BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Usaha mendekatkan diri kepada Allah sangatlah
penting.Dimana manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah
semata.Ajaran demi ajaran telah tertuang dalam al Qur’an yang mana mengajarkan
kehidupan kepada manusia.
Dalam perkembangannya, usaha – usaha
untuk mendekatkan diri kepada Allah bermacam – macam.Mulai dari beribadah rutin
dan tidak menduakan Allah, dari menyendiri agar terhindar dari urusan duniawi,
dan lain sebagainya.Ajaran demi ajaran terus berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman.
Banyak tokoh – tokoh ilmuan muslim
yang berhasil memberikan sebuah cahaya ilmu agar mampu mendekatkan diri kepada
Allah. Salah satunya adalah tasawuf.Dimana kita dihadapkan pada kenyataan bahwa
berserah kepada Allah dan menyerahkan segala sesuatu hanya pada Allah semata.
Tidak menggebu – gebu akan urusan duniawi, melainkan menggebu – gebu akan kasih
dari Allah. Hal ini memicu sebuah pemikiran untuk mendekatkan diri kepada Allah
tanpa adanya unsur duniawi.
Banyak tasawuf yang berkembang,
namun pada bahasan kali ini, akan difokuskan pada Konsep Tasawuf Irfani. Yang
mana akan membahas bagaimana tasawuf Irfani tersebut, siapa tokohnya dan
implikasinya terhadap masyarakat bagaimana.
Pada bahasan kali ini, penulis
mengambil sebuah pandangan dari Pondok Pesantren Darul Ulum, Serang,
Cirebon.Yang mana disana terdapat ajaran Alawiyah yang diadopsi dari sebuah
pemikiran Rabiah al Adawiyah tentang cinta kepada Allah dan menjadikannya
sebuah ajaran yang diamalkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.Hanya kepada
Allahlah cinta itu berpihak dan tiada cinta selain Allah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang disebut dengan konsep tasawuf Irfani?
2.
Siapa
tokoh – tokoh dalam tasawuf Irfani?
3.
Bagaimana
implikasi ajaran Rabiah al Adawiyah terhadap masyarakat?
C.
Tujuan
1.
Untuk
memahami apa yang dimaksud dengan konsep tasawuf Irfani
2.
Untuk
mengetahui tokoh – tokoh dalam tasawuf Irfani
3.
Untuk
mengetahui bagaimana implikasi ajaran Rabiah al Adawiyah terhadap masyarakat
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Pengertian Tasawuf Irfani
Tasawuf
Irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat yang
diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi
melalui pemberian Tuhan secara langsung (mauhibah).[1]
Tasawuf irfani adalah penyikapan
hakikat kebenaran atau ma’rifah
kepada Allah tidak di peroleh secara logika atau pembelajaran atau pemikiran
tetapi melalui hati yang bersih (suci).Yang denganya seseorang dapat berdialog
secara batin dengan Allah, sehingga pengetahuan atau ma’rifah dimasukkan Allah ke dalam hatinya, hakikat kebenaran pun
tersikap lewat ilham.[2]
Secara etimologis, kata ‘irfan merupakan kata jadian (mashdar)
dari kata ‘arafa’ (mengenal/pengenalan).Secara terminologis, ‘irfan
diidentikkan dengan makrifat sufstik.Orang yang ‘irfan makrifat kepada Allah
adalah benar-benar mengenal Allah melalui dzauq
dan kasyf (ketersimpangan).[3]
Ahli ‘irfan adalah yang bermakfirat
kepada Allah.Sifat melekatyang tampak pada diri seseorang ‘arif (yang bermakfirat kepaad Allah), dan menjadi hal baginya. Ibn
‘Arabi berkata, “ ‘Arif adalah seseorang yang memperoleh penampakan Tuhan
sehingga pada dirinya tampak kondisi-kondisi hati tertentu (ahwal).[4]
Dalam versi yang hampir sama, Soleh
menjelaskan, irfani berasal dari bahasa arab, yaitu dari kalimat ‘arofa semakna
dengan ma’rifat yang berarti pengetahuan. Secara terminologis, irfani bisa
diartikan sebagai penyatu ungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat
penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (kasyaf) setelah adanya olah
ruhani (riyadah) yang dilakukan atas dasar cinta (love).[5]
Dari pengertian diatas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa pengertian tasawuf Irfani adalah sebuah pendekatan
hamba kepada Allah secara total dengan meninggalkan duniawi dan fokus pada
mendekatkan diri kepada Allah. Dalam proses mendekatkan diri kepada Allah ini,
akan muncul suatu kondisi hati dan fenomena yang lain terkait dengan kondisi –
kondisi mendekatkan diri kepada Allah.
Tentunya
dalam tasawuf ini, adanya persiapan yang mantap dari orang yang akan menjalani
ajaran ini, dan mempersiapkan diri untuk mampu menerima apa yang diberikan oleh
Allah melalu pengetahuan langsung dari Allah. Bisa diperoleh dari perjalanan
spiritual ataupun dari kondisi – kondisi batin tertentu.Adapun ajaran tasawuf
ini dikembangkan atau dipelopori oleh seorang wanita yang di Irak, yaitu Rabiah
al Adawiyah.Beliau disebut juga sebagai Ibu para Sufi Besar. Tasawuf yang ia
usung mengangkat tentang Cinta kepada Allah. Sejalan dengan tuntunan tasawuf
irfani itu sendiri yang merupakan pengetahuan atas Allah melalui olah rohani yang
didasarkan pada cinta kepadanya. Berikut akan membahas mengenai tokoh – tokoh tasawuf
Irfani.
B.
Tokoh –
Tokoh Irfani
1.
Rabiah al Adawiyah
(95 H/ 713 M)
Nama lengkap Rabiah adalah Rabiah bin Ismail Al Adawiyah Al
Bashriyah Al Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95H/ 713M disuatu
perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185/801
M. Ia dilahirkan sebagai putri keempat, orang tuanya menamakan Rabiah. Kedua
orang tuannya meninggal ketika ia masih kecil. Konon pada saat perang di
basyrah, ia dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga atik dari suku Qais
Banu Adwah. Pada kelurga inilah, ia bekerja
keras, tetapi akhirnya dibebaskan lantaran melihat cahaya yang memancar
diatas kepala Rabiah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah.
Setelah dimerdekakan tuannya, Rabiah hidup menyendiri menjalani kehidupannya
sebagai seorang zahidah dan sufiah.Ia menjalani sisa hidupnya hanya beribadah
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai kekasihnya. Ia
memperbanyak tobat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan
menolak segala bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Bahkan, dalam
doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi. Pendapat ini
dipersoalkan oleh Badawi.Rabiah, menurutnya, sebelum bertobat, pernah menjalani
kehidupan duniawi.Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, rabiah tidak mendapatkan
jalan lain, kecuali menjadi penyanyi dan penari sehingga begitu terbenam dalam kehidupan
duniawi.Alasan badawi untuk menguatkan pendapatnya adalah intensitas tobat
rabiah itu sendiri. Menurut badawi, tidak mungkin iman dan kecintaan Rabiah
kepada Allah SWT begitu ekstremnya, kecuali jika ia pernah sedemikian jauh di
dalam menjalani dan mencintai kehidupan duniawinya.[6]
Kisah kehidupan dari Rabiah ini menunjukkan sebuah perilaku
mendekatkan diri kepada Allah dengan serta kekurangan materi di dunia. Namun,
kedekatan hari kepada sang Ilahi takkan mampu terbeli oleh uang. Beliau
mengajarkan dengan keterbatasan mampu mendekatkan diri kepada sang Pencipta,
dan tanpa memikirkan akan kekurangan di dunia ini. Karena sesungguhnya saat
manusia mendekat kepada Allah, maka dunia akan mengikutinya.
Rabi’ah
al-Adawiyah adalah sufipertama yang memperkenalkan
ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang
dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Sepanjang sejarahnya,
konsep Cinta Ilahi (Mahabbatullah) yang diperkenalkan Rabi’ah al-Adawiyah
ini telah banyak dibahas oleh berbagai kalangan. Sebab, konsep dan ajaran
Cinta Rabi’ah al-Adawiyah memiliki makna dan hakikat yang terdalam dari
sekadar Cinta itu sendiri. Bahkan, menurut kaum sufi, Mahabbatullah tak lain
adalah sebuah maqam (stasiun, atau jenjang yang harus dilalui oleh para
penempuh jalan Ilahi untuk mencapai ridla Allah dalam beribadah) bahkan
puncak dari semua maqam.[7]
ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang
dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Sepanjang sejarahnya,
konsep Cinta Ilahi (Mahabbatullah) yang diperkenalkan Rabi’ah al-Adawiyah
ini telah banyak dibahas oleh berbagai kalangan. Sebab, konsep dan ajaran
Cinta Rabi’ah al-Adawiyah memiliki makna dan hakikat yang terdalam dari
sekadar Cinta itu sendiri. Bahkan, menurut kaum sufi, Mahabbatullah tak lain
adalah sebuah maqam (stasiun, atau jenjang yang harus dilalui oleh para
penempuh jalan Ilahi untuk mencapai ridla Allah dalam beribadah) bahkan
puncak dari semua maqam.[7]
Dari ajaran Rabiah, terdapat suatu puncak maqam pada Allah, yaitu
bentuk kecintaan kepada Allah yang tidak mengharapkan balasan.Banyak tingkatan
– tingkatan mendekatkan diri kepada Allah, namun, kecintaan pada Allah yang diusung
oleh Rabiah merupakan puncak dari segala tingkatan.Hal ini dikarenakan hati
adalah sebuah rasa yang paling peka dan dekat dengan Allah. Sulit bagi orang
lain untuk memaksimalkan hati hanya pada Allah semata, sedangkan berbagai macam
ujian dating dan silih berganti. Namun, penekanan pada hati ini dijalankan oleh
Rabiah dan menjadi suri tauladan bagi keilmuan selanjutnya untuk dijadikan
sebuah ajaran yang menitikberatkan hati dan cinta kepada Allah tanpa harapan
akan balasan dari Allah.
Konsep
mahabbah yang dikemukakan oleh Rabi’ah al-‘Adawiyyah sangat istimewa sekali
karena ia memberikan contoh yang sangat menarik sekali kepada kita dan relevan
sepanjang masa bagaimana kita menyembah Allah swt dengan penuh ketulusan. Jadi,
pada saat ini umat Islam harus belajar dari seorang sufi wanita ini bagaimana
menyembah Allah SWT tanpa harus takut akan neraka dan mengharap surga serta
meraih kesenangan dunia semata, tetapi menyembah Allah swt dengan penuh
ketulusan mahabbah (cinta).[8]
Inti dari
mahabbah Rabiah ini adalah bentuk kecintaan kepada Allah tanpa memikirkan
kondisi buruk. Dikarenakan kondisi mahabbah ini menumbuhkan kesenangan kepada
Allah semata dan menjadikan hati teduh tanpa takut akan neraka, karena sudah
dekat dengan Allah, bukan dengan makhluk Allah lainnya. Contoh perempuan sufi
ini membuktikan betapa kuatnya cinta seorang sufi wanita kepada Allah, dan
menjalani kehidupan yang dipenuhi dengan kecintaan kepada Allah semata.
Rabi’ah
al-Adawiyah tokoh pertama dalam sejarah tasawuf yang diperkenalkan lewat
karangan - karangannya oleh orang Eropa.Legendanya dibawa oleh Joinville, Duta
Louis IX pada abad ke-13. Menurut Annimarie Schirumel,12, Rabi’ah al-Adawiyah
dipergunakan dalam sebuah risalah abad ke 17 di Perancis tentang cinta murni.
Ia adalah model cinta Ilahi, kisah tentangnya telah berulang kali diceritakan
kembali di Barat, gunanya yang terakhir terdengar dalam sebuah cerita pendek di
Jerman masa kini. Di samping itu, Rabi’ah juga menjadi subyek dari sebuah
biografi ilmiah yang terdapat dalam karangan Margaret Smith yang merupakan
sebuah karya yang memungkinkan untuk berkembang di masa yang akan datang.[9]
Kisah
Rabiah yang fenomenal tentang konsep cinta kepada Allah sangat diminati oleh
tokoh Eropa.Hal ini menjadi daya tarik untuk dijadikan sebagai ilmu cinta
murni.Bagaimana cinta itu ada dan bagaimana menyikapinya.Namun, menurut
penulis, konsep cinta ini adalah cinta yang ditujukan kepada Allah semata,
bukan kepada makhluk selain Allah.
Sarjana
lain dari Eropa yang menulis tentang Rabi’ah antara lain Masigon, A.J. Arbery,
Nicholson . Nama yang terakhir ini, misalnya member komentar bahwa Rabi‘ah
telah merintis jalan jalan sehingga membangkitkan minat orang terhadap
kehidupan sufi. Sementara penulis dari kalangan Timur (Islam) yang banyak
menulis kehidupan Rabi’ah antara lain : Fariduddin al-Attar, Muhammad Atiyah
Khamis, Abdul Mum’in.Jika para penulis sebagaimana tersebut di atas telah
mengungkap kehidupan dan ajaran Rabi’ah al-Adawiyah, maka penulis kali ini
ingin mengungkap tentang sisi syariah dari kehidupan Rabi’ah al-Adawiyah,
khususnya doktrin sufistik Rabi’ah berkaitan dengan doktrin syariah.[10]
Banyaknya
penulis yang mengusung ajaran Rabiah menambah suasana ajakan kepada ajaran Sufi
semakin besar. Dikarenakan ajaran yang dibawa oleh Rabiah adalah ajaran cinta
yang murni tanpa mengharap belas kasihan ataupun balasan dari sang Pencipta.
Hal ini diungkap pada ranah lain yang lebih syariah.
2.
Zun Nun
al-Mishri (180H-246H/ 798M-856M)
Zun Nun al-Mishri memiliki nama lengkap Abu al-Faid Tsauban
bin Ibrahim. Dilahirkan di salah satu kawasan di Mesir bernama Ekhmim pada
tahun 180 H(798M). Dan wafat pada tahun 246 H(856M). Julukan Dzu al-Nun diberikan kepadanya berhubungan
dengan berbagai kelebihan yang diberikan Allah kepadanya.
Posisi Al-Mushri dalam tasawuf dilihat penting karena dia
lah orang pertama di Mesir yang membicarakan masalah ahwal dan maqamat
para wali. Dia juga dipandang sebagai bapak faham ma’rifah.[11]
a)
Pemikiran Zun Nun al-Mishri
1)
Maqamat
Maqam dari segi bahasa berarti kedudukan,
tempat berpijak dua telapak kaki. Bentuk jamaknya adalah Maqamat. Dalam ilmu tasawuf, istilah
maqam mengandung arti “ kedudukan hamba dalam pandangan Allah, menurut apa yang
diusahakan berupa ibadah, latihan,dan perjuangan menuju Allah “Azza wa jalla”.
Dalam bahasa al-Thusi pendapat
al-Mishri tentang maqamat dikemukakan dalam beberapa hal yaitu: al-tawbah,
al-sabr,al tawakal, dan al-ridla.
Menurut Al-Mishri al-tawbah
dibedakan atas tiga tingkatan,yaitu:
(a)
Orang yang bertobat dari dosa dan
keburukannya.
(b)
Orang yang bertobat dari kelalaian
mengingat Allah.
(c)
Orang yang bertobat karena memandang
kebaikan dan ketaatannya.
Keterangan
Al-Mishri tentang al-sabr dikemukaan dalam bentuk kepingan dialong dari
sebuah riwayat. Berikut contoh ucapan Al-Mishri
selagi kedua tangan dan kaki nya dibelenggu sambil dibawa ke hadapan
penguasa dengan disaksikan oleh banyak orang. Ia berkata “ ini adalah salah
satu pemberian Tuhan dan Karunia-Nya, semua perbuatan Tuhan nikmat dan baik.”
Al
tawakal menurut
Al-Mishri adalah berhenti memikirkan diri sendiri dan tidak merasa memiliki
daya dan kekuatan.Intinya penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah disertai
perasaan tidak memiliki kekuatan.Sedangkan
al-ridla menurut Al-Mishri adalah kegembiraan hati karena
berlakunya ketentuan Tuhan.
2)
Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari hal,
yang dari segi bahasa berarti sifat dan keadaan sesuatu.“Hal” merupakan
pemberian yang berasal dari Tuhan kepada hamba-Nya yang dikendaki-Nya.[12]
Dalam bagian ini al-Mishri membahas tentang
cinta kepada Tuhan. Cinta kepada Tuhan oleh al-Mishri, dijadikan sebagai
pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf, karena ia melihat
sebagai dari tanda-tanda orang yang mencintai Allah dengan mengikuti kekasih
Allah, yakni Nabi dalam hal akhlak, perbuatan, segala perintah dan sunnahnya.
Artinya orang-orang yang mencintai Allah senantiasa mengikuti sunnah Rasul ,
tidak mengabaikan syariat.
3)
Ma’rifah
Ma’rifah secara etimologi berarti
pengetahuan atau mengetahui sesuatu yang seyakin-yakinnya.Sedangkan secara
terminologi ma’rifah adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati
sanubari dapat melihat Tuhan. Zun Nun al-Mishri di dalam kitabnya al-Qalam
‘alam al-Basmalah membagi ma’rifah atau pengetahuan menjadi tiga
klasifikasi. Pertama, ma’rifah tauhid yang dialami oleh orang-orang
awam.Kedua, ma’rifah alasan dan uraian mengenai Tuhan yang dialami oleh
ilmuan, filsuf,dan sastrawan. Ketiga, ma’rifat tentang sifat-sifat
keesaan dan ketunggalan Tuhan yang dialami oleh para wali dan para kekasih
Allah.[13]
Menurut Al-Mishri bahwa ma’rifat
hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari
mereka. Pengetahuan sejenis ini khusus diberikan Tuhan kepada kaum sufi. Ini
menjelaskan bahwa ma’rifah hanya diperoleh dari pemberian Tuhan,bukan
hasil pemikiran.[14]
3.
Al Junaid
(297H/ 910M)
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim
al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz al-Nihawandi, lahir di Wihawand,Irak. Menetap
di Bagdad dan meninggal di sini pada tahun 297H (910M). Dia adalah seorang faqih
dan juga seorang sufi yang cukup terkenal dengan keluasan wawasannya.
Al-Junaid
terkenal dengan konsep tauhidnya yang didasarkan kefanaan. Dimana
pemahaman akan hakikat Allah tidak akan dicapai dengan akal fikiran tetapi
melalui kefanaan yang mana kefanaan ini sendiri adalah pemberian
dari Tuhan. Kefanaan menurutnya adalah peniadaan diri dan segala sesuatu
kecuali Allah yang kemudian hidup dalam Dia (Allah) yang ia sebut dengan baqa’.
Perlu
diperhatikan disini bahwa Al-Junaid mengatakan: “Tauhid yang secara khusus
dianut oleh para sufi adalah pemisahan antara yang qadim dengan yang hulus”.
Dengan pemikiran seperti itu, Al-junaid dipandang sebagai orang yang
mendasarkan tasawuf kepada Al-qur’an dan Al-Sunnah.
Tentang apa yang dimaksud fana
oleh kaum sufi dapat berarti lenyapnya sifat-sifat manusia, akhlak yang
tercela,dan kejahilan dari diri seorang sufi kemudian kekalnya sifat-sifat
ketuhanan, akhlak yang mulia dan pengetahuan dalam dirinya. Fana juga
dapat berarti al-fana’ ‘am al-nafs yakni leburnya perasaan dan kesadaran
tentang adanya tubuh kasar seorang sufi, dimana wujud jasmani sudah dirasakan
tidak ada lagi pada kondisi ini yang tinggal
hanyalah wujud rohani dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan.
Dari penjelasan di atas terlihat
bahwa pembicaraa tentang fana berhubungan dengan baqa’ seekaligus
ittihad (persatuan manusia dengan Tuhan).
4.
Abu Abdul
Rahman al Sulami
Nama lengkap al-Sulami adalah Muhammad ibn Husain ibn Muhammad
ibn Musa al-Azdi yang bergelar Abu Abdul Rahman al-Sulami. Lahir tahun 325 H
dan wafat pada bulan Sya’ban 412 H / 1012 M. Dia pakar hadits, guru para sufi
dan pakar sejarah. Dia seorang Syeikh thariqah yang telah dianugerahi
penguasaan berbagai ilmu hakikat dan perjalanan tasawuf.Dia mengarang berbagai
kitab risalah dalam ilmu tasawuf setelah mewarisi ilmu tasawuf dari ayah dan
datuknya.Ayahnya, Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi, wafat 348 H/958 M,
ketika al-Sulami menginjak masa remaja.Kemudian pendidikannya diambil alih oleh
datuknya, Abu ‘Amr Ismail ibn Nujayd al-Sulami (w.360 H/971M).[15]
a)
Pemikiran
Manusia akan menjadi hamba sejati
kalau hamba tersebut sudah bebas / merdeka dari selain Tuhan. Kalau kehendak
hati sudah menyatu dengan kehendak Allah, maka apa saja yang dipilih Allah
untuknya, hati akan menerima tanpa menentang sedikitpun (qana’ah).[16]
Dalam konsep dzikir, al-Sulami
berpendapat bahwa perbandingan dzikir dan fikir adalah lebih sempurna dzikir, karena kebenaran (al-haq) itu
diberitakan oleh dzikir bukan oleh fikir dalam proses pembukaan
kerohanian. Ada beberapa tingkatan mengenai dzikir, yaitu dzikir lidah, dzikir
hati, dzikir sirr (rahasia), dan dzikir ruh.[17]
5.
Abu Yazid
al Bustami (874 – 947M)
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin
Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874-947 M. Nama
kecilnya adalah Thaifur .kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama
Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi penganut Islam di Bustam. Keluarga Abu
Yazid termasuk keluarga yang berada di daerahnya, tetapi Ia telah memilih hidup
yang sederhana. sejak dalam kandungan ibunya, Abu Yazid telah memiliki
keajaiban. kata ibunya, bayinya yang dalam kandungannya akan memberontak samai
muntah kalau sang ibu memakan makanan yang diragukan keharamannya.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi Sufi memerlukan waktu
puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih
dahulu telah menjadi seorang faqih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya
yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi.Ia mengajarkan kepada Abu Yazid Ilmu
Tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya. Hanya ajaran sufi Abu Yazid tidak
ditemukan dalam bentuk buku.
Dalam perjalanan kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid
mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya sedikit tidur, makan dan minum.
a)
Ajaran Tasawuf Abu Yazid Al-Bustami
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid
adalah fana’ dan baqa’.Dari segi bahasa fana’ berasal dari kata faniya
yang berarti musnah atau lenyap.Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya
diartikan sebagai keadaan moral yang luhur.Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana’
setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah.seperti
tampak dalam ceritanya,
“Setelah Allah menaksikan kesucian hatiku yang terdalam,
maka aku mendengar puas dari-Nya.maka, diriku dicap dengan keridhaan-Nya.
Mintalah kepada-Ku semua yang kau inginkan, kata-Nya.‘Engkaulah yang aku
inginkan,’jawabku, Karena Engkau lebih utama daripada anugerah, lebih besar
daripada kemurahan, dan melalui Engkau aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu.”[18]
Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid
dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan.Ia bertanya, “Bagaimana caranya agar
aku sampai kepada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (nafsu)mu dan
kemarilah.” Abu Yazid pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya,
“Aku tahu pada Tuhan melalui dirikuhingga aku fana’,
kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup”.
Adapun baqa’, berasal dari kata
baqiya , dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah akhlak
tasawuf, baqa’ berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah SWT . Paham
baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan paham fana’.Kedunya merupakan paham yang
berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’ , ketika itu juga ia
mengalami baqa’.
6.
Abu Mansur
al Hallaj (244 – 855M)
Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin
Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil di wilayah
Persia, pada tahun 244 H/ 855 M. Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat
Baghdad. Pada usia 16 tahun, ia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu,
yaitu Sahl bin Abdullah At-tusturi di Ahwaz. Dua tahun kemudian , ia pergi ke
Bashroh dan berguru pada ‘Amr Al-Maliki yang juga seorang sufi, dan pada tahun
878 M, Ia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada al-Junaid. Setelah itu ia
pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain. Ia diberi gelar al-Hallaj
karena penghidupannya yang diperoleh dari memintal wol.[19]
a)
Pemikiran
Di antara ajaran
Al-Hallaj yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat as-syudut
yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibnu
‘Arabi . Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan Tuhan (hulul).Kata
al-hulul, berdasarkan pengertian bahasa berarti menempati suatu tempat
.adapun menurut istilah ilmu tasawuf al-hulul berarti paham yang
mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil
tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu
dilenyapkan.
Menurut al-Hallaj, pada hulul terkandung
kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak Ilahi sehingga setiap kehendaknya
adlah kehendak Tuhan. Demikian juga tindakannya. Pada pihak lain, al-Hallaj
mengatakan,
“Barang siapa
yang mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun
kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, kafirlah ia. Sebab, Allah SWT mandiri
dalam Dzat maupun Sifat-Nya dari Dzat dan Sifat makhluk. Ia tidak sekali-kali
menyerupai makhluk-Nya dan merekapun tidak sekali-kali menyerupai-Nya,”
Dapat
ditarik kesimpulan bahwa hulul yang terjadi pada al-Hallaj tidaklah real
karena memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara Hamba dan Tuhan.
Dengan demikian, hulul yang terjadi hanya kesadaran psikis yang berlangsung
pada kondisi fana’, yaitu menurut ungkapannya, sekedar terlebarnya nasut dalam
lahut, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan, seperti dalam
syairnya, air tidak dapat menjadi anggur meskipun keduanya telah bercampur.
C.
Implikasinya Terhadap Masarakat
Pada
masyarakat Indonesia, implikasi ajaran Rabiah al Adawiyah terdapat pada Pondok
Pesantren Darul Ulum Serang, Cirebon.Ajaran ini dinamakan dengan ajaran
Thoriqoh Alawiyah, yang mengadopsi pada ajaran tasawuf Irfani Rabiah al
Adawiyah.
Thoriqoh
Alawiyyah adalah sebuah sistem kehidupan yang dijalani dan diajarkan oleh
keluarga Bani Alawi yang berdasar pada manhaj nubuwah yang diwarisi dari
datuknya Muhammad bin Abdillah (Rasulallah). Dan sistem tersebut pada
prinsipnya mengacu kepada dua hal, yaitu habblun minallah (hubungan
dengan Allah) dan hablun minannas (hubungan dengan sesama manusia).
Adapun sistem yang digunakan untuk melakukan hablun minallah adalah
dengan memperbanyak dzikir dan memperbanyak ibadah nafilah (sunnah)
disamping selalu menjaga ibadah yang wajib. Sedangkan sistem yang
digunakan untuk melakukan hablun minannas adalah membentuk perilaku manusia
dengan akhlak nubuwwah atau biasa dikenal dengan akhlakul karimah.[20]
Kata
“alawiyyah” diambil dari nama tokoh alawiyyin dan juga nenek moyang dari
keluarga Bani Alawi Al-Yamani. Beliau bernama Alwi bin Ubaidillah (Abdullah)
bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidi bin Ja’far Shodiq
bin Muhammad AlBaqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Fatimah Azzahro
bin Muhammad Rasulallah Saw.[21]
Thariqah Alawiyah Serang
Cirebon didirikan KH.Ali Fahmi Syarif pada tahun 1995.Ada pun sanad dari pendiri
thariqah alawiyyah di serang “KH. Ali Fahmi Syarif” dengan “Syekh Syarif
Hidayatullah” yaitu sebagai berikut :
Menurut pengamatan
thariqoh Alawiyyah apa yang dicetuskan Rabi’ah al-Adawiyah tentang mahabbah
tidak bertentangan dengan syari’ah, alasannya : Pertama, tidak mungkin
Rabi’ah bertentangan dengan syari’ah karena konsep mahabbah itu sendiri berdasarkan al-Qur’an dan Hadits, sebagaimana telah
disebutkan bahwa faktor utama yang mengantarkan Rabi’ah al-Adawiyah mencapai
tingkat ajaran cinta Ilahi (mahabbah) adalah ajaran Islam yang sudah
ditanamkan orang tuanya sejak kecil dan Rabi’ah sendiri termasuk aliran tasawuf
Sunni yang selalu merujuk pada al-Qur’an dan as-Sunnah atau dengan kata lain
Tasawuf aliran itu selalu bertandakan pertimbangan-pertimbangan Syari’ah.
Karena itu ada baiknya kita lihat beberapa dasar ajaran Cinta kepada Allah (mahabbah)
yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Kedua, Rabi’ah tidak kawin selama hidupnya bukan berarti mengingkari
doktrin syariah, yang di dalamnya mengatur urusan kawin, tetapi karena
kecintaan Rabi’ah kepada Allah begitu mendalam dan sudah mendarah daging,
seakan-akan tidak ada tempat yang lain dihatinya.Di dalam hatinya tiada lagi
ruang yang kosong untuk diisi rasa cinta, maupun rasa benci kepada selain-Nya.
Maka dengan kawin dikhawatirkan akan mengganggu proses rasa dekat dan cintanya
kepada Allah dan khawatir dengan kawin hanya akan membuat Ia untuk berbuat
tidak adil terhadap suami dan anak-anaknya, Ia tidak mampu memberikan perhatian
pada mereka, karena seluruh hatinya untuk Allah semata.
Ketiga, karena pengaruh kebiasaan rutin, terlihat sangat dominan dalam
proses kemantapan beragama yang dialami Rabi’ah. Rutinitas yang dijalani
Rabi’ah boleh jadi akan mendatangkan rahmat dan hidayat dari Tuhan sehingga ia
mendapatkan anugerah berupa kelezatan dalam beribadah.
Keempat, mahabbah yang dikembangkan oleh Rabi’ah telah mendorongnya untuk menempuh
arah baru dalam hidupnya sebagai jalan ijtihadnya.
Kelima, Rabiah al-Adawiyah telah menjadikan mahabbah sebagai
bentuk maqomnya untuk menghampiri Allah Swt. Mahabbah menurut KH.Ali
Fahmi Syarif ialah cinta kepada Allah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Tasawuf
irfani adalah tasawuf yang berusaha untuk mencari hakikat kebenaran dengan
melalui pemberian Allah secara langsung. Caranyayaitu melalui hati yang bersih/
suci agar mampu berserah kepada Allah melalui batin. Kecintaan kepada Allah
sangat diunggulkan pada ajaran tasawuf ini.
·
Tokoh
– tokoh tasawuf irfani yaitu Rabiah al Adawiyah, Zun Nun Mishri, al Junaid, Abu
Abdul Rahman al Sulami, Abu Yazid al Bustami, dan Abu Mansur al Hallaj.
·
Pada
masyarakat yang ditemui bahwa ajaran dari tasawuf Irfani diambil dari ajaran
Rabiah al Adawiyyah yang dianggap menyimpang dari syariah Islam. Diakrenakan ia
tidak mau menikah dan bermahabbah kepada Allah semata. Namun, menurut golongan
Tareqoh Alawiyyah, pemikiran Rabiah tidaklah menyimpang dikarenakan ia
meletakkan segala sesuatu pada al Qur’an dan Hadits. Sehingga Mahabbah
dijadikan maqam oleh Rabiah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
DAFTAR REFERENSI
Anwar, Rosihan.
2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia
Asmaran. 2003. Pengantar
tasawuf. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Hajam. 2012. pandangan Thoriqoh Alawiyah Ponpes Darul Ulum, Serang, Cirebon Terhadap
Eksistensi Syariah dalam tasawuf Irfani Rabiah al Adawiyah, (Holistik,
Vol.13 no.20)
Isnaini, M. Aji. 2012. Sastra Islam dan Mahabbah Konseb Al Hub Al
Ilahi Rabiah Al Adawiyah dan Pengaruhnya terhadap Tasawuf.Jurnal Wardah,
no.25 Th. XXIV)
Jamil, M. 2013. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Referensi
Jamil. 2013. Akhlak Tasawuf.
Medan:Referensi
Kafi, Jamaludin. 2003. Tasawuf
Kontemporer. Prenduan : al-Amin
Raizha, Gafna. 2003. Warisan Para Sufi.Yogyakarta: Pustaka
Sufi
Ruslin, Ris’an . 2013. Tasawuf dan Tarekat. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Saviri,Sara. 2000. Demikianlah
Kaum Sufi Berbicara.Bandung : Pustaka Budaya
Sholeh, Khudori .2013. Filsafat Islam Dari Klasik Hingga
Kontemporer. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Smith, Margaret.
1999. Rabi’ah : The Mystic and Fellow Saint In Islam, (Cambridge :
University Press, 1984), terj.Jamilah Baraja, Rabi’ah : Pergulatan Spiritual
Perempuan. Surabaya: Risalah Gusti
Solihin, M. 2008. Ilmu tasawuf.Bandung: Pustaka Setia
Syarif, Ali Fahmi.
2002. Terjemah Rotib Al Haddad. Ponpes Darul Ulum Cirebon
[1] Gafna Raizha, Warisan Para Sufi, (Yogyakarta: Pustaka
Sufi, 2003), hlm. 73
[2] M. Jamil, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Referensi,
2013), hlm. 117
[3] M. Solihin, Ilmu tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia,
2008), hlm. 145
[5] Khudori Sholeh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga
Kontemporer, (yogyakarta: Ar-Ruzz, 2013), h. 194
[6] Ris’an Ruslin, Tasawuf dan Tarekat, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2013), hlm. 54 – 59
[7]M. Aji Isnaini, Sastra Islam dan Mahabbah Konseb Al Hub Al
Ilahi Rabiah Al Adawiyah dan Pengaruhnya terhadap Tasawuf. (JurnalWardah, no.25 Th. XXIV, Desember
2012), Hlm. 193
[9]Margaret
Smith, Rabi’ah : The Mystic and Fellow Saint In Islam, (Cambridge :
University Press, 1984), terj.Jamilah Baraja, Rabi’ah : Pergulatan Spiritual
Perempuan, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999)
[10] Hajam, pandangan Thoriqoh Alawiyah Ponpes Darul
Ulum, Serang, Cirebon Terhadap Eksistensi Syariah dalam tasawuf Irfani Rabiah
al Adawiyah, (Holistik, Vol.13 no.2, Desember 2012), Hlm. 77
[11] Jamil, Akhlak
Tasawuf, (Medan:Referensi,2013)
hlm.121-122
[12]Ris’an Ruslin, Op.
Cit, Hlm. 61
[14] Jamil, Op. Cit,
Hlm.123
[15] Jamaludin Kafi, Tasawuf
Kontemporer, (Prenduan : al-Amin, 2003), Hlm. 10-11
[16] Sara Saviri, Demikianlah
Kaum Sufi Berbicara, (Bandung : Pustaka Budaya,2000), Hlm.23
[17] Asmaran, Pengantar
tasawuf, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,2003), Hlm. 258
[18]Rosihan
anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010) , hlm. 267
[21]
Ibid, hlm. 3 – 4
No comments:
Post a Comment