Saturday, July 20, 2019

PENDEKATAN STUDY AL-QUR’AN, PERSEPEKTIF: NASR HAMID ABU ZAYD


BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Dalam pandangan klasik hermeneutik akan mengingatkan kita pada apa yang ditulis oleh Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau De Interpretatione. Yaitu kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan.[1]
Namun pokok persoalan Hermeneutika itu sesungguhnya terkait dengan masalah penafsiran sebuah teks. Ia adalah merupakan suatu teori pendekatan yang digunakan untuk memahami teks, sehingga dapat pula dikatakan sebagai seni dalam menafsirkan teks. Hermeneutika sesungguhnya memiliki peran yang cukup besar dalam berbagai bidang ilmu. Khususnya dalam memahami teks yang dalam prakteknya hermeneutika lebih sering dipakai sebagai metode dalam memahami kitab suci. Istilah hermeneutika dalam sejarah studi Islam belum nampak dalam tradisi tafsir al-Qur’an klasik, walaupun benih-benih hermeneutik sebenarnya sudah ada sejak masa sahabat. Istilah hermeneutika modern baru mulai menjadi populer beberapa dekade terakhir, hal ini didukung dengan berkembangnya
teknologi dan informasi serta meningkatnya semangat keilmuan terhadap al-Qur’an. Hal inilah yang kemudian melahirkan beberapa intelektual muslim kontemporer yang konsentrasi dalam hal kajian al-Qur’an. Di antaranya adalah Nasr Hamid Abu Zaid.
Menarik untuk disimak tentang bagaimana Nasr Hamid Abu Zaid memandang teks al-Qur’an, sebagaimanaAbu Zaid telah menjelaskan ide-ide dan gagasannya dalam berbagai karyanya, terutama dalam karya monumentalnya yaitu: Mafhum an-Nass: Dirasah fi Ulum al-Qur’an dan Naqdu al-Khitab ad-Dini. Konsep Nasr Hamid Abu Zaid ini membawa dampak pada metode penafsiran teks al-Quran, di mana ia telah mengkritisi metode tafsir terdahulu yang dianggap telah mapan, yang menurutnya justru sudah tidak relevan lagi dengan konteks kekinian.
Dalam memahami al-Qur’an, Nasr Hamid Abu Zaid menggulirkan diskursus baru dan tentunya sangat menarik untuk dikaji, Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji kembali tentang “ PENDEKATAN STUDY AL-QUR’AN, PERSEPEKTIF: NASR HAMID ABU ZAYD ”.
B.            Rumusan Masalah
1.             Bagaimana Paradigma Penafsiran Nasr Hamid Abu Zayd ?
2.             Bagaimana Metode Penafsiran Nasr Hamid?
3.             Bagaimana Penafsirat Ayat Perspektif Nasr Hamid Abu Zayd?
C.           Tujuan Masalah
1.           Untuk Mengetahui Paradigma Penafsiran Nasr Hamid Abu Zayd.
2.           Untuk Mengetahui Metode Penafsiran Nasr Hamid
3.           Untuk Mengetahui Penafsirat Ayat Perspektif Nasr Hamid Abu Zayd



BAB II
PEMBAHASAN
A.           Biografi Nasr Hamid Abu Zayd
Nasr Hamid Abu Zayd adalah seorang pemikir Muslim kontemporer asal  Mesir, yang bernama lengkap Nasr Hamid Rizk Abu Zaid. Sebagai seorang pemikir kontemporer sudah barang tentu ia mempunyai latar belakang hidup dan gaya pikir tersendiri, dan tentunya paradigma atau persepsi tersebut tidak lepas dari kultur lingkungan dan pendidikan serta karakter dari leluhur Nasr Hamid Abu Zayd yang telah membentuk corak pemikirannya.
1.             Sejarah Singkat, Karir Akademik dan Karya-karyanya
Nasr Hamid Abu Zayd dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1943 di Desa Qahafah dekat Kota Thontha ibukota Propinsi al-Gharbiyah Mesir[2] Orang tuanya memberikan nama Nasr dengan harapan agar ia selalu membawa kemenangan atas lawan-lawannya, mengingat kelahirannya bertepatan dengan Perang Dunia II.[3]
Religiositas dalam lingkungan keluarganya terbangun, karena bapaknya adalah seorang aktivis Al-Ikhwan al-Muslim dan pernah dipenjara menyusul dieksekusinya Sayyid Quthb. Sebagaimana kebiasaan di Mesir, anak-anak kecil sudah mulai belajar menulis kemudian menghafalkan Al-Qur’an. Begitu juga dengan Nasr Hamid, dia mulai belajar dan menulis semenjak umur empat tahun, kemudian menghafal Al-Qur’an di Kuttab di desanya Qahafah. Dia mampu menghafal Al-Qur’an pada usia delapan tahun, karena itulah, kawan-kawannya memanggil “Syaikh Nasr”.
Julukan tersebut pantas diberikan kepadanya, melihat minat dan keseriusan Nasr Hamid kecil, baik dalam menghafal Al-Qur’an, belajar membaca, menulis mengaji, dan mendalami ilmu-ilmu agama yang dapat dikatakan lebih unggul dibandingkan dengan anak-anak di lingkungannya.
Di luar pendidikan non formalnya (mengaji), dia juga menempuh pendidikan formal pada Madrasah Ibtida’iyyah (SD) dan menengahnya di Thantha kampung halamannya pada tahun 1951. Setamat dari sini, ia sebenarnya ingin melanjutkan pada sekolah menengah umum, al-Azhar.
Namun orang tuanya tidak menghendakinya, dan akhirnya ia memenuhi kehendak orang tuanya dengan melanjutkan pendidikannya di sekolah tekhnologi di Distrik Kafru Zayyad, Propinsi Gharbiyyah.[4]
Meski gagal masuk di al-Azhar, semangat Nasr Hamid untuk mempelajari pemikiran Islam tidak surut. Di sela-sela aktifitasnya bersekolah, ia menyempatkan untuk membaca buku-buku pemikiran Islam. Antara lain karya Al-Manfaluthy, Yusuf Al-Syiba’iy, Taufiq Al-Hakim, Al-‘Aqqad, Najib Mahfud dan Taha Husein. Bahkan dia sering mengadakan diskusi dengan pemikir Islam lainnya, semisal Jabir Ushfur, Sayyid Al-Hulwu, Mohammad Mansi Qindil, Farid Abu Sa’dah, M. Shaleh dan Said Kafrawi.[5]
Selain aktif di dunia pemikiran dan intelektual, Nasr Hamid juga aktif dalam dunia gerakan. Langkah bapaknya yang aktif di Al-Ikhwan al- Muslimun kemudian diikuti oleh Nasr Hamid. Di usianya yang masih belia pada umur sebelas tahun, ia bergabung dengan al-Ikhwan al- Muslimun yang dipimpin Sayyid Quthb pada tahun 1954. Bertepatan dengan semakin kuat dan menyebarnya gerakan al-Ikhwan yang hampir memiliki cabang di setiap desa.[6]
Dalam aktifitasnya mengikuti gerakan ini, dia pernah dijebloskan dalam penjara. Ia harus merasakan tahanan penjara selama satu hari disebabkan namanya tercantum dalam daftar anggota ketika pihak keamanan negara melakukan serangkaian penangkapan terhadap para aktifis Ikhwan. Tetapi karena usianya masih di bawah umur, akhirnya dia dibebaskan dari penjara.

Pada awalnya, dia tertarik dengan pemikiran Sayyid Qutbh dalam bukunya al-Islam wa al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah (Islam dan Keadilan Sosial). Khususnya yang menekankan pada aspek keadilan dalam menafsirkan Islam.
Tetapi, dalam pengembaraan intelektualnya, akhirnya ia pun berbalik arah dengan mengkritik pemikiran-pemikiran Sayyid Qutbh. Setelah kematian bapaknya, ketika ia berusia empat belas tahun (Oktober 1957), dia menjadi tumpuan harapan orang tuanya dan harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Pada tahun 1960, dia telah meraih gelar diploma teknik. Namun keinginannya untuk melanjutkan ke sekolah menengah umum pun tidak pernah surut hingga akhirnya lulus ujian akhir persamaan. Dan pada tahun 1961, dia mulai bekerja sebagai teknisi di dinas perhubungan.[7]
B.            Paradigma Penafsiran Nasr Hamid Abu Zayd
Menurut Nasr Hamid, makna dari sebuah teks tidak berubah, yang berubah adalah signifikansinya. Makna adalah apa yang direpresentasikan oleh teks dan tandatanda. Sedangkan signifikansi adalah apa yang menamai sebuah hubungan antara makna itu dan seseorang atau persepsi, situasi, atau sesuatu yang bisa dibayangkan.[8]
Nashr Hamid mengenalkan studi al-Qur’annya dengan proposisi hubungan antara teks (nas) dan interpretasi (takwil). Menurutnya, selama ini ulama selalu memisahkan antara teks dan takwil. Takwil dianggap sebagai suatu yang tabu dan dilarang. Ini mengakibatkan teks menjadi tertutup dan makna-makna yang terkandung menjadi tidak bisa dicapai.
Sehingga menurutnya, perlu untuk meninggalkan metode (yang menurutnya) tradisional, dengan meletakkan ‘konsep teks’ (mafhum al-nas) sebagai pusat pengkajian, sehingga penggunaan teori hermeneutika menjadi keniscayaan. Dengan demikian dapat meminimalisasikan subjektivitas dan kepentingan-kepentingan ideologis dalam interpretasi.[9]
Nasr Hamid mengatakan bahwa sebagai teks bahasa, al-Qur’an disebut sebagai teks sentral dalam sejarah Arab. Maksudnya adalah dasar-dasar ilmu dan budaya Arab dengan Islam tumbuh dan berdiri di atas landasan teks. Walaupun begitu, teks tidak akan membentuk sebuah peradaban jika teks berdiri sendiri. Akan tetapi, peradaban dan kebudayaan akan terbentuk jika adanya proses dialektika antara manusia realitas dan teks.[10]
Yang dimaksudkan oleh Nasr Hamid tentang Muntaj al-Tsaqafi itu adalah teks terbentuk dalam suatu realitas budaya dalam rentang waktu lebih dari dua puluh tahun.[11]
Terlepas dari perdebatan mengenai istilah “produk budaya” di atas, istilah ini pada intinya bahwa al-Qur’an itu berbahasa Arab dan bahasa itu sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial pada saat al-Qur’an diturunkan, dan bahasa itu merepresentasikan sistem tanda dalam struktur budaya secara umum. Karena itu, pembacaan Nasr Hamid tentang ulumul Qur’an, misalnya pembahasan tentang makki  madani, adalah sebuah pembahasan yang dimaksudkan untuk melihat periodesasi/fase yang dianggap berperan dalam membetuk teks. Hal ini berarti bahwa teks merupakan output dari interaksinya dengan realitas yang dinamis historis.[12]
Begitu pula pembahasan tentang Asbab al-Nuzul, Nasikh Mansukh, adalah suatu pembahasan di dalam ulumul Qur’an yang sangat bermuara pada dialektika antara teks danrealitas. Maka menurut Nasr Hamid perlu adanya suatu metodologi baru, yaitu membaca al-Qur’an dengan melihat aspek-aspek diluar dari teks al- Qur’an (sosio cultural) dan pendekatan kebahasaan/linguistic (al-Manhaj altahlil al-lugawi).[13]
Pada dasarnya, pemikiran Nasr Hamid ini tidaklah murni dari pemikirannya sendiri. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh gurunya yaitu Amin al- Khuli yang dikenal sebagai pemikir dan menjadi peletak pertama metode sastra/linguistik dalam kajian al-Qur’an.[14]
bagi al-Khuli metode tafsir sastra bertujuan untuk mengurangi atau membatasi sebyektifitas penafsir yang cenderung teologis dan ideologis. Inilah yang menjadi dasar Nasr Hamid dalam kajian al-Qur’an kemudian membuat sebuah pengembangan terhadap metode Al-Khuli tersebut dengan melihat makna dan signifikansi teks/ayat Al-Qur’an. Dalam modifikasi ini, Nasr Hamid merujuk kepada teori E. D.
Hirch tentang makna dan signifikansi. Makna menurut Nasr Hamid adalah makna yang direpresentasikan oleh teks dan signifikansi adalah apa yang muncul dalam hubungan antara makna dan pembaca.[15] Makna bersifat statis dan signifikansi sifatnya dinamis, sesuai dengan konteks yang mengitarinya. Makna digunakan untuk melihat makna historis/makna awal kosa kata al- Qur’an dan signifikansi digunakan untuk mengaitkan al-Qur’an dengan realitas kekinian, untuk menjadikan al-Qur’an sebagai solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang ada.[16]  Secara garis besar Paradigma Penafsiran Nasr Hamid Abu Zayd, dapat dipahami sebagai berikut:
1.              Al-Qur’an adalah Produk Budaya.
*  Artinya:
“Sesungguhnya teks (al-Qur’an), pada dasarnya dan kenyataannya merupakan produk budaya. Maksudnya, teks terbentuk dalam realitas dan budaya dalam rentang waktu lebih dari dua puluh tahun.[17]
2.             Al-Qur’an adalah Fenomena Sejarah.


Artinya:
“Jika firman Tuhan termasuk bagian dari perbuatan-Nya, sebagaimana uraian sebelumnya, maka sesungguhnya firman itu adalah fenomena sejarah. Sebab, semua perbuatan Tuhan adalah perbuatan yang telah teraktualisasi dalam dunia yang bersifat temporal, atau historis. Dengan demikian, al- Qur’an juga termasuk fenomena sejarah.”[18]
3.             Al-Qur’an adalah Teks Manusiawi dan Karangan Muhammad SAW.





Artinya:
“Teks al-Qur’ an semenjak momen pertama diturunkan –maksudnya bersamaan dengan bacaan Nabi pada saat di wahyukan, berubah dari sebagai teks (Ilahi nass )Ilahi: menjadi pemahaman teks manusiawi/ nass insani, sebab ia berubah dari yang diturunkan (tanzil) menjadi yang diinterpretasi (ta’wil ). Pemahaman Nabi terhadap Teks merupakan fase pertama gerak Teks di dalam interaksinya dengan nalar manusia.”[19]
Selain itu, Abu Zayd juga berpandangan bahwa Nabi Muhammad Saw. sebagai penerima wahyu pertama, bukanlah “penerima pasif”, tetapi beliau mengapresiasi atau mengolah wahyu tersebut, sesuai kondisinya sebagai manusia biasa yang dipengaruhi oleh kejiwaan, sosial, serta budaya setempat dan seketika itu. Singkat kata, Nabi Muhammad Saw. diposisikan oleh Abu Zayd sebagai semacam “pengarang” al-Qur’an.[20]
4.             Al-Qur’an adalah Teks Bahasa Arab Biasa Seperti Teks-teks Lainnya.


Artinya:
“Teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang bentuknya sama dengan teks-teks yang lain di dalam budaya.[21]
5.             Al-Quran Boleh Ditafsirkan Oleh Siapa Saja, Bahkan Kaum Ateis. Dengan menyamakan status al-Qur’an dengan teks-teks yang lain, maka Nasr Hamid menegaskan siapa saja bisa mengkaji al-Qur‟an, baik orang muslim, non muslim maupun kalangan ateis. Nasr Hamid menyatakan, “Saya mengkaji al-Qur‟an sebagai sebuah teks berbahasa Arab agar dapat dikaji, baik oleh kaum muslimin, Kristen maupun Ateis.”[22]
C.           Metode Penafsiran Nasr Hamid
Berangkat dari paradigma di atas, bahwa al-Qur’an adalah sebuah “teks kebahasaan dan realitas berperan dalam membetuk teks itu. Maka, Nasr Hamid mencoba merumuskan sebuah metodologi yaitu mengungkap makna asli (meaning/ma’na) al-Qur’an, yang kemudian akan melahirkan sebuah makna baru (significance/magzha). Sebagai landasan metodologi yang dibangun oleh Nasr hamid, ia membedakan antara konsep tafsir dan ta’wil.
Tafsir memiliki pengertian menyingkap sesuatu yang tersembunyi atau tidak diketahui yang bisa diketahui karena adanya media tafsirah. Sedangkan ta’wil adalah kembali ke asal usul sesuatu untuk mengungkapkan ma’na dan maghza. Ma’na merupakan dalalah yang dibangun berdasarkan gramatikal teks, sehingga makna yang dihasilkan adalah makna-makna gramatik.
Sedangkan maghza menunjukkan pada makna dalam konteks sosio historis. Dalam proses penafsiran kedua hal ini sangat berhubungan kuat satu sama lain, maghza selalu mengikuti ma’na begitupula sebaliknya.[23]
Penafsiran al-Qur’an sebagai teks bahasa tidak bisa digali hanya dengan menganalisis bahasa secara inheren. Bagaimanapun juga teks al- Qur’an turun bukan dalam masyarakat yang sama sekali tidak memiliki budaya. Paling tidak keberadaan asbab al-nuzul merupakan bukti bahwa teks al-Qur’an telah merespon terhadap kondisi masyarakat saat itu. Oleh sebab itu, bagi Nasr Hamid persoalan konteks budaya secara luas (asbab alnuzul makro) yang saat itu berkembang merupakan persoalan penting yang tidak bisa ditinggalkan.[24]
Dengan demikian, konteks pada saat al-Qur;an diturunkan adalah sebuah hal yang sangat urgen untuk dilihat oleh seorang penafsir. Hal ini untuk melihat hal yang substantif di dalam teks atau ideal moral menurut istilah Fazlur Rahman. Perbedaan konteks dan metode melahirkan pemahaman yang beragam seiring dengan perjalanan waktu.
Oleh karena itu, pemahaman generasi muslim pertama terhadap pesan teks tidak dianggap sebagai pemahaman yang final dan absolute. Bahasa al- Qur’an pada dasarnya sama dengan bahasa-bahasa lain. Bahasa selalu mengalami perkembangan secara dinamis yang mengalami proses secara terus menerus.
Hal ini berarti teks memilki makna yang berkembang menjadi signifikansi, atau dengan kata lain akan selalu terjadi produksi makna. Dinamika makna teks tersebut membuat kemungkinan-kemungkinan untuk menafsirkan teks itu secara terus menerus. Oleh karena itu, proses interpretasi tidak akan pernah beraksi dan reinterpretasi akan selalu terjadi disepanjang masa. Dalam membangun teori penafsirannya, Nasr Hamid memandang sangat penting persoalan al-siyaq (konteks) dalam memproduksi makna.
Menurutnya di dalam al-Qur’an terdapat beberapa level konteks, yaitu: konteks sosio cultural, konteks eksternal, konteks internal, konteks linguistic, dan konteks pembacaan atau penakwilan. Penggalian makna hanya dengan menggunakan atau memenuhi kelima konteks ini sudah cukup. Pandangan Nasr Hamid ini pada dasarnya sama dengan kerangka teori yang dibangun semiotika.[25]
Semiotika memandang fakta-fakta dan fenomena-fenomena masyarakat dan kebudayaan merupakan tanda-tanda yang bermakna, sedangkan bahasa termasuk bagian dari fakta itu. Oleh karena itu, apabila ingin menggali makna suatu teks bahasa tertentu, maka harus dianalisis berbagai macam konteks yang berhubungan dengan teks.
Sebagai langkah-langkah penafsirannya, akan dipaparkan sebagai berikut:
1.             Menganalisa struktur linguistic ayat-ayat al-Qur’an
2.             mencari fakta-fakta sejarah yang mengelilinginya (sabab al-Nuzul makro dan sabab al-Nuzul mikro).
3.             Menentukan tingkatan makna teks.[26]
4.             Menentukan makna asli teks (The original Meaning).
5.             Menentukan makna signifikansi (significance).
6.             Mengkontekstualisasikan makna historis dengan berpijak pada makna yang tidak terkatakan.[27]
D.           Penafsirat Ayat Perspektif Nasr Hamid Abu Zayd
Poligami adalah salah satu isu penting dalam pembaruan Islam dan gerakan feminisme, sebut saja Amina Wadud, Riffat Hassan, Nazaruddin Umar, Musdah Mulia di era kontemporer ini. berbagai macam bentuk metode dan teori yang digunakan oleh tokoh-tokoh tersebut dalam usaha untuk menafsirkan kembali ayat-ayat poligami dalam al-Qur’an.
Riffat Hassan misalnya menafsirkan ayat-ayat poligami tersebut dengan metode historis-kritis-kontekstual yang berakar pada metode holistic (maudhu’i). baginya menafsirkan ayat-ayat poligami dengan metode tahlili (analitis) seperti yang dilakukan oleh mufassir klasik, akan mempermudah seseorang untuk berpoligami asal dapat memenuhi syarat adil.
Akan tetapi, makalah ini tidak akan panjang lebar membahas tentang pandangan Riffat Hassan tersebut. Selanjutnya penulis memaparkan secara singkat tentang poligami dalam perspektif teori hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd. Sebagai landasan ayat poligami adalah sebagai berikut,  firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 3
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ  
Artinya:
dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. ( Q.s An-Nisa’: 3)

Nasr Hamid menginterpretasikan ayat di atas dengan tiga langkah, Pertama, konteks teks ayat. Kedua, meletakkan teks dalam konteks al-Qur’an secara keseluruhan. Ketiga, mengusulkan sebuah pembaharuan hukum Islam (contribution to knowledge). Dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.             melihat konteks ayat ketika turun, dan mengaitkan dengan tradisi-tradisi Arab pra Islam. Nasr Hamid berargumen bahwa sebelum datangnya Islam (pra Islam) poligami tidaklah dibatasi sampai empat, melainkan lebih dari itu. Kemudian ketika Islam datang dengan al- Qur’annya, izin seorang laki-laki untuk menikah dibatasi sampai empat kali.[28]
2.             meletakkan teks dalam konteks al-Qur’an secara keseluruhan. Pada langkah ini, Nasr Hamid mencoba untuk menemukan makna yang “tak terkatakan” dalam al-Qur’an. Pada konteks poligami ini, Nasr Hamid membandingkan dua ayat yang cenderung saling menjelaskan, ia membandingkan surat an-Nisa ayat 3 dan an-Nisa ayat 129, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, (QS. an-Nisa ayat 3)”, Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. an-Nisa ayat 129),

Nasr Hamid menganalisis kedua ayat tersebut dengan analisis linguistic. Di dalam ilmu linguistic Arab, dikenal dengan adanya istilah ‘adad syarth, fi’il syarth, dan jawab syarth, pada kata “Jika” di atas adalah merupakan suatu partikel kondisional (kalimat pengandaian) atau dalam istilah linguistic sebagai adad syarth. Dan kata adil pada ayat yang pertama adalah fi’il syarth, dan kata “seorang” adalah sebagai jawab syarth, kemudian ditegaskan oleh ayat sesudahnya (an-Nisa 129) bahwa adil adalah sesuatu yang mustahil bisa dilakukan oleh manusia, hal itu berdasar pada penggunaan kata lan yang berarti tidak akan pernah). Dari sini Nasr Hamid ingin mengungkapkan bahwa salah satu syarat seseorang boleh berpoligami adalah masalah keadilan, tapi untuk bisa berbuat adil, seseorang tidak akan mampu melakukannya, karenanya Nasr Hamid menyimpulkan bahwa “poligami dilarang”[29]
3.             ketiga adalah mengusulkan pembaharuan dalam hukum Islam. Dalam hukum Islam klasik poligami diklasifikasikan masuk dalam bab “hal-hal yang diperbolehkan”, istilah pembolehan menurut Nasr Hamid, tidaklah sesuai karena pembolehan terkait dengan hal yang tidak dibicarakan oleh teks, sementara pembolehan poligami dalam al-Qur’an pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari praktek poligami yang tak terbatas, pembatasan tidak berarti pembolehan.[30]


Kerangka berfikir: Penafsiran Nasr Hamid Abu Zayd






BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
1.             Paradigma Penafsiran Nasr Hamid Abu Zayd: (1) al-Qur‟an adalah produk budaya; (2) al- Qur’an adalah fenomena sejarah/ historis; (3) al-Qur’ an adalah teks manusiawi dan karangan Muhammad Shalallahu 'alaihi wa salam; (4) al-Qur’an adalah teks bahasa Arab biasa, seperti teks-teks lainnya; dan (5) al-Qur’an boleh ditafsirkan oleh siapa saja, bahkan kaum ateis.
2.             Metode Penafsiran Nasr Hamid (1) Menganalisa struktur linguistic ayat-ayat al-Qur’an dan mencari fakta-fakta (2) sejarah yang mengelilinginya (sabab al-Nuzul makro dan sabab al- Nuzul mikro). (3) Menentukan tingkatan makna teks. (4) Menentukan makna asli teks (The original Meaning). (5) Menentukan makna signifikansi (significance). (6) Mengkontekstualisasikan makna historis dengan berpijak pada makna yang tidak terkatakan.
3.             Penafsirat Ayat Perspektif Nasr Hamid Abu Zayd: Ayat tentang poligami, surat an-Nisa’ ayat 3:  Nasr Hamid berkesimpulan bahwa “poligami dilarang” dengan melihat  proses ketika masa pra Islam, masa al-Qur’an diturunkan dan konteks kekinian.


DAFTAR PUSTAKA
Abu Zayd Nasr Hamid, 2003 Al-Ittijah Al-Aqly fi Al-Tafsir; Dirosah fi Qadhiyyat Al-Majaz fi Al-Qur’an ‘Inda Mu’tazilah, Terj. Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan, Menalar Firman Tuhan; Wacana majas dalam Al-Qur’an menurut mu’tazilah, Bandung; Mizan
Abu Zayd Nasr Hamid, 1994 Isyka liyyat al-Qira’ah wa Aliyyat al-Ta’wil, Beirut: al- Markaz al-Tsaqafi
Abu Zayd Nasr Hamid, 1994 Mafhum al-Nasas: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi
Abu Zayd Nasr Hamid 2005 (Selanjutnya disebut Nasr Hamid), Mafhum al-Nas terj.Khoiron Nahdyyin Yogyakarta: LKIS,
Abu Zayd Nasr Hamid, 1990 Mahum an-Nass: Dirasah fi 'Ulum al-Qur'an, Kairo: al-Ha’iah al-Misriyyah al-'Ammah li al-Kitab
Abu Zayd Nasr Hamid, 1995 an-Nass wa al-Sultah wa al-Haqiqah: Iradah al-Ma‘rifah wa Iradah al-Haymanah, Beirut: al-Markaz as-Saqafi al-‘Arabi
Abu Zayd Nasr Hamid, 1994 Naqd al-Khitab an-Dini, Kairo: Sina li an-Nasyr
Abu Zayd Nasr Hamid, 2003 Kritik Wacana Agama, diterjemahkan oleh Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LKis
Sumaryono, 1999 Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat Yogyakarta: Kani-sius
Sucipto Hery 2003  Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakar Hingga Nasrdan Qardhawi,(Jakarta: Hikmah (Mizan Publika),
Khalil al-Qattan, ,2007 Manna’ Mabahits fi Ulum al-Qur’an terj. Mudzakkir (Jakarta: Litera Antar Nusa
Sunarwoto dkk, 2003 Hermenetika al-Qur’an Madzhab Yogya, Yogyakarta: Islamika,
Khoiron Nahdyiin dalam buku yang ditulis oleh Amin al-Khuli dalam bukunya 2004 Metode Tafsir Sastra Yogyakarta: Adab Press,
Wijaya Aksin, 2009 Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an; memburu pesan Tuhan dibalik fenomena Budaya Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Nur Ichwan Moch, 2003 Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika al-Qur’an, Jakarta, Teraju
Ali Imron dkk, 2010  Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: Elsaq Press
Nur Ichwan Moch. 2003 Meretas Kesarjanaan Kritis; Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd”, Jakarta: Teraju
Muammar Zayn Qadafy, 2014 Tesis; Epistemologi Sabab Nuzul Makro (Studi atas Metodologi Tafsir Kontekstualis Kontemporer), Yogyakarta: UIN SUKA




[1] Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kani-sius,1999), hlm. 24.
[2] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakar Hingga Nasrdan Qardhawi,(Jakarta: Hikmah (Mizan Publika), 2003), hlm. 348.
[3] Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Ittijah Al-Aqly fi Al-Tafsir; Dirosah fi Qadhiyyat Al-Majaz fi Al-Qur’an ‘Inda Mu’tazilah, Terj. Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan, Menalar Firman Tuhan; Wacana majas dalam Al-Qur’an menurut mu’tazilah,( Bandung; Mizan, 2003), hlm 10.
[4] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam .....,hlm 349
[5] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam....., hlm 349
[6] Nasr Hamid, Al-Ittijah Al-Aqly fi Al-Tafsir....., hlm 11.
[7] Nasr Hamid, Al-Ittijah Al-Aqly fi Al-Tafsir......, hlm. 10.
[8] Nasr Hamid Abu Zayd, Isyka liyyat al-Qira’ah wa Aliyyat al-Ta’wil, (Beirut: al- Markaz al-Tsaqafi, 1994), hlm  48.
[9] Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nasas: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1994), hlm 12-13.
[10] Nasr Hamid Abu Zayd (Selanjutnya disebut Nasr Hamid), Mafhum al-Nas terj.Khoiron Nahdyyin (Yogyakarta: LKIS, 2005), hlm. 1
[11] Nasr Hamid, Mafhum al-Nas...., hlm 19,
[12] Nasr Hamid, Mafhum al-Nas., hlm. 88, permasalahan Makki Madani , adalah salah satu tema pokok dalam pembahasan ulumul Quran, dan para ulama-ulama ulumul quran semisal Manna al-Qattan telah menyebutkan karakteristik ayat-ayat Makkiyah dan ayatayat Madaniyah. Dia menyebutkan bahwa salah satu ciri ayat-ayat Makkiyah adalah ya ayyuahannas dan ciri ayat Madaniyyah adalah ya  ayyuhallazi na amanu , lihat, Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an terj. Mudzakkir (Jakarta: Litera Antar Nusa,2007), hlm. 86
[13] Sunarwoto dkk, Hermenetika al-Qur’an Madzhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 107
[14] Lihat, Pengantar Khoiron Nahdyiin dalam buku yang ditulis oleh Amin al-Khuli dalam bukunya Metode Tafsir Sastra (Yogyakarta: Adab Press, 2004), hlm. V, lihat juga, Sunarwoto dkk, Hermenetika al-Qur’an Madzhab Yogya, hlm. 106
[15] Menurut Hirch yang dirujuk juga oleh Nasr Hamid bahwa bukanlah makna teks yang berubah, namun signifikansinya (yang berubah) bagi penulisnya. Pembedaan ini teramat sering diabaikan. Makna adalah makna yang direpresentasikan oleh sebuah teks; ia adalah apa yang dimaksud oleh penulis dengan penggunaannya atas sebuah sekuensi tanda particular; ia adalah apa yang dipresentasikan oleh tanda-tanda. Signifikansi, pada sisi lain, menamai sebuah hubungan antara makna itu dan seseorang, atau sebuah persepsi, situasi atau sesuatu yang dapat dibayangkan. Signifikansi selalu mengimplikasikan sebuah hubungan, dan satu kutub konstan yang tak berubah dari hubungan itulah apa yang dimaksud oleh teks. Kegagalan untuk mempertimbangkan pembedaan yang simple dan esensial ini telah menjadi sumber kekacauan yang luar biasa dalam teori hermeneutika. Lihat, Moch Nur Ichwan “Meretas Kesarjanaan Kritis., hlm. 89
[16] Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an; memburu pesan Tuhan dibalik fenomena Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 200
[17] Nasr Hamid Abu Zayd, Mahum an-Nass: Dirasah fi 'Ulum al-Qur'an, (Kairo: al-Ha’iah al-Misriyyah al-'Ammah li al-Kitab, 1990), hlm. 27.
[18] Nasr Hamid Abu Zayd, an-Nass wa al-Sultah wa al-Haqiqah: Iradah al-Ma‘rifah wa Iradah al-Haymanah, (Beirut: al-Markaz as-Saqafi al-‘Arabi, 1995), hlm 75.
[19] Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab an-Dini, (Kairo: Sina li an-Nasyr, 1994), hlm 126.
[20] Nasr Hamid Abu Zayd, Kritik Wacana Agama, diterjemahkan oleh Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LKis, 2003), hlm. 98.
[21] Nasr Hamid, Naqd al-Khitab …, hlm 206.
[22] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika al-Qur’an, (Jakarta, Teraju, 2003), hlm. 66-67.
[23]  Ali Imron dkk, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hlm. 116
[24] Ali Imron dkk, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis., hlm. 125
[25] Moch. Nur Ichwan Meretas Kesarjanaan Kritis; Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd”, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 90
[26] Menurut Nasr Hamid, ada tiga tingkatan makna yang perlu diperhatikan dalam teks-teks keagamaan (al-Qur’an), tingkatan yang pertama adalah makna yang menuju kepada fakta-fakta historis, yang tidak dapat diinterpretasikan secara metaforis. Tingkatan yang kedua adalah suatu makna yang dapat diinterpretasikan secara metaforis. Dan tingkatan yang ketiga makna yang bisa diperluas berdasarkan atas “signifikansi” yang dapat diungkap dari konteks sosio cultural di mana teks itu berada. Lihat, Moch. Nur Ichwan “Meretas Kesarjanaan Kritis; Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd”, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 90
[27]  Muammar Zayn Qadafy, Tesis; Epistemologi Sabab Nuzul Makro (Studi atas Metodologi Tafsir Kontekstualis Kontemporer), (Yogyakarta: UIN SUKA, 2014), hlm. 87
[28]  Moch. Nur Ichwan “Meretas Kesarjanaan Kritis., hlm. 139
[29] Moch. Nur Ichwan “Meretas Kesarjanaan Kritis., hlm. 140
[30] Moch. Nur Ichwan “Meretas Kesarjanaan Kritis., hlm. 142

No comments:

Post a Comment