Wednesday, October 22, 2014

DAULAH ISLAMIYAH






DAULAH ISLAMIYAH
A.  Pendahuluan
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam untuk rosulullah SAW, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti ajaran beliau sampai hari akhir. Dalam pembahasan tentang daulah islamiyah adalah suatu masalah yang kurang populer di kalangan kebanyakan kaum muslimin belakangan ini. Kaum muslimin kurang memberikan perhatian terhadap persoalan yang cukup signifikan ini, dibandingkan dengan perhatiannya terhadap berbagai persoalan lain, seperti fiqh ibadah, fiqh muamalah, fiqh munakahat yang setiap saat di bahas secara luas dan mendalam. Generasi sekarang belum pernah menyaksikan Daulah Islam yang menerapkan Islam. Begitu pula generasi yang hidup pada akhir masa Daulah Islam (Daulah Utsmaniyah) yang berhasil diruntuhkan Barat. Mereka hanya dapat menyaksikan sisa-sisa negara tersebut dengan secuil sisa-sisa Pemerintahan Islam.
Daulah Islam bukanlah khayalan seseorang yang tengah bermimpi, sebab terbukti telah memenuhi pentas sejarah selama 13 abad. Ini adalah kenyataan. Keberadaan Daulah Islam merupakan sebuah kenyataan di masa lalu dan akan menjadi kenyataan pula di masa depan, tidak lama lagi. Sebab, faktor-faktor yang mendukung keberadaannya jauh lebih kuat untuk diingkari oleh jaman atau lebih kuat untuk ditentang. Saat ini telah banyak orang-orang yang berpikiran cemerlang. Mereka itu adalah bagian umat Islam yang sangat haus akan kejayaan Islam.
Daulah Islam bukan sekadar harapan yang dipengaruhi hawa nafsu, tetapi kewajiban yang telah Allah tetapkan kepada kaum Muslim. Allah memerintahkan mereka untuk menegakkannya dan mengancam mereka dengan siksa-Nya jika mengabaikan pelaksanaannya. Bagaimana mereka mengharapkan ridha Allah, sementara kemuliaan di negeri mereka bukan milik Allah, Rasul-Nya, dan kaum Muslim? Bagaimana mereka akan selamat dari siksa-Nya, sementara mereka tidak menegakkan negara yang mempersiapkan pasukan, menjaga daerah-daerah perbatasan, melaksanakan hudud Allah dan menerapkan pemerintahan dengan segala hal yang telah Allah turunkan?
Karena itu, wajib atas kaum Muslim menegakkan Daulah Islam, sebab Islam tidak akan terwujud dengan bentuk yang berpengaruh kecuali dengan adanya negara. Demikian juga, negeri-negeri mereka tidak dapat dianggap sebagai Negara Islam kecuali jika Daulah Islam yang menjalankan roda pemerintahannya. Daulah Islam semacam ini, bukan sesuatu yang mudah (diwujudkan) dengan sekadar mengangkat para menteri baik dari individu atau partai  lalu mereka menjadi bagian dalam struktur pemerintahan. Sesungguhnya jalan menuju tegaknya Daulah Islam dihampari onak dan duri, penuh dengan berbagai resiko, dan kesulitan. Belum lagi adanya tsaqafah non-Islam, yang akan menyulitkan; adanya pemikiran dangkal yang akan menjadi penghalang; dan pemerintahan yang tunduk pada Barat, yang membahayakan. Sesungguhnya orang-orang yang meniti jalan dakwah Islam untuk mewujudkan Daulah Islam; mereka lakukan itu untuk meraih pemerintahan, yang akan mereka gunakan sebagai thariqah dalam melanjutkan kehidupan Islam di negeri-negeri Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Buku Daulah Islam ini tidak dimaksudkan untuk menceritakan sejarah Daulah Islam, melainkan untuk menggambarkan kepada masyarakat bagaimana Rasul saw. mendirikan Daulah Islam. Juga, bagaimana orang kafir penjajah itu telah menghancurkan Daulah Islam dan bagaimana kaum Muslim menegakkan kembali Daulah Islam agar dapat mengembalikan cahaya bagi dunia yang menerangi jalan petunjuk dalam kegelapan.

B.  Subtansi kajian
1.      Pengertian Daulah Islamiyah.
Daulah Islamiyah adalah daulah berbasis akidah dan pemikiran, daulah yang didirikan pada landasan akidah dan sistem, bukan sekedar “perangkat proteksi” yang menjaga umat dari agresi dari dalam maupun infasi dari luar. Tetapi tugas daulah yang paling mendalam dan yang paling besar adlah mengajari dan mendidik umat berdasarkan ajaran dan prinsip-prinsip Islam, menciptakan iklim yang baik agar akidah Islam dapat menjadi panutan bagi setiap orang yang mencari petunjuk dan menjadi hujjah bagi setiap orang yang sudah berjalan di atas petunjuk.
Slogan daulah Islamiyah adalah seperti yang dinyatakan Rab’y bin Amir di hadapan Rustum, pemimpin Persi, “Sesungguhnya Allah mengutus kami untuk mengeluarkan manusia dari penyembahan terhadap manusia kepada Allah semata, dan kesempitan dunia kepada keluasannya, dari kelaliman berbagai macam agama kepada keadilan Islam.”[1]
Tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh Negara islam adalah mempertahankan keselamatan dan integritas Negara, memelihara terlaksananya undang-undang dan ketertiban serta membangun Negara itu sehingga setiap warganegaranya menyadari kemamuan-kemampuannya dan mau menyumbangkan kemampuan-kemampuannya itu demi kesejahteraan seluruh warga Negara.[2]
2.      Kedudukan Negara  Dalam Pandangan Islam
Penjajah barat yang menguasai berbagai negeri islam berhasil menanamkan dalam benak kaum muslimin konsep barat yang keji tentang agama, yang mengatakan:  islam adalah agama bukan Negara. Yang dimaksud dengan agama disini adalah sesuai dengan pemahaman barat. Apapun berbagai persoalan Negara tidak ada hubungannya denganagama. Berbagai masaah Negara hanya ditata dengan akal manusia saja, sesuai dengan pengalaman, situasi dan kondisinya yang selalu berkembang.
Bagaimanapun, penjajahan telah berhasil menciptakan beberapa kelompok orang yang meyakini bahwa agama tidak punya tempat dalm mengarahkan dan menata Negara, bahwa agama adalah sesuatu dan politik adala sesuatu yang lain, dan bahwa hal ini berlaku terhadap islam sebagaimana telah berlaku terhadap agama Kristen. Di antara semboyan sesat yang tesebar luas adalah: “Agama urusan Allah dan tanah air urusan semua”. Ungkaan ini kelihatannya benar, tapi yan dimaksud dengannya adalah kebatilan, dan bisa dibolak-balik sesuai dengan kepentingan. Sehingga dapat kita katakana: Agama urusan Allah dan tanah air juga urusan Allah. Atau agama urusan semua dan tanah air juga urusan semua. Atau agama urusan semua dan tanah air urusan Allah!
Yang mereka maksud dengan ungkapan “agama urusan Allah adalah bahwa agama hanya sekedar hubungan antara dhahir (perasaan) manusia dengan Rabbnya, dan tidak ada tempat baginya dalam system kehidupan dan social.
Negara islam adalah “Negara yang berlandaskan akidah dan pemikiran”. Suatu Negara ditegakkan berdasarkan akidah dan system, bukan hanya sebagai sarana keamanan yang menjamin keamanan masyarakat dari serangan luar maupun dalam. Bahkan tugas Negara adalah mendidik ummt dengan berbagai jalan dan prinsip islam, menyiapkan situasi yang cocok untuk mentransformasikan akidah, pemikiran, dan ajaran islm ke dalam kehidupan praktis.hal itu akan menjadi suri tauladan bagi mereka yang mencari petunjuk dan menjadi pedoman bagi mereka yang menempuh jalan yang sesat. Karena itu ibn kholdun memberikan definisi kekuasaan sebagai berikut; “mengarahkan semua orng sesuai dengan konsep syariat demi kebaikan dunia dan akhirat mereka. Menurut pandangan pembuat syari’at, seluruh kepentingan duniawi harus dinilai dengan kepentingan ukhrawi. Kekuasaan itu pada dasarnya merupakan pengganti dari pemilik legislasi (Allah) untuk menjaga agama dan melindungi kepentingan dinia.”
Karena itu pula Allah berfirman ketika Dia mengukuhkan kekuasaan orng-orng mukmin di muka bumi. Dengan kata in ketika mereka mempunyai Negara:
“(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ru dan mencegah dari perbuatan munkar...” (al-Hijj:41).
Semboyan Negara islam adalah seperti yang diungkapkan Rib’I bin Amir kepada Rustum, panglima Persia: “ sesungguhnya Allah mengutus kami untuk mengeuarkan manusia dari menyembah sesama kepada menyembah Allah saja, dari kesempitan dunia kepada kelapangannya, dari kezaliman berbagai agama kepada keadilan islam.”


3.    Sistem Ekonomi dalam Daulah Islamiyah
Asas yang dipergunakan dalam membangun sistem ekonomi dalam negara Islam berdiri di atas tiga kaidah: kepemilikan (al-milkiyah), pengelolaan (tasharruf), serta distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Adapun yang terkait dengan politik ekonomi Islam adalah jaminan terpenuhinya pemuasan semua kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah) tiap-tiap individu dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan luksnya (al-hajat al-kamaliyah) sesuai kadar kemampuannya sebagai individu rakyat di negara Islam. Dengan demikian, politik ekonomi Islam tidak sekadar meningkatkan taraf hidup dalam sebuah negara semata yang didasarkan pada pertumbuhan pendapatan nasional, lebih dari itu dasar penentuan politik ekonomi Islam adalah pendistribusian kekayaan agar terpenuhinya semua kebutuhan primer bagi tiap individu rakyat, baik Muslim maupun non Muslim (ahlu dzimmah) dan menjadikan masing-masing individu mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan luksnya, bukan pada pertumbuhan kekayaan.

            Kepemilikan (al-milkiyah) dalam Islam adalah izin syara' untuk memiliki harta kepada seseorang atau institusi tertentu. Jadi, harta kekayaan dapat dimiliki seseorang atau institusi apabila syariat Islam membolehkan untuk memilikinya. Dengan demikian, harta kekayaan sebenarnya adalah milik Allah Swt semata. Hanya masalahnya, Allah Swt telah menyerahkan harta kekayaan tersebut kepada manusia untuk diatur dan dibagikan. Karena itu sebenarnya manusia telah diberi hak untuk memilikinya sesuai dengan yang telah ditentukan oleh syara'. Maka, manusia esensinya hanya diberi istikhlaf (wewenang untuk menguasai) hak milik tersebut, bukan sebagai kepemilikan yang bersifat fi'liyah (riil).
Syara' telah menjelaskan bahwa kepemilikian (al-milkiyah) terbagi tiga: pertama, kepemilikan individu yaitu hukum syara' yang berlaku bagi zat atau kegunaan (utility) tertentu yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk dimiliki atau memanfaatkan barang tersebut. Dan ini bisa diperoleh melalui bekerja, warisan, hibah dan sebagainya. Kedua, kepemilikan umum yaitu izin As-Syari' kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda tersebut. Benda ini seperti fasilitas umum, barang tambang yang tidak terbatas, dan sumber daya alam seperti air, api dan hutan. Ketiga, kepemilikan negara yaitu harta negara yang pengelolaannya menjadi wewenang kepala negara Islam (selanjutnya khalifah). Harta ini seperti fa'i, jizyah, kharaj, dharibah, usyur, khumus dan sebagainya.
Adapun pengelolaan (tasharruf) adalah hak pengelolaan yang sebenarnya merupakan konsekuensi dari hukum syara' dengan adanya kebolehan bagi pemiliknya untuk memanfaatkan, sekaligus memperoleh kompensasi karena adanya pemanfaatan tersebut. Sehingga, hak mengelola zat benda yang dimiliki juga mencakup hak untuk mengelolanya dalam rangka mengembangkan kepemilikan benda tersebut, termasuk hak untuk mengelolanya dengan cara menafkahkan, baik karena hubungan seperti hadiah, hibah, dan wasiat maupun karena menjadi suatu nafkah seperti ayah terhadap anaknya.

            Distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat adalah politik ekonomi negara Islam agar keseimbangan ekonomi rakyat bisa merata dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Islam telah mewajibkan sirkulasi kekayaan terjadi pada semua anggota masyarakat, dan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang saja. Allah Swt berfirman:
ös1 Ÿw tbqä3tƒ P's!rߊ tû÷üt/ Ïä!$uŠÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4  
 "supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (QS. Al-Hasyr: 7).
Karena itu, khalifah harus menciptakan keseimbangan ekonomi tersebut dengan menyuplai rakyat yang fakir dengan harta yang diambil dari baitul mal (kas Negara). Sehingga, dengan suplai tersebut bisa diwujudkan keseimbangan ekonomi dan kemaslahatan umum.[3]
Bahwa fenomena bobroknya sirkulasi kekayaan di antara individu dengan jelas dan gamblang di berbagai negara merupakan sebuah fakta yang terjadi, yang kesemuanya tadi ditunjukkan oleh kenyataan hidup sehari-hari yang tidak perlu lagi banyak argumentasi. Begitu pula kesenjangan yang lebar, yang dialami oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tidak perlu lagi dijelaskan kerawanan dan absurditasnya.
Orang-orang Kapitalis telah berusaha memecahkan problem tersebut, tetapi tidak berhasil. Para ahli ekonomi Kapitalis ketika membahas teori tentang distribusi pendapatan, begitu mengabaikan buruknya distribusi pendapatan personal, bahkan mereka hanya memaparkan perhitungan-perhitungan tanpa memberikan solusi yang mendalam. Begitu pula dengan orang-orang Sosialis. Mereka tidak menemukan cara untuk memecahkan masalah buruknya distribusi itu, selain hanya membatasi hak milik dengan cara memberangus hak milik itu. Sehingga, orang-orang Sosialis akhirnya memberikan solusi dengan melarang hak milik itu.
Sementara Islam, justru telah menjamin distribusi tersebut dengan baik, yaitu dengan menentukan tata cara pemilikan, tata cara mengelola kepemilikan, serta menyuplai orang yang tidak sanggup mencukupi kebutuhan-kebutuhannya dengan harta yang bisa menjamin hidupnya sebanding dengan sesamanya dalam komunitas masyarakat. Hal ini dalam rangka mewujudkan keseimbangan dalam memenuhi kebutuahn-kebutuhannya di antara sesamanya. Dengan demikian, Islam telah memecahkan masalah buruknya distribusi kekayaan tersebut.
Oleh karena itu, hanya negara Islam yang mampu mewujudkan sistem ekonomi syariah secara kaaffah. Karena itu, merupakan kesalahan yang fatal apabila sistem ekonomi syariah Islam dipisahkan dari negara Islam. Sebab, hal semacam itu tentu akan menyebabkan kesalahan dalam memahami masalah-masalah ekonomi yang ingin dipecahkan, bahkan akan menyebabkan buruknya pemahaman terhadap faktor-faktor produksi yang menghasilkan kekayaan dalam suatu negara. Ekonomi Islam hanya akan mungkin berhasil jika diterapkan dalam negara Islam yang menerapkan Islam secara kaaffah. Sebab, sistem kehidupan Islam itu bersifat integral dan saling melengkapi.

4.    Tujuan Ekonomi Islam
Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam system Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.[4]
Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof. Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa maslahah yang menjad puncak sasaran di atas mencakup lima jaminan dasar:
a. Keselamatan keyakinan agama (al din)
b. Kesalamatan jiwa (al nafs)
c. Keselamatan akal (al aql)
d. Keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
e. Keselamatan harta benda (al mal)
5.    Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
a.       Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
b.      Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
c.       Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
d.      Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.
e.       Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
f.       Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
g.      Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
h.      Islam melarang riba dalam segala bentuk.[5]

6.    Prinsip Sistem Ekonomi Islam
Prinsip sistem ekonomi Islam ada 2 (dua), yaitu: Pertama, Prinsip umum, yaitu Aqidah Islamiyah yang menjadi landasan pemikiran (al-qa’idah fikriyah) bagi segala pemikiran Islam, seperti sistem ekonomi Islam, sistem politik Islam, sistem pendidikan Islam, dan sebagainya. Aqidah Islamiyah di sini dipahami bukan sekedar sebagai Aqidah Ruhiyah (aqidah spiritual), yakni aqidah yang menjadi landasan aktivitas-aktivitas spiritual murni seperti ibadah, namun juga sebagai Aqidah Siyasiyah (aqidah politis), yakni aqidah yang menjadi landasan untuk mengelola segala aspek kehidupan manusia tanpa kecuali termasuk ekonomi.
Kedua, prinsip khusus (cabang), yaitu sejumlah kaidah umum dan mendasar dalam Syariah Islam yang lahir dari Aqidah Islam, yang secara khusus menjadi landasan bangunan sistem ekonomi Islam. Prinsip khusus ini terdiri dari tiga asas (pilar), yaitu: (1) kepemilikan (al-milkiyah) sesuai syariah, (2) pemanfaatan kepemilikan (tasharruf fi al-milkiyah) sesuai syariah, dan (3) distribusi kekayaan kepada masyarakat (tauzi’ al-tsarwah baina al-nas), melalui mekanisme syariah.
Dalam sistem ekonomi Islam, tiga asas tersebut tidak boleh tidak harus terikat dengan syariah Islam, sebab segala aktivitas manusia (termasuk juga kegiatan ekonomi) wajib terikat atau tunduk kepada syariah Islam. Sesuai kaidah syariah, Al-Ashlu fi al-af’âl al-taqayyudu bi al-hukm al-syar’i (Prinsip dasar mengenai perbuatan manusia, adalah wajib terikat dengan syariah Islam).[6]
Prinsip sistem ekonomi Islam tersebut bertentangan secara kontras dengan prinsip sistem ekonomi kapitalisme saat ini, yaitu sekularisme. Aqidah Islamiyah sebagai prinsip umum ekonomi Islam menerangkan bahwa Islam adalah agama dan sekaligus ideologi sempurna yang mengatur segala asek kehidupan tanpa kecuali, termasuk aspek ekonomi. [7] Dalam hal ini Allah swt berfirman:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ èps)ÏZy÷ZßJø9$#ur äosŒqè%öqyJø9$#ur èptƒÏjŠuŽtIßJø9$#ur èpysÏܨZ9$#ur !$tBur Ÿ@x.r& ßìç7¡¡9$# žwÎ) $tB ÷LäêøŠ©.sŒ $tBur yxÎ/èŒ n?tã É=ÝÁZ9$# br&ur (#qßJÅ¡ø)tFó¡s? ÉO»s9øF{$$Î/ 4 öNä3Ï9ºsŒ î,ó¡Ïù 3 tPöquø9$# }§Í³tƒ tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. `ÏB öNä3ÏZƒÏŠ Ÿxsù öNèdöqt±øƒrB Èböqt±÷z$#ur 4 tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYƒÏŠ 4 Ç`yJsù §äÜôÊ$# Îû >p|ÁuKøƒxC uŽöxî 7#ÏR$yftGãB 5OøO\b}   ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÈ  
”Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,[8] daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya,[9] dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah,[10] (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini[11] orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[12] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ma’idah: 3)
Prinsip Islam ini berbeda dengan prinsip sistem ekonomi kapitalisme, yaitu sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).1) Paham sekularisme lahir sebagai jalan tengah di antara dua kutub ekstrem, yaitu di satu sisi pandangan Gereja dan para raja Eropa bahwa semua aspek kehidupan harus ditundukkan di bawah dominasi Gereja. Di sisi lain ada pandangan para filosof dan pemikir (seperti Voltaire, Montesquieu) yang menolak eksistensi Gereja. Jadi, sekularisme sebagai jalan tengah pada akhirnya tidak menolak keberadaan agama, namun hanya membatasi perannya dalam mengatur kehidupan. Agama hanya ada di gereja, sementara dalam kehidupan publik seperti aktivitas ekonomi, politik, dan sosial, tidak lagi diatur oleh agama.[13]
Selanjutnya, karena agama sudah disingkirkan dari arena kehidupan, lalu siapa yang membuat peraturan kehidupan? Jawabnya adalah: manusia itu sendiri, bukan Tuhan, karena Tuhan hanya boleh berperan di bidang spiritual (gereja). Lalu agar manusia bebas merekayasa kehidupan tanpa kekangan Tuhan, maka manusia harus diberi kebebasan (freedom/al-hurriyat) yaitu; kebebasan beragama (hurriyah al-aqidah), kebebasan berpendapat (hurriyah al-ra`yi), kebebasan berperilaku (al-hurriyah al-syahshiyah), dan kebebasan kepemilikan (hurriyah al-tamalluk). Bertitik tolak dari kebebasan kepemilikan inilah, lahir sistem ekonomi kapitalisme. Dari tinjauan historis dan ideologis ini jelas pula, bahwa prinsip sistem ekonomi kapitalisme adalah sekularisme.
Sekularisme ini pula yang mendasari prinsip cabang kapitalisme lainnya, yaitu prinsip yang berkaitan dengan kepemilikan, pemanfaatan kepemilikan, dan distribusi kekayaan (barang dan jasa) kepada masyarakat. Semuanya dianggap lepas atau tidak boleh disangkutpautkan dengan agama.
Berdasarkan sekularisme yang menafikan peran agama dalam ekonomi, maka dalam masalah kepemilikan, kapitalisme memandang bahwa asal usul adanya kepemilikan suatu barang adalah terletak pada nilai manfaat (utility) yang melekat pada barang itu, yaitu sejauh mana ia dapat memuaskan kebutuhan manusia. Jika suatu barang mempunyai potensi dapat memuaskan kebutuhan manusia, maka barang itu sah untuk dimiliki, walaupun haram menurut agama, misalnya babi, minuman keras, dan narkoba. Ini berbeda dengan ekonomi Islam, yang memandang bahwa asal usul kepemilikan adalah adanya izin dari Allah swt (idzn Asy-Syâri’) kepada manusia untuk memanfaatkan suatu benda. Jika Allah mengizinkan, berarti boleh dimiliki. Tapi jika Allah tidak mengizinkan (yaitu mengharamkan sesuatu) berarti barang itu tidak boleh dimiliki. Maka babi dan minuman keras tidak boleh diperdagangkan karena keduanya telah diharamkan Allah, yaitu telah dilarang kepemilikannya bagi manusia muslim.
Dalam masalah pemanfaatan kepemilikan, kapitalisme tidak membuat batasan tatacaranya (kaifiyah-nya) dan tidak ada pula batasan jumlahnya (kamiyah-nya). Sebab pada dasarnya sistem ekonomi kapitalisme adalah cermin dari paham kekebasan (freedom/liberalism) di bidang pemanfaatan hak milik. Maka seseorang boleh memiliki harta dalam jumlah berapa saja dan diperoleh dengan cara apa saja. Walhasil tak heran di Barat dibolehkan seorang bekerja dalam usaha perjudian dan pelacuran.
Sedangkan ekonomi Islam, menetapkan adanya batasan tatacara (kaifiyah-nya), tapi tidak membatasi jumlahnya (kamiyah-nya). Tatacara itu berupa hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan cara pemanfaatan (tasharruf) harta, baik pemanfaatan yang berupa kegiatan pembelanjaan (infaqul mâl), seperti nafkah, zakat, shadaqah, dan hibah, maupun berupa pengembangan harta (tanmiyatul mal), seperti jual beli, ijarah, syirkah, shina’ah (industri), dan sebagainya. Seorang muslim boleh memiliki harta berapa saja, sepanjang diperoleh dan dimanfaatkan sesuai syariah Islam. Maka dalam masyarakat Islam tidak akan diizinkan bisnis perjudian dan pelacuran, karena telah diharamkan oleh syariah.
Dalam masalah distribusi kekayaan, kapitalisme menyerahkannya kepada mekanisme pasar, yaitu melalui mekanisme harga keseimbangan yang terbentuk akibat interaksi penawaran (supply) dan permintaan (demand). Harga berfungsi secara informasional, yaitu memberi informasi kepada konsumen mengenai siapa yang mampu memperoleh atau tidak memperoleh suatu barang atau jasa. Karena itulah peran negara dalam distribusi kekayaan sangat terbatas. Negara tidak banyak campur tangan dalam urusan ekonomi, misalnya dalam penentuan harga, upah, dan sebagainya. Metode distribusi ini terbukti gagal, baik dalam skala nasional maupun internasional. Kesenjangan kaya miskin sedemikian lebar.
Sedikit orang kaya telah menguasai sebagian besar kekayaan, sementara sebagian besar manusia hanya menikmati sisa-sisa kekayaan yang sangat sedikit. Dalam ekonomi Islam, distribusi kekayaan terwujud melalui mekanisme syariah, yaitu mekanisme yang terdiri dari sekumpulan hukum syariah yang menjamin pemenuhan barang dan jasa bagi setiap individu rakyat. Mekanisme syariah ini terdiri dari mekanisme ekonomi dan mekanisme non-ekonomi.
Mekanisme ekonomi adalah mekanisme melalui aktivitas ekonomi yang bersifat produktif, berupa berbagai kegiatan pengembangan harta (tanmiyatul mal) dalam akad-akad muamalah dan sebab-sebab kepemilikan (asbab at-tamalluk).[14] Mekanisme ini, misalnya ketentuan syariah yang: (1) membolehkan manusia bekerja di sektor pertanian, industri, dan perdagangan; (2) memberikan kesempatan berlangsungnya pengembangan harta (tanmiyah mal) melalui kegiatan investasi, seperti dengan syirkah inan, mudharabah, dan sebagainya; dan (3) memberikan kepada rakyat hak pemanfaatan barang-barang (SDA) milik umum (al-milkiyah al-amah) yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat. [15]
Sedang mekanisme non-ekonomi, adalah mekanisme yang berlangsung tidak melalui aktivitas ekonomi yang produktif, tetapi melalui aktivitas non-produktif. Misalnya dengan jalan pemberian (hibah, shadakah, zakat, dan lain-lain) atau warisan. Mekanisme non-ekonomi dimaksudkan untuk melengkapi mekanisme ekonomi, yaitu untuk mengatasi distribusi kekayaan yang tidak berjalan sempurna jika hanya mengandalkan mekanisme ekonomi semata, baik yang disebabkan adanya sebab alamiah seperti bencana alam dan cacat fisik, maupun sebab non-alamiah, misalnya penyimpangan mekanisme ekonomi (seperti penimbunan).
Mekanisme non-ekonomi bertujuan agar di tengah masyarakat segera terwujud keseimbangan (al-tawazun) ekonomi, dan memperkecil jurang perbedaan antara yang kaya dan yang miskin. Mekanisme ini dilaksanakan secara bersama dan sinergis antara individu dan negara.
Mekanisme non-ekonomi ada yang bersifat positif (ijabiyah) yaitu berupa perintah atau anjuran syariah, seperti: (1) pemberian harta negara kepada warga negara yang dinilai memerlukan, (2) pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik, (3) pemberian infaq, sedekah, wakaf, hibah dan hadiah dari orang yang mampu kepada yang memerlukan, dan (4) pembagian harta waris kepada ahli waris, dan lain-lain.
Ada pula yang mekanisme yang bersifat negatif (salbiyah) yaitu berupa larangan atau cegahan syariah, misalnya (1) larangan menimbun harta benda (uang, emas, dan perak) walaupun telah dikeluarkan zakatnya; (2) larangan peredaran kekayaan di satu pihak atau daerah tertentu; (3) larangan kegiatan monopoli serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi pasar; (4) larangan judi, riba, korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada para penguasa; yang ujung-ujungnya menyebabkan penumpukan harta hanya di tangan orang kaya atau pejabat.

7.        Kontrol dalam Sistem Ekonomi Islam
Alat-alat atau lembaga-lembaga kontrol dalam sistem ekonomi Islam dapat diringkas sebagai berikut :
a.       Kekuasaan al-Hisbah (wilayah al-hisbah). Hisbah adalah menyuruh kepada kebaikan jika terbukti kebaikan ditinggalkan, dan melarang dari kemungkaran jika terbukti kemungkaran diketrjakan. Al-Muhtasib (hakim hisbah) melakukan kontrol terhadap pasar, timbangan, takaran, dan penipuan di pasar dan tempat-tempat umum serta memonitor berbagai pelanggaaran lainnya. Kewajiban hisbah bagi muhtasib adalah fardhu ‘Ain.[16]
b.      Kekuasaan peradilan (wilayah al-qadha`). Peradilan menyelesaikan semua perselisihan termasuk perselisihan finansial dan ekonomi yang kadang muncul dalam muamalah keseharian masyarakat.
c.       Berbagai biro (diwan). Yaitu berbagai alat untuk mengontrol dan mengaudit aliran harta di Baitul Mal yang terkait dengan harta zakat, harta negara, dan harta yang termasuk kepemilikan umum. Biro tersebut menangani kontrol terhadap pemungutan dan pembelanjaan agar setiap aliran harta terjadi pada tempatnya secara benar.
d.      Kekuasaan Mazhalim (wilayah al-mazhalim). Mazhalim menangani pengaduan yang diajukan untuk melawan penguasa jika mereka melakukan kezaliman terhadap rakyat dalam segala kebijakan di segala bidang, termasuk kebijakan finansial dan ekonomi.
Inilah lembaga-lembaga kontrol yang menjamin lurusnya sistem ekonomi menurut arahan yang telah dijelaskan dalam syariah.
Berikut ini garis-garis besar politik ekonomi Islam:
Negara Islam akan mendistribusikan pendapatan bersih (profit) dari kepemilikan umum kepada individu-idividu rakyat dalam bentuk zatnya atau dalam bentuk pelayanan sejak mereka lahir.
Negara Islam akan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok kaum fakir (pangan, papan dan sandang) dengan cara menyediakan lapangan kerja bagi orang yang mampu diantara mereka; dan dengan cara memberi bagi orang yang tidak mampu atau yang tidak mendapatkan pekerjaan. Negara Islam memberi mereka dari harta zakat, harta kepemilikan umum, dan dari harta milik negara yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok mereka.
Negara Islam akan memberi sebagian kecil orang kaya dari harta milik negara dan tidak diberikan kepada sebagian besar dari orang-orang kaya. Hal itu untuk mewujudkan keseimbangan di tengah masyarakat dan memperkecil perbedaan kepemilikan harta di antara masyarakat.
Negara Islam akan memberi utang tanpa riba dari berbagai direktorat Baitul Mal kepada mereka yang membutuhkan di bidang pertanian, industri dan perdagangan. Negara Islam akan melarang semua muamalah batil. Yaitu akad-akad yang tidak memenuhi syarat-syarat akad dan syarat-syarat sah seperti perusahaan multi nasional, perseroan terbatas, perusahaan asuransi, dan lain-lain.
 Negara Islam akan melarang jual beli, perdagangan dalam dan luar negeri terhadap komoditi yang tidak dimiliki dan belum diserah terimakan seperti yang berlangsung di bursa saham. Negara juga melarang tanâjusy yaitu spekulasi untuk mendongkrak harga. Negara Islam akan melarang pertukaran emas, perak dan seluruh jenis mata uang yang tanpa serah terima dalam pertukaran dua jenis yang berbeda; dan yang tanpa serah terima dan kuantitas yang semisal untuk pertukaran dua jenis yang sama, sebagaimana yang terjadi di pasar-pasar keuangan saat ini.
Direktorat-direktorat kontrol dan supervisi melakukan kontrol dan pengetatan bagi setiap orang yang ceroboh, rusak, penipu, penimbun, orang yang memperdagangkan barang haram, penjudi, pelaku kecurangan atau koruptor.
Kemudian sebelum segala sesuatunya, sesungguhnya penerapan sistem ini dalam negara Islam tidaklah akan berubah dan berganti menurut perubahan pemikiran dan selera penguasa. Sebaliknya sistem ini merupakan sistem yang telah diwajibkan oleh Rabbul ‘Alamin (Tuhan semesta alam), diterapkan dengan dorongan ketakwaan dan keadilan syariat, dalam negara yang melakukan pengurusan harta bukan negara pemungut harta.

8.      Sumber Pendapatan Negara Dan Baitul Mal
Bersarkan pendapat para ulama, bahwa sumber pendapatan Negara terdiri atas empat macam, yaitu; zakat, harta rampasan perang, jizyah, dan pajak.

1.      Zakat

a.       Pengertian hatra benda
Secara Quraini, pengertian harta benda yang berkenaan dengan zakat tertuang dalam firman Allah swt sebagai berikut:
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian.” (QS. Ad-Dzariyat: 19).
Harta benda (amwal) merupakan bentuk jamak kata maal. Pengertian maal menurut bahasa arab adalah segala sesuatu yang diinginkan oleh manusia untuk memilikinya dan menyimpannya. Dengan demikian unta, sapi, kambing, tanah, kurma, emas, dan perak adalah termasuk harta benda. Ibnu Asyr mengatakan bahwa harta bebda pada mulanya berarti emas dan perak, tetapi kemudian berubah pengertiannya menjadi segala barang yang dimiliki dan disimpan.
Para ahli hokum islam (fiqh) berbeda pendapat tentang pengertian harta benda. Menurut ulama-ulama Madzhab Hanafi, harta benda adalah segala yang dapat dimiliki dan digunakan menurut biasanya. Harta benda hanya bisa disebut harta benda apabila memenuhi dua syarat, yaitu: dimiliki dan bisa diambil manfaatnya menurut biasanya.
sesuatu yang dimiliki dan bisa diambil manfaatnya secara konkret disebut harta benda, seperti antara lain tanah, binatang, barang-barang perlengkapan, dan uang.
Menurut Mazhab Syafi’i. Maliki dan Hambali, manfaat-manfaat itu termasuk harta benda. Menurut mereka, yang penting bukanlah dapat dipunyai sendiri, tetapi dimiliki dengan menguasai sumbernya.
Ibnu Njm mengatakan bahwa harta benda, sesuai dengan yang ditegaskan oleh ulama-ulama ushul fikih, adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk keperluan dan hal itu terutama menyangkut yang konkret, dengan demikian tidak termasuk ke dalamnya pemilikan manfaat-manfaat.
Dengan mengajukan beberapa pendapat para ahli hokum islam dan ahli ekonomi di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian harta benda atau harta kekayaan (amwal) yang wajib dizakatkah adalah semua harta benda yang berbentuk materi atau yang dapat dijadikan materi dan bernilai ekonomis. Sesuatu yang dapat dianggap mempunyai nilai ekonomis, jika memenuhi dua syarat, barang itu berguna (ada orang yang memerlukannya) dan barang itu diperoleh melalui tenaga (alat) yang disebut manusia.

b.      Jenis-jenis harta benda yang wajib dizakati
Jenis-jenis harta benda yang wajib dikeluarkan zakatnya dapat kita kelompokkan ke dalam beberapa macam:
1.      Harta benda simpanan
Ketentuannya tertuang di dalam firman Allah swt pada surat At-Taubah: 34-35.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الأحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ * يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لأنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,(34) pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu". (35). (At-Taubah: 34-35.)
Dalam ayat ini. Disebutkan bahwa harata benda dalam bentuk simpanan emas dan perak adalah wajib dinafkahkan sebagian untuk jalan Allah, sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an. Penentuan emas dan perak sebagai contohkonkret bebtyk simpanan itu disebabkan emas dan perak itu secara historis, sejak manusia mendiami planet bumi ini, merupakan harta yang paling disukai dan dibanggakan serta mampu bertahan lama untuk disimpan. Emas dan perak juga termasuk harta benda yang paling stabil harganya didunia internasional daripada harta lainnya. Karena simpanan kekayaan, dapat dijadikan standar di dalam menentukan semua bentu benda yang disimpan.
Emas dan perak sebagai harta benda yang disimpan, wajib dikeluarkan zakatnya, jika telah sampai pada nilao 20 dinar emas atau perak 200 dirham. Ketentuan ini berdasarkan beberapa Hadits Rasulullah SAW antara lain yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud Dan Baihaqi yang mengatur tentang nisab 20 dinar emas, dan kedua riwayat oleh Abu Dawud saja, yang mengatur tentang nisab 200 dirham (pada masa Rasulullah saw,satu dinar sama dengan sepuluh dirham). Dengan demikian nilai harga 20 dinar emas berarti sama dengan nilai harga 2000 dirham. Zakarnya pun sama. Zakat 20 dinar emas adalah ½ dinar atau 2 ½%. Zakat 200 dirham perak juga 5 dirham atau 2 ½%.
Perhiasan seperti emas, perak, berlian, mutiara, dan batu permata lainnya, yang dipakai atau disimpan. Tentang perhiasan ini, beberapa ulama berpendapat bahwa perhiasan yang dipakai tidak kena zakat. Tetapi  jika perhiasan yang dipakai itu adalah standar pada nilai 93,6 gram emas. Jika nilainya telah mencapai 93,6 gram emas, perhiasan itu wajib dikeluarkan zakatnya.
Kendaraan pribadi seperti mobil, pesawat terbang, kapal laut, kuda pacuan, juga wajib dizakati. Pendapat ini berbeda dengan pendapat para ulama, karena mereka memandang kendaraan ini terbatas pada kuda atau unta. Realita yang ada sekarang ini menunjukkan tidak ada kendaraan pribadi yang memakai kuda dan unta. Kalau pun  masih bada, jumlahnya sangat sedikit dan berada ditempat-tempat tertentu.[17]

2.      Peternakan
Semua jenis binatang ternak yang wajib dikeluarkan zakatnya. Binatang ternak adalah semua jenis hewan yang diternakkan atau dubudidayakan. Ketentuan ini terdapat dalam:
Firman Allah swt Surat An-Nahl: 5-8
وَالأنْعَامَ خَلَقَهَا لَكُمْ فِيهَا دِفْءٌ وَمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ * وَلَكُمْ فِيهَا جَمَالٌ حِينَ تُرِيحُونَ وَحِينَ تَسْرَحُونَ * وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ إِلَى بَلَدٍ لَمْ تَكُونُوا بَالِغِيهِ إِلا بِشِقِّ الأنْفُسِ إِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ * وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً وَيَخْلُقُ مَا لا تَعْلَمُونَ
Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan. Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.”(QS. Al-Nahl:5-8).
Berdasarkan ayat-ayat tersebut diatas, kita telah membuktikan bahwa jenis binatang yang diternakkan atau dibididayakan oleh manusia kecuali yang haram wajib dikeluarkan zakatnya, apabila telah sampai nisab.
Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Nasa’i. bahwa  zakat lima ekor unta setiap ekor berharga pada zaman Nabi saw senilai 40 dirham (nisabnya 5 x 40 dirham = 200 dirham) ialah seekor kambing, yang harganya pada saat itu 5 dirham. Dengan demikian, nisab unta, jika dinilai dengan dirham, berarti 200 diham. Dan zakatnya adalah adalah 5/200 x 100% = 2 ½%.
Begitu juga zakat kambing. Harga seekor kambing 5 dirham. Jadi hisab kambing jika dinilai dengan dirham adalah 40 x 5 dirham = 200 dirham. Zakatnya adalh seekot kambing yang harganya 5 dirham. Jika kita persentasikan zakatnya adalah 5/200 x 100% = 2 ½%.[18]

a.      Pertanian
Ketentuan mengenai zakat kekayaan pertanian tertuang dalam firman Al-Qur’an:

Firman Allah awt surat Al-Baqarah: 267
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-Baqarah:267).
Firman Allah surat  An-An’am: 141
وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. An-An’am:141).
Yusuf Quardhawi menyimpulkan bahwa pendapat yang paling kuat untuk kita pegang adalah pendapat Abu Hanifah yang bersumber dari penegasan Umar bin Abdul Aziz, Mujtahid, Hamad.  Jika zakat hanya diwajibkan kepada petani gandum atau padi, misalnya, sedangkan petani-petani jeruk, mangga dan apel yang memiliki lahan luas tidak diwajibkan untuk berzakat, hal itu tidak mencapai maksud dan hikmah syariat yang diturunkan.
Begitu pula dengan tanaman seperti karet, kelapa sawit, dan sejenisnya. Tanaman-tanaman seperti jambu biji, jambu air, jambu mente, anggur, kurma, zaitun, jeruk , durian, rambutan, delima dan sejenisnya wajib dikeluarkan zakatnya. Demikian pula tanaman bahan pangan seperti gandum, padi, jagung, sagu, tebu, kacang-kacangan, juga segala jenis sayur-mayur wijib dikeluarkan zakatnya. Termasuk pula tanaman ubi-ubian seperti kentang, ketela pohon, dan ubi jlar. Tanaman bahan minuman seperti the, kopi, mocca, fanili dan juga jenis bumbu-bumbuan seperti pala, lada, kunyit, dan sebagainya, semuanya wajib dizakati.
Nisab jenis tanaman adalah senilai harga 653 kg atau 930 liter makanan pokok yang berlaku pada tiap daerah. Nilai harga 653 kg atau 930 liter makanan pokok yang utama adalah berbentuk dalam makanan yang siap dimakan. Seperti gandum dalam bentuk pipilan, pohon sagu dalam bentuk sagu. Kualitas harga yang dipakai adalah kualitas menengah yang biasa dipakai oleh rakyat banyak.
b.       pertambangan
Landasan hukum yang mengatur zakat pertambangan tertuang di dalam firman Allah awt surat Al-Baqarah: 267.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-Baqarah:267).
Zakat pertambangan ini disebut juga zakat ma’din. Zakat ma’din menurut Ibnu Qudamah dalam bukunya Al-Mughni adalah suatu pemberian bumi yang berbentuk benda lain. Selai hasil pertanian, tetapi berharga. Mazhab Ahmad berpendapat bahwa zakat pertambangan (ma’di) adalah semua hasil galihan dari bumi yang berharga dan tercipta di dalamnya dari barang lainnya seperti emas, perak, besi, tembaga, timah, permata yakut, zarbarjah, zamrud, pirus, inas, batu akik, batu bara, batu granit, aspal, minyak bumi, belerang, gas, garam, tambang dan lain senagainya.
Tentang berapa besar zakat yang harus dikeluarkan untuk zakat pertambangan ini, apakah 2 ½% dengan kias kepada zakat simpanan kekayaan dan peternekan, atau 5 % deng berkias kepada zakat pertanian yang menggunkan pertanian teknik.
3.       perikanan
Ketentuan mengenai zakat perikanan tertuang pada nas Al-Qur’an yang membicarakan tentang nikmat dan karunia Allah yang membicarakan tentang nikmat dan karunia Allah yang diberikan kepada manusi dari laut, baik dalam bentuk harta benda maupun kemudahan-kemudahan untuk memperoleh harta benda itu.
Dalam firman Allah swt surat Fathir: 12
وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ وَمِنْ كُلٍّ تَأْكُلُونَ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُونَ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَا وَتَرَى الْفُلْكَ فِيهِ مَوَاخِرَ لِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya, dan pada masing-masingnya kamu lihat kapal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur.”(QS. fathir:12).
Untuk menghitung zakatnya harta benda dari laut, kita akan melakukan kias seperti zakatnya pertambangan. Karena secara esensial, eksplotasi hasil pertambangan dengan eksplotasi hasil-hasil lautan tidak berbeda. Kias ysng wsjib dilakukan ini diperkuat dengan praktek khalifah Umar bin Khattab, Abu Ubaid meriwayatkan Yunus bin Ubaid, “Umar pernah mengirimkan surat kepada petugasnya di Oman agar petugas itu tidak memungutnya apa pun dari ikan yang kurang harganya 200 dirham. Bila sudah senilai 200 dirham (sebesar nisab emas simpanan), maka harus dipungut zakatnya.
Mengenai kekayaan lautan yang dibudidayakan seperti ikan kakap, ikan bandeng, ikan udang, kerang mutiara, keranf makan, ganggang laut dan sebagainya, nisabnya sama dengan perhitungan nisab hasil laut modal pokok seperti alat-alat produksi: tambak, empang, jarring dan sebagainya. Nisab diperhitungkan dari hasil produksi bersih, 5% per tahun. Demikian pula usaha  perikanan yang dilakukan di air tawar, seperti ikan lele, ikan emas, ikan laut, ikan gurame dan senbagainya.
e.       Perdagangan
Ketentuan mengenai zakat perdagangan diatur oleh Alquran dan hadis Nabi SAW antara lain :
-          firman Allah SWT surat Al-baqarah : 267
-          firman Allah SWT yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan baihaqi dari samrah hadis nabi saw yang diriwayatkan oleh Daruqutni dan Baihaqi dari Abu Zan
Banyak sekali atsar yang di praktekan oleh para khulafaurosyidin dalam         memungut zakat perdagangan ini. Berdasarkan  ketentuan ketentuan yang disebutkan di atas, wajib dikeluarkan zakatnya. Sedangkan mengenai perhitungan nisabnya, dikiaskan dgn nisab simpanan kekayaan seperti emas senilai harga 93,6 gram emas dgn tenggang waktu selama satu tahun (haul) .

Dalam perhitungan untuk nisab dan haul nya, yang pling rasional dilihat dari sudut ekonomi sajalah pendapatan yg menyatakan bahwa perhitungan cukup satu nisab dilakukan pada awal dan akhir tahun, bukan dlm antara kedua masa itu. Billa nisab sampai pada salah satu awal atau akhir tahun, maka zakat wajib dikeluarkan, sekalipun sebelum waktu itu nisab itu blum cukup. Ini adalah pendapatan Abu Hanifah dan mazhabnya.
Cara menghitung harta kekayaan perdagangan antara lain, telah dikemukakan oleh Mimun bin Mihran. dia menyatakan :”apabila sudah tiba waktunya kamu berzakat, hitunglah berapa  jumlah uang kontan yg ada padamu dan barang dagangan yg masih ada kemudian hitung berapa nilai barang itu . begitu juga piutang yg ada pda orang berhutang maupun membayarnya, lalu keluarkan hutangmu sendiri, setelah itu, keluarkanlah zakatnya. “ 231”    Zakat yang harus dikeluarkan sebesar 2,5%
f.        Perindustrian
Perindustrian secara garis besarnya terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu industri pabrik dan industri jasa. Industri pabrik mencakup bidang yang amat luas, dari pabrik yang memproduksi bahan makanan dan minuman, sandang mulai dari pabrik pemintalan kapas, benang tenun, bahan pakaian sampai kepada pakaian jadi, papan mulai dari bahan-bahan bangunan baik yang berasal dari kayu maupun dari besi, semen , genting dll. Sedangkan industri jasa meliputi jasa darat, laut dan udara, penyewa gudang-gudang di pelabuhan laut dan Bandar-bandar udara, penyewaan gedung-gedung untuk kantor dan took dll
Pada umumnya para ulama’ dewasa ini sepakat bahwa zakat perindustrian di masukkan ke dalam zakat perdagangan, meski jumlah presentasi zakatnya yang harus dikeluarkan ada beberapa perbedaan pendapat..
Apabila perhitungan nisab perindustrian adalah sama dengan perhitungan nisab pertanian, pertambangan dan perikanan, maka penentuan besar zakatnya adalah harus setimbang dengan besar zakatnya pertanian atau zakat pertambangan dan perikanan.
g.      Profesi
Pengertian profesi meliputi semua tenaga kerja yang ahliatau tidak yang bekerja untuk mendapatkan imbalan gaji (harta benda). Yang termasuk ke dalam pengertian ini adalah tenaga-tenaga konsultan, tenaga ahli pada bidang medis (kedikteran), tenaga ahli bidang teknik, tenaga ahli bidang kimia, maupun tenaga-tenaga buruh kasar.
Dengan pengertian profesi seperti di atas, perhitungan zakatnya berkias kepada zakat perdagangan. Nisab dihitung pertahun dengan nilai harga 93,6 gram emas. Besar zakatnya 2 ½ %. Tetapi, perhitungan zakat profesi ini harus benar-benar teliti dan adil. Swbab yang dimaksudkan nisab senilai 93,6 gram emas pertahun yang dijadikan rupiah sekarang ini Rp 2.246.400 adalah pendapatan perkapita pertahun sebesar Rp 2.246.400, orang tersebut termasuk orang yang kaya, yang wajib mengeluarkan zakatnya. Apabila pendapatannya pertahun kurang dari nilai tersebut, dia tidak wajib mengeluarkan zakat.

h.      Saham dan Obligasi

Saham adalah hak pemilikan tertentuats satu kekayaan suatu perseroan terbatas atau atas penunjukan atas saham tersebut. Tiap saham merupakan bagian yang sama dari kekayaan itu. Obligasi adalah perjanjian tertulis dari bank atau perusahaan ataupemerintah dengan pembawanya untuk melunasi sejumlah pinjaman dalam masa tertentu dalam bunga tertentu pula.
Antara saham dengan obligasi terdapat beberapa perbedaan. Saham merupakan bagian kekayaan perusahaan atau bank, sedangkan obligasi merupakan pinjaman kepada perusahaan, bank atau pemerintah. Saham memberikan keuntungan yang sesuai dengan keuntungan perusahaan atau bank mungkin banyak atau sedikit, bergantung keuntungan perusahaan atau bank yang bersangkutan, dan mungkin pula menderita kerugian.
Sedangkan obligasi memberikan keuntungan tertentu, yang biasanya dalam bentuk atas pinjaman tanpa bertambah atau berkurang. Pembawa obl;igasi berarti pemberi hutang atau pinjaman kepada perusahaan, bank atau pemerintah. Sedangkan pembawa sakham berarti pemilik sebagian perusahaan atau bank itu, sebesar nilai sahamnya.

2.      Harta Rampasan perang
Harta rampasan perang telah diatur ketentuannya secara pasti dalam Alqur’an. Allah berfirman dalam surat Al-anfal ayat 1, 41, 69:
y7tRqè=t«ó¡o Ç`tã ÉA$xÿRF{$# ( È@è% ãA$xÿRF{$# ¬! ÉAqߧ9$#ur ( (#qà)¨?$$sù ©!$# (#qßsÎ=ô¹r&ur |N#sŒ öNà6ÏZ÷t/ ( (#qãèÏÛr&ur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇÊÈ  
Artinya
(1) mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul[19], oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman."
* (#þqßJn=÷æ$#ur $yJ¯Rr& NçGôJÏYxî `ÏiB &äóÓx« ¨br'sù ¬! ¼çm|¡çHè~ ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur ÇÆö/$#ur È@Î6¡¡9$# bÎ) óOçGYä. NçGYtB#uä «!$$Î/ !$tBur $uZø9tRr& 4n?tã $tRÏö6tã tPöqtƒ Èb$s%öàÿø9$# tPöqtƒ s)tGø9$# Èb$yèôJyfø9$# 3 ª!$#ur 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« 퍃Ïs% ÇÍÊÈ  
Artinya
(41)ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang[20], Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil[21], jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa[22] yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan[23], Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
(#qè=ä3sù $£JÏB öNçFôJÏYxî Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 žcÎ) ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÏÒÈ  
Artinya
(69) Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Berdasarkan nash-nash tersebut diatas, harta rampasan selanjutnya dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a)      Salab, ialah alat dan perlengkapan perang yang didapatkan dari musuh di medan pertempuran.
b)      Ghanimah, ialah harta yang didapatkan dari  musuh dengan jalan perang selain salab, baik barang yang bergerak maupun barang yang tidak bergerak.
c)      Al-fa’I (upeti), ialah harta yang didapatkan dari orang kafir dengan jalan damai.

Masalah yang timbul dari harta rampasan perang ini adalah mengenai cara penggunaannya. Menurut ketentuan, tentara yang melakukan operasional dimedan perang turut mendapatkan bagian harta rampasan perang tersebut. Ketentuan ini berlaku ketika tentara Islam padazaman rasulullah saw sepenuhnya bersifat sukarelawan yang segala persenjataan dan perlangkapan perangnya dipenuhi oleh tiap-tiap tentara yang bersangkutan, bukan oleh Negara. Bahkan jaminan ekonomi untuk keluarga yang ditinggalkan ditanggung sepenuhnya oleh tentara tersebut.
Berbeda dengan kondisi sekarang, semua pasukan tentara bersifat professional yang seluruh persenjataan dan perlengkapan perangnya ditanggung oleh Negara. Bahkan untuk penghidupan ekonomi keluarga yang ditinggalkan kemedan perang pun sepenuhnya ditanggung dan dijamin oleh Negara. Lebih jauh dari itu, apabila seorang tentara cacat atau mati dimedan pertempuran dan telah uzur usianya maka dia atau keluarganya mendapat jaminan pension dari Negara.
Perbedaan kondisi antara pasukan tentara Islam pada masa Rasulullah dengan kondisi pasukan militer sekarang ini, sayyid sabiq menyatakan bahwa tentara zaman sekarang tidak berhak mendapatkan harta rampasan perang. Pendapat ini juga berorientasi kepada keputusan majelis syura pada masa kekhalifahan umar bin Khatab. Tentara yang turut berperang ketika itu tidak mendapatkan ghanimah karena kondisi dan keadaan umat Islam yang telah berubah. Tanah-tanah luas yang diperoleh dari rampasan perang diserahkan kembali kepada rakyat, dengan syarat rakyat membayar pajak atas hasil yang didapatkan dari pengolahan tanah-tanah tersebut. Hasil ijtihad majelis syura tersebut berdasarkan pertimbangan keadilan dan kemaslahatan bagi kehidupan warga Negara yang hidup dinegara islam, baik yang muslim maupun nonmuslim.
3.      Jizyah
Ketentuan mengenai jizyah tertuang dalam Alqur’an surat At-taubah ayat 29:
(#qè=ÏG»s% šúïÏ%©!$# Ÿw šcqãZÏB÷sム«!$$Î/ Ÿwur ÏQöquø9$$Î/ ̍ÅzFy$# Ÿwur tbqãBÌhptä $tB tP§ym ª!$# ¼ã&è!qßuur Ÿwur šcqãYƒÏtƒ tûïÏŠ Èd,ysø9$# z`ÏB šúïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tFÅ6ø9$# 4Ó®Lym (#qäÜ÷èムsptƒ÷Éfø9$# `tã 7tƒ öNèdur šcrãÉó»|¹ ÇËÒÈ  
Artinya
29. perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah[24] dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.
Dari ketentuan-ketentuan tentang jizyah seperti tersebut diatas, Muhammad rasyid ridha menyatakan bahwa semula jizyah itu hanyalah imbalan yang sangat kecil, yang akan digunakan sebagai dana pemerintah Islam untuk biaya menjaga, melindungi, dan membela ahlud dzimmah (kelompok minoritas/nonmuslim) yang berbeda dibawah kekuasaan Negara islam.
Berdasarkan ketentuan syar’I dan atas dasar para sahabat nabi saw didalam praktik penyelenggaraan Negara. Golongan dzimmi yang hidup dalam kekuasaan Negara Islam mempunyai kewajiban untuk membayar jizyah kepada pemerintah Islam.
4.      Pajak
Apabila ngara islam modern dibiarkan tanpa pajak untuk kegiatannya, dapat dipastiak dalam waktu singkat Negara akan lemah, lebih-lebih bila menghadapi ancaman militer dari pihak musuh.
Karena itu, para ulama mengharuskan mengisi sumber pendapatan Negara dengan hasil pajak yang ditetapkan kewajibannya oleh Negara untuk memenuhi keperluannya.
Qardhawi menyatakan bahwa apabila benar-benar harta itu dibutuhkan  dan tidak ada sumber lain untu menutupi keperluan ini kecuali dengan pajak, maka keputusan itu bukan hanya boleh tapi wajib dengan syara’, beban secara adil, tidak dibeda-bedakan dan tidak di pilih kasih.
Berdasarkan uraian diatas, apabila diperlukan munurut pertimbangan objektif kondisi Negara, pajak dibolehkan bahkan jika keadaan darurat menjadi diwajibkan. Sedangkan macam pajak serta besarnya yang harus dibebankan kepada semua warga Negara, muslim maupun nonmuslim, memang harus diperhitungkan masak-masak oleh Negara. Sebagaimana zakat dan juga jizyah yang dikenakan kepada semua bentuk harta kekayaan yang dimiliki oleh semua warga Negara baik muslim maupun nonmuslim dengan kadar yang berbeda-beda.
5.      Baitul Maal
Ketentuan syariat, baik Alqur’an maupun Alhadits yang mengatur secara langsung masalah baitul maal ini memang tidak ada. Ketentuan tentang baitul maal terdapat dari atsar para khulafaur rasyidin yang dilakukan dalam praktik penyelenggaraan Negara. Meski demikian, posisi baitul maal begitu penting didalam kehidupan Negara Islam sebagai lembaga penyimpanan harta benda kekayaan Negara, yang bertanggung jawab atas pemasukan dan pengeluaran anggaran biaya Negara. Karena itu, kehadiran baitul maal sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas harta kekayaan Negara, baik dalam pemasukannya, penyimpanan dan pengeluarannya sudah menjadi keharusan didalam system Negara Islam.
Didalam praktik penyelenggaraan Negara yang dilakukan oleh para khulafaur rasyidin, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan masalah baitul maal ini.  Pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab, penggunaan harta kekayaan Negara dari baitul maal begitu ketat dan teliti, sehingga kedua khalifah tersebut tidak berani menggunakannya, walau untuk diri pribadinya sebagai kepala Negara, kalau bukan keadaan benar-benar memerlukannya, kedua khalifah itu lebih baik mencari nafkah dengan cara berdagang untuk memenuhi keperluannya dan keluarganya, daripada menggunakan harta kekayaan Negara dari baitul maal.
Tetapi keadaan berbeda dengan pemerintahan Usman bin affan. Beliau begitu mudah menggunakan harta kekayaan Negara dari baitul maal, baik untuk keperluan diri dan keluarganya maupun untuk keperluan kelaurga familinya yang kebetulan menjadi pejabat tinggi Negara.









PENUTUP
Demikianlah uraian sekilas prinsip-prinsip ekonomi dalam Daulah Islamiyah. Dengan memahaminya, diharapkan umat Islam terdorong untuk menerapkannya dan sekaligus mengetahui perbedaan ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalisme yang tengah diterapkan.
Sudah saatnya sistem ekonomi kapitalisme yang hanya menimbulkan penderitaan itu kita hancurkan dan kita gantikan dengan ekonomi Islam yang insya Allah akan membawa barakah bagi kita semua. Marilah kita renungkan firman Allah SWT:
öqs9ur ¨br& Ÿ@÷dr& #tà)ø9$# (#qãZtB#uä (#öqs)¨?$#ur $uZóstGxÿs9 NÍköŽn=tã ;M»x.tt/ z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur `Å3»s9ur (#qç/¤x. Mßg»tRõs{r'sù $yJÎ/ (#qçR$Ÿ2 tbqç7Å¡õ3tƒ ÇÒÏÈ  
Kalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan berrtakwa, niscaya akan Kami limpahkan bagi mereka barakah dari langit dan bumi, tapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya itu.” (QS. Al-A’râf: 96).
sumber pendapatan Negara terdiri atas empat macam, yaitu; zakat, harta rampasan perang, jizyah, dan pajak. Pengertian maal menurut bahasa arab adalah segala sesuatu yang diinginkan oleh manusia untuk memilikinya dan menyimpannya.








DAFTAR PUSTAKA
Al-qardhawy, Yusuf. 1997. Fiqih Daulah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah. Jakarta: Pustaka Al-Kausar.
Al-qardhawy, Yusuf. 1997. Fiqih Negara. Jakarta: Robbani Press.
Husain Abdullah , Muhammad. 2011. Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Pahlawan Kayo, RB. Khatib. 2005. Kepemimpinan Islam Dan Dakwah. Jakarta: Amzah.
Dewan Syari’ah Irak. 2007. I’lam Al-Anam bi Miladi Daulah Al-Islam, Solo: Media Islamika.
Ibnu Khalil, Atha`. 2000. Taisir Al-Wushul Ila Al-Ushul. Beirut : Darul Ummah.
Zallum, Abdul Qadim. 2001. Demokrasi Sistem Kufur : Haram Mengambil, Menerapkan, dan Menyebarluaskannya. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah.
An-Nabhani, Taqiy Al-Din. 2001. Nizham Al-Islam. Tanpa Tempat Penerbit : Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
An-Nabhani, Taqiy Al-Din. 1990. An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam.. Beirut : Dar Al-Ummah.
Heri Sudarsono, 2002, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar Yogyakarta: EKONSIA
Rahman, Afzalur. 1995. Doktrin Ekonomi Islam, ter. Nastangin dan Soeroyo, Jilid I. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Imam Mawardi. 2000. Al-Ahkam As-Aulthaniyah, Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Isl. Jakarta: Darul Falah.
Ahmad Al-Haritsi, bin Jaribah. 2006. Fikih Ekonomi Umar bin Khattab. Jakarta: Khalifah.


[1] Dr. Yusuf Qardawy, Fiqh Daulah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 1997), hal, 30.
[2] John Donohue, john Esposito,  Islam dan Pembaharuan:Ensiklopedi Masalah-masalah, (Jakarta: PT.  Rajagrafindo Persada), hal, 486.
[3] Imam Mawardi, Al-Ahkam As-Aulthaniyah, Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, (Jakarta: Darul Falah, 2000), hal. 267
[4] A. Fazlur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, ter. Nastangin dan Soeroyo, Jilid I, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hal. 84
[5] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar (Yogyakarta: EKONSIA, 2002), hal. 105
[6] Atha’ Ibnu Khalil, Taisir Al-Wushul Ila Al-Ushul, (Beirut : Darul Ummah, 2000), hal. 64
[7] Abdul Qadim Zallum, Demokrasi Sistem Kufur : Haram Mengambil, Menerapkan, dan Menyebarluaskannya, (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2001), hal. 87
[8] Ialah: darah yang keluar dari tubuh, sebagaimana tersebut dalam surat Al An-aam ayat 145.
[9] Maksudnya Ialah: binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas adalah halal kalau sempat disembelih sebelum mati.
[10] Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan Apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya Ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. setelah ditulis masing-masing Yaitu dengan: lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. bila mereka hendak melakukan sesuatu Maka mereka meminta supaya juru kunci ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti Apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, Maka undian diulang sekali lagi.
[11] Yang dimaksud dengan hari Ialah: masa, Yaitu: masa haji wada', haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w.
[12] Maksudnya: dibolehkan memakan makanan yang diharamkan oleh ayat ini jika terpaksa.
[13] Taqiyuddin An-Nabhani,  Nizham Al-Islam. Tanpa Tempat Penerbit : Mansyurat Hizb Al-Tahrir, 2001), hal. 104
[14] Taqiy Al-Din An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, (Beirut : Dar Al-Ummah, 1990), hal.
[15] Dr. Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin Khattab,(Jakarta: Khalifah, 2006), hal. 436
[16] Imam Mawardi, Al-Ahkam As-Aulthaniyah, Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, (Jakarta: Darul Falah, 2000), hal. 396.
[17] Abdul Qodir Djaelani, Negara Ideal menurut konsepsi islam, (surabaya: PT. Bina Ilmu.1995). hal 388-390
[18] Ibid hal 392-393
[19] Maksudnya: pembagian harta rampasan itu menurut ketentuan Allah dan RasulNya.
[20] Yang dimaksud dengan rampasan perang (ghanimah) adalah harta yang diperoleh dari orang-orang kafir dengan melalui pertempuran, sedang yang diperoleh tidak dengan pertempuran dinama fa'i. pembagian dalam ayat ini berhubungan dengan ghanimah saja. Fa'i dibahas dalam surat al-Hasyr
[21] Maksudnya: seperlima dari ghanimah itu dibagikan kepada: a. Allah dan RasulNya. b. Kerabat Rasul (Banu Hasyim dan Muthalib). c. anak yatim. d. fakir miskin. e. Ibnussabil. sedang empat-perlima dari ghanimah itu dibagikan kepada yang ikut bertempur.
[22] Yang dimaksud dengan apa Ialah: ayat-ayat Al-Quran, Malaikat dan pertolongan.
[23] Furqaan Ialah: pemisah antara yang hak dan yang batil. yang dimaksud dengan hari Al Furqaan ialah hari jelasnya kemenangan orang Islam dan kekalahan orang kafir, Yaitu hari bertemunya dua pasukan di peprangan
[24] Jizyah ialah pajak per kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang yang bukan Islam, sebagai imbangan bagi keamanan diri mereka.

No comments:

Post a Comment