Saturday, July 20, 2019

EPISTIMOLOGI IRFANI


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Usaha mendekatkan diri kepada Allah sangatlah penting.Dimana manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah semata.Ajaran demi ajaran telah tertuang dalam al Qur’an yang mana mengajarkan kehidupan kepada manusia.
Dalam perkembangannya, usaha – usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah bermacam – macam.Mulai dari beribadah rutin dan tidak menduakan Allah, dari menyendiri agar terhindar dari urusan duniawi, dan lain sebagainya.Ajaran demi ajaran terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
Banyak tokoh – tokoh ilmuan muslim yang berhasil memberikan sebuah cahaya ilmu agar mampu mendekatkan diri kepada Allah. Salah satunya adalah tasawuf.Dimana kita dihadapkan pada kenyataan bahwa berserah kepada Allah dan menyerahkan segala sesuatu hanya pada Allah semata. Tidak menggebu – gebu akan urusan duniawi, melainkan menggebu – gebu akan kasih dari Allah. Hal ini memicu sebuah pemikiran untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa adanya unsur duniawi.
Banyak tasawuf yang berkembang, namun pada bahasan kali ini, akan difokuskan pada Konsep Tasawuf Irfani. Yang mana akan membahas bagaimana tasawuf Irfani tersebut, siapa tokohnya dan implikasinya terhadap masyarakat bagaimana.
Pada bahasan kali ini, penulis mengambil sebuah pandangan dari Pondok Pesantren Darul Ulum, Serang, Cirebon.Yang mana disana terdapat ajaran Alawiyah yang diadopsi dari sebuah pemikiran Rabiah al Adawiyah tentang cinta kepada Allah dan menjadikannya sebuah ajaran yang diamalkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.Hanya kepada Allahlah cinta itu berpihak dan tiada cinta selain Allah.



B.     Rumusan Masalah
1.        Apa yang disebut dengan konsep tasawuf Irfani?
2.        Siapa tokoh – tokoh dalam tasawuf Irfani?
3.        Bagaimana implikasi ajaran Rabiah al Adawiyah terhadap masyarakat?

C.    Tujuan
1.        Untuk memahami apa yang dimaksud dengan konsep tasawuf Irfani
2.        Untuk mengetahui tokoh – tokoh dalam tasawuf Irfani
3.        Untuk mengetahui bagaimana implikasi ajaran Rabiah al Adawiyah terhadap masyarakat


BAB II
KAJIAN TEORI

A.    Pengertian Tasawuf Irfani
Tasawuf Irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat yang diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberian Tuhan secara langsung (mauhibah).[1]
Tasawuf irfani adalah penyikapan hakikat kebenaran atau ma’rifah kepada Allah tidak di peroleh secara logika atau pembelajaran atau pemikiran tetapi melalui hati yang bersih (suci).Yang denganya seseorang dapat berdialog secara batin dengan Allah, sehingga pengetahuan atau ma’rifah dimasukkan Allah ke dalam hatinya, hakikat kebenaran pun tersikap lewat ilham.[2]
Secara etimologis, kata ‘irfan merupakan kata jadian (mashdar) dari kata ‘arafa’ (mengenal/pengenalan).Secara terminologis, ‘irfan diidentikkan dengan makrifat sufstik.Orang yang ‘irfan makrifat kepada Allah adalah benar-benar mengenal Allah melalui dzauq dan kasyf (ketersimpangan).[3]
Ahli ‘irfan adalah yang bermakfirat kepada Allah.Sifat melekatyang tampak pada diri seseorang ‘arif (yang bermakfirat kepaad Allah), dan menjadi hal baginya. Ibn ‘Arabi berkata, “ ‘Arif adalah seseorang yang memperoleh penampakan Tuhan sehingga pada dirinya tampak kondisi-kondisi hati tertentu (ahwal).[4]
Dalam versi yang hampir sama, Soleh menjelaskan, irfani berasal dari bahasa arab, yaitu dari kalimat ‘arofa semakna dengan ma’rifat yang berarti pengetahuan. Secara terminologis, irfani bisa diartikan sebagai penyatu ungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (kasyaf) setelah adanya olah ruhani (riyadah) yang dilakukan atas dasar cinta (love).[5]
Dari pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian tasawuf Irfani adalah sebuah pendekatan hamba kepada Allah secara total dengan meninggalkan duniawi dan fokus pada mendekatkan diri kepada Allah. Dalam proses mendekatkan diri kepada Allah ini, akan muncul suatu kondisi hati dan fenomena yang lain terkait dengan kondisi – kondisi mendekatkan diri kepada Allah.
Tentunya dalam tasawuf ini, adanya persiapan yang mantap dari orang yang akan menjalani ajaran ini, dan mempersiapkan diri untuk mampu menerima apa yang diberikan oleh Allah melalu pengetahuan langsung dari Allah. Bisa diperoleh dari perjalanan spiritual ataupun dari kondisi – kondisi batin tertentu.Adapun ajaran tasawuf ini dikembangkan atau dipelopori oleh seorang wanita yang di Irak, yaitu Rabiah al Adawiyah.Beliau disebut juga sebagai Ibu para Sufi Besar. Tasawuf yang ia usung mengangkat tentang Cinta kepada Allah. Sejalan dengan tuntunan tasawuf irfani itu sendiri yang merupakan pengetahuan atas Allah melalui olah rohani yang didasarkan pada cinta kepadanya. Berikut akan membahas mengenai tokoh – tokoh tasawuf Irfani.

B.     Tokoh – Tokoh Irfani
1.        Rabiah al Adawiyah  (95 H/ 713 M)
Nama lengkap Rabiah adalah Rabiah bin Ismail Al Adawiyah Al Bashriyah Al Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95H/ 713M disuatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185/801 M. Ia dilahirkan sebagai putri keempat, orang tuanya menamakan Rabiah. Kedua orang tuannya meninggal ketika ia masih kecil. Konon pada saat perang di basyrah, ia dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga atik dari suku Qais Banu Adwah. Pada kelurga inilah, ia bekerja  keras, tetapi akhirnya dibebaskan lantaran melihat cahaya yang memancar diatas kepala Rabiah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah. Setelah dimerdekakan tuannya, Rabiah hidup menyendiri menjalani kehidupannya sebagai seorang zahidah dan sufiah.Ia menjalani sisa hidupnya hanya beribadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai kekasihnya. Ia memperbanyak tobat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Bahkan, dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi. Pendapat ini dipersoalkan oleh Badawi.Rabiah, menurutnya, sebelum bertobat, pernah menjalani kehidupan duniawi.Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, rabiah tidak mendapatkan jalan lain, kecuali menjadi penyanyi dan penari sehingga begitu terbenam dalam kehidupan duniawi.Alasan badawi untuk menguatkan pendapatnya adalah intensitas tobat rabiah itu sendiri. Menurut badawi, tidak mungkin iman dan kecintaan Rabiah kepada Allah SWT begitu ekstremnya, kecuali jika ia pernah sedemikian jauh di dalam menjalani dan mencintai kehidupan duniawinya.[6]
Kisah kehidupan dari Rabiah ini menunjukkan sebuah perilaku mendekatkan diri kepada Allah dengan serta kekurangan materi di dunia. Namun, kedekatan hari kepada sang Ilahi takkan mampu terbeli oleh uang. Beliau mengajarkan dengan keterbatasan mampu mendekatkan diri kepada sang Pencipta, dan tanpa memikirkan akan kekurangan di dunia ini. Karena sesungguhnya saat manusia mendekat kepada Allah, maka dunia akan mengikutinya.
Rabi’ah al-Adawiyah adalah sufipertama yang memperkenalkan
ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang
dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Sepanjang sejarahnya,
konsep Cinta Ilahi (Mahabbatullah) yang diperkenalkan Rabi’ah al-Adawiyah
ini telah banyak dibahas oleh berbagai kalangan. Sebab, konsep dan ajaran
Cinta Rabi’ah al-Adawiyah memiliki makna dan hakikat yang terdalam dari
sekadar Cinta itu sendiri. Bahkan, menurut kaum sufi, Mahabbatullah tak lain
adalah sebuah maqam (stasiun, atau jenjang yang harus dilalui oleh para
penempuh jalan Ilahi untuk mencapai ridla Allah dalam beribadah) bahkan
puncak dari semua maqam.[7]
Dari ajaran Rabiah, terdapat suatu puncak maqam pada Allah, yaitu bentuk kecintaan kepada Allah yang tidak mengharapkan balasan.Banyak tingkatan – tingkatan mendekatkan diri kepada Allah, namun, kecintaan pada Allah yang diusung oleh Rabiah merupakan puncak dari segala tingkatan.Hal ini dikarenakan hati adalah sebuah rasa yang paling peka dan dekat dengan Allah. Sulit bagi orang lain untuk memaksimalkan hati hanya pada Allah semata, sedangkan berbagai macam ujian dating dan silih berganti. Namun, penekanan pada hati ini dijalankan oleh Rabiah dan menjadi suri tauladan bagi keilmuan selanjutnya untuk dijadikan sebuah ajaran yang menitikberatkan hati dan cinta kepada Allah tanpa harapan akan balasan dari Allah.
Konsep mahabbah yang dikemukakan oleh Rabi’ah al-‘Adawiyyah sangat istimewa sekali karena ia memberikan contoh yang sangat menarik sekali kepada kita dan relevan sepanjang masa bagaimana kita menyembah Allah swt dengan penuh ketulusan. Jadi, pada saat ini umat Islam harus belajar dari seorang sufi wanita ini bagaimana menyembah Allah SWT tanpa harus takut akan neraka dan mengharap surga serta meraih kesenangan dunia semata, tetapi menyembah Allah swt dengan penuh ketulusan mahabbah (cinta).[8]
Inti dari mahabbah Rabiah ini adalah bentuk kecintaan kepada Allah tanpa memikirkan kondisi buruk. Dikarenakan kondisi mahabbah ini menumbuhkan kesenangan kepada Allah semata dan menjadikan hati teduh tanpa takut akan neraka, karena sudah dekat dengan Allah, bukan dengan makhluk Allah lainnya. Contoh perempuan sufi ini membuktikan betapa kuatnya cinta seorang sufi wanita kepada Allah, dan menjalani kehidupan yang dipenuhi dengan kecintaan kepada Allah semata.
Rabi’ah al-Adawiyah tokoh pertama dalam sejarah tasawuf yang diperkenalkan lewat karangan - karangannya oleh orang Eropa.Legendanya dibawa oleh Joinville, Duta Louis IX pada abad ke-13. Menurut Annimarie Schirumel,12, Rabi’ah al-Adawiyah dipergunakan dalam sebuah risalah abad ke 17 di Perancis tentang cinta murni. Ia adalah model cinta Ilahi, kisah tentangnya telah berulang kali diceritakan kembali di Barat, gunanya yang terakhir terdengar dalam sebuah cerita pendek di Jerman masa kini. Di samping itu, Rabi’ah juga menjadi subyek dari sebuah biografi ilmiah yang terdapat dalam karangan Margaret Smith yang merupakan sebuah karya yang memungkinkan untuk berkembang di masa yang akan datang.[9]
Kisah Rabiah yang fenomenal tentang konsep cinta kepada Allah sangat diminati oleh tokoh Eropa.Hal ini menjadi daya tarik untuk dijadikan sebagai ilmu cinta murni.Bagaimana cinta itu ada dan bagaimana menyikapinya.Namun, menurut penulis, konsep cinta ini adalah cinta yang ditujukan kepada Allah semata, bukan kepada makhluk selain Allah.
Sarjana lain dari Eropa yang menulis tentang Rabi’ah antara lain Masigon, A.J. Arbery, Nicholson . Nama yang terakhir ini, misalnya member komentar bahwa Rabi‘ah telah merintis jalan jalan sehingga membangkitkan minat orang terhadap kehidupan sufi. Sementara penulis dari kalangan Timur (Islam) yang banyak menulis kehidupan Rabi’ah antara lain : Fariduddin al-Attar, Muhammad Atiyah Khamis, Abdul Mum’in.Jika para penulis sebagaimana tersebut di atas telah mengungkap kehidupan dan ajaran Rabi’ah al-Adawiyah, maka penulis kali ini ingin mengungkap tentang sisi syariah dari kehidupan Rabi’ah al-Adawiyah, khususnya doktrin sufistik Rabi’ah berkaitan dengan doktrin syariah.[10]
Banyaknya penulis yang mengusung ajaran Rabiah menambah suasana ajakan kepada ajaran Sufi semakin besar. Dikarenakan ajaran yang dibawa oleh Rabiah adalah ajaran cinta yang murni tanpa mengharap belas kasihan ataupun balasan dari sang Pencipta. Hal ini diungkap pada ranah lain yang lebih syariah.
2.        Zun Nun al-Mishri (180H-246H/ 798M-856M)
Zun Nun al-Mishri memiliki nama lengkap Abu al-Faid Tsauban bin Ibrahim. Dilahirkan di salah satu kawasan di Mesir bernama Ekhmim pada tahun 180 H(798M). Dan wafat pada tahun 246 H(856M). Julukan  Dzu al-Nun diberikan kepadanya berhubungan dengan berbagai kelebihan yang diberikan Allah kepadanya.
Posisi Al-Mushri dalam tasawuf dilihat penting karena dia lah orang pertama di Mesir yang membicarakan masalah ahwal dan maqamat para wali. Dia juga dipandang sebagai bapak faham  ma’rifah.[11]
a)        Pemikiran Zun Nun al-Mishri
1)      Maqamat
Maqam dari segi bahasa berarti kedudukan, tempat berpijak dua telapak kaki. Bentuk jamaknya adalah  Maqamat. Dalam ilmu tasawuf, istilah maqam mengandung arti “ kedudukan hamba dalam pandangan Allah, menurut apa yang diusahakan berupa ibadah, latihan,dan perjuangan menuju Allah “Azza wa jalla”.
Dalam bahasa al-Thusi pendapat al-Mishri tentang maqamat dikemukakan dalam beberapa hal yaitu: al-tawbah, al-sabr,al tawakal, dan al-ridla.
Menurut Al-Mishri al-tawbah dibedakan atas tiga tingkatan,yaitu:
(a)    Orang yang bertobat dari dosa dan keburukannya.
(b)   Orang yang bertobat dari kelalaian mengingat Allah.
(c)    Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.
Keterangan Al-Mishri tentang al-sabr dikemukaan dalam bentuk kepingan dialong dari sebuah riwayat. Berikut contoh ucapan Al-Mishri  selagi kedua tangan dan kaki nya dibelenggu sambil dibawa ke hadapan penguasa dengan disaksikan oleh banyak orang. Ia berkata “ ini adalah salah satu pemberian Tuhan dan Karunia-Nya, semua perbuatan Tuhan nikmat dan baik.”
Al tawakal menurut Al-Mishri adalah berhenti memikirkan diri sendiri dan tidak merasa memiliki daya dan kekuatan.Intinya penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah disertai perasaan tidak memiliki kekuatan.Sedangkan  al-ridla menurut Al-Mishri adalah kegembiraan hati karena berlakunya ketentuan Tuhan.
2)      Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari hal, yang dari segi bahasa berarti sifat dan keadaan sesuatu.“Hal” merupakan pemberian yang berasal dari Tuhan kepada hamba-Nya yang dikendaki-Nya.[12]
Dalam bagian ini al-Mishri membahas tentang cinta kepada Tuhan. Cinta kepada Tuhan oleh al-Mishri, dijadikan sebagai pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf, karena ia melihat sebagai dari tanda-tanda orang yang mencintai Allah dengan mengikuti kekasih Allah, yakni Nabi dalam hal akhlak, perbuatan, segala perintah dan sunnahnya. Artinya orang-orang yang mencintai Allah senantiasa mengikuti sunnah Rasul , tidak mengabaikan syariat.
3)      Ma’rifah
Ma’rifah secara etimologi berarti pengetahuan atau mengetahui sesuatu yang seyakin-yakinnya.Sedangkan secara terminologi ma’rifah adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Zun Nun al-Mishri di dalam kitabnya al-Qalam ‘alam al-Basmalah membagi ma’rifah atau pengetahuan menjadi tiga klasifikasi. Pertama, ma’rifah tauhid yang dialami oleh orang-orang awam.Kedua, ma’rifah alasan dan uraian mengenai Tuhan yang dialami oleh ilmuan, filsuf,dan sastrawan. Ketiga, ma’rifat tentang sifat-sifat keesaan dan ketunggalan Tuhan yang dialami oleh para wali dan para kekasih Allah.[13]
Menurut Al-Mishri bahwa ma’rifat hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Pengetahuan sejenis ini khusus diberikan Tuhan kepada kaum sufi. Ini menjelaskan bahwa ma’rifah hanya diperoleh dari pemberian Tuhan,bukan hasil pemikiran.[14]
3.        Al Junaid (297H/ 910M)
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz al-Nihawandi, lahir di Wihawand,Irak. Menetap di Bagdad dan meninggal di sini pada tahun 297H (910M). Dia adalah seorang faqih dan juga seorang sufi yang cukup terkenal dengan keluasan wawasannya.
Al-Junaid terkenal dengan konsep tauhidnya yang didasarkan kefanaan. Dimana pemahaman akan hakikat Allah tidak akan dicapai dengan akal fikiran tetapi melalui kefanaan yang mana kefanaan ini sendiri adalah pemberian dari Tuhan. Kefanaan menurutnya adalah peniadaan diri dan segala sesuatu kecuali Allah yang kemudian hidup dalam Dia (Allah) yang ia sebut dengan baqa’.
Perlu diperhatikan disini bahwa Al-Junaid mengatakan: “Tauhid yang secara khusus dianut oleh para sufi adalah pemisahan antara yang qadim dengan yang hulus”. Dengan pemikiran seperti itu, Al-junaid dipandang sebagai orang yang mendasarkan tasawuf kepada Al-qur’an dan Al-Sunnah.
Tentang apa yang dimaksud fana oleh kaum sufi dapat berarti lenyapnya sifat-sifat manusia, akhlak yang tercela,dan kejahilan dari diri seorang sufi kemudian kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang mulia dan pengetahuan dalam dirinya. Fana juga dapat berarti al-fana’ ‘am al-nafs yakni leburnya perasaan dan kesadaran tentang adanya tubuh kasar seorang sufi, dimana wujud jasmani sudah dirasakan tidak ada lagi pada kondisi ini yang tinggal  hanyalah wujud rohani dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa pembicaraa tentang fana berhubungan dengan baqa’ seekaligus ittihad (persatuan manusia dengan Tuhan).


4.        Abu Abdul Rahman al Sulami
Nama lengkap al-Sulami adalah Muhammad ibn Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi yang bergelar Abu Abdul Rahman al-Sulami. Lahir tahun 325 H dan wafat pada bulan Sya’ban 412 H / 1012 M. Dia pakar hadits, guru para sufi dan pakar sejarah. Dia seorang Syeikh thariqah yang telah dianugerahi penguasaan berbagai ilmu hakikat dan perjalanan tasawuf.Dia mengarang berbagai kitab risalah dalam ilmu tasawuf setelah mewarisi ilmu tasawuf dari ayah dan datuknya.Ayahnya, Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi, wafat 348 H/958 M, ketika al-Sulami menginjak masa remaja.Kemudian pendidikannya diambil alih oleh datuknya, Abu ‘Amr Ismail ibn Nujayd al-Sulami (w.360 H/971M).[15]
a)        Pemikiran
Manusia akan menjadi hamba sejati kalau hamba tersebut sudah bebas / merdeka dari selain Tuhan. Kalau kehendak hati sudah menyatu dengan kehendak Allah, maka apa saja yang dipilih Allah untuknya, hati akan menerima tanpa menentang sedikitpun (qana’ah).[16]
Dalam konsep dzikir, al-Sulami berpendapat bahwa perbandingan dzikir dan fikir adalah lebih sempurna dzikir, karena kebenaran (al-haq) itu diberitakan oleh dzikir bukan oleh fikir dalam proses pembukaan kerohanian. Ada beberapa tingkatan mengenai dzikir, yaitu dzikir lidah, dzikir hati, dzikir sirr (rahasia), dan dzikir ruh.[17]
5.        Abu Yazid al Bustami (874 – 947M)
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874-947 M. Nama kecilnya adalah Thaifur .kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi penganut Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada di daerahnya, tetapi Ia telah memilih hidup yang sederhana. sejak dalam kandungan ibunya, Abu Yazid telah memiliki keajaiban. kata ibunya, bayinya yang dalam kandungannya akan memberontak samai muntah kalau sang ibu memakan makanan yang diragukan keharamannya.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi Sufi memerlukan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang faqih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi.Ia mengajarkan kepada Abu Yazid Ilmu Tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya. Hanya ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku.
Dalam perjalanan kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya sedikit tidur, makan dan minum.
a)        Ajaran Tasawuf Abu Yazid Al-Bustami
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’.Dari segi bahasa fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap.Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur.Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana’ setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah.seperti tampak dalam ceritanya,
“Setelah Allah menaksikan kesucian hatiku yang terdalam, maka aku mendengar puas dari-Nya.maka, diriku dicap dengan keridhaan-Nya. Mintalah kepada-Ku semua yang kau inginkan, kata-Nya.‘Engkaulah yang aku inginkan,’jawabku, Karena Engkau lebih utama daripada anugerah, lebih besar daripada kemurahan, dan melalui Engkau aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu.”[18]
Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan.Ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai kepada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (nafsu)mu dan kemarilah.” Abu Yazid pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya,
“Aku tahu pada Tuhan melalui dirikuhingga aku fana’, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup”.
Adapun baqa’, berasal dari kata baqiya , dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah akhlak tasawuf, baqa’ berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah SWT . Paham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan paham fana’.Kedunya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’ , ketika itu juga ia mengalami baqa’.
6.        Abu Mansur al Hallaj (244 – 855M)
Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/ 855 M. Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Pada usia 16 tahun, ia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin Abdullah At-tusturi di Ahwaz. Dua tahun kemudian , ia pergi ke Bashroh dan berguru pada ‘Amr Al-Maliki yang juga seorang sufi, dan pada tahun 878 M, Ia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada al-Junaid. Setelah itu ia pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain. Ia diberi gelar al-Hallaj karena penghidupannya yang diperoleh dari memintal wol.[19]
a)        Pemikiran
Di antara ajaran Al-Hallaj yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat as-syudut yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud  (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibnu ‘Arabi . Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan Tuhan (hulul).Kata al-hulul, berdasarkan pengertian bahasa berarti menempati suatu tempat .adapun menurut istilah ilmu tasawuf al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Menurut al-Hallaj, pada hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak Ilahi sehingga setiap kehendaknya adlah kehendak Tuhan. Demikian juga tindakannya. Pada pihak lain, al-Hallaj mengatakan,
“Barang siapa yang mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, kafirlah ia. Sebab, Allah SWT mandiri dalam Dzat maupun Sifat-Nya dari Dzat dan Sifat makhluk. Ia tidak sekali-kali menyerupai makhluk-Nya dan merekapun tidak sekali-kali menyerupai-Nya,”
Dapat ditarik kesimpulan bahwa hulul yang terjadi pada al-Hallaj tidaklah real karena memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara Hamba dan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang terjadi hanya kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana’, yaitu menurut ungkapannya, sekedar terlebarnya nasut dalam lahut, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan, seperti dalam syairnya, air tidak dapat menjadi anggur meskipun keduanya telah bercampur.
C.    Implikasinya Terhadap Masarakat
Pada masyarakat Indonesia, implikasi ajaran Rabiah al Adawiyah terdapat pada Pondok Pesantren Darul Ulum Serang, Cirebon.Ajaran ini dinamakan dengan ajaran Thoriqoh Alawiyah, yang mengadopsi pada ajaran tasawuf Irfani Rabiah al Adawiyah.
Thoriqoh Alawiyyah adalah sebuah sistem kehidupan yang dijalani dan diajarkan oleh keluarga Bani Alawi yang berdasar pada manhaj nubuwah yang diwarisi dari datuknya Muhammad bin Abdillah (Rasulallah). Dan sistem tersebut pada prinsipnya mengacu kepada dua hal, yaitu habblun minallah (hubungan dengan Allah) dan hablun minannas (hubungan dengan sesama manusia). Adapun sistem yang digunakan untuk melakukan hablun minallah adalah dengan memperbanyak dzikir dan memperbanyak ibadah nafilah (sunnah) disamping selalu menjaga ibadah yang wajib. Sedangkan sistem yang digunakan untuk melakukan hablun minannas adalah membentuk perilaku manusia dengan akhlak nubuwwah atau biasa dikenal dengan akhlakul karimah.[20]
Kata “alawiyyah” diambil dari nama tokoh alawiyyin dan juga nenek moyang dari keluarga Bani Alawi Al-Yamani. Beliau bernama Alwi bin Ubaidillah (Abdullah) bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidi bin Ja’far Shodiq bin Muhammad AlBaqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Fatimah Azzahro bin Muhammad Rasulallah Saw.[21]
Thariqah Alawiyah Serang Cirebon didirikan KH.Ali Fahmi Syarif pada tahun 1995.Ada pun sanad dari pendiri thariqah alawiyyah di serang “KH. Ali Fahmi Syarif” dengan “Syekh Syarif Hidayatullah” yaitu sebagai berikut :
Menurut pengamatan thariqoh Alawiyyah apa yang dicetuskan Rabi’ah al-Adawiyah tentang mahabbah tidak bertentangan dengan syari’ah, alasannya : Pertama, tidak mungkin Rabi’ah bertentangan dengan syari’ah karena konsep mahabbah itu sendiri berdasarkan al-Qur’an dan Hadits, sebagaimana telah disebutkan bahwa faktor utama yang mengantarkan Rabi’ah al-Adawiyah mencapai tingkat ajaran cinta Ilahi (mahabbah) adalah ajaran Islam yang sudah ditanamkan orang tuanya sejak kecil dan Rabi’ah sendiri termasuk aliran tasawuf Sunni yang selalu merujuk pada al-Qur’an dan as-Sunnah atau dengan kata lain Tasawuf aliran itu selalu bertandakan pertimbangan-pertimbangan Syari’ah. Karena itu ada baiknya kita lihat beberapa dasar ajaran Cinta kepada Allah (mahabbah) yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Kedua, Rabi’ah tidak kawin selama hidupnya bukan berarti mengingkari doktrin syariah, yang di dalamnya mengatur urusan kawin, tetapi karena kecintaan Rabi’ah kepada Allah begitu mendalam dan sudah mendarah daging, seakan-akan tidak ada tempat yang lain dihatinya.Di dalam hatinya tiada lagi ruang yang kosong untuk diisi rasa cinta, maupun rasa benci kepada selain-Nya. Maka dengan kawin dikhawatirkan akan mengganggu proses rasa dekat dan cintanya kepada Allah dan khawatir dengan kawin hanya akan membuat Ia untuk berbuat tidak adil terhadap suami dan anak-anaknya, Ia tidak mampu memberikan perhatian pada mereka, karena seluruh hatinya untuk Allah semata.
Ketiga, karena pengaruh kebiasaan rutin, terlihat sangat dominan dalam proses kemantapan beragama yang dialami Rabi’ah. Rutinitas yang dijalani Rabi’ah boleh jadi akan mendatangkan rahmat dan hidayat dari Tuhan sehingga ia mendapatkan anugerah berupa kelezatan dalam beribadah.
Keempat, mahabbah yang dikembangkan oleh Rabi’ah telah mendorongnya untuk menempuh arah baru dalam hidupnya sebagai jalan ijtihadnya.
Kelima, Rabiah al-Adawiyah telah menjadikan mahabbah sebagai bentuk maqomnya untuk menghampiri Allah Swt. Mahabbah menurut KH.Ali Fahmi Syarif ialah cinta kepada Allah.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
·           Tasawuf irfani adalah tasawuf yang berusaha untuk mencari hakikat kebenaran dengan melalui pemberian Allah secara langsung. Caranyayaitu melalui hati yang bersih/ suci agar mampu berserah kepada Allah melalui batin. Kecintaan kepada Allah sangat diunggulkan pada ajaran tasawuf ini.
·           Tokoh – tokoh tasawuf irfani yaitu Rabiah al Adawiyah, Zun Nun Mishri, al Junaid, Abu Abdul Rahman al Sulami, Abu Yazid al Bustami, dan Abu Mansur al Hallaj.
·           Pada masyarakat yang ditemui bahwa ajaran dari tasawuf Irfani diambil dari ajaran Rabiah al Adawiyyah yang dianggap menyimpang dari syariah Islam. Diakrenakan ia tidak mau menikah dan bermahabbah kepada Allah semata. Namun, menurut golongan Tareqoh Alawiyyah, pemikiran Rabiah tidaklah menyimpang dikarenakan ia meletakkan segala sesuatu pada al Qur’an dan Hadits. Sehingga Mahabbah dijadikan maqam oleh Rabiah untuk mendekatkan diri kepada Allah.


DAFTAR REFERENSI
Anwar, Rosihan. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia
Asmaran. 2003. Pengantar tasawuf. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Hajam. 2012. pandangan Thoriqoh Alawiyah Ponpes Darul Ulum, Serang, Cirebon Terhadap Eksistensi Syariah dalam tasawuf Irfani Rabiah al Adawiyah, (Holistik, Vol.13 no.20)
Isnaini, M. Aji. 2012. Sastra Islam dan Mahabbah Konseb Al Hub Al Ilahi Rabiah Al Adawiyah dan Pengaruhnya terhadap Tasawuf.Jurnal Wardah, no.25 Th. XXIV)
Jamil, M. 2013. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Referensi
Jamil. 2013. Akhlak Tasawuf. Medan:Referensi
Kafi, Jamaludin. 2003. Tasawuf Kontemporer. Prenduan : al-Amin
Raizha, Gafna. 2003. Warisan Para Sufi.Yogyakarta: Pustaka Sufi
Ruslin, Ris’an . 2013. Tasawuf dan Tarekat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Saviri,Sara. 2000. Demikianlah Kaum Sufi Berbicara.Bandung : Pustaka Budaya
Sholeh, Khudori .2013. Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Smith, Margaret. 1999. Rabi’ah : The Mystic and Fellow Saint In Islam, (Cambridge : University Press, 1984), terj.Jamilah Baraja, Rabi’ah : Pergulatan Spiritual Perempuan. Surabaya: Risalah Gusti
Solihin, M. 2008. Ilmu tasawuf.Bandung: Pustaka Setia
Syarif, Ali Fahmi. 2002. Terjemah Rotib Al Haddad. Ponpes Darul Ulum Cirebon



[1] Gafna Raizha, Warisan Para Sufi, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), hlm. 73
[2] M. Jamil, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Referensi, 2013), hlm. 117
[3] M. Solihin, Ilmu tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 145
[4]Ibid, hlm. 117
[5] Khudori Sholeh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer, (yogyakarta: Ar-Ruzz, 2013), h. 194
[6] Ris’an Ruslin, Tasawuf dan Tarekat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 54 – 59
[7]M. Aji Isnaini, Sastra Islam dan Mahabbah Konseb Al Hub Al Ilahi Rabiah Al Adawiyah dan Pengaruhnya terhadap Tasawuf. (JurnalWardah, no.25 Th. XXIV, Desember 2012), Hlm. 193
[8]Ibid, hlm.197
[9]Margaret Smith, Rabi’ah : The Mystic and Fellow Saint In Islam, (Cambridge : University Press, 1984), terj.Jamilah Baraja, Rabi’ah : Pergulatan Spiritual Perempuan, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999)
[10] Hajam, pandangan Thoriqoh Alawiyah Ponpes Darul Ulum, Serang, Cirebon Terhadap Eksistensi Syariah dalam tasawuf Irfani Rabiah al Adawiyah, (Holistik, Vol.13 no.2, Desember 2012), Hlm. 77
[11] Jamil, Akhlak Tasawuf, (Medan:Referensi,2013)  hlm.121-122
[12]Ris’an Ruslin, Op. Cit, Hlm. 61
[13]Ibid, hlm. 63
[14] Jamil, Op. Cit, Hlm.123
[15] Jamaludin Kafi, Tasawuf Kontemporer, (Prenduan : al-Amin, 2003),  Hlm. 10-11
[16] Sara Saviri, Demikianlah Kaum Sufi Berbicara, (Bandung : Pustaka Budaya,2000), Hlm.23
[17] Asmaran, Pengantar tasawuf, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,2003), Hlm. 258
[18]Rosihan anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010) , hlm. 267
[19]Ibid, hlm. 267
[20]Ali Fahmi Syarif, Terjemah Rotib Al Haddad, Ponpes Darul Ulum Cirebon, 2002, Hlm. 3 – 4
[21] Ibid, hlm. 3 – 4

No comments:

Post a Comment