BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dunia pendidikan saat ini mulai mengalami krisis orientasi dan
kurang dekat dengan realita kebutuhan masyarakat sebenarnya.Pendidikan yang
selama ini diterapkan di Indonesia, baik dari segi teori maupun prakteknya,
masih cenderung dijalankan secara kurang maksimal.Oleh sebab itulah, pendidikan
di Indonesia hingga detik ini belum menyentuh secara tepat jantung persoalan
yang mendasar yaitu pelestarian budaya dan mencerdasakan kehidupan untuk
menjadi negara lebih makmur dan sentosa. Banyak penyelenggara institusi
pendidikan yang menyadari hal itu, termasuk
lulusan PAI UIN Maliki Malang yang didirikan sejak tahun 1961
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 17 Tahun 1961.
lulusan PAI UIN Maliki Malang hingga hari ini, telah banyak melahirkan pemikir,
pengembang dan praktisi pendidikan Islam yang turut berperan membangun
pendidikan di Indonesia yang mana para lulusan Fakultas Tarbiyah pun telah
menyebar ke seluruh wilayah Indonesia.[1]
Banyak alumni yang telah
menduduki jabatan penting, seperti menteri, Kakanwil, Kakandepag, Rektor, Dekan
Bupati, Kepala Sekolah, pengusaha, anggota Dewan, dan sebagainya. Para alumni
tersebut mempunyai andil yang cukup besar dalam pengembangan Fakultas Tarbiyah
UIN Maliki Malang selanjutnya.Dengan usaha dan perjuangan Fakultas Tarbiyah UIN
Maliki Malang merasa terhentak untuk lebih memaksimalkan pembangunan pendidikan
di Indonesia, dimulai dari mengakomodir para alumninya untuk menyatukan
kekuatan dan energi untuk pembangunan bangsa ini agar lebih maju.Berkaitan
dengan problem-problem di atas, Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang menghendaki
para alumninya berkompeten dalam penguasaan landasan dan wawasan pendidikan,
penguasaan substansi kajian pendidikan agama Islam, dan pengembangan
kepribadian dan keprofesionalan.Hal ini dilakukan untuk menghadapi persaingan
global yang kian tajam dan meluas. Pemenuhan kompetensi para alumni merupakan
modal dasar dalam menciptakan output PAI UIN Maliki Malang yang
berdampak multidimensional.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah :
1.
Bagaimana
mutu lulusan PAI pada era globalisasi?
2.
Bagaimana langkah-langkah
penjaminan mutu lulusan PAI di perguruan tinggi ?
C. Tujuan
Sedangkan tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.
Mengetahui
mutu lulusan PAI era globalisasi?
2.
Mengetahui
langkah-langkah penjaminan mutu lulusan PAI di perguruan tinggi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Mutu Lulusan PAI Pada Era Globalisasi
1.
Konsep Mutu
Konsep mutu atau manajemen mutu pada mulanya
dikembangkan dalam dunia bisnis, sebagai takaran untuk menjaga keseimbangan dan
kestabilan organisasinya dalam menyeimbangkan persaingan usaha mereka yang
semakin tajam. Namun kemudian, dalam perkembangan berikutnya konsep mutu
diterapkan pula pada bidang lain seperti industri, pemerintahan termasuk bidang
pendidikan.pengertian mutu itu sendiri dikemukakan oleh banyak pakar sesuai
dengan sudut pandangnya masing-masing. Walaupun terminology tentang mutu sangat
bervariasi namun memiliki makna yang sama yaitu mutu dalam arti quality.
Tjutju Yuniarsih (2003 :2) mengutip ungkapan beberapa ahli : phipip B. Crosby
(1979) misalnya, yang berpendapat bahwa mutu yakni kesesaian terhadap
persyaratan. Sama halnya dengan konsep diatas, takaran mutu bagi Perguruan
Tinggi pun tentu harus diukur dari dua hal, pertama: Tingkat kepuasan
mahasiswa, lulusan serta masyarakat pengguan jasa pendidikan lainnya sebagai
customers. Kedua, harus dilihat dari sudut pandang tugas dan tanggung jawab
Perguruan Tinggi dan badan penyelenggara perguruan tinggi tersebut, dalam
pengertian bahwa perguruan tinggi harus konsisten dalam memelihara mutu
keseimbangan fungsi instrumental dan fungsi instrinsiknya. Fungsi instrumental
mencerminkan kehendak mengedepankan antara nilai-nilai lulusan perguruan tinggi
dengan kualifikasi kebutuhan pembangunan, sedangkan fungsi instrinsik memuat
cita-cita membentuk pribadi-pribadi yang menghayati nilai-nilai universal.
Integrasi kedua fungsi perguruan tinggi yang dimaksud dapat bermuara kepada
ikhtiar memuliakan potensi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan.[2]
Pengalaman penjaminan mutu dinegara-negara maju, seperti di
negara-negara di eropa pada umumnya, perlu dikaji ulang untuk dapat disesuaikan
dengan kondisi di Indonesia. Banyak praktek yang dilihat di negara maju
nampaknya sesuai dan dapat diterapkan pada sistem pendidikan di Indonesia,
namun ternyata belum bisa langsung diimplementasikan pada sistem pendidikan di
Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari sistem pendidikan yang berlaku di
Indonesia dan kebijakan yang telah dilaksanakan.Kita ambil contoh negara
Inggris misalnya, tidak semua konsep penjaminan mutu di Inggris dapat
diterapkan di Indonesia secara utuh. Ofted, salah satu sistem penjaminan mutu
di Inggris yang dilakukan dengan cara melakukan inspeksi tanpa diikuti dengan
pembinaan, sedangkan LPMP masih melakukan pembinaan sesuai dengan kondisi
satuan pendidikan yang ada. Oleh karena itu perlu dicarikan upaya pemikiran
tentang konsep penjaminan mutu di Indonesia yang sesuai dengan
perundang-undangan, peraturan dan budaya Indonesia.
Artikel ini hanya bertujuan untuk menyampaikan pemikiran tentang
bagaimana penjaminan mutu yang ada dinegara-negara maju seperti di Inggris
dapat dilaksanakan di Indonesia dan bagaimana tupoksi LPMP yang telah
ditetapkan sementara ini dapat diimplementasikan dalam rangka penjaminan mutu
pendidikan. Penjaminan mutu pendidikan di Indoensia mengacu pada kepada standar
mutu pendidikan yang terdiri dari:
1. Standar isi,
2. Standar
Proses,
3. Standar
Kompetensi Lulusan,
4. Standar
Pendidik dan Tenaga Kependidikan,
5. Standar
Sarana dan Prasarana.
6. Standar
Pengelolaan,
7. Standar
Pembiayaan dan
8. Standar
Penilaian Pendidikan.
Standar adalah ketentuan minimal yang harus dipenuhi. Ini berarti
setiap satuan pendidikan atau sekolah harus dapat mencapai kualitas minimal
sama dengan standar tersebut atau lebih tinggi dari standar tersebut. Untuk
memenuhi tujuan tersebut perlu ada penjamin mutu yang berkelanjutan, yakni
upaya-upaya yang memastikan atau meyakinkan bahwa proses pendidikan akan
menghasilkan output dan outcome yang bermutu (sesuai dengan standar).
Penjaminan mutu pendidikan di Indonesia harus dilakukan
dengan cara yang sistematis, integral, menyeluruh dan berkelanjutan. Sistematis
artinya bahwa satu kegiatan menjadi dasar dari kegiatan berikutnya. Integral
artinya satu kegiatan terkait atau menjadi bagian dari kegiatan yang lain.
Menyeluruh artinya penjaminan mutu tidak bisa dilakukan secara sepihak dan
parsial.Berkelanjutan artinya penjaminan mutu harus dilakukan secara
berulang-ulang.Semua lembaga pendidikan sebaiknya melakukan penjamina mutu
pendidikan sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Seperti: Sekolah, Komite
Sekolah, Dinas Pendidikan, LPMP dan Lembaga Pendidikan Non Pendidikan bermutu
adalah dambaan serta harapan setiap orang ataupun lembaga. Masyarakat dan orang
tua mengharapkan agar anak-anak mereka mendapat pendidikan bermutu agar mampu
bersaing dalam memperoleh berbagai peluang dalam menjalani kehidupan. Pemerintah
mengaharapkan agar setiap lembaga pendidikan itu bermutu, karena dengan
pendidikan bermutu dapat menghasilkan sumber daya manusia bermutu yang akan
memberi kontribusi kepada keberhasilan pembangunan. Para pemakai lulusan,
seperti dunia bisnis dan industri, juga mengharapkan agar pendidikan bermutu
sehingga tenaga kerja atau sumber daya manusia yang direkrut merupakan
benar-benar produktif.
Penilaian terhadap kelayakan dan kinerja yang dilakukan secara terus
menerus dalam rangka melakukan secara berkesinambungan perbaikan dan
peningkatan mutu sekolah tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan manajemen,
khususnya manajemen mutu sekolah. Dalam manajemen mutu ini semua fungsi
manajemen yang dijalankan oleh manajer pendidikan di sekolah diarahkan untuk
memberi kepuasan kepada pelanggannya, baik pelanggan internal yaitu guru dan
tenaga kependidikan serta tenaga administratif, pelanggan eksternal yang rimer
yaitu siswa, yang sekunder yaitu pemerintah, orang tua atau masyarakat yang
membiayai pendidikan, dan pelanggan tersier yaitu lembaga atau para pemakai
lulusan. Semua ini dilaksanakan agar penyelenggara pendidikan dapat memberi
jaminan kepada para pelanggannnya bahwa pendidikan yang diselenggarakannya
adalah pendidikan bermutu..Konsep Mutu dan Penjaminan MutuPengertian mutu atau
quality dapat ditinjau dari dua perspektif konsep.Konsep pertama tentang mutu
bersifat absolut atau mutlak dan konsep kedua adalah konsep yang bersifat
relatif (Sallis, 1993).
Dalam konsep absolut mutu menunjukan kepada sifat yang menggambarkan
derajat baiknya suatu barang atau jasa yang diproduksi atau dipasok oleh
suatu lembaga tertentu. Sebagai lawan dari konsep absolut adalah konsep mutu
yang bersifat relatif.Pada konsep mutu absolut derajat baiknya produk, barang
atau jasa, mencerminkan tingginya harga barang atau jasa itu, dan tingginya
standar atau tingginya penilaian lembaga yang memproduksi atau pemasok terhadap
barang itu.Sedangkan dalam konsep mutu yang bersifat relatif, derajat mutu itu
bergantung pada penilaian pelanggan atau yang memanfaatkan barang atau jasa
itu.Pandangan tentang mutu yang bersifat absolut ini membawa implikasi bahwa
dalam memproduksi barang atau jasa digunakan kriteria untuk menilai mutu dan
kriteria itu ditentukan oleh produsen atau pemasok barang.Atas dasar kriteria
itu produsen menentukan mutu barang atau jasa yang diproduksinya. Oleh karena
itu, dalam manajemen produksi, agar dihasilkan produk yang bermutu di lembaga
yang bersangkutan biasanya ada yang menjalankan fungsi pengendalian mutu
(quality control), yakni suatu divisi, bidang atau staf yang bertugas melakukan
penilaian (judgment) berdasarkan kriteria tertentu terhadap barang yang
diproduksi sebelum dilempar ke pasar, apakah termasuk katagori tidak bermutu,
atau bermutu tinggi (Tjiptono dan Diana, 1996). Dalam manajemen produksi,
melakukan pengendalian mutu setelah suatu barang diproduksi seringkali
menimbulkan kerugian.Kerugian itu mungkin disebabkan oleh adanya sejumlah hasil
produksi yang gagal (tidak bermutu). Oleh karena itu, gerakan mutu memikirkan
tentang proses produksi yang bisa menjamin barang yang diproduksi itu memenuhi
kriteria yang ditetapkan. Konsep tentang mutu yang bersifat absolut dewasa ini
telah berubah.Perubahan itu dapat diidentifikasi dari orientasinya, yakni yang
semula berorientasi pada produsen bergeser pada pelanggan.
Mutu suatu produk bukan semata-mata ditentukan oleh produsen
melainkan juga ditentukan oleh pelanggan Keterlibatan pelanggan dalam
menentukan mutu suatu produk, baik barang maupun jasa adalah dengan cara produsen
mempertimbangkan harapan dan kebutuhan pelanggan terhadap produk-produk yang
dihasilkan, apakah memuaskan atau memenuhi kebutuhan mereka (Rinehart, 1993).
Mutu suatu produk adalah paduan sifat-sifat produk yang menyamai atau melebihi
kebutuhan dan harapan pelanggannya, baik yang tersirat maupun yang tersurat
(Tjiptono dan Diana, 1996; dan Sallis, 1993). Secara lebih rinci Tenner dan De
Toro (1992) mendefinisikan mutu sebagai berikut : Quality: A basic
business strategy that provides and services that completely satisfy both
internal and external customers by meeting their explicit expectation (halaman
31). Berdasarkan konsep ini dalam memproduksi barang atau jasa produsen
membuat standar atau kriteria baku yang didasarkan atas hasil pengkajian terhadap
harapan-harapan pelanggan terhadap keadaan atau kondisi produk, baik barang
maupun jasa, yang dihasilkan. Implikasi dari penggunaan konsep ini pada praktek
manajemen adalah, bahwa dalam rangka memproduksi barang atau jasa,
pertimbangan, aspirasi, dan keinginan pelanggan harus diperhitungkan dan
menjadi fokus perhatian. Selain itu, semua faktor yang terkait dengan proses
produksi harus dikelola sedemikian rupa sehingga menjamin produk yang
dihasilkan memenuhi bahkan melebihi keinginan dan harapan pelanggan.
Atas dasar ini, dalam manajemen produksi ada suatu mekanisme
penjaminan agar produk yang dihasilkan bermutu dengan sekecil mungkin
kegagalan. Penjaminan ini berkaitan dengan proses, sumber daya manusia dan
material termasuk alat yang digunakan, yang dikenal dengan penjaminan mutu
(quality assurance). Penjaminan mutu ini tidak hanya dilaksanakan pada saat
barang itu selesai diproduksi, tetapi mulai dari bahan (masukan mentah), proses
dan alat yang digunakan, sampai kepada produk yang dihasilkan. Penerapan pendekatan
manajemen mutu itu tidak lagi memerlukan pengendalian mutu setelah produk
dihasilkan, melainkan semua sumber daya dan fakor yang terkait dengan proses
produksi dikelola agar terjamin dihasilkannya produk yang bermutu. Sistem
manajemen mutu semacam ini dikenal dengan penjaminan mutu. Tujuan utama
dari sistem manajemen mutu ini adalah untuk mencegah atau memperkecil
terjadinya kesalahan dalam proses produksi dengan cara mengusahakan agar setiap
langkah yang dilaksanakan selama proses produksi diawasi sejak permulaan proses
produksi itu. Apabila terjadi kesalahan dalam proses produksi itu segera
dilakukan perbaikan sehingga terjadinya kerugian yang lebih besar bisa
dihindari. Penerapan manajemen mutu seperti ini memiliki nilai keunggulan,
yaitu adanya standar kerja dan produk yang ditetapkan terlebih dahulu serta
adanya upaya untuk mengawasi produksi secara ketat. Meskipun dalam jangka
pendek untuk memulai penerapan sistem manajemen mutu seperti ini relatif mahal,
karena harus tersedia berbagai sumberdaya khusunya sumber daya manusia
yang andal, namun dalam jangka panjang sistem ini sangat menguntungkan, karena
dapat dicegahnya pemborosan yang diakibatkan oleh kesalahan-kesalahan dalam
proses produksi.
Dengan demikian produk yang dihasilkan terjamin mutunya, dalam arti
bisa memenuhi atau bahkan melebihi harapan pelanggan.Dalam perspektif manajemen
mutu, mengendalikan mutu suatu produk setelah dihasilkan bisa menghadapi resiko
terjadinya sejumlah produk yang tidak sesuai dengan standar yang diharapkan.
Hal ini berarti bahwa proses produksi lebih mahal. Dalam bidang pendidikan
logika inipun dapat diterapkan.Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya
pengelolaan mutu dalam bentuk jaminan atau assurance, bahwa semua aspek yang
terkait dengan layanan pendidikan yang diberikan oleh sekolah mencapai standar
mutu tertentu sehingga keluaran yang dihasilkan sesuai dengan harapan.Konsep
yang terkait dengan hal ini dalam manajemen mutu dikenal dengan Quality
Assurance (QA) atau Penjaminan Mutu. Pada penjaminan mutu terdapat
langkah-langkah yang satu sama lainnya saling berkaitan. Proses penjaminan mutu
terdiri atas tujuh langkah yaitu penetapan standar, pengujian/audit mengenai
sistem pendidikan yang sedang berlangsung, penyimpulan tentang ada tidaknya
kesenjangan antara sistem yang ada dengan standar yang ditetapkan. Bila
terdapat kesenjangan maka akan ditempuh langkah identifikasi kebutuhan dalam
upaya untuk memenuhi standar yang ditetapkan, dilanjutkan dengan penegmbangan
sistem perbaikan dan memadukan perbaikan dengan sistem yang berlangsung. Namun
bila tidak terdapat kesenjangan akan ditempuh pengkajian ulang kesesuaian
standar dengan sistem secara berkelanjutan. Selain itu, dalam upaya memberi
kepuasan itu diperlukan suatu patokan atau standar tertentu sebagai pagu, dan
pelayanan yang diberikan seharusnya sesuai atau melebihi pagu itu.Dengan
demikian, semua fungsi manajemen diarahkan agar semaksimal mungkin semua
layanan yang diberikan sesuai atau melebihi harapan pelanggan yang tercermin
dari standar itu.
Lembaga Pendidikan sebagai Industri JasaPraktek
penyelenggaraan pendidikan dapat dianalogkan dengan proses produksi industri,
khususnya inustri jasa. Lembaga pendidikan (sekolah atau perguruan tinggi)
dapat dipandang sebagai lembaga yang memproduksi atau menjual jasa (service)
kepada para pelanggannya.Pelanggan pendidikan meliputi pelanggan internal dan
pelangan eksternal.Pelanggan internal adalah pengajar atau guru dan tenaga
kependidikan serta tenaga administratif, sedangkan pelanggan eksternal
dipilah-pilah menjadi pelanggan primer, sekunder dan tersier.Pelanggan
eksternal primer sekolah adalah siswa, pelanggan sekunder adalah pemerintah,
orang tua atau masyarakat yang membiayai pendidikan, dan pelanggan tersier
adalah lembaga pendidikan pada jenjang berikutnya atau para pemakai
lulusan.Dengan berpegang pada konsep ini maka mutu suatu lembaga pendidikan
ditentukan oleh sejauh mana pelanggan-pelanggan baik internal maupun eksternal
itu merasa puas terhadap layanan yang diberikan oleh lembaga pendidikan itu.Hal
ini berarti bahwa sekolah bermutu adalah sekolah yang pelaksanaan pendidikannya
atau pelayanan yang diberikannya sesuai atau melebihi harapan dan kepuasan para
pelanggannya. Apakah suatu lembaga pendidikan dapat memberi layanan sang sesuai
atau melebih harapan dan kepuasan pelanggannya merupakan pertanyaan kunci dalam
menilai mutunya Untuk ini perlu ada kriteria penilaian pada masing-masing
dimensi mutu, seperti hasil belajar, pembelajaran, materi pembelajaran, dan
pengelolaan. Dimensi hasil belajar dapat dipandang sebagai dimensi keluaran
atau output, sedangkan dimensi pengelolaan dan pembelajaran dapat dipandang
sebagai dimensi proses, sementara bahan pembelajaran merupakan dimensi masukan
atau input.
Semua ini
harus menjadi fokus dalam penilaian terhadap mutu suatu lembaga
pendidikan. Keberadaan mutu suatu lembaga pendidikan adalah paduan
sifat-sifat layanan yang diberikan yang menyamai atau melebihi harapan serta
kepuasan pelanggannya, baik yang tersurat maupun tersirat.Untuk mengupayakan
agar layanan yang diberikan itu memberi kepasan kepada pelanggannya maka
berbagai jenis pelayanan dan pelanggannya masing-masing perlu
dipilah-pilah.Sebagaimana dijelaskan di atas pelanggan lembaga pendidikan
dikategrikan ke dalam dua macam, yaitu pelanggan internal dan pelanggan
eksternal. Ini berarti lembaga itu harus memberi pelayanan kepada pihak-pihak
yang ada di dalam atau menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan pendidikan di
lembaga itu (pelanggan internal), yaitu pengajar dan karyawan; dan pihak-pihak
yang bukan menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan pendidikan itu (pelanggan
eksternal), yaitu siswa, orang tua pemerintah dan masyarakat penyandang dana,
dan pemakai lulusan. Jadi, lembaga pendidikan bermutu adalah lembaga yang mampu
memberi layanan yang sesuai atau melebihi harapan guru, karyawan, siswa,
penyandang dana (orang tua, masyarakat dan pemerintah), dan pemakai lulusan.
Dengan memilah-milah pelanggan dapat diidentifikasi berbagai jenis layanan
berdasarkan pelanggannya.
Jenis-jenis layanan itu adalah:
Bagi guru dan karyawan:
- Kepemimpinan
- Manajemen
- Pembinaan iklim lembaga
Bagi siswa:
- Kurikulum dan implementasinya
- Kegiatan ekstrakurikuler
- Pengembangan pribadi peserta didik
- Pengembangan bakat dan minat
Bagi orang tua dan masyarakat penyandang dana:
- Pembinaan pribadi peserta didik
- Pembentukan budaya belajar
- Pengembangan bakat dan minat
- Pengembangan kemampuan akademik
Bagi masyarakat dan pemakai lulusan:
- Pembentukan kompetensi lulusan
- Pembentukan etos kerja dan motif berprestasi lulusan
Bila kita cermati secara teliti, keseluruhan layanan ini dapat
dikategorikan kedalam kelompok-kelompok layanan pembelajaran, manajemen, dan
pengembangan pribadi. Guru dan staf sekolah lebih banyak berkepentingan
dengan kelompok layanan manajemen, siswa lebih banyak berkepentingan dengan
kelompok layanan pembelajaran; dan orang tua, masyarakat serta pemakai lulusan
lebih banyak berkepentingan dengan kelompok layanan pengembangan pribadi siswa.
Meskipun demikian, fokus utama dari pemberian layanan itu adalah kepada siswa,
sehingga apabila layanan-layanan yang diberikan itu memenuhi atau melebihi
harapan siswa, maka akan memberi dampak terhadap harapan dan kepuasan orang
tua, masyarakat dan pemakai lulusan. Dalam rangka mengembangkan instrumen
penilaian mutu yang akan digunakan untuk kepentingan akreditasi sekolah,
analisis tentang berbagai jenis layanan berdasarkan kategori pihak-pihak yang
berkepentingan dijadikan salah satu teknik dalam mengembangkan konstruk mutu
sekolah.
B.
Mutu
lulusan PAI pada era globalisasi
Lahirnya era globalisasi di penghujung millenium kedua ini telah
membuka wawasan dan kesadaran masyarakat yang diikuti dengan munculnya sejumlah
harapan dan kecemasan.Harapan dan kecemasan tersebut merupakan konsekuensi
logis dari adanya perubahan nilai, identitas, kepribadian, pola pikir, serta
kepentingan dan keyakinan sebagai wujud terakumulasi dan teradaptasinya budaya
heterogenitas secara global tanpa adanya sekat-sekat (dinding pemisah).Dalam
konteks ini, dunia menyisakan sejumlah tantangan bagi setiap bangsa, terutama
bagi Negara berkembang seperti Indonesia. Kenyataan yang harus dihadapi oleh
bangsa Indonesia saat ini adalah rapuhnya sendi-sendi kehidupan akibat
modernisasi yang antara lain terlihat dari kemampuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang masih rendah, derajat kehidupan yang masih menyedihkan, serta
hilangnya identitas diri (self identity) dalam kultur global, sampai pada
tingkat rendahnya sistem sosial yang dianut.
Disisi lain, kita juga sedang mengalami kemunduran budaya colektivitas (kebersamaan) lokal yang sarat dengan nilai-nilai luhur seperti kegotong royongan, akibat dari bangunan sistem pendidikan kita yang belum mampu menyiapkan siswa menjadi adaptable (mudah beradaptasi) dengan seperangkat nilai dalam berbagai kehidupan.[3]Dalam dunia global, masyarakat suatu bangsa akan menghadapi berbagai macam kompetisi, misalnya persaingan ideologi yang semakin tajam, persaingan ekonomi yang semakin terbuka, serta persaingan peradaban yang semakin kompleks.
Era globalisasi menuntut adanya berbagai upaya pengembangan dan desain kebijakan-kebijakan pendidikan oleh suatu bangsa, serta kemampuan untuk bertahan dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan yang khas, sehingga sebuah masyarakat tidak tenggelam oleh arus globalisasi yang demikian derasnya.Banyak perubahan yang tidak terduga datang dari dua sisi kekuatan dunia yang saat ini sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat, yaitu kegiatan ekonomi dan perkembangan serta ilmu pengetahuan dan teknologi.Dengan meningkatnya kompetisi dan persaingan global, berarti untuk mempertahankan standart hidup yang layak, generasi orang tua saat ini harus bekerja lebih keras dan lebih lama jika dibandingkan dengan generasi orang tua mereka sendiri. Berbagai keluhan dan kerisauan kemudian muncul dari orang tua dan masyarakat mengenai kehidupan anak-anak mereka dimasa sekarang maupun dimasa yang akan datang akibat maraknya budaya pop, glamour, santai, serta krisis moral yang melanda masyarakat modern. Jauhnya kehidupan anak-anak dari nilai-nilai agama merupakan salah satu dampak nyata perkembangan dan eksis global yang demikian deras tanpa adanya filter yang dapat menjadi perekat identitas yang cukup kuat. Hal ini mencerminkan bahwa tantangan masa kini dan masa depan, terutama yang menyangkut kebutuhan hidup secara moril-agamis maupun materiil dan berbagai faktor yang mempengaruhinya, telah menduduki tempat teratas dalam kehidupan masyarakat.
Disisi lain, kita juga sedang mengalami kemunduran budaya colektivitas (kebersamaan) lokal yang sarat dengan nilai-nilai luhur seperti kegotong royongan, akibat dari bangunan sistem pendidikan kita yang belum mampu menyiapkan siswa menjadi adaptable (mudah beradaptasi) dengan seperangkat nilai dalam berbagai kehidupan.[3]Dalam dunia global, masyarakat suatu bangsa akan menghadapi berbagai macam kompetisi, misalnya persaingan ideologi yang semakin tajam, persaingan ekonomi yang semakin terbuka, serta persaingan peradaban yang semakin kompleks.
Era globalisasi menuntut adanya berbagai upaya pengembangan dan desain kebijakan-kebijakan pendidikan oleh suatu bangsa, serta kemampuan untuk bertahan dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan yang khas, sehingga sebuah masyarakat tidak tenggelam oleh arus globalisasi yang demikian derasnya.Banyak perubahan yang tidak terduga datang dari dua sisi kekuatan dunia yang saat ini sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat, yaitu kegiatan ekonomi dan perkembangan serta ilmu pengetahuan dan teknologi.Dengan meningkatnya kompetisi dan persaingan global, berarti untuk mempertahankan standart hidup yang layak, generasi orang tua saat ini harus bekerja lebih keras dan lebih lama jika dibandingkan dengan generasi orang tua mereka sendiri. Berbagai keluhan dan kerisauan kemudian muncul dari orang tua dan masyarakat mengenai kehidupan anak-anak mereka dimasa sekarang maupun dimasa yang akan datang akibat maraknya budaya pop, glamour, santai, serta krisis moral yang melanda masyarakat modern. Jauhnya kehidupan anak-anak dari nilai-nilai agama merupakan salah satu dampak nyata perkembangan dan eksis global yang demikian deras tanpa adanya filter yang dapat menjadi perekat identitas yang cukup kuat. Hal ini mencerminkan bahwa tantangan masa kini dan masa depan, terutama yang menyangkut kebutuhan hidup secara moril-agamis maupun materiil dan berbagai faktor yang mempengaruhinya, telah menduduki tempat teratas dalam kehidupan masyarakat.
Kemajuan yang pesat dalam dunia informasi dan taknologi pada dua
dasawarsa terakhir telah berpengaruh pada peradapan manusia melebihi jangkauan
pemikiran sebelumnya.Pengaruh itu terlihat pada pergeseran tatanan sosial,
ekonomi dan politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai,
pemikiran dan cara-cara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan
lokal.Globalisasi dan kemajuan infornasi, komunikasi dan teknologi menyebabkan
fenomena perkembangan ekonomi berbasis pengetahuan.Pada era pasar bebas,
kemampuan bersaing, penguasaan pengetahun dan teknologi, menjadi benteng untuk
kemajuan suatu bangsa.Sumber daya alam yang makin terbatas tidak lagi dapat
menjadi tumpuan modal karena sumber kesejahteraan suatu bangsa telah bergeser
dari modal fisik ke modal intelektual, pengetahuan, sosial kredibilitas. Sifat
pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai oleh masyarakat sangat beragam
dan berkualitas, sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan
meta kognitif dan kompetensi untuk berpikir bagaimana berpikir dan belajar,
bagaimana belajar dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan serta
mengatasi situasi yang tidak pasti.
Para futurology (pakar masa depan) abad ini mengemukkan bahwa untuk menyiasati situasi diera globalisasi seperti saat ini yang sangat diutamakan adalah adanya peningkatan kualitas moral yang bersifat lokal dan universal.[4]Kualitas moral ini sangat penting untuk dipertahankan dalam praktik dan hubungan lokal, terutama melalui pendidikan agama yang diajarkan di sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Tantangan lulusan PAI menghadapi era modernitas/globalisasi dapat diindikasikan oleh beberapa faktor, yaitu :
Para futurology (pakar masa depan) abad ini mengemukkan bahwa untuk menyiasati situasi diera globalisasi seperti saat ini yang sangat diutamakan adalah adanya peningkatan kualitas moral yang bersifat lokal dan universal.[4]Kualitas moral ini sangat penting untuk dipertahankan dalam praktik dan hubungan lokal, terutama melalui pendidikan agama yang diajarkan di sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Tantangan lulusan PAI menghadapi era modernitas/globalisasi dapat diindikasikan oleh beberapa faktor, yaitu :
1.
Masa depan
merupakan harapan-harapan sekaligus juga kecemasan-kecemasan
Harapan muncul karena masa depan menawarkan sejumlah peluang, antara lain perkembangan teknologi yang seemikian cepat yang dapat meningkatkan taraf hidup. Namun, harapan-harapan masa depan tersebut lebih banyak dinikmati oleh mereka yang memiliki kualitas sumber daya manusia yang tinggi. Kualitas sumber daya manusia yang tinggi hanya dapat dimiliki oleh orang-orang yang berpendidikan.Disisi lain, masa depan juga dapat memberikan sejumlah kecemasan mengingat bahwa masa depan selalu terkait dengan pergeseran budaya. Eksistensi sebuah budaya sangat ditentukan oleh pemilik budaya tersebut. Ketika budaya asing dating dan berhadapan dengan suatu generasi yang rapuh dari intensitas kepribadian dan kematangan wawasan pendidikan, maka hal ini tentunya dapat mengakibatkan hilangnya nilai-nilai budaya lama yang telah ada dan cenderung menciptakan tradisi baru yang bersifat pop.
Harapan muncul karena masa depan menawarkan sejumlah peluang, antara lain perkembangan teknologi yang seemikian cepat yang dapat meningkatkan taraf hidup. Namun, harapan-harapan masa depan tersebut lebih banyak dinikmati oleh mereka yang memiliki kualitas sumber daya manusia yang tinggi. Kualitas sumber daya manusia yang tinggi hanya dapat dimiliki oleh orang-orang yang berpendidikan.Disisi lain, masa depan juga dapat memberikan sejumlah kecemasan mengingat bahwa masa depan selalu terkait dengan pergeseran budaya. Eksistensi sebuah budaya sangat ditentukan oleh pemilik budaya tersebut. Ketika budaya asing dating dan berhadapan dengan suatu generasi yang rapuh dari intensitas kepribadian dan kematangan wawasan pendidikan, maka hal ini tentunya dapat mengakibatkan hilangnya nilai-nilai budaya lama yang telah ada dan cenderung menciptakan tradisi baru yang bersifat pop.
2. Masa depan merupakan suatu hal yang tidak pastiMasa
depan harus diperkirakan dan direncanakan. Dengan perkiraan dan perencanaan
yang tepat, maka diharapkan masa depan dapat diisi dan dimanfaatkan sesuai
dengan kebutuhan.
3. Masa depan sarat dengan persainganMemiliki sejumlah
kompetensi sumber daya manusia melalui proses pendidikan. Masalahnya sekarang
adalah bagaimana lulusan PAI atau calon guru dapat meningkatkan system
pendidikan di Indonesia.
4. Masa depan merupakan kecenderunganPada tahap ini,
mulai terjadi krisis moral dan akhlak. Sebagai lulusan PAI atau calon guru PAI
kita harus bisa membawa anak didik ke jalan Allah SWT, agar peserta didik kita
tidak mengalami krisis akhlah dan moral.
Tantangan lulusan PAI
dalam menghadapi era modernitas / globalisasi:
1.
Memiliki
mutu intelektualitas sebagai ilmuan yang berpikir rasional dan dewasa dengan
pendekatan ilmu yang dimilikinya.
2.
Memiliki
mutu kepribadian yang terlihat pada akhlak dan kepribadian Islami. Dan tentunya
juga dibantu guru bidang studi lain dengan menunjukkan keteladanan bagi siswa sebagai seorang yang beragama yang baik.
Apalagi Iman dan taqwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan prasyarat utama bagi setiap guru, yang secara praktis akan
berimplikasi pada keharusan setiap guru untuk mengimplementsikan nilai-nilai akhlak yang mulia dalam setiap
pelajaran.
3.
Memiliki
mutu keterampilan (skill) yang pada gilirannya akan mempermudah untuk masuk ke
berbagai lapangan pekerjaan yang menjadi bidang garapannya. Di samping itu,
keahlian komputer minimal dalam level mengoperasikannya juga menjadi syarat penting
bagi lulusan PAI dalam menghadapi era globalisasi.
Peluang lulusan PAI dalam menghadapi era globalisasi, antara lain:
1.
Dapat
memadukan nilai-nilai ketuhanan yang tereksplisit dalam wujud agama dengan
nilai-nilai modernitas[5]
2.
Pengotimalisasian
kreativitas daya pikir yang nantinya dapat membawa anak didik kearah yang lebih
modern tanpa meninggalkan ajaran agaam Islam. Dengan berpikir secara optimal
yang didukung dengan struktur keilmuan yang kuat akan terjadi apa yang disebut modernisasi
manusia atau manusia modern.
3.
Dapat meningkatkan motivasi dan etos kerja
guru maka factor pemenuhan
kebutuhan sangat berpengaruh. Untuk itu bagaimana mengarahkan kekuatan yang ada dalam diri guru untuk mau
melakukan tingkat upaya yang tinggi
ke arah tujuan yang telah ditetapkan.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Lahirnya era globalisasi di penghujung millenium kedua ini telah
membuka wawasan dan kesadaran masyarakat yang diikuti dengan munculnya sejumlah
harapan dan kecemasan.Harapan dan kecemasan tersebut merupakan konsekuensi
logis dari adanya perubahan nilai, identitas, kepribadian, pola pikir, serta
kepentingan dan keyakinan sebagai wujud terakumulasi dan teradaptasinya budaya
heterogenitas secara global tanpa adanya sekat-sekat (dinding pemisah).
Dalam dunia global, masyarakat suatu bangsa akan menghadapi berbagai
macam kompetisi, misalnya persaingan ideologi yang semakin tajam, persaingan
ekonomi yang semakin terbuka, serta persaingan peradaban yang semakin kompleks.
Era globalisasi menuntut adanya berbagai upaya pengembangan dan desain kebijakan-kebijakan pendidikan oleh suatu bangsa, serta kemampuan untuk bertahan dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan yang khas, sehingga sebuah masyarakat tidak tenggelam oleh arus globalisasi yang demikian derasnya.Banyak perubahan yang tidak terduga datang dari dua sisi kekuatan dunia yang saat ini sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat, yaitu kegiatan ekonomi dan perkembangan serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Era globalisasi menuntut adanya berbagai upaya pengembangan dan desain kebijakan-kebijakan pendidikan oleh suatu bangsa, serta kemampuan untuk bertahan dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan yang khas, sehingga sebuah masyarakat tidak tenggelam oleh arus globalisasi yang demikian derasnya.Banyak perubahan yang tidak terduga datang dari dua sisi kekuatan dunia yang saat ini sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat, yaitu kegiatan ekonomi dan perkembangan serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tantangan lulusan PAI menghadapi era modernitas/globalisasi dapat
diindikasikan oleh beberapa faktor, yaitu :
1.
Masa depan
merupakan harapan-harapan sekaligus juga kecemasan-kecemasan
Harapan muncul karena masa depan menawarkan sejumlah peluang, antara lain perkembangan teknologi yang seemikian cepat yang dapat meningkatkan taraf hidup.
Harapan muncul karena masa depan menawarkan sejumlah peluang, antara lain perkembangan teknologi yang seemikian cepat yang dapat meningkatkan taraf hidup.
2.
Masa depan
merupakan suatu hal yang tidak pastiMasa depan harus diperkirakan dan
direncanakan. Dengan perkiraan dan perencanaan yang tepat, maka diharapkan masa
depan dapat diisi dan dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan.
3.
Masa depan
sarat dengan persainganMemiliki sejumlah kompetensi sumber daya manusia melalui
proses pendidikan. Masalahnya sekarang adalah bagaimana lulusan PAI atau calon
guru dapat meningkatkan system pendidikan di Indonesia.
4.
Masa depan
merupakan kecenderunganPada tahap ini, mulai terjadi krisis moral dan akhlak.
Sebagai lulusan PAI atau calon guru PAI kita harus bisa membawa anak didik ke
jalan Allah SWT, agar peserta didik kita tidak mengalami krisis akhlak dan
moral.
REFERENSI
Rinda Hedwig dan Gerard
Polla.(2006). Model Sistem Penjaminan Mutu Dan Proses Penerapannya di
Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
R. Eko Indrajit Dan R.
Djokopranoto. (2006). Manajemen Perguruan Tinggi Modern. Yogyakarta: C.V
ANDI OFFSET.
A. Hanief Saha Ghafur. (2008). Manajemen
Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi Di Indonesia. PT. Bumi Aksara: Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional
(2004). Kebijakan Akreditasi Sekolah. Jakarta: Badan Akreditasoi Sekolah
Nasional.
[1]Rinda Hedwig dan Gerard Polla.(2006). Model Sistem Penjaminan
Mutu Dan Proses Penerapannya di Perguruan Tinggi.Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hlm. 4.
[2] R. Eko Indrajit Dan R. Djokopranoto. (2006). Manajemen Perguruan
Tinggi Modern. Yogyakarta: C.V ANDI OFFSET. Hlm. 33.
[3] A. Hanief Saha Ghafur. (2008). Manajemen Penjaminan Mutu
Perguruan Tinggi Di Indonesia. PT. Bumi Aksara: Jakarta. Hlm. 83.
[5] R. Eko Indrajit Dan R. Djokopranoto. Opcit.Hlm. 45
No comments:
Post a Comment