Sunday, July 21, 2019

penjaminan mutu lulusan PAI di perguruan tinggi


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar belakang
Dunia pendidikan saat ini mulai mengalami krisis orientasi dan kurang dekat dengan realita kebutuhan masyarakat sebenarnya.Pendidikan yang selama ini diterapkan di Indonesia, baik dari segi teori maupun prakteknya, masih cenderung dijalankan secara kurang maksimal.Oleh sebab itulah, pendidikan di Indonesia hingga detik ini belum menyentuh secara tepat jantung persoalan yang mendasar yaitu pelestarian budaya dan mencerdasakan kehidupan untuk menjadi negara lebih makmur dan sentosa. Banyak penyelenggara institusi pendidikan yang menyadari hal itu, termasuk  lulusan PAI UIN Maliki Malang yang didirikan sejak tahun 1961 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 17 Tahun 1961. lulusan PAI UIN Maliki Malang hingga hari ini, telah banyak melahirkan pemikir, pengembang dan praktisi pendidikan Islam yang turut berperan membangun pendidikan di Indonesia yang mana para lulusan Fakultas Tarbiyah pun telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia.[1]
 Banyak alumni yang telah menduduki jabatan penting, seperti menteri, Kakanwil, Kakandepag, Rektor, Dekan Bupati, Kepala Sekolah, pengusaha, anggota Dewan, dan sebagainya. Para alumni tersebut mempunyai andil yang cukup besar dalam pengembangan Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang selanjutnya.Dengan usaha dan perjuangan Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang merasa terhentak untuk lebih memaksimalkan pembangunan pendidikan di Indonesia, dimulai dari mengakomodir para alumninya untuk menyatukan kekuatan dan energi untuk pembangunan bangsa ini agar lebih maju.Berkaitan dengan problem-problem di atas, Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang menghendaki para alumninya berkompeten dalam penguasaan landasan dan wawasan pendidikan, penguasaan substansi kajian pendidikan agama Islam, dan pengembangan kepribadian dan keprofesionalan.Hal ini dilakukan untuk menghadapi persaingan global yang kian tajam dan meluas. Pemenuhan kompetensi para alumni merupakan modal dasar dalam menciptakan output PAI UIN Maliki Malang yang berdampak multidimensional.
B.  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah :
1.         Bagaimana mutu lulusan PAI pada era globalisasi?
2.         Bagaimana langkah-langkah penjaminan mutu lulusan PAI di perguruan tinggi ?
C.  Tujuan
Sedangkan tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.         Mengetahui mutu lulusan PAI era globalisasi?
2.         Mengetahui langkah-langkah penjaminan mutu lulusan PAI di perguruan tinggi?












BAB II
PEMBAHASAN

A.      Mutu Lulusan  PAI  Pada Era Globalisasi
1.        Konsep Mutu
Konsep mutu atau manajemen mutu pada mulanya dikembangkan dalam dunia bisnis, sebagai takaran untuk menjaga keseimbangan dan kestabilan organisasinya dalam menyeimbangkan persaingan usaha mereka yang semakin tajam. Namun kemudian, dalam perkembangan berikutnya konsep mutu diterapkan pula pada bidang lain seperti industri, pemerintahan termasuk bidang pendidikan.pengertian mutu itu sendiri dikemukakan oleh banyak pakar sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing. Walaupun terminology tentang mutu sangat bervariasi namun memiliki makna yang sama yaitu mutu dalam arti quality. Tjutju Yuniarsih (2003 :2) mengutip ungkapan beberapa ahli : phipip B. Crosby (1979) misalnya, yang berpendapat bahwa mutu yakni kesesaian terhadap persyaratan. Sama halnya dengan konsep diatas, takaran mutu bagi Perguruan Tinggi pun tentu harus diukur dari dua hal, pertama: Tingkat kepuasan mahasiswa, lulusan serta masyarakat pengguan jasa pendidikan lainnya sebagai customers. Kedua, harus dilihat dari sudut pandang tugas dan tanggung jawab Perguruan Tinggi dan badan penyelenggara perguruan tinggi tersebut, dalam pengertian bahwa perguruan tinggi harus konsisten dalam memelihara mutu keseimbangan fungsi instrumental dan fungsi instrinsiknya. Fungsi instrumental mencerminkan kehendak mengedepankan antara nilai-nilai lulusan perguruan tinggi dengan kualifikasi kebutuhan pembangunan, sedangkan fungsi instrinsik memuat cita-cita membentuk pribadi-pribadi yang menghayati nilai-nilai universal. Integrasi kedua fungsi perguruan tinggi yang dimaksud dapat bermuara kepada ikhtiar memuliakan potensi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan.[2]


Pengalaman penjaminan mutu dinegara-negara maju, seperti di negara-negara di eropa pada umumnya, perlu dikaji ulang untuk dapat disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Banyak praktek yang dilihat di negara maju nampaknya sesuai dan dapat diterapkan pada sistem pendidikan di Indonesia, namun ternyata belum bisa langsung diimplementasikan pada sistem pendidikan di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia dan kebijakan yang telah dilaksanakan.Kita ambil contoh negara Inggris misalnya, tidak semua konsep penjaminan mutu di Inggris dapat diterapkan di Indonesia secara utuh. Ofted, salah satu sistem penjaminan mutu di Inggris yang dilakukan dengan cara melakukan inspeksi tanpa diikuti dengan pembinaan, sedangkan LPMP masih melakukan pembinaan sesuai dengan kondisi satuan pendidikan yang ada. Oleh karena itu perlu dicarikan upaya pemikiran tentang konsep penjaminan mutu di Indonesia yang sesuai dengan perundang-undangan, peraturan dan budaya Indonesia.
Artikel ini hanya bertujuan untuk menyampaikan pemikiran tentang bagaimana penjaminan mutu yang ada dinegara-negara maju seperti di Inggris dapat dilaksanakan di Indonesia dan bagaimana tupoksi LPMP yang telah ditetapkan sementara ini dapat diimplementasikan dalam rangka penjaminan mutu pendidikan. Penjaminan mutu pendidikan di Indoensia mengacu pada kepada standar mutu pendidikan yang terdiri dari:
1. Standar isi,
2. Standar Proses,
3. Standar Kompetensi Lulusan,
4. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan,
5. Standar Sarana dan Prasarana.
6. Standar Pengelolaan,
7. Standar Pembiayaan dan
8. Standar Penilaian Pendidikan.
Standar adalah ketentuan minimal yang harus dipenuhi. Ini berarti setiap satuan pendidikan atau sekolah harus dapat mencapai kualitas minimal sama dengan standar tersebut atau lebih tinggi dari standar tersebut. Untuk memenuhi tujuan tersebut perlu ada penjamin mutu yang berkelanjutan, yakni upaya-upaya yang memastikan atau meyakinkan bahwa proses pendidikan akan menghasilkan output dan outcome yang bermutu (sesuai dengan standar).
Penjaminan mutu pendidikan di Indonesia harus dilakukan dengan cara yang sistematis, integral, menyeluruh dan berkelanjutan. Sistematis artinya bahwa satu kegiatan menjadi dasar dari kegiatan berikutnya. Integral artinya satu kegiatan terkait atau menjadi bagian dari kegiatan yang lain. Menyeluruh artinya penjaminan mutu tidak bisa dilakukan secara sepihak dan parsial.Berkelanjutan artinya penjaminan mutu harus dilakukan secara berulang-ulang.Semua lembaga pendidikan sebaiknya melakukan penjamina mutu pendidikan sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Seperti: Sekolah, Komite Sekolah, Dinas Pendidikan, LPMP dan Lembaga Pendidikan Non Pendidikan bermutu adalah dambaan serta harapan setiap orang ataupun lembaga. Masyarakat dan orang tua mengharapkan agar anak-anak mereka mendapat pendidikan bermutu agar mampu bersaing dalam memperoleh berbagai peluang dalam menjalani kehidupan. Pemerintah mengaharapkan agar setiap lembaga pendidikan itu bermutu, karena dengan pendidikan bermutu dapat menghasilkan sumber daya manusia bermutu yang akan memberi kontribusi kepada keberhasilan pembangunan. Para pemakai lulusan, seperti dunia bisnis dan industri, juga mengharapkan agar pendidikan bermutu sehingga tenaga kerja atau sumber daya manusia yang direkrut merupakan benar-benar produktif.
Penilaian terhadap kelayakan dan kinerja yang dilakukan secara terus menerus dalam rangka melakukan secara berkesinambungan perbaikan dan peningkatan mutu sekolah tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan manajemen, khususnya manajemen mutu sekolah. Dalam manajemen mutu ini semua fungsi manajemen yang dijalankan oleh manajer pendidikan di sekolah diarahkan untuk memberi kepuasan kepada pelanggannya, baik pelanggan internal yaitu guru dan tenaga kependidikan serta tenaga administratif, pelanggan eksternal yang rimer yaitu siswa, yang sekunder yaitu pemerintah, orang tua atau masyarakat yang membiayai pendidikan, dan pelanggan tersier yaitu lembaga atau para pemakai lulusan. Semua ini dilaksanakan agar penyelenggara pendidikan dapat memberi jaminan kepada para pelanggannnya bahwa pendidikan yang diselenggarakannya adalah pendidikan bermutu..Konsep Mutu dan Penjaminan MutuPengertian mutu atau quality dapat ditinjau dari dua perspektif konsep.Konsep pertama tentang mutu bersifat absolut atau mutlak dan konsep kedua adalah konsep yang bersifat relatif (Sallis, 1993).
Dalam konsep absolut mutu menunjukan kepada sifat yang menggambarkan derajat  baiknya suatu barang atau jasa yang diproduksi atau dipasok oleh suatu lembaga tertentu. Sebagai lawan dari konsep absolut adalah konsep mutu yang bersifat relatif.Pada konsep mutu absolut derajat baiknya produk, barang atau jasa, mencerminkan tingginya harga barang atau jasa itu, dan tingginya standar atau tingginya penilaian lembaga yang memproduksi atau pemasok terhadap barang itu.Sedangkan dalam konsep mutu yang bersifat relatif, derajat mutu itu bergantung pada penilaian pelanggan atau yang memanfaatkan barang atau jasa itu.Pandangan tentang mutu yang bersifat absolut ini membawa implikasi bahwa dalam memproduksi barang atau jasa digunakan kriteria untuk menilai mutu dan kriteria itu ditentukan oleh produsen atau pemasok barang.Atas dasar kriteria itu produsen menentukan mutu barang atau jasa yang diproduksinya. Oleh karena itu, dalam manajemen produksi, agar dihasilkan produk yang bermutu di lembaga yang bersangkutan biasanya ada yang menjalankan fungsi pengendalian mutu (quality control), yakni suatu divisi, bidang atau staf yang bertugas melakukan penilaian (judgment) berdasarkan kriteria tertentu terhadap barang yang diproduksi sebelum dilempar ke pasar, apakah termasuk katagori tidak bermutu, atau bermutu tinggi (Tjiptono dan Diana, 1996). Dalam manajemen produksi, melakukan pengendalian mutu setelah suatu barang diproduksi seringkali menimbulkan kerugian.Kerugian itu mungkin disebabkan oleh adanya sejumlah hasil produksi yang gagal (tidak bermutu). Oleh karena itu, gerakan mutu memikirkan tentang proses produksi yang bisa menjamin barang yang diproduksi itu memenuhi kriteria yang ditetapkan. Konsep tentang mutu yang bersifat absolut dewasa ini telah berubah.Perubahan itu dapat diidentifikasi dari orientasinya, yakni yang semula berorientasi pada produsen bergeser pada pelanggan.
Mutu suatu produk bukan semata-mata ditentukan oleh produsen melainkan juga ditentukan oleh pelanggan Keterlibatan pelanggan dalam menentukan mutu suatu produk, baik barang maupun jasa adalah dengan cara produsen mempertimbangkan harapan dan kebutuhan pelanggan terhadap produk-produk yang dihasilkan, apakah memuaskan atau memenuhi kebutuhan mereka (Rinehart, 1993). Mutu suatu produk adalah paduan sifat-sifat produk yang menyamai atau melebihi kebutuhan dan harapan pelanggannya, baik yang tersirat maupun yang tersurat (Tjiptono dan Diana, 1996; dan Sallis, 1993). Secara lebih rinci Tenner dan De Toro (1992) mendefinisikan mutu sebagai berikut :  Quality: A basic business strategy that provides and services that completely satisfy both internal and external customers by meeting their explicit expectation (halaman 31).  Berdasarkan konsep ini dalam memproduksi barang atau jasa produsen membuat standar atau kriteria baku yang didasarkan atas hasil pengkajian terhadap harapan-harapan pelanggan terhadap keadaan atau kondisi produk, baik barang maupun jasa, yang dihasilkan. Implikasi dari penggunaan konsep ini pada praktek manajemen adalah, bahwa dalam rangka memproduksi barang atau jasa, pertimbangan, aspirasi, dan keinginan pelanggan harus diperhitungkan dan menjadi fokus perhatian. Selain itu, semua faktor yang terkait dengan proses produksi harus dikelola sedemikian rupa sehingga menjamin produk yang dihasilkan memenuhi bahkan melebihi keinginan dan harapan pelanggan.
Atas dasar ini, dalam manajemen produksi ada suatu mekanisme penjaminan agar produk yang dihasilkan bermutu dengan sekecil mungkin kegagalan. Penjaminan ini berkaitan dengan proses, sumber daya manusia dan material termasuk alat yang digunakan, yang dikenal dengan penjaminan mutu (quality assurance). Penjaminan mutu ini tidak hanya dilaksanakan pada saat barang itu selesai diproduksi, tetapi mulai dari bahan (masukan mentah), proses dan alat yang digunakan, sampai kepada produk yang dihasilkan. Penerapan pendekatan manajemen mutu itu tidak lagi memerlukan pengendalian mutu setelah produk dihasilkan, melainkan semua sumber daya dan fakor yang terkait dengan proses produksi dikelola agar terjamin dihasilkannya produk yang bermutu. Sistem manajemen mutu semacam ini dikenal dengan penjaminan mutu.  Tujuan utama dari sistem manajemen mutu ini adalah untuk mencegah atau memperkecil terjadinya kesalahan dalam proses produksi dengan cara mengusahakan agar setiap langkah yang dilaksanakan selama proses produksi diawasi sejak permulaan proses produksi itu. Apabila terjadi kesalahan dalam proses produksi itu segera dilakukan perbaikan sehingga terjadinya kerugian yang lebih besar bisa dihindari. Penerapan manajemen mutu seperti ini memiliki nilai keunggulan, yaitu adanya standar kerja dan produk yang ditetapkan terlebih dahulu serta adanya upaya untuk mengawasi produksi secara ketat. Meskipun dalam jangka pendek untuk memulai penerapan sistem manajemen mutu seperti ini relatif mahal, karena harus tersedia berbagai sumberdaya khusunya sumber daya manusia  yang andal, namun dalam jangka panjang sistem ini sangat menguntungkan, karena dapat dicegahnya pemborosan yang diakibatkan oleh kesalahan-kesalahan dalam proses produksi.
Dengan demikian produk yang dihasilkan terjamin mutunya, dalam arti bisa memenuhi atau bahkan melebihi harapan pelanggan.Dalam perspektif manajemen mutu, mengendalikan mutu suatu produk setelah dihasilkan bisa menghadapi resiko terjadinya sejumlah produk yang tidak sesuai dengan standar yang diharapkan. Hal ini berarti bahwa proses produksi lebih mahal. Dalam bidang pendidikan logika inipun dapat diterapkan.Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya pengelolaan mutu dalam bentuk jaminan atau assurance, bahwa semua aspek yang terkait dengan layanan pendidikan yang diberikan oleh sekolah mencapai standar mutu tertentu sehingga keluaran yang dihasilkan sesuai dengan harapan.Konsep yang terkait dengan hal ini dalam manajemen mutu dikenal dengan Quality Assurance (QA) atau Penjaminan Mutu. Pada penjaminan mutu terdapat langkah-langkah yang satu sama lainnya saling berkaitan. Proses penjaminan mutu terdiri atas tujuh langkah yaitu penetapan standar, pengujian/audit mengenai sistem pendidikan yang sedang berlangsung, penyimpulan tentang ada tidaknya kesenjangan antara sistem yang ada dengan standar yang ditetapkan. Bila terdapat kesenjangan maka akan ditempuh langkah identifikasi kebutuhan dalam upaya untuk memenuhi standar yang ditetapkan, dilanjutkan dengan penegmbangan sistem perbaikan dan memadukan perbaikan dengan sistem yang berlangsung. Namun bila tidak terdapat kesenjangan akan ditempuh pengkajian ulang kesesuaian standar dengan sistem secara berkelanjutan. Selain itu, dalam upaya memberi kepuasan itu diperlukan suatu patokan atau standar tertentu sebagai pagu, dan pelayanan yang diberikan seharusnya sesuai atau melebihi pagu itu.Dengan demikian, semua fungsi manajemen diarahkan agar semaksimal mungkin semua layanan yang diberikan sesuai atau melebihi harapan pelanggan yang tercermin dari standar itu.
Lembaga Pendidikan sebagai Industri JasaPraktek penyelenggaraan pendidikan dapat dianalogkan dengan proses produksi industri, khususnya inustri jasa. Lembaga pendidikan (sekolah atau perguruan tinggi) dapat dipandang sebagai lembaga yang memproduksi atau menjual jasa (service) kepada para pelanggannya.Pelanggan pendidikan meliputi pelanggan internal dan pelangan eksternal.Pelanggan internal adalah pengajar atau guru dan tenaga kependidikan serta tenaga administratif, sedangkan pelanggan eksternal dipilah-pilah menjadi pelanggan primer, sekunder dan tersier.Pelanggan eksternal primer sekolah adalah siswa, pelanggan sekunder adalah pemerintah, orang tua atau masyarakat yang membiayai pendidikan, dan pelanggan tersier adalah lembaga pendidikan pada jenjang berikutnya atau para pemakai lulusan.Dengan berpegang pada konsep ini maka mutu suatu lembaga pendidikan ditentukan oleh sejauh mana pelanggan-pelanggan baik internal maupun eksternal itu merasa puas terhadap layanan yang diberikan oleh lembaga pendidikan itu.Hal ini berarti bahwa sekolah bermutu adalah sekolah yang pelaksanaan pendidikannya atau pelayanan yang diberikannya sesuai atau melebihi harapan dan kepuasan para pelanggannya. Apakah suatu lembaga pendidikan dapat memberi layanan sang sesuai atau melebih harapan dan kepuasan pelanggannya merupakan pertanyaan kunci dalam menilai mutunya Untuk ini perlu ada kriteria penilaian pada masing-masing dimensi mutu, seperti hasil belajar, pembelajaran, materi pembelajaran, dan pengelolaan. Dimensi hasil belajar dapat dipandang sebagai dimensi keluaran atau output, sedangkan dimensi pengelolaan dan pembelajaran dapat dipandang sebagai dimensi proses, sementara bahan pembelajaran merupakan dimensi masukan atau input.

            Semua ini harus menjadi fokus dalam penilaian terhadap mutu suatu lembaga pendidikan.  Keberadaan mutu suatu lembaga pendidikan adalah paduan sifat-sifat layanan yang diberikan yang menyamai atau melebihi harapan serta kepuasan pelanggannya, baik yang tersurat maupun tersirat.Untuk mengupayakan agar layanan yang diberikan itu memberi kepasan kepada pelanggannya maka berbagai jenis pelayanan dan pelanggannya masing-masing perlu dipilah-pilah.Sebagaimana dijelaskan di atas pelanggan lembaga pendidikan dikategrikan ke dalam dua macam, yaitu pelanggan internal dan pelanggan eksternal. Ini berarti lembaga itu harus memberi pelayanan kepada pihak-pihak yang ada di dalam atau menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan pendidikan di lembaga itu (pelanggan internal), yaitu pengajar dan karyawan; dan pihak-pihak yang bukan menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan pendidikan itu (pelanggan eksternal), yaitu siswa, orang tua pemerintah dan masyarakat penyandang dana, dan pemakai lulusan. Jadi, lembaga pendidikan bermutu adalah lembaga yang mampu memberi layanan yang sesuai atau melebihi harapan guru, karyawan, siswa, penyandang dana (orang tua, masyarakat dan pemerintah), dan pemakai lulusan. Dengan memilah-milah pelanggan dapat diidentifikasi berbagai jenis layanan berdasarkan pelanggannya.




Jenis-jenis layanan itu adalah:
Bagi guru dan karyawan:
  1. Kepemimpinan
  2. Manajemen
  3. Pembinaan iklim lembaga
Bagi siswa:
  1. Kurikulum dan implementasinya
  2. Kegiatan ekstrakurikuler
  3. Pengembangan pribadi peserta didik
  4. Pengembangan bakat dan minat
Bagi orang tua dan masyarakat penyandang dana:
  1. Pembinaan pribadi peserta didik
  2. Pembentukan budaya belajar
  3. Pengembangan bakat dan minat
  4. Pengembangan kemampuan akademik
Bagi masyarakat dan pemakai lulusan:
  1. Pembentukan kompetensi lulusan
  2. Pembentukan etos kerja dan motif berprestasi lulusan
Bila kita cermati secara teliti, keseluruhan layanan ini dapat dikategorikan kedalam kelompok-kelompok layanan pembelajaran, manajemen, dan pengembangan pribadi.  Guru dan staf sekolah lebih banyak berkepentingan dengan kelompok layanan manajemen, siswa lebih banyak berkepentingan dengan kelompok layanan pembelajaran; dan orang tua, masyarakat serta pemakai lulusan lebih banyak berkepentingan dengan kelompok layanan pengembangan pribadi siswa. Meskipun demikian, fokus utama dari pemberian layanan itu adalah kepada siswa, sehingga apabila layanan-layanan yang diberikan itu memenuhi atau melebihi harapan siswa, maka akan memberi dampak terhadap harapan dan kepuasan orang tua, masyarakat dan pemakai lulusan. Dalam rangka mengembangkan instrumen penilaian mutu yang akan digunakan untuk kepentingan akreditasi sekolah, analisis tentang berbagai jenis layanan berdasarkan kategori pihak-pihak yang berkepentingan dijadikan salah satu teknik dalam mengembangkan konstruk mutu sekolah.
B.       Mutu lulusan PAI pada era globalisasi
Lahirnya era globalisasi di penghujung millenium kedua ini telah membuka wawasan dan kesadaran masyarakat yang diikuti dengan munculnya sejumlah harapan dan kecemasan.Harapan dan kecemasan tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya perubahan nilai, identitas, kepribadian, pola pikir, serta kepentingan dan keyakinan sebagai wujud terakumulasi dan teradaptasinya budaya heterogenitas secara global tanpa adanya sekat-sekat (dinding pemisah).Dalam konteks ini, dunia menyisakan sejumlah tantangan bagi setiap bangsa, terutama bagi Negara berkembang seperti Indonesia. Kenyataan yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah rapuhnya sendi-sendi kehidupan akibat modernisasi yang antara lain terlihat dari kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang masih rendah, derajat kehidupan yang masih menyedihkan, serta hilangnya identitas diri (self identity) dalam kultur global, sampai pada tingkat rendahnya sistem sosial yang dianut.
Disisi lain, kita juga sedang mengalami kemunduran budaya colektivitas (kebersamaan) lokal yang sarat dengan nilai-nilai luhur seperti kegotong royongan, akibat dari bangunan sistem pendidikan kita yang belum mampu menyiapkan siswa menjadi adaptable (mudah beradaptasi) dengan seperangkat nilai dalam berbagai  kehidupan.[3]Dalam dunia global, masyarakat suatu bangsa akan menghadapi berbagai macam kompetisi, misalnya persaingan ideologi yang semakin tajam, persaingan ekonomi yang semakin terbuka, serta persaingan peradaban yang semakin kompleks.
Era globalisasi menuntut adanya berbagai upaya pengembangan dan desain kebijakan-kebijakan pendidikan oleh suatu bangsa, serta kemampuan untuk bertahan dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan yang khas, sehingga sebuah masyarakat tidak tenggelam oleh arus globalisasi yang demikian derasnya.Banyak perubahan yang tidak terduga datang dari dua sisi kekuatan dunia yang saat ini sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat, yaitu kegiatan ekonomi dan perkembangan serta ilmu pengetahuan dan teknologi.Dengan meningkatnya kompetisi dan persaingan global, berarti untuk mempertahankan standart hidup yang layak, generasi orang tua saat ini harus bekerja lebih keras dan lebih lama jika dibandingkan dengan generasi orang tua mereka sendiri. Berbagai keluhan dan kerisauan kemudian muncul dari orang tua dan masyarakat mengenai kehidupan anak-anak mereka dimasa sekarang maupun dimasa yang akan datang akibat maraknya budaya pop, glamour, santai, serta krisis moral yang melanda masyarakat modern. Jauhnya kehidupan anak-anak dari nilai-nilai agama merupakan salah satu dampak nyata perkembangan dan eksis global yang demikian deras tanpa adanya filter yang dapat menjadi perekat identitas yang cukup kuat. Hal ini mencerminkan bahwa tantangan masa kini dan masa depan, terutama yang menyangkut kebutuhan hidup secara moril-agamis maupun materiil dan berbagai faktor yang mempengaruhinya, telah menduduki tempat teratas dalam kehidupan masyarakat.
Kemajuan yang pesat dalam dunia informasi dan taknologi pada dua dasawarsa terakhir telah berpengaruh pada peradapan manusia melebihi jangkauan pemikiran sebelumnya.Pengaruh itu terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan lokal.Globalisasi dan kemajuan infornasi, komunikasi dan teknologi menyebabkan fenomena perkembangan ekonomi berbasis pengetahuan.Pada era pasar bebas, kemampuan bersaing, penguasaan pengetahun dan teknologi, menjadi benteng untuk kemajuan suatu bangsa.Sumber daya alam yang makin terbatas tidak lagi dapat menjadi tumpuan modal karena sumber kesejahteraan suatu bangsa telah bergeser dari modal fisik ke modal intelektual, pengetahuan, sosial kredibilitas. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai oleh masyarakat sangat beragam dan berkualitas, sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta kognitif dan kompetensi untuk berpikir bagaimana berpikir dan belajar, bagaimana belajar dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan serta mengatasi situasi yang tidak pasti.
Para futurology (pakar masa depan) abad ini mengemukkan bahwa untuk menyiasati situasi diera globalisasi seperti saat ini yang sangat diutamakan adalah adanya peningkatan kualitas moral yang bersifat lokal dan universal.[4]Kualitas moral ini sangat penting untuk dipertahankan dalam praktik dan hubungan lokal, terutama melalui pendidikan agama yang diajarkan di sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Tantangan lulusan PAI menghadapi era modernitas/globalisasi dapat diindikasikan oleh beberapa faktor, yaitu :
1.      Masa depan merupakan harapan-harapan sekaligus juga kecemasan-kecemasan
Harapan muncul karena masa depan menawarkan sejumlah peluang, antara lain perkembangan teknologi yang seemikian cepat yang dapat meningkatkan taraf hidup. Namun, harapan-harapan masa depan tersebut lebih banyak dinikmati oleh mereka yang memiliki kualitas sumber daya manusia yang tinggi. Kualitas sumber daya manusia yang tinggi hanya dapat dimiliki oleh orang-orang yang berpendidikan.Disisi lain, masa depan juga dapat memberikan sejumlah kecemasan mengingat bahwa masa depan selalu terkait dengan pergeseran budaya. Eksistensi sebuah budaya sangat ditentukan oleh pemilik budaya tersebut. Ketika budaya asing dating dan berhadapan dengan suatu generasi yang rapuh dari intensitas kepribadian dan kematangan wawasan pendidikan, maka hal ini tentunya dapat mengakibatkan hilangnya nilai-nilai budaya lama yang telah ada dan cenderung menciptakan tradisi baru yang bersifat pop.
2. Masa depan merupakan suatu hal yang tidak pastiMasa depan harus diperkirakan dan direncanakan. Dengan perkiraan dan perencanaan yang tepat, maka diharapkan masa depan dapat diisi dan dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan.
3. Masa depan sarat dengan persainganMemiliki sejumlah kompetensi sumber daya manusia melalui proses pendidikan. Masalahnya sekarang adalah bagaimana lulusan PAI atau calon guru dapat meningkatkan system pendidikan di Indonesia.
4. Masa depan merupakan kecenderunganPada tahap ini, mulai terjadi krisis moral dan akhlak. Sebagai lulusan PAI atau calon guru PAI kita harus bisa membawa anak didik ke jalan Allah SWT, agar peserta didik kita tidak mengalami krisis akhlah dan moral.
Tantangan lulusan PAI dalam menghadapi era modernitas / globalisasi:
1.      Memiliki mutu intelektualitas sebagai ilmuan yang berpikir rasional dan dewasa dengan pendekatan ilmu yang dimilikinya.
2.      Memiliki mutu kepribadian yang terlihat pada akhlak dan kepribadian Islami. Dan tentunya juga dibantu guru bidang studi lain dengan menunjukkan keteladanan bagi siswa sebagai seorang yang beragama yang baik. Apalagi Iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan prasyarat utama bagi setiap guru, yang secara praktis akan berimplikasi pada keharusan setiap guru untuk mengimplementsikan nilai-nilai akhlak yang mulia dalam setiap pelajaran.
3.      Memiliki mutu keterampilan (skill) yang pada gilirannya akan mempermudah untuk masuk ke berbagai lapangan pekerjaan yang menjadi bidang garapannya. Di samping itu, keahlian komputer minimal dalam level mengoperasikannya juga menjadi syarat penting bagi lulusan PAI dalam menghadapi era globalisasi.
Peluang lulusan PAI dalam menghadapi era globalisasi, antara lain:
1.    Dapat memadukan nilai-nilai ketuhanan yang tereksplisit dalam wujud agama dengan nilai-nilai modernitas[5]
2.    Pengotimalisasian kreativitas daya pikir yang nantinya dapat membawa anak didik kearah yang lebih modern tanpa meninggalkan ajaran agaam Islam. Dengan berpikir secara optimal yang didukung dengan struktur keilmuan yang kuat akan terjadi apa yang disebut modernisasi manusia atau manusia modern.
3.     Dapat meningkatkan motivasi dan etos kerja guru maka factor pemenuhan kebutuhan sangat berpengaruh. Untuk itu bagaimana mengarahkan kekuatan yang ada dalam diri guru untuk mau melakukan tingkat upaya yang tinggi ke arah tujuan yang telah ditetapkan.








BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Lahirnya era globalisasi di penghujung millenium kedua ini telah membuka wawasan dan kesadaran masyarakat yang diikuti dengan munculnya sejumlah harapan dan kecemasan.Harapan dan kecemasan tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya perubahan nilai, identitas, kepribadian, pola pikir, serta kepentingan dan keyakinan sebagai wujud terakumulasi dan teradaptasinya budaya heterogenitas secara global tanpa adanya sekat-sekat (dinding pemisah).
Dalam dunia global, masyarakat suatu bangsa akan menghadapi berbagai macam kompetisi, misalnya persaingan ideologi yang semakin tajam, persaingan ekonomi yang semakin terbuka, serta persaingan peradaban yang semakin kompleks.
Era globalisasi menuntut adanya berbagai upaya pengembangan dan desain kebijakan-kebijakan pendidikan oleh suatu bangsa, serta kemampuan untuk bertahan dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan yang khas, sehingga sebuah masyarakat tidak tenggelam oleh arus globalisasi yang demikian derasnya.Banyak perubahan yang tidak terduga datang dari dua sisi kekuatan dunia yang saat ini sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat, yaitu kegiatan ekonomi dan perkembangan serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tantangan lulusan PAI menghadapi era modernitas/globalisasi dapat diindikasikan oleh beberapa faktor, yaitu :
1.      Masa depan merupakan harapan-harapan sekaligus juga kecemasan-kecemasan
Harapan muncul karena masa depan menawarkan sejumlah peluang, antara lain perkembangan teknologi yang seemikian cepat yang dapat meningkatkan taraf hidup.
2.      Masa depan merupakan suatu hal yang tidak pastiMasa depan harus diperkirakan dan direncanakan. Dengan perkiraan dan perencanaan yang tepat, maka diharapkan masa depan dapat diisi dan dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan.
3.      Masa depan sarat dengan persainganMemiliki sejumlah kompetensi sumber daya manusia melalui proses pendidikan. Masalahnya sekarang adalah bagaimana lulusan PAI atau calon guru dapat meningkatkan system pendidikan di Indonesia.
4.      Masa depan merupakan kecenderunganPada tahap ini, mulai terjadi krisis moral dan akhlak. Sebagai lulusan PAI atau calon guru PAI kita harus bisa membawa anak didik ke jalan Allah SWT, agar peserta didik kita tidak mengalami krisis akhlak dan moral.




REFERENSI

Rinda Hedwig dan Gerard Polla.(2006). Model Sistem Penjaminan Mutu Dan Proses Penerapannya di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
R. Eko Indrajit Dan R. Djokopranoto. (2006). Manajemen Perguruan Tinggi Modern. Yogyakarta: C.V ANDI OFFSET.
A. Hanief Saha Ghafur. (2008). Manajemen Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi Di Indonesia. PT. Bumi Aksara: Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional (2004). Kebijakan Akreditasi Sekolah. Jakarta: Badan Akreditasoi Sekolah Nasional.




[1]Rinda Hedwig dan Gerard Polla.(2006). Model Sistem Penjaminan Mutu Dan Proses Penerapannya di Perguruan Tinggi.Yogyakarta: Graha Ilmu. Hlm. 4.
[2] R. Eko Indrajit Dan R. Djokopranoto. (2006). Manajemen Perguruan Tinggi Modern. Yogyakarta: C.V ANDI OFFSET. Hlm. 33.
[3] A. Hanief Saha Ghafur. (2008). Manajemen Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi Di Indonesia. PT. Bumi Aksara: Jakarta. Hlm. 83.
[4]Ibid, Hlm. 92.
[5] R. Eko Indrajit Dan R. Djokopranoto. Opcit.Hlm. 45

No comments:

Post a Comment