Sunday, July 21, 2019

AL-QUR’AN DAN QIRA’AT (Pengertian, Perbedaan, Pokok bahasan, Urgensi, dan Contoh-Contohnya)


BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang.
Al-Qur’an   merupakan  wahyu   Allah   SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril yang ditujukan kepada ummat manusia. Ini merupakan pesan dari Allah kepada manusia. Karena itu, al-Qur’an menjadi sangat urgen bagi kita. Untuk berpegang teguh pada pesan tersebut, yang  dibutuhkan  pertama  kali  tentu  memahami  kandungannya. Untuk tujuan itulah, maka kandungan al-Qur’an tersebut harus dipelajari dengan mendalam. Kenyataannya, banyak orang telah menghabiskan banyak hidupnya untuk mengkaji al-Qur’an; membaca dan  merefleksikannya  dalam  rangka  membangun  aspek  fisik  dan spirit mereka. Mereka juga telah menemukan makna dan implikasi baru untuk kepentingan mereka sendiri.
beberapa  pengetahun  yang  secara  spesifik mengenai pembahasan tersebut, yang berkaitan dengan message tadi adalah juga dibutuhkan untuk secara penuh memahami makna dan implikasinya. Meski, beberapa bagian dari pengetahuan spesifik ini bisa diambil dari al-Qur’an itu sendiri, namun bagian lain dari pengetahuan  tersebut  hanya  bisa  ditemukan  melalui  kajian  dan research yang mendalam.
Seorang Muslim sejak dini dituntut mengaplikasikan, bukan hanya pesan dari Allah (al-Qur’an), tetapi juga setting dan framework (kerangka  kerja)-nya.  Karena  itu,  pendekatan  yang  seharusnya dilakukan   terhadap   al-Qur’an,   bisa   dideskripsikan   melalui   tiga tahapan:
Pertama, menerima pesan al-Qur’an setelah mendengar atau membacanya Kedua, memahami pesan al-Qur’an, setelah merefleksikan dan mengkaji maknanya. Ketiga, mengaplikasikan pesan al-Qur’an sebagai sumber esensial bagi kehidupan masyarakat dengan mengatur kehidupan pribadi, masyarakat dan negara sesuai dengan message tersebut.
Disiplin  ilmu yang  disebut  Ulum  al-Qur’an ini  pada akhirnya   memang   bisa   digunakan   sebagai   sebuah   cara   untuk mewujudkan tahapan kedua di atas; memahami message al-Qur’an, setelah memahami setting dan realitasnya.
Al-Qur’an sebagai wahyu ilahi diturunkan tidak terlepas dari aspek qira’at, karena pengertian Alquran itu sendiri secara lughat (bahasa) berarti ‘bacaan’ atau “yang dibaca”. Qira’at Alquran disampaikan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabat. Kemudian sahabat meneruskan kepada para tabi’in. Demikian seterusnya dari generasi ke generasi.
Namun, dalam perjalanan sejarahnya, qira’at pernah diragukan keberadaannya dan diduga tidak bersumber dari Nabi SAW. Sehubungan dengan hal tersebut, maka para ulama ahli qira’at terdorong untuk meneliti dan menyeleksi berbagai versi qira’at yang berkembang pada masa itu. Berbagai versi qira’at Alquran tersebut ada yang berkaitan dengan lafadz dan dialek kebahasaan. Perbedaan yang berkaitan dengan lafadz; bisa menimbulkan perbedaan makna sedangkan dialek tidak. Ada juga versi qira’at yang berkaitan dengan ayat-ayat hukum yang berbeda dengan versi qira’at sebagaimana terbaca dalam mushaf yang dimiliki kaum muslimin sekarang.
Dari uraian tersebut diatas maka sangat penting bagi kami untuk membahas pengertian al-Qur’an, Qira’at dan pembahasan-pembahasan yang terkait serta urgensi dari pada keduanya dan juga contoh-contoh qira’at yang bisa diterima maupun tidak.
B.            Rumusan Masalah
1.             Bagaimana pengertian al-qur’an secara Umum?
2.             Bagaiman Pengertian qiro’at secara Umum?
C.           Tujuan masalah
1.             Untuk Mengetahui pengertian al-qur’an secara Umum
2.             Untuk Mengetahui Pengertian qiro’at secara Umum




BAB II
PEMBAHAASAN
A.           Tinjauan Al-qur’an Secara Umum
1.             Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologi, lafadz al-Qur’an berasal dari fi’il Qara`a yang mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun, dan qira`ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapih. Qur`an pada mulanya seperti qira`ah , yaitu masdar (infinitif) dari kata qara` qira`atan, qur`anan. Sebagaimana dalam firman Allah SWT :
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ   #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ  
Artinya:
"Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu`. (Al- Qiyamah :17-18).

Lafal Qur`anah disini berarti qiraatuhu (bacaannya/cara membacanya). Jadi kata itu adalah masdar menurut wazan (tashrif, konjungsi)`fu`lan` dengan vokal `u` seperti `gufran` dan `syukran`. Kita dapat mengatakan qara`tuhu , qur`an, qira`atan wa qur`anan, artinya sama saja, suatu bacaan.[1]
Di samping dalam pengertian mashdar dengan pengertian bacaan atau cara membacanya, Qur’an juga dapat dipahami dalam pengertian maf’ûl, dengan pengertian yang dibaca (maqrû’). Dalam hal ini apa yang dibaca (maqru’) diberi nama bacaan (qur’an) atau penamaan maf’ûl dengan mashdar.
Menurut  sebagian  ulama  seperti  Imam  Syafi’i,  sebagaimana dikutip as-Suyuthi, Qur ’an adalah ism ‘alam ghairu musytaq (nama sesuatu yang tidak ada asal katanya), merupakan nama khusus untuk firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, seperti halnya Taurat dan Injil yang juga tidak ada asal katanya. Jika Qur’an berasal dari kata qara-a berarti setiap yang dibaca dapat dinamai Qur’an.[2]
Sedangkan menurut terminologi, al-Qur’an adalah:
القرآن هو كلام الله المعجز المنزل على محمد عليه السلام المنقول بالتواتر المتعبد بتلاوته 
Artinya:
Al-Qur'an adalah kalam Allah yang berupa mukjizat, diturunkan kepada Muhammad saw. dan dinukil kepada kita secara mutawatir, serta dinilai beribadah ketika membacanya.[3]

Batasan:  kalam  Allah  yang  berupa  mukjizat  telah  menafikan  selain kalam Allah, seperti kata-kata manusia, jin, malaikat, nabi atau rasul. Karena itu, hadits Qudsi ataupun hadits Nabawi tidak termasuk di dalamnya. Batasan: diturunkan kepada Muhammad saw yakni tidak termasuk yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya seperti taurat, injil dan yang lain. Sedangkan (bittawatur) artinya menafikan riyawat ahad, syadz, dan lainnya, seperti bacaan Ibnu Mas’ud terhadap firman Allah SWT:
 `yJsù óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr&   الاية
Artinya:
Barang siapa tidak sanggup melaksanakan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari (Q.s. al-Maidah: 89)
   yang beliau tambahkan dengan: mutatabi’ain (berturut-turut) [4], ataupun bacaan terhadap firman Allah SWT:
 ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& الاية
Artinya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (Q.s. al-Maidah: 38)

yang mengganti aydiyahuma (tangan-tangan keduanya) dengan aymanahuma (bagian tangan atau kaki kanan keduanya).[5] Jadi penggantian atau penambahan atau yang sejenis dari bacaan tersebut tidak layak disebut al-Qur’an, bahkan disebut hadits nabawipun tidak boleh karena bacaan tersebut dinisbatkan kepada pembacanya. Maka, ia tidak lebih dari sekedar tafsir atau pandangan bagi orang menetapkannya. Mengenai batasan terakhir (al-muta'abbad bi tilawatihi) dinilai ibadah ketika membacanya, mengecualikan bacaan hadis ahad dan hadis-hadis qudsi meski ia dinisbatkan kepada Allah.
2.             Nama dan istilah dalam Al-Quran
            Allah menamakan al-Quran dengan beberapa nama, diantaranya:
a.              Al-Qur`an
¨bÎ) #x»yd tb#uäöà)ø9$# Ïöku ÓÉL¯=Ï9 šÏf ãPuqø%r& çŽÅe³u;ãƒur tûüÏZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# tbqè=yJ÷ètƒ ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ¨br& öNçlm; #\ô_r& #ZŽÎ6x. 
Artinya:
Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.( al-Israa:9)
Dinamai   Al-Qur ’an,   karena   kitab   suci   terakhir   yang diturunkan Allah SWT ini berfungsi sebagai bacaan sesuai dengan arti kata Qur ’an itu sendiri
b.             Al-Kitab
ôs)s9 !$uZø9tRr& öNä3ös9Î) $Y6»tGÅ2 ÏmŠÏù öNä.ãø.ÏŒ ( Ÿxsùr& šcqè=É)÷ès?  
Artinya:
Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka Apakah kamu tiada memahaminya? (al-Anbiyaa: 10)
Al-Kitab secara bahasa berarti al-jam’u (mengumpulkan). Menurut   as-Suyûthi,   dinamai   Al-Kitab   karena   Al-Qur ’an mengumpulkan   berbagai  macam   ilmu,   kisah   dan   berita.[6] Menurut Muhammad Abdullah Draz, sebagaimana dikutip Manna’ al-Qathân, Al-Qur’an di samping dipelihara melalui lisan, juga dipelihara dengan tulisan. Penamaannya dengan Al-Qur ’an  dan  Al-Kitab,dua  nama  yang  paling  populer, mengisyaratkan bahwa kitab suci Al-Qur ’an haruslah dipelihara melalui dua cara secara bersama, tidak dengan salah satu saja, yaitu melalui hafalan (hifzhuhu fi as-shudur) dan melalui tulisan (hifzhuhu fi as-suthur).[7]


c.               Al-Furqan
x8u$t6s? Ï%©!$# tA¨tR tb$s%öàÿø9$# 4n?tã ¾ÍnÏö6tã tbqä3uÏ9 šúüÏJn=»yèù=Ï9 #·ƒÉtR  
Artinya:
Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. (al-Furqan: 1)
Al-Furqan, mashdar dari   asal kata faraqa, dalam wazan fu’lân, mengambil bentuk shifât musyâbahah dengan arti ‘yang sangat  memisahkan’.  Dinamai  demikian  karena  Al-Qur ’an memisahkan dengan tegas antara haq dan batil, antara benar dan salah dan antara baik dan buruk.
d.             Adz-Zikr
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm:  
Artinya:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.( al-Hijr :9)
Adz-Dzikr artinya ingat, mengingatkan. Dinamai Adz- Dzikr karena di dalam kitab suci ini terdapat pelajaran dan nasehat dan kisah umat masa yang lalu.
e.              At-Tanzil
¼çm¯RÎ)ur ã@ƒÍ\tGs9 Éb>u tûüÏHs>»yèø9$#  
Artinya
“Dan sesungguhnya Al Qur`an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam”.(as-Syuaraa:192 ).
At-Tanzil artinya yang benar-benar diturunkan. Dinamai demikian karena Al-Qur ’an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibrîl.
Demikianlah lima nama al-Qur’an yang umumnya disepakati oleh para ulama’ sebagai nama-nama al-Qur’an. Ada pun nama- nama lain seperti An-Nur, Mau’izhah, Syifa’, Hudan, Rahmah dan lain sebagainya, menurut sebagian ulama bukanlah nama-nama Al-Qur’an, tetapi sifat-sifatnya. Sementara sebagian ulama seperti as-Suyûthi mengganggapnya sebagai nama-nama Al-Qur ’an juga. Menurut as-Suyuthi, mengutip Abu al-‘Ali ‘Uzaiza ibn Abdillah Syaidzalah,  salah  seorang  fuqaha’  Syafi’iyyah, penulis  kitab  Al- Burhân fi  Musykilât  Al-Qur’an,  Allah  SWT  menamai  Al-Qur ’an dengan 55 nama.[8]
3.             Sifat-Sifat Al-Qur’an
Diantara sifat-sifat al-Qur’an yang disebutkan dalam beberapa ayat adalah sebagai berikut:
a.              An-Nur (cahaya ) :
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# ôs% Nä.uä!%y` Ö`»ydöç/ `ÏiB öNä3În/§ !$uZø9tRr&ur öNä3ös9Î) #YqçR $YYÎ6B  
Artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang”.(An-Nisaa : 174 )
b.             Al-Huda ( petunjuk ), Syifa` ( obat ), Rahmah ( rahmat ),dan Mauizah ( nasehat ) :
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# ôs% Nä3ø?uä!$y_ ×psàÏãöq¨B `ÏiB öNà6În/§ Öä!$xÿÏ©ur $yJÏj9 Îû ÍrߐÁ9$# Yèdur ×puH÷quur tûüÏYÏB÷sßJù=Ïj9  
Artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang orang yang beriman”.( Yunus : 57 ).
c.              Al-Mubin ( yang menerangkan ) :
ôs% Nà2uä!%y` šÆÏiB «!$# ÖqçR Ò=»tGÅ2ur ÑúüÎ7B الاية  
Artinya:
“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan”.( al-Maidah :15 ).
d.             Al-Mubarak (yang memberkahi)
ë=»tGÏ. çm»oYø9tRr& y7øs9Î) Ô8t»t6ãB (#ÿr㍭/£uÏj9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä t©.xtFuŠÏ9ur (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$#  

Artinya:
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. (as-Shad: 29)
 
   Dan sifat-sifat yang lain sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayatnya, seperti : Busyra ( kabar gembira ),`Aziz ( yang mulia ), Majid ( yang dihormati ), Basyr ( pembawa kabar gembira).
B.            Tinjauan Qira’at secara Umum
   Secara etimologis qira’at (قراآت) bentuk jama' dari qira’ah (قراءة) adalah mashdar dari qara-a-yaqra-u-qirâatan berarti dham al- hurûf wa al-kalimât  ba'dhihâ  ila ba'dhin fi at-tartil[9] (menggabungkan huruf dan kalimat satu sama lain dalam bacaan). Dalam bahasa Indonesia qirâah berarti bacaan atau membaca.
Secara terminologis yang dimaksud dengan qirâah  adalah cara membaca Al-Qur'an oleh seorang imam ahli qirâah berbeda dengan cara membaca imam yang lainnya. Az-Zarqâni mendefinisikan qirâah sebagai berikut:
مذهب يذهب إليه إمام من أئمة القراء، مخالفا به غيره في النطق بالقرآن الكريم مع اتفاق الروايات والطرق عنه، سواء أكانت هذه المخالفة في نطق الحروف أم في نطق هيئاتها .[10]

Artinya:
Suatu cara membaca Al-Qur'an al-Karim dari seorang Imam ahli qirâah yang berbeda dengan cara membaca imam lainnya, sekalipun riwayat dan jalur periwayatannya sama, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf ataupun bentuknya."
Ash-Shabuni  menambahkan  dalam  defenisinya  tentang qira’ah dengan menyebutkan bahwa cara baca Al-Qur'an itu harus mempunyai sanad yang sampai kepada Rasulullah SAW.
مذهب من مذاهب النطق في القرآن يذهب به إمام من الأئمة القراء مذهبا يخالف غيره  وهي ثابتة بأسانيدها إلى رسول الله -صلى الله عليه وسلم
Artinya:
"Cara membaca Al-Qur'an Al-Karim dari seorang Imam ahli qirâah yang berbeda dengan cara membaca imam lainnya berdasarkan sanad yang sampai kepada Rasulullah SAW."
Tampak dari dua definisi di atas bahwa pengertian qirâah di sini tidak sama dengan pengertian qirâah dalam percakapan sehari-hari yang sepadan dengan tilawah yaitu hanya sekadar dalam pengertian membaca  atau  bacaan. Atau  qirâah  dalam  pengertian  membaca Al-Qur'an dengan irama atau lagu tertentu. Ilmu qirâah   dalam pengertian sehari-hari berarti bagaimana cara membaca Al-Qur'an dengan benar, baik makhraj huruf maupun tajwîdnya, kemudian mempelajari juga lagu atau irama membacanya. Tetapi qirâah dalam pembahasan  Ulumul  Qur'an  ini  adalah  satu  cara  membaca Al- Qur'an (mazhab) yang dipilih oleh seorang imam ahli qirâah dengan sanad yang bersambung sampai kepada Rasulullah SAW.
Dengan demikian terdapat perbedaan cara membaca Al-Qur'an antara satu imam dengan imam lainnya seperti qirâah Imam Nâfi' berbeda dengan qirâah Imam 'ashim atau Hamzah atau imam-imam lainnya. Tetapi perbedaan itu tentu bukan perbedaan total dalam membaca seluruh ayat-ayat Al-Qur'an, tetapi hanya perbedaan dalam membaca ayat-ayat tertentu saja. Semua perbedaan itu bukanlah  hasil  karya  atau  inisiatif  imam  yang  bersangkutan, tetapi semuanya berasal dari bacaan Rasulullah SAW dan tidak bertentangan dengan mushaf 'Usmani dan kaedah-kaedah bahasa Arab.
Karena berdasarkan riwayat, maka nanti qira’ah   juga dibagi berdasarkan periwayatannya kepada qirâah mutawatirah, masyhurah, ahad, syadzah, dha'îfah bahkan maudhu'ah atau palsu. Ditinjau dari segi  qari'nya,  qirâah  dapat  dibagi  kepada  qira’ah sab'ah, qira’ah 'asyarah dan qirâah arba'ata 'asyara. Para ulama yang mengkaji dan mendalami qirâah juga sudah menentukan syarat-syarat sebuah qira’ah dapat diterima. Semuanya akan dijelaskan dalam bagian- bagian selanjutnya.
1.             Perbedaan Al-Qur’an Dan Qira’at
Para ulama berbeda pendapat tentang pembatasan definisi qira’at dan al- Qur’an. Beberapa pendapat ulama tersebut adalah sebagai berikut:
a.              Al-Zarkashi dan al-Qustalani berpendapat, al-Qur’an dan qira’at merupakan dua substansi yang berbeda. Al-Qur’an adalah wahyu (dari Allah SWT) yang diturunkan (kepada nabi Muhammad saw.) sebagai mu’jizat dan penjelasan. Sedangkan qira’at adalah perbedaan lafadh-lafadh wahyu tersebut, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun   pengucapan   huruf-huruf   tersebut, seperti takhfif, tashdid dan lain-lain.[11]
b.             Mayoritas  ulama  dan  pakar  qira’at  berpendapat,  bahwa  apabila  qira’at tersebut  diriwayatkan dengan sanad yang sahih, sesuai dengan kaidah tata bahasa Arab, dan sesuai dengan rasm (pola penulisan) mushaf, maka dapat dikatakan qira’at itu tergolong al-Qur’an. Namun bila tanpa ketiga syarat itu, maka ia dianggap qira’at biasa.[12]
c.              lbn  Daqiq    al-'ld   menyatakan  bahwa  semua  qira’at  tergolong  al-Qur’an, termasuk pula qira’at shadzah. Muhammad Salim Mahisin    juga berpendapat bahwa qira’at  merupakan bagian dari al-Qur'an, aspek qira’at tidak dapat dilepaskan dari al-Qur'an karena ia merupakan bagian tak terpisahkan. Keduanya merupakan hakikat dengan makna tunggal, dan kata al-Qur'an merupakan bentuk masdar dari kata al-qira'ah.[13]
2.             Sejarah Qira’ah
Al-Qur'an diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril AS. Jibril lah yang membacakan ayat- ayat Al-Qur'an kepada Nabi, dan beliau mengikuti bacaan Jibril itu. Allah SWT berfirman:
Ÿw õ8ÌhptéB ¾ÏmÎ/ y7tR$|¡Ï9 Ÿ@yf÷ètGÏ9 ÿ¾ÏmÎ/ ÇÊÏÈ   ¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ   #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ  §NèO ¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmtR$uŠt/ ÇÊÒÈ  
Artinya:
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan ( membuatmu pandai) membaca. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu. Kemudian, sesungguhnya akan tanggungan Kami-lah penjelasannya” ( QS. Al-Qiyamah 75:16-19)

Dalam ayat di atas disebutkan bahwa Allah SWT menganugerahkan   kepada   Nabi   sebuah   keistimewaan   yang tidak diberikan kepada siapa pun, yaitu kemampuan otomatis membaca, menghafal dan memahami Al-Qur`an. Dalam ayat di atas dinyatakan: "Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu."
Jaminan itu perlu diberikan oleh Allah SWT mengingat Nabi adalah sumber rujukan para sahabat. Nabi lah yang kemudian membacakan ayat-ayat Al-Qur`an yang diturunkan kepada para sahabat baik secara langsung untuk maksud tersebut atau secara tidak langsung dengan mengulang-ulang membacanya waktu shalat.
Menurut adz-Dzahabi dalam Thabaqât al-Qurâ', sebagai dikutip as-Suyûthi, para sahabat yang terkenal sebagai pembaca Al-Qur'an (Qurra') ada tujuh orang yaitu,   'Utsmân ibn 'Affan, 'Ali ibn Abi Thalib, Ubayya ibn Ka'ab, Zaid ibn Tsâbit, 'Abdullah ibn Mas'ud Abu  ad-Dardâ'  dan Abu  Mûsa  al-Asy'ari.  Dari  merekalah  para sahabat lain dan juga tabi'in mengambil cara membaca Al-Qur'an. Sejumlah sahabat mengambil cara membaca Al-Qur'an dari Ubayya ibn Ka'ab, mereka antara lain Abu Hurairah, Abdullah ibn 'Abbâs dan 'Abdullah ibn as-Sâib. Di samping dari Ubayya, Ibnu Abbâs juga mengambil qirâah Al-Qur'an dari Zaid ibn Tsabit.[14]
Dari para sahabat itulah para tabi'in di berbagai wilayah mengambil qira’ah Al-Qur'an. Para qurâ' dari kalangan tabi'in itu antara lain:
a.              Di Madinah: Ibn al-Musayyab, 'Urwah, Sâlim, 'Umar ibn Abd al-'Azîz, Sulaimân ibn Yasâr dan 'Atha'  ibn Yasâr, Mu'az ibn al-Hârits, 'Abdurrahmân ibn Harmûz al- A'raj, Ibn Syihâb az- Zhuhri, Muslim ibn Jundab dan Zaid ibn Aslam.
b.             Di Makkah: 'Ubaid ibn 'Umair, 'Athâ' ibn Abi Rabâh, Thaws, Mujâhid, 'Ikrimah dan Ibn Abi Malîkah.
c.              Di Kufah: 'Alqamah, al-Aswad, Masrûq, 'Ubaidah, 'Amru ibn Syurahbil, al-Hârits ibn Qais,ar-Rabî' ibn Khutsaim, 'Amru ibn Maimûn, Abu 'Abdirrahmân as-Sulami, 'Ubaid ibn Nudhailah, Sa'id ibn Jubair, an-Nakh'i dan asy-Sya'bi.
d.             Di Bashrah: Abu 'aliyah, Abu Raja', Nashr ibn 'Âshim, Yahya ibn Ya'mar, al-Hasan, Ibn Sirîn dan Qatâdah.
e.              Di  Syam:  al-Mughirah  ibn  Abi  Syihâb  al-Makhzumi  dan Khalifah ibn Sa'ad.[15]
Masih pada abad pertama hijriyah, di kalangan tabi'in, muncullah beberapa   ulama yang mempelajari dan mendalami secara khusus qiraah ini dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu sendiri. Mereka menjadi imam dan ahli qira’ah yang dipercaya dan diikuti. Mereka antara lain adalah:
1)             Di Madinah: Abu Ja'far Yazid ibn al-Qa'qa', Syaibah ibn Nashah, dan Nafi' ibn Abdirrahman.
2)             Di Makkah: Abdullah ibn Katsir dan Humaid ibn Qais al-A'raj dan Muhammad ibn Muhaishan.
3)             Di  Kufah:  Yahya  ibn  Watsab,  'ashim  ibn  Abi  an-Nujûd, Sulaiman al- A'masyi, Hamzah dan al-Kasai.
4)             Di Bashrah: 'Abdullah ibn Abi Ishaq, 'Isa ibn 'Amru, Abu 'Amru ibn al-'Ala', 'ashim al-Jahdari, dan Ya'qub al-Hadhrami.
5)             Di  Syam:  'Abdullah  ibn  'amir,  'Athiyah  ibn  Qais  al-Kilabi, Isma'il ibn 'Abdillah ibn al-Muhajir, Yahya ibn al-Harits adz- Dzimari, dan Syarîh ibn Yazid al-Hadhrami.[16]
   Dan Jibril membacakan Al-Qur'an kepada Nabi tidak hanya dalam satu logat atau lahjah yaitu logat Quraisy, tetapi juga dalam beberapa lahjah, sebagaimana yang terlihat dalam kisah perbedaan bacaan antara Umar ibn Khathâb dan Hisyâm ibn Hakim
Diriwayatkan bahwa 'Umar ibn Khathâb berkata: Aku mendengar Hisyâm ibn Hâkim membaca Surat Al-Furqan di masa hidup Rasulullah SAW. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia shalat, tetapi aku berusaha sabar menunggunya sampai salam. Begitu salam aku tarik sorbannya dan bertanya: “Siapakah yang membacakan (mengajarkan bacaan) surat itu kepadamu?” Ia menjawab: “Rasulullah yang membacakannya kepadaku”. Lalu aku katakan kepadanya: “Dusta kau. Demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku surat yang aku dengar tadi engkau membacanya (tapi tidak seperti bacaanmu).”
Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah dan aku ceritakan kepadanya bahwa aku telah mendengar orang ini membaca Surat Al-Furqân dengan huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan Surat Al-Furqân kepadaku.
Maka Rasulullah berkata: “Lepaskanlah dia wahai 'Umar. Bacalah Surat tadi, wahai Hisyâm.” Hisyâm pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi. Maka kata Rasulullah: “Begitulah surat  itu  diturunkan.”  Ia  berkata  lagi:  “Bacalah  wahai  'Umar.” Lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah kepadaku. Maka kata Rasulullah SAW: “Begitulah surat itu  diturunkan.”  Dan  katanya  lagi:  “Sesungguhnya  Qur ’an  itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu di antaranya” (H.R. Bukhâri dan Muslim teksnya dari Bukhari)
3.             Kualifikasi Qira’at Standart
Suatu hal yang paling penting dalam ilmu qira'at adalah memastikan apakah qira'at tersebut benar-benar berasal dari Nabi SAW., oleh karena itu usaha yang dilakukan para ulama qira'at untuk mengetahuinya adalah dengan menetapkan  pedoman  atau  persyaratan  tertentu  kepada  tiap-tiap  qira'at. Syarat-syarat yang dimaksud adalah:[17]
a.              Sesuai dengan salah satu rasm (tulisan) mushaf  'Uthmani. Hal tersebut karena diyakini, dalam penulisan mushaf-mushaf itu para sahabat bersungguh-sungguh  dalam  membuat  rasm  (pola  penulisan  mushaf) sesuai dengan bermacam-macam dialek qira ‘at yang mereka ketahui. Misalnya disemua mushaf ditulis ملك يوم الدين tanpa alif pada lafal maliki yang cocok dengan rasm utsmani pada penulisan ayat ملك الناس dan menggunakan alif pada lafal maaliki pun sesuai dengan rasm utsmani pada ayat مالك الملك
b.             Sesuai  dengan  kaidah  bahasa  Arab,  sekalipun  dalam  satu  segi.  Oleh karena qira’at adalah sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan isnad, bukan ra’yu (pemikiran). Yang dimaksud meskipun hanya dalam satu segi adalah satu segi dari ilmu nahwu, baik disepakati maupun diperselisihkan. Jika suatu qira’at telah tersebar luas, populer dan diterima para imam berdasarkan isnad yang sahih, maka sedikit berlawanan dengan kaidah nahwu tidak mengurangi ke-sahihan sesuatu qira’at, karena isnad inilah yang menjadi dasar terpenting dan sendi paling utama.
c.              Diriwayatkan secara mutawatir. Maksudnya adalah periwayatan oleh orang banyak dari orang yang banyak pula, sehingga menutup kemungkinan   mereka   dapat   melakukan   suatu kebohongan  secara  bersama-sama, sejak  dari  sanad  pertama  sampai kepada sanad yang terakhir.[18]
4.             Macam-Macam Qira’ah
        Dari segi kualitas sanadnya, qira’at dapat dibagi menjadi qira’at mutawâtirah, masyhûrah, âhâd, syâdzah, maudhû'ah dan mudrajah. Sedangkan dari segi kuantias qirâât nya dapat dibagi menjadi qiraat sab'ah, 'asyarah dan arba'ata 'asyarah. Di bawah ini akan diuraikan secara ringkas macam-macam qiraat tersebut.
a.              Berdasarkan Kualitas Sanad
1)      Qira’at Mutawatirah: Qira’ah  yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi pada setiap tingkatan sanad yang mustahil mereka sepakat untuk berdusta, seperti qirâah yang diriwayatkan oleh imam qira’ah   yang tujuh orang melalui jalur yang sama. Umumnya qirâah masuk jenis ini.
2)      Qira’at Masyhurah: Qira’ah yang sanadnya shahîh tetapi tidak sampai ketingkat mutawatir, tidak menyalahi mushaf 'Utsmâni, tidak bertentangan dengan kaedah Bahasa Arab, masyhur di kalangan qurâ' seperti qirâah dari imam yang tujuh yang disampaikan melalui jalur yang berbeda-beda.
3)      Qira’at Ahad: Qira’ah yang sanadnya shahîh tetapi menyalahi mushaf 'Utsmani dan kaidah bahasa Arab dan tidak masyhur di kalangan qurâ'. Contoh:
Ÿxsù ãNn=÷ès? Ó§øÿtR !$¨B uÅ"÷zé& Mçlm; `ÏiB Íقُرَّاتِ &ûãüôãr& Lä!#ty_ $yJÎ/ (#qçR%x. tbqè=yJ÷ètƒ ÇÊÐÈ    
Artinya:
"Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan." (Q.S. As-Sajdah:17)
Dalam qira’ah di atas  قُرَّةِ dibaca dalam bentuk jamaa' قرات berbeda dengan Mushaf yang dibaca dalam bentuk mufrad (قرة).
4)      Qira’at Syadzah: Qirâah yang sanadnya tidak shahîh. Contohnya: مَلَكَ يَوْمِ الدِّيْنِ (malaka yaumid dîn), dalam Mushaf 'Utsmâni مَلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (maliki yaumid din).
5)      Qira’at Maudhu'ah: Qira’ah yang riwayatnya palsu dan tidak ada asalnya. Seperti qiraat yang dinisbatkan kepada imam abu hanifah dalam surat al-Fatir ayat 28 yang berbunyi:
$yJ¯RÎ) Óy´øƒs ©!$# ô`ÏB ÍnÏŠ$t6Ïã (#às¯»yJn=ãèø9$#
Lafal (اللَّهَ) allaha dibaca (اللَّهُ) allahu, dan lafal al-ulama’u dibaca al-ulama’a
6)      Qira’at Mudrajah: Qirâah yang ditambahkan ke dalam qirâ'ah sebagai penafsiran. Contoh pada surat al-Baqarah ayat 198 yang berbunyi:
}§øŠs9 öNà6øn=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§ 4فِيْ مَوَاسِمِ الحَج !#sŒÎ*sù OçFôÒsùr& ïÆÏiB ;M»sùttã (#rãà2øŒ$$sù ©!$# yYÏã ̍yèô±yJø9$# ÏQ#tysø9$#  
Kalimat فِيْ مَوَاسِمِ الحَج  adalah tambahan sebagai penafsiran. Dalam rasm utsmani tanpa menyebutkan lafal tersebut.[19]
b.             Berdasarkan kuantitas Imam qiraat
1)   Qira’at Sab'ah: Qira’ah yang diriwayatkan oleh tujuh imam qirâah yang terkenal hafalan, ketelitian dan pengalaman mereka yang lama dalam dunia qirâah, serta disepakati untuk diambil dan dikembangkan qira’at dari mereka. Di bawah ini nama ketujuh imam tersebut yang disusun dengan urutan nisbah tempat muqim masing-masing, yaitu Makkah, Madinah, Syâm, Bashrah dan Kûfah. Disebutkan juga murid-murid yang merawikan dari mereka.
2)   Nafi' al-Madani. Nama lengkapnya Abu Ruwaim Nâfi' ibn Abdirrahmân ibn Abi Nu'aim al-Laisi al-Madany (w. 169 H di Madinah). Dua orang perawinya adalah Qâlûn dan Warasy. Qâlûn adalah 'Isa ibn Munya al- Madani,  seorang guru bahasa Arab yang mempunyai kunyah Abu Mûsa dan julukan Qâlûn. Nâfi' memberinya nama panggilan Qâlûn   karena keindahan qirâahnya, sebab kata qâlûn dalam bahasa Rumawi berarti baik. Ia wafat di Madinah pada 220 H.  Sedang Warasy adalah 'Utsman ibn Sa'îd al-Mishri. Ia diberi kunyah Abu Sa'id dan diberi julukan Warasy karena teramat putihnya. Ia wafat di Mesir pada 197 H.
3)   Ibnu    Katsir    al-Makki.    Nama    lengkapnya   Abu Muhammad  Abdullah  ibn  Katsîr  ad-Dâri  al-Makki (w. 120 H di Makkah). Beliau imam qirâah di Makkah Termasuk seorang tâbi'în. Bertemu dengan sahabat Abdullah ibn az-Zubair, Abu Ayyub al-Anshari, dan Anas ibn Mâlik.  Dua orang perawinya adalah al-Bazi dan Qunbul. Al-Bazi adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Abdullah ibn Abi Bazah, muazzin di Makkah. Ia diberi  kunyah Abu  al-Hasan.  Dan  wafat  di  Makkah pada 250 H. Sedang Qunbul adalah Muhammad ibn Abdirrahman ibn Muhammad ibn Khâlid ibn Saîd al- Makki al-Makhzûmi. Ia diberi kunyah Abu Amru dan diberi julukan  Qunbul. Dikatakan bahwa ahlul bait di Mekah ada yang dikenal dengan nama Qanâbilah. Ia wafat di Makkah pada 291 H.
4)   Ibn amir asy-Syami. Nama lengkapnya Abdullah ibn 'amir al-Yahshabi asy-Syâmi  (w. 118 H di Damaskus). Dikenal dengan nama panggilan Abu 'Imran atau Ibn 'Âmir as-Syami. Berprofesi sebagai qadhi di Damaskus pada zaman Khalifah al-Walîd ibn Abd al-Malik. Ia termasuk seorang tâbi'in. Dia mengambil qirâah dari al- Mughîrah ibn Abi Syihâb al-Makhzumi, dari 'Utsman ibn 'Affan, dari Rasulullah SAW. Dua orang perawinya yang terkenal adalah Hisyâm dan Ibn Zakwan. Hisyam adalah Hisyam ibn 'Amar ibn Nushair, qadhi Damaskus. Diiberi kunyah  Abu al-Walid, dan wafat pada 245 H. sedang Ibn Dzakwan adalah Abdullah ibn Ahmad ibn Basyir ibn Zakwân al-Qurasyi ad-Dimasyqi. Ia diberi kunyah Abu 'Amru. Dilahirkan pada 173 H, dan wafat di Damaskus pada 242 H.
5)   Abu 'Amru ibn al-'Ala' al-Bashri. Nama lengkapnya Zayan ibn al-'Alâ ibn 'Ammâr  al-Mâzini al-Bashri (w.154 H di Kufah). Dua orang perawinya adalah ad- Dauri dan as-Sâsi. Ad-Dauri adalah Abu 'Umar Hafsh ibn 'Umar ibn Abdil Azis ad-Dauri an-Nahwi. Ad-Daur nama tempat di Bagdad. Ia wafat pada 246 H. As-Sûsi adalah Abu Syua'ib Shâlih ibn Ziyad ibn Abdullah as- Sûsi. Ia wafat pada 261 H.
6)   'ashim al-Kufi. Nama lengkapnya 'Ashim ibn Abi an-Nujud al-Asadi, (w. 128 H di Kûfah). Kuniahnya Abu Bakar. Termasuk seorang tâbi'în. Dua perawinya adalah Syu'bah dan Hafsh. Syu'bah adalah Abu Bakar Syu'bah ibn 'Abbâs ibn Sâlim al-Kûfi. Wafat pada 193 H. sedangkan Hafsh adalah Hafsh ibn Sulaimân ibn al- Mughîrah al-Bazaz al-Kûfi. Nama panggilannya adalah Abu Amru. Ia adalah orang terpercaya. Menurut Ibn Mu'în, ia lebih qâri daripada Abu Bakar. Ia wafat pada 180 H.
7)   Hamzah  al-Kufi. Nama lengkapnya adalah Abu Amarah Hamzah ibn Habîb ibn 'Imârah az-Zayyat al-Fardhi at-Taimi (w. 156 H di Halwan). Beliau adalah maula 'Ikrimah ibn Rabî' at-Taimi. Dua orang perawinya adalah Khalaf dan Khalad. Khalaf adalah Khalaf ibn Hisyâm al-Bazaz. Ia diberi kunyah Abu Muhammad, dan wafat di Bagdad pada 229 H. Sedang Khalad adalah Khalâd ibn Khâlid, dan dikatakan pula Ibn Khalîd as- Shairafi al-Kufi. Ia diberi kunyah  Abu 'Isa, wafat pada 220 H.
8)   Al-Kasa'i al-Kufi. Nama lengkapnya Abu al-Hasan 'Ali ibn Hamzah al-Kasa'i al-Kufi (w. 189 H di Barnabawaih). Beliau dikenal juga sebagai imam ahli Nahwu dari Kufah. Ia diberi kunyah Abu al-Hasan. Disebut al-Kasa'i karena beliau memakai kisa di waktu ihram. Dua orang perawinya adalah Abu  al-Hâris dan Hafsh ad-Dauri. Abu al-Haris adalah al-Laits ibn Khâlid al-Baghdadi, wafat 240 H. Sedangkan Hafsh  ad-Dauri sama dengan Hafsh ad-Dauri perawi dari Abu 'Amru ibn al-'Ala' al- Bashri yang sudah disebutkan sebelumnya.[20]
c.              Qira’at 'Asyarah
Qira’at yang diriwayatkan oleh tujuh imam qirâah di atas ditambah tiga lagi:
1)      Abu Ja'far al-Madani. Nama lengkapnyaYazid ibn al- Qa'qa' (w. 128  H di Madinah). Dua orang perawinya adalah Ibn Wardan dan Ibn Jamaz. Ibn Wardan adalah Abu al-Haris 'Isa ibn Wardan al-Madani, wafat tahun 160 H di Madinah.
2)      Ya'qub al-Bashri. Nama lengkapnya Abu Muhammad Ya'qûb ibn Ishâq ibn Zaid al-Hadhari (w. 205 H di Bashrah). Dua orang perawinya adalah Ruwais dan Rûh. Ruwais adalah Abu 'Abdillah Muhammad al- Mutawakkil al-Lu'lui al-Bashri, wafat tahun 238 H di Bashrah. Ruwais adalah julukannya. Sedangkan Rûh adalah Abu al-Hasan Ruh ibn Abd al-Mukmin al- Bashri an-Nahwi, wafat tahun 234 H.
3)      Khalaf.  Nama  lengkapnya  Abu  Muhammad  Khalaf ibn Hisyâm ibn Tsa'lab al-Bazâr al-Baghdadi (w. 229 H di). Dua orang perawinya adalah Ishaq dan Idris. Ishâq adalah Abu Ya'qub Ishaq ibn Ibrâhîm ibn 'Utsmân al- Waraq al-Marwazi kemudian al-Baghdâdi, wafat tahun 286 H. Sedangkan Idris adalah Abu al-Hasan Idris ibn Abd al-Karîm al-Baghdâdi al-Hadâd, wafat tahun 292 H.
d.             Qira’ah Arba'ata Asyara
Qira’at yang diriwayatkan oleh sepuluh imam qirâât di atas ditambah dengan empat lagi:
1)      Al-Hasan al-Bashri, salah seorang tabiin yang terkenal dengan sikap hidup zuhudnya. (w.  110 H di Bashrah)
2)      Ibn Muhaishin. Nama lengkapnya Muhammad  ibn 'Abdirrahman. (w. 123 H).
3)      Yahya ibn al-Mubârak al-Yazîdi an-Nahwi (w. 202 H di Baghdad). Mengambil qirâah dari Abu 'Amru dan Hamzah. Beliau adalah guru dari a-Dauri dan as-Sûsi.
4)      Abu  al-faraj. Nama  lengkapnya Muhammad  Ibn Ahmad asy-Syambûdzi (w. 388 H di Baghdad).
5.             Urgensi  Al-Qur’an Dan Qira’at
   Sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa qira'ah yang dapat diterima karena sudah memenuhi kualifikasi qira'ah standar cukup beragam. Lalu apa hikmah keragamaan qirâ'ah  yang dapat diterima tersebut?
Menurut Mannan' al-Qaththan, di antara hikmahnya adalah sebagai berikut:
a.              Menunjukkan  betapa  terjaga  dan  terpeliharanya  Kitab  Suci Al-Qur'an dari perubahan dan penyimpangan sekali pun mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
b.             Meringankan dan memudahkan umat Islam untuk membaca Al-Qur'an.
c.              Bukti mukjizat Al-Qur'an dari aspek bahasa, karena perbedaan qirâât dapat menampung perbedaan makna tanpa harus mengulang lafazhnya, seperti pada contoh membasuh kaki atau mengusap kaki pada waktu wudhu' (Q. S. Al-Mâidah: 6. Perbedaan  membaca  arjulakum (dengan  fathah pada  lam) dan arujulikum (kasrah pada lam). Jika dibaca dengan fathah berarti membasuh kaki karena di'athafkan kepada aidiyakum, tetapi jika dibaca dengan kasrah berarti mengusap kaki karena di'athafkan kepada ruûsikum.
d.             Penjelasan  terhadap  apa  yang  mungkin  masih  global  pada ayat lain. Misalnya kalimat yathhurna pada Surat Al-Baqarah: 222 (ولا تقربوهنّ حتّي يطهرن) dibaca dalam qirâ'ah lain dengan yaththaharna. Menurut jumhur ulama, perempuan yang haid baru boleh dicampuri oleh suaminya apabila sudah suci dari haid  (bacaan  yathhurna)  dan  sudah  bersuci  dengan  mandi besar (bacaan yaththahharna). Perbedaan qirâ'ah dalam kasus ini menjelaskan apa yang masih mujmal atau global pada ayat.[21]
e.              Sebagai  dalil  atas  dua  hukum  syara'  yang  berbeda.  Misalnya  dalam berwudhu. Contoh ayat 6 surat al-Ma’idah:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$#  الاية

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.

   Kata وَأَرْجُلَكُمْ dapat dibaca: wa’arjulakum (lam dengan fathah) yang berarti kaki harus dibasuh sebagaimana membasuh wajah dan tangan ketika berwudhu (disandarkan pada lafal wujuhakum wa’idiyakum), dan dibaca wa’arjulikum (lam dengan kasrah) yang berarti cukup diusap sebagaimana mengusap kepala (disandarkan pada lafal biru’usikum) sebagaimana rasulullah menjelaskan bahwa kaki cukup diusap bagi pemakai khuff (sepatu kulit) dan kaki wajib dibasuh bagi yang tidak bersepatu.
6.             Contoh Qiraat Dalam Al-Qur’an
Qira’at adalah perubahan atau macam variasi bacaan al-qur’an yang disandarkan pada standart Qiraat yang diterima menurut berbagai imam Qurra’ baik dari segi kaedah bahasa arab, sanad dan rosm usmani sehinnga menjadi pedoman yang baik bagi pembaca al-qur’an itu sendiri. Berikut contoh bacaan qiroat pada surah al-fatiha menurut berbagai imam dan rawi:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Pada ayat 1 semua imam qiraat sab’ah sepakat. Artinya kita tidak dibenarkan membaca dengan qiraat yang berbeda seperti pada tuslisannya.
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Pada ayat 2 semua imam qiraat sab’ah sepakat.
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Pada ayat 3 semua imam qiraat sab’ah sepakat.
Apabila kita membaca washal (disambung) ayat 3 dengan 4 maka ada 2 pendapat:
 الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ ۝ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Dibaca seperti biasa seperti. Ini pendapat dari kebanyakan imam qiraat.
Menerapkan idgham kabir pada pertemuan 2 mim. Jadi mim pada kata (الرَّحِيْمِ) melebur ke mim pada kata (ملِك) dengan panjang 6 harakat dan disertai ghunnah karena ada mim bertasydid. Jadi seperti ini bacanya:
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم مّلِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Pendapat yang menerapkan idgham kabir hanya dijumpai dalam riwayat As-Susy yang merupakan perawi dari Imam Abu Amr.
ملِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Imam ‘Ashim dan al-Kisaiy membaca panjang “ma” pada kata (ملِكِ) pada ayat keempat, sedangkan yang Imam yang lainnya membaca pendek.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Pada ayat 5 semua imam qiraat sab’ah sepakat.
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ
Imam Qunbul dari Ibnu Katsir membaca huruf shad kata (الصِّرَاطَ) dengan sin. Khallaf dan Khallad dari Hamzah membaca huruf shad kata (الصِّرَاطَ)  dengan isymam antara shad dan zay. Maksud isymam disini adalah suara gabungan antara shad dan zay.
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Imam Qunbul dari Ibnu Katsir membaca huruf shad kata (صِرَاطَ) dengan sin. Imam khallaf dari Hamzah menerapkan pada shod pada ayat (صِرَاطَ) dengan antara shad dan zay yang diisymamkan. Imam yang lainnya membacanya dengan shod. Khallaf dan Khallad dari Hamzah membaca dhammah huruf Ha’ pada (عَلَيْهِمْ) sehingga menjadi (عَلَيْهُمْ). Al-Bazy dan Qunbul dari Ibnu Katsir membaca (عَلَيْهِمْ) dengan shilah mim jama’. Maksud shilah mim jama’ ialah mendhamahkan mim serta menambah wawu madhiyyah sehingga dibaca panjang dengan ukuran 2 harakat sehingga dibaca (عَلَيْهِمُ) dengan memanjangkan “mu”. Qalun dari Nafi membaca (عَلَيْهِمْ) dengan dua wajah. Bisa sukun seperti biasa atau shilah mim jama’. Imam yang lainnya membaca (عَلَيْهِمْ) dengan kasroh Ha’ dan sukun mim.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Qiraat adalah perbedaan cara mengucapkan lafazh-lafazh al-Qur’an baik menyangkut hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf. Qiraat memiliki bermacam-macam, yakni qiraat sab’ah, qiraat asyrah danqiraat arbaah asyrah.
Prinsip dasar dalam qira’at yang ditawarkan oleh Ulama’ ada tiga, yaitu: rosmu usmani, kaedah bahasa arab dan sanad yang disandarkan kepada rasulullah. Sehingga qira’at sendiri menjadi disiplin kajian yang sangat mendalam bagi keilmuan islam baik dari segi keotentikan dan ragam qiro’ah yang sangat indah kita dengarkan.
Sedangkan, Qiraat itu sendiri memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penetapan suatu hukum akibat perbedaan kata, huruf dan cara baca. pemahaman dan pengetahuan mengenai ilmu qira’at sangatlah penting. Hal ini ditujukan agar kita tidak saling berselisih karena perbedaan cara baca ayat Alquran seperti yang pernah terjadi pada masa pemerintahan khalifah Ustman bin Affan. Perbedaan versi qira’at disebabkan karena para ulama berlainan dalam menerima bacaan ayat, sehingga terjadi perselisihan di antara ulama. Kemudian khalifah Ustman bin Affan menyalin dan menyebar luaskan ayat Alquran pada masa Abu Bakar Ash Siddiq ke berbagai daerah untuk mengatasi perselisihan.



DAFTAR PUSTAKA
Manna Khalil al-Qattan, 2012 Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terjemahan Drs. Mudzakir AS. Cet 15, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa,
Shubhi as-Shalih, 1993 Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terjemahan Tim Pustaka Firdaus Jakarta: Pustaka Firdaus,
Ali al­Hasan, al­Manar, 1998 Dar al­Fikr al­'Arabi, cet. I, Beirut,
As-suyuthi, al-Itqan t.t  fi ulum al-Qur’an, Dar al-Fikri, Beirut, , juz 1
As-suyuti, t.t  al-Dur al-Mantsur, Dar al-Fikri, Beirut, juz 2..
Ar-Raghib al-Ashfahani, t.t. Mu'jam Mufradat Alfazh Al-Qur'an Beirut: Dar al-Fikr,
Muhammad Abd al-Azhim az-Zarqani, t.t.  Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulam Al-Qur’an Beirut: Dâr ‘Ihyâ al-Kutub al-Arabiyah, Jld I.
Muhamad Salim Muhaisin, t.t. al-Mughni fi al-Taujih al-Qira>'at al-'Ashr al-Mutawa>tirah, Juz 1 Beirut: Dar al-Ji,
Al-Hafizh Jalal ad-Din Abd Ar-Rahmân As-Suyuthi, 2003,  Al-Itqan fi ‘Ulûm Al-Qur’an, Beirut: al-Maktabah al-Ashriyyah, jilid I
Ahmad Umar Hasyim, 1984 Qawaid usul al-Hadits, Beirut: Dar aI-Fikr,
Rosihon Anwar, 2008 Ulum Al-Qur'an Bandung: Pustaka Setia,
Abu Thahir Isma'îl ibn Khalaf ibn Sa'îd al-Muqri' al-Anshari as-Sarqasthi, al-'Inwan al-Qirâât as-Sab'i, ditahqiq oleh Zuhair Ahmad dan Khalîl al-'Athiyah, Kuliyah al-Adab Jâmiah al-Bashrah, (Maktabah Syamilah) dan b. Manna’ al-Qaththan, 1976 Mabahits fî ‘Ulûm Al-Qur’an (Riyadh: Muassasah ar-Risalah,
Manna’ Khalil Qathan, 2004 Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terjemahan Mudzakkir Jakarta: Litera Antar Nusa, cet ke-8 tahun





[1] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terjemahan Drs. Mudzakir AS. Cet 15, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2012), hal. 16.
[2] . Shubhi as-Shâlih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terjemahan Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 10.
[3] Ali al­Hasan, al­Manar, Dar al­Fikr al­'Arabi, cet. I, (Beirut, 1998), hal. 11.
[4] As-suyuthi, al-Itqan fi ulum al-Qur’an, (Dar al-Fikri, Beirut, t.t), juz 1, hal 51.
[5] As-suyuti, al-Dur al-Mantsur, (Dar al-Fikri, Beirut, t.t), juz 2, hal. 523.
[6] Op.Cit As-suyuti, al-Itqan fi ulum al-Qur’an, jilid 1, hal.146.
[7] Op.Cit Manna al-Qaththan, Mabahits fi ulum al-Qur’an, hal. 122.
[8] Op.Cit As-suyuti, al-Itqan fi ulum al-Qur’an, jilid 1,hal. 143-146.
[9] Ar-Raghib al-Ashfahani,  Mu'jam Mufradat Alfazh Al-Qur'an ( Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hal. 414.
[10] Muhammad Abd al-Azhîm az-Zarqâni, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulam Al-Qur’an (Beirut: Dâr ‘Ihyâ al-Kutub al-Arabiyah, t.t.), Jld I, hal. 405.

[11] al-Zarkashi, al-Burhan fi  'Ulum al-Qur’an,  hal 318.
[12] Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at Dan Pengaruhnya....,hal 116.
[13] Muhamad Salim Muhaisin, al-Mughni fi al-Taujih al-Qira>'at al-'Ashr al-Mutawa>tirah, Juz 1 (Beirut: Dar al-Jil, t.t.), hal. 46-47.

[14] Al-Hâfizh Jalal ad-Dîn Abd Ar-Rahmân As-Suyûthi,, Al-Itqan fi ‘Ulûm Al-Qur’an, (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyyah, 2003), jilid I, hal. 204.
[15] As-Suyuthi,, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an…, I, hal  204-205.
[16] As-Suyuthi,, Al-Itqân fi ‘Ulûm Al-Qur’an…, I hal 205.
[17] Manna al-Qattan, Mabahits fi ulum al-Qur’an, hal 176; al-Zarqani, Manahil al-Irfan, fi Ulum al-qur’an,hal  418-419.
[18] Ahmad Umar Hasyim, Qawaid usul al-Hadits, (Beirut: Dar aI-Fikr, 1984), hal  143.
[19] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur'an (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 151-154
[20] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur'an (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 149-150; dan lihat juga a. Abu Thahir Isma'îl ibn Khalaf ibn Sa'îd al-Muqri' al-Anshari as-Sarqasthi, al-'Inwan al-Qirâât as-Sab'i, ditahqiq oleh Zuhair Ahmad dan Khalîl al-'Athiyah, Kuliyah al-Adab Jâmiah al-Bashrah, hlm. 40 (Maktabah Syamilah) dan b. Mannâ’ al-Qaththân, Mabahits fî ‘Ulûm Al-Qur’an (Riyadh: Muassasah ar-Risalah, 1976), hlm. 181-184.

[21] Manna’ Khalil Qathan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terjemahan Mudzakkir (Jakarta: Litera Antar Nusa, cet ke-8 tahun 2004), hal. 257-256.


No comments:

Post a Comment