BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Filsafat,
dan ekonomi di jerman pada teori politik dan ekonomi di jerman pada abad 19
sangat berbeda dengan filsafat, teori politik dan ekonomi di inggris. Posisi dominan ekonomi politik klasik dan
utilitarianisme di inggris tidak di produksi di Jerman. Di Jerman, pemikiran
ekonomi politik klasik dan utilitarianisme justru dihambat oleh pengaruh
idealisme.
Di
inggris, system of logic yaitu: bisa menyatukan
ilmu-ilmu sosial
dan ilmu alam dalam kerangka yang cocok dalam tradisi di negeri itu. Mill
adalah pengikut ajaran Auguste Comte yang paling terkenal di Inggris.
Sementara, positivisme Comte tidak pernah bisa menemukan lahan yang subur di
Jerman. Penerimaan simpatik namun kritis oleh
Dilthey atas ‘ sains moral’ versi Mill justru memberi dorongan tambahan
terhadap apa yang kemudian dikenal sebagai Geisteswissenscaften (yang aslinya
dianggap persis sebagai terjemahan dari ‘sains moral’.[1]
Tradisi
Geisteswissenscaften, atau tradisi ‘hermeniotik’ ini bisa di runut kebelakang sebelum era
Dilthey. Sejak pertengahan abad 18 dan seterusnya, tradisi itu di campur dengan
aliran yang lebih luas dari filsafat idealistic. Tapi tidak semuanya
karena sebagian justru dipisahkan dari
filsafat idealistic. Mereka yang berpegang teguh pada ttik pandang ilmu alam
dari studi tentang manusian. Meski kita
bisa ‘menjelaskan’ kejadian alami lewat aplikasi hukum sebab-akibat, perilaku
manusia secara intrinsic sangat penuh makna sehingga harus ‘diinterpretasi’
atau ‘dipahami’ dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak ada bandingannya di
alam.[2]
Penekanan
semacam itu terkait erat dengan penitikberatan atas sentralitas sejarah dalam
studi tentang tingkah laku manusia, termasuk
dalam aksi ekonomidan di bidang-bidang lain. Itu karena nilai-nilai
cultural yang memberikan makna pada kehidupan manusia diciptakan oleh proses
spesifik dari perkembanagan sosial.
Weber
bisa menerima tesis bahwa sejarah adalah inti terpenting dari ilmu-ilmu sosial. Ia juga mengadopsi
ide bahwa verstehen( memahami ) makna adalah hal mendasar untuk eksplikasi tindakan
manusia. Namun, weber bersikap kritis
terhadap istilah-istilah ‘instuisi’,’empati’, dan sejenis yang dianggap oleh
banyak pihak sebagai hal yang terkait bagi pehamaman interpretative terhadap
tingkah laku manusia. Yang lebih penting lagi, Weber menolak pandangan bahwa
pengakuan terhadap karakter ‘penuh makna’ dari tingkah laku manusia dan
penjelasan kausal(sebab-akibat)tidak bisa dilakukan dalam ilmu-ilmu
social.kedunya bisa dikaitkan.[3]
Di
level metode abstrak, Weber memang tidak bisa menghasilkan rekonsiliasi
memuaskan atas benang-benang berbeda yang ia coba rajut bersama. Namun upayanya
dalam metode sistesis bisa menghasilka gaya khas untuk studi sejarah. Ia bisa
memadukan antara kepekaan terhadap
pemaknaan berbeda atas budaya dengan
peran kausal mendasar dari faktor-faktor
‘material’dalam mempengaruhi arah sejarah. Dari latar belakang intelektual
samacam itulah Weber mengambil pendekatan terhadap marxisme; sebagai
seperangkat doktrim dan sebagai kekuatan politik untuk mencapai tujuan-tujuan
praktis.
Weber
sangat erat terlibat Verrein fur Sosialpolitik (Asosiasi Politik Sosial ) yakni
kelompok ilmuan liberal yang tertarik meningkatkan reformasi secara progresif.
Ia anggota’’ generasi muda’’Verrein. Kalangan ini termasuk kelompok pertama
yang mendapatkan pengetahuan canggih tentang teori marxis. Mereka juga mencoba
secara aktif menerapkan unsur-unsur yang ditarik dari Marxisme meski tanpa pernah menerimanya sebagai system
pemikiran secara keseluruhan dan meloncat dari politik revolusionernya.[4]
Meski tanpa pernah mengakui
kontribusi pemikiran Karl Marx, Weber tetap sikap lebih hati-hati terhadap Marxisme( bahkan ia sering
mengkritisi kerja atau keterlibatan
politis beberapa pengikut Marx ) daripada yang dilakukan penerus kontemporernya
yakni Sombart.Namun, keduanya sama-sama menunjukkan perhatian besar pada asal-usul dan arah
evolusi kapitalisme industry di Jerman khususnya dan di Barat umumnya. Lebih
spesifik, mereka juga melihat kondisi –kondisi ekonomi yang diyakini Marx bisa
menentukan perkembangan dan transformasi masa depan kapitalisme sebagaimana
mengedapankan dalam totalitas budaya yang unik. Keduanya sama-sama mengfokuskan
sebagian besar karya mereka untuk mengidentifikasi munculnya Geist ( ‘etos atau
spirit’ ) kapitalisme modern di Barat.[5] Berangkat dari latar belakang diatas maka penulis
mengangkat judul “ Max Weber Protestant Ethic And The
Spirit Of Capitalism : Etika Protestan Dan
Semangat Kapitalisme ”
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah
sejarah munculnya etika Protestan dan Spirit Kapitalisme.?
2.
Bagaimana Perkembangan Kapitalisme?
3.
Bagaimanakah
Pokok-Pokok Ajaran Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme.?
4.
Bagamanakah
Hubungan Etika ProteStan
dan lahirnya system kapitalis.?
5.
Bagaimanakah
Kontroversi Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme di kalangan para ahli.?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mngetahui sejarah munculnya etika protestan dan spirit kapitalisme
2.
Untuk mengetahui perkembangan Kapitalisme
3.
Untuk
mengetahui Pokok-pokok ajaran Etika Protestan dan spirit kapitalisme
4.
Untuk
mengetahui Hubungan Etika Protestan dan lahirnya system kapitalis
5.
Untuk
mengetahui Kontroversi Etika Protestan dan spirit Kapitalisme di kalangan para
ahli.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Muncul dan berkembangnya Konsep Etika
Protestan dan Spirit Kapitalisme.
Max Weber mengawali karirnya sebagai
sejarawan ekonomi dan ahli sosiologi. yang merupakan langkah pertama baginya
untuk memasuki bidang kajian sosiologi agama, Weber membahas masalah hubungan
antara berbagai kepercayaan keagamaan dan etika praltis, khususnya etika dalam
kegiatan ekonomi dikalangan masyarakat
barat sejak abad ke-16 hingga sekarang. Persoalan ini, dalam konteks
agama-agama dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda, tetap menjadi perhatian
utamanya, dan kajiannya terhadap agama yahudi, dan terhadap berbagai agama di
India dan Cina, serta agam Yunani/ Romawi dan Kristen Sektarian, seluruhnya
terkait dengan masalah tersebut. Namun demikian, meskipun masalah etika ekonomi
ini merupakan pusat perhatiannya, lingkup kajiannya luas sekali menjangkau
seluruh hubungan yang mungkin terjadi antara berbagai corak masyarakat
beragama. Untuk mengikuti alur pemikirannya, cara yang paling sederhana untuk
memulainya adalah menganalisis argument yang dikemukakannya dalam bukunya
mengenai etika protestan tersebut, dan kemudian memperhatikan bagaimana hal ini
bisa mengantarkannya kepada kajian komparatif terhadap agama-agama dan berbagai
struktur sosial
yang lain.[6]
Tugas
pertama yang dilakukannya adalah menampilkan bukti mengenai hubungan antara
berbagai bentuk tertentu agama protestan dan perkembangan yang sangat cepat
menuju kapitalisme. Dia mengemukakan contoh terkenal di negeri Belanda pada
abad ke-16 dan 17, mengenai pemilikan bersama dalam kegiatan usaha kapitalis dikalangan
keluarga Huguenots dan orang-orang katolik di Perancis pada abad ke-16 dan 17di
kalangan kelompok puritan di Inggris, dan lebih dari itu dikalangan para
penganut cabang puritanisme inggris yang menetap di Amerika dan mendirikan
wilayah New England (Inggris Baru). Dia tertarik dengan contoh-contoh karena
contoh tersebut mewakili berbagai kejadian dimana berbagai sikap baru dalam
kegiatan ekonomik secara dramatik menghancurkan tradisionalisme ekonomik yang
lama cepat
dalam metode terhadap kegiatan ekonomi seperti itu, tidak akan mungkin terjadi
tanpa dorongan moral dan
agama.namun dia juga mengajukan bukti mengenai tetap adanya perbedaan dalam
cara yang di tempuh oleh berbagai kelompok keagamaan untuk ikut ambil bagian
dalam kapitalisme yang mapan
pada asanya sendiri. Di Jerman, prancis dan Hongaria, yang menyatakan dengan
tegas,bahwa distribusi pekerjaan dan persiapan pendididkan bagi mereka menunjukkan
bahwa penganut krieten protestan Calvinis lebih besar kenungkinannya untuk
memainkan peranan dalam dunia usaha dan melaksanakan pekerjaan diberbagai
oraganisasi modern berskala besar, dibandingkan dengan para penganut katolik. [7]
B.
Perkembangan Kapitalisme
Secara
historis perkembangan kapitalisme merupakan bagian dari gerakan individualisme.
Gerakan itu juga menimbulkan dampak dalam bidang yang lain. Dalam bidang
keagamaan gerakan itu menimbulkan reformasi; dalam hal penalaran melahirkan
ilmu pengetahuan alam; dalam hubungan masyarakat memunculkan ilmu-ilmu sosial;
dalam ekonomi melahirkan sistem kapitalisme. Karena itu peradaban kapitalis sah
(legitimate) adanya. Di dalamnya terkandung pengertian bahwa kapitalisme adalah
sistem sosial yamg menyeluruh, lebih dari sekedar suatu tipe tertentu dalam
perekonomian. Sistem ini berkembang di Inggris pada abad 18 dan kemudian
menyebar luas ke kawasan Eropa Barat-Laut dan Amerika Utara.[8]
Ada beberapa sifat dasar yang mencirikan kapitalisme sejak awal perkembangannya
antara lain :
1.
Pemilikan
perorangan (individual qwnership)
Dalam sistem kapitalis pemilikan alat-alat produksi
(tanah, pabrik, mesin, sumber alam) dikuasai secara perorangan, bukan oleh
negara. Prinsip ini tetap mengakui adanya pemilikan negara yang berwujud
monopoli yang bersifat alamiah atau menyangkut pelayanan jasa kepada masyarakat
umum.[9]
Penyimpangan peradaban kapitalis dalam pemilikan
alat-alat produksi secara perorangan didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama,
pemilikan atas harta yang bersifat produktif berarti penguasaan atas kehidupan
orang lain.kalau negara memiliki semua harta yang bersifat produktif, maka
kekuasaan ekonomi dan politik akan mengalami tumpang tindih karena berada dalam
satu tangan. Akibatnya perhatian terhadap kebebasan ekonomi perorangan menjadi
tidak menentu. Kedua, ada anggapan bahwa kemajuan teknologi lebih mudah dicapai
kalau orang menangani urusan atau kepentingannya sendiri dan memiliki dorongan
pribadi untuk melakukan hal itu.
2.
Perekonomian
Pasar (Market Economy)
Prinsip yang lain dari sistem kapitalis
adalah perekonomian pasar. Dalam rasa pra-kapitalis pada umumnya perekonomian
bersifat lokal dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Pembagian kerja
hampir tidak dikenal dan setiap warga harus menangani banyak pekerjaan yang
terbesar dikalangan ratusan jenis kerajinan dan spesialisasi. Jenis pekerjaan yang
dilakukan seseorang dan harga yang ditetapkan untuk suatu jenis barang dan jasa
sebagoan besar ditentukan oleh kebiasaan nilai kegunaannya. Sebaliknya,
perekonomian pasar dalam sistem kapitalis didasarkan pada spesialisasi
kerja.setiap orang hanya memasok sebagian kecil kebutuhannya melalui
keterampilan dan pekerjaan pribadi. Barang dan jasa tidak dimaksudkan untuk
pemenuhan kebutuhan rumah tangga produsen sendiri tetapi untuk pasar. Salah
satu sifat yang penting dalam perekonomian pasar ialah adanya kedaulatan
konsumen. Konsumen tidak hanya bebas dalam memilih barang yang disukainya
diantara barang-barang lain yang ditawarkan, tetapi akhirnya melalui pilihan
yang dilakukannya, menentukan jenis dan jumlah barang yang akan di produksi.[10]
3.
Persaingan
(competition)
Ciri pokok lain dari ekonomi pasar
adalah persaingan. Dalam perekonomian pra-kapitalis faktor adat atau kebiasaan
dan kegunaan menentukan suatu barang atau jasa berharga atau tidak, dan ada
banyak orang yang sama sekali tidak dapat bersaing karena mereka berada diluar
beberapa jenis pekerjaan atau perdagangan. Dalam perekonomian modern,
alternatif untuk persaingan bisa saja monopoli swasta atau negara. Interaksi
yang bebas antara pembeli dan penjual dimuwujudkan dalam menentukan harga
barang dan jasa ileh otoritas kenyataan (de facto authority) seperti dalam
kasus monopoli swasta, dan penentuan harga barang dan jasa oleh otoritas resmi
(legal authority) seperti dalam kasus monopoli negara.[11]
4.
Keuntungan
(profit)
Perokonomian kapitalis memberikan lebih banyak
kesempatan untuk meraih keuntungan dari pada perekonomian yang lain kerena dalam
perekonomian kapitalis dijamin adanya tiga kebebasan yang biasanya tidak
ditemukan dalam sistem yang lain. Ketiga kebebasan itu adalah kebebasan dan
menentukan pekerjaan. Kebebasan hak pemilikan, dan kebebasan mengadakan
kontrak. Sistem kapitalis digambarkan sebagai sistem keuntungan (profit sistem)
dan juga sistem rugi (loss sistem). Sekalipun diakui bahwa dibawah sistem
kapitalisme banyak orang dapat meraih keuntungan yang tinggi, tetapi juga
diakui bahwa dalam sistem itu begitu banyak orang menderita kerugian yang
besar.
Bentuk baru perekonomian pasca industri disebut
perekonomian jasa (service economy) perkembangan perekonomian jasa telah
membawa pengaruh yang sangat besar terhadap stabilitas perekonomian kapitalis
maju. Marx menegaskan bahwa sebab utama disintegrasi atau perpecahan kapitalis
adalah keberhasilan dan kemerosotan ekonomi yang terjadi silih berganti yang
menyebabkan inflasi dan pengangguran dalam masa-masa tertentu. Perubahan
substansial secara periodik lebih banyak terjadi pada sektor yang memproduksi
jasa, karena produksi barang bisa berlebihan dan karena itu harus
disimpan,sedangkan produk jasa tidak bisa disimpan. Karena itu dalam produksi
jasa biasanya terjadi keseimbangan yang lebih aman dari pada dalam produksi
barang, dan hal itu akan menyebabkan kestabilan pekerjaan yang lebih terjamin
pada bidang yang memproduksi jasa (sekolah, rumah sakit dan bank) karena banyak
pelayanan jasa disediakan oleh badan pemerintah atau swasta yang tidak mencari
keuntungan, biasanya terdapat keamanan pekerjaan yang lebih terjamin dalam
badan tersebut daripada dalam perusahaan yang memproduksi barang yang sebagian
besar dijalankan oleh swasta.[12]
Kapitalisme telah melaksanakan transformasi yang
luas untuk menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan ekonomi yang didampakkan
oleh perluasan sektor ekonomi yang tidak mengejar keuntungan, serta berbagai
perubahan sosial yang diakibatkan oleh kebijaksanaan negara kemakmuran. Kalau
kapitalisme kita artikan sebagai Laissez Faire dan sosialisme sebagai pemikiran
alat-alat produksi oleh negara, maka sistem ekonomi yang baru dan terus
berkembang ini tidak dapat kita sebut kapitalis atau sosialis. Biasanya sistem
itu disebut “Perekonomian Campuran” (mixed economy) yang mengombinasikan
inisiatif dan milik swasta dengan tanggung jawab negara untuk kemakmuran
sosial.
C.
Pokok Ajaran Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme
Etika Protestan adalah
sebuah konsep dan teori dalam teologi, sosiologi ekonomi,
dan sejarah yang mempersoalkan masalah manusia yang
dibentuk oleh nilai-nilai budaya disekitarnya, khususnya nilai agama Dalam agama Protestan yang
dikembangkan oleh Calvin ada
ajaran bahwa seorang manusia sudah ditakdirkan sebelumnya sebelum masuk ke surga atau ke neraka. Hal
tersebut ditentukan melalui apakah manusia tersebut berhasil atau tidak dalam
pekerjaannya di dunia. Adanya
kepercayaan ini membuat penganut agama Protestan Calvin bekerja keras untuk
meraih sukses.[13]
Kalvinisme, yang meyakini bahwa segala sesuatu itu adalah bagian dari
kedaulatan kerajaan Tuhan, dank arena kedaulatan Tuhan ini, maka manusia
menerima rahmat, dan dikasihi oleh Tuhan. Yohanes
kalvin adalah pemrakarsa paham ini, sehingga disebut paham kalvinisme.
Kalvinisme sering dihubungkan dengan reformasi gereja protestan, karena ide
mengenai kalvinisme ini lahir ketika jaman reformasi gereja protestan.[14]
Inilah
yang disebut sebagai Etika Protestan oleh Max Weber dalam
bukunya Etika Protestan dan Semangat
Kapitalisme, yakni cara bekerja yang keras dan bersungguh-sungguh,
lepas dari imbalan materialnya. Teori ini merupakan faktor utama munculnya kapitalisme di Eropa. Untuk selanjutnya
Etika Protestan menjadi konsep umum yang bisa berkembang di luar agama
Protestan itu sendiri. Etika protestan menjadi sebuah nilai tentang kerja
keras tanpa pamrih untuk mencapai sukses.
Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber
tersebut telah membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan, etos itu
berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan
dunia dengan sukses.[15]
Ukuran sukses dunia juga merupakan ukuran bagi sukses di akhirat.
Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja
yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi
individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial
ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia akan menjadi ancaman
bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup didunia akan membawa pada masa
depan yang baik di akhirat dengan “jaminan” masuk surga, sebaliknya kegagalan
yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi
“jaminan” pula bagi individu itu masuk neraka. Bahwa kepercayaan-kepercayaan dalam agama Protestan telah merangsang
kegiatan ekonomi.[16]
Contoh:
“Berkembang dan suksesnya kapitalisme di Eropa merupakan contoh nyata dari penerapan teori ini. awal mulanya kapitalisme muncul karena adanya ajaran Protestan oleh Calvin yang mengajarkan bahwa untuk dapat masuk surga nantinya, manusia harus berbuat kebaikan sebanyak mungkin didunia. Hal ini membuat orang-orang termotivasi untuk bekerja keras dan bersungguh-sungguh untuk memperoleh sesuatu. Hal ini nantinya akan berdampak pada pembangunan ekonomi”.[17]
“Berkembang dan suksesnya kapitalisme di Eropa merupakan contoh nyata dari penerapan teori ini. awal mulanya kapitalisme muncul karena adanya ajaran Protestan oleh Calvin yang mengajarkan bahwa untuk dapat masuk surga nantinya, manusia harus berbuat kebaikan sebanyak mungkin didunia. Hal ini membuat orang-orang termotivasi untuk bekerja keras dan bersungguh-sungguh untuk memperoleh sesuatu. Hal ini nantinya akan berdampak pada pembangunan ekonomi”.[17]
Bagian
dari argumen Weber yang menjadi paling terkenal mengenai
protestanisme puritan, dan khususnya Calvinisme dalam proses ini. Weber melihat
ada keterkaitan antara kehidupan penganut
Calvinis yang diberi pedoman oleh agama mereka dan jenis perilaku dan
sikap yang diperlukan bagi kapitalisme agar bekerja secara efektif.[18]
Weber
menjelaskan bagaimana Kalvinisme berbeda dengan kebanyakan agama. Ajarannya
mendorong untuk memusatkan diri pada pekerjaan duniawi, dan pada saat yang sama
juga mewujudkan kehidupan asketik sederhana,
rajin beribadah, dan hidup hemat. Weber berpendapat bahwa penekanan pada
kreatif dan kerja keras berkombinasi dengan tututan agar menjalankan gaya hidup
asketik, suatu gaya hidup yang khas bagi agama puritan, dan bahwa ini adalah
kombinasi dari resep keagamaan yang memberikan kesempatan bagi kapitalisme untuk
berakar.[19]
Calvinis yakin bahwa mereka tidak akan di berikan ganjaran keselamatan oleh
Tuhan kecuali jika mereka sukses dan produktif dalam kehidupan. Mereka
yakin bahwa nasib tidak di gariskan oleh Tuhan,
melainkan manusialah yang harus mengubah nasibnya sendiri . Oleh sebab
itu kehidupan harus didedikasikan kepada efisiensi dan rasionalitas untuk
memaksimalkan produktifitas mereka. Akan tetapi simbol pencapaian, kekayaan
materi yang di kumpulkan melalui kerja keras terus-menerus secara efisien,
tidak boleh di konsumsi secara berlebihan, atau boros, karena bertentangan
dengan asketisme Calvinis. Jadi, meski akumulasi kekayaan merupakan symbol dari
kerja keras kaum kalvinis, mengkonsumsi secara berlebihan ditolak oleh penganut agama ini karena
kebutuhan akan kehidupan asketik yakni
sederhana, taat beribadah dan hemat.[20]
Disinilah keterkaitan dengan kapitalisme. Berbeda dari bentuk bentuk
ekonomi yang lain, agar kapitalisme bekerja, modal harus diakumulasi; tidak
untuk dikonsumsi, melainkan harus diinfestasikan kembali untuk mengembangkan
teknik-teknik produksi yang lebih efesien demi memperoleh keuntungan lebih
besar. Kebutuhan adalah upaya menemukan
cara-cara produksi yang rasional dan terus menerus, dengan menarik
kembali hasil kerja keras. Lebih banyak kekayaan yang dikumpulkan, semakin sukses
perusahaan kapitalis , maka semakin banyak sumber daya yang tersedia untuk
memperbaiki efisiensi produksi. Oleh karena itu kerja adalah ujung
ahirnya; keuntungan yang diinvestasikan
kembali adalah nyata, dan memberikan ganjaran sendiri.
Pandangan
Weber cukup jelas. Hanya puritanisme yang berharap pengikutnya untuk
berpikir menurut cara yang sesuai dengan
tuntutan khusus bagi produsen kapitalis. Tanpa penduduk yang mengabdikan diri
kepada duniawi, bersedia menghindari perbuatan berlebihan yang mengandung dosa,
kapitalisme niscaya tercabut dari akarnya . Terciptanya suatu dunia seperti di
gambarkan diatas merepresentasikan contoh yang sempurna dari pandangan Weber
mengenai peranan keyakinan dan tindakan dalam perubahan social. Menurut Weber,
kapitalisme adalah anak kandung cara berpikir dan bertindak, bukan mode
produksi yang lahir dari kekuatan ekonomi.[21]
D.
Hubungan antara Etika Protestan dengan Spirit
Kapitalisme
Hubungan
anatara agama protestan Calvinis dan kapitalisme ini, Weber lebih lanjut
berusaha membahas dan mengidentifikasikan berbagai ciri yang menbedakan antara
kapitalisme modern dan berbagai corak
organisasi ekonomik lainnya, serta berbagai ciri yang membedakan antara
Calvinisme dan beberapa versi lain agama Kristen.
Calvinisme
maupun perkembangan kapitalisme adalah penekanan pada individualism, atau pada
keputusan-keputusan manusia sesuai dengan kesadaran dan kepentingannya sendiri,
tanpa memandang dari kelompok manapun, dan individualismenya ini dinilai
sebagai produk baik dalam konteks keagamaan maupun ekonomi.[22]
Seperti
kebanyakan pakar abad ke-19, tujuan utama Weber adalah untuk memahami
modernitas, prubahan kehidupan social baru dan radikal yang terjadi di Eropa
barat dan Amerika serikat dan berkembang kekawasan dunia yang lain. Prinsip
Kapitalis yang mengatur system modern adalah kapitalisme adalah semangat
memproduksi barang yang rasional fisien, dan mengejar keuntungan yang
berdasarkan kepemilikan pribadi dan individual. Menurut Weber sendiri bahwa :
Kapitalisme itu indentik
dengan mengejar keuntungan dengan cara berusaha secara terus menerus, rasional
denga peursahaan kapitalis dan organisasi kapitalis rasional tenaga kerja bebas.[23]
Etika
ekonomi yang diajarkan oleh Katolisisme abad pertengahan menciptakan banyak
hambatan bagi perkembangan kapitalis dan bagi ideologi kapitalis. Kebencian
terhadap kemakmuran material merupakan kelanjutan ajaran para padri Katolik
yang melawan Mamoisme. Santo Agustinus menganggap bahwa berdagang itu buruk
karena menjauhkan manusia dari usaha mencari Tuhan. Sepanjang abad pertengahan,
perdagangan dan perbankan dianggap sebagai kejahatan yang diperlukan. Meminjam
uang dengan memungut bunga dianggap tidak layak dilakukan oleh seorang Kristen.
Sehingga pada saat dimana kegiatan itu diserahkan kepada orang-orang non
Kristen. Membungakan uang merupakan pelanggaran hukum karena ada Undang-Undang
anti riba
dari penguasa gereja maupun penguasa seluler, spekulasi dan praktek riba
melanggar doktrin pokok ekonomi abad pertengahan, yaitu harga yang adil.
Berkembangnya
perdagangan pada akhir abad pertengahan menimbulkan konstroversi dan mendorong
ke arah berbagai usaha penyesuaian antara doktri-doktrin teologis dengan
realitas ekonomis. Di Venesia, Florence, Augburg, semua kota Katolik, kaum
kapitalis melanggar semangat dan memanipulasi surat larangan terhadap
pembungaan uang. Menjelang revormasi Protestan, kaum kapitalis yang masih
dibayang-bayangi dosa orang tamak oleh karena kedudukannya, telah menjadi tidak
teladan bagi pemerintah sekuler dan sejumlah besar orang yang tergantung kepada
mereka untuk memperoleh pekerjaan.[24]
E.
Kontroversi etika Protestan dan spirit Kapitalisme
di kalangan para Ahli
Etika
protestan ditulis dengan niatan berpolemik. Ini terbukti dalam berbagai
reverensi yang dibuat Weber pada idelisme dan materialisme. Studi ini kata
Weber, adalah suatu kontribusi untuk memahami bagaimana ide-ide menjadi
kekuatan efektif dalam sejarah dan diarahkan berlawanan dengan determinisme
ekonomi.[25]
Hal-hal
yang kontraks semacam inilah maka etika protestan bisa memicu kontroversi dan
banyak dibicarakan. Alasan terpenting bagi terbentuknya intensitas emosi adalah
dua term utama yang dipakai Weber “agama” dan “kapitalsme”. Selan itu, banyak
kritik yang muncul kalau dirangkum, mungkin berbagai kritik itu bisa terbagi
dalam berbagai sudut sebagai berikut:
1.
Karakterisasi
yang diberikan Weber pada Protestanisme benar-benar keliru. Para kritikus ini
membidik perlakuan Weber
terhadap Reformasi, interpretasi Weber
terhadap sekte-sekte puritan secara umum, dan terhadap Calvinisme secara
khusus. Dikatakan Weber kelir dalam menganggap Luther memperkenalkan konsep
‘Calling’’yang berbeda dari sebelumnya pernah bisa didapatkan dalam injil.
Dikatakan, etika Calvinis pada nyatanya justru lebih anti kapitalis daripada
sekedar akumulasi kekayaan sebagai tujuan tidak langsung.
2.
Kritikan
lain berpendapat, ekspoposisi Weber terhadap ide-ide dan aspek lain dari
analisisnya tentang teorinya yang tidak bisa diterima. Ide-ide Franklin ini
mendapat porsi besar karena Weber memandang pengaruh puritanisme terhadap
bisnis di Amerika As sebagai penyederhana dari tesisnya.
3.
Weber
menginterpretasi dokrin katolik para kritikus menuding, Weber mungkin
katolikisme lebih detil meski argument Weber didasarkan pada adanya perbedaan
mendasar antara katolikisme dan protestanisme dalam nilai-nilai yang relevan.
Para kritikus berpendapat, katolikisme pasca abad pertengahan di Eropa justru
melibatkan para elemen-elemen yang sangat mendukung spirit kapitalisme.
4.
Pernyataan
weber tentang koneksi antara puritanisme dan kapitalisme modern didasarkan pada
materi-materi empiris yang kurang bisa dipertanggungjawabkan. Kritik ini
dikembangkan oleh Fischer dan Rachfal dalam berbagai bentuk yang kemudian terus
bergema. Mereka mengungkapkan, studi yang menjadi rujukan weber hanya aktivitas
ekonomi kaum katolik dan kaum protestan.
5.
Weber
tidak bisa diterima saat menggambarkan secara kontras antara kapitalisme modern
atau rasional dengan tipe-tipe aktivitas kapitalistik era sebelumnya. Mereka
beragumen, bahwa weber mencondongkan konsep kapitalisme modern sedemikian rupa
sehingga bisa dicocok-cocokan dengan elemen-elemen puritanisme yang dianut
6.
Para
kritikus marxis cenderung menolak weber tentang pandangan prularistik berupa
klausal historis. Beberapa bahkan berusaha menginterpretasi ulang tesis etika
protestan dengan memperlakukan doktri-doktrin puritanisme yang dianalisis Weber
sebagai epifenomena perubahan ekonomi yang sudah ada sebelumnya. Kritikus
lainnya, yang tidak selalu berhaluan marxis, menolak kerangka kerja metodologis
yang dipakai weber.[26]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
sejarah munculnya etika Protestan dan Spirit
Kapitalisme: terispirasi dari negeri Belanda
pada abad ke-16 dan 17, mengenai pemilikan bersama dalam kegiatan usaha kapitalis dikalangan
keluarga Huguenots dan orang-orang katolik di Perancis pada abad ke-16 dan 17di
kalangan kelompok puritan di Inggris, dan lebih dari itu dikalangan para
penganut cabang puritanisme inggris yang menetap di Amerika dan mendirikan
wilayah New England (Inggris Baru).
2.
Perkembangan Kapitalisme: Ada beberapa sifat
dasar yang mencirikan kapitalisme sejak awal perkembangannya antara lain : (1)
Pemilikan perorangan (individual qwnership).
(2) Perekonomian Pasar (Market Economy) (3) Persaingan
(competition) (4) Keuntungan (profit)
3.
Pokok-Pokok Ajaran Etika Protestan dan Spirit
Kapitalisme: modal harus diakumulasi; tidak
untuk dikonsumsi, melainkan harus diinfestasikan kembali untuk mengembangkan
teknik-teknik produksi yang lebih efesien demi memperoleh keuntungan lebih
besar. Kebutuhan adalah upaya menemukan cara-cara produksi yang
rasional dan terus menerus, dengan menarik kembali hasil kerja keras.
Lebih banyak kekayaan yang dikumpulkan, semakin sukses perusahaan kapitalis ,
maka semakin banyak sumber daya yang tersedia untuk memperbaiki efisiensi
produksi. Oleh karena itu kerja adalah ujung ahirnya; keuntungan yang diinvestasikan kembali adalah
nyata, dan memberikan ganjaran sendiri.
4.
Hubungan Etika Protetan dan lahirnya system
kapitalis: (1) penekanan pada individualism, atau pada keputusan-keputusan
manusia sesuai dengan kesadaran dan kepentingannya sendiri, tanpa memandang
dari kelompok manapun, dan individualismenya ini dinilai sebagai produk baik
dalam konteks keagamaan maupun ekonomi. (2) Membungakan uang merupakan
pelanggaran hukum karena ada Undang-Undang anti riba dari penguasa
gereja maupun penguasa seluler, spekulasi dan praktek riba melanggar doktrin
pokok ekonomi. (3) usaha penyesuaian antara doktri-doktrin teologis dengan
realitas ekonomis.
5.
Kontroversi Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme
di kalangan para ahli: (1) Karakterisasi yang diberikan Weber
pada Protestanisme benar-benar keliru. (2) ekspoposisi Weber terhadap ide-ide
dan aspek lain dari analisisnya tentang teorinya yang tidak bisa diterima (3)
argument Weber didasarkan pada adanya perbedaan mendasar antara katolikisme dan
protestanisme dalam nilai-nilai yang relevan. (4) Pernyataan weber tentang
koneksi antara puritanisme dan kapitalisme modern didasarkan pada materi-materi
empiris yang kurang bisa dipertanggungjawabkan. (5) Weber tidak bisa diterima
saat menggambarkan secara kontras antara kapitalisme modern atau rasional
dengan tipe-tipe aktivitas kapitalistik era sebelumnya (6) Para kritikus marxis
cenderung menolak weber tentang pandangan prularistik berupa klausal historis
B.
Saran
Sebaiknya teori yang diungkapkan weber mengenai etika
protstan dan spirit kapitalisme menjadi pelajaran berharga dan dapat di petik
sisi positifnya yakni kerja keras, hidup hemat dan taat beribadah karena islam
pun menganut ajaran itu, akan tetapi berbeda penerapannya Karena islam menganut
ajaran yang memiliki batasan dalam bertindak dan berperilaku. Jadi, perlu
adanya kesadaran dalam bertindak serta memperhatikan lingkungan sekitar agar
tidak terjadi ketimpangan sosial yang menguntungkan satu pihak sedangkan pihak
lain merasa terganggu atau di rugikan.
DAFTAR PUSTAKA
Bendix, Reinhard 1972 “Max Weber” International Encyclopedia of Social Science , vol. 16, The Macmillan and The Free Press.
Berger Peter L. 1990 Revolusi Kapitalis. Penerbit LP3S. jakarta.
Betty R Scharf 1995 Kajian Sosiologi Agama cet.1; Yogyakarta.PT Tiara Wacana
Yogyakarta.
Bryan S. Turner, 1984 Sosiologi Islam: Suatu Tinjauan Analitis atas Tesa Sosiologi Weber, ter. G. A. Tocialu
Jakarta: Rajawali Press,
Deliarnov. 1995 Perkembangan
Pemikiran Ekonomi. Edisi Revisi. Jakarta Penerbit PT Raja Grafindo Persada,
Giddens, Anthony 1985 Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis
Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, ter. Suheba Kamadibrata Jakarta: UI Press.
Green W.
Robert 1959 Protestantism and Capitalism:
The Weber Thesis and It’s Critics Boston:
D. C. Heath and Company.
Hasan Johan, 1999 Hakekat kapitalisme dan Keterbatasannya Ekonomi. Penerbit, Ombak,
Yogyakarta
Hoower B. Calvin, 1972 “Capitalism” International Encyclopedia of
The Social Sciences, vol. I, New
York The Macmillan Company & The Free
Press,
Jones Pip, 2009 Pengantar
Teori-Teori Sosial, Ed. I, Cet. I,
Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Kuntowidjojo. 2005 Peran Borjuis Dalam Transformasi Eropa. Yogyakarta Penerbit Ombak,
Sudrajat Ajat, 1994 Etika Protestan dan
Kapitalisme Barat: Relevansinya dengan Islam Indonesia Jakarta:
Bumi Aksana,
Sztompka Piotr, 2011 Sosiologi
Perubahan social Cet.6: Jakarta. Prenada Media Group.
Tawnwy, R.H. 1990 Religion And The Rise of Capitalism. Malang. Penerbit Gandum Mas
Weber,Max 2001 The Protestant
Ethic and the
Spirit of Capitalism translated by Talcott Parson London: Routledge Classics
Weber, Max
2006 Etika Protestan dan Spirit
Kapitalisme, Cet. I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Weber Max, 2000 Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Surabaya
: Pustaka Promethea,
Winardi. 1986 Kapitalisme dan Sosialisme Suatu Analisis Ekonomi Teoritis. Bandung.
Penerbit Remadja Karya.
[1] Reinhard Bendix, “Max
Weber” International Encyclopedia of
Social Science ,( vol. 16, The
Macmillan and The Free Press, 1972).hlm 69
[3] Max Weber, The Protestant
Ethic and the
Spirit of Capitalism translated by Talcott Parson (London: Routledge Classics, 2001). hlm 47
[4]Max
Weber, Etika Protestan dan Spirit
Kapitalisme, (Cet. I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006), hlm 76
[6]
Anthony
Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial
Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, ter. Suheba Kamadibrata (Jakarta: UI Press,
1985).hlm 89
[8] Winardi. Kapitalisme
dan Sosialisme Suatu Analisis Ekonomi Teoritis. (Bandung. Penerbit Remadja
Karya. 1986 ) hlm 89
[9]
Deliarnov.
Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Edisi
Revisi. (Jakarta Penerbit PTRaja Grafindo Persada, 1995 ), hlm 34
[10] Kuntowidjojo. Peran Borjuis Dalam Transformasi Eropa. (Yogyakarta Penerbit Ombak,
2005) hlm 90
[12]R.H Tawnwy. Religion And The Rise of Capitalism. (Malang.
Penerbit Gandum Mas, 1990) hlm 56
[13] B. Calvin Hoower, “Capitalism”
International Encyclopedia of The Social
Sciences, (vol. I, New York The Macmillan Company & The Free Press, 1972). Hlm 101
[16] S. Turner
Bryan, Sosiologi Islam: Suatu Tinjauan
Analitis atas Tesa Sosiologi Weber,
ter. G. A. Tocialu (Jakarta: Rajawali Press,
1984).hlm 122
[18]
W. Robert
Green (ed.), Protestantism and
Capitalism: The Weber Thesis and It’s
Critics (Boston: D. C. Heath and Company, 1959).hlm 76
[20]
Max
Weber, Etika Protestan dan Semangat
Kapitalisme, (Surabaya : Pustaka Promethea, 2000), hlm 78
[21] Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial, (Ed. I, Cet. I, Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia. 2009) Hlm
120-122
[22] Peter L
Berger. Revolusi Kapitalis.
(Penerbit LP3S. jakarta. 1990).hlm 81-82
[24] Ajat Sudrajat, Etika
Protestan dan Kapitalisme
Barat: Relevansinya dengan Islam
Indonesia (Jakarta: Bumi Aksana, 1994).hlm 54-55
[25]Johan
Hasan, Hakekat kapitalisme dan
Keterbatasannya Ekonomi. (Penerbit, Ombak, Yogyakarta 1999), hlm 67-68
No comments:
Post a Comment