BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam pandangan klasik hermeneutik akan
mengingatkan kita pada apa yang ditulis oleh Aristoteles dalam Peri
Hermeneias atau De Interpretatione. Yaitu kata-kata yang kita
ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita
tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan.[1]
Namun pokok persoalan Hermeneutika itu
sesungguhnya terkait dengan masalah penafsiran sebuah teks. Ia adalah merupakan
suatu teori pendekatan yang digunakan untuk memahami teks, sehingga dapat pula
dikatakan sebagai seni dalam menafsirkan teks. Hermeneutika sesungguhnya
memiliki peran yang cukup besar dalam berbagai bidang ilmu. Khususnya dalam
memahami teks yang dalam prakteknya hermeneutika lebih sering dipakai sebagai
metode dalam memahami kitab suci. Istilah hermeneutika dalam sejarah studi
Islam belum nampak dalam tradisi tafsir al-Qur’an klasik, walaupun benih-benih
hermeneutik sebenarnya sudah ada sejak masa sahabat. Istilah hermeneutika
modern baru mulai menjadi populer beberapa dekade terakhir, hal ini didukung
dengan berkembangnya
teknologi dan informasi serta meningkatnya
semangat keilmuan terhadap al-Qur’an. Hal inilah yang kemudian melahirkan
beberapa intelektual muslim kontemporer yang konsentrasi dalam hal kajian al-Qur’an.
Di antaranya adalah Nasr Hamid Abu Zaid.
Menarik untuk disimak tentang
bagaimana Nasr Hamid Abu Zaid memandang teks al-Qur’an, sebagaimanaAbu Zaid
telah menjelaskan ide-ide dan gagasannya dalam berbagai karyanya, terutama
dalam karya monumentalnya yaitu: Mafhum an-Nass: Dirasah fi Ulum
al-Qur’an dan Naqdu al-Khitab ad-Dini. Konsep Nasr Hamid Abu Zaid
ini membawa dampak pada metode penafsiran teks al-Quran, di mana ia telah
mengkritisi metode tafsir terdahulu yang dianggap telah mapan, yang menurutnya
justru sudah tidak relevan lagi dengan konteks kekinian.
Dalam memahami al-Qur’an, Nasr Hamid
Abu Zaid menggulirkan diskursus baru dan tentunya sangat menarik untuk dikaji,
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji kembali tentang “ PENDEKATAN
STUDY AL-QUR’AN, PERSEPEKTIF: NASR HAMID ABU ZAYD ”.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Paradigma Penafsiran Nasr Hamid Abu Zayd
?
2.
Bagaimana Metode Penafsiran Nasr Hamid?
3.
Bagaimana Penafsirat Ayat Perspektif Nasr Hamid Abu
Zayd?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk Mengetahui Paradigma Penafsiran Nasr Hamid
Abu Zayd.
2.
Untuk Mengetahui Metode Penafsiran Nasr Hamid
3.
Untuk Mengetahui Penafsirat Ayat Perspektif Nasr
Hamid Abu Zayd
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Nasr Hamid Abu
Zayd
Nasr Hamid Abu Zayd adalah
seorang pemikir Muslim kontemporer asal Mesir,
yang bernama lengkap Nasr Hamid Rizk Abu Zaid. Sebagai seorang pemikir
kontemporer sudah barang tentu ia mempunyai latar belakang hidup dan gaya pikir
tersendiri, dan tentunya paradigma atau persepsi tersebut tidak lepas dari
kultur lingkungan dan pendidikan serta karakter dari leluhur Nasr Hamid Abu
Zayd yang telah membentuk corak pemikirannya.
1.
Sejarah Singkat, Karir
Akademik dan Karya-karyanya
Nasr Hamid Abu Zayd
dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1943 di Desa Qahafah dekat Kota Thontha ibukota
Propinsi al-Gharbiyah Mesir[2] Orang
tuanya memberikan nama Nasr dengan harapan agar ia selalu membawa kemenangan
atas lawan-lawannya, mengingat kelahirannya bertepatan dengan Perang Dunia II.[3]
Religiositas dalam
lingkungan keluarganya terbangun, karena bapaknya adalah seorang aktivis
Al-Ikhwan al-Muslim dan pernah dipenjara menyusul dieksekusinya Sayyid Quthb.
Sebagaimana kebiasaan di Mesir, anak-anak kecil sudah mulai belajar menulis
kemudian menghafalkan Al-Qur’an. Begitu juga dengan Nasr Hamid, dia mulai belajar
dan menulis semenjak umur empat tahun, kemudian menghafal Al-Qur’an di Kuttab
di desanya Qahafah. Dia mampu menghafal Al-Qur’an pada usia delapan tahun,
karena itulah, kawan-kawannya memanggil “Syaikh Nasr”.
Julukan tersebut pantas
diberikan kepadanya, melihat minat dan keseriusan Nasr Hamid kecil, baik dalam
menghafal Al-Qur’an, belajar membaca, menulis mengaji, dan mendalami ilmu-ilmu
agama yang dapat dikatakan lebih unggul dibandingkan dengan anak-anak di lingkungannya.
Di luar pendidikan non
formalnya (mengaji), dia juga menempuh pendidikan formal pada Madrasah
Ibtida’iyyah (SD) dan menengahnya di Thantha kampung halamannya pada tahun
1951. Setamat dari sini, ia sebenarnya ingin melanjutkan pada sekolah menengah
umum, al-Azhar.
Namun orang tuanya tidak
menghendakinya, dan akhirnya ia memenuhi kehendak orang tuanya dengan
melanjutkan pendidikannya di sekolah tekhnologi di Distrik Kafru Zayyad,
Propinsi Gharbiyyah.[4]
Meski gagal masuk di
al-Azhar, semangat Nasr Hamid untuk mempelajari pemikiran Islam tidak surut. Di
sela-sela aktifitasnya bersekolah, ia menyempatkan untuk membaca buku-buku
pemikiran Islam. Antara lain karya Al-Manfaluthy, Yusuf Al-Syiba’iy, Taufiq
Al-Hakim, Al-‘Aqqad, Najib Mahfud dan Taha Husein. Bahkan dia sering mengadakan
diskusi dengan pemikir Islam lainnya, semisal Jabir Ushfur, Sayyid Al-Hulwu,
Mohammad Mansi Qindil, Farid Abu Sa’dah, M. Shaleh dan Said Kafrawi.[5]
Selain aktif di dunia
pemikiran dan intelektual, Nasr Hamid juga aktif dalam dunia gerakan. Langkah
bapaknya yang aktif di Al-Ikhwan al- Muslimun kemudian diikuti oleh Nasr Hamid.
Di usianya yang masih belia pada umur sebelas tahun, ia bergabung dengan
al-Ikhwan al- Muslimun yang dipimpin Sayyid Quthb pada tahun 1954. Bertepatan dengan
semakin kuat dan menyebarnya gerakan al-Ikhwan yang hampir memiliki cabang di
setiap desa.[6]
Dalam aktifitasnya
mengikuti gerakan ini, dia pernah dijebloskan dalam penjara. Ia harus merasakan
tahanan penjara selama satu hari disebabkan namanya tercantum dalam daftar
anggota ketika pihak keamanan negara melakukan serangkaian penangkapan terhadap
para aktifis Ikhwan. Tetapi karena usianya masih di bawah umur, akhirnya dia
dibebaskan dari penjara.
Pada awalnya, dia tertarik
dengan pemikiran Sayyid Qutbh dalam bukunya al-Islam wa al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah
(Islam dan Keadilan Sosial). Khususnya yang menekankan pada aspek keadilan
dalam menafsirkan Islam.
Tetapi, dalam pengembaraan
intelektualnya, akhirnya ia pun berbalik arah dengan mengkritik
pemikiran-pemikiran Sayyid Qutbh. Setelah kematian bapaknya, ketika ia berusia
empat belas tahun (Oktober 1957), dia menjadi tumpuan harapan orang tuanya dan
harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Pada tahun 1960, dia telah
meraih gelar diploma teknik. Namun keinginannya untuk melanjutkan ke sekolah
menengah umum pun tidak pernah surut hingga akhirnya lulus ujian akhir
persamaan. Dan pada tahun 1961, dia mulai bekerja sebagai teknisi di dinas
perhubungan.[7]
B.
Paradigma Penafsiran Nasr
Hamid Abu Zayd
Menurut Nasr Hamid, makna
dari sebuah teks tidak berubah, yang berubah adalah signifikansinya. Makna
adalah apa yang direpresentasikan oleh teks dan tandatanda. Sedangkan
signifikansi adalah apa yang menamai sebuah hubungan antara makna itu dan
seseorang atau persepsi, situasi, atau sesuatu yang bisa dibayangkan.[8]
Nashr Hamid mengenalkan studi
al-Qur’annya dengan proposisi hubungan antara teks (nas) dan interpretasi
(takwil). Menurutnya, selama ini ulama selalu memisahkan antara teks dan
takwil. Takwil dianggap sebagai suatu yang tabu dan dilarang. Ini mengakibatkan
teks menjadi tertutup dan makna-makna yang terkandung menjadi tidak bisa
dicapai.
Sehingga menurutnya, perlu
untuk meninggalkan metode (yang menurutnya) tradisional, dengan meletakkan
‘konsep teks’ (mafhum al-nas) sebagai pusat pengkajian, sehingga
penggunaan teori hermeneutika menjadi keniscayaan. Dengan demikian dapat meminimalisasikan
subjektivitas dan kepentingan-kepentingan ideologis dalam interpretasi.[9]
Nasr Hamid mengatakan
bahwa sebagai teks bahasa, al-Qur’an disebut sebagai teks sentral dalam sejarah
Arab. Maksudnya adalah dasar-dasar ilmu dan budaya Arab dengan Islam tumbuh dan
berdiri di atas landasan teks. Walaupun begitu, teks tidak akan membentuk
sebuah peradaban jika teks berdiri sendiri. Akan tetapi, peradaban dan
kebudayaan akan terbentuk jika adanya proses dialektika antara manusia realitas
dan teks.[10]
Yang dimaksudkan oleh Nasr
Hamid tentang Muntaj al-Tsaqafi itu adalah teks terbentuk dalam suatu
realitas budaya dalam rentang waktu lebih dari dua puluh tahun.[11]
Terlepas dari perdebatan
mengenai istilah “produk budaya” di atas, istilah ini pada intinya bahwa
al-Qur’an itu berbahasa Arab dan bahasa itu sangat dipengaruhi oleh kondisi
sosial pada saat al-Qur’an diturunkan, dan bahasa itu merepresentasikan sistem
tanda dalam struktur budaya secara umum. Karena itu, pembacaan Nasr Hamid
tentang ulumul Qur’an, misalnya pembahasan tentang makki madani, adalah sebuah pembahasan yang
dimaksudkan untuk melihat periodesasi/fase yang dianggap berperan dalam
membetuk teks. Hal ini berarti bahwa teks merupakan output dari interaksinya
dengan realitas yang dinamis historis.[12]
Begitu pula pembahasan tentang
Asbab al-Nuzul, Nasikh Mansukh, adalah suatu pembahasan di dalam ulumul
Qur’an yang sangat bermuara pada dialektika antara teks danrealitas. Maka menurut
Nasr Hamid perlu adanya suatu metodologi baru, yaitu membaca al-Qur’an dengan
melihat aspek-aspek diluar dari teks al- Qur’an (sosio cultural) dan pendekatan
kebahasaan/linguistic (al-Manhaj altahlil al-lugawi).[13]
Pada dasarnya, pemikiran
Nasr Hamid ini tidaklah murni dari pemikirannya sendiri. Pemikirannya banyak
dipengaruhi oleh gurunya yaitu Amin al- Khuli yang dikenal sebagai pemikir dan
menjadi peletak pertama metode sastra/linguistik dalam kajian al-Qur’an.[14]
bagi al-Khuli metode
tafsir sastra bertujuan untuk mengurangi atau membatasi sebyektifitas penafsir
yang cenderung teologis dan ideologis. Inilah yang menjadi dasar Nasr Hamid
dalam kajian al-Qur’an kemudian membuat sebuah pengembangan terhadap metode Al-Khuli
tersebut dengan melihat makna dan signifikansi teks/ayat Al-Qur’an. Dalam
modifikasi ini, Nasr Hamid merujuk kepada teori E. D.
Hirch tentang makna dan
signifikansi. Makna menurut Nasr Hamid adalah makna yang direpresentasikan oleh
teks dan signifikansi adalah apa yang muncul dalam hubungan antara makna dan
pembaca.[15] Makna bersifat statis dan
signifikansi sifatnya dinamis, sesuai dengan konteks yang mengitarinya. Makna
digunakan untuk melihat makna historis/makna awal kosa kata al- Qur’an dan
signifikansi digunakan untuk mengaitkan al-Qur’an dengan realitas kekinian,
untuk menjadikan al-Qur’an sebagai solusi terhadap permasalahan-permasalahan
yang ada.[16] Secara garis besar Paradigma Penafsiran Nasr
Hamid Abu Zayd, dapat dipahami sebagai berikut:
1.
Al-Qur’an adalah Produk Budaya.
Artinya:
“Sesungguhnya teks (al-Qur’an), pada dasarnya dan kenyataannya merupakan
produk budaya. Maksudnya, teks terbentuk dalam realitas dan budaya dalam
rentang waktu lebih dari dua puluh tahun.[17]”
2.
Al-Qur’an adalah Fenomena
Sejarah.
Artinya:
“Jika firman Tuhan termasuk bagian dari perbuatan-Nya, sebagaimana uraian
sebelumnya, maka sesungguhnya firman itu adalah fenomena sejarah. Sebab, semua
perbuatan Tuhan adalah perbuatan yang telah teraktualisasi dalam dunia yang
bersifat temporal, atau historis. Dengan demikian, al- Qur’an juga termasuk
fenomena sejarah.”[18]
3.
Al-Qur’an adalah Teks
Manusiawi dan Karangan Muhammad SAW.
Artinya:
“Teks al-Qur’ an semenjak momen pertama diturunkan –maksudnya bersamaan
dengan bacaan Nabi pada saat di wahyukan, berubah dari sebagai teks (Ilahi nass
)Ilahi: menjadi pemahaman teks manusiawi/ nass insani, sebab ia berubah dari
yang diturunkan (tanzil) menjadi yang diinterpretasi (ta’wil ). Pemahaman Nabi
terhadap Teks merupakan fase pertama gerak Teks di dalam interaksinya dengan
nalar manusia.”[19]
Selain itu, Abu Zayd juga berpandangan bahwa Nabi Muhammad Saw. sebagai
penerima wahyu pertama, bukanlah “penerima pasif”, tetapi beliau mengapresiasi
atau mengolah wahyu tersebut, sesuai kondisinya sebagai manusia biasa yang
dipengaruhi oleh kejiwaan, sosial, serta budaya setempat dan seketika itu.
Singkat kata, Nabi Muhammad Saw. diposisikan oleh Abu Zayd sebagai semacam
“pengarang” al-Qur’an.[20]
4.
Al-Qur’an adalah Teks
Bahasa Arab Biasa Seperti Teks-teks Lainnya.
Artinya:
“Teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang bentuknya sama dengan
teks-teks yang lain di dalam budaya.[21]”
5.
Al-Quran Boleh Ditafsirkan
Oleh Siapa Saja, Bahkan Kaum Ateis. Dengan menyamakan status al-Qur’an dengan teks-teks
yang lain, maka Nasr Hamid menegaskan siapa saja bisa mengkaji al-Qur‟an, baik
orang muslim, non muslim maupun kalangan ateis. Nasr Hamid menyatakan, “Saya mengkaji
al-Qur‟an sebagai sebuah teks berbahasa Arab agar dapat dikaji, baik oleh kaum
muslimin, Kristen maupun Ateis.”[22]
C.
Metode Penafsiran Nasr
Hamid
Berangkat dari paradigma
di atas, bahwa al-Qur’an adalah sebuah “teks kebahasaan dan realitas berperan
dalam membetuk teks itu. Maka, Nasr Hamid mencoba merumuskan sebuah metodologi
yaitu mengungkap makna asli (meaning/ma’na) al-Qur’an, yang kemudian
akan melahirkan sebuah makna baru (significance/magzha). Sebagai
landasan metodologi yang dibangun oleh Nasr hamid, ia membedakan antara konsep tafsir
dan ta’wil.
Tafsir memiliki pengertian
menyingkap sesuatu yang tersembunyi atau tidak diketahui yang bisa diketahui
karena adanya media tafsirah. Sedangkan ta’wil adalah kembali ke
asal usul sesuatu untuk mengungkapkan ma’na dan maghza. Ma’na merupakan
dalalah yang dibangun berdasarkan gramatikal teks, sehingga makna yang
dihasilkan adalah makna-makna gramatik.
Sedangkan maghza menunjukkan
pada makna dalam konteks sosio historis. Dalam proses penafsiran kedua hal ini
sangat berhubungan kuat satu sama lain, maghza selalu mengikuti ma’na
begitupula sebaliknya.[23]
Penafsiran al-Qur’an
sebagai teks bahasa tidak bisa digali hanya dengan menganalisis bahasa secara
inheren. Bagaimanapun juga teks al- Qur’an turun bukan dalam masyarakat yang
sama sekali tidak memiliki budaya. Paling tidak keberadaan asbab al-nuzul merupakan
bukti bahwa teks al-Qur’an telah merespon terhadap kondisi masyarakat saat itu.
Oleh sebab itu, bagi Nasr Hamid persoalan konteks budaya secara luas (asbab
alnuzul makro) yang saat itu berkembang merupakan persoalan penting yang tidak
bisa ditinggalkan.[24]
Dengan demikian, konteks
pada saat al-Qur;an diturunkan adalah sebuah hal yang sangat urgen untuk
dilihat oleh seorang penafsir. Hal ini untuk melihat hal yang substantif di
dalam teks atau ideal moral menurut istilah Fazlur Rahman.
Perbedaan konteks dan metode melahirkan pemahaman yang beragam seiring dengan
perjalanan waktu.
Oleh karena itu, pemahaman
generasi muslim pertama terhadap pesan teks tidak dianggap sebagai pemahaman
yang final dan absolute. Bahasa al- Qur’an pada dasarnya sama dengan
bahasa-bahasa lain. Bahasa selalu mengalami perkembangan secara dinamis yang
mengalami proses secara terus menerus.
Hal ini berarti teks
memilki makna yang berkembang menjadi signifikansi, atau dengan kata lain akan
selalu terjadi produksi makna. Dinamika makna teks tersebut membuat
kemungkinan-kemungkinan untuk menafsirkan teks itu secara terus menerus. Oleh
karena itu, proses interpretasi tidak akan pernah beraksi dan reinterpretasi
akan selalu terjadi disepanjang masa. Dalam membangun teori penafsirannya, Nasr
Hamid memandang sangat penting persoalan al-siyaq (konteks) dalam
memproduksi makna.
Menurutnya di dalam
al-Qur’an terdapat beberapa level konteks, yaitu: konteks sosio cultural,
konteks eksternal, konteks internal, konteks linguistic, dan konteks pembacaan
atau penakwilan. Penggalian makna hanya dengan menggunakan atau memenuhi kelima
konteks ini sudah cukup. Pandangan Nasr Hamid ini pada dasarnya sama dengan
kerangka teori yang dibangun semiotika.[25]
Semiotika memandang
fakta-fakta dan fenomena-fenomena masyarakat dan kebudayaan merupakan
tanda-tanda yang bermakna, sedangkan bahasa termasuk bagian dari fakta itu.
Oleh karena itu, apabila ingin menggali makna suatu teks bahasa tertentu, maka
harus dianalisis berbagai macam konteks yang berhubungan dengan teks.
Sebagai langkah-langkah
penafsirannya, akan dipaparkan sebagai berikut:
1.
Menganalisa struktur linguistic
ayat-ayat al-Qur’an
2.
mencari fakta-fakta sejarah
yang mengelilinginya (sabab al-Nuzul makro dan sabab al-Nuzul mikro).
3.
Menentukan tingkatan makna
teks.[26]
4.
Menentukan makna asli teks
(The original Meaning).
5.
Menentukan makna
signifikansi (significance).
D.
Penafsirat Ayat Perspektif
Nasr Hamid Abu Zayd
Poligami adalah salah satu
isu penting dalam pembaruan Islam dan gerakan feminisme, sebut saja Amina
Wadud, Riffat Hassan, Nazaruddin Umar, Musdah Mulia di era kontemporer ini.
berbagai macam bentuk metode dan teori yang digunakan oleh tokoh-tokoh tersebut
dalam usaha untuk menafsirkan kembali ayat-ayat poligami dalam al-Qur’an.
Riffat Hassan misalnya
menafsirkan ayat-ayat poligami tersebut dengan metode historis-kritis-kontekstual
yang berakar pada metode holistic (maudhu’i). baginya menafsirkan ayat-ayat
poligami dengan metode tahlili (analitis) seperti yang dilakukan oleh
mufassir klasik, akan mempermudah seseorang untuk berpoligami asal dapat
memenuhi syarat adil.
Akan tetapi, makalah ini
tidak akan panjang lebar membahas tentang pandangan Riffat Hassan tersebut.
Selanjutnya penulis memaparkan secara singkat tentang poligami dalam perspektif
teori hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd. Sebagai landasan ayat poligami adalah
sebagai berikut, firman Allah SWT dalam
surat an-Nisa’ ayat 3
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur (
÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4
y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya:
dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
( Q.s An-Nisa’: 3)
Nasr Hamid
menginterpretasikan ayat di atas dengan tiga langkah, Pertama, konteks teks
ayat. Kedua, meletakkan teks dalam konteks al-Qur’an secara keseluruhan.
Ketiga, mengusulkan sebuah pembaharuan hukum Islam (contribution to
knowledge). Dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
melihat konteks ayat ketika turun, dan mengaitkan
dengan tradisi-tradisi Arab pra Islam. Nasr Hamid berargumen bahwa sebelum datangnya
Islam (pra Islam) poligami tidaklah dibatasi sampai empat, melainkan lebih dari
itu. Kemudian ketika Islam datang dengan al- Qur’annya, izin seorang laki-laki
untuk menikah dibatasi sampai empat kali.[28]
2.
meletakkan teks dalam konteks al-Qur’an secara keseluruhan.
Pada langkah ini, Nasr Hamid mencoba untuk menemukan makna yang “tak
terkatakan” dalam al-Qur’an. Pada konteks poligami ini, Nasr Hamid
membandingkan dua ayat yang cenderung saling menjelaskan, ia membandingkan
surat an-Nisa ayat 3 dan an-Nisa ayat 129, “Dan jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi
: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, (QS.
an-Nisa ayat 3)”, Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. an-Nisa ayat 129),
Nasr Hamid menganalisis kedua ayat tersebut dengan analisis linguistic. Di
dalam ilmu linguistic Arab, dikenal dengan adanya istilah ‘adad syarth,
fi’il syarth, dan jawab syarth, pada kata “Jika” di atas adalah
merupakan suatu partikel kondisional (kalimat pengandaian) atau dalam istilah
linguistic sebagai adad syarth. Dan kata adil pada ayat yang
pertama adalah fi’il syarth, dan kata “seorang” adalah sebagai jawab
syarth, kemudian ditegaskan oleh ayat sesudahnya (an-Nisa 129) bahwa adil
adalah sesuatu yang mustahil bisa dilakukan oleh manusia, hal itu berdasar pada
penggunaan kata lan yang berarti tidak akan pernah). Dari sini Nasr
Hamid ingin mengungkapkan bahwa salah satu syarat seseorang boleh berpoligami
adalah masalah keadilan, tapi untuk bisa berbuat adil, seseorang tidak akan
mampu melakukannya, karenanya Nasr Hamid menyimpulkan bahwa “poligami dilarang”[29]
3.
ketiga adalah mengusulkan pembaharuan dalam hukum
Islam. Dalam hukum Islam klasik poligami diklasifikasikan masuk dalam bab
“hal-hal yang diperbolehkan”, istilah pembolehan menurut Nasr Hamid, tidaklah
sesuai karena pembolehan terkait dengan hal yang tidak dibicarakan oleh teks,
sementara pembolehan poligami dalam al-Qur’an pada hakikatnya adalah sebuah
pembatasan dari praktek poligami yang tak terbatas, pembatasan tidak berarti
pembolehan.[30]
Kerangka berfikir: Penafsiran Nasr Hamid Abu
Zayd
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Paradigma Penafsiran Nasr
Hamid Abu Zayd: (1) al-Qur‟an adalah
produk budaya; (2) al- Qur’an adalah fenomena
sejarah/ historis; (3) al-Qur’ an adalah teks manusiawi dan karangan Muhammad Shalallahu 'alaihi wa salam; (4)
al-Qur’an adalah teks bahasa Arab biasa,
seperti teks-teks lainnya; dan (5) al-Qur’an boleh ditafsirkan oleh siapa saja, bahkan kaum ateis.
2.
Metode Penafsiran Nasr
Hamid (1) Menganalisa struktur linguistic ayat-ayat al-Qur’an
dan mencari fakta-fakta (2) sejarah yang mengelilinginya (sabab al-Nuzul makro
dan sabab al- Nuzul mikro). (3)
Menentukan
tingkatan makna teks. (4) Menentukan makna asli teks (The original Meaning). (5)
Menentukan
makna signifikansi (significance). (6) Mengkontekstualisasikan
makna historis dengan berpijak pada makna yang
tidak terkatakan.
3.
Penafsirat Ayat Perspektif Nasr Hamid Abu Zayd: Ayat
tentang poligami, surat an-Nisa’ ayat 3: Nasr Hamid berkesimpulan bahwa “poligami dilarang”
dengan melihat proses ketika masa pra
Islam, masa al-Qur’an diturunkan dan konteks kekinian.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zayd Nasr Hamid, 2003 Al-Ittijah Al-Aqly fi Al-Tafsir; Dirosah
fi Qadhiyyat Al-Majaz fi Al-Qur’an ‘Inda Mu’tazilah, Terj. Abdurrahman Kasdi
dan Hamka Hasan, Menalar Firman Tuhan; Wacana majas dalam Al-Qur’an menurut
mu’tazilah, Bandung; Mizan
Abu Zayd Nasr Hamid, 1994 Isyka liyyat al-Qira’ah wa Aliyyat al-Ta’wil,
Beirut: al- Markaz al-Tsaqafi
Abu Zayd Nasr Hamid, 1994 Mafhum al-Nasas: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: Markaz
al-Tsaqafi al-‘Arabi
Abu Zayd Nasr Hamid 2005 (Selanjutnya disebut Nasr Hamid), Mafhum al-Nas
terj.Khoiron Nahdyyin Yogyakarta: LKIS,
Abu Zayd Nasr Hamid, 1990 Mahum an-Nass: Dirasah fi 'Ulum al-Qur'an,
Kairo: al-Ha’iah al-Misriyyah al-'Ammah li al-Kitab
Abu Zayd Nasr Hamid, 1995 an-Nass wa al-Sultah wa al-Haqiqah: Iradah
al-Ma‘rifah wa Iradah al-Haymanah, Beirut: al-Markaz as-Saqafi al-‘Arabi
Abu Zayd Nasr Hamid, 1994 Naqd al-Khitab an-Dini, Kairo: Sina li
an-Nasyr
Abu Zayd Nasr Hamid, 2003 Kritik Wacana Agama, diterjemahkan oleh
Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LKis
Sumaryono, 1999 Hermeneutik
Sebuah Metode Filsafat Yogyakarta: Kani-sius
Sucipto Hery 2003 Ensiklopedi
Tokoh Islam dari Abu Bakar Hingga Nasrdan Qardhawi,(Jakarta: Hikmah (Mizan
Publika),
Khalil al-Qattan, ,2007 Manna’ Mabahits fi Ulum al-Qur’an terj.
Mudzakkir (Jakarta: Litera Antar Nusa
Sunarwoto dkk, 2003 Hermenetika al-Qur’an Madzhab Yogya, Yogyakarta:
Islamika,
Khoiron Nahdyiin dalam buku yang ditulis oleh Amin al-Khuli dalam bukunya
2004 Metode Tafsir Sastra Yogyakarta: Adab Press,
Wijaya Aksin, 2009 Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an; memburu pesan Tuhan
dibalik fenomena Budaya Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Nur Ichwan Moch, 2003 Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori
Hermeneutika al-Qur’an, Jakarta, Teraju
Ali Imron dkk, 2010 Hermeneutika
al-Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: Elsaq Press
Nur Ichwan Moch. 2003 Meretas Kesarjanaan Kritis; Teori Hermeneutika
Nasr Abu Zayd”, Jakarta: Teraju
Muammar Zayn Qadafy, 2014 Tesis; Epistemologi Sabab Nuzul Makro (Studi
atas Metodologi Tafsir Kontekstualis Kontemporer), Yogyakarta: UIN SUKA
[1] Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode
Filsafat (Yogyakarta: Kani-sius,1999), hlm. 24.
[2] Hery Sucipto, Ensiklopedi
Tokoh Islam dari Abu Bakar Hingga Nasrdan Qardhawi,(Jakarta:
Hikmah (Mizan Publika), 2003), hlm. 348.
[3] Nasr
Hamid Abu Zayd, Al-Ittijah Al-Aqly fi Al-Tafsir; Dirosah fi Qadhiyyat
Al-Majaz fi Al-Qur’an ‘Inda Mu’tazilah, Terj. Abdurrahman Kasdi dan Hamka
Hasan, Menalar Firman Tuhan; Wacana majas dalam Al-Qur’an menurut mu’tazilah,( Bandung;
Mizan, 2003), hlm 10.
[8] Nasr Hamid Abu Zayd, Isyka
liyyat al-Qira’ah wa Aliyyat al-Ta’wil, (Beirut: al- Markaz al-Tsaqafi,
1994), hlm 48.
[9] Nasr
Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nasas: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut:
Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1994), hlm 12-13.
[10] Nasr Hamid Abu Zayd (Selanjutnya
disebut Nasr Hamid), Mafhum al-Nas terj.Khoiron Nahdyyin (Yogyakarta:
LKIS, 2005), hlm. 1
[12] Nasr
Hamid, Mafhum al-Nas., hlm. 88, permasalahan Makki Madani ,
adalah salah satu tema pokok dalam pembahasan ulumul Quran, dan para
ulama-ulama ulumul quran semisal Manna al-Qattan telah menyebutkan
karakteristik ayat-ayat Makkiyah dan ayatayat Madaniyah. Dia menyebutkan bahwa
salah satu ciri ayat-ayat Makkiyah adalah ya ayyuahannas dan ciri
ayat Madaniyyah adalah ya ayyuhallazi
na amanu , lihat, Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an terj.
Mudzakkir (Jakarta: Litera Antar Nusa,2007), hlm. 86
[14] Lihat, Pengantar Khoiron Nahdyiin
dalam buku yang ditulis oleh Amin al-Khuli dalam bukunya Metode Tafsir
Sastra (Yogyakarta: Adab Press, 2004), hlm. V, lihat juga, Sunarwoto dkk, Hermenetika
al-Qur’an Madzhab Yogya, hlm. 106
[15] Menurut
Hirch yang dirujuk juga oleh Nasr Hamid bahwa bukanlah makna teks yang berubah,
namun signifikansinya (yang berubah) bagi penulisnya. Pembedaan ini teramat
sering diabaikan. Makna adalah makna yang direpresentasikan oleh sebuah teks;
ia adalah apa yang dimaksud oleh penulis dengan penggunaannya atas sebuah
sekuensi tanda particular; ia adalah apa yang dipresentasikan oleh tanda-tanda.
Signifikansi, pada sisi lain, menamai sebuah hubungan antara makna itu dan
seseorang, atau sebuah persepsi, situasi atau sesuatu yang dapat dibayangkan. Signifikansi
selalu mengimplikasikan sebuah hubungan, dan satu kutub konstan yang tak berubah
dari hubungan itulah apa yang dimaksud oleh teks. Kegagalan untuk mempertimbangkan
pembedaan yang simple dan esensial ini telah menjadi sumber kekacauan yang luar
biasa dalam teori hermeneutika. Lihat, Moch Nur Ichwan “Meretas Kesarjanaan
Kritis., hlm. 89
[16] Aksin
Wijaya, Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an; memburu pesan Tuhan dibalik fenomena
Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 200
[17] Nasr Hamid Abu Zayd, Mahum
an-Nass: Dirasah fi 'Ulum al-Qur'an, (Kairo: al-Ha’iah al-Misriyyah
al-'Ammah li al-Kitab, 1990), hlm. 27.
[18] Nasr
Hamid Abu Zayd, an-Nass wa al-Sultah wa al-Haqiqah: Iradah al-Ma‘rifah wa
Iradah al-Haymanah, (Beirut: al-Markaz as-Saqafi al-‘Arabi, 1995), hlm 75.
[20] Nasr
Hamid Abu Zayd, Kritik Wacana Agama, diterjemahkan oleh Khoiron Nahdliyyin,
(Yogyakarta: LKis, 2003), hlm. 98.
[22] Moch. Nur Ichwan, Meretas
Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika al-Qur’an, (Jakarta,
Teraju, 2003), hlm. 66-67.
[25] Moch. Nur Ichwan Meretas
Kesarjanaan Kritis; Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd”, (Jakarta: Teraju,
2003), hlm. 90
[26] Menurut
Nasr Hamid, ada tiga tingkatan makna yang perlu diperhatikan dalam teks-teks
keagamaan (al-Qur’an), tingkatan yang pertama adalah makna yang menuju kepada
fakta-fakta historis, yang tidak dapat diinterpretasikan secara metaforis.
Tingkatan yang kedua adalah suatu makna yang dapat diinterpretasikan secara
metaforis. Dan tingkatan yang ketiga makna yang bisa diperluas berdasarkan atas
“signifikansi” yang dapat diungkap dari konteks sosio cultural di mana teks itu
berada. Lihat, Moch. Nur Ichwan “Meretas Kesarjanaan Kritis; Teori
Hermeneutika Nasr Abu Zayd”, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 90
[27] Muammar
Zayn Qadafy, Tesis; Epistemologi Sabab Nuzul Makro (Studi atas Metodologi
Tafsir Kontekstualis Kontemporer), (Yogyakarta: UIN SUKA, 2014), hlm. 87
No comments:
Post a Comment