BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
Al-Qur’an merupakan
wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW
melalui malaikat jibril yang ditujukan kepada ummat manusia. Ini merupakan pesan
dari Allah kepada manusia. Karena itu, al-Qur’an menjadi sangat urgen bagi
kita. Untuk berpegang teguh pada pesan tersebut, yang dibutuhkan
pertama kali tentu
memahami kandungannya. Untuk
tujuan itulah, maka kandungan al-Qur’an tersebut harus dipelajari dengan
mendalam. Kenyataannya, banyak orang telah menghabiskan banyak hidupnya untuk
mengkaji al-Qur’an; membaca dan
merefleksikannya dalam rangka
membangun aspek fisik
dan spirit mereka. Mereka juga telah menemukan makna dan implikasi baru
untuk kepentingan mereka sendiri.
beberapa pengetahun
yang secara spesifik mengenai pembahasan tersebut, yang
berkaitan dengan message tadi adalah juga dibutuhkan untuk secara penuh
memahami makna dan implikasinya. Meski, beberapa bagian dari pengetahuan
spesifik ini bisa diambil dari al-Qur’an itu sendiri, namun bagian lain dari
pengetahuan tersebut hanya
bisa ditemukan melalui
kajian dan research yang
mendalam.
Seorang
Muslim sejak dini dituntut mengaplikasikan, bukan hanya pesan dari Allah
(al-Qur’an), tetapi juga setting dan framework (kerangka kerja)-nya.
Karena itu, pendekatan
yang seharusnya dilakukan terhadap
al-Qur’an, bisa dideskripsikan melalui
tiga tahapan:
Pertama, menerima pesan al-Qur’an setelah mendengar atau membacanya Kedua,
memahami pesan al-Qur’an, setelah merefleksikan dan mengkaji maknanya. Ketiga,
mengaplikasikan pesan al-Qur’an sebagai sumber esensial bagi kehidupan
masyarakat dengan mengatur kehidupan pribadi, masyarakat dan negara sesuai
dengan message tersebut.
Disiplin ilmu yang
disebut Ulum al-Qur’an ini
pada akhirnya memang bisa
digunakan sebagai sebuah
cara untuk mewujudkan tahapan
kedua di atas; memahami message al-Qur’an, setelah memahami setting dan
realitasnya.
Al-Qur’an
sebagai wahyu ilahi diturunkan tidak terlepas dari aspek qira’at, karena pengertian Alquran itu sendiri
secara lughat (bahasa) berarti ‘bacaan’ atau “yang dibaca”.
Qira’at Alquran disampaikan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para
sahabat. Kemudian sahabat meneruskan kepada para tabi’in. Demikian seterusnya
dari generasi ke generasi.
Namun, dalam perjalanan sejarahnya, qira’at pernah
diragukan keberadaannya dan diduga tidak bersumber dari Nabi SAW. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka para ulama ahli qira’at terdorong untuk meneliti dan
menyeleksi berbagai versi qira’at yang berkembang pada masa itu. Berbagai versi
qira’at Alquran tersebut ada yang berkaitan dengan lafadz dan dialek
kebahasaan. Perbedaan yang berkaitan dengan lafadz; bisa menimbulkan perbedaan
makna sedangkan dialek tidak. Ada juga versi qira’at yang berkaitan dengan
ayat-ayat hukum yang berbeda dengan versi qira’at sebagaimana terbaca dalam
mushaf yang dimiliki kaum muslimin sekarang.
Dari uraian tersebut diatas maka sangat penting bagi
kami untuk membahas pengertian al-Qur’an, Qira’at dan pembahasan-pembahasan
yang terkait serta urgensi dari pada keduanya dan juga contoh-contoh qira’at
yang bisa diterima maupun tidak.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pengertian al-qur’an secara Umum?
2.
Bagaiman
Pengertian qiro’at secara Umum?
C.
Tujuan masalah
1.
Untuk
Mengetahui pengertian al-qur’an secara Umum
2.
Untuk
Mengetahui Pengertian qiro’at secara Umum
BAB II
PEMBAHAASAN
A.
Tinjauan Al-qur’an Secara Umum
1.
Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologi, lafadz al-Qur’an berasal dari fi’il Qara`a yang
mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun, dan qira`ah berarti
menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan
yang tersusun rapih. Qur`an pada mulanya
seperti qira`ah , yaitu masdar (infinitif) dari kata qara` qira`atan,
qur`anan. Sebagaimana dalam firman Allah SWT :
¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ #sÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ
Artinya:
"Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah
mengumpulkannya dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka
ikutilah bacaannya itu`. (Al- Qiyamah :17-18).
Lafal Qur`anah disini berarti qiraatuhu (bacaannya/cara
membacanya). Jadi kata itu adalah masdar menurut wazan (tashrif, konjungsi)`fu`lan`
dengan vokal `u` seperti `gufran` dan `syukran`. Kita dapat mengatakan
qara`tuhu , qur`an, qira`atan wa qur`anan, artinya sama saja, suatu bacaan.[1]
Di samping dalam pengertian mashdar dengan pengertian bacaan atau cara
membacanya, Qur’an juga dapat dipahami dalam pengertian maf’ûl, dengan
pengertian yang dibaca (maqrû’). Dalam hal ini apa yang dibaca (maqru’) diberi
nama bacaan (qur’an) atau penamaan maf’ûl dengan mashdar.
Menurut sebagian ulama
seperti Imam Syafi’i,
sebagaimana dikutip as-Suyuthi, Qur ’an adalah ism ‘alam ghairu musytaq
(nama sesuatu yang tidak ada asal katanya), merupakan nama khusus untuk firman
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, seperti halnya Taurat dan Injil
yang juga tidak ada asal katanya. Jika Qur’an berasal dari kata qara-a berarti
setiap yang dibaca dapat dinamai Qur’an.[2]
Sedangkan menurut terminologi, al-Qur’an adalah:
القرآن هو كلام الله المعجز المنزل على محمد
عليه السلام المنقول بالتواتر المتعبد بتلاوته
Artinya:
Al-Qur'an adalah kalam Allah yang berupa mukjizat, diturunkan
kepada
Muhammad saw. dan dinukil kepada kita secara mutawatir, serta dinilai beribadah ketika membacanya.[3]
Batasan:
kalam Allah yang
berupa mukjizat telah
menafikan selain kalam Allah,
seperti kata-kata manusia, jin, malaikat, nabi atau rasul. Karena itu, hadits
Qudsi ataupun hadits Nabawi tidak termasuk di dalamnya. Batasan: diturunkan
kepada Muhammad saw
yakni tidak termasuk yang diturunkan kepada nabi-nabi
sebelumnya seperti taurat, injil dan yang lain. Sedangkan (bittawatur) artinya
menafikan riyawat ahad, syadz, dan lainnya, seperti bacaan Ibnu Mas’ud terhadap
firman Allah SWT:
`yJsù óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$r& الاية
Artinya:
Barang siapa tidak sanggup melaksanakan yang demikian,
maka kafaratnya puasa selama tiga hari (Q.s. al-Maidah: 89)
yang
beliau tambahkan dengan: mutatabi’ain (berturut-turut) [4],
ataupun bacaan terhadap firman Allah SWT:
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r& الاية
Artinya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (Q.s.
al-Maidah: 38)
yang mengganti aydiyahuma (tangan-tangan
keduanya) dengan aymanahuma (bagian tangan atau kaki kanan keduanya).[5]
Jadi penggantian atau penambahan atau yang sejenis dari bacaan tersebut tidak
layak disebut al-Qur’an, bahkan disebut hadits nabawipun tidak boleh karena
bacaan tersebut dinisbatkan kepada pembacanya. Maka, ia tidak lebih dari
sekedar tafsir atau pandangan bagi orang menetapkannya. Mengenai batasan terakhir (al-muta'abbad bi
tilawatihi) dinilai ibadah ketika membacanya, mengecualikan bacaan hadis ahad dan
hadis-hadis qudsi meski ia dinisbatkan kepada Allah.
2.
Nama dan istilah dalam Al-Quran
Allah menamakan al-Qur’an dengan beberapa nama,
diantaranya:
a.
Al-Qur`an
¨bÎ) #x»yd tb#uäöà)ø9$# Ïöku ÓÉL¯=Ï9 Ïf ãPuqø%r& çÅe³u;ãur tûüÏZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# tbqè=yJ÷èt ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ¨br& öNçlm; #\ô_r& #ZÎ6x.
Artinya:
Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada
(jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min
yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.( al-Israa:9)
Dinamai
Al-Qur ’an, karena kitab
suci terakhir yang diturunkan Allah SWT ini berfungsi
sebagai bacaan sesuai dengan arti kata Qur ’an itu sendiri
b.
Al-Kitab
ôs)s9 !$uZø9tRr& öNä3ös9Î) $Y6»tGÅ2 ÏmÏù öNä.ãø.Ï (
xsùr& cqè=É)÷ès?
Artinya:
Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah
kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka Apakah kamu
tiada memahaminya? (al-Anbiyaa: 10)
Al-Kitab secara bahasa berarti al-jam’u
(mengumpulkan). Menurut as-Suyûthi, dinamai
Al-Kitab karena Al-Qur ’an mengumpulkan berbagai
macam ilmu, kisah
dan berita.[6]
Menurut Muhammad Abdullah Draz, sebagaimana dikutip Manna’ al-Qathân, Al-Qur’an
di samping dipelihara melalui lisan, juga dipelihara dengan tulisan.
Penamaannya dengan Al-Qur ’an dan Al-Kitab,dua
nama yang paling
populer, mengisyaratkan bahwa kitab suci Al-Qur ’an haruslah dipelihara
melalui dua cara secara bersama, tidak dengan salah satu saja, yaitu melalui
hafalan (hifzhuhu fi as-shudur) dan melalui tulisan (hifzhuhu fi as-suthur).[7]
c.
Al-Furqan
x8u$t6s? Ï%©!$# tA¨tR tb$s%öàÿø9$# 4n?tã ¾ÍnÏö6tã tbqä3uÏ9 úüÏJn=»yèù=Ï9 #·ÉtR
Artinya:
Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al
Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh
alam. (al-Furqan: 1)
Al-Furqan, mashdar dari asal kata faraqa, dalam wazan fu’lân,
mengambil bentuk shifât musyâbahah dengan arti ‘yang sangat memisahkan’.
Dinamai demikian karena
Al-Qur ’an memisahkan dengan tegas antara haq dan batil, antara benar
dan salah dan antara baik dan buruk.
d.
Adz-Zikr
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm:
Artinya:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur`an, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.( al-Hijr :9)
Adz-Dzikr artinya ingat, mengingatkan.
Dinamai Adz- Dzikr karena di dalam kitab suci ini terdapat pelajaran dan
nasehat dan kisah umat masa yang lalu.
e.
At-Tanzil
¼çm¯RÎ)ur ã@Í\tGs9 Éb>u tûüÏHs>»yèø9$#
Artinya
“Dan sesungguhnya Al Qur`an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan
semesta alam”.(as-Syuaraa:192 ).
At-Tanzil artinya yang benar-benar
diturunkan. Dinamai demikian karena Al-Qur ’an adalah kitab suci yang
diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibrîl.
Demikianlah lima nama al-Qur’an yang
umumnya disepakati oleh para ulama’ sebagai nama-nama al-Qur’an. Ada pun nama-
nama lain seperti An-Nur, Mau’izhah, Syifa’, Hudan, Rahmah dan lain sebagainya,
menurut sebagian ulama bukanlah nama-nama Al-Qur’an, tetapi sifat-sifatnya.
Sementara sebagian ulama seperti as-Suyûthi mengganggapnya sebagai nama-nama
Al-Qur ’an juga. Menurut as-Suyuthi, mengutip Abu al-‘Ali ‘Uzaiza ibn Abdillah
Syaidzalah, salah seorang
fuqaha’ Syafi’iyyah, penulis kitab Al-
Burhân fi Musykilât Al-Qur’an,
Allah SWT menamai
Al-Qur ’an dengan 55 nama.[8]
3.
Sifat-Sifat Al-Qur’an
Diantara sifat-sifat al-Qur’an yang
disebutkan dalam beberapa ayat adalah sebagai berikut:
a.
An-Nur (cahaya ) :
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# ôs% Nä.uä!%y` Ö`»ydöç/ `ÏiB öNä3În/§ !$uZø9tRr&ur öNä3ös9Î) #YqçR $YYÎ6B
Artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti
kebenaran dari Tuhanmu. dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang
benderang”.(An-Nisaa : 174 )
b.
Al-Huda ( petunjuk ), Syifa` ( obat ), Rahmah ( rahmat
),dan Mauizah ( nasehat ) :
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# ôs% Nä3ø?uä!$y_ ×psàÏãöq¨B `ÏiB öNà6În/§ Öä!$xÿÏ©ur $yJÏj9 Îû ÍrßÁ9$# Yèdur ×puH÷quur tûüÏYÏB÷sßJù=Ïj9
Artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu
pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada dan
petunjuk serta rahmat bagi orang orang yang beriman”.( Yunus : 57 ).
c.
Al-Mubin ( yang menerangkan ) :
ôs% Nà2uä!%y` ÆÏiB «!$# ÖqçR Ò=»tGÅ2ur ÑúüÎ7B الاية
Artinya:
“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah,
dan Kitab yang menerangkan”.( al-Maidah
:15 ).
d.
Al-Mubarak (yang memberkahi)
ë=»tGÏ. çm»oYø9tRr& y7øs9Î) Ô8t»t6ãB (#ÿrã/£uÏj9 ¾ÏmÏG»t#uä t©.xtFuÏ9ur (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$#
Artinya:
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu
penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya
mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. (as-Shad: 29)
Dan sifat-sifat yang lain sebagaimana
disebutkan dalam beberapa ayatnya, seperti : Busyra ( kabar gembira ),`Aziz (
yang mulia ), Majid ( yang dihormati ), Basyr ( pembawa kabar gembira).
B.
Tinjauan Qira’at secara Umum
Secara
etimologis qira’at (قراآت) bentuk
jama' dari qira’ah (قراءة) adalah
mashdar dari qara-a-yaqra-u-qirâatan berarti dham al- hurûf wa
al-kalimât ba'dhihâ ila ba'dhin fi at-tartil[9]
(menggabungkan huruf dan kalimat satu sama lain dalam bacaan). Dalam bahasa
Indonesia qirâah berarti bacaan atau membaca.
Secara terminologis yang dimaksud dengan qirâah adalah cara membaca Al-Qur'an oleh
seorang imam ahli qirâah berbeda dengan cara membaca imam yang lainnya. Az-Zarqâni mendefinisikan qirâah
sebagai berikut:
مذهب يذهب إليه
إمام من أئمة القراء، مخالفا به غيره في النطق بالقرآن الكريم مع اتفاق الروايات
والطرق عنه، سواء أكانت هذه المخالفة في نطق الحروف أم في نطق هيئاتها .[10]
Artinya:
“Suatu cara membaca Al-Qur'an al-Karim dari seorang Imam ahli
qirâah yang berbeda dengan cara membaca imam lainnya, sekalipun riwayat dan
jalur periwayatannya sama, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf ataupun
bentuknya."
Ash-Shabuni menambahkan dalam
defenisinya tentang qira’ah dengan menyebutkan bahwa cara baca Al-Qur'an itu harus mempunyai sanad yang
sampai kepada Rasulullah SAW.
مذهب
من مذاهب النطق في القرآن يذهب به إمام من الأئمة القراء مذهبا يخالف غيره وهي ثابتة بأسانيدها إلى رسول الله -صلى الله
عليه وسلم
Artinya:
"Cara membaca Al-Qur'an Al-Karim dari seorang
Imam ahli qirâah
yang berbeda dengan cara membaca imam lainnya berdasarkan sanad yang
sampai kepada Rasulullah SAW."
Tampak dari dua definisi
di atas bahwa pengertian qirâah di sini tidak sama dengan pengertian qirâah dalam percakapan sehari-hari yang sepadan
dengan tilawah yaitu hanya sekadar
dalam pengertian membaca atau
bacaan. Atau qirâah
dalam pengertian membaca Al-Qur'an dengan irama atau lagu tertentu.
Ilmu qirâah dalam pengertian sehari-hari berarti bagaimana
cara membaca Al-Qur'an dengan
benar, baik makhraj huruf
maupun tajwîdnya, kemudian
mempelajari juga lagu atau irama
membacanya. Tetapi qirâah dalam pembahasan
Ulumul Qur'an ini
adalah satu cara
membaca Al- Qur'an (mazhab)
yang dipilih oleh seorang
imam ahli qirâah
dengan sanad yang
bersambung sampai kepada Rasulullah SAW.
Dengan demikian terdapat
perbedaan cara membaca
Al-Qur'an antara satu imam dengan imam lainnya seperti qirâah Imam Nâfi' berbeda dengan
qirâah Imam 'ashim
atau Hamzah atau imam-imam
lainnya. Tetapi perbedaan itu tentu bukan perbedaan total dalam membaca seluruh ayat-ayat
Al-Qur'an, tetapi hanya perbedaan dalam membaca ayat-ayat
tertentu saja. Semua perbedaan itu bukanlah hasil karya
atau
inisiatif
imam
yang bersangkutan, tetapi
semuanya berasal
dari bacaan Rasulullah SAW dan tidak bertentangan
dengan mushaf 'Usmani dan kaedah-kaedah bahasa Arab.
Karena berdasarkan riwayat, maka nanti qira’ah juga dibagi
berdasarkan periwayatannya kepada qirâah mutawatirah, masyhurah,
ahad, syadzah, dha'îfah bahkan maudhu'ah atau palsu. Ditinjau dari
segi qari'nya, qirâah dapat dibagi
kepada
qira’ah
sab'ah, qira’ah 'asyarah dan qirâah arba'ata 'asyara. Para ulama yang mengkaji dan mendalami qirâah juga sudah menentukan syarat-syarat
sebuah qira’ah dapat diterima.
Semuanya akan dijelaskan
dalam bagian- bagian selanjutnya.
1.
Perbedaan Al-Qur’an Dan Qira’at
Para ulama berbeda pendapat tentang pembatasan definisi qira’at dan
al- Qur’an. Beberapa pendapat ulama tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Al-Zarkashi
dan al-Qustalani berpendapat, al-Qur’an dan qira’at merupakan dua substansi
yang berbeda. Al-Qur’an adalah wahyu (dari Allah SWT) yang diturunkan (kepada
nabi Muhammad saw.) sebagai mu’jizat dan penjelasan. Sedangkan qira’at adalah
perbedaan lafadh-lafadh wahyu tersebut, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun pengucapan
huruf-huruf tersebut, seperti
takhfif, tashdid dan lain-lain.[11]
b.
Mayoritas ulama
dan pakar qira’at
berpendapat, bahwa apabila
qira’at tersebut diriwayatkan
dengan sanad yang sahih, sesuai dengan kaidah tata bahasa Arab, dan sesuai
dengan rasm (pola penulisan) mushaf, maka dapat dikatakan qira’at itu tergolong
al-Qur’an. Namun bila tanpa ketiga syarat itu, maka ia dianggap qira’at biasa.[12]
c.
lbn Daqiq
al-'ld menyatakan bahwa
semua qira’at tergolong
al-Qur’an, termasuk pula qira’at shadzah. Muhammad Salim Mahisin juga berpendapat bahwa qira’at merupakan bagian dari al-Qur'an, aspek
qira’at tidak dapat dilepaskan dari al-Qur'an karena ia merupakan bagian tak
terpisahkan. Keduanya merupakan hakikat dengan makna tunggal, dan kata
al-Qur'an merupakan bentuk masdar dari kata al-qira'ah.[13]
2.
Sejarah Qira’ah
Al-Qur'an diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui
Malaikat Jibril AS. Jibril lah yang membacakan ayat- ayat Al-Qur'an kepada
Nabi, dan beliau mengikuti bacaan Jibril itu. Allah SWT berfirman:
w õ8ÌhptéB ¾ÏmÎ/ y7tR$|¡Ï9 @yf÷ètGÏ9 ÿ¾ÏmÎ/ ÇÊÏÈ ¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ #sÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ §NèO ¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmtR$ut/ ÇÊÒÈ
Artinya:
“Janganlah
kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Quran karena hendak cepat-cepat
(menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di
dadamu) dan ( membuatmu pandai) membaca. Apabila kami telah selesai
membacakannya, maka ikutilah bacaan itu. Kemudian, sesungguhnya akan tanggungan
Kami-lah penjelasannya” ( QS. Al-Qiyamah 75:16-19)
Dalam ayat di atas disebutkan bahwa Allah SWT menganugerahkan kepada
Nabi sebuah keistimewaan yang tidak diberikan kepada siapa pun, yaitu
kemampuan otomatis membaca, menghafal dan memahami Al-Qur`an. Dalam ayat di
atas dinyatakan: "Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah
bacaan itu."
Jaminan itu perlu diberikan oleh Allah SWT mengingat Nabi adalah sumber rujukan
para sahabat. Nabi lah yang kemudian membacakan ayat-ayat Al-Qur`an yang
diturunkan kepada para sahabat baik secara langsung untuk maksud tersebut atau
secara tidak langsung dengan mengulang-ulang membacanya waktu shalat.
Menurut adz-Dzahabi dalam Thabaqât al-Qurâ', sebagai dikutip
as-Suyûthi, para sahabat yang terkenal sebagai pembaca Al-Qur'an (Qurra') ada
tujuh orang yaitu, 'Utsmân ibn 'Affan,
'Ali ibn Abi Thalib, Ubayya ibn Ka'ab, Zaid ibn Tsâbit, 'Abdullah ibn Mas'ud
Abu ad-Dardâ' dan Abu
Mûsa al-Asy'ari. Dari
merekalah para sahabat lain dan
juga tabi'in mengambil cara membaca Al-Qur'an. Sejumlah sahabat mengambil cara
membaca Al-Qur'an dari Ubayya ibn Ka'ab, mereka antara lain Abu Hurairah,
Abdullah ibn 'Abbâs dan 'Abdullah ibn as-Sâib. Di samping dari Ubayya, Ibnu
Abbâs juga mengambil qirâah Al-Qur'an dari Zaid ibn Tsabit.[14]
Dari para sahabat itulah para tabi'in di berbagai wilayah mengambil
qira’ah Al-Qur'an. Para qurâ' dari kalangan tabi'in itu antara lain:
a.
Di
Madinah: Ibn al-Musayyab, 'Urwah, Sâlim, 'Umar ibn Abd al-'Azîz, Sulaimân ibn
Yasâr dan 'Atha' ibn Yasâr, Mu'az ibn
al-Hârits, 'Abdurrahmân ibn Harmûz al- A'raj, Ibn Syihâb az- Zhuhri, Muslim ibn
Jundab dan Zaid ibn Aslam.
b.
Di
Makkah: 'Ubaid ibn 'Umair, 'Athâ' ibn Abi Rabâh, Thaws, Mujâhid, 'Ikrimah dan
Ibn Abi Malîkah.
c.
Di
Kufah: 'Alqamah, al-Aswad, Masrûq, 'Ubaidah, 'Amru ibn Syurahbil, al-Hârits ibn
Qais,ar-Rabî' ibn Khutsaim, 'Amru ibn Maimûn, Abu 'Abdirrahmân as-Sulami,
'Ubaid ibn Nudhailah, Sa'id ibn Jubair, an-Nakh'i dan asy-Sya'bi.
d.
Di
Bashrah: Abu 'aliyah, Abu Raja', Nashr ibn 'Âshim, Yahya ibn Ya'mar, al-Hasan,
Ibn Sirîn dan Qatâdah.
e.
Di Syam: al-Mughirah ibn Abi
Syihâb
al-Makhzumi
dan
Khalifah ibn
Sa'ad.[15]
Masih pada abad pertama hijriyah,
di kalangan tabi'in, muncullah beberapa
ulama yang
mempelajari dan mendalami secara khusus qiraah ini dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu sendiri.
Mereka menjadi imam dan ahli qira’ah yang dipercaya
dan diikuti. Mereka antara lain adalah:
1)
Di Madinah:
Abu Ja'far Yazid ibn al-Qa'qa', Syaibah ibn Nashah,
dan Nafi' ibn Abdirrahman.
2)
Di Makkah:
Abdullah ibn Katsir dan Humaid ibn Qais al-A'raj
dan Muhammad ibn Muhaishan.
3)
Di Kufah:
Yahya
ibn
Watsab, 'ashim ibn Abi
an-Nujûd,
Sulaiman al- A'masyi, Hamzah dan
al-Kasai.
4)
Di Bashrah:
'Abdullah ibn Abi Ishaq, 'Isa ibn 'Amru, Abu 'Amru ibn al-'Ala', 'ashim al-Jahdari, dan
Ya'qub al-Hadhrami.
5)
Di Syam: 'Abdullah
ibn 'amir, 'Athiyah ibn
Qais al-Kilabi, Isma'il ibn
'Abdillah ibn al-Muhajir, Yahya
ibn al-Harits adz- Dzimari, dan Syarîh
ibn Yazid al-Hadhrami.[16]
Dan Jibril membacakan
Al-Qur'an kepada Nabi tidak hanya dalam satu logat atau lahjah yaitu logat
Quraisy, tetapi juga dalam beberapa lahjah, sebagaimana yang terlihat dalam
kisah perbedaan bacaan antara Umar ibn Khathâb dan Hisyâm ibn Hakim
Diriwayatkan bahwa 'Umar ibn Khathâb berkata: Aku mendengar Hisyâm
ibn Hâkim membaca Surat Al-Furqan di masa hidup Rasulullah SAW. Aku perhatikan
bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah
dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia
shalat, tetapi aku berusaha sabar menunggunya sampai salam. Begitu salam aku
tarik sorbannya dan bertanya: “Siapakah yang membacakan (mengajarkan bacaan)
surat itu kepadamu?” Ia menjawab: “Rasulullah yang membacakannya kepadaku”.
Lalu aku katakan kepadanya: “Dusta kau. Demi Allah, Rasulullah telah membacakan
juga kepadaku surat yang aku dengar tadi engkau membacanya (tapi tidak seperti
bacaanmu).”
Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah dan aku ceritakan kepadanya
bahwa aku telah mendengar orang ini membaca Surat Al-Furqân dengan huruf-huruf
yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan
Surat Al-Furqân kepadaku.
Maka Rasulullah berkata: “Lepaskanlah dia wahai 'Umar. Bacalah
Surat tadi, wahai Hisyâm.” Hisyâm pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti
kudengar tadi. Maka kata Rasulullah: “Begitulah surat itu
diturunkan.” Ia berkata
lagi: “Bacalah wahai
'Umar.” Lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan
Rasulullah kepadaku. Maka kata Rasulullah SAW: “Begitulah surat itu diturunkan.”
Dan katanya lagi:
“Sesungguhnya Qur ’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka
bacalah dengan huruf yang mudah bagimu di antaranya” (H.R. Bukhâri dan Muslim
teksnya dari Bukhari)
3.
Kualifikasi Qira’at Standart
Suatu hal yang paling penting dalam ilmu qira'at adalah memastikan
apakah qira'at tersebut benar-benar berasal dari Nabi SAW., oleh karena itu
usaha yang dilakukan para ulama qira'at untuk mengetahuinya adalah dengan
menetapkan pedoman atau
persyaratan tertentu kepada
tiap-tiap qira'at. Syarat-syarat
yang dimaksud adalah:[17]
a.
Sesuai
dengan salah satu rasm (tulisan) mushaf
'Uthmani. Hal tersebut karena diyakini, dalam penulisan mushaf-mushaf
itu para sahabat bersungguh-sungguh
dalam membuat rasm
(pola penulisan mushaf) sesuai dengan bermacam-macam dialek
qira ‘at yang mereka ketahui. Misalnya disemua mushaf ditulis ملك يوم الدين tanpa
alif pada lafal maliki yang cocok dengan rasm utsmani pada penulisan
ayat ملك الناس dan menggunakan alif pada lafal maaliki pun sesuai
dengan rasm utsmani pada ayat مالك الملك
b.
Sesuai dengan
kaidah bahasa Arab,
sekalipun dalam satu
segi. Oleh karena qira’at adalah
sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan
berdasarkan isnad, bukan ra’yu (pemikiran). Yang dimaksud meskipun hanya dalam
satu segi adalah satu segi dari ilmu nahwu, baik disepakati maupun
diperselisihkan. Jika suatu qira’at telah tersebar luas, populer dan diterima
para imam berdasarkan isnad yang sahih, maka sedikit berlawanan dengan kaidah
nahwu tidak mengurangi ke-sahihan sesuatu qira’at, karena isnad inilah yang
menjadi dasar terpenting dan sendi paling utama.
c.
Diriwayatkan
secara mutawatir. Maksudnya adalah periwayatan oleh orang banyak dari orang
yang banyak pula, sehingga menutup kemungkinan
mereka dapat melakukan
suatu kebohongan secara bersama-sama, sejak dari
sanad pertama sampai kepada sanad yang terakhir.[18]
4.
Macam-Macam Qira’ah
Dari segi kualitas
sanadnya, qira’at dapat dibagi menjadi qira’at mutawâtirah, masyhûrah, âhâd,
syâdzah, maudhû'ah dan mudrajah. Sedangkan dari segi kuantias qirâât nya dapat
dibagi menjadi qiraat sab'ah, 'asyarah dan arba'ata 'asyarah. Di bawah ini akan
diuraikan secara ringkas macam-macam qiraat tersebut.
a.
Berdasarkan
Kualitas Sanad
1)
Qira’at
Mutawatirah: Qira’ah yang diriwayatkan
oleh sejumlah perawi pada setiap tingkatan sanad yang mustahil mereka sepakat
untuk berdusta, seperti qirâah yang diriwayatkan oleh imam qira’ah yang tujuh orang melalui jalur yang sama.
Umumnya qirâah masuk jenis ini.
2)
Qira’at
Masyhurah: Qira’ah yang sanadnya shahîh tetapi tidak sampai ketingkat
mutawatir, tidak menyalahi mushaf 'Utsmâni, tidak bertentangan dengan kaedah
Bahasa Arab, masyhur di kalangan qurâ' seperti qirâah dari imam yang tujuh yang
disampaikan melalui jalur yang berbeda-beda.
3)
Qira’at
Ahad: Qira’ah yang sanadnya shahîh tetapi menyalahi mushaf 'Utsmani dan kaidah
bahasa Arab dan tidak masyhur di kalangan qurâ'. Contoh:
xsù ãNn=÷ès? Ó§øÿtR !$¨B uÅ"÷zé& Mçlm; `ÏiB Íقُرَّاتِ &ûãüôãr& Lä!#ty_ $yJÎ/ (#qçR%x. tbqè=yJ÷èt ÇÊÐÈ
Artinya:
"Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang
indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka
kerjakan." (Q.S. As-Sajdah:17)
Dalam qira’ah di atas قُرَّةِ dibaca dalam bentuk jamaa' قرات
berbeda dengan Mushaf yang dibaca dalam bentuk mufrad (قرة).
4)
Qira’at
Syadzah: Qirâah yang sanadnya tidak shahîh. Contohnya: مَلَكَ يَوْمِ الدِّيْنِ
(malaka yaumid dîn), dalam Mushaf 'Utsmâni مَلِكِ
يَوْمِ الدِّيْنِ
(maliki yaumid din).
5)
Qira’at
Maudhu'ah: Qira’ah yang riwayatnya palsu dan tidak ada asalnya. Seperti qiraat
yang dinisbatkan kepada imam abu hanifah dalam surat al-Fatir ayat 28 yang
berbunyi:
$yJ¯RÎ) Óy´øs ©!$# ô`ÏB ÍnÏ$t6Ïã (#às¯»yJn=ãèø9$#
Lafal (اللَّهَ) allaha dibaca (اللَّهُ) allahu, dan lafal al-ulama’u
dibaca al-ulama’a
6)
Qira’at
Mudrajah: Qirâah yang ditambahkan ke dalam qirâ'ah sebagai penafsiran. Contoh
pada surat al-Baqarah ayat 198 yang berbunyi:
}§øs9 öNà6øn=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§ 4فِيْ مَوَاسِمِ
الحَج !#sÎ*sù OçFôÒsùr& ïÆÏiB ;M»sùttã (#rãà2ø$$sù ©!$# yYÏã Ìyèô±yJø9$# ÏQ#tysø9$#
Kalimat فِيْ
مَوَاسِمِ الحَج adalah
tambahan sebagai penafsiran. Dalam rasm utsmani tanpa menyebutkan lafal
tersebut.[19]
b.
Berdasarkan kuantitas Imam qiraat
1) Qira’at Sab'ah: Qira’ah yang diriwayatkan
oleh tujuh imam qirâah yang terkenal hafalan, ketelitian dan pengalaman mereka
yang lama dalam dunia qirâah, serta disepakati untuk diambil dan dikembangkan
qira’at dari mereka. Di bawah ini nama ketujuh imam tersebut yang disusun
dengan urutan nisbah tempat muqim masing-masing, yaitu Makkah, Madinah, Syâm,
Bashrah dan Kûfah. Disebutkan juga murid-murid yang merawikan dari mereka.
2) Nafi' al-Madani. Nama lengkapnya Abu Ruwaim
Nâfi' ibn Abdirrahmân ibn Abi Nu'aim al-Laisi al-Madany (w. 169 H di Madinah).
Dua orang perawinya adalah Qâlûn dan Warasy. Qâlûn adalah 'Isa ibn Munya al-
Madani, seorang guru bahasa Arab yang
mempunyai kunyah Abu Mûsa dan julukan Qâlûn. Nâfi' memberinya nama panggilan
Qâlûn karena keindahan qirâahnya, sebab
kata qâlûn dalam bahasa Rumawi berarti baik. Ia wafat di Madinah pada 220
H. Sedang Warasy adalah 'Utsman ibn
Sa'îd al-Mishri. Ia diberi kunyah Abu Sa'id dan diberi julukan Warasy karena
teramat putihnya. Ia wafat di Mesir pada 197 H.
3) Ibnu
Katsir al-Makki. Nama
lengkapnya Abu Muhammad Abdullah
ibn Katsîr ad-Dâri
al-Makki (w. 120 H di Makkah). Beliau imam qirâah di Makkah Termasuk
seorang tâbi'în. Bertemu dengan sahabat Abdullah ibn az-Zubair, Abu Ayyub
al-Anshari, dan Anas ibn Mâlik. Dua
orang perawinya adalah al-Bazi dan Qunbul. Al-Bazi adalah Ahmad ibn Muhammad
ibn Abdullah ibn Abi Bazah, muazzin di Makkah. Ia diberi kunyah Abu
al-Hasan. Dan wafat
di Makkah pada 250 H. Sedang
Qunbul adalah Muhammad ibn Abdirrahman ibn Muhammad ibn Khâlid ibn Saîd al-
Makki al-Makhzûmi. Ia diberi kunyah Abu Amru dan diberi julukan Qunbul. Dikatakan bahwa ahlul bait di Mekah
ada yang dikenal dengan nama Qanâbilah. Ia wafat di Makkah pada 291 H.
4) Ibn amir asy-Syami. Nama lengkapnya
Abdullah ibn 'amir al-Yahshabi asy-Syâmi
(w. 118 H di Damaskus). Dikenal dengan nama panggilan Abu 'Imran atau
Ibn 'Âmir as-Syami. Berprofesi sebagai qadhi di Damaskus pada zaman Khalifah
al-Walîd ibn Abd al-Malik. Ia termasuk seorang tâbi'in. Dia mengambil qirâah
dari al- Mughîrah ibn Abi Syihâb al-Makhzumi, dari 'Utsman ibn 'Affan, dari
Rasulullah SAW. Dua orang perawinya yang terkenal adalah Hisyâm dan Ibn Zakwan.
Hisyam adalah Hisyam ibn 'Amar ibn Nushair, qadhi Damaskus. Diiberi kunyah Abu al-Walid, dan wafat pada 245 H. sedang
Ibn Dzakwan adalah Abdullah ibn Ahmad ibn Basyir ibn Zakwân al-Qurasyi
ad-Dimasyqi. Ia diberi kunyah Abu 'Amru. Dilahirkan pada 173 H, dan wafat di
Damaskus pada 242 H.
5) Abu 'Amru ibn al-'Ala' al-Bashri. Nama
lengkapnya Zayan ibn al-'Alâ ibn 'Ammâr
al-Mâzini al-Bashri (w.154 H di Kufah). Dua orang perawinya adalah ad-
Dauri dan as-Sâsi. Ad-Dauri adalah Abu 'Umar Hafsh ibn 'Umar ibn Abdil Azis
ad-Dauri an-Nahwi. Ad-Daur nama tempat di Bagdad. Ia wafat pada 246 H. As-Sûsi
adalah Abu Syua'ib Shâlih ibn Ziyad ibn Abdullah as- Sûsi. Ia wafat pada 261 H.
6) 'ashim al-Kufi. Nama lengkapnya 'Ashim ibn
Abi an-Nujud al-Asadi, (w. 128 H di Kûfah). Kuniahnya Abu Bakar. Termasuk
seorang tâbi'în. Dua perawinya adalah Syu'bah dan Hafsh. Syu'bah adalah Abu
Bakar Syu'bah ibn 'Abbâs ibn Sâlim al-Kûfi. Wafat pada 193 H. sedangkan Hafsh
adalah Hafsh ibn Sulaimân ibn al- Mughîrah al-Bazaz al-Kûfi. Nama panggilannya
adalah Abu Amru. Ia adalah orang terpercaya. Menurut Ibn Mu'în, ia lebih qâri
daripada Abu Bakar. Ia wafat pada 180 H.
7) Hamzah
al-Kufi. Nama lengkapnya adalah Abu Amarah Hamzah ibn Habîb ibn 'Imârah
az-Zayyat al-Fardhi at-Taimi (w. 156 H di Halwan). Beliau adalah maula 'Ikrimah
ibn Rabî' at-Taimi. Dua orang perawinya adalah Khalaf dan Khalad. Khalaf adalah
Khalaf ibn Hisyâm al-Bazaz. Ia diberi kunyah Abu Muhammad, dan wafat di Bagdad
pada 229 H. Sedang Khalad adalah Khalâd ibn Khâlid, dan dikatakan pula Ibn
Khalîd as- Shairafi al-Kufi. Ia diberi kunyah
Abu 'Isa, wafat pada 220 H.
8) Al-Kasa'i al-Kufi. Nama lengkapnya Abu
al-Hasan 'Ali ibn Hamzah al-Kasa'i al-Kufi (w. 189 H di Barnabawaih). Beliau
dikenal juga sebagai imam ahli Nahwu dari Kufah. Ia diberi kunyah Abu al-Hasan.
Disebut al-Kasa'i karena beliau memakai kisa di waktu ihram. Dua orang
perawinya adalah Abu al-Hâris dan Hafsh
ad-Dauri. Abu al-Haris adalah al-Laits ibn Khâlid al-Baghdadi, wafat 240 H.
Sedangkan Hafsh ad-Dauri sama dengan
Hafsh ad-Dauri perawi dari Abu 'Amru ibn al-'Ala' al- Bashri yang sudah
disebutkan sebelumnya.[20]
c.
Qira’at 'Asyarah
Qira’at yang
diriwayatkan oleh tujuh imam qirâah di atas ditambah tiga lagi:
1) Abu Ja'far al-Madani. Nama lengkapnyaYazid
ibn al- Qa'qa' (w. 128 H di Madinah).
Dua orang perawinya adalah Ibn Wardan dan Ibn Jamaz. Ibn Wardan adalah Abu
al-Haris 'Isa ibn Wardan al-Madani, wafat tahun 160 H di Madinah.
2) Ya'qub al-Bashri. Nama lengkapnya Abu
Muhammad Ya'qûb ibn Ishâq ibn Zaid al-Hadhari (w. 205 H di Bashrah). Dua orang
perawinya adalah Ruwais dan Rûh. Ruwais adalah Abu 'Abdillah Muhammad al-
Mutawakkil al-Lu'lui al-Bashri, wafat tahun 238 H di Bashrah. Ruwais adalah
julukannya. Sedangkan Rûh adalah Abu al-Hasan Ruh ibn Abd al-Mukmin al- Bashri
an-Nahwi, wafat tahun 234 H.
3) Khalaf.
Nama lengkapnya Abu
Muhammad Khalaf ibn Hisyâm ibn
Tsa'lab al-Bazâr al-Baghdadi (w. 229 H di). Dua orang perawinya adalah Ishaq dan
Idris. Ishâq adalah Abu Ya'qub Ishaq ibn Ibrâhîm ibn 'Utsmân al- Waraq
al-Marwazi kemudian al-Baghdâdi, wafat tahun 286 H. Sedangkan Idris adalah Abu
al-Hasan Idris ibn Abd al-Karîm al-Baghdâdi al-Hadâd, wafat tahun 292 H.
d.
Qira’ah Arba'ata Asyara
Qira’at yang
diriwayatkan oleh sepuluh imam qirâât di atas ditambah dengan empat lagi:
1) Al-Hasan al-Bashri, salah seorang tabiin
yang terkenal dengan sikap hidup zuhudnya. (w.
110 H di Bashrah)
2) Ibn Muhaishin. Nama lengkapnya
Muhammad ibn 'Abdirrahman. (w. 123 H).
3) Yahya ibn al-Mubârak al-Yazîdi an-Nahwi (w.
202 H di Baghdad). Mengambil qirâah dari Abu 'Amru dan Hamzah. Beliau adalah
guru dari a-Dauri dan as-Sûsi.
4) Abu al-faraj.
Nama lengkapnya Muhammad Ibn Ahmad asy-Syambûdzi (w. 388 H di
Baghdad).
5.
Urgensi
Al-Qur’an Dan Qira’at
Sudah dijelaskan
pada bagian sebelumnya bahwa qira'ah
yang dapat diterima karena sudah memenuhi kualifikasi qira'ah standar
cukup beragam. Lalu apa hikmah keragamaan qirâ'ah yang dapat diterima tersebut?
Menurut Mannan' al-Qaththan, di antara
hikmahnya adalah sebagai berikut:
a.
Menunjukkan
betapa terjaga dan
terpeliharanya Kitab Suci Al-Qur'an dari perubahan dan
penyimpangan sekali pun mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
b.
Meringankan dan memudahkan umat Islam untuk membaca
Al-Qur'an.
c.
Bukti mukjizat Al-Qur'an dari aspek bahasa, karena
perbedaan qirâât dapat menampung perbedaan makna tanpa harus mengulang
lafazhnya, seperti pada contoh membasuh kaki atau mengusap kaki pada waktu
wudhu' (Q. S. Al-Mâidah: 6. Perbedaan
membaca arjulakum (dengan fathah pada
lam) dan arujulikum (kasrah pada lam). Jika dibaca dengan fathah berarti
membasuh kaki karena di'athafkan kepada aidiyakum, tetapi jika dibaca dengan
kasrah berarti mengusap kaki karena di'athafkan kepada ruûsikum.
d.
Penjelasan
terhadap apa yang mungkin masih
global pada ayat lain. Misalnya
kalimat yathhurna pada Surat Al-Baqarah: 222 (ولا
تقربوهنّ حتّي يطهرن) dibaca
dalam qirâ'ah lain dengan yaththaharna. Menurut jumhur ulama, perempuan
yang haid baru boleh dicampuri oleh suaminya apabila sudah suci dari haid (bacaan
yathhurna) dan sudah
bersuci dengan mandi besar (bacaan yaththahharna).
Perbedaan qirâ'ah dalam kasus ini menjelaskan apa yang masih mujmal atau global
pada ayat.[21]
e.
Sebagai
dalil atas dua
hukum syara' yang
berbeda. Misalnya dalam berwudhu. Contoh ayat 6 surat
al-Ma’idah:
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# الاية
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.
Kata وَأَرْجُلَكُمْ dapat dibaca: wa’arjulakum (lam
dengan fathah) yang berarti kaki harus dibasuh sebagaimana membasuh wajah dan
tangan ketika berwudhu (disandarkan pada lafal wujuhakum wa’idiyakum),
dan dibaca wa’arjulikum (lam dengan kasrah) yang berarti cukup diusap sebagaimana
mengusap kepala (disandarkan pada lafal biru’usikum) sebagaimana
rasulullah menjelaskan bahwa kaki cukup diusap bagi pemakai khuff (sepatu
kulit) dan kaki wajib dibasuh bagi yang tidak bersepatu.
6.
Contoh Qiraat Dalam Al-Qur’an
Qira’at adalah perubahan atau macam variasi
bacaan al-qur’an yang disandarkan pada standart Qiraat yang diterima menurut
berbagai imam Qurra’ baik dari segi kaedah bahasa arab, sanad dan rosm usmani
sehinnga menjadi pedoman yang baik bagi pembaca al-qur’an itu sendiri. Berikut
contoh bacaan qiroat pada surah al-fatiha menurut berbagai imam dan rawi:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيْمِ
Pada ayat 1 semua imam qiraat
sab’ah sepakat. Artinya kita tidak dibenarkan membaca dengan qiraat yang
berbeda seperti pada tuslisannya.
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ
Pada ayat 2 semua imam qiraat sab’ah sepakat.
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Pada ayat 3 semua imam qiraat sab’ah sepakat.
Apabila kita membaca washal
(disambung) ayat 3 dengan 4 maka ada 2 pendapat:
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ مَالِكِ يَوْمِ
الدِّينِ
Dibaca seperti biasa seperti. Ini
pendapat dari kebanyakan imam qiraat.
Menerapkan idgham kabir pada
pertemuan 2 mim. Jadi mim pada kata (الرَّحِيْمِ) melebur ke mim pada kata (ملِك)
dengan panjang 6 harakat dan disertai ghunnah karena ada mim bertasydid. Jadi
seperti ini bacanya:
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم مّلِكِ
يَوْمِ الدِّينِ
Pendapat yang menerapkan
idgham kabir hanya dijumpai dalam riwayat As-Susy yang merupakan perawi dari
Imam Abu Amr.
ملِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Imam ‘Ashim dan al-Kisaiy
membaca panjang “ma” pada kata (ملِكِ) pada ayat keempat, sedangkan yang Imam
yang lainnya membaca pendek.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Pada ayat 5 semua imam qiraat
sab’ah sepakat.
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيْمَ
Imam Qunbul dari Ibnu Katsir
membaca huruf shad kata (الصِّرَاطَ) dengan sin. Khallaf dan Khallad dari
Hamzah membaca huruf shad kata (الصِّرَاطَ) dengan isymam antara shad dan zay.
Maksud isymam disini adalah suara gabungan antara shad dan zay.
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ
عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Imam Qunbul dari Ibnu Katsir
membaca huruf shad kata (صِرَاطَ) dengan sin. Imam khallaf dari Hamzah menerapkan pada shod pada
ayat (صِرَاطَ) dengan antara shad dan zay yang diisymamkan. Imam yang lainnya
membacanya dengan shod. Khallaf dan Khallad dari Hamzah membaca dhammah huruf
Ha’ pada (عَلَيْهِمْ) sehingga menjadi (عَلَيْهُمْ). Al-Bazy dan Qunbul dari Ibnu Katsir
membaca (عَلَيْهِمْ) dengan shilah mim jama’. Maksud shilah mim jama’ ialah
mendhamahkan mim serta menambah wawu madhiyyah sehingga dibaca panjang dengan
ukuran 2 harakat sehingga dibaca (عَلَيْهِمُ) dengan memanjangkan “mu”. Qalun dari Nafi
membaca (عَلَيْهِمْ) dengan dua wajah. Bisa sukun seperti biasa atau shilah mim
jama’. Imam yang lainnya membaca (عَلَيْهِمْ) dengan kasroh Ha’ dan sukun mim.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Qiraat adalah perbedaan cara
mengucapkan lafazh-lafazh al-Qur’an baik menyangkut hurufnya atau cara
pengucapan huruf-huruf. Qiraat memiliki bermacam-macam, yakni qiraat
sab’ah, qiraat asyrah danqiraat arbaah asyrah.
Prinsip dasar dalam qira’at
yang ditawarkan oleh Ulama’ ada tiga, yaitu: rosmu usmani, kaedah bahasa arab
dan sanad yang disandarkan kepada rasulullah. Sehingga qira’at sendiri menjadi
disiplin kajian yang sangat mendalam bagi keilmuan islam baik dari segi
keotentikan dan ragam qiro’ah yang sangat indah kita dengarkan.
Sedangkan, Qiraat itu sendiri
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penetapan suatu hukum akibat
perbedaan kata, huruf dan cara baca. pemahaman dan pengetahuan mengenai ilmu
qira’at sangatlah penting. Hal ini ditujukan agar kita tidak saling berselisih
karena perbedaan cara baca ayat Alquran seperti yang pernah terjadi pada masa
pemerintahan khalifah Ustman bin Affan. Perbedaan versi qira’at disebabkan
karena para ulama berlainan dalam menerima bacaan ayat, sehingga terjadi
perselisihan di antara ulama. Kemudian khalifah Ustman bin Affan menyalin dan
menyebar luaskan ayat Alquran pada masa Abu Bakar Ash Siddiq ke berbagai daerah
untuk mengatasi perselisihan.
DAFTAR
PUSTAKA
Manna Khalil
al-Qattan, 2012 Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terjemahan Drs. Mudzakir AS. Cet
15, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa,
Shubhi as-Shalih,
1993 Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terjemahan Tim Pustaka Firdaus Jakarta:
Pustaka Firdaus,
Ali alHasan,
alManar, 1998 Dar alFikr al'Arabi, cet. I, Beirut,
As-suyuthi, al-Itqan
t.t fi ulum al-Qur’an, Dar
al-Fikri, Beirut, , juz 1
As-suyuti, t.t al-Dur al-Mantsur, Dar al-Fikri, Beirut,
juz 2..
Ar-Raghib
al-Ashfahani, t.t. Mu'jam Mufradat
Alfazh Al-Qur'an Beirut: Dar al-Fikr,
Muhammad ‘Abd al-Azhim
az-Zarqani, t.t. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulam Al-Qur’an Beirut: Dâr ‘Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyah, Jld I.
Muhamad Salim Muhaisin, t.t. al-Mughni fi al-Taujih al-Qira>'at al-'Ashr al-Mutawa>tirah, Juz 1 Beirut:
Dar al-Ji,
Al-Hafizh Jalal ad-Din Abd Ar-Rahmân
As-Suyuthi, 2003, Al-Itqan fi ‘Ulûm Al-Qur’an, Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah,
jilid I
Ahmad Umar Hasyim, 1984 Qawaid usul al-Hadits,
Beirut: Dar aI-Fikr,
Rosihon Anwar, 2008 Ulum Al-Qur'an Bandung:
Pustaka Setia,
Abu
Thahir Isma'îl ibn Khalaf ibn Sa'îd al-Muqri'
al-Anshari as-Sarqasthi, al-'Inwan fî al-Qirâât as-Sab'i, ditahqiq oleh Zuhair
Ahmad dan Khalîl al-'Athiyah, Kuliyah al-Adab Jâmiah al-Bashrah, (Maktabah
Syamilah) dan b. Manna’
al-Qaththan, 1976 Mabahits fî ‘Ulûm Al-Qur’an (Riyadh: Muassasah ar-Risalah,
Manna’ Khalil Qathan,
2004 Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terjemahan Mudzakkir Jakarta:
Litera Antar Nusa, cet ke-8 tahun
[1] Manna Khalil al-Qattan,
Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terjemahan Drs. Mudzakir AS. Cet 15, (Bogor:
Pustaka Litera AntarNusa, 2012), hal. 16.
[2] . Shubhi
as-Shâlih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terjemahan Tim Pustaka Firdaus
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 10.
[3] Ali alHasan,
alManar, Dar alFikr al'Arabi, cet. I, (Beirut, 1998), hal. 11.
[4] As-suyuthi, al-Itqan
fi ulum al-Qur’an, (Dar al-Fikri, Beirut, t.t), juz 1, hal 51.
[5] As-suyuti, al-Dur
al-Mantsur, (Dar al-Fikri, Beirut, t.t), juz 2, hal. 523.
[6] Op.Cit As-suyuti,
al-Itqan fi ulum al-Qur’an, jilid 1, hal.146.
[7] Op.Cit Manna
al-Qaththan, Mabahits fi ulum al-Qur’an, hal. 122.
[9] Ar-Raghib
al-Ashfahani, Mu'jam Mufradat Alfazh Al-Qur'an
( Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hal. 414.
[10]
Muhammad ‘Abd al-Azhîm az-Zarqâni, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulam Al-Qur’an
(Beirut: Dâr ‘Ihyâ
al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t.), Jld I, hal. 405.
[11] al-Zarkashi, al-Burhan
fi 'Ulum al-Qur’an, hal 318.
[12] Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at Dan Pengaruhnya....,hal 116.
[13] Muhamad Salim Muhaisin, al-Mughni fi al-Taujih al-Qira>'at al-'Ashr al-Mutawa>tirah, Juz 1 (Beirut:
Dar al-Jil, t.t.), hal. 46-47.
[14] Al-Hâfizh Jalal ad-Dîn Abd Ar-Rahmân
As-Suyûthi,, Al-Itqan fi ‘Ulûm Al-Qur’an, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah,
2003), jilid I, hal. 204.
[15] As-Suyuthi,, Al-Itqan
fi ‘Ulum Al-Qur’an…, I, hal 204-205.
[16] As-Suyuthi,, Al-Itqân
fi ‘Ulûm Al-Qur’an…, I hal 205.
[17] Manna
al-Qattan, Mabahits fi ulum al-Qur’an, hal 176; al-Zarqani, Manahil
al-Irfan, fi Ulum al-qur’an,hal 418-419.
[18] Ahmad Umar Hasyim,
Qawaid usul al-Hadits, (Beirut: Dar aI-Fikr, 1984), hal 143.
[19] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur'an (Bandung: Pustaka
Setia, 2008), hal. 151-154
[20]
Rosihon Anwar, Ulum
Al-Qur'an (Bandung: Pustaka
Setia, 2008), hal. 149-150; dan lihat juga a. Abu Thahir Isma'îl
ibn Khalaf ibn Sa'îd al-Muqri'
al-Anshari as-Sarqasthi, al-'Inwan fî al-Qirâât as-Sab'i, ditahqiq oleh Zuhair
Ahmad dan Khalîl al-'Athiyah, Kuliyah al-Adab Jâmiah al-Bashrah, hlm. 40 (Maktabah
Syamilah) dan b. Mannâ’
al-Qaththân, Mabahits fî ‘Ulûm Al-Qur’an (Riyadh: Muassasah ar-Risalah, 1976), hlm. 181-184.
[21] Manna’ Khalil Qathan,
Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terjemahan Mudzakkir (Jakarta:
Litera Antar Nusa, cet ke-8 tahun
2004), hal. 257-256.
No comments:
Post a Comment