BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
Sejak awal berdirinya,
Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang kemudian berubah istilah menjadi
Perguruan Tinggi Keagamaan Islam disingkat PTKI (Menyesuaikan dengan pasal 30
UU nomor 12 tahun 2012) telah mengalami dinamika yang sangat kompleks.
Perkembangan PTKI sejak awal kemerdekaan hingga kini dihadapkan dengan dua
persoalan penting yakni kualitas kelembagaan maupun filsafat keilmuan.
Perguruan Tinggi Agama
Islam terpolarisasi dalam dua kelompok, yaitu: PTKIN yaitu Perguruan Tinggi
Keagamaan Islam Negeri dan PTKIS yaitu Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta,
yang membedakan keduanya adalah dalam pendanaan yang mana PTKIN didanai oleh
pemerintah/negara sedangkan PTKIS didanai oleh masarakat. Problem yang dihadapi
oleh Perguruan Tinggi. Keagamaan Islam (PTKI) harus segera diatasi, yang mana
pihak terkait yang bertanggung jawab atas Perguruan Tinggi itu sendiri.Dan para
akademika harus merespon dengan kompak untuk mendukung pimpinan dalam
mengadakan pembenahan.[1]
Pendirian
PTKI bisa juga menjadi mercusuar syiar Islam di
Indonesia, karena PTKI sangat
berbeda dengan Sekolah. Sekolah adalah untuk mendidik generasi muda, namun PTKI adalah tempat untuk mendidik guru Sekolah bahkan untuk mendidik intelektual-intelektual
di bidang lain. Selain itu dengan berpendidikan tinggi maka umat islam bisa
memiliki ilmu, memiliki kewibaan, dan memiliki kematangan (kedewasaan) sehingga
diharapkan bisa mengeluarkan umat Islam dari jurang keterbelakangan, penjajahan
belanda, dan ketertinggalan umat islam dari para kaum nasionalis sekuler dari latar belakang diatas maka penulis mengangkat
judul: “Pengembangan
sistem pendidikan agama islam pada PTKI: Suatu kajian inter, Multi dan / atau
transdisipliner”
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Pengembangan Sistem PAI pada PTKI.?
2.
Bagaimana Problematika dan Solusi pelaksanaan Pendidikan Islam di PTKIS?.
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk Mengetahui Pengembangan Sistem PAI pada PTKI.
2.
Untuk
mengetahui Problematika dan Solusi pelaksanaan
Pendidikan Islam di PTKIS
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengembangan Sistem PAI pada PTKI
Perkembangan Perguruan Tinggi Agama Islam
(PTAI) secara kuantitatif dewasa ini mengalami peningkatan yang signifikan.
Berdasarkan data yang dipublikasikan Direktorat Kelembagaan Agama Islam
(Bagais) yang kini menjadi Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (DIKTIS), jumlah
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang semula hanya satu kini sudah
mencapai 50 Institusi. PTAIN saat ini terdiri dari 6 Universitas Islam Negeri
(UIN), 12 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan 32 Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN). Adapun Perguruan Tinggi Agama Islam yang berstatus swasta
(PTAIS), tercatat sebanyak 461 Institusi yang tersebar di seluruh pelosok tanah
air.
Keberadaan Perguruan Tinggi termasuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) mempunyai kedudukan dan fungsi penting dalam perkembangan suatu masyarakat. Proses perubahan sosial (social change) di masyarakat yang begitu cepat, menuntut agar kedudukan dan fungsi perguruan tinggi itu benar-benar terwujud dalam peran yang nyata.
Keberadaan Perguruan Tinggi termasuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) mempunyai kedudukan dan fungsi penting dalam perkembangan suatu masyarakat. Proses perubahan sosial (social change) di masyarakat yang begitu cepat, menuntut agar kedudukan dan fungsi perguruan tinggi itu benar-benar terwujud dalam peran yang nyata.
1.
Kurikulum PTKI
Sejak
ditetapkan keputusan menteri pendidikan nasional nomor 232/U/2000 tentang
pedoman penyusunan kurikulum dan penilaian hasil belajar mahasiswa, yang
kemudian disusul dengan keputusan menteri pendidikan nasional nomor 045/U/2002
tentang kurikulum inti pendidikan tinggi, dikalangan PTKI timbul perbincangan
tentang model pengembangan kurikulum untuk merespon keputusan tersebut.
Perbincangan
tersebut tidak bisa lepas dari komitmen mereka untuk lebih meningkatkan mutu
PTKI, yang menurut direktur pertais, mutu lulusannya diangggap masih kurang
memenuhi harapan masyarakat, dan sumbangannya pada pengembangan ilmu agama
Islam masih dianggap kurang signifikan.
Oleh
karena itu dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi ini perlu
pendekatan teknologis, sehingga dalam menyusun kurikulum atau program
pendidikan bertolak dari analisis kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan
tugas-tugas tertentu, dengan karakteristik tertentu yang meliputi, Pertama,
penekankan pada pencarian, penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan atas
dasar ibadah kepada Allah. Kedua, Pencarian, penguasaan dan pengembangan
ilmu pengetahuan yang merupakan proses yang berkesinambungan, yaitu ilmu
pengetahuan yang dicari tiada henti-hentinya. Ketiga, Dalam pencarian,
penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan sangat menekankan pada nilai-nilai
akhlak.Keempat, Pengakuan akan potensi dan kemampuan individu untuk
berkembang dalam suatu kepribadian.[2]
Hal
ini selaras dengan aspirasi umat Islam pada umumnya dalam pengembangan
Perguruan Tinggi Agama Islam yang didorong oleh beberapa tujuan, yaitu: Pertama,
melaksanakan pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu agama Islam pada tingkat
yang lebih tinggi secara lebih sistematis dan terarah. Kedua,
melaksanakan pengembangan dan peningkatan dakwah Islam dalam arti luas.Ketiga,
melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama dan fungsionaris keagamaan.[3]
Hanya saja dalam kurikulum PTKI ini terdapat beberapa kelemahan yang dirasa
perlu mendapat perhatian khusus, yaitu:
a.
Kurang relevan
dengan kebutuhan masyarakat, banyak program studi yang kurang diminati
masyarakat tetap dipertahankan.
b.
Kurang efektif,
yakni tidak menjamin dihasilkannya lulusan yang sesuai dengan harapan.
c.
Kurang efisien, yakni
banyaknya mata kuliah dan SKS tidak menjamin menghasilkannya lulusan sesuai
harapan.
d.
Kurang fleksibel,
yaitu PTKI kurang berani secara keatif dan bertanggung jawab mengubah kurikulum
guna menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat (setempat, nasional atau global).
e.
Readibility rendah,
tidak komunikatif (bisa menimbulkan banyak tafsir).
f.
Hanya berupa
deretan mata kuliah.
g.
Berbasis (terfokus)
pada mata kuliah, penyampaian materi, bukan pada tujuan burikuler, tujuan
belajar, mutu lulusan dan
h.
Hubungan fungsional
antar mata kuliah yang mengacu pada tujuan kurikuler yang kurang jelas.[4]
Untuk
mengatasi berbagai kelemahan ini, maka direktur pertais mengambil kebijakan
tentang pengembangan kurikulum yaitu:
1)
Kurikulum berbasis
hasil belajar.
2)
Kurikulum terdiri
atas kurikulum inti dan kurikulum institusional.
3)
Kurikulum inti
(40%) ditetapkan oleh pemerintah dan berlaku secara nasional, sedangkan
kurikulum institusional (60%) ditetapkan oleh PTKI dan berlaku hanya di PTKI
tersebut.
4)
Kurikulum secara
keseluruhan (inti dan institusional) ditetapkan oleh PTKI
5)
Kualitas kurikulum
menjadi tanggung jawab PTKI.[5]
Kebijakan
tersebut mengandung makna bahwa:
a)
Kurikulum perlu
dikembangkan dengan lebih menitik beratkan pada pencapaian target kompetensi
daripada penguasaan materi.
b)
Lebih
mengkomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia.
c)
Memberikan
kebebasan yang lebih luas kepada pelaksana pendidikan di PTKI untuk
mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan sesuai dengan kebutuhan.
d)
Menggunakan prinsip
kesatuan dalam kebijakan dan keragaman dalam pelaksanaan dan
e)
Pengembangan
kurikulum memuat sekelompok mata kuliah pengembangan kepribadian (MPB) pada
semua program studi.[6]
Menurut
kemendiknas 045/U/2002, bahwa kompetensi yang diharapkan dari lulusan sarjana
S1 adalah sebagai berikut:
(1)
Kompetensi
utama,yaitu merupakan core compeencies yang diharapkan di kuasai oleh lulusan
dari bidang studi tersbu yang kemudian disebut kurikulum inti.
(2)
Kompetensi
pendukung, yaitu merupakan kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan untuk mennjang
core competencies yang diharapkan.
(3)
Komptensi lain,
yaitu kompetensi yang dianggap perlu untuk melengapi kedua kompetensi diatas.
2.
PTKI dalam membentuk kompetensi lulusan
didirikan dalam rangka untuk menjawab tantangan
ke depan, yaitu mencetak sarjana yang memilki kualifikasi dalam bidang agama
Islam. Sesuai dengan pembidangan di atas, alumni PTKI adalah sarjana yang
tergolong ke dalam tataran keilmuan yang teoriritis dan implementatif. Sebagai
ciri keilmuan yang teoritis dan implementatif adalah keahlian yang tidak
semata-mata implementatif, tetapi juga memilki keahlian konseptual, yang
berciri khas analitik.
Keahlian analitik diperlukan sebab mereka
berhadapan dengan perubahan sosial secara terus menerus yang tentunya juga
mengharuskan perubahan paradigma dalam berpikir. Ilmu-ilmu agama memiliki
kaitan dengan dunia sosial-antropologis, bahkan politik dan ekonomi, sehingga
pengembangan keilmuan Islam juga harus tertata dengan baik. Sehubungan dengan
itu, maka produk PTKI akan memilki profil sebagai sarjana yang memiliki
kemampuan untuk melakukan analisis terhadap perubahan-perubahan sosial-relegius
berdasarkan pendekatan keilmuan yang relevan.
Peranan pendidikan tinggi dalam pengembangan
sumber daya manusia dapat dicirikan pada tiga hal. Pertama, mencetak manusia
yang bertanggung jawab.
Menurut Azizi, pertama: bahwa
ada kaitan antara fitrah, akhirat dan tanggung jawab. Setiap perbuatan pasti
ada tanggung jawabnya yang berkonsekuensi di akhirat. Tanggung jawab tidak
hanya sekedar administratif di dunia, tetapi lebih jauh secara substantif di
akhirat. Melalui tanggung jawab inilah akan tercipta etika sosial, karena
setiap tindakan dalam bentuk apapun akan memiliki nilai tanggung jawab baik
dunia maupun akhirat.
Kedua: peran
kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir mengajarkan pada kita bahwa ilmu
pengetahuan adalah sarana untuk membebaskan, dalam arti bahwa melalui kemampuan
berpikir manusia diajarkan untuk menemukan (discovery) tentang sesuatu dalam
bidangnya. Kebebasan dalam konteks ini adalah kebebasan untuk menemukan
sesuatu, merevisi, atau menguatkan suatu dalil, teori dan konsep yang telah ada
untuk kemaslahatan.
Ketiga: penguasaan
terhadap kompetensi. Pendidikan harus mengarahkan peserta didik pada keahlian
tertentu sehingga menjadi sarana untuk mengakses kehidupan. Oleh karena itu
maka pendidikan tinggi harus dirancang untuk mewujudkan sarjana yang
profesional sesuai dengan keahliannya.[7]
Sedangkan dalam kebijaksanaan strategis
perguruan tinggi Islam termasuk P PTKIS,
menurut Feisal
a.
Membina dan memperbarui keimanan mahasiswa sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Islam yang bersumber kepada Al-Quran, As-Sunah, dan ijtihad
atau pemikiran skolastik yang menggambarkan cara berfikir normatif dan berfikir
deskriptif empiris.
b.
Mengembangkan rasa, sikap, dan akhlak yang sesuai dengan nilai-nilai agama
yang universal.
c.
Mengembangkan kemampuan intelektual sehingga mampu berpikir ilmiah rasional
dan logis
d.
Mengembangkan keterampilan-keterampilan tertentu untuk dapat secara nyata
menyelesaikan masalah yang dihadapinya sehari-hari. [8]
Sementara itu, pelaksanaan pendidikan Islam di PTKIS tidak lepas peran serta masyarakat. Sebagian
masyarakat di Indonesia masih memandang agama sebagai hal yang urgen dalam
kehidupan. Oleh karena itu mengetahui dan memahami persoalan agama merupakan
hal yang wajib. Maka wajar jika di Indonesia terdapat beberapa pesantren dan
lembaga pendidikan Islam dengan jumlah santri yang relatif banyak. Kondisi
seperti itu dapat menunjang kuantitas mahasiswa PTKIS. Sehingga PTKIS tidak
sampai kekurangan mahasiswa.
Pada sisi lain, masyarakat Indonesia relatif
paternalistik sehingga keterikatan pada tokoh masyarakat atau kyai masih besar.
Dalam konteks ini, kyai merupakan status yang dihormati dengan berbagai peran
yang dimainkan dalam masyarakat. Ketokohan dan kepemimpinan kyai sebagai akibat
dari status yang disandangnya, telah menunjukkan betapa kuatnya kecakapan dan
pancaran kepribadiannya (kharisma) dalam memimpin pesantren dan masyarakat.
Hal ini dapat dilihat bagaimana seorang kyai
dapat membangun peran strategisnya sebagai pemimpin masyarakat nonformal
melalui komunikasi intensif dengan masyarakat. Kyai dengan karisma yang
dimilikinya tidak hanya dikategorikan sebagai elit agama, tapi juga sebagai
pemimpin (tokoh sentral) dalam masyarakat yang memiliki otoritas tinggi.
Karisma kyai merupakan karunia yang diperoleh dari latihan (riyadlah) dan
anugerah Tuhan.[9]
Sehingga apa yang menjadi kehendak dan pendapat
kyai, akan diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat sekitarnya. Dengan demikian,
kyai merupakan sumber legetimasi yang potensial bagi PTKIS. Sehingga pencitraan PTKIS bisa dibangun dari sini.
Menurut keputusan Menteri Agama nomor 353 tahun
2004 tentang pedoman penyusunan kurikulum pendidikan agama Islam pasal 9, bahwa
kompetensi lulusan dikelompokkan menjadi empat kompetensi, yaitu:
a.
Kompetensi dasar
adalah kompetensi yang dimiliki oleh mahasiswa sebagai dasar kompetensi
utama,pendukung dan kompetensi lainnya.
b.
Kompetensi utama
adalah kompetensi yang dimiliki oeh mahasiswa setelah menyelesaikan
pendidikannya disuatu program studi tertentu.
c.
Kompetensi
pendukung adalah kompetensi yang diharapkan dapat mendukung kompetensi utama.
d.
Kompetensi lain
adalah kompetensi yang dianggap perlu dimiliki oleh mahasiswa sebagai bekal
mengabdi di masyarakat, baik yang terkait langsung maupun yang tidak terkait.[10]
3.
Pengembangan Disiplin Ilmu Pendidikan Agama Islam
Berdsarakan keputusan
menteri agama nomor 110 Tahun 1982 dilakukan pembidangan Ilmu agama Islam, yang
kemudian telah dikembangkan dalam ligkungan perguran tinggi agama Islam baik
negeri maupun swasta. Keputusan menteri yang mendapat persetujuan dari pimpinan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesi (LIPI) yang dibagi menjadi delapan bidang,[11]
dan kemudian delapan bidang itu dibagi lagi menjadi disiplin ilmu sebagaimana
table dibawah ini:
No.
|
Bidang
Ilmu
|
Disiplin
Ilmu
|
1.
|
Qur’an
dan Hadits
|
a. Ulumul qur’an
b. Ulumul hadits
|
2.
|
Pemikiran
dalam Islam
|
a. Ilmu kalam,
b. Falsafah,
c. Tasawuf
d. Aliran modern
|
3.
|
Fiqh
(hukum Islam dan pranata social)
|
a. Fiqh Islam
b. Ushul fiqh
c. Pranata social
d. Ilmu falak
|
4.
|
Sejarah
dan peraaban Islam
|
a. Sejarah Islam
b. Perdaban Islam
|
5.
|
Bahasa
|
a. Bahasa arab
b. Sastra arab
|
6.
|
Tarbiyah
al-islamiyah
|
a. Pend. dan pengajaran Islam
b. Ilmu nafsil islamy
|
7.
|
Dakwah
Islamiah
|
a. Dakwah
b. Perbandingan agama
|
8.
|
Perkembangan
pemikiran modern di dunia Islam
|
a. Hokum
b. Politik
c. Social
d. Ekonomi
|
Sejak tahun 2001
berdasarkan undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah telah
diberlakukan otonomi daerah bidang pendidikan dan kebudayaan. PTAI dalam
menatap potonomi daerah mengutamakan prospek PAI sebagai wadah pengembangan
perguruan tinggi.
Menurut Prof.
Muhaimin pegembangan PTKI
lebih menekankan pada pengembangan imu pengetahuan agama Islam dalam pengertian
al-ulum an-naqliyah (perennial knowladge). Pengembangan semacam
ini ternyata mendapat kritik paradigm yang mendasari PTKI kurang relevan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan tntutan pembangunan nasional karena bersifat sangat sektoral.
Dengan demikian PTKI lebih
mengabadikan faham dualisme atau dikotomi dan melahirkan over
specialization, bahkan terjadi isolasi akademik.[13]
Dengan adanya
fakultas/jurusan tarbiyah diharapakan mampu memberikan konstribusi terhadap
pembangunan daerah, khususnya di bidang pendidikan agama Islam. Sumbangsih dari
lulusan tarbiyah di butuhkan pemikran dalam mengembangkan strategi, model-model
manajemen sekaligus action plan-nya, maupun model kurikulumnya guna sebagai
pencerahan prospek pendidikan di masa depan.[14]
Kemudian dalam
mencermati fenomena sosial yang sedang aktual, pendidikan Agama Islam memberikan model
pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam yang berbasis inter,
Multi dan / atau transdisipliner.
B.
Problematika dan Solusi pelaksanaan Pendidikan Islam di PTKIS.
1.
Problematika
Diakui atau tidak, sekarang ini kualitas PTKIS masih kalah dengan PTKIN. Image yang semacam ini tentu tidak menguntungkan posisi PTKIS yang dikategorikan sebagai peringkat kedua. Dari jumlah PTKIS hanya terdapat beberapa perguruan tinggi yang dikatakan layak, selebihnya masih di bawah standar. Permasalahan-permasalahan dalam pelaksanaan pendidikan Islam di PTAIS adalah:
Diakui atau tidak, sekarang ini kualitas PTKIS masih kalah dengan PTKIN. Image yang semacam ini tentu tidak menguntungkan posisi PTKIS yang dikategorikan sebagai peringkat kedua. Dari jumlah PTKIS hanya terdapat beberapa perguruan tinggi yang dikatakan layak, selebihnya masih di bawah standar. Permasalahan-permasalahan dalam pelaksanaan pendidikan Islam di PTAIS adalah:
a.
PTAIS belum menjadi pilihan utama calon mahasiswa
Selama ini kebanyakan calon mahasiswa (input) yang masuk PTAIS adalah mereka yang gagal dalam ajang masuk di PTN dan PTAIN. Sehingga bisa dikatakan bahwa mereka yang masuk PTAIS adalah mahasiswa yang kurang berkualitas baik dari segi intelegensinya maupun ekonominya. Akibatnya tentu saja lulusan (out put) pendidikan menjadi kurang maksimal.
Selama ini kebanyakan calon mahasiswa (input) yang masuk PTAIS adalah mereka yang gagal dalam ajang masuk di PTN dan PTAIN. Sehingga bisa dikatakan bahwa mereka yang masuk PTAIS adalah mahasiswa yang kurang berkualitas baik dari segi intelegensinya maupun ekonominya. Akibatnya tentu saja lulusan (out put) pendidikan menjadi kurang maksimal.
Menurut data Kopertais wilayah X,
ditemukan ada PTAIS di Jawa Tengah yang jumlah mahasiswa kurang dari seratus
orang. Misalnya, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Kamal Sarang Rembang
jumlah mahasiswa 22 orang, FAI Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) jumlah
mahasiswa 45 orang, Sekolah Tinggi Ilmu Ushuludin Chozinatul Ulum Blora jumlah
mahasiswa 50 orang, Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Kebumen jumlah mahasiswa 65
orang, STAI Sufyan Tsauri Majenang mempunyai mahasiswa sebanyak 75 orang, STAI
Al-Husain Magelang mempunyai mahasiswa sebanyak 81 orang.
b.
banyak dosen
yang belum memenuhi tugas keprofesionalan
Dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen Pasal 60, disebutkan dosen harus memenuhi tugas perofesional, yakni melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat; merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang sosioekonomi peserta didik dalam pembelajaran; menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika; dan memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen Pasal 60, disebutkan dosen harus memenuhi tugas perofesional, yakni melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat; merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang sosioekonomi peserta didik dalam pembelajaran; menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika; dan memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Selain itu dalam kualifikasi
pendidikan, dosen harus berpendidikan sekurang-kurangnya adalah S2. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 46 ayat 2 bahwa, dosen memiliki kualifikasi akademik minimum:
lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana; dan
lulusan program doktor untuk program pascasarjana. Kondisi di lapangan, masih
ada temuan dosen yang mengajar di PTAIS, kualifikasi pendidikannya di bawah
standar.
c.
Sarana dan
prasarana yang belum memadai
Sarana dan prasarana merupakan faktor penting dalam proses pembelajaran disamping faktor-faktor yang lain. Sarana dan prasarana yang memadai akan menjadikan suasana akademik dan proses pembelajaran menjadi kondusif dan sistematis. Tanpa adanya sarana dan prasarana yang memadai proses belajar dan mengajar tidak akan berjalan dengan baik. Sarana dan prasarana, terutama sarana belajar dan mengajar, merupakan hal yang esensial.
Sarana dan prasarana merupakan faktor penting dalam proses pembelajaran disamping faktor-faktor yang lain. Sarana dan prasarana yang memadai akan menjadikan suasana akademik dan proses pembelajaran menjadi kondusif dan sistematis. Tanpa adanya sarana dan prasarana yang memadai proses belajar dan mengajar tidak akan berjalan dengan baik. Sarana dan prasarana, terutama sarana belajar dan mengajar, merupakan hal yang esensial.
Kondisi riil, sarana dan prasarana
yang dimiliki PTAIS tergolong masih minim. Padahal, keberadaan sebuah
pendidikan tinggi sangat ditentukan oleh keberadaan sarana dan prasarana
pendidikannya, seperti ruang perkuliahan, perpustakaan dengan ruangan dan
koleksi buku yang memadai, laboratorium pembelajaran yang memadai.
d.
Proses belajar
dan mengajar yang belum berkualitas
Ada indikasi banyak PTAIS yang kurang serius dalam melakukan proses pembelajaran. Kekurangseriusan dalam proses pembelajaran bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: kekurangsiapan tenaga pengajar (dosen tidak profesional) sehingga menyebabkan mahasiswa kurang aktif mengikuti perkuliahan. Mahasiswa hanya pasif mendengarkan dosen memberikan ceramah. Atau juga penyelenggaraan kelas jauh, yang tanpa memperhatikan kualitas pembelajaran.
Ada indikasi banyak PTAIS yang kurang serius dalam melakukan proses pembelajaran. Kekurangseriusan dalam proses pembelajaran bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: kekurangsiapan tenaga pengajar (dosen tidak profesional) sehingga menyebabkan mahasiswa kurang aktif mengikuti perkuliahan. Mahasiswa hanya pasif mendengarkan dosen memberikan ceramah. Atau juga penyelenggaraan kelas jauh, yang tanpa memperhatikan kualitas pembelajaran.
Penguasaan bahasa arab mahasiswa PTAIS pada
umumnya sangatlah lemah, padahal bahasa Arab merupakan alat pokok untuk
memahami al-Quran dan al-Hadits serta kitab-kitab keagamaan klasik.[15] Sebenarnya, tidak hanya penguasaan bahasa arab, menurut penulis
juga bahasa Inggris.
2.
Solusi
Dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi PTAIS di atas, harus segera dicarikan solusi, diantaranya:
Dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi PTAIS di atas, harus segera dicarikan solusi, diantaranya:
a.
menarik minat mahasiswa untuk masuk PTAIS
Langkah yang dapat dilakukan oleh PTAIS adalah menjaga kualitas lulusannya dengan baik. Maksudnya, lulusannya dapat diterima di masyarakat dan selalu dicari pengguna lulusan, yakni masyarakat. Untuk bisa mencapai hal tersebut, tentunya kualitas lulusan harus dijaga. Jangan hanya menghasilkan sarjana yang tidak mempunyai komptensi. Akibatnya, hanya menambah pengangguran yang terdidik. Sebaliknya, apabila kualitas lulusan dijaga dengan baik, bukan hal yang mustahil PTAIS tersebut akan selalu dibanjiri peminat.
Langkah yang dapat dilakukan oleh PTAIS adalah menjaga kualitas lulusannya dengan baik. Maksudnya, lulusannya dapat diterima di masyarakat dan selalu dicari pengguna lulusan, yakni masyarakat. Untuk bisa mencapai hal tersebut, tentunya kualitas lulusan harus dijaga. Jangan hanya menghasilkan sarjana yang tidak mempunyai komptensi. Akibatnya, hanya menambah pengangguran yang terdidik. Sebaliknya, apabila kualitas lulusan dijaga dengan baik, bukan hal yang mustahil PTAIS tersebut akan selalu dibanjiri peminat.
b.
meningkatkan
profesionalisme dosen
Langkah yang bisa dilakukan untuk
meningkatkan profesionalisme dosen adalah dengan menciptakan iklim akademik
yang kondusif bagi dosen untuk mengembangkan tugas keprofesional dosen.
Misalnya pihak yayasan untuk mendorong dosen terbiasa meneliti dengan cara
menfasilitasi pendirian penerbitan jurnal penelitian. Selain itu, pemberian
stimulus bagi dosen yang dapat menulis di jurnal yang diakui nasional maupun
internesional diberikan insentif yang layak.
Kemudian untuk meningkatkan
kualifikasi pendidikan dosen, pihak yayasan perlu mendorong dosen agar
melanjutkan pendidikan setidaknya mempunyai kualifikasi pendidikan, yaitu
minimal harus magister (S-2), atau doktor S3 bahkan mendapatkan gelar puncak
akademik, yakni guru besar (professor). Pendanaan studi lanjut bagi dosen bisa
saja berasal dari anggran PTAIS sendiri, atau memberikan rekomendasi untuk mengikuti
seleksi beasiswa S2/S3 yang diselenggarakan berbagai instansi pemerintah baik
Kementerian Agama atau Kementerian Pendidikan Nasional atau swasta.
c.
Melengkapi
sarana dan prasarana
Kelengkapan sarana prasarana perlu
ditingkatkan terus menerus. Karena, dengan sarana prasarana yang lengkap akan
mendorong kualitas PTAIS tersebut. Misalnya, dalam perkuliahan bahasa Arab atau
Inggris perlu ada laboratorium bahasa. Atau juga laboratorium micro teaching
yang bertujuan sebagai tempat latihan guru mengajar sebelum nantinya terjun ke
kelas sesunggunya.
Untuk melengkapi sarana prasarana
perlu adanya dana yang cukup. Pendanaan ini bisa berasal dari mahasiswa, atau
yayasan, atau pemerintah, atau pihak swasta, atau juga dapat digalang dari
sumber dana melalui pemetaan ekonomi para konglomerat (aghniya’) dan
dilanjutkan dengan penyadaran akan pentingnya pendidikan tinggi Islam.
Pendidikan tinggi merupakan
investasi manusia. Memang, harus diakui bahwa masih banyak orang mempertanyakan
tentang efektivitas invesatasi melalui pendidikan, terutama efektifitasnya
dalam memberikan nilai timbal balik bagi ekonomi individu dan masyarakat.
Pendidikan dalam kenyataannya masih belum mampu menjadi sarana investasi yang
menggiurkan bagi banyak orang, terutama PTAIS yang berbasis pendidikan
humaniora. PTAIS lebih menawarkan tentang ”bagaimana menjadi orang baik” dan
kurang menawarkan ”bagaimana menjadi orang berguna”.
d.
Meningkatkan kualitas
pembelajaran di kelas
Dosen sebagai ujung tombak dalam
pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses
belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan dosen sangat menentukan
kelangsungan proses belajar mengajar di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Dosen
harus pandai membawa peserta didik kepada tujuan yang hendak dicapai.
Oleh karenanya, dosen harus menguasai materi
pengajaran, menguasai beberapa metode pengajaran sehingga ia mampu menggunakan
metode yang sesuai dengan situasi dan kondisi peserta didik, dan sebagainya. Dengan
demikian, dalam pembaruan pendidikan, keterlibatan dosen mulai dari perencanaan
inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya memainkan peranan
yang sangat besar bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan.[16]
Bagi dosen yang belum bisa mewujudkan kelas yang menarik, bisa saja dosen
tersebut dikirim untuk mengikuti shourt course (pendidikan singkat) di dalam maupun luar negeri.
e.
Meningkatkan
penguasaan bahasa Arab dan Inggris
Pada abad 21 memunculkan tantangan
internasional dan perspektif global. Model mahasiswa internasional dan
pertukaran program fakultas di perguruan tinggi menjadi tren.[17]
Karenanya, untuk memenangi tantangan internasional tersebut,
penguasaan bahasa asing (Arab maupun Inggris) adalah syarat mutlak. Bahkan,
kalau bisa tidak hanya kedua bahasa asing tersebut, tetapi ditambah dengan
bahasa asing lainnya misalnya, mandarin. Karena sekarang ini bahasa mandarin
banyak dipelajari seiring kemajuan yang dialami negeri Cina.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pengembangan Sistem PAI pada PTKI.
Dalam
kurikulum Perguruan Tinggi Umum materi PAI adalah merupakan salah satu bagian
dari komponen Mata Kuliah Pembinaan Kepribadian (MKPK) dan Perguruan Tinggi
Keagamaan Islam memanglah menjadi media pendidikan agama yang bertujuan untuk
melaksanakan pengkajian, pengembangan ilmu-ilmu agama Islam serta melaksanakan
pengembangan dan peningkatan dakwah Islam yang memenuhi standart kompetensi
pada semua bagian.
penjabaran
matakuliah di PTAI telah ditetapkan kurang lebih enam belas sub matakuliah.
Secara optimal PTAI telah mampu memberikan matakuliah sesuai jumlh sks yang
ditawarkan, sedangkan alokasi waktu di PTU yang lebih sedikit, mengakibatkan
kurang mendapat perhatian secara utuh, bahkan bagi mahasiswa yang cenderung
kurang minat dalam PAI. Slah satu kendala ini menyebabkan PAI masih di anggap
gagal untuk menyampaikan misinya, sehingg butuh perhatian dan kerjasama dari
semua pihak untuk mengembangkan PAI menjadi lebih baik.
2.
Problematika dan Solusi
pelaksanaan Pendidikan Islam di PTKIS
Dalam pelaksanaan
pendidikan Islam di PTAIS mengalami beberapa permasalahan, diantaranya, yaitu:
PTAIS belum menjadi pilihan utama calon mahasiswa, banyak dosen yang belum
memenuhi tugas keprofesionalan, sarana dan prasarana yang belum memadai, proses
belajar dan mengajar yang belum berkualitas, lemahnya penguasaan bahasa asing
(arab atau inggris). Cara menyelesaikan masalah yang dihadapai dalam
pelaksanaan pendidikan Islam adalah: menarik minat mahasiswa untuk masuk PTAIS,
meningkatkan profesionalisme dosen, melengkapi sarana dan prasarana,
meningkatkan penguasaan bahasa asing (bahasa arab dan Inggris)
DAFTAR PUSTAKA
Mujamil Qomar, 2002 Manajemen Pendidikan Islam Strategi
Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam Malang: Erlangga,
Muhaimin, 2012 Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah Bandung: Rosdakarya.
Azyumardi Azra, 2012 Pendidikan Islam Tradisi Dan
Modernisasi Di Tangah Tantgan Milenium III Jakarta: Kencana,
Muhaimin, 2010 Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi Jakarta:
Rajawali Pers
Azizy, A, Qadri, 2001 Pendidikan (agama) untuk Membangun
Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat),
Semarang: Aneka Cipta. Azizi
Feisal, Jusuf Amir, 1995 Reorientasi Pendidikan Islam,
(Jakarta: Gema Insani Press.
Turner, S, Bryan, 1984 Sosiologi Islam: Suatu Telaah
Analisis atas Tesa Sosiologi Weber, Terj. Machnun Husein, Jakarta Rajawali.
Cik
Hasan Basri. 1999 Agenda Pengembangan
Pendidikan Tinggi Agama Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Muhaimin.
Arah Baru Pengembangan Pendidikn Islam. Bandung: Nuansa Cendekia
Isna, Mansur, Diskursus Pendidikan Islam, Yogyakarta:
Global Pustaka Utama 2001
Muhaimin, 2005 Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam di Madrasah dan Perguruan Tinggi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Syafaruddin, 2005 Manajemen Lembaga Pendidikan
Islam, Jakarta: Ciputat Press.
[1] Mujamil Qomar, Manajemen
Pendidikan Islam Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam (Malang:
Erlangga, 2002), hlm 106.
[2] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam
Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung:
Rosdakarya, 2012),
hlm 54.
[3]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi Dan Modernisasi Di Tangah Tantgan
Milenium III (Jakarta: Kencana, 2012), hlm 205.
[4] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), hlm 221.
[7] Azizy, A, Qadri, Pendidikan (agama) untuk Membangun Etika
Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat), (Semarang: Aneka Cipta.
Azizi 2001). hlm 122
[9] Turner, S,
Bryan, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisis atas Tesa Sosiologi Weber,
Terj. Machnun Husein, (Jakarta Rajawali, ,1984).
Hlm 168
[11] 1.
Bidang quran hadits, 2. Bidang pemikiran dalam Islam, 3. Fiqh (huku Islam dan
pranata social), 4. Searah dan peradaban islam, 5. Bahasa, 6. Tarbiyah Al
islamiyah, 7. Dakwah Islamiyah, 8. Perkembangan pemikiran modern di dunia
Islam.
[12] Perumusan
pembagian disiplin Ilmu ini dilakukan dalam lima tahap. Tahap perta tahun 1977
dan tahap
akhir tahun 1982. Dalam. Cik Hasan Basri. Agenda Pengembangan Pendidikan Tinggi
Agama Islam. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999). Hlm. 4-5
[13]
Muhaimin. Arah Baru Pengembangan Pendidikn Islam.(Bandung: Nuansa
Cendekia),hlm. 297
[16] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam di Madrasah dan Perguruan Tinggi, (Raja Grafindo Persada,
jakarta, 2005). Hlm 120
<!-- Start of KOMISI GRATIS Script -->
<script type="text/javascript" src="https://komisigratis.com/ads.php?pub=68035"></script>
<!-- End of KOMISI GRATIS Script -->
No comments:
Post a Comment