Saturday, July 20, 2019

konsep integrasi-interkoneksi sains dan Agama.


<!-- Start of KOMISI GRATIS Script -->

<script type="text/javascript" src="https://komisigratis.com/ads.php?pub=68037"></script>
<!-- End of KOMISI GRATIS Script -->

BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Ilmu tanpa agama lumpuh, dan agama tanpa ilmu buta. Begitulah Einstein memandang kedua bidang tersebut tidak bisa dipisahkan. Dalam hal ini perlunya sebuah paradigma baru dalam membangun peradaban Islam yaitu dengan pengislamisasian ilmu pengetahuan yang berdasarkan ketauhidan.[1] Dengan begitu ilmu syarat dengan nilai dan tidak bebas nilai sebagaimana yang dihasilkan peradaban Barat.[2]
Di dalam Islam sendiri aktivitas harus dilaksanakan sesuai dengan Kehendak Tuhan, yang di dalamnya terdapat norma-norma dan prinsip-prinsip seni Islam.[3] Kesadaran transenden itulah yang terus ditekankan oleh para intelektual Muslim yang tujuannya adalah mengabdi pada ajaran Ilahi.
Pergulatan selama ini antara sains dengan agama yang berdampak negatif haruslah dihindarkan, karena keduanya memberikan sumbangsih yang besar terhadap permasalahan zaman.[4] Jika keilmuan Pendidikan Islam dan cabangnya yang lainnya merasa cukup dengan dirinya sendiri dan tidak mau berhubungan dengan cabang yang lainnya, maka ia tidak punya masa depan yang diharapkan, bahkan diragukan kontribusinya terhadap pembangunan karakter bangsa.[5]
Oleh sebab itulah untuk menghidupkan peradaban yang telah berabad-abad telah mengalami kejumudan dibutuhkan langkah yang konkrit dan jelas yaitu umat Islam harus memajukan sains, teknologi dan pendidikan secara integratif.[6]
Kebanyakan para saintis lebih dominan memegang teori-teori ilmiah, sedangkan para ulama lebih dominan pada pembacaan teks-teks wahyu yaitu Al-Qur`an dan Al-Hadits. Namun Agus Purwanto merupakan salah satu dari kebanyakan saintis yang mencoba mengkaji, meneliti dan mengeksplorasi dari keduanya, sampai akhirnya ditemukanlah kecocokan (fenomena alam semsta dan Al-Qur`an) dalam arti yang sebenarnya. Dan dari hal inilah beliau menekankan akan pentingnya melakukan penelitian yang mendalam dari sinyal-sinyal ayat kauniyah yang selama ini belum tergali secara mendalam dengan perangkat, melihat fenomena alam, dan pembacaan teks Al-Qur`an melalui (kebahasaan, kitab-kitab tafsir dan hasil-hasil penelitian ilmiah dari terdahulu sampai kontemporer). Dari berbagai bidang tersebut bekerja sama secara integral-interkonektif.
B.            Rumusan Masalah.
1.             Bagaimana Integrasi-Interkoneksi Sains dan Agama.?
2.             Bagaimana konsep integrasi-interkoneksi sains dan Agama.?
3.             Bagaimana Kelemahan dan Kekuatan Konsep sains dan Agama.?

C.           Tujuan masalah.
1.             Untuk mengetahui Integrasi-Interkoneksi Sains dan Agama
2.             Untuk mengetahui konsep integrasi-interkoneksi sains dan Agama
3.             Untuk mengetahui Kelemahan dan Kekuatan Konsep sains dan Agama











BAB II
PEMBAHASAN
A.           Integrasi-Interkoneksi Sains dan Agama
Secara bahasa integrasi berasal dari kata integrated yang memiliki arti pertama keseluruhan atau utuh, yang kedua berarti bersatunya antar bagian menjadi satu, yang ketiga berarti menghilangkan hambatan.[7] Sedangkan interkoneksi berasal dari kata interconnection yang berarti menghubungkan yang satu dengan yang lain.[8]
Dengan demikian penyatuan dan keterhubungan dalam hal ini adalah sains dengan agama. Amin Abdullah mengibaratkan integrasi-interkoneksi seperti halnya mata uang yang memiliki dua bagian yang tidak bisa dipisahkan. Ada tiga kata kunci yang diinspirasi dari Ian G Barbour dan Holmes Rolston dalam integrasi-interkoneksi sains dan agama, Yaitu:
1.             Semipermeable (saling menembus): Hubungan antara ilmu/sains dengan agama tidaklah dibatasi dengan tembok/dinding tebal yang tidak memungkinkan untuk berkomunikasi, tersekat atau terpisah sedemikian ketat, melainkan saling menembus. Masih tampak garis batas demarkasi antar bidang disiplin ilmu, namun ilmuan antar bidang saling membuka diri untuk saling berkomunikasi dan saling menerima masukan dari disiplin luar bidangnya. Dan hubungan. saling menembus ini dapat bercorak klarifikatif, komplementatif, alternative, korektif, verifikatif maupun transformatif.
2.             Intersubjektive Testibility (keterujian intersubjektif): Pemahaman mengenai subyek dan obyek selalu menjadi perdebatan dalam pengambilan sebuah kesimpulan. Ada objektif dan subjektif, dan bagaimanapun pula objek selalu dikonstruk oleh subjek. Oleh karena itu, pemahaman tentang apa yang disebut objektif harus disempurnakan menjadi intersubjective testability, yakni semua komunitas keilmuan turut serta secara bersama-sama menguji penafsiran dan pemahaman data yang diperoleh dari seorang peneliti.[9]
Dalam hal ini beliau menekankan bahwasannya dalam agama akan sangat susah untuk melihat apakah sujektif atau objektif. Untuk itulah ada dua kemungkinan pemahaman dalam agama yaitu objective-cumsubjective atau subjective-cum-objective dan klaster yang terakhir adalah intersubjektif. Untuk menghindarkan diri dari pemahaman subjektif yang akut, agamawan perlu mengenal adanya unsur-unsur objektif dalam agama melalui penelitian empiris. Sehingga intersubjektif ini dapat dipahami sebagai kondisi mentalitas keilmuan seseorang yang dengan cerdas mendialogkan antara dunia objektif dan subjektif dalam menghadapi kompleksitas kehidupan secara umum, tidak hanya sekedar sains dan agama.[10]
3.             Creative Imagination (imajinasi kreatif): Membuat teori baru tidaklah mudah karena dibutuhkan perjuangan yang sungguh-sungguh dan keberanian yang kuat dalam menggabungkan berbagai gagasan, ide-ide yang telah ada sebelumnya. Oleh karenanya imajinasi kreatif sangatlah ditekankan dalam rangka pencarian dan penggalian teori baru, yakni berani mengaitkan dan mendialogkan uraian dalam satu bidang ilmu agama dalam kaitan, diskusi dan perjumpaannya dengan disiplin keilmuan yang lainnya.[11]
Ketiga kata kunci di atas mendasari paradigma integrasi-interkoneksi sains dan agama. Keutuhan yang didasarkan dari saling dialog antar bidang keilmuan, ditambah dengan mentalitas seorang peneliti dalam mendialogkan subjektifitas dan objektifitas data yang ada disertai dengan imajinasi berfikir kreatif menjadikan paradigma keilmuan terlihat utuh dan kokoh. Kehadiran agama di mata sains menjadikannya memiliki sudut pandang yang lebih luas sekaligus ada prinsip-prinsip yang memang harus ada batasnya. Begitu juga kehadiran sains di mata agama menjadikannya lebih mudah dipahami secara empiris.
B.            konsep integrasi-interkoneksi sains dan Agama
Sebagaimana konsep integrasi-interkoneksi sains dan Agama membawa pada pemahaman akan pentingnya berbagai bidang keilmuan (Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Geografi) turut serta mengeksplorasi Al-Qur`an khususnya ayat-ayat kauniyah.
Hal ini meneguhkan pula bahwa belajar Pendidikan Agama Islam tidak hanya monoton, namun berusaha berkolaborasi secara aktif dengan bidang-bidang diatas dalam rangka mengembangkan potensi umat Islam secara komprehensif.
Hal yang sama juga ditegaskan Sardar bahwa dalam rangka menemukan epistimologi Islam masa kini, perlu ditekankan kesalingketerkaitan, yakni semua bentuk pengetahuan saling terkait dan secara organis dihubungkan oleh jiwa wahyu Al-Qur`an yang selalu hidup. Keragaman dan kesalingketerkaitan menjadi ciri yang unik pada epistimologi Islam.[12]
Bagi Kuntowijoyo pengembangan eksperimen- eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada paradigma Al-Qur`an jelas akan memeprkaya khazanah ilmu pengetahuan umat manusia. Premis-premis normatif Al-Qur`an dapat dirumuskan menjadi teori-teori empiris dan rasional, dan pada akhirnya dapat dipakai sebagai basis untuk kebijakan-kebijakan aktual.
Oleh karena itulah diperlukan demistifikasi sebagai gerakan intelektual untuk menghubungkan kembali teks dengan konteks atau teks menuju konteks artinya berkesinambungan dan berusaha menjawab permasalahan.[13]
Sebanyak 800 ayat kauniyah tersebut terbagi menjadi 132 bab. Dari bab-bab tersebut bisa langsung dimasukkan ke dalam mata pelajaran yang sesuai temanya mulai dari Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Geografi. Dengan begitu PAI akan menjadi sumber sekaligus inspirasi bagi tumbuh kembangnya ilmu pengetahuan kealaman dan menjadikan umat Islam berfikir kreatif dan inovatif, karena di dalamnya terintegrasi muatan hirarki ketrampilan proses sains. Tingkatan dasar mulai dari observasi, membandingkan, mengelompokkan, mengukur, mengkomunikasikan.
Tingkatan menengah mulai dari menginferensi, dan memprediksi, sedangkatan tingkatan mahir mulai dari membuat hipotesis, mendefinisikan dan mengendalikan variabel.[14]
Sejarah juga mencatat bagaimana umat Islam menuntut dirinya untuk menguasai ketrampilan sains akan berbagai aspek di dalamnya yang pada akhirnya menjadikan sebab mereka menguasai semua prinsip dasar dan kaidah-kaidah sekaligus memahami problemanya. Ilmu-ilmu ‘aqliyyat seperti ini dapat berkembang melalui diskusi-diskusi dan perdebatan-perdebatan ilmiah, bukan bertumpu pada hafalan.
Dan Ibnu Khaldun lebih jauh menyimpulkan bahwa sistem pengajaran merupakan faktor yang paling utama dalam menumbuhkan ilmu, pemahaman dan kemahiran.[15] Ketika umat Islam memiliki pengajaran ilmiah dan keahlian keahlian, mereka berada pada orde yang sangat kokoh.[16]
Menurut Amin Abdullah, umat Islam pada hakekatnya telah memiliki konsep berfikir yang kreatif dan inovatif sebagaimana dahulunya telah dicontohkan di zaman keemasan Islam, namun setelah runtuhnya peradaban Islam, ketiga epistimologi bayani, burhani dan irfani ini didikotomikan satu sama lainnya. Padahal untuk mengejar ketertinggalan sekaligus memecahkan problem-problem kontemporer umat Islam sangat memerlukan ketiga epistimologi tersebut secara integrasi-interkoneksi.[17] Pendidikan Agama Islam harus tetap memusatkan perhatian mereka pada hal-hal yang dapat menumbuhkembangkan seluruh potensi-potensinya.
Al-Qur`an menjadi sumber ilmu dan inspirasi yang harus terus dikaji, dari teks menuju konteks atau sebaliknya dan terlebih dalam ayat-ayat kauniyah. Agar Pendidikan Agama Islam dapat berkembang dan mendapat perhatian khusus masyarakat haruslah segera merekonstruksi kurikulum dan sistem pengajarannya, di antaranya: 1) menyatukan ketiga aspek, kognitif, afektif dan psikomotorik, 2) dekat dengan realitas, 3) berorientasi pada pemecahan masalah, 4) menghilangkan berfikir deduktif-normatif, 5) kaya visualisasi (contoh dan praktek riil), 6) teo-antroposentris (mengombinasikan kedua aspek, yaitu ketuhanan dan kemanusiaan secara bersamaan).[18]
Beberapa hal di atas akan membawa PAI menuju kearah yang lebih baik dan berusaha mendekatkan pada realitas sejatinya. Dualisme keilmuan khususnya di Indonesia sendiri berdampak pada pola pikir yang serba bipolar-dikotomis dan menjadikan manusia terasing dari dirinya sendiri, keluarga, masyarakat dan lingkungannya.[19]
Dan hal ini harus segera diatasi secepat mungkin dan berkesinambungan. Wacana pengintegrasian-penginterkoneksian ilmu dan Agama sudah menggelora sedemikian lamanya. Dari PTKIN sendiri sudah mulai membuka programprogram pendidikan umum seperti Fisika, Kimia, Biologi, Kedokteran, dan lain-lain. Hal tersebut menunjukkan upaya yang jelas bahwa Sekolah yang berlabel Agama juga turut serta mengembangkan ilmu-ilmu umum.
Kampus-kampus UIN seharusnya tidak sekedar melakukan integrasi sains dan Islam atau ayatisasi sains, karena upaya ini sebenarnya harus sudah digagas semenjak di jenjang sekolah dasar sampai menengah atas. UIN harus berani melakukan eksperimen realisasi sains, setidaknya mengakomodasi dalam sub-bidang atau sub-jurusan dalam bimbingan tugas akhir.
Secara operasional integrasi-interkoneksi sains dan Agama di sekolahsekolah belum tampak dengan jelas. Yang baru bisa dilakukan adalah mencoba memberikan wacana yang seluas-luasnya agar setiap guru PAI maupun guru-guru bidang umum yang berada dalam sekolah Islam tentang pentingnya korespondensi teks menuju konteks dan sebaliknya. Lebih lanjut lagi bahwa menyatukan fondasi ide yang berprinsipkan Al-Qur`an sebagai eksplorasi ilmiah dan sejauh tidak kontradiksi dengan Al-Qur`an maka tergolong Islami.[20]
Dengan integrasi-interkoneksi sains dan Agama, keberadaan Pendidikan Agama Islam tidak akan dipandang sebelah mata. Ia akan dijadikan sumber rujukan ide-ide, inspirasi dan tumbuh kembangnya pengetahuan dan teknologi.
C.           Kelemahan dan Kekuatan Konsep sains dan Agama
Adapun integrasi-interkoneksi sains dan Agama dalam hal ini memiliki kelemahan yaitu
 tidak mudah menemukan praktisi yang cakap dalam ilmu agama, bahasa, serta ilmu-ilmu sains sekaligus. Di sisi lain sejarah dikotomi keilmuan secara umum umat Islam dan khususnya di Indonesia sudah sejak awal kemerdekaan hanya menggenerasikan penerusnya ahli dalam satu bidang keilmuan saja.
Sedangkan beberapa kekuatan integrasi-interkoneksi sains dan Agama adalah sebagai berikut: menekankan pengkajian Al-Qur`an secara mendalam dan komprehensif khususnya ayat-ayat kauniyah. Dengan Berlatar belakang dari belajar Agama yang kemudian juga menjadi saintis menjadi penegas bahwa keduanya harus saling dikorespondensikan, terlebih ada 800 ayat kauniyah yang belum tergali secara mendalam dari aspek fenomenologi, kebahasaan, tafsir dan penelitian-penelitian ilmiah yang terintegrasi-interkoneksi.



BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
integrasi-interkoneksi sains dan Agama adalah dengan upaya mengeksplorasi, mengelaborasi 800 ayat-ayat kauniyah dengan kebahasaan (bahasa Arab), kitab-kitab tafsir para ulama, dan hasil-hasil penemuan penelitian ilmiah terdahulu sampai kontemporer. Berawal dari teks Al-Qur`an menuju konteks yaitu fenomena alam sekaligus kerja ilmiah, dan begitu juga sebaliknya dari konteks menuju teks.
Pendidikan Agama Islam menjadi salah satu sumber rujukan ide-ide dan inspirasi bagi tumbuh kembangnya potensi-potensi dalam diri manusia. Ia harus berusaha semaksimal mungkin untuk bekerja sama saling berdialog dengan bidang-bidang yang lain khususnya bidang kealaman (Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Geografi) dalam rangka menjamin tumbuh kembangnya potensi-potensi diri manusia. Begitu juga dengan memantapkan sumber ayat-ayat kauniyah yang sudah jelas untuk didialogkan.
B.            Saran-Saran
1.             Sains Islam akan terus berkembang di dunia, terlebih dapat memberikan nilai yang positif dari karakter sains, tidak hanya logis, empiris, sistematis, namun juga sarat dengan nilai.
2.             Diperlukan langkah-langkah operasional integrasi-interkoneksi sains dan Agama untuk dapat dimasukkan dalam kurikulum lembaga pendidikan awal, menengah, atas dan perguruan tinggi sekalipun.
3.             Integrasi-Interkoneksi sains dan Agama sangat tepat diterapkan di lembaga Pendidikan Islam khususnya



DAFTAR PUSTAKA
Wan Sabri, dkk, 2015 “Islamic Civilization: Its Signifigance in al-Faruqi’s Islamization of Knowledge”, International Journal of Islamic Thought, Volume 7 June
Syed Muhammad Naquib al-Attas, 1993 Islam and Secularism, Kuala Lumpur:ISTAC,
Seyyed Hossein Nasr, 1994 Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, Terjemahan Luqman Hakim. Bandung: Penerbit Pustaka,
Edwin Syarif, 2013 “Pergulatan Sains dan Agama”, Refleksi, vol.13, no.5 Oktober
M. Amin Abdullah, dkk, 2014 Implementasi Pendekatan Integratif Interkonektif dalam Kajian Pemikiran Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pascasarjana UIN Yogyakarta,
Din Syamsuddin, “Diskusi Pakar dalam Program Doktor Politik Islam UMY”, Senin, 2 Mei 2016, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Amin Abdullah, 2013 Agama, Ilmu dan Budaya: Paradigma Integrasi-Interkoneksi Keilmuan, Naskah Inaugurasi Amin Abdullah menjadi salah satu anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Yogyakarta, 17 Agustus
Ziauddin Sardar, 1987 Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come, terjemahan Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka,
Kuntowijoyo. 2006 Islam sebagai Ilmu: Epistimologi. Metodologi dan Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana,
Charlesworth and Lind, 2013 Math and Science for Young Children (7 ed), Canada:Wadsworth, Cengage Learning,
bnu Khaldun, 2000 Muqaddimah Ibnu Khaldun, terjemahan Ahmadie, Jakarta: Pustaka Firdaus,
Amin Abdullah, 2012 Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif- Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Masdar Hilmy, 2016 Pendidikan Islam dan Tradisi Ilmiah, Malang: Madani,
[1] Amin Abdullah, Dkk, Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempertemukan Epistimologi Islam, (Yogyakarta:SUKA Press. 2003), hlm 4.
[1] Indal Abror, “Refleksi tentang Hubungan Sains dan Agama bagi Umat Islam”, Aplikasia: Jurnal Ilmu-Ilmu Agama,( Vol. VII, No 1 Juni 2007),hlm 77-84.




[1] Wan Sabri, dkk, “Islamic Civilization: Its Signifigance in al-Faruqi’s Islamization of Knowledge”, International Journal of Islamic Thought, Volume 7 (June 2015),hlm 51.
[2] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism,( Kuala Lumpur:ISTAC, 1993),hlm 134.
[3] Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, Terjemahan Luqman Hakim.( Bandung: Penerbit Pustaka, 1994),hlm 117.
[4] Edwin Syarif, “Pergulatan Sains dan Agama”, Refleksi, vol.13, no.5 (Oktober 2013),hlm 652.
[5] M. Amin Abdullah, dkk, Implementasi Pendekatan Integratif Interkonektif dalam Kajian Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pascasarjana UIN Yogyakarta, 2014),hlm 1.
[6] Din Syamsuddin, “Diskusi Pakar dalam Program Doktor Politik Islam UMY”, Senin, 2 Mei 2016, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
[7] Webster’s New World Dictionary,hlm 337.
[8] Webster’s New World Dictionary,hlm 338
[9] Amin Abdullah, Agama, Ilmu dan Budaya: Paradigma Integrasi-Interkoneksi Keilmuan, Naskah Inaugurasi Amin Abdullah menjadi salah satu anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), (Yogyakarta, 17 Agustus 2013),hlm 10-21.
[10] Amin Abdullah, Agama, Ilmu dan Budaya…, hlm 16-17
[11] Amin Abdullah, Agama, Ilmu dan Budaya…, hlm 19-20
[12] Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come, terjemahan Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1987),hlm 104-105.
[13] Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu: Epistimologi. Metodologi dan Etika, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006).hlm 10-24.
[14] Charlesworth and Lind, Math and Science for Young Children (7 ed), (Canada:Wadsworth, Cengage Learning, 2013),hlm 3.
[15] bnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, terjemahan Ahmadie, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm538.
[16] Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun...... hlm 541.
[17] Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif- Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm 200-2017.
[18] Masdar Hilmy, Pendidikan Islam dan Tradisi Ilmiah,( Malang: Madani, 2016),hlm 102-109.
[19] Amin Abdullah, Dkk, Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempertemukan Epistimologi Islam, (Yogyakarta:SUKA Press. 2003), hlm 4.
[20] Indal Abror, “Refleksi tentang Hubungan Sains dan Agama bagi Umat Islam”, Aplikasia: Jurnal Ilmu-Ilmu Agama,( Vol. VII, No 1 Juni 2007),hlm 77-84.

No comments:

Post a Comment