<!-- Start of KOMISI GRATIS Script -->
<script type="text/javascript" src="https://komisigratis.com/ads.php?pub=68037"></script>
<!-- End of KOMISI GRATIS Script -->
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu tanpa agama lumpuh, dan agama tanpa ilmu
buta. Begitulah Einstein memandang kedua bidang tersebut tidak bisa dipisahkan.
Dalam hal ini perlunya sebuah paradigma baru dalam membangun peradaban Islam
yaitu dengan pengislamisasian ilmu pengetahuan yang berdasarkan ketauhidan.[1]
Dengan begitu ilmu syarat dengan nilai dan tidak bebas nilai sebagaimana yang
dihasilkan peradaban Barat.[2]
Di dalam Islam sendiri aktivitas harus dilaksanakan
sesuai dengan Kehendak Tuhan, yang di dalamnya terdapat norma-norma dan
prinsip-prinsip seni Islam.[3]
Kesadaran transenden itulah yang terus ditekankan oleh para intelektual Muslim
yang tujuannya adalah mengabdi pada ajaran Ilahi.
Pergulatan selama ini antara sains dengan agama
yang berdampak negatif haruslah dihindarkan, karena keduanya memberikan
sumbangsih yang besar terhadap permasalahan zaman.[4]
Jika keilmuan Pendidikan Islam dan cabangnya yang lainnya merasa cukup dengan
dirinya sendiri dan tidak mau berhubungan dengan cabang yang lainnya, maka ia
tidak punya masa depan yang diharapkan, bahkan diragukan kontribusinya terhadap
pembangunan karakter bangsa.[5]
Oleh sebab itulah untuk menghidupkan peradaban
yang telah berabad-abad telah mengalami kejumudan dibutuhkan langkah yang konkrit
dan jelas yaitu umat Islam harus memajukan sains, teknologi dan pendidikan
secara integratif.[6]
Kebanyakan para saintis lebih dominan memegang
teori-teori ilmiah, sedangkan para ulama lebih dominan pada pembacaan teks-teks
wahyu yaitu Al-Qur`an dan Al-Hadits. Namun Agus Purwanto merupakan salah satu
dari kebanyakan saintis yang mencoba mengkaji, meneliti dan mengeksplorasi dari
keduanya, sampai akhirnya ditemukanlah kecocokan (fenomena alam semsta dan
Al-Qur`an) dalam arti yang sebenarnya. Dan dari hal inilah beliau menekankan
akan pentingnya melakukan penelitian yang mendalam dari sinyal-sinyal ayat
kauniyah yang selama ini belum tergali secara mendalam dengan perangkat,
melihat fenomena alam, dan pembacaan teks Al-Qur`an melalui (kebahasaan,
kitab-kitab tafsir dan hasil-hasil penelitian ilmiah dari terdahulu sampai
kontemporer). Dari berbagai bidang tersebut bekerja sama secara
integral-interkonektif.
B.
Rumusan Masalah.
1.
Bagaimana Integrasi-Interkoneksi Sains dan Agama.?
2.
Bagaimana konsep integrasi-interkoneksi sains dan Agama.?
3.
Bagaimana Kelemahan dan Kekuatan Konsep sains dan Agama.?
C.
Tujuan masalah.
1.
Untuk
mengetahui Integrasi-Interkoneksi
Sains dan Agama
2.
Untuk
mengetahui konsep integrasi-interkoneksi
sains dan Agama
3.
Untuk
mengetahui Kelemahan dan Kekuatan Konsep
sains dan Agama
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Integrasi-Interkoneksi Sains dan Agama
Secara bahasa integrasi berasal dari kata integrated
yang memiliki arti pertama keseluruhan atau utuh, yang kedua berarti
bersatunya antar bagian menjadi satu, yang ketiga berarti menghilangkan
hambatan.[7]
Sedangkan interkoneksi berasal dari kata interconnection yang berarti
menghubungkan yang satu dengan yang lain.[8]
Dengan demikian penyatuan dan keterhubungan dalam
hal ini adalah sains dengan agama. Amin Abdullah mengibaratkan integrasi-interkoneksi
seperti halnya mata uang yang memiliki dua bagian yang tidak bisa dipisahkan.
Ada tiga kata kunci yang diinspirasi dari Ian G Barbour dan Holmes Rolston
dalam integrasi-interkoneksi sains dan agama, Yaitu:
1.
Semipermeable (saling menembus): Hubungan antara ilmu/sains dengan agama tidaklah
dibatasi dengan tembok/dinding tebal yang tidak memungkinkan untuk
berkomunikasi, tersekat atau terpisah sedemikian ketat, melainkan saling
menembus. Masih tampak garis batas demarkasi antar bidang disiplin ilmu, namun ilmuan
antar bidang saling membuka diri untuk saling berkomunikasi dan saling menerima
masukan dari disiplin luar bidangnya. Dan hubungan. saling menembus ini dapat
bercorak klarifikatif, komplementatif, alternative, korektif, verifikatif
maupun transformatif.
2.
Intersubjektive Testibility (keterujian intersubjektif): Pemahaman mengenai
subyek dan obyek selalu menjadi perdebatan dalam pengambilan sebuah kesimpulan.
Ada objektif dan subjektif, dan bagaimanapun pula objek selalu dikonstruk oleh
subjek. Oleh karena itu, pemahaman tentang apa yang disebut objektif harus
disempurnakan menjadi intersubjective testability, yakni semua komunitas
keilmuan turut serta secara bersama-sama menguji penafsiran dan pemahaman data
yang diperoleh dari seorang peneliti.[9]
Dalam hal ini
beliau menekankan bahwasannya dalam agama akan sangat susah untuk melihat
apakah sujektif atau objektif. Untuk itulah ada dua kemungkinan pemahaman dalam
agama yaitu objective-cumsubjective atau subjective-cum-objective dan
klaster yang terakhir adalah intersubjektif. Untuk menghindarkan diri dari
pemahaman subjektif yang akut, agamawan perlu mengenal adanya unsur-unsur
objektif dalam agama melalui penelitian empiris. Sehingga intersubjektif ini
dapat dipahami sebagai kondisi mentalitas keilmuan seseorang yang dengan cerdas
mendialogkan antara dunia objektif dan subjektif dalam menghadapi kompleksitas
kehidupan secara umum, tidak hanya sekedar sains dan agama.[10]
3.
Creative Imagination (imajinasi kreatif): Membuat teori baru tidaklah
mudah karena dibutuhkan perjuangan yang sungguh-sungguh dan keberanian yang
kuat dalam menggabungkan berbagai gagasan, ide-ide yang telah ada sebelumnya.
Oleh karenanya imajinasi kreatif sangatlah ditekankan dalam rangka pencarian
dan penggalian teori baru, yakni berani mengaitkan dan mendialogkan uraian dalam
satu bidang ilmu agama dalam kaitan, diskusi dan perjumpaannya dengan disiplin
keilmuan yang lainnya.[11]
Ketiga kata kunci
di atas mendasari paradigma integrasi-interkoneksi sains dan agama. Keutuhan
yang didasarkan dari saling dialog antar bidang keilmuan, ditambah dengan
mentalitas seorang peneliti dalam mendialogkan subjektifitas dan objektifitas
data yang ada disertai dengan imajinasi berfikir kreatif menjadikan paradigma
keilmuan terlihat utuh dan kokoh. Kehadiran agama di mata sains menjadikannya
memiliki sudut pandang yang lebih luas sekaligus ada prinsip-prinsip yang
memang harus ada batasnya. Begitu juga kehadiran sains di mata agama
menjadikannya lebih mudah dipahami secara empiris.
B.
konsep integrasi-interkoneksi sains dan Agama
Sebagaimana konsep integrasi-interkoneksi sains
dan Agama membawa pada pemahaman akan pentingnya berbagai bidang keilmuan
(Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Geografi) turut serta mengeksplorasi
Al-Qur`an khususnya ayat-ayat kauniyah.
Hal ini meneguhkan pula bahwa belajar Pendidikan
Agama Islam tidak hanya monoton, namun berusaha berkolaborasi secara aktif
dengan bidang-bidang diatas dalam rangka mengembangkan potensi umat Islam
secara komprehensif.
Hal yang sama juga ditegaskan Sardar bahwa dalam
rangka menemukan epistimologi Islam masa kini, perlu ditekankan
kesalingketerkaitan, yakni semua bentuk pengetahuan saling terkait dan secara
organis dihubungkan oleh jiwa wahyu Al-Qur`an yang selalu hidup. Keragaman dan
kesalingketerkaitan menjadi ciri yang unik pada epistimologi Islam.[12]
Bagi Kuntowijoyo pengembangan eksperimen- eksperimen
ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada paradigma Al-Qur`an jelas akan memeprkaya
khazanah ilmu pengetahuan umat manusia. Premis-premis normatif Al-Qur`an dapat
dirumuskan menjadi teori-teori empiris dan rasional, dan pada akhirnya dapat
dipakai sebagai basis untuk kebijakan-kebijakan aktual.
Oleh karena itulah diperlukan demistifikasi
sebagai gerakan intelektual untuk menghubungkan kembali teks dengan konteks
atau teks menuju konteks artinya berkesinambungan dan berusaha menjawab
permasalahan.[13]
Sebanyak 800 ayat kauniyah tersebut terbagi
menjadi 132 bab. Dari bab-bab tersebut bisa langsung dimasukkan ke dalam mata
pelajaran yang sesuai temanya mulai dari Matematika, Fisika, Kimia, Biologi,
Geografi. Dengan begitu PAI akan menjadi sumber sekaligus inspirasi bagi tumbuh
kembangnya ilmu pengetahuan kealaman dan menjadikan umat Islam berfikir kreatif
dan inovatif, karena di dalamnya terintegrasi muatan hirarki ketrampilan proses
sains. Tingkatan dasar mulai dari observasi, membandingkan, mengelompokkan,
mengukur, mengkomunikasikan.
Tingkatan menengah mulai dari menginferensi, dan
memprediksi, sedangkatan tingkatan mahir mulai dari membuat hipotesis,
mendefinisikan dan mengendalikan variabel.[14]
Sejarah juga mencatat bagaimana umat Islam
menuntut dirinya untuk menguasai ketrampilan sains akan berbagai aspek di
dalamnya yang pada akhirnya menjadikan sebab mereka menguasai semua prinsip
dasar dan kaidah-kaidah sekaligus memahami problemanya. Ilmu-ilmu ‘aqliyyat seperti
ini dapat berkembang melalui diskusi-diskusi dan perdebatan-perdebatan ilmiah,
bukan bertumpu pada hafalan.
Dan Ibnu Khaldun lebih jauh menyimpulkan bahwa
sistem pengajaran merupakan faktor yang paling utama dalam menumbuhkan ilmu,
pemahaman dan kemahiran.[15]
Ketika umat Islam memiliki pengajaran ilmiah dan keahlian keahlian, mereka
berada pada orde yang sangat kokoh.[16]
Menurut Amin Abdullah, umat Islam pada
hakekatnya telah memiliki konsep berfikir yang kreatif dan inovatif sebagaimana
dahulunya telah dicontohkan di zaman keemasan Islam, namun setelah runtuhnya
peradaban Islam, ketiga epistimologi bayani, burhani dan irfani ini
didikotomikan satu sama lainnya. Padahal untuk mengejar ketertinggalan
sekaligus memecahkan problem-problem kontemporer umat Islam sangat memerlukan
ketiga epistimologi tersebut secara integrasi-interkoneksi.[17]
Pendidikan Agama Islam harus tetap memusatkan perhatian mereka pada hal-hal
yang dapat menumbuhkembangkan seluruh potensi-potensinya.
Al-Qur`an menjadi sumber ilmu dan inspirasi yang
harus terus dikaji, dari teks menuju konteks atau sebaliknya dan terlebih dalam
ayat-ayat kauniyah. Agar Pendidikan Agama Islam dapat berkembang dan mendapat perhatian
khusus masyarakat haruslah segera merekonstruksi kurikulum dan sistem
pengajarannya, di antaranya: 1) menyatukan ketiga aspek, kognitif, afektif dan
psikomotorik, 2) dekat dengan realitas, 3) berorientasi pada pemecahan masalah,
4) menghilangkan berfikir deduktif-normatif, 5) kaya visualisasi (contoh dan
praktek riil), 6) teo-antroposentris (mengombinasikan kedua aspek, yaitu
ketuhanan dan kemanusiaan secara bersamaan).[18]
Beberapa hal di atas akan membawa PAI menuju
kearah yang lebih baik dan berusaha mendekatkan pada realitas sejatinya. Dualisme
keilmuan khususnya di Indonesia sendiri berdampak pada pola pikir yang serba
bipolar-dikotomis dan menjadikan manusia terasing dari dirinya sendiri,
keluarga, masyarakat dan lingkungannya.[19]
Dan hal ini harus segera diatasi secepat mungkin
dan berkesinambungan. Wacana pengintegrasian-penginterkoneksian ilmu dan Agama
sudah menggelora sedemikian lamanya. Dari PTKIN sendiri sudah mulai membuka
programprogram pendidikan umum seperti Fisika, Kimia, Biologi, Kedokteran, dan
lain-lain. Hal tersebut menunjukkan upaya yang jelas bahwa Sekolah yang
berlabel Agama juga turut serta mengembangkan ilmu-ilmu umum.
Kampus-kampus UIN seharusnya tidak sekedar
melakukan integrasi sains dan Islam atau ayatisasi sains, karena upaya ini
sebenarnya harus sudah digagas semenjak di jenjang sekolah dasar sampai
menengah atas. UIN harus berani melakukan eksperimen realisasi sains,
setidaknya mengakomodasi dalam sub-bidang atau sub-jurusan dalam bimbingan
tugas akhir.
Secara operasional integrasi-interkoneksi sains
dan Agama di sekolahsekolah belum tampak dengan jelas. Yang baru bisa dilakukan
adalah mencoba memberikan wacana yang seluas-luasnya agar setiap guru PAI maupun
guru-guru bidang umum yang berada dalam sekolah Islam tentang pentingnya
korespondensi teks menuju konteks dan sebaliknya. Lebih lanjut lagi bahwa menyatukan
fondasi ide yang berprinsipkan Al-Qur`an sebagai eksplorasi ilmiah dan sejauh
tidak kontradiksi dengan Al-Qur`an maka tergolong Islami.[20]
Dengan integrasi-interkoneksi sains dan Agama,
keberadaan Pendidikan Agama Islam tidak akan dipandang sebelah mata. Ia akan
dijadikan sumber rujukan ide-ide, inspirasi dan tumbuh kembangnya pengetahuan
dan teknologi.
C.
Kelemahan dan Kekuatan Konsep sains dan Agama
Adapun integrasi-interkoneksi sains dan Agama
dalam hal ini memiliki kelemahan yaitu
tidak
mudah menemukan praktisi yang cakap dalam ilmu agama, bahasa, serta ilmu-ilmu
sains sekaligus. Di sisi lain sejarah dikotomi keilmuan secara umum umat Islam
dan khususnya di Indonesia sudah sejak awal kemerdekaan hanya menggenerasikan
penerusnya ahli dalam satu bidang keilmuan saja.
Sedangkan beberapa kekuatan
integrasi-interkoneksi sains dan Agama adalah sebagai berikut: menekankan
pengkajian Al-Qur`an secara mendalam dan komprehensif khususnya ayat-ayat
kauniyah. Dengan Berlatar belakang dari belajar Agama yang kemudian juga
menjadi saintis menjadi penegas bahwa keduanya harus saling dikorespondensikan,
terlebih ada 800 ayat kauniyah yang belum tergali secara mendalam dari aspek
fenomenologi, kebahasaan, tafsir dan penelitian-penelitian ilmiah yang
terintegrasi-interkoneksi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
integrasi-interkoneksi sains dan Agama adalah
dengan upaya mengeksplorasi, mengelaborasi 800 ayat-ayat kauniyah dengan
kebahasaan (bahasa Arab), kitab-kitab tafsir para ulama, dan hasil-hasil
penemuan penelitian ilmiah terdahulu sampai kontemporer. Berawal dari teks
Al-Qur`an menuju konteks yaitu fenomena alam sekaligus kerja ilmiah, dan begitu
juga sebaliknya dari konteks menuju teks.
Pendidikan Agama Islam menjadi salah satu sumber
rujukan ide-ide dan inspirasi bagi tumbuh kembangnya potensi-potensi dalam diri
manusia. Ia harus berusaha semaksimal mungkin untuk bekerja sama saling
berdialog dengan bidang-bidang yang lain khususnya bidang kealaman (Matematika,
Fisika, Kimia, Biologi, Geografi) dalam rangka menjamin tumbuh kembangnya
potensi-potensi diri manusia. Begitu juga dengan memantapkan sumber ayat-ayat
kauniyah yang sudah jelas untuk didialogkan.
B.
Saran-Saran
1.
Sains Islam akan terus berkembang di dunia, terlebih dapat memberikan nilai
yang positif dari karakter sains, tidak hanya logis, empiris, sistematis, namun
juga sarat dengan nilai.
2.
Diperlukan langkah-langkah operasional integrasi-interkoneksi sains dan Agama
untuk dapat dimasukkan dalam kurikulum lembaga pendidikan awal, menengah, atas
dan perguruan tinggi sekalipun.
3.
Integrasi-Interkoneksi sains dan Agama sangat tepat diterapkan di
lembaga Pendidikan Islam khususnya
DAFTAR PUSTAKA
Wan Sabri, dkk,
2015 “Islamic Civilization: Its Signifigance in al-Faruqi’s Islamization of
Knowledge”, International Journal of Islamic Thought, Volume 7 June
Syed Muhammad Naquib al-Attas, 1993 Islam and
Secularism, Kuala Lumpur:ISTAC,
Seyyed Hossein
Nasr, 1994 Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, Terjemahan
Luqman Hakim. Bandung: Penerbit Pustaka,
Edwin Syarif, 2013 “Pergulatan Sains dan Agama”,
Refleksi, vol.13, no.5 Oktober
M. Amin Abdullah,
dkk, 2014 Implementasi Pendekatan Integratif Interkonektif dalam Kajian
Pemikiran Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pascasarjana UIN Yogyakarta,
Din Syamsuddin,
“Diskusi Pakar dalam Program Doktor Politik Islam UMY”, Senin, 2 Mei 2016,
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Amin Abdullah, 2013
Agama, Ilmu dan Budaya: Paradigma Integrasi-Interkoneksi Keilmuan,
Naskah Inaugurasi Amin Abdullah menjadi salah satu anggota Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia (AIPI), Yogyakarta, 17 Agustus
Ziauddin Sardar,
1987 Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come, terjemahan Rahmani
Astuti, Bandung: Pustaka,
Kuntowijoyo. 2006 Islam
sebagai Ilmu: Epistimologi. Metodologi dan Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana,
Charlesworth and
Lind, 2013 Math and Science for Young Children (7 ed), Canada:Wadsworth,
Cengage Learning,
bnu Khaldun, 2000 Muqaddimah
Ibnu Khaldun, terjemahan Ahmadie, Jakarta: Pustaka Firdaus,
Amin Abdullah, 2012
Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif- Interkonektif, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,
Masdar Hilmy, 2016 Pendidikan Islam dan
Tradisi Ilmiah, Malang: Madani,
[1] Amin Abdullah, Dkk, Menyatukan Kembali
Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempertemukan Epistimologi Islam,
(Yogyakarta:SUKA Press. 2003), hlm 4.
[1] Indal Abror, “Refleksi tentang Hubungan Sains
dan Agama bagi Umat Islam”, Aplikasia: Jurnal Ilmu-Ilmu Agama,( Vol.
VII, No 1 Juni 2007),hlm 77-84.
[1] Wan Sabri, dkk, “Islamic Civilization: Its
Signifigance in al-Faruqi’s Islamization of Knowledge”, International
Journal of Islamic Thought, Volume 7 (June 2015),hlm 51.
[3] Seyyed Hossein
Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, Terjemahan Luqman
Hakim.( Bandung: Penerbit Pustaka, 1994),hlm 117.
[5] M. Amin Abdullah,
dkk, Implementasi Pendekatan Integratif Interkonektif dalam Kajian Pemikiran
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pascasarjana UIN Yogyakarta, 2014),hlm 1.
[6] Din Syamsuddin,
“Diskusi Pakar dalam Program Doktor Politik Islam UMY”, Senin, 2 Mei 2016,
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
[9] Amin Abdullah, Agama, Ilmu dan Budaya:
Paradigma Integrasi-Interkoneksi Keilmuan, Naskah Inaugurasi Amin Abdullah
menjadi salah satu anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), (Yogyakarta,
17 Agustus 2013),hlm 10-21.
[12] Ziauddin Sardar, Islamic
Futures: The Shape of Ideas to Come, terjemahan Rahmani Astuti, (Bandung:
Pustaka, 1987),hlm 104-105.
[13] Kuntowijoyo. Islam
sebagai Ilmu: Epistimologi. Metodologi dan Etika, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2006).hlm 10-24.
[14] Charlesworth and
Lind, Math and Science for Young Children (7 ed), (Canada:Wadsworth,
Cengage Learning, 2013),hlm 3.
[15] bnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun,
terjemahan Ahmadie, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm538.
[17] Amin Abdullah, Islamic
Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif- Interkonektif, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), hlm 200-2017.
[19] Amin Abdullah, Dkk,
Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempertemukan
Epistimologi Islam, (Yogyakarta:SUKA Press. 2003), hlm 4.
[20] Indal Abror, “Refleksi
tentang Hubungan Sains dan Agama bagi Umat Islam”, Aplikasia: Jurnal
Ilmu-Ilmu Agama,( Vol. VII, No 1 Juni 2007),hlm 77-84.
No comments:
Post a Comment