DAULAH ISLAMIYAH
A. Pendahuluan
Segala puji bagi
Allah Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam untuk rosulullah SAW, keluarga,
para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti ajaran beliau sampai hari akhir.
Dalam pembahasan tentang daulah islamiyah adalah suatu masalah yang kurang
populer di kalangan kebanyakan kaum muslimin belakangan ini. Kaum muslimin
kurang memberikan perhatian terhadap persoalan yang cukup signifikan ini,
dibandingkan dengan perhatiannya terhadap berbagai persoalan lain, seperti fiqh
ibadah, fiqh muamalah, fiqh munakahat yang setiap saat di bahas secara luas dan
mendalam. Generasi sekarang belum pernah menyaksikan Daulah Islam yang menerapkan
Islam. Begitu pula generasi yang hidup pada akhir masa Daulah Islam (Daulah
Utsmaniyah) yang berhasil diruntuhkan Barat. Mereka hanya dapat menyaksikan
sisa-sisa negara tersebut dengan secuil sisa-sisa Pemerintahan Islam.
Daulah Islam
bukanlah khayalan seseorang yang tengah bermimpi, sebab terbukti telah memenuhi
pentas sejarah selama 13 abad. Ini adalah kenyataan. Keberadaan Daulah Islam
merupakan sebuah kenyataan di masa lalu dan akan menjadi kenyataan pula di masa
depan, tidak lama lagi. Sebab, faktor-faktor yang mendukung keberadaannya jauh
lebih kuat untuk diingkari oleh jaman atau lebih kuat untuk ditentang. Saat ini
telah banyak orang-orang yang berpikiran cemerlang. Mereka itu adalah bagian
umat Islam yang sangat haus akan kejayaan Islam.
Daulah Islam bukan
sekadar harapan yang dipengaruhi hawa nafsu, tetapi kewajiban yang telah Allah
tetapkan kepada kaum Muslim. Allah memerintahkan mereka untuk menegakkannya dan
mengancam mereka dengan siksa-Nya jika mengabaikan pelaksanaannya. Bagaimana mereka
mengharapkan ridha Allah, sementara kemuliaan di negeri mereka bukan milik
Allah, Rasul-Nya, dan kaum Muslim? Bagaimana mereka akan selamat dari
siksa-Nya, sementara mereka tidak menegakkan negara yang mempersiapkan pasukan,
menjaga daerah-daerah perbatasan, melaksanakan hudud Allah dan menerapkan
pemerintahan dengan segala hal yang telah Allah turunkan?
Karena itu, wajib
atas kaum Muslim menegakkan Daulah Islam, sebab Islam tidak akan terwujud
dengan bentuk yang berpengaruh kecuali dengan adanya negara. Demikian juga,
negeri-negeri mereka tidak dapat dianggap sebagai Negara Islam kecuali jika
Daulah Islam yang menjalankan roda pemerintahannya. Daulah Islam semacam ini,
bukan sesuatu yang mudah (diwujudkan) dengan sekadar mengangkat para menteri baik
dari individu atau partai lalu mereka
menjadi bagian dalam struktur pemerintahan. Sesungguhnya jalan menuju tegaknya
Daulah Islam dihampari onak dan duri, penuh dengan berbagai resiko, dan
kesulitan. Belum lagi adanya tsaqafah non-Islam, yang akan menyulitkan; adanya pemikiran
dangkal yang akan menjadi penghalang; dan pemerintahan yang tunduk pada Barat,
yang membahayakan. Sesungguhnya orang-orang yang meniti jalan dakwah Islam
untuk mewujudkan Daulah Islam; mereka lakukan itu untuk meraih pemerintahan,
yang akan mereka gunakan sebagai thariqah dalam melanjutkan kehidupan Islam di
negeri-negeri Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Buku Daulah Islam
ini tidak dimaksudkan untuk menceritakan sejarah Daulah Islam, melainkan untuk
menggambarkan kepada masyarakat bagaimana Rasul saw. mendirikan Daulah Islam.
Juga, bagaimana orang kafir penjajah itu telah menghancurkan Daulah Islam dan
bagaimana kaum Muslim menegakkan kembali Daulah Islam agar dapat mengembalikan
cahaya bagi dunia yang menerangi jalan petunjuk dalam kegelapan.
B.
Subtansi kajian
1.
Pengertian Daulah Islamiyah.
Daulah Islamiyah
adalah daulah berbasis akidah dan pemikiran, daulah yang didirikan pada
landasan akidah dan sistem, bukan sekedar “perangkat proteksi” yang menjaga
umat dari agresi dari dalam maupun infasi dari luar. Tetapi tugas daulah yang
paling mendalam dan yang paling besar adlah mengajari dan mendidik umat
berdasarkan ajaran dan prinsip-prinsip Islam, menciptakan iklim yang baik agar
akidah Islam dapat menjadi panutan bagi setiap orang yang mencari petunjuk dan
menjadi hujjah bagi setiap orang yang sudah berjalan di atas petunjuk.
Slogan daulah Islamiyah adalah seperti
yang dinyatakan Rab’y bin Amir di hadapan Rustum, pemimpin Persi, “Sesungguhnya
Allah mengutus kami untuk mengeluarkan manusia dari penyembahan terhadap
manusia kepada Allah semata, dan kesempitan dunia kepada keluasannya, dari
kelaliman berbagai macam agama kepada keadilan Islam.”[1]
Tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh
Negara islam adalah mempertahankan keselamatan dan integritas Negara,
memelihara terlaksananya undang-undang dan ketertiban serta membangun Negara
itu sehingga setiap warganegaranya menyadari kemamuan-kemampuannya dan mau
menyumbangkan kemampuan-kemampuannya itu demi kesejahteraan seluruh warga
Negara.[2]
2.
Kedudukan Negara Dalam Pandangan Islam
Penjajah barat yang
menguasai berbagai negeri islam berhasil menanamkan dalam benak kaum muslimin
konsep barat yang keji tentang agama, yang mengatakan: islam adalah agama bukan Negara. Yang
dimaksud dengan agama disini adalah sesuai dengan pemahaman barat. Apapun berbagai
persoalan Negara tidak ada hubungannya denganagama. Berbagai masaah Negara
hanya ditata dengan akal manusia saja, sesuai dengan pengalaman, situasi dan
kondisinya yang selalu berkembang.
Bagaimanapun,
penjajahan telah berhasil menciptakan beberapa kelompok orang yang meyakini
bahwa agama tidak punya tempat dalm mengarahkan dan menata Negara, bahwa agama
adalah sesuatu dan politik adala sesuatu yang lain, dan bahwa hal ini berlaku
terhadap islam sebagaimana telah berlaku terhadap agama Kristen. Di antara
semboyan sesat yang tesebar luas adalah: “Agama urusan Allah dan tanah air
urusan semua”. Ungkaan ini kelihatannya benar, tapi yan dimaksud dengannya
adalah kebatilan, dan bisa dibolak-balik sesuai dengan kepentingan. Sehingga
dapat kita katakana: Agama urusan Allah dan tanah air juga urusan Allah. Atau
agama urusan semua dan tanah air juga urusan semua. Atau agama urusan semua dan
tanah air urusan Allah!
Yang mereka maksud
dengan ungkapan “agama urusan Allah adalah bahwa agama hanya sekedar hubungan
antara dhahir (perasaan) manusia dengan Rabbnya, dan tidak ada tempat
baginya dalam system kehidupan dan social.
Negara islam adalah
“Negara yang berlandaskan akidah dan pemikiran”. Suatu Negara ditegakkan
berdasarkan akidah dan system, bukan hanya sebagai sarana keamanan yang
menjamin keamanan masyarakat dari serangan luar maupun dalam. Bahkan tugas
Negara adalah mendidik ummt dengan berbagai jalan dan prinsip islam, menyiapkan
situasi yang cocok untuk mentransformasikan akidah, pemikiran, dan ajaran islm
ke dalam kehidupan praktis.hal itu akan menjadi suri tauladan bagi mereka yang
mencari petunjuk dan menjadi pedoman bagi mereka yang menempuh jalan yang
sesat. Karena itu ibn kholdun memberikan definisi kekuasaan sebagai berikut; “mengarahkan
semua orng sesuai dengan konsep syariat demi kebaikan dunia dan akhirat mereka.
Menurut pandangan pembuat syari’at, seluruh kepentingan duniawi harus dinilai
dengan kepentingan ukhrawi. Kekuasaan itu pada dasarnya merupakan pengganti
dari pemilik legislasi (Allah) untuk menjaga agama dan melindungi kepentingan
dinia.”
Karena itu pula
Allah berfirman ketika Dia mengukuhkan kekuasaan orng-orng mukmin di muka bumi.
Dengan kata in ketika mereka mempunyai Negara:
“(yaitu) orang-orang yang jika kami
teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat,
menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ru dan mencegah dari perbuatan
munkar...” (al-Hijj:41).
Semboyan Negara islam adalah seperti yang
diungkapkan Rib’I bin Amir kepada Rustum, panglima Persia: “ sesungguhnya
Allah mengutus kami untuk mengeuarkan manusia dari menyembah sesama kepada
menyembah Allah saja, dari kesempitan dunia kepada kelapangannya, dari
kezaliman berbagai agama kepada keadilan islam.”
3.
Sistem Ekonomi dalam Daulah Islamiyah
Asas
yang dipergunakan dalam membangun sistem ekonomi dalam negara Islam berdiri di
atas tiga kaidah: kepemilikan (al-milkiyah), pengelolaan (tasharruf), serta
distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Adapun yang terkait dengan
politik ekonomi Islam adalah jaminan terpenuhinya pemuasan semua kebutuhan
primer (al-hajat al-asasiyah) tiap-tiap individu dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sekunder dan luksnya (al-hajat al-kamaliyah) sesuai kadar
kemampuannya sebagai individu rakyat di negara Islam. Dengan demikian, politik
ekonomi Islam tidak sekadar meningkatkan taraf hidup dalam sebuah negara semata
yang didasarkan pada pertumbuhan pendapatan nasional, lebih dari itu dasar
penentuan politik ekonomi Islam adalah pendistribusian kekayaan agar
terpenuhinya semua kebutuhan primer bagi tiap individu rakyat, baik Muslim
maupun non Muslim (ahlu dzimmah) dan menjadikan masing-masing individu mampu
memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan luksnya, bukan pada pertumbuhan
kekayaan.
Kepemilikan (al-milkiyah) dalam Islam adalah izin syara' untuk memiliki harta kepada seseorang atau institusi tertentu. Jadi, harta kekayaan dapat dimiliki seseorang atau institusi apabila syariat Islam membolehkan untuk memilikinya. Dengan demikian, harta kekayaan sebenarnya adalah milik Allah Swt semata. Hanya masalahnya, Allah Swt telah menyerahkan harta kekayaan tersebut kepada manusia untuk diatur dan dibagikan. Karena itu sebenarnya manusia telah diberi hak untuk memilikinya sesuai dengan yang telah ditentukan oleh syara'. Maka, manusia esensinya hanya diberi istikhlaf (wewenang untuk menguasai) hak milik tersebut, bukan sebagai kepemilikan yang bersifat fi'liyah (riil).
Kepemilikan (al-milkiyah) dalam Islam adalah izin syara' untuk memiliki harta kepada seseorang atau institusi tertentu. Jadi, harta kekayaan dapat dimiliki seseorang atau institusi apabila syariat Islam membolehkan untuk memilikinya. Dengan demikian, harta kekayaan sebenarnya adalah milik Allah Swt semata. Hanya masalahnya, Allah Swt telah menyerahkan harta kekayaan tersebut kepada manusia untuk diatur dan dibagikan. Karena itu sebenarnya manusia telah diberi hak untuk memilikinya sesuai dengan yang telah ditentukan oleh syara'. Maka, manusia esensinya hanya diberi istikhlaf (wewenang untuk menguasai) hak milik tersebut, bukan sebagai kepemilikan yang bersifat fi'liyah (riil).
Syara'
telah menjelaskan bahwa kepemilikian (al-milkiyah) terbagi tiga: pertama,
kepemilikan individu yaitu hukum syara' yang berlaku bagi zat atau kegunaan
(utility) tertentu yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk
dimiliki atau memanfaatkan barang tersebut. Dan ini bisa diperoleh melalui
bekerja, warisan, hibah dan sebagainya. Kedua, kepemilikan umum yaitu izin
As-Syari' kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda tersebut.
Benda ini seperti fasilitas umum, barang tambang yang tidak terbatas, dan
sumber daya alam seperti air, api dan hutan. Ketiga, kepemilikan negara yaitu
harta negara yang pengelolaannya menjadi wewenang kepala negara Islam
(selanjutnya khalifah). Harta ini seperti fa'i, jizyah, kharaj, dharibah,
usyur, khumus dan sebagainya.
Adapun
pengelolaan (tasharruf) adalah hak pengelolaan yang sebenarnya merupakan
konsekuensi dari hukum syara' dengan adanya kebolehan bagi pemiliknya untuk
memanfaatkan, sekaligus memperoleh kompensasi karena adanya pemanfaatan
tersebut. Sehingga, hak mengelola zat benda yang dimiliki juga mencakup hak
untuk mengelolanya dalam rangka mengembangkan kepemilikan benda tersebut,
termasuk hak untuk mengelolanya dengan cara menafkahkan, baik karena hubungan
seperti hadiah, hibah, dan wasiat maupun karena menjadi suatu nafkah seperti
ayah terhadap anaknya.
Distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat adalah politik ekonomi negara Islam agar keseimbangan ekonomi rakyat bisa merata dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Islam telah mewajibkan sirkulasi kekayaan terjadi pada semua anggota masyarakat, dan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang saja. Allah Swt berfirman:
Distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat adalah politik ekonomi negara Islam agar keseimbangan ekonomi rakyat bisa merata dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Islam telah mewajibkan sirkulasi kekayaan terjadi pada semua anggota masyarakat, dan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang saja. Allah Swt berfirman:
ös1 w tbqä3t P's!rß tû÷üt/ Ïä!$uÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4
"supaya harta itu jangan hanya beredar di
antara orang-orang kaya saja di antara kamu."
(QS. Al-Hasyr: 7).
Karena
itu, khalifah harus menciptakan keseimbangan ekonomi tersebut dengan menyuplai
rakyat yang fakir dengan harta yang diambil dari baitul mal (kas Negara).
Sehingga, dengan suplai tersebut bisa diwujudkan keseimbangan ekonomi dan
kemaslahatan umum.[3]
Bahwa
fenomena bobroknya sirkulasi kekayaan di antara individu dengan jelas dan
gamblang di berbagai negara merupakan sebuah fakta yang terjadi, yang
kesemuanya tadi ditunjukkan oleh kenyataan hidup sehari-hari yang tidak perlu
lagi banyak argumentasi. Begitu pula kesenjangan yang lebar, yang dialami oleh
manusia dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tidak perlu lagi dijelaskan
kerawanan dan absurditasnya.
Orang-orang
Kapitalis telah berusaha memecahkan problem tersebut, tetapi tidak berhasil.
Para ahli ekonomi Kapitalis ketika membahas teori tentang distribusi
pendapatan, begitu mengabaikan buruknya distribusi pendapatan personal, bahkan
mereka hanya memaparkan perhitungan-perhitungan tanpa memberikan solusi yang
mendalam. Begitu pula dengan orang-orang Sosialis. Mereka tidak menemukan cara
untuk memecahkan masalah buruknya distribusi itu, selain hanya membatasi hak
milik dengan cara memberangus hak milik itu. Sehingga, orang-orang Sosialis
akhirnya memberikan solusi dengan melarang hak milik itu.
Sementara
Islam, justru telah menjamin distribusi tersebut dengan baik, yaitu dengan
menentukan tata cara pemilikan, tata cara mengelola kepemilikan, serta
menyuplai orang yang tidak sanggup mencukupi kebutuhan-kebutuhannya dengan
harta yang bisa menjamin hidupnya sebanding dengan sesamanya dalam komunitas
masyarakat. Hal ini dalam rangka mewujudkan keseimbangan dalam memenuhi
kebutuahn-kebutuhannya di antara sesamanya. Dengan demikian, Islam telah
memecahkan masalah buruknya distribusi kekayaan tersebut.
Oleh
karena itu, hanya negara Islam yang mampu mewujudkan sistem ekonomi syariah
secara kaaffah. Karena itu, merupakan kesalahan yang fatal apabila sistem
ekonomi syariah Islam dipisahkan dari negara Islam. Sebab, hal semacam itu
tentu akan menyebabkan kesalahan dalam memahami masalah-masalah ekonomi yang
ingin dipecahkan, bahkan akan menyebabkan buruknya pemahaman terhadap
faktor-faktor produksi yang menghasilkan kekayaan dalam suatu negara. Ekonomi
Islam hanya akan mungkin berhasil jika diterapkan dalam negara Islam yang
menerapkan Islam secara kaaffah. Sebab, sistem kehidupan Islam itu bersifat
integral dan saling melengkapi.
4.
Tujuan Ekonomi Islam
Segala aturan
yang diturunkan Allah swt dalam system Islam mengarah pada tercapainya
kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan,
dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi,
tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.[4]
Seorang fuqaha
asal Mesir bernama Prof. Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum
Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat
manusia, yaitu:
1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi
masyarakat dan lingkungannya.
2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek
kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa
maslahah yang menjad puncak sasaran di atas mencakup lima jaminan dasar:
a. Keselamatan keyakinan agama (al din)
b. Kesalamatan jiwa (al nafs)
c. Keselamatan akal (al aql)
d. Keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
e. Keselamatan harta benda (al mal)
5.
Prinsip-Prinsip
Ekonomi Islam
Secara garis
besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
a. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah
swt kepada manusia.
b. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
c. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
d. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh
segelintir orang saja.
e. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan
untuk kepentingan banyak orang.
f. Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat
nanti.
g. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
h. Islam melarang riba dalam segala bentuk.[5]
6.
Prinsip Sistem
Ekonomi Islam
Prinsip sistem
ekonomi Islam ada 2 (dua), yaitu: Pertama, Prinsip umum, yaitu Aqidah Islamiyah
yang menjadi landasan pemikiran (al-qa’idah fikriyah) bagi segala pemikiran
Islam, seperti sistem ekonomi Islam, sistem politik Islam, sistem pendidikan
Islam, dan sebagainya. Aqidah Islamiyah di sini dipahami bukan sekedar sebagai
Aqidah Ruhiyah (aqidah spiritual), yakni aqidah yang menjadi landasan
aktivitas-aktivitas spiritual murni seperti ibadah, namun juga sebagai Aqidah
Siyasiyah (aqidah politis), yakni aqidah yang menjadi landasan untuk mengelola
segala aspek kehidupan manusia tanpa kecuali termasuk ekonomi.
Kedua, prinsip
khusus (cabang), yaitu sejumlah kaidah umum dan mendasar dalam Syariah Islam
yang lahir dari Aqidah Islam, yang secara khusus menjadi landasan bangunan
sistem ekonomi Islam. Prinsip khusus ini terdiri dari tiga asas (pilar), yaitu:
(1) kepemilikan (al-milkiyah) sesuai syariah, (2) pemanfaatan
kepemilikan (tasharruf fi al-milkiyah) sesuai syariah, dan (3)
distribusi kekayaan kepada masyarakat (tauzi’ al-tsarwah baina al-nas),
melalui mekanisme syariah.
Dalam sistem
ekonomi Islam, tiga asas tersebut tidak boleh tidak harus terikat dengan
syariah Islam, sebab segala aktivitas manusia (termasuk juga kegiatan ekonomi)
wajib terikat atau tunduk kepada syariah Islam. Sesuai kaidah syariah, Al-Ashlu
fi al-af’âl al-taqayyudu bi al-hukm al-syar’i (Prinsip dasar mengenai
perbuatan manusia, adalah wajib terikat dengan syariah Islam).[6]
Prinsip sistem
ekonomi Islam tersebut bertentangan secara kontras dengan prinsip sistem
ekonomi kapitalisme saat ini, yaitu sekularisme. Aqidah Islamiyah sebagai
prinsip umum ekonomi Islam menerangkan bahwa Islam adalah agama dan sekaligus
ideologi sempurna yang mengatur segala asek kehidupan tanpa kecuali, termasuk aspek
ekonomi. [7]
Dalam hal ini Allah swt berfirman:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ÍÌYÏø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ èps)ÏZy÷ZßJø9$#ur äosqè%öqyJø9$#ur èptÏjutIßJø9$#ur èpysÏܨZ9$#ur !$tBur @x.r& ßìç7¡¡9$# wÎ) $tB ÷Läêø©.s $tBur yxÎ/è n?tã É=ÝÁZ9$# br&ur (#qßJÅ¡ø)tFó¡s? ÉO»s9øF{$$Î/ 4 öNä3Ï9ºs î,ó¡Ïù 3 tPöquø9$# }§Í³t tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. `ÏB öNä3ÏZÏ xsù öNèdöqt±ørB Èböqt±÷z$#ur 4 tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYÏ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYÏ 4 Ç`yJsù §äÜôÊ$# Îû >p|ÁuKøxC uöxî 7#ÏR$yftGãB 5OøO\b} ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÈ
”Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah,[8]
daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas,
kecuali yang sempat kamu menyembelihnya,[9]
dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga)
mengundi nasib dengan anak panah,[10]
(mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini[11]
orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa
terpaksa[12] karena kelaparan
tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
(QS. Al-Ma’idah: 3)
Prinsip Islam
ini berbeda dengan prinsip sistem ekonomi kapitalisme, yaitu sekularisme
(pemisahan agama dari kehidupan).1) Paham sekularisme lahir sebagai jalan
tengah di antara dua kutub ekstrem, yaitu di satu sisi pandangan Gereja dan
para raja Eropa bahwa semua aspek kehidupan harus ditundukkan di bawah dominasi
Gereja. Di sisi lain ada pandangan para filosof dan pemikir (seperti Voltaire,
Montesquieu) yang menolak eksistensi Gereja. Jadi, sekularisme sebagai jalan tengah
pada akhirnya tidak menolak keberadaan agama, namun hanya membatasi perannya
dalam mengatur kehidupan. Agama hanya ada di gereja, sementara dalam kehidupan
publik seperti aktivitas ekonomi, politik, dan sosial, tidak lagi diatur oleh
agama.[13]
Selanjutnya,
karena agama sudah disingkirkan dari arena kehidupan, lalu siapa yang membuat
peraturan kehidupan? Jawabnya adalah: manusia itu sendiri, bukan Tuhan, karena
Tuhan hanya boleh berperan di bidang spiritual (gereja). Lalu agar manusia
bebas merekayasa kehidupan tanpa kekangan Tuhan, maka manusia harus diberi
kebebasan (freedom/al-hurriyat) yaitu; kebebasan beragama (hurriyah
al-aqidah), kebebasan berpendapat (hurriyah al-ra`yi), kebebasan
berperilaku (al-hurriyah al-syahshiyah), dan kebebasan kepemilikan (hurriyah
al-tamalluk). Bertitik tolak dari kebebasan kepemilikan inilah, lahir
sistem ekonomi kapitalisme. Dari tinjauan historis dan ideologis ini jelas
pula, bahwa prinsip sistem ekonomi kapitalisme adalah sekularisme.
Sekularisme ini
pula yang mendasari prinsip cabang kapitalisme lainnya, yaitu prinsip yang
berkaitan dengan kepemilikan, pemanfaatan kepemilikan, dan distribusi kekayaan
(barang dan jasa) kepada masyarakat. Semuanya dianggap lepas atau tidak boleh
disangkutpautkan dengan agama.
Berdasarkan
sekularisme yang menafikan peran agama dalam ekonomi, maka dalam masalah
kepemilikan, kapitalisme memandang bahwa asal usul adanya kepemilikan suatu
barang adalah terletak pada nilai manfaat (utility) yang melekat pada barang
itu, yaitu sejauh mana ia dapat memuaskan kebutuhan manusia. Jika suatu barang
mempunyai potensi dapat memuaskan kebutuhan manusia, maka barang itu sah untuk
dimiliki, walaupun haram menurut agama, misalnya babi, minuman keras, dan
narkoba. Ini berbeda dengan ekonomi Islam, yang memandang bahwa asal usul
kepemilikan adalah adanya izin dari Allah swt (idzn Asy-Syâri’) kepada
manusia untuk memanfaatkan suatu benda. Jika Allah mengizinkan, berarti boleh
dimiliki. Tapi jika Allah tidak mengizinkan (yaitu mengharamkan sesuatu)
berarti barang itu tidak boleh dimiliki. Maka babi dan minuman keras tidak
boleh diperdagangkan karena keduanya telah diharamkan Allah, yaitu telah
dilarang kepemilikannya bagi manusia muslim.
Dalam masalah
pemanfaatan kepemilikan, kapitalisme tidak membuat batasan tatacaranya (kaifiyah-nya)
dan tidak ada pula batasan jumlahnya (kamiyah-nya). Sebab pada dasarnya
sistem ekonomi kapitalisme adalah cermin dari paham kekebasan (freedom/liberalism)
di bidang pemanfaatan hak milik. Maka seseorang boleh memiliki harta dalam
jumlah berapa saja dan diperoleh dengan cara apa saja. Walhasil tak heran di
Barat dibolehkan seorang bekerja dalam usaha perjudian dan pelacuran.
Sedangkan
ekonomi Islam, menetapkan adanya batasan tatacara (kaifiyah-nya), tapi
tidak membatasi jumlahnya (kamiyah-nya). Tatacara itu berupa hukum-hukum
syariah yang berkaitan dengan cara pemanfaatan (tasharruf) harta, baik
pemanfaatan yang berupa kegiatan pembelanjaan (infaqul mâl), seperti
nafkah, zakat, shadaqah, dan hibah, maupun berupa pengembangan harta (tanmiyatul
mal), seperti jual beli, ijarah, syirkah, shina’ah (industri), dan
sebagainya. Seorang muslim boleh memiliki harta berapa saja, sepanjang
diperoleh dan dimanfaatkan sesuai syariah Islam. Maka dalam masyarakat Islam
tidak akan diizinkan bisnis perjudian dan pelacuran, karena telah diharamkan
oleh syariah.
Dalam masalah distribusi
kekayaan, kapitalisme menyerahkannya kepada mekanisme pasar, yaitu melalui
mekanisme harga keseimbangan yang terbentuk akibat interaksi penawaran (supply)
dan permintaan (demand). Harga berfungsi secara informasional, yaitu
memberi informasi kepada konsumen mengenai siapa yang mampu memperoleh atau
tidak memperoleh suatu barang atau jasa. Karena itulah peran negara dalam
distribusi kekayaan sangat terbatas. Negara tidak banyak campur tangan dalam
urusan ekonomi, misalnya dalam penentuan harga, upah, dan sebagainya. Metode
distribusi ini terbukti gagal, baik dalam skala nasional maupun internasional.
Kesenjangan kaya miskin sedemikian lebar.
Sedikit orang
kaya telah menguasai sebagian besar kekayaan, sementara sebagian besar manusia
hanya menikmati sisa-sisa kekayaan yang sangat sedikit. Dalam ekonomi Islam,
distribusi kekayaan terwujud melalui mekanisme syariah, yaitu mekanisme yang
terdiri dari sekumpulan hukum syariah yang menjamin pemenuhan barang dan jasa
bagi setiap individu rakyat. Mekanisme syariah ini terdiri dari mekanisme
ekonomi dan mekanisme non-ekonomi.
Mekanisme
ekonomi adalah mekanisme melalui aktivitas ekonomi yang bersifat produktif,
berupa berbagai kegiatan pengembangan harta (tanmiyatul mal) dalam
akad-akad muamalah dan sebab-sebab kepemilikan (asbab at-tamalluk).[14]
Mekanisme ini, misalnya ketentuan syariah yang: (1) membolehkan manusia bekerja
di sektor pertanian, industri, dan perdagangan; (2) memberikan kesempatan
berlangsungnya pengembangan harta (tanmiyah mal) melalui kegiatan investasi,
seperti dengan syirkah inan, mudharabah, dan sebagainya; dan (3) memberikan
kepada rakyat hak pemanfaatan barang-barang (SDA) milik umum (al-milkiyah
al-amah) yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang tambang, minyak,
listrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat. [15]
Sedang
mekanisme non-ekonomi, adalah mekanisme yang berlangsung tidak melalui
aktivitas ekonomi yang produktif, tetapi melalui aktivitas non-produktif.
Misalnya dengan jalan pemberian (hibah, shadakah, zakat, dan lain-lain) atau
warisan. Mekanisme non-ekonomi dimaksudkan untuk melengkapi mekanisme ekonomi,
yaitu untuk mengatasi distribusi kekayaan yang tidak berjalan sempurna jika
hanya mengandalkan mekanisme ekonomi semata, baik yang disebabkan adanya sebab
alamiah seperti bencana alam dan cacat fisik, maupun sebab non-alamiah,
misalnya penyimpangan mekanisme ekonomi (seperti penimbunan).
Mekanisme
non-ekonomi bertujuan agar di tengah masyarakat segera terwujud keseimbangan (al-tawazun)
ekonomi, dan memperkecil jurang perbedaan antara yang kaya dan yang miskin.
Mekanisme ini dilaksanakan secara bersama dan sinergis antara individu dan
negara.
Mekanisme
non-ekonomi ada yang bersifat positif (ijabiyah) yaitu berupa perintah
atau anjuran syariah, seperti: (1) pemberian harta negara kepada warga negara
yang dinilai memerlukan, (2) pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki
kepada para mustahik, (3) pemberian infaq, sedekah, wakaf, hibah dan hadiah
dari orang yang mampu kepada yang memerlukan, dan (4) pembagian harta waris
kepada ahli waris, dan lain-lain.
Ada pula yang
mekanisme yang bersifat negatif (salbiyah) yaitu berupa larangan atau cegahan
syariah, misalnya (1) larangan menimbun harta benda (uang, emas, dan perak)
walaupun telah dikeluarkan zakatnya; (2) larangan peredaran kekayaan di satu pihak
atau daerah tertentu; (3) larangan kegiatan monopoli serta berbagai penipuan
yang dapat mendistorsi pasar; (4) larangan judi, riba, korupsi, pemberian suap
dan hadiah kepada para penguasa; yang ujung-ujungnya menyebabkan penumpukan
harta hanya di tangan orang kaya atau pejabat.
7.
Kontrol dalam Sistem Ekonomi Islam
Alat-alat
atau lembaga-lembaga kontrol dalam sistem ekonomi Islam dapat diringkas sebagai
berikut :
a. Kekuasaan al-Hisbah (wilayah al-hisbah). Hisbah adalah menyuruh
kepada kebaikan jika terbukti kebaikan ditinggalkan, dan melarang dari
kemungkaran jika terbukti kemungkaran diketrjakan. Al-Muhtasib (hakim hisbah) melakukan kontrol
terhadap pasar, timbangan, takaran, dan penipuan di pasar dan tempat-tempat
umum serta memonitor berbagai pelanggaaran lainnya. Kewajiban hisbah bagi
muhtasib adalah fardhu ‘Ain.[16]
b. Kekuasaan peradilan (wilayah al-qadha`).
Peradilan menyelesaikan semua perselisihan termasuk perselisihan finansial dan
ekonomi yang kadang muncul dalam muamalah keseharian masyarakat.
c. Berbagai biro (diwan). Yaitu berbagai alat
untuk mengontrol dan mengaudit aliran harta di Baitul Mal yang terkait dengan
harta zakat, harta negara, dan harta yang termasuk kepemilikan umum. Biro
tersebut menangani kontrol terhadap pemungutan dan pembelanjaan agar setiap
aliran harta terjadi pada tempatnya secara benar.
d. Kekuasaan Mazhalim (wilayah al-mazhalim).
Mazhalim menangani pengaduan yang diajukan untuk melawan penguasa jika mereka
melakukan kezaliman terhadap rakyat dalam segala kebijakan di segala bidang,
termasuk kebijakan finansial dan ekonomi.
Inilah
lembaga-lembaga kontrol yang menjamin lurusnya sistem ekonomi menurut arahan
yang telah dijelaskan dalam syariah.
Berikut
ini garis-garis besar politik ekonomi Islam:
Negara
Islam akan mendistribusikan pendapatan bersih (profit)
dari kepemilikan umum kepada individu-idividu rakyat dalam bentuk zatnya atau
dalam bentuk pelayanan sejak mereka lahir.
Negara
Islam akan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok kaum fakir (pangan, papan dan
sandang) dengan cara menyediakan lapangan kerja bagi orang yang mampu diantara
mereka; dan dengan cara memberi bagi orang yang tidak mampu atau yang tidak
mendapatkan pekerjaan. Negara Islam
memberi mereka dari harta zakat, harta kepemilikan umum, dan dari harta milik
negara yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok mereka.
Negara
Islam akan memberi sebagian kecil orang kaya dari harta
milik negara dan tidak diberikan kepada sebagian besar dari orang-orang kaya.
Hal itu untuk mewujudkan keseimbangan di tengah masyarakat dan memperkecil
perbedaan kepemilikan harta di antara masyarakat.
Negara
Islam akan memberi utang tanpa riba dari berbagai
direktorat Baitul Mal kepada mereka yang membutuhkan di bidang pertanian,
industri dan perdagangan. Negara
Islam akan melarang semua muamalah batil. Yaitu
akad-akad yang tidak memenuhi syarat-syarat akad dan syarat-syarat sah seperti
perusahaan multi nasional, perseroan terbatas, perusahaan asuransi, dan
lain-lain.
Negara
Islam akan melarang jual beli, perdagangan dalam dan luar negeri terhadap
komoditi yang tidak dimiliki dan belum diserah terimakan seperti yang
berlangsung di bursa saham. Negara juga melarang tanâjusy yaitu
spekulasi untuk mendongkrak harga. Negara Islam akan melarang pertukaran emas,
perak dan seluruh jenis mata uang yang tanpa serah terima dalam pertukaran dua
jenis yang berbeda; dan yang tanpa serah terima dan kuantitas yang semisal
untuk pertukaran dua jenis yang sama, sebagaimana yang terjadi di pasar-pasar
keuangan saat ini.
Direktorat-direktorat
kontrol dan supervisi melakukan kontrol dan pengetatan bagi setiap orang yang
ceroboh, rusak, penipu, penimbun, orang yang memperdagangkan barang haram, penjudi,
pelaku kecurangan atau koruptor.
Kemudian
sebelum segala sesuatunya, sesungguhnya penerapan sistem ini dalam negara Islam tidaklah akan berubah dan berganti menurut
perubahan pemikiran dan selera penguasa. Sebaliknya sistem ini merupakan sistem
yang telah diwajibkan oleh Rabbul ‘Alamin (Tuhan semesta alam),
diterapkan dengan dorongan ketakwaan dan keadilan syariat, dalam negara yang
melakukan pengurusan harta bukan negara pemungut harta.
8.
Sumber Pendapatan
Negara Dan Baitul Mal
Bersarkan
pendapat para ulama, bahwa sumber pendapatan Negara terdiri atas empat macam,
yaitu; zakat, harta rampasan perang, jizyah, dan pajak.
1.
Zakat
a.
Pengertian
hatra benda
Secara Quraini,
pengertian harta benda yang berkenaan dengan zakat tertuang dalam firman Allah
swt sebagai berikut:
وَفِي
أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin
yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian.” (QS.
Ad-Dzariyat: 19).
Harta benda
(amwal) merupakan bentuk jamak kata maal. Pengertian maal menurut
bahasa arab adalah segala sesuatu yang diinginkan oleh manusia untuk
memilikinya dan menyimpannya. Dengan demikian unta, sapi, kambing, tanah,
kurma, emas, dan perak adalah termasuk harta benda. Ibnu Asyr mengatakan bahwa
harta bebda pada mulanya berarti emas dan perak, tetapi kemudian berubah
pengertiannya menjadi segala barang yang dimiliki dan disimpan.
Para ahli hokum
islam (fiqh) berbeda pendapat tentang pengertian harta benda. Menurut
ulama-ulama Madzhab Hanafi, harta benda adalah segala yang dapat dimiliki dan
digunakan menurut biasanya. Harta benda hanya bisa disebut harta benda apabila
memenuhi dua syarat, yaitu: dimiliki dan bisa diambil manfaatnya menurut
biasanya.
sesuatu yang
dimiliki dan bisa diambil manfaatnya secara konkret disebut harta benda,
seperti antara lain tanah, binatang, barang-barang perlengkapan, dan uang.
Menurut Mazhab
Syafi’i. Maliki dan Hambali, manfaat-manfaat itu termasuk harta benda. Menurut
mereka, yang penting bukanlah dapat dipunyai sendiri, tetapi dimiliki dengan
menguasai sumbernya.
Ibnu Njm
mengatakan bahwa harta benda, sesuai dengan yang ditegaskan oleh ulama-ulama
ushul fikih, adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk keperluan dan
hal itu terutama menyangkut yang konkret, dengan demikian tidak termasuk ke
dalamnya pemilikan manfaat-manfaat.
Dengan
mengajukan beberapa pendapat para ahli hokum islam dan ahli ekonomi di atas,
dapat disimpulkan bahwa pengertian harta benda atau harta kekayaan (amwal) yang
wajib dizakatkah adalah semua harta benda yang berbentuk materi atau yang dapat
dijadikan materi dan bernilai ekonomis. Sesuatu yang dapat dianggap mempunyai
nilai ekonomis, jika memenuhi dua syarat, barang itu berguna (ada orang yang
memerlukannya) dan barang itu diperoleh melalui tenaga (alat) yang disebut
manusia.
b.
Jenis-jenis
harta benda yang wajib dizakati
Jenis-jenis
harta benda yang wajib dikeluarkan zakatnya dapat kita kelompokkan ke dalam
beberapa macam:
1.
Harta
benda simpanan
Ketentuannya
tertuang di dalam firman Allah swt pada surat At-Taubah: 34-35.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الأحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ
النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ
الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ
بِعَذَابٍ أَلِيمٍ * يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى
بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لأنْفُسِكُمْ
فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim
Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan
yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah,
maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang
pedih,(34) pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu
dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan)
kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu
sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu".
(35). (At-Taubah:
34-35.)
Dalam ayat ini.
Disebutkan bahwa harata benda dalam bentuk simpanan emas dan perak adalah wajib
dinafkahkan sebagian untuk jalan Allah, sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an.
Penentuan emas dan perak sebagai contohkonkret bebtyk simpanan itu disebabkan
emas dan perak itu secara historis, sejak manusia mendiami planet bumi ini,
merupakan harta yang paling disukai dan dibanggakan serta mampu bertahan lama
untuk disimpan. Emas dan perak juga termasuk harta benda yang paling stabil
harganya didunia internasional daripada harta lainnya. Karena simpanan
kekayaan, dapat dijadikan standar di dalam menentukan semua bentu benda yang
disimpan.
Emas dan perak
sebagai harta benda yang disimpan, wajib dikeluarkan zakatnya, jika telah
sampai pada nilao 20 dinar emas atau perak 200 dirham. Ketentuan ini
berdasarkan beberapa Hadits Rasulullah SAW antara lain yang diriwayatkan oleh
Ahmad, Abu Dawud Dan Baihaqi yang mengatur tentang nisab 20 dinar emas, dan
kedua riwayat oleh Abu Dawud saja, yang mengatur tentang nisab 200 dirham (pada
masa Rasulullah saw,satu dinar sama dengan sepuluh dirham). Dengan demikian
nilai harga 20 dinar emas berarti sama dengan nilai harga 2000 dirham. Zakarnya
pun sama. Zakat 20 dinar emas adalah ½ dinar atau 2 ½%. Zakat 200 dirham perak
juga 5 dirham atau 2 ½%.
Perhiasan
seperti emas, perak, berlian, mutiara, dan batu permata lainnya, yang dipakai
atau disimpan. Tentang perhiasan ini, beberapa ulama berpendapat bahwa
perhiasan yang dipakai tidak kena zakat. Tetapi
jika perhiasan yang dipakai itu adalah standar pada nilai 93,6 gram
emas. Jika nilainya telah mencapai 93,6 gram emas, perhiasan itu wajib
dikeluarkan zakatnya.
Kendaraan
pribadi seperti mobil, pesawat terbang, kapal laut, kuda pacuan, juga wajib
dizakati. Pendapat ini berbeda dengan pendapat para ulama, karena mereka
memandang kendaraan ini terbatas pada kuda atau unta. Realita yang ada sekarang
ini menunjukkan tidak ada kendaraan pribadi yang memakai kuda dan unta. Kalau
pun masih bada, jumlahnya sangat sedikit
dan berada ditempat-tempat tertentu.[17]
2.
Peternakan
Semua jenis binatang ternak yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Binatang ternak adalah semua jenis hewan yang diternakkan atau dubudidayakan.
Ketentuan ini terdapat dalam:
Firman Allah swt Surat An-Nahl: 5-8
وَالأنْعَامَ خَلَقَهَا
لَكُمْ فِيهَا دِفْءٌ وَمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ * وَلَكُمْ فِيهَا
جَمَالٌ حِينَ تُرِيحُونَ وَحِينَ تَسْرَحُونَ * وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ إِلَى
بَلَدٍ لَمْ تَكُونُوا بَالِغِيهِ إِلا بِشِقِّ الأنْفُسِ إِنَّ رَبَّكُمْ
لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ * وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا
وَزِينَةً وَيَخْلُقُ مَا لا تَعْلَمُونَ
Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu;
padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan
sebagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya,
ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke
tempat penggembalaan. Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu
tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang
memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu
menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang
kamu tidak mengetahuinya.”(QS. Al-Nahl:5-8).
Berdasarkan ayat-ayat tersebut diatas, kita telah membuktikan bahwa jenis
binatang yang diternakkan atau dibididayakan oleh manusia kecuali yang haram
wajib dikeluarkan zakatnya, apabila telah sampai nisab.
Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Nasa’i. bahwa zakat lima ekor unta setiap ekor berharga
pada zaman Nabi saw senilai 40 dirham (nisabnya 5 x 40 dirham = 200 dirham)
ialah seekor kambing, yang harganya pada saat itu 5 dirham. Dengan
demikian, nisab unta, jika dinilai dengan dirham, berarti 200 diham. Dan
zakatnya adalah adalah 5/200 x 100% = 2 ½%.
Begitu juga
zakat kambing. Harga seekor kambing 5 dirham. Jadi hisab kambing jika dinilai
dengan dirham adalah 40 x 5 dirham = 200 dirham. Zakatnya adalh seekot kambing
yang harganya 5 dirham. Jika kita persentasikan zakatnya adalah 5/200 x 100% =
2 ½%.[18]
a.
Pertanian
Ketentuan mengenai zakat kekayaan pertanian tertuang dalam firman
Al-Qur’an:
Firman
Allah awt surat Al-Baqarah: 267
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا
كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ
مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai orang-orang yang beriman,
nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan
ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-Baqarah:267).
Firman Allah surat
An-An’am: 141
وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ
مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ
مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا
حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Dan Dialah yang menjadikan
kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma,
tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa
(bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang
bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik
hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS.
An-An’am:141).
Yusuf Quardhawi menyimpulkan bahwa pendapat
yang paling kuat untuk kita pegang adalah pendapat Abu Hanifah yang bersumber dari
penegasan Umar bin Abdul Aziz, Mujtahid, Hamad.
Jika zakat hanya diwajibkan kepada petani gandum atau padi, misalnya,
sedangkan petani-petani jeruk, mangga dan apel yang memiliki lahan luas tidak
diwajibkan untuk berzakat, hal itu tidak mencapai maksud dan hikmah syariat
yang diturunkan.
Begitu pula dengan tanaman seperti karet, kelapa sawit, dan
sejenisnya. Tanaman-tanaman seperti jambu biji, jambu air, jambu mente, anggur,
kurma, zaitun, jeruk , durian, rambutan, delima dan sejenisnya wajib
dikeluarkan zakatnya. Demikian pula tanaman bahan pangan seperti gandum, padi,
jagung, sagu, tebu, kacang-kacangan, juga segala jenis sayur-mayur wijib
dikeluarkan zakatnya. Termasuk pula tanaman ubi-ubian seperti kentang, ketela
pohon, dan ubi jlar. Tanaman bahan minuman seperti the, kopi, mocca, fanili dan
juga jenis bumbu-bumbuan seperti pala, lada, kunyit, dan sebagainya, semuanya
wajib dizakati.
Nisab jenis tanaman adalah senilai harga 653 kg atau 930 liter
makanan pokok yang berlaku pada tiap daerah. Nilai harga 653 kg atau 930 liter
makanan pokok yang utama adalah berbentuk dalam makanan yang siap dimakan.
Seperti gandum dalam bentuk pipilan, pohon sagu dalam bentuk sagu. Kualitas
harga yang dipakai adalah kualitas menengah yang biasa dipakai oleh rakyat
banyak.
b.
pertambangan
Landasan hukum yang mengatur zakat pertambangan tertuang di dalam
firman Allah awt surat Al-Baqarah: 267.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا
كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ
مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai orang-orang yang beriman,
nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan
ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-Baqarah:267).
Zakat pertambangan ini disebut juga zakat ma’din. Zakat ma’din
menurut Ibnu Qudamah dalam bukunya Al-Mughni adalah suatu pemberian bumi yang
berbentuk benda lain. Selai hasil pertanian, tetapi berharga. Mazhab Ahmad
berpendapat bahwa zakat pertambangan (ma’di) adalah semua hasil galihan dari
bumi yang berharga dan tercipta di dalamnya dari barang lainnya seperti emas,
perak, besi, tembaga, timah, permata yakut, zarbarjah, zamrud, pirus, inas,
batu akik, batu bara, batu granit, aspal, minyak bumi, belerang, gas, garam,
tambang dan lain senagainya.
Tentang berapa besar zakat yang harus dikeluarkan untuk zakat
pertambangan ini, apakah 2 ½% dengan kias kepada zakat simpanan kekayaan dan
peternekan, atau 5 % deng berkias kepada zakat pertanian yang menggunkan
pertanian teknik.
3.
perikanan
Ketentuan
mengenai zakat perikanan tertuang pada nas Al-Qur’an yang membicarakan tentang
nikmat dan karunia Allah yang membicarakan tentang nikmat dan karunia Allah
yang diberikan kepada manusi dari laut, baik dalam bentuk harta benda maupun
kemudahan-kemudahan untuk memperoleh harta benda itu.
Dalam
firman Allah swt surat Fathir: 12
وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ
شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ وَمِنْ كُلٍّ تَأْكُلُونَ لَحْمًا طَرِيًّا
وَتَسْتَخْرِجُونَ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَا وَتَرَى الْفُلْكَ فِيهِ مَوَاخِرَ
لِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap
diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu
dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang
dapat kamu memakainya, dan pada masing-masingnya kamu lihat kapal-kapal
berlayar membelah laut supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu
bersyukur.”(QS. fathir:12).
Untuk menghitung zakatnya harta benda dari laut, kita akan melakukan kias seperti
zakatnya pertambangan. Karena secara esensial, eksplotasi hasil pertambangan
dengan eksplotasi hasil-hasil lautan tidak berbeda. Kias ysng wsjib dilakukan
ini diperkuat dengan praktek khalifah Umar bin Khattab, Abu Ubaid meriwayatkan
Yunus bin Ubaid, “Umar pernah mengirimkan surat kepada petugasnya di Oman agar
petugas itu tidak memungutnya apa pun dari ikan yang kurang harganya 200
dirham. Bila sudah senilai 200 dirham (sebesar nisab emas simpanan), maka harus
dipungut zakatnya.
Mengenai kekayaan lautan yang dibudidayakan
seperti ikan kakap, ikan bandeng, ikan udang, kerang mutiara, keranf makan,
ganggang laut dan sebagainya, nisabnya sama dengan perhitungan nisab hasil laut
modal pokok seperti alat-alat produksi: tambak, empang, jarring dan sebagainya.
Nisab diperhitungkan dari hasil produksi bersih, 5% per tahun.
Demikian pula usaha perikanan yang
dilakukan di air tawar, seperti ikan lele, ikan emas, ikan laut, ikan gurame
dan senbagainya.
e. Perdagangan
Ketentuan mengenai zakat perdagangan diatur oleh Alquran dan hadis
Nabi SAW antara lain :
-
firman Allah
SWT surat Al-baqarah : 267
-
firman Allah
SWT yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan baihaqi dari samrah hadis nabi saw
yang diriwayatkan oleh Daruqutni dan Baihaqi dari Abu Zan
Banyak sekali atsar yang di praktekan oleh para khulafaurosyidin
dalam memungut zakat perdagangan
ini. Berdasarkan ketentuan ketentuan
yang disebutkan di atas, wajib dikeluarkan zakatnya. Sedangkan mengenai
perhitungan nisabnya, dikiaskan dgn nisab simpanan kekayaan seperti emas
senilai harga 93,6 gram emas dgn tenggang waktu selama satu tahun (haul) .
Dalam perhitungan untuk nisab dan haul nya, yang pling rasional
dilihat dari sudut ekonomi sajalah pendapatan yg menyatakan bahwa perhitungan
cukup satu nisab dilakukan pada awal dan akhir tahun, bukan dlm antara kedua
masa itu. Billa nisab sampai pada salah satu awal atau akhir tahun, maka zakat
wajib dikeluarkan, sekalipun sebelum waktu itu nisab itu blum cukup. Ini adalah
pendapatan Abu Hanifah dan mazhabnya.
Cara menghitung harta kekayaan perdagangan antara lain, telah
dikemukakan oleh Mimun bin Mihran. dia menyatakan :”apabila sudah tiba waktunya
kamu berzakat, hitunglah berapa jumlah
uang kontan yg ada padamu dan barang dagangan yg masih ada kemudian hitung
berapa nilai barang itu . begitu juga piutang yg ada pda orang berhutang maupun
membayarnya, lalu keluarkan hutangmu sendiri, setelah itu, keluarkanlah
zakatnya. “ 231” Zakat yang harus
dikeluarkan sebesar 2,5%
f.
Perindustrian
Perindustrian secara garis besarnya terbagi menjadi dua kelompok
besar, yaitu industri pabrik dan industri jasa. Industri pabrik mencakup bidang
yang amat luas, dari pabrik yang memproduksi bahan makanan dan minuman, sandang
mulai dari pabrik pemintalan kapas, benang tenun, bahan pakaian sampai kepada
pakaian jadi, papan mulai dari bahan-bahan bangunan baik yang berasal dari kayu
maupun dari besi, semen , genting dll. Sedangkan industri jasa meliputi jasa
darat, laut dan udara, penyewa gudang-gudang di pelabuhan laut dan
Bandar-bandar udara, penyewaan gedung-gedung untuk kantor dan took dll
Pada umumnya para ulama’ dewasa ini sepakat bahwa zakat
perindustrian di masukkan ke dalam zakat perdagangan, meski jumlah presentasi
zakatnya yang harus dikeluarkan ada beberapa perbedaan pendapat..
Apabila perhitungan nisab perindustrian adalah sama dengan
perhitungan nisab pertanian, pertambangan dan perikanan, maka penentuan besar
zakatnya adalah harus setimbang dengan besar zakatnya pertanian atau zakat
pertambangan dan perikanan.
g. Profesi
Pengertian profesi meliputi semua tenaga kerja yang ahliatau tidak
yang bekerja untuk mendapatkan imbalan gaji (harta benda). Yang termasuk ke
dalam pengertian ini adalah tenaga-tenaga konsultan, tenaga ahli pada bidang
medis (kedikteran), tenaga ahli bidang teknik, tenaga ahli bidang kimia, maupun
tenaga-tenaga buruh kasar.
Dengan pengertian profesi seperti di atas, perhitungan zakatnya
berkias kepada zakat perdagangan. Nisab dihitung pertahun dengan nilai harga
93,6 gram emas. Besar zakatnya 2 ½ %. Tetapi, perhitungan zakat profesi ini
harus benar-benar teliti dan adil. Swbab yang dimaksudkan nisab senilai 93,6
gram emas pertahun yang dijadikan rupiah sekarang ini Rp 2.246.400 adalah
pendapatan perkapita pertahun sebesar Rp 2.246.400, orang tersebut termasuk
orang yang kaya, yang wajib mengeluarkan zakatnya. Apabila pendapatannya
pertahun kurang dari nilai tersebut, dia tidak wajib mengeluarkan zakat.
h.
Saham dan Obligasi
Saham adalah hak pemilikan tertentuats satu kekayaan suatu
perseroan terbatas atau atas penunjukan atas saham tersebut. Tiap saham
merupakan bagian yang sama dari kekayaan itu. Obligasi adalah perjanjian
tertulis dari bank atau perusahaan ataupemerintah dengan pembawanya untuk
melunasi sejumlah pinjaman dalam masa tertentu dalam bunga tertentu pula.
Antara saham dengan obligasi terdapat beberapa perbedaan. Saham
merupakan bagian kekayaan perusahaan atau bank, sedangkan obligasi merupakan
pinjaman kepada perusahaan, bank atau pemerintah. Saham memberikan keuntungan
yang sesuai dengan keuntungan perusahaan atau bank mungkin banyak atau sedikit,
bergantung keuntungan perusahaan atau bank yang bersangkutan, dan mungkin pula
menderita kerugian.
Sedangkan obligasi memberikan keuntungan tertentu, yang biasanya
dalam bentuk atas pinjaman tanpa bertambah atau berkurang. Pembawa obl;igasi
berarti pemberi hutang atau pinjaman kepada perusahaan, bank atau pemerintah.
Sedangkan pembawa sakham berarti pemilik sebagian perusahaan atau bank itu,
sebesar nilai sahamnya.
2. Harta Rampasan perang
Harta rampasan perang telah diatur
ketentuannya secara pasti dalam Alqur’an. Allah berfirman dalam surat Al-anfal
ayat 1, 41, 69:
y7tRqè=t«ó¡o Ç`tã ÉA$xÿRF{$# ( È@è% ãA$xÿRF{$# ¬! ÉAqߧ9$#ur ( (#qà)¨?$$sù ©!$# (#qßsÎ=ô¹r&ur |N#s öNà6ÏZ÷t/ ( (#qãèÏÛr&ur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇÊÈ
Artinya
(1) mereka menanyakan
kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: "Harta
rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul[19],
oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara
sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang
yang beriman."
*
(#þqßJn=÷æ$#ur $yJ¯Rr& NçGôJÏYxî `ÏiB &äóÓx« ¨br'sù ¬! ¼çm|¡çHè~ ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur ÇÆö/$#ur È@Î6¡¡9$# bÎ) óOçGYä. NçGYtB#uä «!$$Î/ !$tBur $uZø9tRr& 4n?tã $tRÏö6tã tPöqt Èb$s%öàÿø9$# tPöqt s)tGø9$# Èb$yèôJyfø9$# 3 ª!$#ur 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« íÏs% ÇÍÊÈ
Artinya
(41)ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang[20], Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil[21], jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa[22] yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan[23], Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.
(#qè=ä3sù $£JÏB öNçFôJÏYxî Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 cÎ) ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÏÒÈ
Artinya
(69) Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu,
sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Berdasarkan
nash-nash tersebut diatas, harta rampasan selanjutnya dibagi menjadi tiga
macam, yaitu:
a)
Salab, ialah alat dan perlengkapan perang yang
didapatkan dari musuh di medan pertempuran.
b)
Ghanimah, ialah harta yang didapatkan dari musuh dengan jalan perang selain salab, baik
barang yang bergerak maupun barang yang tidak bergerak.
c)
Al-fa’I (upeti), ialah harta yang didapatkan
dari orang kafir dengan jalan damai.
Masalah yang timbul
dari harta rampasan perang ini adalah mengenai cara penggunaannya. Menurut
ketentuan, tentara yang melakukan operasional dimedan perang turut mendapatkan
bagian harta rampasan perang tersebut. Ketentuan ini berlaku ketika tentara
Islam padazaman rasulullah saw sepenuhnya bersifat sukarelawan yang segala
persenjataan dan perlangkapan perangnya dipenuhi oleh tiap-tiap tentara yang
bersangkutan, bukan oleh Negara. Bahkan jaminan ekonomi untuk keluarga yang
ditinggalkan ditanggung sepenuhnya oleh tentara tersebut.
Berbeda dengan
kondisi sekarang, semua pasukan tentara bersifat professional yang seluruh
persenjataan dan perlengkapan perangnya ditanggung oleh Negara. Bahkan untuk
penghidupan ekonomi keluarga yang ditinggalkan kemedan perang pun sepenuhnya
ditanggung dan dijamin oleh Negara. Lebih jauh dari itu, apabila seorang
tentara cacat atau mati dimedan pertempuran dan telah uzur usianya maka dia
atau keluarganya mendapat jaminan pension dari Negara.
Perbedaan kondisi
antara pasukan tentara Islam pada masa Rasulullah dengan kondisi pasukan
militer sekarang ini, sayyid sabiq menyatakan bahwa tentara zaman sekarang
tidak berhak mendapatkan harta rampasan perang. Pendapat ini juga berorientasi
kepada keputusan majelis syura pada masa kekhalifahan umar bin Khatab. Tentara
yang turut berperang ketika itu tidak mendapatkan ghanimah karena kondisi dan
keadaan umat Islam yang telah berubah. Tanah-tanah luas yang diperoleh dari
rampasan perang diserahkan kembali kepada rakyat, dengan syarat rakyat membayar
pajak atas hasil yang didapatkan dari pengolahan tanah-tanah tersebut. Hasil
ijtihad majelis syura tersebut berdasarkan pertimbangan keadilan dan kemaslahatan
bagi kehidupan warga Negara yang hidup dinegara islam, baik yang muslim maupun
nonmuslim.
3.
Jizyah
Ketentuan mengenai
jizyah tertuang dalam Alqur’an surat At-taubah ayat 29:
(#qè=ÏG»s% úïÏ%©!$# w cqãZÏB÷sã «!$$Î/ wur ÏQöquø9$$Î/ ÌÅzFy$# wur tbqãBÌhptä $tB tP§ym ª!$# ¼ã&è!qßuur wur cqãYÏt tûïÏ Èd,ysø9$# z`ÏB úïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tFÅ6ø9$# 4Ó®Lym (#qäÜ÷èã spt÷Éfø9$# `tã 7t öNèdur crãÉó»|¹ ÇËÒÈ
Artinya
29. perangilah orang-orang yang tidak
beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak
mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama
dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan
Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah[24]
dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.
Dari ketentuan-ketentuan tentang jizyah seperti tersebut diatas, Muhammad
rasyid ridha menyatakan bahwa semula jizyah itu hanyalah imbalan yang sangat
kecil, yang akan digunakan sebagai dana pemerintah Islam untuk biaya menjaga,
melindungi, dan membela ahlud dzimmah (kelompok minoritas/nonmuslim) yang
berbeda dibawah kekuasaan Negara islam.
Berdasarkan
ketentuan syar’I dan atas dasar para sahabat nabi saw didalam praktik
penyelenggaraan Negara. Golongan dzimmi yang hidup dalam kekuasaan Negara Islam
mempunyai kewajiban untuk membayar jizyah kepada pemerintah Islam.
4.
Pajak
Apabila ngara islam
modern dibiarkan tanpa pajak untuk kegiatannya, dapat dipastiak dalam waktu
singkat Negara akan lemah, lebih-lebih bila menghadapi ancaman militer dari
pihak musuh.
Karena itu, para ulama mengharuskan
mengisi sumber pendapatan Negara dengan hasil pajak yang ditetapkan
kewajibannya oleh Negara untuk memenuhi keperluannya.
Qardhawi menyatakan bahwa apabila benar-benar harta itu dibutuhkan dan tidak ada sumber lain untu menutupi
keperluan ini kecuali dengan pajak, maka keputusan itu bukan hanya boleh tapi
wajib dengan syara’, beban secara adil, tidak dibeda-bedakan dan tidak di pilih
kasih.
Berdasarkan uraian
diatas, apabila diperlukan munurut pertimbangan objektif kondisi Negara, pajak
dibolehkan bahkan jika keadaan darurat menjadi diwajibkan. Sedangkan macam
pajak serta besarnya yang harus dibebankan kepada semua warga Negara, muslim
maupun nonmuslim, memang harus diperhitungkan masak-masak oleh Negara.
Sebagaimana zakat dan juga jizyah yang dikenakan kepada semua bentuk harta
kekayaan yang dimiliki oleh semua warga Negara baik muslim maupun nonmuslim
dengan kadar yang berbeda-beda.
5.
Baitul Maal
Ketentuan syariat,
baik Alqur’an maupun Alhadits yang mengatur secara langsung masalah baitul maal
ini memang tidak ada. Ketentuan tentang baitul maal terdapat dari atsar para
khulafaur rasyidin yang dilakukan dalam praktik penyelenggaraan Negara. Meski
demikian, posisi baitul maal begitu penting didalam kehidupan Negara Islam
sebagai lembaga penyimpanan harta benda kekayaan Negara, yang bertanggung jawab
atas pemasukan dan pengeluaran anggaran biaya Negara. Karena itu, kehadiran
baitul maal sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas harta kekayaan Negara,
baik dalam pemasukannya, penyimpanan dan pengeluarannya sudah menjadi keharusan
didalam system Negara Islam.
Didalam praktik
penyelenggaraan Negara yang dilakukan oleh para khulafaur rasyidin, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan masalah baitul maal
ini. Pada masa pemerintahan khalifah Abu
Bakar dan Umar bin Khattab, penggunaan harta kekayaan Negara dari baitul maal
begitu ketat dan teliti, sehingga kedua khalifah tersebut tidak berani
menggunakannya, walau untuk diri pribadinya sebagai kepala Negara, kalau bukan
keadaan benar-benar memerlukannya, kedua khalifah itu lebih baik mencari nafkah
dengan cara berdagang untuk memenuhi keperluannya dan keluarganya, daripada
menggunakan harta kekayaan Negara dari baitul maal.
Tetapi keadaan
berbeda dengan pemerintahan Usman bin affan. Beliau begitu mudah menggunakan
harta kekayaan Negara dari baitul maal, baik untuk keperluan diri dan
keluarganya maupun untuk keperluan kelaurga familinya yang kebetulan menjadi
pejabat tinggi Negara.
PENUTUP
Demikianlah
uraian sekilas prinsip-prinsip ekonomi dalam Daulah Islamiyah. Dengan
memahaminya, diharapkan umat Islam terdorong untuk menerapkannya dan sekaligus
mengetahui perbedaan ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalisme yang tengah
diterapkan.
Sudah saatnya
sistem ekonomi kapitalisme yang hanya menimbulkan penderitaan itu kita
hancurkan dan kita gantikan dengan ekonomi Islam yang insya Allah akan membawa
barakah bagi kita semua. Marilah kita renungkan firman Allah SWT:
öqs9ur ¨br& @÷dr& #tà)ø9$# (#qãZtB#uä (#öqs)¨?$#ur $uZóstGxÿs9 NÍkön=tã ;M»x.tt/ z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur `Å3»s9ur (#qç/¤x. Mßg»tRõs{r'sù $yJÎ/ (#qçR$2 tbqç7Å¡õ3t ÇÒÏÈ
“Kalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan berrtakwa, niscaya akan Kami
limpahkan bagi mereka barakah dari langit dan bumi, tapi mereka mendustakan
(ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya itu.”
(QS. Al-A’râf: 96).
sumber
pendapatan Negara terdiri atas empat macam, yaitu; zakat, harta rampasan
perang, jizyah, dan pajak. Pengertian
maal menurut bahasa arab adalah segala sesuatu yang diinginkan oleh
manusia untuk memilikinya dan menyimpannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-qardhawy, Yusuf. 1997. Fiqih Daulah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah. Jakarta: Pustaka Al-Kausar.
Al-qardhawy, Yusuf. 1997.
Fiqih Negara. Jakarta: Robbani Press.
Husain
Abdullah , Muhammad.
2011. Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Pahlawan Kayo, RB. Khatib. 2005. Kepemimpinan
Islam Dan Dakwah. Jakarta: Amzah.
Dewan
Syari’ah Irak. 2007. I’lam Al-Anam bi Miladi Daulah Al-Islam, Solo:
Media Islamika.
Ibnu Khalil, Atha`. 2000. Taisir
Al-Wushul Ila Al-Ushul. Beirut : Darul Ummah.
Zallum, Abdul
Qadim. 2001. Demokrasi Sistem Kufur : Haram Mengambil, Menerapkan, dan
Menyebarluaskannya. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah.
An-Nabhani, Taqiy Al-Din. 2001. Nizham
Al-Islam. Tanpa Tempat Penerbit : Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
An-Nabhani,
Taqiy Al-Din. 1990. An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam..
Beirut : Dar Al-Ummah.
Heri Sudarsono, 2002, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar
Yogyakarta: EKONSIA
Rahman, Afzalur. 1995. Doktrin Ekonomi Islam, ter.
Nastangin dan Soeroyo, Jilid I. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Imam Mawardi.
2000. Al-Ahkam As-Aulthaniyah, Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Isl. Jakarta:
Darul Falah.
Ahmad Al-Haritsi,
bin Jaribah. 2006. Fikih Ekonomi Umar bin Khattab. Jakarta: Khalifah.
[1] Dr. Yusuf Qardawy, Fiqh Daulah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, (Jakarta:
Pustaka Al-Kausar, 1997), hal, 30.
[2] John Donohue,
john Esposito, Islam dan Pembaharuan:Ensiklopedi Masalah-masalah, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada),
hal, 486.
[3]
Imam Mawardi, Al-Ahkam
As-Aulthaniyah, Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, (Jakarta:
Darul Falah, 2000), hal. 267
[4]
A. Fazlur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, ter.
Nastangin dan Soeroyo, Jilid I, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hal. 84
[7] Abdul Qadim
Zallum, Demokrasi Sistem Kufur : Haram Mengambil,
Menerapkan, dan Menyebarluaskannya, (Bogor :
Pustaka Thariqul Izzah, 2001), hal. 87
[8]
Ialah: darah yang keluar dari
tubuh, sebagaimana tersebut dalam surat Al An-aam ayat 145.
[9]
Maksudnya Ialah: binatang
yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam
binatang buas adalah halal kalau sempat disembelih sebelum mati.
[10]
Al Azlaam artinya: anak panah
yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum
pakai bulu untuk menentukan Apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau
tidak. Caranya Ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu.
setelah ditulis masing-masing Yaitu dengan: lakukanlah, jangan lakukan, sedang
yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan
dalam Ka'bah. bila mereka hendak melakukan sesuatu Maka mereka meminta supaya
juru kunci ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti Apakah
mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak
panah yang diambil itu. kalau yang terambil anak panah yang tidak ada
tulisannya, Maka undian diulang sekali lagi.
[11]
Yang dimaksud dengan hari
Ialah: masa, Yaitu: masa haji wada', haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad s.a.w.
[12]
Maksudnya: dibolehkan memakan
makanan yang diharamkan oleh ayat ini jika terpaksa.
[13]
Taqiyuddin An-Nabhani, Nizham
Al-Islam. Tanpa Tempat Penerbit : Mansyurat Hizb Al-Tahrir, 2001),
hal. 104
[14]
Taqiy Al-Din An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam,
(Beirut : Dar Al-Ummah, 1990), hal.
[15]
Dr. Jaribah bin
Ahmad Al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin Khattab,(Jakarta: Khalifah,
2006), hal. 436
[16]
Imam Mawardi, Al-Ahkam
As-Aulthaniyah, Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, (Jakarta:
Darul Falah, 2000), hal. 396.
[17]
Abdul Qodir Djaelani, Negara
Ideal menurut konsepsi islam, (surabaya: PT. Bina Ilmu.1995). hal 388-390
[18]
Ibid hal 392-393
[19]
Maksudnya: pembagian harta
rampasan itu menurut ketentuan Allah dan RasulNya.
[20]
Yang dimaksud dengan rampasan
perang (ghanimah) adalah harta yang diperoleh dari orang-orang kafir dengan
melalui pertempuran, sedang yang diperoleh tidak dengan pertempuran dinama
fa'i. pembagian dalam ayat ini berhubungan dengan ghanimah saja. Fa'i dibahas
dalam surat al-Hasyr
[21]
Maksudnya: seperlima dari
ghanimah itu dibagikan kepada: a. Allah dan RasulNya. b. Kerabat Rasul (Banu
Hasyim dan Muthalib). c. anak yatim. d. fakir miskin. e. Ibnussabil. sedang
empat-perlima dari ghanimah itu dibagikan kepada yang ikut bertempur.
[22]
Yang dimaksud dengan apa Ialah:
ayat-ayat Al-Quran, Malaikat dan pertolongan.
[23]
Furqaan Ialah: pemisah antara
yang hak dan yang batil. yang dimaksud dengan hari Al Furqaan ialah hari
jelasnya kemenangan orang Islam dan kekalahan orang kafir, Yaitu hari
bertemunya dua pasukan di peprangan
[24]
Jizyah ialah pajak per kepala
yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang yang bukan Islam, sebagai
imbangan bagi keamanan diri mereka.
No comments:
Post a Comment