Saturday, July 20, 2019

Pengembangan sistem pendidikan agama islam pada PTKI: Suatu kajian inter, Multi dan / atau transdisipliner”


BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang.
Sejak awal berdirinya, Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang kemudian berubah istilah menjadi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam disingkat PTKI (Menyesuaikan dengan pasal 30 UU nomor 12 tahun 2012) telah mengalami dinamika yang sangat kompleks. Perkembangan PTKI sejak awal kemerdekaan hingga kini dihadapkan dengan dua persoalan penting yakni kualitas kelembagaan maupun filsafat keilmuan.
Perguruan Tinggi Agama Islam terpolarisasi dalam dua kelompok, yaitu: PTKIN yaitu Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri dan PTKIS yaitu Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta, yang membedakan keduanya adalah dalam pendanaan yang mana PTKIN didanai oleh pemerintah/negara sedangkan PTKIS didanai oleh masarakat. Problem yang dihadapi oleh Perguruan Tinggi. Keagamaan Islam (PTKI) harus segera diatasi, yang mana pihak terkait yang bertanggung jawab atas Perguruan Tinggi itu sendiri.Dan para akademika harus merespon dengan kompak untuk mendukung pimpinan dalam mengadakan pembenahan.[1]
Pendirian PTKI bisa juga menjadi mercusuar syiar Islam di Indonesia, karena PTKI sangat berbeda dengan Sekolah. Sekolah adalah untuk mendidik generasi muda, namun PTKI adalah tempat untuk mendidik guru Sekolah bahkan untuk mendidik intelektual-intelektual di bidang lain. Selain itu dengan berpendidikan tinggi maka umat islam bisa memiliki ilmu, memiliki kewibaan, dan memiliki kematangan (kedewasaan) sehingga diharapkan bisa mengeluarkan umat Islam dari jurang keterbelakangan, penjajahan belanda, dan ketertinggalan umat islam dari para kaum nasionalis sekuler dari latar belakang diatas maka penulis mengangkat judul: Pengembangan sistem pendidikan agama islam pada PTKI: Suatu kajian inter, Multi dan / atau transdisipliner”

B.            Rumusan Masalah
1.             Bagaimana Pengembangan Sistem PAI pada PTKI.?
2.             Bagaimana Problematika dan Solusi pelaksanaan Pendidikan Islam di PTKIS?.
C.           Tujuan Masalah
1.             Untuk Mengetahui Pengembangan Sistem PAI pada PTKI.
2.             Untuk mengetahui Problematika dan Solusi pelaksanaan Pendidikan Islam di PTKIS





BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengembangan Sistem PAI pada PTKI
Perkembangan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) secara kuantitatif dewasa ini mengalami peningkatan yang signifikan. Berdasarkan data yang dipublikasikan Direktorat Kelembagaan Agama Islam (Bagais) yang kini menjadi Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (DIKTIS), jumlah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang semula hanya satu kini sudah mencapai 50 Institusi. PTAIN saat ini terdiri dari 6 Universitas Islam Negeri (UIN), 12 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan 32 Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN). Adapun Perguruan Tinggi Agama Islam yang berstatus swasta (PTAIS), tercatat sebanyak 461 Institusi yang tersebar di seluruh pelosok tanah air.
Keberadaan Perguruan Tinggi termasuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) mempunyai kedudukan dan fungsi penting dalam perkembangan suatu masyarakat. Proses perubahan sosial (social change) di masyarakat yang begitu cepat, menuntut agar kedudukan dan fungsi perguruan tinggi itu benar-benar terwujud dalam peran yang nyata.
1.             Kurikulum PTKI
Sejak ditetapkan keputusan menteri pendidikan nasional nomor 232/U/2000 tentang pedoman penyusunan kurikulum dan penilaian hasil belajar mahasiswa, yang kemudian disusul dengan keputusan menteri pendidikan nasional nomor 045/U/2002 tentang kurikulum inti pendidikan tinggi, dikalangan PTKI timbul perbincangan tentang model pengembangan kurikulum untuk merespon keputusan tersebut.
Perbincangan tersebut tidak bisa lepas dari komitmen mereka untuk lebih meningkatkan mutu PTKI, yang menurut direktur pertais, mutu lulusannya diangggap masih kurang memenuhi harapan masyarakat, dan sumbangannya pada pengembangan ilmu agama Islam masih dianggap kurang signifikan.
Oleh karena itu dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi ini perlu pendekatan teknologis, sehingga dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan bertolak dari analisis kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu, dengan karakteristik tertentu yang meliputi, Pertama, penekankan pada pencarian, penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan atas dasar ibadah kepada Allah. Kedua, Pencarian, penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang merupakan proses yang berkesinambungan, yaitu ilmu pengetahuan yang dicari tiada henti-hentinya. Ketiga, Dalam pencarian, penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan sangat menekankan pada nilai-nilai akhlak.Keempat, Pengakuan akan potensi dan kemampuan individu untuk berkembang dalam suatu kepribadian.[2]
Hal ini selaras dengan aspirasi umat Islam pada umumnya dalam pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam yang didorong oleh beberapa tujuan, yaitu: Pertama, melaksanakan pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu agama Islam pada tingkat yang lebih tinggi secara lebih sistematis dan terarah. Kedua, melaksanakan pengembangan dan peningkatan dakwah Islam dalam arti luas.Ketiga, melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama dan fungsionaris keagamaan.[3] Hanya saja dalam kurikulum PTKI ini terdapat beberapa kelemahan yang dirasa perlu mendapat perhatian khusus, yaitu:
a.              Kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat, banyak program studi yang kurang diminati masyarakat tetap dipertahankan.
b.             Kurang efektif, yakni tidak menjamin dihasilkannya lulusan yang sesuai dengan harapan.
c.              Kurang efisien, yakni banyaknya mata kuliah dan SKS tidak menjamin menghasilkannya lulusan sesuai harapan.
d.             Kurang fleksibel, yaitu PTKI kurang berani secara keatif dan bertanggung jawab mengubah kurikulum guna menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat (setempat, nasional atau global).
e.              Readibility rendah, tidak komunikatif (bisa menimbulkan banyak tafsir).
f.              Hanya berupa deretan mata kuliah.
g.             Berbasis (terfokus) pada mata kuliah, penyampaian materi, bukan pada tujuan burikuler, tujuan belajar, mutu lulusan dan
h.             Hubungan fungsional antar mata kuliah yang mengacu pada tujuan kurikuler yang kurang jelas.[4]
Untuk mengatasi berbagai kelemahan ini, maka direktur pertais mengambil kebijakan tentang pengembangan kurikulum yaitu:
1)             Kurikulum berbasis hasil belajar.
2)             Kurikulum terdiri atas kurikulum inti dan kurikulum institusional.
3)             Kurikulum inti (40%) ditetapkan oleh pemerintah dan berlaku secara nasional, sedangkan kurikulum institusional (60%) ditetapkan oleh PTKI dan berlaku hanya di PTKI tersebut.
4)             Kurikulum secara keseluruhan (inti dan institusional) ditetapkan oleh PTKI
5)             Kualitas kurikulum menjadi tanggung jawab PTKI.[5]
Kebijakan tersebut mengandung makna bahwa:
a)             Kurikulum perlu dikembangkan dengan lebih menitik beratkan pada pencapaian target kompetensi daripada penguasaan materi.
b)             Lebih mengkomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia.
c)             Memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pelaksana pendidikan di PTKI untuk mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan sesuai dengan kebutuhan.
d)            Menggunakan prinsip kesatuan dalam kebijakan dan keragaman dalam pelaksanaan dan
e)             Pengembangan kurikulum memuat sekelompok mata kuliah pengembangan kepribadian (MPB) pada semua program studi.[6]
Menurut kemendiknas 045/U/2002, bahwa kompetensi yang diharapkan dari lulusan sarjana S1 adalah sebagai berikut:
(1)          Kompetensi utama,yaitu merupakan core compeencies yang diharapkan di kuasai oleh lulusan dari bidang studi tersbu yang kemudian disebut kurikulum inti.
(2)          Kompetensi pendukung, yaitu merupakan kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan untuk mennjang core competencies yang diharapkan.
(3)          Komptensi lain, yaitu kompetensi yang dianggap perlu untuk melengapi kedua kompetensi diatas.
2.             PTKI dalam membentuk kompetensi lulusan
didirikan dalam rangka untuk menjawab tantangan ke depan, yaitu mencetak sarjana yang memilki kualifikasi dalam bidang agama Islam. Sesuai dengan pembidangan di atas, alumni PTKI adalah sarjana yang tergolong ke dalam tataran keilmuan yang teoriritis dan implementatif. Sebagai ciri keilmuan yang teoritis dan implementatif adalah keahlian yang tidak semata-mata implementatif, tetapi juga memilki keahlian konseptual, yang berciri khas analitik.
Keahlian analitik diperlukan sebab mereka berhadapan dengan perubahan sosial secara terus menerus yang tentunya juga mengharuskan perubahan paradigma dalam berpikir. Ilmu-ilmu agama memiliki kaitan dengan dunia sosial-antropologis, bahkan politik dan ekonomi, sehingga pengembangan keilmuan Islam juga harus tertata dengan baik. Sehubungan dengan itu, maka produk PTKI akan memilki profil sebagai sarjana yang memiliki kemampuan untuk melakukan analisis terhadap perubahan-perubahan sosial-relegius berdasarkan pendekatan keilmuan yang relevan.
Peranan pendidikan tinggi dalam pengembangan sumber daya manusia dapat dicirikan pada tiga hal. Pertama, mencetak manusia yang bertanggung jawab.
Menurut Azizi, pertama: bahwa ada kaitan antara fitrah, akhirat dan tanggung jawab. Setiap perbuatan pasti ada tanggung jawabnya yang berkonsekuensi di akhirat. Tanggung jawab tidak hanya sekedar administratif di dunia, tetapi lebih jauh secara substantif di akhirat. Melalui tanggung jawab inilah akan tercipta etika sosial, karena setiap tindakan dalam bentuk apapun akan memiliki nilai tanggung jawab baik dunia maupun akhirat.
Kedua: peran kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir mengajarkan pada kita bahwa ilmu pengetahuan adalah sarana untuk membebaskan, dalam arti bahwa melalui kemampuan berpikir manusia diajarkan untuk menemukan (discovery) tentang sesuatu dalam bidangnya. Kebebasan dalam konteks ini adalah kebebasan untuk menemukan sesuatu, merevisi, atau menguatkan suatu dalil, teori dan konsep yang telah ada untuk kemaslahatan.
Ketiga: penguasaan terhadap kompetensi. Pendidikan harus mengarahkan peserta didik pada keahlian tertentu sehingga menjadi sarana untuk mengakses kehidupan. Oleh karena itu maka pendidikan tinggi harus dirancang untuk mewujudkan sarjana yang profesional sesuai dengan keahliannya.[7]
Sedangkan dalam kebijaksanaan strategis perguruan tinggi Islam termasuk P PTKIS, menurut Feisal
a.              Membina dan memperbarui keimanan mahasiswa sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam yang bersumber kepada Al-Quran, As-Sunah, dan ijtihad atau pemikiran skolastik yang menggambarkan cara berfikir normatif dan berfikir deskriptif empiris.
b.             Mengembangkan rasa, sikap, dan akhlak yang sesuai dengan nilai-nilai agama yang universal.
c.              Mengembangkan kemampuan intelektual sehingga mampu berpikir ilmiah rasional dan logis
d.             Mengembangkan keterampilan-keterampilan tertentu untuk dapat secara nyata menyelesaikan masalah yang dihadapinya sehari-hari. [8]
Sementara itu, pelaksanaan pendidikan Islam di PTKIS tidak lepas peran serta masyarakat. Sebagian masyarakat di Indonesia masih memandang agama sebagai hal yang urgen dalam kehidupan. Oleh karena itu mengetahui dan memahami persoalan agama merupakan hal yang wajib. Maka wajar jika di Indonesia terdapat beberapa pesantren dan lembaga pendidikan Islam dengan jumlah santri yang relatif banyak. Kondisi seperti itu dapat menunjang kuantitas mahasiswa PTKIS. Sehingga PTKIS tidak sampai kekurangan mahasiswa.
Pada sisi lain, masyarakat Indonesia relatif paternalistik sehingga keterikatan pada tokoh masyarakat atau kyai masih besar. Dalam konteks ini, kyai merupakan status yang dihormati dengan berbagai peran yang dimainkan dalam masyarakat. Ketokohan dan kepemimpinan kyai sebagai akibat dari status yang disandangnya, telah menunjukkan betapa kuatnya kecakapan dan pancaran kepribadiannya (kharisma) dalam memimpin pesantren dan masyarakat.
Hal ini dapat dilihat bagaimana seorang kyai dapat membangun peran strategisnya sebagai pemimpin masyarakat nonformal melalui komunikasi intensif dengan masyarakat. Kyai dengan karisma yang dimilikinya tidak hanya dikategorikan sebagai elit agama, tapi juga sebagai pemimpin (tokoh sentral) dalam masyarakat yang memiliki otoritas tinggi. Karisma kyai merupakan karunia yang diperoleh dari latihan (riyadlah) dan anugerah Tuhan.[9]
Sehingga apa yang menjadi kehendak dan pendapat kyai, akan diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat sekitarnya. Dengan demikian, kyai merupakan sumber legetimasi yang potensial bagi PTKIS. Sehingga pencitraan PTKIS bisa dibangun dari sini.
Menurut keputusan Menteri Agama nomor 353 tahun 2004 tentang pedoman penyusunan kurikulum pendidikan agama Islam pasal 9, bahwa kompetensi lulusan dikelompokkan menjadi empat kompetensi, yaitu:
a.              Kompetensi dasar adalah kompetensi yang dimiliki oleh mahasiswa sebagai dasar kompetensi utama,pendukung dan kompetensi lainnya.
b.             Kompetensi utama adalah kompetensi yang dimiliki oeh mahasiswa setelah menyelesaikan pendidikannya disuatu program studi tertentu.
c.              Kompetensi pendukung adalah kompetensi yang diharapkan dapat mendukung kompetensi utama.
d.             Kompetensi lain adalah kompetensi yang dianggap perlu dimiliki oleh mahasiswa sebagai bekal mengabdi di masyarakat, baik yang terkait langsung maupun yang tidak terkait.[10]
3.             Pengembangan Disiplin Ilmu Pendidikan Agama Islam
Berdsarakan keputusan menteri agama nomor 110 Tahun 1982 dilakukan pembidangan Ilmu agama Islam, yang kemudian telah dikembangkan dalam ligkungan perguran tinggi agama Islam baik negeri maupun swasta. Keputusan menteri yang mendapat persetujuan dari pimpinan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesi (LIPI) yang dibagi menjadi delapan bidang,[11] dan kemudian delapan bidang itu dibagi lagi menjadi disiplin ilmu sebagaimana table dibawah ini:
Tabel: I [12]
No.
Bidang Ilmu
Disiplin Ilmu
1.
Qur’an dan Hadits
a.       Ulumul qur’an
b.      Ulumul hadits
2.
Pemikiran dalam Islam
a.       Ilmu kalam,
b.      Falsafah,
c.       Tasawuf
d.      Aliran modern
3.
Fiqh (hukum Islam dan pranata social)
a.       Fiqh Islam
b.      Ushul fiqh
c.       Pranata social
d.      Ilmu falak
4.
Sejarah dan peraaban Islam
a.       Sejarah Islam
b.      Perdaban Islam
5.
Bahasa
a.       Bahasa arab
b.      Sastra arab
6.
Tarbiyah al-islamiyah
a.       Pend. dan pengajaran Islam
b.      Ilmu nafsil islamy
7.
Dakwah Islamiah
a.       Dakwah
b.      Perbandingan agama
8.
Perkembangan pemikiran modern di dunia Islam
a.       Hokum
b.      Politik
c.       Social
d.      Ekonomi
  
Sejak tahun 2001 berdasarkan undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah telah diberlakukan otonomi daerah bidang pendidikan dan kebudayaan. PTAI dalam menatap potonomi daerah mengutamakan prospek PAI sebagai wadah pengembangan perguruan tinggi.
Menurut Prof. Muhaimin pegembangan PTKI lebih menekankan pada pengembangan imu pengetahuan agama Islam dalam pengertian al-ulum an-naqliyah (perennial knowladge). Pengembangan semacam ini ternyata mendapat kritik paradigm yang mendasari PTKI kurang relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tntutan pembangunan nasional karena bersifat sangat sektoral. Dengan demikian PTKI lebih mengabadikan faham dualisme atau dikotomi dan melahirkan over specialization, bahkan terjadi isolasi akademik.[13]
Dengan adanya fakultas/jurusan tarbiyah diharapakan mampu memberikan konstribusi terhadap pembangunan daerah, khususnya di bidang pendidikan agama Islam. Sumbangsih dari lulusan tarbiyah di butuhkan pemikran dalam mengembangkan strategi, model-model manajemen sekaligus action plan-nya, maupun model kurikulumnya guna sebagai pencerahan prospek pendidikan di masa depan.[14]  
Kemudian dalam mencermati fenomena sosial yang sedang aktual, pendidikan Agama Islam memberikan model pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam yang berbasis inter, Multi dan / atau transdisipliner.


B.            Problematika dan Solusi pelaksanaan Pendidikan Islam di PTKIS.
1.             Problematika
Diakui atau tidak, sekarang ini kualitas PTKI
S masih kalah dengan PTKIN. Image yang semacam ini tentu tidak menguntungkan posisi PTKIS yang dikategorikan sebagai peringkat kedua. Dari jumlah PTKIS hanya terdapat beberapa perguruan tinggi yang dikatakan layak, selebihnya masih di bawah standar. Permasalahan-permasalahan dalam pelaksanaan pendidikan Islam di PTAIS adalah:
a.             PTAIS belum menjadi pilihan utama calon mahasiswa
Selama ini kebanyakan calon mahasiswa (input) yang masuk PTAIS adalah mereka yang gagal dalam ajang masuk di PTN dan PTAIN.
Sehingga bisa dikatakan bahwa mereka yang masuk PTAIS adalah mahasiswa yang kurang berkualitas baik dari segi intelegensinya maupun ekonominya. Akibatnya tentu saja lulusan (out put) pendidikan menjadi kurang maksimal.
Menurut data Kopertais wilayah X, ditemukan ada PTAIS di Jawa Tengah yang jumlah mahasiswa kurang dari seratus orang. Misalnya, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Kamal Sarang Rembang jumlah mahasiswa 22 orang, FAI Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) jumlah mahasiswa 45 orang, Sekolah Tinggi Ilmu Ushuludin Chozinatul Ulum Blora jumlah mahasiswa 50 orang, Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Kebumen jumlah mahasiswa 65 orang, STAI Sufyan Tsauri Majenang mempunyai mahasiswa sebanyak 75 orang, STAI Al-Husain Magelang mempunyai mahasiswa sebanyak 81 orang.
b.            banyak dosen yang belum memenuhi tugas keprofesionalan
Dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen Pasal 60, disebutkan dosen harus memenuhi tugas perofesional, yakni melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat; merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang sosioekonomi peserta didik dalam pembelajaran; menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika; dan memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Selain itu dalam kualifikasi pendidikan, dosen harus berpendidikan sekurang-kurangnya adalah S2. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 46 ayat 2 bahwa, dosen memiliki kualifikasi akademik minimum: lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana; dan lulusan program doktor untuk program pascasarjana. Kondisi di lapangan, masih ada temuan dosen yang mengajar di PTAIS, kualifikasi pendidikannya di bawah standar.
c.             Sarana dan prasarana yang belum memadai
Sarana dan prasarana merupakan faktor penting dalam proses pembelajaran disamping faktor-faktor yang lain. Sarana dan prasarana yang memadai akan menjadikan suasana akademik dan proses pembelajaran menjadi kondusif dan sistematis. Tanpa adanya sarana dan prasarana yang memadai proses belajar dan mengajar tidak akan berjalan dengan baik. Sarana dan prasarana, terutama sarana belajar dan mengajar, merupakan hal yang esensial.
Kondisi riil, sarana dan prasarana yang dimiliki PTAIS tergolong masih minim. Padahal, keberadaan sebuah pendidikan tinggi sangat ditentukan oleh keberadaan sarana dan prasarana pendidikannya, seperti ruang perkuliahan, perpustakaan dengan ruangan dan koleksi buku yang memadai, laboratorium pembelajaran yang memadai.
d.            Proses belajar dan mengajar yang belum berkualitas
Ada indikasi banyak PTAIS yang kurang serius dalam melakukan proses pembelajaran. Kekurangseriusan dalam proses pembelajaran bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: kekurangsiapan tenaga pengajar (dosen tidak profesional) sehingga menyebabkan mahasiswa kurang aktif mengikuti perkuliahan. Mahasiswa hanya pasif mendengarkan dosen memberikan ceramah. Atau juga penyelenggaraan kelas jauh, yang tanpa memperhatikan kualitas pembelajaran.
Penguasaan bahasa arab mahasiswa PTAIS pada umumnya sangatlah lemah, padahal bahasa Arab merupakan alat pokok untuk memahami al-Quran dan al-Hadits serta kitab-kitab keagamaan klasik.[15] Sebenarnya, tidak hanya penguasaan bahasa arab, menurut penulis juga bahasa Inggris.
2.             Solusi
Dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi PTAIS di atas, harus segera dicarikan solusi, diantaranya:
a.             menarik minat mahasiswa untuk masuk PTAIS
Langkah yang dapat dilakukan oleh PTAIS adalah menjaga kualitas lulusannya dengan baik.
Maksudnya, lulusannya dapat diterima di masyarakat dan selalu dicari pengguna lulusan, yakni masyarakat. Untuk bisa mencapai hal tersebut, tentunya kualitas lulusan harus dijaga. Jangan hanya menghasilkan sarjana yang tidak mempunyai komptensi. Akibatnya, hanya menambah pengangguran yang terdidik. Sebaliknya, apabila kualitas lulusan dijaga dengan baik, bukan hal yang mustahil PTAIS tersebut akan selalu dibanjiri peminat.

b.            meningkatkan profesionalisme dosen
Langkah yang bisa dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme dosen adalah dengan menciptakan iklim akademik yang kondusif bagi dosen untuk mengembangkan tugas keprofesional dosen. Misalnya pihak yayasan untuk mendorong dosen terbiasa meneliti dengan cara menfasilitasi pendirian penerbitan jurnal penelitian. Selain itu, pemberian stimulus bagi dosen yang dapat menulis di jurnal yang diakui nasional maupun internesional diberikan insentif yang layak.
Kemudian untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan dosen, pihak yayasan perlu mendorong dosen agar melanjutkan pendidikan setidaknya mempunyai kualifikasi pendidikan, yaitu minimal harus magister (S-2), atau doktor S3 bahkan mendapatkan gelar puncak akademik, yakni guru besar (professor). Pendanaan studi lanjut bagi dosen bisa saja berasal dari anggran PTAIS sendiri, atau memberikan rekomendasi untuk mengikuti seleksi beasiswa S2/S3 yang diselenggarakan berbagai instansi pemerintah baik Kementerian Agama atau Kementerian Pendidikan Nasional atau swasta.
c.             Melengkapi sarana dan prasarana
Kelengkapan sarana prasarana perlu ditingkatkan terus menerus. Karena, dengan sarana prasarana yang lengkap akan mendorong kualitas PTAIS tersebut. Misalnya, dalam perkuliahan bahasa Arab atau Inggris perlu ada laboratorium bahasa. Atau juga laboratorium micro teaching yang bertujuan sebagai tempat latihan guru mengajar sebelum nantinya terjun ke kelas sesunggunya.
Untuk melengkapi sarana prasarana perlu adanya dana yang cukup. Pendanaan ini bisa berasal dari mahasiswa, atau yayasan, atau pemerintah, atau pihak swasta, atau juga dapat digalang dari sumber dana melalui pemetaan ekonomi para konglomerat (aghniya’) dan dilanjutkan dengan penyadaran akan pentingnya pendidikan tinggi Islam.
Pendidikan tinggi merupakan investasi manusia. Memang, harus diakui bahwa masih banyak orang mempertanyakan tentang efektivitas invesatasi melalui pendidikan, terutama efektifitasnya dalam memberikan nilai timbal balik bagi ekonomi individu dan masyarakat. Pendidikan dalam kenyataannya masih belum mampu menjadi sarana investasi yang menggiurkan bagi banyak orang, terutama PTAIS yang berbasis pendidikan humaniora. PTAIS lebih menawarkan tentang ”bagaimana menjadi orang baik” dan kurang menawarkan ”bagaimana menjadi orang berguna”.
d.            Meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas
Dosen sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan dosen sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Dosen harus pandai membawa peserta didik kepada tujuan yang hendak dicapai.
Oleh karenanya, dosen harus menguasai materi pengajaran, menguasai beberapa metode pengajaran sehingga ia mampu menggunakan metode yang sesuai dengan situasi dan kondisi peserta didik, dan sebagainya. Dengan demikian, dalam pembaruan pendidikan, keterlibatan dosen mulai dari perencanaan inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya memainkan peranan yang sangat besar bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan.[16] Bagi dosen yang belum bisa mewujudkan kelas yang menarik, bisa saja dosen tersebut dikirim untuk mengikuti shourt course (pendidikan singkat) di dalam maupun luar negeri.
e.             Meningkatkan penguasaan bahasa Arab dan Inggris
Pada abad 21 memunculkan tantangan internasional dan perspektif global. Model mahasiswa internasional dan pertukaran program fakultas di perguruan tinggi menjadi tren.[17]
Karenanya, untuk memenangi tantangan internasional tersebut, penguasaan bahasa asing (Arab maupun Inggris) adalah syarat mutlak. Bahkan, kalau bisa tidak hanya kedua bahasa asing tersebut, tetapi ditambah dengan bahasa asing lainnya misalnya, mandarin. Karena sekarang ini bahasa mandarin banyak dipelajari seiring kemajuan yang dialami negeri Cina.





BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
1.             Pengembangan Sistem PAI pada PTKI.
Dalam kurikulum Perguruan Tinggi Umum materi PAI adalah merupakan salah satu bagian dari komponen Mata Kuliah Pembinaan Kepribadian (MKPK) dan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam memanglah menjadi media pendidikan agama yang bertujuan untuk melaksanakan pengkajian, pengembangan ilmu-ilmu agama Islam serta melaksanakan pengembangan dan peningkatan dakwah Islam yang memenuhi standart kompetensi pada semua bagian. 
penjabaran matakuliah di PTAI telah ditetapkan kurang lebih enam belas sub matakuliah. Secara optimal PTAI telah mampu memberikan matakuliah sesuai jumlh sks yang ditawarkan, sedangkan alokasi waktu di PTU yang lebih sedikit, mengakibatkan kurang mendapat perhatian secara utuh, bahkan bagi mahasiswa yang cenderung kurang minat dalam PAI. Slah satu kendala ini menyebabkan PAI masih di anggap gagal untuk menyampaikan misinya, sehingg butuh perhatian dan kerjasama dari semua pihak untuk mengembangkan PAI menjadi lebih baik.
2.             Problematika dan Solusi pelaksanaan Pendidikan Islam di PTKIS
Dalam pelaksanaan pendidikan Islam di PTAIS mengalami beberapa permasalahan, diantaranya, yaitu: PTAIS belum menjadi pilihan utama calon mahasiswa, banyak dosen yang belum memenuhi tugas keprofesionalan, sarana dan prasarana yang belum memadai, proses belajar dan mengajar yang belum berkualitas, lemahnya penguasaan bahasa asing (arab atau inggris). Cara menyelesaikan masalah yang dihadapai dalam pelaksanaan pendidikan Islam adalah: menarik minat mahasiswa untuk masuk PTAIS, meningkatkan profesionalisme dosen, melengkapi sarana dan prasarana, meningkatkan penguasaan bahasa asing (bahasa arab dan Inggris)
DAFTAR PUSTAKA
Mujamil Qomar, 2002 Manajemen Pendidikan Islam Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam Malang: Erlangga,
Muhaimin, 2012 Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Bandung: Rosdakarya.
Azyumardi Azra, 2012 Pendidikan Islam Tradisi Dan Modernisasi Di Tangah Tantgan Milenium III Jakarta: Kencana,
Muhaimin, 2010  Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi Jakarta: Rajawali Pers
Azizy, A, Qadri, 2001 Pendidikan (agama) untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat), Semarang: Aneka Cipta. Azizi
Feisal, Jusuf Amir, 1995 Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press.
Turner, S, Bryan, 1984 Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisis atas Tesa Sosiologi Weber, Terj. Machnun Husein, Jakarta Rajawali.
Cik Hasan Basri. 1999  Agenda Pengembangan Pendidikan Tinggi Agama Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Muhaimin. Arah Baru Pengembangan Pendidikn Islam. Bandung: Nuansa Cendekia
Isna, Mansur, Diskursus Pendidikan Islam, Yogyakarta: Global Pustaka Utama 2001
Muhaimin, 2005 Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Madrasah dan Perguruan Tinggi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Syafaruddin, 2005 Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press.




[1] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam (Malang: Erlangga, 2002), hlm 106. 
[2] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: Rosdakarya, 2012), hlm 54. 
[3] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi Dan Modernisasi Di Tangah Tantgan Milenium III (Jakarta: Kencana, 2012), hlm 205. 
[4]  Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm 221. 
[5] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum....hlm 222
[6] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum....hlm 223
[7]  Azizy, A, Qadri,  Pendidikan (agama) untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat), (Semarang: Aneka Cipta. Azizi 2001). hlm 122
[8] Feisal, Jusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press.1995). hlm 155
[9] Turner, S, Bryan, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisis atas Tesa Sosiologi Weber, Terj. Machnun Husein, (Jakarta Rajawali, ,1984). Hlm 168
[10] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum....hlm 224
[11] 1. Bidang quran hadits, 2. Bidang pemikiran dalam Islam, 3. Fiqh (huku Islam dan pranata social), 4. Searah dan peradaban islam, 5. Bahasa, 6. Tarbiyah Al islamiyah, 7. Dakwah Islamiyah, 8. Perkembangan pemikiran modern di dunia Islam.
[12] Perumusan pembagian disiplin Ilmu ini dilakukan dalam lima tahap. Tahap perta tahun 1977 dan tahap akhir tahun 1982. Dalam. Cik Hasan Basri. Agenda Pengembangan Pendidikan Tinggi Agama Islam. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999). Hlm. 4-5
[13] Muhaimin. Arah Baru Pengembangan Pendidikn Islam.(Bandung: Nuansa Cendekia),hlm. 297
[14] Muhaimin. Arah Baru Pengembangan,  hlm. 299-300
[15] Isna, Mansur, Diskursus Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama 2001).hlm 16
[16] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Madrasah dan Perguruan Tinggi, (Raja Grafindo Persada, jakarta, 2005). Hlm 120
[17]  Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005). hlm 329
<!-- Start of KOMISI GRATIS Script -->

<script type="text/javascript" src="https://komisigratis.com/ads.php?pub=68035"></script>
<!-- End of KOMISI GRATIS Script -->

No comments:

Post a Comment