Sunday, July 21, 2019

pemikiran Ibnu sina pendidikan islam dengan pendidikan nasional


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Abu ‘Ali al-Husayn bin ‘Abdullah ibnu Sina tak hanya dikenal sebagai seorang dokter legendaris. Ibnu Sina juga mencurahkan gagasannya tentang pendidikan. Menurut Ibnu Sina, pendidikan atau pembelajaran itu menyangkut seluruh aspek pada diri manusia, mulai dari fisik, metal maupun moral. Pendidikan tidak boleh mengabaikan perkembangan fisik dan apapun yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan fisik seperti olahraga, makanan, minuman, tidur, dan kebersihan,”  tutur Ibnu Sina,
Dalam pandangan Ibnu Sina,  pendidikan tak hanya memperhatikan aspek moral, namun juga membentuk individu yang menyeluruh termasuk, jiwa, pikiran dan karakter.  Menurutnya, pendidikan sangat  penting diberikan kepada anak-anak untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi masa dewasa.
Ibnu Sina mengungkapkan, seseorang harus memiliki profesi tertentu dan harus bisa berkontribusi bagi masyarakat. Ibnu Sina mengungkapkan pendidikan itu harus diberikan secara berjenjang berdasarkan usia. Ia dianggap seorang yang cerdas, karena dalam usia yang sangat muda (17 Tahun) Ibnu Sina telah di kenal sebagai filosof dan dokter terkemuka di Bukhara selain itu Ibnu Sina juga dikenal sebagai tokoh yang luar biasa. Kecuali seorang ilmuwan ia juga dapat melakukan berbagai macam pekerjaan dengan baik seperti dalam bidang kedokteran, pendidikan, penasehat politik, pengarang dan bahkan menjadi waziar (mentri).
Sebagai ilmuwan Ibnu Sina telah berhasil menyumbangkan buah pemikirannya dalam buku karangannya yang berjumlah 276 buah. Diantara karya besarnya adalah Al-Syifa berupa ensiklopedi tentang fisika, matematika dan logika. Kemudian Al-Qanur Al-Tabibb adalah sebuah ensiklopedi kedokteran.




B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana riwayat hidup Ibnu sina ?
2.      Apa pemikiran ibnu sina tentang pendidikan ?
3.      Bagaimana Pandangan ibnu sina tentang pendidikan ?
4.      Bagaimana hubungan pemikiran pendidikan islam dengan pendidikan nasional  ?

C.    Tujuan Masalah

1.         Untuk mengetahui riwayat hidup Ibnu sina
2.         Untuk mengetahui pemikiran Ibnu sina tentang pendidikan
3.         Untuk mengetahui pandangan Ibnu sina tentang pendidikan
4.         Untuk mengetahui hubungan pemikiran pendidikan islam dengan pendidikan nasional


























BAB II
PEMBAHASAN
A.           Riwayat Hidup Ibnu Sina
Nama lengkapnya adalah Abu ’Ali al-Husyn ibn Abdullah. Penyebutan nama ini telah menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para ahli sejarah. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari bahasa latin, Avin Sina, dan sebagian yang lain mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari kata Al-Shin yang dalam bahasa Arab berarti Cina. Selain itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama tersebut dihubungkan dengan nama tempat kelahirannya, yaitu Afshana
Dalam sejarah pemikiran islam, Ibnu Sina di kenal sebagai intelektual muslim yang banyak mendapat gelar. Ia lahir pada tahun 370 H. bertepatan dengan tahun 980 M, di Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat bukhara, di kawasan Asia Tengah. Ayahnya bernama Abdullah dari Belkh, suatu kota yang termasyhur dikalangan orang-orang Yunani, kota tersebut sebagai pusat kegiatan polotik, juga sebagai pusat kegiatan intelektual dan keagamaan.
Adapun Ibu Ibnu Sina bernama Astarah, berasal dari Afshana yang termasuk wilayah Afganistan. Namun demikian, ia ada yang menyebutkan sebagai berkebangsaan Persia, karena pada abad ke-10 M, wilayah Afganistanini termasuk daerah Persia.
Tampilnya Ibnu Sina selain sebagai ilmuwan yang terkenal didukung oleh tempat kelahirannya sebagai ibu kota kebudayaan, dan orang tuanya yang dikenal sebagai pejabat tinggi, juga karena kecerdasannya yang luar biasa. Sejarah mencatat, bahwa Ibnu Sina melalui pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahirannya Bukhara. Pengetahuan yang pertama kali ia pelajari ialah membaca al-qur’an. Setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama islam seperti tafsir, fiqh, ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil menghafal al-qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang belum genap sepuluh tahun.
Ia dianggap seorang yang cerdas, karena dalam usia yang sangat muda (17 Tahun) Ibnu Sina telah di kenal sebagai filosof dan dokter terkemuka di Bukhara selain itu Ibnu Sina juga dikenal sebagai tokoh yang luar biasa. Kecuali seorang ilmuwan ia juga dapat melakukan berbagai macam pekerjaan dengan baik seperti dalam bidang kedokteran, pendidikan, penasehat politik, pengarang dan bahkan menjadi waziar (mentri).
Ibnu sina banyak mempelajari kitab karangannya Abi Abdillah Al-Natily yang berjudul “Isagogi” dan buku karangan Eclides dan Al-Magisty. Pada waktu ia menerangkan isi buku-buku tersebut kepada gurunya, ia menunjukan kecerdasan pikirannya yang mengagumkan, karena ia dapat mengukapkan isinya secara jelas sesuai dengan rumus-rumus dan problematika yang di tulis dalam buku-buku tersebut dimana gurunya sendiri tidak dapat memahaminya.
Dia mendalami ilmu-ilmu alam dan teologi, kemudian mempelajari kedokteran dan di angkat menjadi supervisor. Ia praktek sebagai dokter, mengobati orang sakit, tidak untuk mencari kekayaan, tetapi ilmunya sekedar untuk di gunakan alat bergaul dengan para dokter pada masa itu dan untuk memuaskan dorongan cintanya pada ilmu kedokteran. Pada waktu usia 16 tahun kemashurannya telah menyebar luas sampai kepada para ahli kedokteran lainnya sehingga mereka tertarik mempelajari pengalaman dan berbagai macam teknik penyembuhan dari padanya Memang ia mencurahkan seluruh waktunya untuk menelaah, membaca dan membahas, menganalisa, meneliti dan melakukan pengkajian terhadap berbagai pendapat para ahli.
Di kisahkan bahwa Amir nuh bin Nasr as-smanai menderita sakit keras, Abu Ali Ibnu Sina diminta untuk mengobatinya dan sembuhlah ia dari penyakitnya, maka senanglah hati raja itu. Ia di serahi sebuah perpustakaan Amir Nuh Bin Nasr yang termanshur dengan kelengkapan kitab-kitabnya, maka Ibnu Sina tenggelam dalam perpustakaan itu, membaca seluruh kitab yang ada di dalamnya yang terdiri dari kitab-kitab tentang ilmu-ilmu dasar dari tiap ilmu dan seni. Ia telah dapat memahami isi semuanya, dan telah berhasil mendapatkan ketenangan di dalam perpustakaan itu.
Sebagai ilmuwan Ibnu Sina telah berhasil menyumbangkan buah pemikirannya dalam buku karangannya yang berjumlah 276 buah. Diantara karya besarnya adalah Al-Syifa berupa ensiklopedi tentang fisika, matematika dan logika. Kemudian Al-Qanur Al-Tabibb adalah sebuah ensiklopedi kedokteran. Ibnu sina wafat tahun 427 H = 1037 M. (permulaan abad yang kelima). Kitab As-Syifa’ terdiri dari 18 jilid. Masih tersimpan satu muskha di universitas oxford, london.[1]

B.            Pemikiran Ibnu sina tentang pendidikan

Pemikiran Ibnu Sina yang banyak keterkaitannya dengan pendidikan, menyangkut pemikirannya tentang filsafah ilmu.  Menurut Ibnu Sina ilmu terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:[2]
1.      Ilmu yang tak kekal
  1. Ilmu yang kekal (hikmah). Ilmu yang kekal dipandang dari peranannya sebagai alat disebut logika.
Ibnu sina juga membagi filsafat dalam 2 bagian, yaitu teori dan praktek, yang keduanya berhubungan dengan agama, di mana dasarnya terdapat dalam syari’at Tuhan, yang penjelas dan kelengkapannya di peroleh dengan akal manusia. Berdasarkan tujuannya maka ilmu dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1.      Ilmu praktis seperti ilmu kealaman, matematika, ilmu ketuhanan dan ilmu kulli.
  1. Ilmu tidak praktis adalah ilmu akhlak, ilmu kepengurusan, rumah ilmu, pengurusan kota dan ilmu nabi (syariah).
Menurut Ibnu Sina pendidikan yang diberikan oleh nabi pada hakikatnya adalah pendidikan kemanusiaan. Bahwa pemikiran pendidikan Ibnu Sina bersifat komprehensif. Dalam pemikiran pendidikannya Ibnu Sina telah menguraikan tentang psikologi pendidikan, terlihat dari uraian-uraiannya mengenai hubungan anak dengan tingkatan usia, kemauan dan bakat anak. Dengan mengetahui latar belakang tingkat perkembangannya, bakat dan kemauan anak maka bimbingan yang di berikan kepada anak akan lebih berhasil. Menurut Ibnu Sina kecendrungan manusia untuk memilih pekerjaan yang berbeda dikarenakan didalam diri manusia terdapat faktor yang tersembunyi yang sukar dipahami / dimengerti dan sulit untuk di ukur kadarnya. [1]
Pemikiran pendidikan Ibnu Sina tampaknya telah membuka selubung keagungan tokoh ini. Di dunia barat sendiri pemikiran pendidikan anak baru dilakukan menjelang abad ke-18. Dietrich Tiediman (1787) merupakan orang pertama kali di dunia barat yang menyusun psikologi anak-anak. Kemudian disusul oleh buku Die Seele Des Kindes karangan Wilhelm Preyer (1882) barulah para ahli pendidikan di barat mempelajari anak-anak melalui kajian ilmiah.
Mengenai kebenaran Al-qur’an Ibnu sina membedakan bagi awam dan intelektual (filsuf). Bagi orang awam kebenaran Al-quran itu merupakan kebenaran harfiah, sementara bagi intelektual bersifat simbolis. Oleh karena itu pendidikan merupakan penerapan disiplin hukum yang hanya berlaku bagi orang awam. Sementara filsafat sebagai alat pemahaman atas kebenaran Al-quran yang simbolis, lebih tinggi dari pendidikan. [3]
tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina yaitu harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup dimasyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecendrungan dan potensi yang dimilikinya. Dan untuk mencapai kebahagiaan (sa’adat) kebahagian dicapai secara bertingkat, sesuai dengan tingkat pendidikan yang dikemukakannya, yaitu kebahagiaan pribadi, kebahagiaan rumah tangga, kebahagiaan masyarakat, kebahagian manusia secara menyeluruh dan kebahagian akhir adalah kebahagian manusia di hari akhirat. Kebahagian manusia secara menyeluruh menurut Ibnu Sina hanya akan mungkin dicapai melalui risalah kenabian. Jadi para nabilah yang membawa manusia mencapai kebahagian secara menyeluruh. Pemikiran dalam hal pendidikan, Ibnu sina juga membagi menjadi berbagai tahapan atau masa-masa.
1.             Tahapan masa-masa menurut Ibnu sina
Pemikiran dalam hal pendidikan, Ibnu sina juga membagi menjadi berbagai tahapan atau masa-masa.
a.       Masa kanak-kanak
Menurut Ibnu Sina, masa kanak-kanak merupakan saat pembentukan fisik, mental, dan moral. Oleh karena itu terdapat tiga hal yang harus diperhatikan: Pertama, anak-anak harus dijauhkan dari pengaruh kekerasan yang bisa mempengaruhi jiwa dan moralnya. Kedua, untuk perkembangan tubuh dan gerakannya, anak-anak harus dibangunkan dari tidur. Ketiga, anak-anak tak diperbolehkan langsung minum setelah makan, sebab makanan itu akan masuk tanpa dicerna terlebih dahulu. Keempat, perkembangan rasa dan perilaku anak-anak perlu diperhatikan.
b.      Masa Pendidikan
Pada masa ini, anak-anak sudah berusia antara 6 hingga 14 tahun. Pada masa ini, anak-anak harus mempelajari prinsip kebudayaan Islam dari Alquran, puisi-puisi Arab, kaligrafi, juga para pemimpin Islam. Menurut Ibnu Sina, pendidikan pada masa ini harus dilakukan dalam kelompok-kelompok, bukan perseorangan. Sehingga siswa tidak merasa bosan. Selain itu, mereka bisa belajar mengenai arti persahabatan. Selain itu juga Pelajaran membaca dan menghafal menurut Ibnu Sina berguna di samping untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan ayat-ayat al-qur’an, juga untuk mendukung keberhasilan dalam mempelajari agama islam seperti pelajaran Tfasi Al-Qur’an, Fiqh, Tauhid, Akhlak dan pelajaran agama lainnya yang sumber utamanya Al-qur’an.

c.       Masa usia 14 tahun ke atas
Pada masa remaja ini, mereka dipersiapkan untuk mempelajari tipe pelajaran tertentu supaya memiliki keahlian khusus. Selain itu, mereka harus mempelajari pelajaran yang sesuai dengan bakat mereka. Mereka juga tidak boleh dipaksa untuk mempelajari dan bekerja di bidang yang tidak mereka inginkan dan mereka pahami. Namun pelajaran dasar harus diberikan kepada mereka.
Ibnu Sina menganggap pendidikan pada anak-anak maupun remaja harus diberikan karena pendidikan itu memiliki hubungan yang erat antara pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial. Yang paling penting, setiap pelajar harus menjadi seorang ahli dalam bidang tertentu yang akan mendukung pekerjaannya di masa depan.
Ibnu sina mewajibkan kepada pendidik anak-anak, supaya menjauhkan anak-anak dari kelakuan yang keji dan adat-adat kebiasaan yang buruk dengan mempertakuti dan menginginkan, dengan memuji sekali dan memarahi sekali, yaitu selama yang demikian itu mencukupi. Kalau membutuhkan mempergunakan tangan, maka hendaklah pergunakan.
C.           Pandangan Ibnu sina tentang pendidikan
Ibnu sina banyak memberikan saham dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan islam, yang amat berharga sekali dan tidak kecil pengaruhnya terhadap pendidikan islam dewasa ini, pandangan ibnu sina terhadap pendidikan (sistem) meliputi sebagai berikut :[4]
1.             Pendidikan keterampilan untuk mempersiapkan anak mencari penghidupan
Ibnu sina  mengintegrasikan antara nilai-nilai idealitas dengan pandangan pragmatis, sebagaimana yang dia katakan : “ jika anak telah selesai belajar Al-Quran dan menghapal dasar-dasar gramatika, saat itu amatilah apa yang ia inginkan mengenai pekerjaannya, maka arahkanlah ia ke jalan itu. Jika ia menginginkan menulis maka hubungkanlah dengan pelajaran bahasa surat-menyurat, bercakap-cakap dengan orang lain serta berbincang-bincang dengan mereka dan sebagainya. Kalau problem matematika, maka caranya harus mengerjakan bersamanya, membimbing dan menulisknnya. Dan jika ia ingin yang lain, maka bawalah ia kesana.”
Pendidikan yang bersifat keterampilan yang ditujukan pada pendidikan seperti bidang perkayuan, penyablonan dsb. Sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja yang professional yang mampu mengerjakan pekerjaan secara professional. Dengan demikian apa yang dikatakan oleh Ibnu sina itu jelas menunjukkan bahwa umat islam sejak dulu telah mengetahui tujuan pendidikan/pengajaran. Oleh karena itu hendaknya mereka mengarahkan pendidikan anak-anak kepada apa yang menjadikan mereka baik, lalu menuangkan pengetahuan mereka ke dalam prinsip-prinsip yang ditetapkan yang bersifat khusus seperti yang dianjurkan oleh pendidikan modern.
2.             Kurikulum tingkat awal untuk meningkatkan mutu pendidikan anak
Secara sederhana istilah kurikulum digunakan untuk menunjukkan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai satu gelar atau ijazah. Pengertian ini sejalan dengan pendapat Crow dan Crow yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematik yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu
pendapat Ibnu sina tentang masalah ini sangat terkenal : yaitu “ sebaiknya diawali dengan mengajarkan Al-quranulkarim tapi dengan cara menghindarkan pengajaran yang bersifat memberatkan jasmani dan akal pikirannya. Dalam hal ini Ibnu sina sepakat bahwa, “pada waktu mengajarkan Al-quran anak juga diajarkan diajar huruf-huruf hijaiyah dan beberapa ilmu lainnya, kemudian diperkenalkan syair-syair yang dimulai dari cerita anak-anak.
Strategi pembentukan kurikulum Ibnu Sina tampak sangat dipengaruhi oleh pengalaman yang terdapat dalam dirinya. Pengalaman pribadinya dalam mempelajari berbagai macam, ilmu dan keterampialan ia coba tuangkan dalam konsep kurikulumnya. Dengan kata lain, ia menghendaki agar setiap orang yang mempelajari berbagai ilmu dan keahliaan menempuh sebagaimana cara yang ia lakukan. Berdasarkan uraian diatas Ibnu sina mengemukakan prinsip-prinsip pendidikan yaitu :[5]
a.             Jangan memulai pengajaran Al-quran kepada anak melainkan setelah anak mencapai tingkat kematangan akal dan jasmaniah yang memungkinkan dapat menerima apa yang diajarkan
b.             Mengintegrasikan antara pengajaran Al-quran dengan huruf hijaiyah, yang memperkuat pandangan pendidikan modern saat ini yaitu dengan metode campuran antara metode analitis dan strukturalitis dalam mengajar membaca dan menulis           (merupakan metode paling baru dalam pengajaran bahasa  kepada anak-anak saat ini).
c.             Kemudian anak diajar agama pada waktu tingkat kematangan yang mantap dimana menurut adat kebiasaan hidup keagamaan yang benar telah terbuka lebar sampai dapat menyerap ke dalam jiwanya dan mempengaruhi daya indrawi serta perasaannya.
d.            Ibnu sina juga memandang penting pelajaran syair sehingga syair itu menjadi sarana pendidikan perasaan. Pelajaran ini dimulai dari mengajarkan syair-syair yang menceritakan anak-anak  yang glamaour, sebab lebih mudah dihafal dan mudah menceritakannya.
e.             Pengajaran yang diarahkan pada penulisan minat dan bakat pada masing-masing anak didik, sehingga mereka mampu menciptakan kreativitas belajar secara lebih mantap. hal ini sesuai dengan yang dianjurkanoleh kurikulum modern saat ini. Anak harus diajar tentang pengetahuan umum yang bersifat dharuriyah, sehingga terbukalah bakat dan kemampuannya yang pada saat ini memungkinkan anak dapat mengenal kecenderungan-kecenderungannya.
f.              Selanjutnya Ibnu sina sangat memperhatikan segi akhlak dalam pendidikan, yang menjadi fokus perhatian dari seluruh pemikiran filsafat pendidikan yaitu mendidik anak dengan menumbuhkan kemampuan beragama yang benar. Oleh karena itu pendidikan agama memang merupakan landasan bagi pencapaian tujuan pendidikan akhlak. Jika Ibnu sina sangat menekankan pentingnya pendidikan akhlak, semata-mata di sebabkan karena akhlak adalah sumber segala-galanya sehingga salah seorang ahli syair bernama (Ahmad syauqi bey )memperkokoh kedudukan akhlak dan keutamaannya dalam pembangunan bangsa seperti terlukis dalam bait syairnya :
وَاِنَمَا الأامَمُ اْلاَخْلَاقُ مَابَقِيَتْ فَاءِنْ هُمُو ذَهَبَتْ اَخْلَاقُهُمْ ذَهَبُوا
Artinya:
“Hanya saja suatu bangsa itu berdiri tegak selama ia masih berakhlak namun jika akhlak mereka telah hilang maka bangsa itupun lenyap juga”.

3.             Komunikasi dengan para ilmuwan pada masanya
Abu Ali Ibnu sina berkomunikasi dengan para ilmuwan pada masa hidupnya, diantaranya dengan ibnu maskawaihi, dan Abu raihan Al-biruni, serta dokter Abu Al-Faraj bin Tabib bin Al-jatsaliq, dan Abu nasril, Iraqi, Abdul Khair bin Al-Khammar. Dari mereka Ibnu sina memperdalam ilmu-ilmu logika, alam, matematika dan kedokteran, sehingga ia dapat mengungguli guru-gurunya. Di antara ilmu-ilmu yang didalami, ilmu kedokteran yang sangat melelahkannya untuk dipelajari, sampai ia dapat kesalahan-kesalahan dalam berbagai kitab lama. Ia pernah disodori sebuah buku tentang metafisika, karya Al-Farabi. Waktu itu ia mengoreksi dan menolak dalil-dalilnya dan setelah berfikir panjang ia memberi buku itu. Setelah pulang ke rumah kitab itu dipelajari dan terbukalah di hatinya jalan pikiran baru, maka itu merasa gembira dan bersedekah kepada fakir-miskin sebagai tanda syukur kepada Allah.
Dari kisah tersebut jelaslah bagi kita bahwa Ibnu sina mempelajari juga kitab-kitab karangan Al-Farabi karena ia sebagai filosof Arab dan guru kedua ( setelah Aristoteles) yang menjelaskan kitab-kitab karangan Aristoteles.
Ibnu sina mempunyai metode khusus dalam studinya ia mengatakan : saya study ilmu, dan ketika saya temukan satu masalah yang sulit, saya ulangi-ulangi sampai keseluruhannya, lalu saya bersembahyang, lalu saya tambah daya pikir saya memikirkan keseluruhannya, sampai saya terbuka kepada hal-hal yang belum dapat saya mengerti, lalu saya mendapatkan kemudahan dari yang sulit-sulit itu, saya menekuninya pada malam hari di rumah dengan membacanya, dan ketika saya tidur nyenyak, saya bermimpi tentang problematika-problematika itu menjadi jelas dalam mimpiku itu.
D.           Hubungan pemikiran pendidikan islam dengan pendidikan nasional
Para ulama salaf dan khalaf (baru) serta para ilmuwan muslim, terutama yang menaruh minat terhadap ilmu pendidikan islam telah banyak menginterpretasiakan dan menganalisis sistem nilai yang terkandung di dalam Al-quran dan al-hadist menjadi ajaran dan pedoman yang mendasari proses kependidikan Islam. Sedangkan operasionalisasinya dalam bentuk-bentuk teknisnya diwujudkan dalam berbagai ragam model dan pola serta metode sesuai dengan taraf kemampuan berpikir konsepsional mereka masing-masing dari zaman ke zaman.
Yang esensial dari pendektean folosofis ini adalah lahirnya sikap dasar dan pandangan dasar yang meyakini bahwa islam sebagai agama wahyu (agama samawi) mengandung konsep-konsep, wawasan-wawasan dan ide-ide dasar yang memberi inspirasi terhadap pemikiran umat manusia dalam rangka menyelesaikan permasalahan kehidupannya.
Pendidikan islam sebagai Ilmu dalam pengembangannya perlu diorientasikan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, karena di samping kemampuan manusia untuk berpikir rasional yang menjadi salah satu persyaratan dalam ilmu dan teknologi, juga kitab Al-quran telah memberikan ruang geraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sejauh kemampuan rasio dapat mencapainya seolah-olah tanpa batas.
Sedangkan pendidikan nasional berakar pada kebudayaan nasional dan berdasarkan pancasila dan UUD 1945 serta melanjutkan dan meningkatkan pendidikan. Masyarakat sebagai penyelenggara satuan kegiatan memiliki kebebasan untuk menyelenggarakannya sesuai dengan ciri atau kekhususan masing-masing sepanjang itu tidak bertentangan dengan pancasila sebagai dasar negara. Pandangan hidup bangsa dan ideologi bangsa dan negara.
Salah satu ketentuan umum sistem pendidikan nasional adalah bahwa pendukung dan penunjang pelaksanaan pendidikan meliputi tenaga, dana, sarana, prasarana, yang tersedia atau diadakan dan didayagunakan oleh keluarga, masyarakat , peserta didik dan pemerintah baik sendiri atau bersama. Dalam pasal 3 diperoleh keterangan selanjutnya bahwa fungsi pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia.
Berdasarkan beberapa keterangan diatas hubungan sistem pendidikan islam dan pendidikan nasional yaitu sistem pendidikan islam dapat dikembangkan baik melalui pendidikan pancasila dan agama maupun melalui pengembangan ciri khusus satuan pendidikan. [6]Berdasarkan ciri khusus tersebut dapat dikembangkan suatu kurikulum yang memberi arah berkembangnya suatu pribadi yang mencerminkan pancaran nila-nilai ajaran islam dalam formulasasi yang berkesesuaian dengan pancasila

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ibnu Sina di kenal sebagai intelektual muslim yang banyak mendapat gelar. Ia lahir pada tahun 370 H. bertepatan dengan tahun 980 M, di Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat bukhara, di kawasan Asia Tengah. Ia dianggap seorang yang cerdas, karena dalam usia yang sangat muda (17 Tahun) Ibnu Sina telah di kenal sebagai filosof dan dokter terkemuka di Bukhara selain itu Ibnu Sina juga dikenal sebagai tokoh yang luar biasa. Kecuali seorang ilmuwan ia juga dapat melakukan berbagai macam pekerjaan dengan baik seperti dalam bidang kedokteran, pendidikan, penasehat politik, pengarang dan bahkan menjadi waziar (mentri).
Pemikiran Ibnu Sina yang banyak keterkaitannya dengan pendidikan, menyangkut pemikirannya tentang filsafah ilmu.  Menurut Ibnu Sina ilmu terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:
1.      Ilmu yang tak kekal
2.      Ilmu yang kekal (hikmah). Ilmu yang kekal dipandang dari peranannya sebagai alat disebut logika.
Ibnu sina juga membagi filsafat dalam 2 bagian, yaitu teori dan praktek, yang keduanya berhubungan dengan agama, di mana dasarnya terdapat dalam syari’at Tuhan, yang penjelas dan kelengkapannya di peroleh dengan akal manusia. Berdasarkan tujuannya maka ilmu dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1.      Ilmu praktis seperti ilmu kealaman, matematika, ilmu ketuhanan dan ilmu kulli.
2.      Ilmu praktis adalah ilmu akhlak, ilmu kepengurusan, rumah ilmu, pengurusan kota dan ilmu nabi (syariah


DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin.1996,  Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Zuhairini, 1991, Filsafat pendidikan islam. Jakarta: bumi aksara
Yunus Mahmud, 1992,  sejarah pendidikan islam. Jakarta : Pt. Hidakarya Agung
Al-jumbulati Ali  At-Tuwanaanisi, 2002, Perbandingan pendidikan islam, jakarta : Pt Asdi Mahasatya
Mulkhan Abdul Munir, 1994, paradigma intelektual muslim, yogyakarta: sipress














[1] Yunus Mahmud, sejarah pendidikan islam.( Jakarta : Pt. Hidakarya Agung, 1992) hlm 78
[2] Jalaluddin.,  Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996). hlm 69
[3]Mulkhan Abdul Munir, paradigma intelektual muslim, (yogyakarta: sipress 1994), hlm 51
[4] Al-jumbulati Ali  At-Tuwanaanisi, Perbandingan pendidikan islam, (jakarta : Pt Asdi Mahasatya, 2002), hlm 118-119
[5] Ibid hlm 119
[6] Op.Cit Mulkhan Abdul Munir, paradigma intelektual muslim hlm 32-33

No comments:

Post a Comment