Sunday, July 21, 2019

Max Weber Protestant Ethic And The Spirit Of Capitalism : Etika Protestan Dan Semangat Kapitalisme


BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar belakang
Filsafat, dan ekonomi di jerman pada teori politik dan ekonomi di jerman pada abad 19 sangat berbeda dengan filsafat, teori politik dan ekonomi di inggris.  Posisi dominan ekonomi politik klasik dan utilitarianisme di inggris tidak di produksi di Jerman. Di Jerman, pemikiran ekonomi politik klasik dan utilitarianisme justru dihambat oleh pengaruh idealisme.
Di inggris, system of logic yaitu: bisa menyatukan ilmu-ilmu sosial dan ilmu alam dalam kerangka yang cocok dalam tradisi di negeri itu. Mill adalah pengikut ajaran Auguste Comte yang paling terkenal di Inggris. Sementara, positivisme Comte tidak pernah bisa menemukan lahan yang subur di Jerman. Penerimaan simpatik namun kritis oleh  Dilthey atas ‘ sains moral’ versi Mill justru memberi dorongan tambahan terhadap apa yang kemudian dikenal sebagai Geisteswissenscaften (yang aslinya dianggap persis sebagai terjemahan dari ‘sains moral’.[1]
Tradisi Geisteswissenscaften, atau tradisi ‘hermeniotik’  ini bisa di runut kebelakang sebelum era Dilthey. Sejak pertengahan abad 18 dan seterusnya, tradisi itu di campur dengan aliran yang lebih luas dari filsafat idealistic. Tapi tidak semuanya karena  sebagian justru dipisahkan dari filsafat idealistic. Mereka yang berpegang teguh pada ttik pandang ilmu alam dari studi tentang manusian.  Meski kita bisa ‘menjelaskan’ kejadian alami lewat aplikasi hukum sebab-akibat, perilaku manusia secara intrinsic sangat penuh makna sehingga harus ‘diinterpretasi’ atau ‘dipahami’ dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak ada bandingannya di alam.[2]
Penekanan semacam itu terkait erat dengan penitikberatan atas sentralitas sejarah dalam studi tentang tingkah laku manusia, termasuk  dalam aksi ekonomidan di bidang-bidang lain. Itu karena nilai-nilai cultural yang memberikan makna pada kehidupan manusia diciptakan oleh proses spesifik dari perkembanagan sosial.
Weber bisa menerima tesis bahwa sejarah adalah inti terpenting dari ilmu-ilmu sosial. Ia juga mengadopsi ide bahwa verstehen( memahami ) makna adalah hal mendasar untuk eksplikasi tindakan manusia. Namun, weber  bersikap kritis terhadap istilah-istilah ‘instuisi’,’empati’, dan sejenis yang dianggap oleh banyak pihak sebagai hal yang terkait bagi pehamaman interpretative terhadap tingkah laku manusia. Yang lebih penting lagi, Weber menolak pandangan bahwa pengakuan terhadap karakter ‘penuh makna’ dari tingkah laku manusia dan penjelasan kausal(sebab-akibat)tidak bisa dilakukan dalam ilmu-ilmu social.kedunya bisa dikaitkan.[3]
Di level metode abstrak, Weber memang tidak bisa menghasilkan rekonsiliasi memuaskan atas benang-benang berbeda yang ia coba rajut bersama. Namun upayanya dalam metode sistesis bisa menghasilka gaya khas untuk studi sejarah. Ia bisa memadukan antara kepekaan  terhadap pemaknaan  berbeda atas budaya dengan peran kausal mendasar dari faktor-faktor ‘material’dalam mempengaruhi arah sejarah. Dari latar belakang intelektual samacam itulah Weber mengambil pendekatan terhadap marxisme; sebagai seperangkat doktrim dan sebagai kekuatan politik untuk mencapai tujuan-tujuan praktis.
Weber sangat erat terlibat Verrein fur Sosialpolitik (Asosiasi Politik Sosial ) yakni kelompok ilmuan liberal yang tertarik meningkatkan reformasi secara progresif. Ia anggota’’ generasi muda’’Verrein. Kalangan ini termasuk kelompok pertama yang mendapatkan pengetahuan canggih tentang teori marxis. Mereka juga mencoba secara aktif menerapkan unsur-unsur yang ditarik dari Marxisme  meski tanpa pernah menerimanya sebagai system pemikiran secara keseluruhan dan meloncat dari politik revolusionernya.[4]
Meski tanpa pernah  mengakui kontribusi pemikiran Karl Marx, Weber tetap sikap lebih hati-hati  terhadap Marxisme( bahkan ia sering mengkritisi  kerja atau keterlibatan politis beberapa pengikut Marx ) daripada yang dilakukan penerus kontemporernya yakni Sombart.Namun, keduanya sama-sama menunjukkan  perhatian besar pada asal-usul dan arah evolusi kapitalisme industry di Jerman khususnya dan di Barat umumnya. Lebih spesifik, mereka juga melihat kondisi –kondisi ekonomi yang diyakini Marx bisa menentukan perkembangan dan transformasi masa depan kapitalisme sebagaimana mengedapankan dalam totalitas budaya yang unik. Keduanya sama-sama mengfokuskan sebagian besar karya mereka untuk mengidentifikasi munculnya Geist ( ‘etos atau spirit’ ) kapitalisme modern di Barat.[5] Berangkat dari latar belakang diatas maka penulis mengangkat judul “ Max Weber Protestant Ethic And The Spirit Of Capitalism :  Etika Protestan Dan Semangat Kapitalisme
B.            Rumusan Masalah
1.             Bagaimanakah sejarah munculnya etika Protestan dan Spirit Kapitalisme.?
2.             Bagaimana Perkembangan Kapitalisme?
3.             Bagaimanakah Pokok-Pokok Ajaran Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme.?
4.             Bagamanakah Hubungan Etika ProteStan dan lahirnya system kapitalis.?
5.             Bagaimanakah Kontroversi Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme di kalangan para ahli.?
C.           Tujuan Penulisan
1.             Untuk mngetahui sejarah munculnya etika protestan dan spirit kapitalisme
2.             Untuk mengetahui perkembangan Kapitalisme
3.             Untuk mengetahui Pokok-pokok ajaran Etika Protestan dan spirit kapitalisme
4.             Untuk mengetahui Hubungan Etika Protestan dan lahirnya system kapitalis
5.             Untuk mengetahui Kontroversi Etika Protestan dan spirit Kapitalisme di kalangan para ahli.

BAB II
PEMBAHASAN
A.           Sejarah Muncul dan berkembangnya Konsep Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme.
Max Weber mengawali karirnya sebagai sejarawan ekonomi dan ahli sosiologi. yang merupakan langkah pertama baginya untuk memasuki bidang kajian sosiologi agama, Weber membahas masalah hubungan antara berbagai kepercayaan keagamaan dan etika praltis, khususnya etika dalam kegiatan ekonomi dikalangan masyarakat  barat sejak abad ke-16 hingga sekarang. Persoalan ini, dalam konteks agama-agama dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda, tetap menjadi perhatian utamanya, dan kajiannya terhadap agama yahudi, dan terhadap berbagai agama di India dan Cina, serta agam Yunani/ Romawi dan Kristen Sektarian, seluruhnya terkait dengan masalah tersebut. Namun demikian, meskipun masalah etika ekonomi ini merupakan pusat perhatiannya, lingkup kajiannya luas sekali menjangkau seluruh hubungan yang mungkin terjadi antara berbagai corak masyarakat beragama. Untuk mengikuti alur pemikirannya, cara yang paling sederhana untuk memulainya adalah menganalisis argument yang dikemukakannya dalam bukunya mengenai etika protestan tersebut, dan kemudian memperhatikan bagaimana hal ini bisa mengantarkannya kepada kajian komparatif terhadap agama-agama dan berbagai struktur sosial yang lain.[6]
Tugas pertama yang dilakukannya adalah menampilkan bukti mengenai hubungan antara berbagai bentuk tertentu agama protestan dan perkembangan yang sangat cepat menuju kapitalisme. Dia mengemukakan contoh terkenal di negeri Belanda pada abad ke-16 dan 17, mengenai pemilikan bersama dalam kegiatan usaha kapitalis dikalangan keluarga Huguenots dan orang-orang katolik di Perancis pada abad ke-16 dan 17di kalangan kelompok puritan di Inggris, dan lebih dari itu dikalangan para penganut cabang puritanisme inggris yang menetap di Amerika dan mendirikan wilayah New England (Inggris Baru). Dia tertarik dengan contoh-contoh karena contoh tersebut mewakili berbagai kejadian dimana berbagai sikap baru dalam kegiatan ekonomik secara dramatik menghancurkan tradisionalisme ekonomik yang lama cepat dalam metode terhadap kegiatan ekonomi seperti itu, tidak akan mungkin terjadi tanpa dorongan moral dan agama.namun dia juga mengajukan bukti mengenai tetap adanya perbedaan dalam cara yang di tempuh oleh berbagai kelompok keagamaan untuk ikut ambil bagian dalam kapitalisme yang mapan pada asanya sendiri. Di Jerman, prancis dan Hongaria, yang menyatakan dengan tegas,bahwa distribusi pekerjaan dan persiapan pendididkan bagi mereka menunjukkan bahwa penganut krieten protestan Calvinis lebih besar kenungkinannya untuk memainkan peranan dalam dunia usaha dan melaksanakan pekerjaan diberbagai oraganisasi modern berskala besar, dibandingkan dengan para penganut katolik.  [7]
B.            Perkembangan Kapitalisme
Secara historis perkembangan kapitalisme merupakan bagian dari gerakan individualisme. Gerakan itu juga menimbulkan dampak dalam bidang yang lain. Dalam bidang keagamaan gerakan itu menimbulkan reformasi; dalam hal penalaran melahirkan ilmu pengetahuan alam; dalam hubungan masyarakat memunculkan ilmu-ilmu sosial; dalam ekonomi melahirkan sistem kapitalisme. Karena itu peradaban kapitalis sah (legitimate) adanya. Di dalamnya terkandung pengertian bahwa kapitalisme adalah sistem sosial yamg menyeluruh, lebih dari sekedar suatu tipe tertentu dalam perekonomian. Sistem ini berkembang di Inggris pada abad 18 dan kemudian menyebar luas ke kawasan Eropa Barat-Laut dan Amerika Utara.[8] Ada beberapa sifat dasar yang mencirikan kapitalisme sejak awal perkembangannya antara lain :
1.             Pemilikan perorangan (individual qwnership)
Dalam sistem kapitalis pemilikan alat-alat produksi (tanah, pabrik, mesin, sumber alam) dikuasai secara perorangan, bukan oleh negara. Prinsip ini tetap mengakui adanya pemilikan negara yang berwujud monopoli yang bersifat alamiah atau menyangkut pelayanan jasa kepada masyarakat umum.[9]
Penyimpangan peradaban kapitalis dalam pemilikan alat-alat produksi secara perorangan didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama, pemilikan atas harta yang bersifat produktif berarti penguasaan atas kehidupan orang lain.kalau negara memiliki semua harta yang bersifat produktif, maka kekuasaan ekonomi dan politik akan mengalami tumpang tindih karena berada dalam satu tangan. Akibatnya perhatian terhadap kebebasan ekonomi perorangan menjadi tidak menentu. Kedua, ada anggapan bahwa kemajuan teknologi lebih mudah dicapai kalau orang menangani urusan atau kepentingannya sendiri dan memiliki dorongan pribadi untuk melakukan hal itu.
2.             Perekonomian Pasar (Market Economy)
Prinsip yang lain dari sistem kapitalis adalah perekonomian pasar. Dalam rasa pra-kapitalis pada umumnya perekonomian bersifat lokal dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Pembagian kerja hampir tidak dikenal dan setiap warga harus menangani banyak pekerjaan yang terbesar dikalangan ratusan jenis kerajinan dan spesialisasi. Jenis pekerjaan yang dilakukan seseorang dan harga yang ditetapkan untuk suatu jenis barang dan jasa sebagoan besar ditentukan oleh kebiasaan nilai kegunaannya. Sebaliknya, perekonomian pasar dalam sistem kapitalis didasarkan pada spesialisasi kerja.setiap orang hanya memasok sebagian kecil kebutuhannya melalui keterampilan dan pekerjaan pribadi. Barang dan jasa tidak dimaksudkan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga produsen sendiri tetapi untuk pasar. Salah satu sifat yang penting dalam perekonomian pasar ialah adanya kedaulatan konsumen. Konsumen tidak hanya bebas dalam memilih barang yang disukainya diantara barang-barang lain yang ditawarkan, tetapi akhirnya melalui pilihan yang dilakukannya, menentukan jenis dan jumlah barang yang akan di produksi.[10]
3.             Persaingan (competition)
Ciri pokok lain dari ekonomi pasar adalah persaingan. Dalam perekonomian pra-kapitalis faktor adat atau kebiasaan dan kegunaan menentukan suatu barang atau jasa berharga atau tidak, dan ada banyak orang yang sama sekali tidak dapat bersaing karena mereka berada diluar beberapa jenis pekerjaan atau perdagangan. Dalam perekonomian modern, alternatif untuk persaingan bisa saja monopoli swasta atau negara. Interaksi yang bebas antara pembeli dan penjual dimuwujudkan dalam menentukan harga barang dan jasa ileh otoritas kenyataan (de facto authority) seperti dalam kasus monopoli swasta, dan penentuan harga barang dan jasa oleh otoritas resmi (legal authority) seperti dalam kasus monopoli negara.[11]
4.             Keuntungan (profit)
Perokonomian kapitalis memberikan lebih banyak kesempatan untuk meraih keuntungan dari pada perekonomian yang lain kerena dalam perekonomian kapitalis dijamin adanya tiga kebebasan yang biasanya tidak ditemukan dalam sistem yang lain. Ketiga kebebasan itu adalah kebebasan dan menentukan pekerjaan. Kebebasan hak pemilikan, dan kebebasan mengadakan kontrak. Sistem kapitalis digambarkan sebagai sistem keuntungan (profit sistem) dan juga sistem rugi (loss sistem). Sekalipun diakui bahwa dibawah sistem kapitalisme banyak orang dapat meraih keuntungan yang tinggi, tetapi juga diakui bahwa dalam sistem itu begitu banyak orang menderita kerugian yang besar.
Bentuk baru perekonomian pasca industri disebut perekonomian jasa (service economy) perkembangan perekonomian jasa telah membawa pengaruh yang sangat besar terhadap stabilitas perekonomian kapitalis maju. Marx menegaskan bahwa sebab utama disintegrasi atau perpecahan kapitalis adalah keberhasilan dan kemerosotan ekonomi yang terjadi silih berganti yang menyebabkan inflasi dan pengangguran dalam masa-masa tertentu. Perubahan substansial secara periodik lebih banyak terjadi pada sektor yang memproduksi jasa, karena produksi barang bisa berlebihan dan karena itu harus disimpan,sedangkan produk jasa tidak bisa disimpan. Karena itu dalam produksi jasa biasanya terjadi keseimbangan yang lebih aman dari pada dalam produksi barang, dan hal itu akan menyebabkan kestabilan pekerjaan yang lebih terjamin pada bidang yang memproduksi jasa (sekolah, rumah sakit dan bank) karena banyak pelayanan jasa disediakan oleh badan pemerintah atau swasta yang tidak mencari keuntungan, biasanya terdapat keamanan pekerjaan yang lebih terjamin dalam badan tersebut daripada dalam perusahaan yang memproduksi barang yang sebagian besar dijalankan oleh swasta.[12]
Kapitalisme telah melaksanakan transformasi yang luas untuk menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan ekonomi yang didampakkan oleh perluasan sektor ekonomi yang tidak mengejar keuntungan, serta berbagai perubahan sosial yang diakibatkan oleh kebijaksanaan negara kemakmuran. Kalau kapitalisme kita artikan sebagai Laissez Faire dan sosialisme sebagai pemikiran alat-alat produksi oleh negara, maka sistem ekonomi yang baru dan terus berkembang ini tidak dapat kita sebut kapitalis atau sosialis. Biasanya sistem itu disebut “Perekonomian Campuran” (mixed economy) yang mengombinasikan inisiatif dan milik swasta dengan tanggung jawab negara untuk kemakmuran sosial.
C.           Pokok Ajaran Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme
Etika Protestan adalah sebuah konsep dan teori dalam teologisosiologi ekonomi, dan sejarah yang mempersoalkan masalah manusia yang dibentuk oleh nilai-nilai budaya disekitarnya, khususnya nilai agama Dalam agama Protestan yang dikembangkan oleh Calvin ada ajaran bahwa seorang manusia sudah ditakdirkan sebelumnya sebelum masuk ke surga atau ke neraka. Hal tersebut ditentukan melalui apakah manusia tersebut berhasil atau tidak dalam pekerjaannya di dunia. Adanya kepercayaan ini membuat penganut agama Protestan Calvin bekerja keras untuk meraih sukses.[13]
Kalvinisme, yang meyakini bahwa segala sesuatu itu adalah bagian dari kedaulatan kerajaan Tuhan, dank arena kedaulatan Tuhan ini, maka manusia menerima rahmat, dan dikasihi oleh Tuhan. Yohanes kalvin adalah pemrakarsa paham ini, sehingga disebut paham kalvinisme. Kalvinisme sering dihubungkan dengan reformasi gereja protestan, karena ide mengenai kalvinisme ini lahir ketika jaman reformasi gereja protestan.[14]
Inilah yang disebut sebagai Etika Protestan oleh Max Weber dalam bukunya Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, yakni cara bekerja yang keras dan bersungguh-sungguh, lepas dari imbalan materialnya. Teori ini merupakan faktor utama munculnya kapitalisme di Eropa. Untuk selanjutnya Etika Protestan menjadi konsep umum yang bisa berkembang di luar agama Protestan itu sendiri. Etika protestan menjadi sebuah nilai tentang kerja keras tanpa pamrih untuk mencapai sukses.
Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut telah membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan, etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses.[15]
Ukuran sukses dunia juga merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia akan menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup didunia akan membawa pada masa depan yang baik di akhirat dengan “jaminan” masuk surga, sebaliknya kegagalan yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi “jaminan” pula bagi individu itu masuk neraka. Bahwa kepercayaan-kepercayaan dalam agama Protestan telah merangsang kegiatan ekonomi.[16]
Contoh:
“Berkembang dan suksesnya kapitalisme di Eropa merupakan contoh nyata dari penerapan teori ini. awal mulanya kapitalisme muncul karena adanya ajaran Protestan oleh 
Calvin yang mengajarkan bahwa untuk dapat masuk surga nantinya, manusia harus berbuat kebaikan sebanyak mungkin didunia. Hal ini membuat orang-orang termotivasi untuk bekerja keras dan bersungguh-sungguh untuk memperoleh sesuatu. Hal ini nantinya akan berdampak pada pembangunan ekonomi”.[17]

Bagian dari argumen Weber  yang menjadi paling terkenal mengenai protestanisme puritan, dan khususnya Calvinisme dalam proses ini. Weber melihat ada keterkaitan antara kehidupan penganut  Calvinis yang diberi pedoman oleh agama mereka dan jenis perilaku dan sikap yang diperlukan bagi kapitalisme agar bekerja secara efektif.[18]
Weber menjelaskan bagaimana Kalvinisme berbeda dengan kebanyakan agama. Ajarannya mendorong untuk memusatkan diri pada pekerjaan duniawi, dan pada saat yang sama juga mewujudkan kehidupan asketik sederhana, rajin beribadah, dan hidup hemat. Weber berpendapat bahwa penekanan pada kreatif dan kerja keras berkombinasi dengan tututan agar menjalankan gaya hidup asketik, suatu gaya hidup yang khas bagi agama puritan, dan bahwa ini adalah kombinasi dari resep keagamaan yang memberikan kesempatan bagi kapitalisme untuk berakar.[19]
Calvinis yakin bahwa mereka tidak akan di berikan ganjaran keselamatan oleh Tuhan kecuali jika mereka sukses dan produktif dalam kehidupan. Mereka yakin bahwa nasib tidak di gariskan oleh Tuhan,  melainkan manusialah yang harus mengubah nasibnya sendiri . Oleh sebab itu kehidupan harus didedikasikan kepada efisiensi dan rasionalitas untuk memaksimalkan produktifitas mereka. Akan tetapi simbol pencapaian, kekayaan materi yang di kumpulkan melalui kerja keras terus-menerus secara efisien, tidak boleh di konsumsi secara berlebihan, atau boros, karena bertentangan dengan asketisme Calvinis. Jadi, meski akumulasi kekayaan merupakan symbol dari kerja keras kaum kalvinis, mengkonsumsi secara berlebihan  ditolak oleh penganut agama ini karena kebutuhan akan kehidupan asketik  yakni sederhana, taat beribadah dan hemat.[20]
Disinilah keterkaitan dengan kapitalisme. Berbeda dari bentuk bentuk ekonomi yang lain, agar kapitalisme bekerja, modal harus diakumulasi; tidak untuk dikonsumsi, melainkan harus diinfestasikan kembali untuk mengembangkan teknik-teknik produksi yang lebih efesien demi memperoleh keuntungan lebih besar. Kebutuhan adalah upaya menemukan cara-cara  produksi yang  rasional dan terus menerus, dengan menarik kembali hasil kerja keras. Lebih banyak kekayaan yang dikumpulkan, semakin sukses perusahaan kapitalis , maka semakin banyak sumber daya yang tersedia untuk memperbaiki efisiensi produksi. Oleh karena itu kerja adalah ujung ahirnya;  keuntungan yang diinvestasikan kembali adalah nyata, dan memberikan ganjaran sendiri.
Pandangan Weber cukup jelas. Hanya puritanisme yang berharap pengikutnya untuk berpikir  menurut cara yang sesuai dengan tuntutan khusus bagi produsen kapitalis. Tanpa penduduk yang mengabdikan diri kepada duniawi, bersedia menghindari perbuatan berlebihan yang mengandung dosa, kapitalisme niscaya tercabut dari akarnya . Terciptanya suatu dunia seperti di gambarkan diatas merepresentasikan contoh yang sempurna dari pandangan Weber mengenai peranan keyakinan dan tindakan dalam perubahan social. Menurut Weber, kapitalisme adalah anak kandung cara berpikir dan bertindak, bukan mode produksi yang lahir dari kekuatan ekonomi.[21]
D.           Hubungan antara Etika Protestan dengan Spirit Kapitalisme
Hubungan anatara agama protestan Calvinis dan kapitalisme ini, Weber lebih lanjut berusaha membahas dan mengidentifikasikan berbagai ciri yang menbedakan antara kapitalisme  modern dan berbagai corak organisasi ekonomik lainnya, serta berbagai ciri yang membedakan antara Calvinisme dan beberapa versi lain agama Kristen.
Calvinisme maupun perkembangan kapitalisme adalah penekanan pada individualism, atau pada keputusan-keputusan manusia sesuai dengan kesadaran dan kepentingannya sendiri, tanpa memandang dari kelompok manapun, dan individualismenya ini dinilai sebagai produk baik dalam konteks keagamaan maupun ekonomi.[22]
Seperti kebanyakan pakar abad ke-19, tujuan utama Weber adalah untuk memahami modernitas, prubahan kehidupan social baru dan radikal yang terjadi di Eropa barat dan Amerika serikat dan berkembang kekawasan dunia yang lain. Prinsip Kapitalis yang mengatur system modern adalah kapitalisme adalah semangat memproduksi barang yang rasional fisien, dan mengejar keuntungan yang berdasarkan kepemilikan pribadi dan individual. Menurut Weber sendiri bahwa :
Kapitalisme itu indentik dengan mengejar keuntungan dengan cara berusaha secara terus menerus, rasional denga peursahaan kapitalis dan organisasi kapitalis rasional tenaga kerja bebas.[23]

Etika ekonomi yang diajarkan oleh Katolisisme abad pertengahan menciptakan banyak hambatan bagi perkembangan kapitalis dan bagi ideologi kapitalis. Kebencian terhadap kemakmuran material merupakan kelanjutan ajaran para padri Katolik yang melawan Mamoisme. Santo Agustinus menganggap bahwa berdagang itu buruk karena menjauhkan manusia dari usaha mencari Tuhan. Sepanjang abad pertengahan, perdagangan dan perbankan dianggap sebagai kejahatan yang diperlukan. Meminjam uang dengan memungut bunga dianggap tidak layak dilakukan oleh seorang Kristen. Sehingga pada saat dimana kegiatan itu diserahkan kepada orang-orang non Kristen. Membungakan uang merupakan pelanggaran hukum karena ada Undang-Undang anti riba dari penguasa gereja maupun penguasa seluler, spekulasi dan praktek riba melanggar doktrin pokok ekonomi abad pertengahan, yaitu harga yang adil.
Berkembangnya perdagangan pada akhir abad pertengahan menimbulkan konstroversi dan mendorong ke arah berbagai usaha penyesuaian antara doktri-doktrin teologis dengan realitas ekonomis. Di Venesia, Florence, Augburg, semua kota Katolik, kaum kapitalis melanggar semangat dan memanipulasi surat larangan terhadap pembungaan uang. Menjelang revormasi Protestan, kaum kapitalis yang masih dibayang-bayangi dosa orang tamak oleh karena kedudukannya, telah menjadi tidak teladan bagi pemerintah sekuler dan sejumlah besar orang yang tergantung kepada mereka untuk memperoleh pekerjaan.[24]
E.            Kontroversi etika Protestan dan spirit Kapitalisme di kalangan para Ahli
Etika protestan ditulis dengan niatan berpolemik. Ini terbukti dalam berbagai reverensi yang dibuat Weber pada idelisme dan materialisme. Studi ini kata Weber, adalah suatu kontribusi untuk memahami bagaimana ide-ide menjadi kekuatan efektif dalam sejarah dan diarahkan berlawanan dengan determinisme ekonomi.[25]
Hal-hal yang kontraks semacam inilah maka etika protestan bisa memicu kontroversi dan banyak dibicarakan. Alasan terpenting bagi terbentuknya intensitas emosi adalah dua term utama yang dipakai Weber “agama” dan “kapitalsme”. Selan itu, banyak kritik yang muncul kalau dirangkum, mungkin berbagai kritik itu bisa terbagi dalam berbagai sudut sebagai berikut:
1.             Karakterisasi yang diberikan Weber pada Protestanisme benar-benar keliru. Para kritikus ini membidik perlakuan Weber terhadap Reformasi, interpretasi  Weber terhadap sekte-sekte puritan secara umum, dan terhadap Calvinisme secara khusus. Dikatakan Weber kelir dalam menganggap Luther memperkenalkan konsep ‘Calling’’yang berbeda dari sebelumnya pernah bisa didapatkan dalam injil. Dikatakan, etika Calvinis pada nyatanya justru lebih anti kapitalis daripada sekedar akumulasi kekayaan sebagai tujuan tidak langsung.
2.             Kritikan lain berpendapat, ekspoposisi Weber terhadap ide-ide dan aspek lain dari analisisnya tentang teorinya yang tidak bisa diterima. Ide-ide Franklin ini mendapat porsi besar karena Weber memandang pengaruh puritanisme terhadap bisnis di Amerika As sebagai penyederhana dari tesisnya.
3.             Weber menginterpretasi dokrin katolik para kritikus menuding, Weber mungkin katolikisme lebih detil meski argument Weber didasarkan pada adanya perbedaan mendasar antara katolikisme dan protestanisme dalam nilai-nilai yang relevan. Para kritikus berpendapat, katolikisme pasca abad pertengahan di Eropa justru melibatkan para elemen-elemen yang sangat mendukung spirit kapitalisme.
4.             Pernyataan weber tentang koneksi antara puritanisme dan kapitalisme modern didasarkan pada materi-materi empiris yang kurang bisa dipertanggungjawabkan. Kritik ini dikembangkan oleh Fischer dan Rachfal dalam berbagai bentuk yang kemudian terus bergema. Mereka mengungkapkan, studi yang menjadi rujukan weber hanya aktivitas ekonomi kaum katolik dan kaum protestan.
5.             Weber tidak bisa diterima saat menggambarkan secara kontras antara kapitalisme modern atau rasional dengan tipe-tipe aktivitas kapitalistik era sebelumnya. Mereka beragumen, bahwa weber mencondongkan konsep kapitalisme modern sedemikian rupa sehingga bisa dicocok-cocokan dengan elemen-elemen puritanisme  yang dianut
6.             Para kritikus marxis cenderung menolak weber tentang pandangan prularistik berupa klausal historis. Beberapa bahkan berusaha menginterpretasi ulang tesis etika protestan dengan memperlakukan doktri-doktrin puritanisme yang dianalisis Weber sebagai epifenomena perubahan ekonomi yang sudah ada sebelumnya. Kritikus lainnya, yang tidak selalu berhaluan marxis, menolak kerangka kerja metodologis yang dipakai weber.[26]


BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
1.             sejarah munculnya etika Protestan dan Spirit Kapitalisme: terispirasi dari negeri Belanda pada abad ke-16 dan 17, mengenai pemilikan bersama dalam kegiatan usaha kapitalis dikalangan keluarga Huguenots dan orang-orang katolik di Perancis pada abad ke-16 dan 17di kalangan kelompok puritan di Inggris, dan lebih dari itu dikalangan para penganut cabang puritanisme inggris yang menetap di Amerika dan mendirikan wilayah New England (Inggris Baru).
2.             Perkembangan Kapitalisme: Ada beberapa sifat dasar yang mencirikan kapitalisme sejak awal perkembangannya antara lain : (1) Pemilikan perorangan (individual qwnership). (2) Perekonomian Pasar (Market Economy) (3) Persaingan (competition) (4) Keuntungan (profit)
3.             Pokok-Pokok Ajaran Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme: modal harus diakumulasi; tidak untuk dikonsumsi, melainkan harus diinfestasikan kembali untuk mengembangkan teknik-teknik produksi yang lebih efesien demi memperoleh keuntungan lebih besar. Kebutuhan adalah upaya menemukan cara-cara  produksi yang  rasional dan terus menerus, dengan menarik kembali hasil kerja keras. Lebih banyak kekayaan yang dikumpulkan, semakin sukses perusahaan kapitalis , maka semakin banyak sumber daya yang tersedia untuk memperbaiki efisiensi produksi. Oleh karena itu kerja adalah ujung ahirnya;  keuntungan yang diinvestasikan kembali adalah nyata, dan memberikan ganjaran sendiri.
4.             Hubungan Etika Protetan dan lahirnya system kapitalis: (1) penekanan pada individualism, atau pada keputusan-keputusan manusia sesuai dengan kesadaran dan kepentingannya sendiri, tanpa memandang dari kelompok manapun, dan individualismenya ini dinilai sebagai produk baik dalam konteks keagamaan maupun ekonomi. (2) Membungakan uang merupakan pelanggaran hukum karena ada Undang-Undang anti riba dari penguasa gereja maupun penguasa seluler, spekulasi dan praktek riba melanggar doktrin pokok ekonomi. (3) usaha penyesuaian antara doktri-doktrin teologis dengan realitas ekonomis.
5.             Kontroversi Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme di kalangan para ahli:  (1) Karakterisasi yang diberikan Weber pada Protestanisme benar-benar keliru. (2) ekspoposisi Weber terhadap ide-ide dan aspek lain dari analisisnya tentang teorinya yang tidak bisa diterima (3) argument Weber didasarkan pada adanya perbedaan mendasar antara katolikisme dan protestanisme dalam nilai-nilai yang relevan. (4) Pernyataan weber tentang koneksi antara puritanisme dan kapitalisme modern didasarkan pada materi-materi empiris yang kurang bisa dipertanggungjawabkan. (5) Weber tidak bisa diterima saat menggambarkan secara kontras antara kapitalisme modern atau rasional dengan tipe-tipe aktivitas kapitalistik era sebelumnya (6) Para kritikus marxis cenderung menolak weber tentang pandangan prularistik berupa klausal historis
B.            Saran
  Sebaiknya teori  yang diungkapkan weber mengenai etika protstan dan spirit kapitalisme menjadi pelajaran berharga dan dapat di petik sisi positifnya yakni kerja keras, hidup hemat dan taat beribadah karena islam pun menganut ajaran itu, akan tetapi berbeda penerapannya Karena islam menganut ajaran yang memiliki batasan dalam bertindak dan berperilaku. Jadi, perlu adanya kesadaran dalam bertindak serta memperhatikan lingkungan sekitar agar tidak terjadi ketimpangan sosial yang menguntungkan satu pihak sedangkan pihak lain merasa terganggu atau di rugikan.







DAFTAR PUSTAKA
Bendix, Reinhard 1972 Max Weber” International Encyclopedia of Social Science , vol. 16, The Macmillan and The Free Press.
Berger Peter L. 1990 Revolusi Kapitalis. Penerbit LP3S. jakarta.
Betty R Scharf 1995 Kajian Sosiologi Agama cet.1; Yogyakarta.PT Tiara Wacana Yogyakarta.
Bryan S. Turner, 1984 Sosiologi Islam: Suatu Tinjauan Analitis atas Tesa Sosiologi Weber, ter. G. A. Tocialu Jakarta: Rajawali Press,
Deliarnov. 1995 Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Edisi Revisi. Jakarta Penerbit PT Raja Grafindo Persada,
Giddens, Anthony 1985 Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu  Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, ter. Suheba Kamadibrata Jakarta: UI Press.
Green  W. Robert 1959 Protestantism and Capitalism: The Weber Thesis and It’s Critics Boston: D. C. Heath and Company.
Hasan Johan, 1999 Hakekat kapitalisme dan Keterbatasannya Ekonomi. Penerbit, Ombak, Yogyakarta
Hoower B. Calvin, 1972 “Capitalism” International Encyclopedia of The Social Sciences, vol. I, New York The Macmillan Company & The Free Press,
Jones Pip, 2009 Pengantar Teori-Teori Sosial, Ed. I, Cet. I, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Kuntowidjojo. 2005 Peran Borjuis Dalam Transformasi Eropa. Yogyakarta Penerbit Ombak,
Sudrajat Ajat, 1994 Etika  Protestan  dan  Kapitalisme  Barat:  Relevansinya dengan Islam Indonesia Jakarta: Bumi Aksana,
Sztompka Piotr, 2011 Sosiologi Perubahan social Cet.6: Jakarta. Prenada Media Group.
Tawnwy, R.H. 1990 Religion And The Rise of Capitalism. Malang. Penerbit Gandum Mas
Weber,Max 2001 The  Protestant  Ethic  and  the  Spirit  of  Capitalism translated by Talcott Parson London: Routledge Classics
Weber, Max  2006 Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Cet. I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Weber Max, 2000 Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Surabaya :  Pustaka Promethea,
Winardi. 1986 Kapitalisme dan Sosialisme Suatu Analisis Ekonomi Teoritis. Bandung. Penerbit Remadja Karya.














[1] Reinhard Bendix, Max Weber” International Encyclopedia of Social Science ,( vol. 16, The Macmillan and The Free Press, 1972).hlm 69
[2]  Bendix Max Weber” International Encyclopedia of Social Science,.....hlm 69
[3] Max Weber,  The  Protestant  Ethic  and  the  Spirit  of  Capitalism translated by Talcott Parson (London: Routledge Classics, 2001). hlm 47
[4]Max Weber, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, (Cet. I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006), hlm 76
  [5] Max Weber, Etika Protestan dan spirit kapitalisme,.....hlm .xxx.
[6] Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu  Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, ter. Suheba Kamadibrata (Jakarta: UI Press, 1985).hlm 89
 [7]R Scharf Betty. Kajian Sosiologi Agama ( cet.1; Yogyakarta.PT Tiara Wacana Yogyakarta;1995)hal.29-30
[8]  Winardi. Kapitalisme dan Sosialisme Suatu Analisis Ekonomi Teoritis. (Bandung. Penerbit Remadja Karya. 1986 ) hlm 89
[9] Deliarnov. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Edisi Revisi. (Jakarta Penerbit PTRaja Grafindo Persada, 1995 ), hlm 34
[10]  Kuntowidjojo. Peran Borjuis Dalam Transformasi Eropa. (Yogyakarta Penerbit Ombak, 2005) hlm 90
[11]  Kuntowidjojo. Peran Borjuis Dalam Transformasi Eropa,... hlm 91
[12]R.H Tawnwy. Religion And The Rise of Capitalism. (Malang. Penerbit Gandum Mas, 1990) hlm 56
[13] B. Calvin Hoower, “Capitalism” International Encyclopedia of The Social Sciences, (vol. I, New York The Macmillan Company & The Free Press, 1972). Hlm 101
[14] B. Calvin, “Capitalism” International Encyclopedia of The Social  Sciences,..... hlm 102
[15] Max Weber, Etika Protestan dan spirit kapitalisme,.....hlm 79
[16] S. Turner Bryan, Sosiologi Islam: Suatu Tinjauan Analitis atas Tesa Sosiologi Weber, ter. G. A. Tocialu (Jakarta: Rajawali Press, 1984).hlm 122
[17] B. Calvin, “Capitalism” International Encyclopedia of The Social  Sciences,..... hlm 103
[18] W. Robert Green (ed.), Protestantism and Capitalism: The Weber Thesis and It’s Critics (Boston: D. C. Heath and Company, 1959).hlm 76
[19]  W. Robert, Protestantism and Capitalism,........hlm 78
[20] Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, (Surabaya :  Pustaka Promethea, 2000), hlm 78
[21] Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial,  (Ed. I, Cet. I, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 2009) Hlm 120-122
[22] Peter L Berger. Revolusi Kapitalis. (Penerbit LP3S. jakarta. 1990).hlm 81-82
 [23] Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan social ( Cet.6: Jakarta. Prenada Media Group. 2011) hlm. 274. 
[24] Ajat Sudrajat, Etika  Protestan  dan  Kapitalisme  Barat:  Relevansinya dengan Islam Indonesia (Jakarta: Bumi Aksana, 1994).hlm 54-55
[25]Johan Hasan, Hakekat kapitalisme dan Keterbatasannya Ekonomi. (Penerbit, Ombak, Yogyakarta 1999), hlm 67-68
[26]  Weber, Etika Protestan dan spirit kapitalisme,....hal.xliii.


No comments:

Post a Comment