabiy-ijtima’iy bukanlah sebuah metode
tafsir, akan tetapi lebih tepat disebut sebagai corak tafsir. Karena
metode tafsir lebih mengarah kepada pengertian procedure (manhaj)
atau cara kerja tafsir, sedangkan corak tafsir lebih mengarah kepada
kecenderungan, sifat, atau karakteristik dari pembahasan tafsir. Oleh karena
itu, metode tafsir yang digunakan dalam corak tafsir adabiy-ijtima’iy
mungkin saja beragam.
Menurut al-Farmawiy, metode tafsir itu ada
empat, yaitu metode tahliliy, ijmaliy, muqaran, dan maudhu’iy. Metode yang mungkin dapat digunakan dalam corak tafsir
adabiy-ijtma’iy adalah metode tahliliy dan metode maudhu’iy. Al-Farmawi sendiri
mengkategorikan tafsir adabiy-ijtima’iy sebagai corak tafsir yang
menggunakan metode tahliliy. Metode tahliliy
adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan-kandungan
ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir
mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushhaf.
Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosakata diikuti dengan
penjelasan mengenai arti global ayat. Ia juga mengemukakan munasabah
(korelasi) ayat-ayat serta mejelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu
sama lain.
Begitu pula penafsir membahas mengenai asbab
al-nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari
Rasul, atau shahabat, atau para tabi’in, yang kadang-kadang bercampur baur
dengan pendapat para penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh latar belakang
pendidikannya; dan sering pula bercampur baur dengan pembahasan kebahasaan dan
lainnya yang dipandang dapat membantu memahami nash al-Qur’an tersebut. Para
penafsir tahlily ini ada yang terlalu bertele-tele dengan uraian panjang
lebar, dan sebaliknya, ada pula yang terlalu sederhana dan ringkas. Mereka juga
mempunyai kecenderungan dan arah penafsiran yang beraneka ragam. Karena
kecenderungan tafsir mereka itu, maka metode tahlily dibedakan kepada: tafsir
bi al-ma’tsur, tafsir bi al-ra’yi, tafsir shufi, tafsir fiqhi, tafsir falsafi,
tafsir ‘ilmi, dan tafsir adabiy-ijtima’iy.
Metode tafsir kedua, yang dapat digunakan
dalam corak tafsir adabiy-ijtima’iy adalah metode maudhu’iy. Menurut al-Farmawi, metode maudhu’iy mempunyai dua
bentuk kajian, yakni: Pertama, pembahasan mengenai satu surat secara
menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus,
menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat
itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat.Kedua,
menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu
masalah tertentu; ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan di
bawah satu tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhu’iy.
Nama dan istilah tafsir maudhu’iy
dalam bentuknya yang kedua ini, adalah istilah baru dari ulama zaman sekarang
dengan pengertian: menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai maksud yang
sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topic masalah dan menyusunnya
berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Kemudian
penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan.
Secara khusus, penafsir melakukan studi tafsirnya ini dengan metode maudhu’iy,
dimana ia meneliti ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya, dan melakukan
analisis berdasarkan ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk
menjelaskan pokok permasalahan, sehingga ia dapat memahami permasalahan
tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga memugkinkan
baginya untuk memahami maksud yang terdalam dan dapat menolak segala kritik.
Adapun cara kerja metode tafsir maudhu’iy
adalah dengan langkah-langkah sebagai berikut:
b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah
ditetapkan, ayat Makkiyah dan Madaniyyah.
c. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut
menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang
turunnya ayat atau asbab al-nuzul.
d. Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat
tersebut di dalam masing-masing suratnya.
e. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang
pas, sistematis, sempurna dan utuh (outline).
f. Melengkapi pembahasan dan uraian dengan
hadits bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan
semakin jelas.
g.
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara
menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian yang ‘am dan khas,
antara yang muthlaq dan yang muqayyad, mensinkronkan ayat-ayat
yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh,
sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan
kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna
yang sebenarnya tidak tepat.[5]
Menurut Ali Khalil dalam kitabnya al-Mudzakarat
al-Khathiyat, menyatakan bahwa kajian Tafsir Maudhu’iy ini sesuai
dengan semangat zaman modern yang menuntut agar mufassir berupaya melahirkan
suatu hokum yang bersifat universal untuk masyarakat Islam, suatu hokum
yang bersumber dari al-Qur’an dalam bentuk materi dan hokum-hukum praktis yang
mudah dipahami dan diterapkan.Dengan upaya ini
diharapkan orang-orang yang selama ini lebih cenderung kepada hokum-hukum positif,
mau menerima dan mengaplikasikan hokum-hukum al-Qur’an.
3. Aspek Aksiology
Ada
perbedaan titik pijak antara tafsir adabiy-ijtima’iy dan tafsir lainnya
dalam cara menafsirkan al-Qur’an. Kalau tafsir-tafsir klasik umumnya berangkat
dari teks-teks al-Qur’an terlebih dahulu, kemudian hasil penafsirannya
dihadapkan pada persoalan-persoalan di masyarakat, tafsir adabiy-ijtima’iy
terlebih dahulu berangkat dari persoalan-persoalan masyarakat kemudian
dihadapkan pada teks-teks al-Qur’an. Hal ini
sebagaimana yang terdapat di dalam tafsir Rashid Ridha al-Manar sebagai
tafsir gerakan yang menggerakkan masyarakat ke arah kemajuan berpikir dan
perwujudan keadilan social.
Perbedaan
titik pijak itu pada gilirannya melahirkan konsekuensi paradoksal bagi
eksistensi al-Qur’an. Karena berangkat dari teks-teks al-Qur’an terlebih
dahulu, kerapkali produk tafsir klasik kurang memiliki daya solutif (pemecah
masalah) terhadap persoalan-persoalan yang sedang dihadapi masyarakat. Belum
lagi terkadang tafsir klasik mengutip karya-karya tafsir sebelumnya yang notabene
daya solutif bagi persoalan-persoalan zaman dulu. Dan ketika dihadapkan dengan
problematika sekarang, tentu saja produk tafsir itu tidak mampu lagi menjawab
sebagian persoalan kekinian. Hal-hal itulah yang menyebabkan al-Qur’an kurang
membumi, atau unapplicable dengan tuntutan
zaman. Sedangkan tafsir adabiy-ijtima’iy berangkat dari persoalan
masyarakat terlebih dahulu. Oleh karena itu maka tafsir adabiy-ijtima’iy
memiliki daya solutif yang tinggi. Artinya, ia lebih
diharapkan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan social dalam segala seginya
dengan berdasarkan pada petunjuk-petunjuk ilahiyah.
Ada
hal lain yang spesifik dimiliki tafsir adabaiy-ijtima’iy, yaitu ketidakpedulian
tafsir itu terhadap cerita-cerita yang pantastis. Dalam terminology tafsir,
cerita-cerita itu disebut Isra’iliyat (legenda Yahudi dan Nashrani). Bagi
tafsir masa shahabat dan tabi’in, barangkali masuknya Isra’iliyat ke dalam
tafsir masih dapat ditolerir. Karena menurut Ahmad Asy-Syirbashi, masyarakat
Arab sangat gemar mendengar cerita-cerita itu yang merupakan satu medium untuk
membumikan al-Qur’an.
Bila
dihubungkan dengan situasi kekinian, cerita-cerita Isra’iliyat sudah tidak
tepat lagi dimasukkan ke dalam tafsir. Karena menurut Syaltut, Isra’iliyat
hanya menjauhkan ummat Islam dari mutiara al-Qur’an. Yang diperlukan ummat
Islam sekarang adalah bagaimana al-Qur’an dapat memiliki daya solutif bagi
persoalan-persoalan yang dihadapi mereka. Dalam istilah lain, bagaimana caranya
agar al-Qur’an benar-benar membumi.
Pada
iklim modern yang diwarnai oleh bombastis informasi yang pada gilirannya
akan menyeret dunia, termasuk di dalamnya dunia Islam, ke dalam sangkar global,
dan pada akhirnya manusia mencari alternative ideology, maka ummat Islam
dituntut berusaha agar al-Qur’an benar-benar dapat menjadi alternative, dan
dengan tafsir adabiy-ijtima’iy, mereka dapat diharapkan mampu
merealisasikan tugas sucinya itu.
Dengan
demikian, dalam tataran aksiologis, tafsir dabiy-ijtima’iy
mempunyai keunggulan fungsional dan praktis yang lebih dalam memberikan jalan
keluar atas masalah-masalah kemasyarakatan yang selalu baru dan muncul dalam
perkembangan era kekinian.
B.
Corak Adabiy Ijtima’i Dalam Sejarah Tafsir
Kata al-adaby dilihat dari bentuknya
termasuk mashdar (infinitif) dari kata kerja (madhi) aduba, yang berarti sopan
santun, tata krama dan sastra. Secara leksikal, kata tersebut bermakna
norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam
kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. Oleh karena itu, istilah
al-adaby bisa diterjemahkan sastra budaya. Sedangkan kata al-ijtima’iy bermakna
banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi
secara etimologis tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi
pada satra budaya dan kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir
sosio-kultural.[3]
Corak tafsir al-Adaby al-Ijtima’I adalah
corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang
berkaitan langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi
penyakit-penyakit masyarakat atau masalah-maslah mereka berdasarkan petunjuk
ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang
mudah dimengerti tapi indah didengar. [4]
Jadi, corak penafsiran al-Adaby al-Ijtima’ adalah
corak penafsiran yang berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan, suatu
corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi
ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu
redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian
merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku
dalam masyarakat dan pembangunan dunia.[6]
C.
Tokoh mufasirr al-Adaby al-Ijtima’I
a. Syaikh muhammad
abduh
Tokoh utama corak penafsiran ini (al-Adaby
al-Ijtima’i) serta yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah Syaikh Muhammad
Abduh, yang kemudian dikembangkan oleh murid sekaligus sahabatnya, Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha, dan dilanjutkan oleh ulama-ulama lain, terutama Muhammad
Mustafa al-Maraghi.
Syaikh Muhammad Abduh adalah Muhammad bin
Abduh bin Hasan Khairullah. Ia dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten
al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M. ia berasal dari keluarga yang tidak
tergolong kaya, tidak pula keturunan bangsawan. Namun demikian ayahnya dikenal
sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan.[5]Mula-mula Muhammad
Abduh dikirim oleh ayahnya ke Masjid al-Ahmadi Thantha untuk mempelajari tajwid
al-Qur’an. Ia belajar disan sampai dua tahun. Setelah itu, ia memutuskan untuk
kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara serta kaum kerabatnya.
Waktu kembali ke desa inilah ia dikawinkan.Walaupun sudah kawin, ayahnya
memaksanya untuk kembali belajar. Namun Muhammad Abduh sudah bertekad untuk
tidak kembali. Maka ia lari ke desa Syibral Khit, di sana banyak paman dari
pihak ayahnya bertempat tinggal. Di kota inilah ia bertemu dengan Syaikh
Darwisy Khidr, salah seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan tentang
al-Qur’an. Sang paman berhasil mengubah pandangan pemuda Muhammad Abduh dari
seorang yang membenci ilmu pengetahuan menjadi seorang yang menggemarinya.
Dari sini Muhammad Abduh kembali ke Masjid
al-Ahmadi Thantha, dan kali ini minat dan pandangannya untuk belajar telah jauh
berbeda disbanding pertama kali ia ke sana.Dari Thantha, Muhammad Abduh menuju
ke Kairo untuk belajar di al-Azhar, yaitu pada bulan Februari, 1866. Namun
system pengajaran ketika itu tidak berkenan di hatinya, karena menurut Abduh:
“Kepada mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat
para ulama terdahulu tanpa mengantarkan mereka kepada usaha penelitian,
perbandingan dan pentarjihan.”
Namun demikian, di perguruan tinggi ia
sempat berkenalan dengan sekian banyak dosen yang dikaguminya, antara lain:
1.Syaikh Hasan al-Thawil yang mengajarkan kitab
filsafat, padahal kitab tersebut tidak diajarkan pada waktu itu.
2.Muhammad al-Basyuni, seorang yang banyak mencurahkan
perhatian dalam bidang sastra bahasa, bukan melaluiajaran tata bahasa melainkan
melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktikkannya.
Pada tahun 1294 H ia telah memperoleh
ijazah sarjana dari al-Azhar. Kemudian, Jamaluddin al-Afghani ketika itu dating
ke Mesir. Muahmmad Abduh bertemu dengan dia dan mendengarkan kuliah-kuliahnya,
baik di rumahnya, di kafenya, ketika ia sedang berkunjung atau dikunjungi.
Kedua tokoh ini mersa ada kesamaan tujuan dan cocok, sehingga mereka akhirnya
saling membantu dan sama-sama menaruh rasa suka. Setelah dua tahun sejak
pertemuannya dengan Jamaluddin al-Afghani, terjadilah perubahan yang sangat
berarti pada keperibadian Abduh, dan mulailah ia menulis kitab-kitab
karangannya seperti Risalah al-‘Aridat (1873), disusul kemudian dengan
Hasyiah-Syarah al-Jalal al-Dawwani Li al-Aqa’id al-Adhudhiyah (1875). Dalam
karangannya ini, Abduh yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah menulis
dengan mendalam tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi) dan
tasawuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah.
Pada tahun 1888 Muahammad Abduh kembali ke
tanah airnya yang sebelumnya ia berpindah-pidah tempat dengan berbagai alasan,
dan oleh pemerintah Mesir ia diberi tugas sebagai hakim di Pengadilan Daerah
Banha. Walaupun ketika itu Abduh sangat berminat untuk mengajar, namun agaknya
pemerintah Mesir sengaja untuk merintangi, agar pemikiran-pemikirannya yang
mungkin bertentangan dengan kebijakan pemerintah pada saat itu tidak dapat
diteruskan pada putra-putri Mesir.Pada tahun 1905 Muhammad Abduh mencetuskan
ide pembentukan universitas Mesir. Ide ini mendapat tanggapan antusias dari
pemerintah maupun masyarakat, terbukti dengan disediakannya sebidang tanah
untuk maksud tersebut. Namun sayang, universitas yang ia cita-citakan baru
berdiri setelah ia berpulang ke Rahmatullah, dan universitas inilah yang
kemudian menjadi “Universitas Kairo.”
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha telah merintis
kebangkitan ilmiah dan memberikan buahnya kepada murid-muridnya. Kebangkitan
ini berpusat pada kesadaran Islami, upaya pemahaman ajaran sosiologis Islam dan
pemecahan agama terhadap problematika kehidupan masa kini. Benih-benih
kebangkitan tersebut sebenarnya dimulai dengan gerakan Jamaluddin al-Afghani,
yang kepadanya Abduh berguru. Abduh memebrikan mata kuliah tafsir di
Universitas al-Azhar dan mendapat sambutan baik dari murid dan mahasiswanya.
Dan Rasyid Ridha adalah murid paling tekun mempelajari mata kuliah tersebut,
paling semangat dan mencatatnya dengan teliti, yang akhirnya dengan gurunya
inilah ia buahkan kitab tafsir yang diberi nama al-Manar.[9]Pada 11 Juli 1905,
Muhammad Abduh meninggal dunia di Kairo, Mesir. Yang menangisi kepergiannya
bukan hanya umat Islam, tetapi ikut pula berduka sekian banyak tokoh non-Muslim.[10]
b. Sayyid muhammad
rasyid ridha
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di
Qalmun, suatu kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon, pada 27 Juamadil ‘Ula
1282 H. Dia adalah bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari
Sayyidina Husain, Putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Putri Rasulullah
saw.Disamping orangtuanya sendiri, Rasyid Ridha belajar juga kepada sekian
banyak guru. Di masa kecil ia belajar di taman-taman pendidikan di kampungnya
yang ketika itu dinamai al-Kuttab, di sana diajarkan membaca al-Qur’an,
menulis, dan dasar-dasar berhitung.Setelah tamat Rasyid Ridha dikirim oleh
orangtuanya ke Tripoli, Lebanon untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah yang
mengajarkan Nahwu, Sharaf, Aqidah, Fiqh, behitung, dan ilmu bumi. Bahasa pengantar
yang digunakan di sekolah tersebut adalah bahasa Turki, mengingat Lebanon pada
saat itu berada di bawah kekuasaan Ustmaniyah. Mereka belajar di sana
dipersiapkan untuk menjadi pegawai-pegawai pemerintah.
Karena itu Rasyid Ridha tidak tertarik untuk
belajar di sana. Setahun kemudian, yatu pada tahun 1299 H/1822 M, ia pindah ke
Sekolah Islam Negri, yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan bahasa
Arab sebagai bahasa pengantar, disamping diajarkan pula bahasa Turki dan
Prancis. Sekolah ini didirikan oleh ulama besar Syam ketika itu, yakni Syaikh
Husain al-Jisr. Syaikh inilah yang kelak mempunyai andil sangat besar terhadap
perkembangan pemikiran Rasyid Ridha, karena hubungan antara keduanya tidak
terhenti walaupun kemudian sekolah itu ditutup oleh pemerintah Turki. Syaikh
Husan al-Jisr juga yang memberi kesempatan kepada Rasyid Ridha untuk menulis di
beberapa surat kabar Tripoli, kesempatan itu kelak mengantarnya memimpin
majalah al-Manar.
Pada saat Rasyid Ridha memulai perjuangan
di kampung halamannya, baik melalui pengajian-pengajian untuk kaumpria dan
wanita maupun tulisan-tulisannya di media masa,Muhammad Abduh memimpin pula
gerakan pembaruan di Mesir.Majalah al-‘Urwah al-Wutsqa yang diterbitkan oleh
Jamaluddin al-Afghani dan Muahammad Abduh di Paris, yang tersebar ke seluruh
dunia Islam, ikut dibaca pula oleh Rasyid Ridha dan member pengaruh sangat
besar terhadap jiwanya, sehingga mengubah sikap pemuda yang berjiwa sufi ini
menjadi pemuda yang penuh semangat.Kekagumannya kepada Muhammad Abduhbertambah
mendalam sejak Abduh kembali ke Beirut untuk kedua kalinya pada 1885 dan
mengajar sambil mengarang. Pertemuan antar keduanya terjadi ketika Syaikh
Muhammad Abduh berkunjung ke Tripoli untuk menemui temannya, Syaikh Abdullah
al-Barakah, yang mengajar di sekolah al-Khanutiyah. Berkat inilah mereka berdua
bertemu untuk pertama kali.Pertemuan kedua terjadi pada tahun 1312 H/1894 M,
juga di Tripoli. Kali ini Rasyid Ridha menemani Abduh sepanjang hari, sehingga
banyak kesempatan bagi Rasyid Ridha untuk menanyakan sesuatu yang masih kabur
baginya.
Setelah lima tahun dari pertemuan kedua,
maka baru pada 23 Rajab 1315 H/18 Januari 1898 M terjadi pertemuan ketiga di
Kairo, Mesir. Sebulan setelah pertemuan ketiga ini, Rasyid Ridha mengemukakan
keinginannya untuk menerbitkan suatu surat kabar yang mengolah masalah-masalah
social, budaya dan agama.Pada mulanya Abduh tidak menyetujui gagasan ini,
karena pada saat itu di Mesir sudah cukup banyak media massa, apalagi persoalan
yang akan diolah kurang menarik perhatian umum. Namun Rasyid Ridha menyatakan
tekadnya, walaupun harus menanggung kerugian selama satu sampai dua tahun
setelah penerbitan itu. Akhirnya Abduh merestui dan memeilih nama al-Manar dari
sekian banyak nama yang diusulkan Rasyid Ridha.Akhirnya al-Manar melangsungkan
launching pertamanya pada 22 Syawwal 1315 H/17 Maret 1898 M berupa Mingguan
sebanyak delapan halaman dan mendapat sambutan hangat, bahkan bukan hanya di
Mesir atau Negara-negara Arab sekitarnya saja, tetapi sampai ke Eropa bahkan ke
Indonesia. Setelah suksesnya penerbitan majalah al-Manar, kemudian Rasyid Ridha
menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang
juga diberi nama al-Manar, kitab tafsir ini mengandung pembaruan dan sesuai
denga perkembangan zaman. Ia berusaha menghubungkan ajaran-ajaran al-Qur’an
dengan kehidupan masyarakat, disamping membuktikan bahwa Islam adalah agama
yang memiliki sifat universal, umum, abadi dan cocok bagi segala keadaan, waktu
dan tempat.
Dalam perjalanan pulang dari kota suez di
Mesir, setelah mengantar pangeran Sa’ud al-Faisal, mobil yang dikendarainya
mengalami kecelakaan dan ia menderita gegar otak. Selama dalam perjalanan,
Rasyid Ridha hanya membaca al-Qur’an, walau ia telah sekian kali muntah.
Setelah memperbaiki posisinya, tanpa disadari oleh orang-orang yang
menyertainya, tokoh ini wafat dengan wajah yang sangat cerah dan disertai
senyuman, pada 23 Jumadil ‘Ula 1354 H, bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M.
D.
Contoh-contoh Tafsir Adabiy wa Ijtima’iy.
Pemikiran Muhammad Abduh yang dimasukkan
dalam penafsiran atas al-Qur’an, yang dipublikasikan berdasarkan atas kitab
yang diturunkan (wahyukan).perbedaan dalam tujuan menafsirkan al-Qur’an itu
tampak ketika beliau menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan persepektif
sosiologi, yang dapat menjelaskan bahwa al-Qur’an al-Hakim itu merupakan sumber
kebahagiaan baik dalam konteks urusan agama dan urusan duniawi dalam setiap
masa. Ketika spirit inilah, Muhammad Abduh memiliki pandangan yang bertolak
belakang dengan para ahli tafsir klasik, bahwa nilai al-Qur’an it uterus
mengalami peningkatan disebabkan minimnya pengaruh konseptual dari aturan-atura
balaghah tentang sinonimitas kata dalam al-Qur’an.[7]
Hal itu sebagaimana dalam firman Allah yang berbunyi:
“Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang maha penyayang
serta pengasih kepada semua manusia”.
Maka yang harus digaris bawahi dari bentuk
penggunaan dua lafazh yang menunjukkan pada dua makna yang sangat berdekatan
ini adalah menggambarkan tartib (susunan) makna yang ditunjukkan kedua lafazh
tersebut, dengan menunjukkan lafzh yang datang setelahnya itu memiliki makna
yang lebih tinggi daripada makna lafazh sebelumnya. Para ahli Balaghah kemudian
menyebut kaidah ini dengan pola peningkatan dari makna yang lebih rendah ke
makna yang lebih tinggi (al-taraqi min al-adna ila al-a’la). Serta pertayaan
yang terkait dengan keyakinan: Apakah para nabi itu lebih mulia derajatnya
daripada derajat para malaikat? Maka golongan Mu’tazilah dan sebagian dari
golongan Asy’ari-al-Baqilani dan al-Hilimi menyatakan bahwa para malaikat itu
lebih utama derajatnya, sedangkan mazhab Asy’ari pada umumnya menyatakan bahwa
para nabi itulah yang memiliki derajat yang lebih utama daripada malaikat.
Telah terjadi perdebatan sengit seputar manakah yang lebih utama , ketika
menafsirkan ayat 172 surat an-Nisa’ yang berbunyi:
“Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi
hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat
kepada Allah, barang siapa yang enggan untuk menyembah-Nya dan menyombongkan
diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya”.
Pada ayat tersebut para malaikat disebut
setela nabi Isa menurut tartib ayat.
Jelaslah, bahwa (al-Baqarah; 142) tidak menganut
kaidah tersebut. Lafazh “ra’uf” (yang maha pengasih) itu menunjukkan pada makna
“kasih sayang yang sangat”, dan lafazh itu memiliki madlul (makna yang
ditunjukkan) lebih kuat dari lafazh “rahim” yang jatuh setelahnya. Dalam tafsir
al-Sya’bi karya al-Jalalain terdapat beberapa alasan (sebab) aat ini tidak
mengikuti kaidah balaghah, karena lafazh itu memiliki kandungan makna yag lebih
karena Berbicara tentang contoh-contoh corak tafsir adabiy-ijtima’iy,
maka penulis pertama-tama kembali kepada tafsir Muhammad Abduh dan muridnya –
Rashid Ridha dalam kitab tafsirnya al-Manar, mengingat kitab ini
disebut-sebut sebagai kitab pertama yang bercorak adabiy-ijtima’iy, dan
perlu dicatat bahwa pendapat Ridha itu sama dengan pendapat gurunya Muhammad
Abduh dalam banyak hal; kedua, penulis akan
mengambil contoh dari pendapat ulama lain yang dalam tafsirnya memiliki adanya
pemisah.
corak adabiy-ijtima’iy,
baik yang menggunakan metode tahliliy ataupun metode maudhu’iy.
a. Pendapat Rasyid Ridha,
tentang ayat tayammum; bagi beliau tayamum boleh dilakukan walaupun ada air,
namun dengan syarat seseorang itu adalah musafir. Kalau bukan musafir,
tidak bisa. Masih banyak lagi contoh lain.
b. Pendapat Ashghar Ali
Engineer tentang poligami; menurutnya, poligami itu bertentangan dengan nilai
keadilan untuk konteks sekarang, oleh karena itu poligami tidak diperkenankan
dalam Islam. Model pemahaman teksnya sebagai berikut:
§ Sosio-hisotis Poligami
Pra-Islam:Tidak dibatasi, tidak adil
§ Poligami Islam:
Maksimal 4 isteri dengan syarat Harus adil, kalau tidak adil Satu Isteri Saja
§ Keadilan dalam
Poligami: Sulit Tercapai
§ Monogami lebih sesuai
dengan: Keadilan, Poligami bertentangan dengan nilai, Keadilan untuk konteks,
Sekarang
c.
Pendapat M. Quraish Shihab, tentang:
(9) Islam dan Pembangunan.[8]
E.
Kesimpulan
Corak Adabi Ijtima’i adalah corak
penafsiran yang menekankan penjelasan tentang aspek-aspek yang terkait dengan
ketinggian gaya bahasa al-Qur’an (balaghah) yang menjadi dasar kemukjizatannya.
Atas dasar itu mufassir menerangkan makna-makna ayat-ayat al-Qur’an,
menampilkan sunnatullah yang tertuang di alam raya dan sistem-sistem sosial,
sehingga ia dapat memberikan jalan keluar bagi persoalan kaum muslimin secara
khusus, dan persoalan ummat manusia secara universal sesuai dengan petunjuk
yang diberikan oleh al-Qur’an. Karya-karya tafsir yang dapat dimasukkan dalam
kategori ini adalah Tafsir al-Manar karya Muhammad Rasyid Rida (w. 1935),
Tafsir al-Maraghi karya Mustafa al-Maraghi (w. 1945), dan Tafsir al-Qur’an
al-Karim karya Mahmud Syaltut
Daftar Pustaka:
Al Dzahabi,Muhamad Husain,Al Tafsir wa Al Mufassirun,Kairo:Dar alqahirah,1976
Al-Farmawi,Abdul hayy Metode Tafsir Mawdhu’iy; Suatu
pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994
Bisri Adib,Kamus AlBisri,Surabaya:Pustaka
Progresif,1999
Nashrudin Baidan, Metode Penafsiran
Alqur’an, Jogjakarta: Pustaka Pelajar Offset
Zufran Rahman, Studi Tentang Sejarah
perkembangan Tafsir Alquran al-Karim,Terj. Qishshat al-Tafsir, Jakarta; Kalam
Mulia,1999.
M. Quraish Shihab Dkk, Sejarah Dan Ulum Alquran, Jakarta: Pustaka firdaus, 1999.
Al Qaththan,Manna,Mabahis fi Ulum
AlQur’an,Jakarta:Pustaka kautsar,2004.
Al Shadiq,Ayatullah Muhammad Bagir, Madrasatil Qur’aniyah,Jakarta: Risalah,1999.
Al Shobuni,Muhammad Ali,Al Tibyan fi Al ulum AlQur’an,jakarta:Pustaka Amani,2001
M. Amin Abdullah, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika Hingga Ideologi,
Al Shadiq,Ayatullah Muhammad Bagir, Madrasatil Qur’aniyah,Jakarta: Risalah,1999.
Al Shobuni,Muhammad Ali,Al Tibyan fi Al ulum AlQur’an,jakarta:Pustaka Amani,2001
M. Amin Abdullah, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika Hingga Ideologi,
Bandung: Teraju, 2002.
[1] Al-Farmawi,Abdul hayy Metode Tafsir
Mawdhu’iy; Suatu pengantar, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1994 hal. 30
Grafindo Persada, 1994 hal. 30
Qishshat
al-Tafsir, Jakarta; Kalam Mulia,1999 hal. 56
[4] Mani’ Abdul Halim
Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli
Tafsir, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006 hal. 158
Tafsir, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006 hal. 158
[5] Syihab,M. Quraish ,
Rasionalitas Al-qur’an Studi Kritis Atas Tafsir Al-Manar, Jakarta:
Lentera Hati 2006 hal. 76
Lentera Hati 2006 hal. 76
Bandung: Teraju, 2002. hal. 132
No comments:
Post a Comment