MAKALAH
Tugas
ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah
Pengembangan
Kurikulum PAI
Dosen
Pembimbing: Ririn Suneti, M.Pd
Disusun
oleh:
Moh. kamilus zaman
Jurusan
Pendidikan Agama Islam
Fakultas
Tarbiyah
Universitas
Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim
Malang
2011
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah
SWT, yang tentunya tanpa rahmat, karunia dan keberkahan-Nya kita tidak dapat
merealisasikan aktivitas kita sehari-hari. Khususnya dalam menyelesaikan
makalah ini. Sholawat serta salam semoga selalu mengalir kepada junjungan kita
Rasulullah SAW, yang dengan perjuangannya serta pengorbanannya baik yang
bersifat harta, jiwa dan raga tidak lain hanya untuk menyebarkan agama Islam
serta risalah Allah SWT guna untuk mengantarkan umatnya pada jalan yang lurus
dalam tujuan untuk mencapai kehidupan sejahtera dan bahagia didunia maupun
akhirat.
Kami persembahkan rasa
terimakasih yang tak terhingga kepada Ibu Ririn atas segala didikan serta
perjuangannya guna mendidik mahasiswanya menjadi orang-orang yang berguna bagi
dirinya, kedua orangtuanya, masyarakat sekitar serta umat Islam secara umumnya.
Selanjutnya dalam
penulisan makalah ini kami selaku manusia biasa yang tentunya mesti banyak
kesalahan serta kekeliruan, baik dari segi penulisan maupun penjelasan, kami
mohon maaf yang tiada batas karena tidaklah ada yang sempurna di muka bumi ini
kecuali yang telah Allah SWT ciptakan dengan kesempurnaan. Maka dari itu,
manakala ada kekeliruan-kekeliruan, kami siap menerima saran serta kritikan
yang sifatnya membangun untuk selalu memperbaiki dan membenahi kekurangan-kekurangan
yang ada pada diri kami.
Malang,
30 Oktober 2011
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sekolah adalah institusi sosial yang
mengemban tugas menyiapkan para siswa menjadi warga masyarakat, yang sesuai
dengan cita-cita, harapan, dan nilai-nilai yang berlaku dan dianut oleh
masyarakat tersebut. Oleh karena itu, program sekolah haruslah didasarkan dan
diarahkan sejalan dengan kondisi ipoleksosbud (ideologi, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya) dari masyarakat tersebut. Dengan demikian, keberhasilan dan
jalannya proses pendidikan harus dilaksanakan dalam suatu pola kurikulum yang
terencana dan bertujuan sesuai dengan pandangan masyarakat.
Tujuan pendidikan (goal, objective,
atau purpose) bukan saja bersifat mengarahkan, tetapi juga menjadi dasar
dalam menentukan isi pelajaran, metode dan prosedur pengajaran maupun
penilaian, bahkan mendasari motivasi kerja murid dan guru di sekolah. Melihat
fungsi yang sedemikian penting ini, maka jelaslah bahwa tujuan pendidikan
merupakan dasar yang sangat penting dalam penyusunan kurikulum.
Oleh karena itu, sewajarnyalah jika
tujuan pendidikan mendapat kesempatan pertama dalam pembahasan masalah
kurikulum ini, dalam rangka realisasi sistem pendidikan nasional.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan falsafah/filosofis?
2. Jelaskanlah macam-macam aliran dalam landasan
falsafah/filosofis?
3. Apa landasan falsafah negara Pancasila
sebagai dasar pendidikan nasional?
1.3 Tujuan Masalah
1. Menjelaskan pengertian falsafah/filosofis
2. Menjabarkan macam-macam aliran dalam landasan
falsafah/filosofis
3. Mengidentifikasi landasan falsafah negara Pancasila
sebagai dasar pendidikan nasional
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Landasan Filosofis
Falsafah dalam arti sebenarnya adalah
cinta akan kebenaran , yang merupakan rangkaian dari dua pengertian, yakni philen
(cinta) dan shopia (kebajikan). Dalam batasan modern, filsafat diartikan
sebagai ilmu yang berusaha memahami semua hal yang muncul di dalam keseluruhan
lingkup pengalaman manusia, yang berharap agar manusia dapat mengerti dan
memiliki pandangan menyeluruh dan sistematis mengenai alam semesta. Manusia
merupakan bagian dari dunia (Barnadib, 1994: 11).
Sebagai induk dari semua pengetahuan (the
mother of knowledge), filsafat dapat dirumuskan sebagai kajian tentang:
a. Metafisika, yakni studi
tentang hakikat kenyataan atau realitas
b. Epistimologi,
yakni studi tentang hakikat pengetahuan
c. Aksiologi, yakni studi
tentang nilai
d. Etika, yakni studi tentang
hakikat kebaikan
e. Estetika, yakni studi
tentang hakikat keindahan
f. Logika, yakni studi
tentang hakikat penalaran
Filsafat sangat penting karena harus
dipertimbangkan dalam mengambil keputusan tentang setiap aspek kurikulum. Untuk
tiap keputusan harus ada dasarnya. Filsafat adalah cara berfikir yang
sedalam-dalamnya, yakni sampai akarnya tentang hakikat sesuatu.
Jika diamati filsafat mempunyai
jangkauan kajian yang sangat luas. Bagi para pengembang kurikulum (curriculum
developers) yang memiliki pemahaman kuat tentang rumusan filsafat, kemungkinan
akan memberikan dasar yang kuat pula dalam mengambil suatu keputusan yang tepat
dan konsisten.
Namun, suatu hal yang perlu diperhatikan
oleh pengembang kurikulum adalah dalam mengembangkan kurikulum, pengembang
tidak hanya menonjolkan atau mementingkan filsafat pribadinya, tetapi juga
perlu mempertimbangkan falsafah yang lain. Diantaranya, falsafah negara,
falsafah lembaga pendidikan, dan staf pengajar atau pendidik (Nasution, 1989:
14-15).
Pada prinsipnya bersifat normatif yang
ditentukan oleh sistem nilai yang dianut. Tujuan pendidikan adalah membina
warga negara yang baik, dan norma-norma yang baik tersebut tercantum dalam
falsafah bangsa. Bagi Indonesia adalah falsafah Pancasila.
Maksud dan tujuan pendidikan disusun
berdasarkan kumpulan pemikiran sebuah falsafah pendidikan. Sebuah tujuan
pendidikan adalah sebuah pernyataan dari pemikiran penulis yang meyakini
falsafahnya, yang diarahkan langsung untuk misi sekolah.
B. Aliran
Dalam Landasan Filosofis
Para pengembang kurikulum harus
mempunyai filsafat yang jelas tentang apa yang mereka junjung tinggi. Filsafat
yang kabur akan menimbulkan kurikulum yang tidak menentu arahnya. Kini terdapat
berbagai aliran filsafat, masing-masing dengan pemikiran tersendiri. Mengenai
hal itu, ada lima aliran filsafat, diantaranya:
1. Aliran
Perennialisme
Aliran Perennialisme bertujuan mengembangkan
kemampuan intelektual anak melalui pengetahuan yang “abadi, universal dan
absolut” atau “perennial” yang ditemukan dan diciptakan para pemikir unggul
sepanjang masa. Dalam tradisi Plato, Aristoteles dan ahli filsafat Katolik, St
Thomas Aquinas, pendidikan bermaksud mengatur pikiran, kemampuan, perkembangan
rasio dan pencarian kebenaran.
Pendidikan ideal adalah sebuah
pendidikan yang ikut memperhatikan pengembangan pikiran. Secara garis besar,
perenialisme tidak dapat membuktikan sebuah filsafat yang menarik untuk sistem
pendidikan.
Kurikulum yang diinginkan oleh aliran
ini terdiri atas subjek atau mata pelajaran yang terpisah sebagai disiplin ilmu
dengan menolak penggabungan seperti Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS). Hanya mata pelajaran yang dapat mengembangkan
kemampuan intelektual seperti, matematika, fisika, kimia, dan biologi yang
diajarkan, sedangkan yang berkenaan dengan emosi dan jasmani seperti seni rupa,
olah raga dikesampingkan. Pelajaran yang diberikan termasuk sulit karena
memerlukan inteligensi tinggi. Kurikulum ini memberi persiapan yang
sungguh-sungguh bagi studi di perguruan tinggi.
2. Aliran
Idealisme
Filsafat ini berpendapat bahwa kebenaran
itu berasal dari “atas”, dari dunia supranatural dari Tuhan. Dapat dikatakan
hampir semua agama menganut filsafat idealism. Kebenaran dipercayai datangnya
dari Tuhan yang diterima melalui wahyu. Kebenaran ini, termasuk dogma dan
norma-normanya bersifat mutlak. Apa yang datang dari Tuhan, baik dan benar.
Tujuan hidup ialah memenuhi kehendak Tuhan.
Filsafat ini biasanya diterapkan di
sekolah yang bersifat religious. Semua siswa diharuskan mengikuti pelajaran
agama, menghadiri khutbah dan membaca kitab suci. Biasanya disiplin termasuk
ketat, pelanggaran hukuman yang setimpal bahkan dapat dikeluarkan dari sekolah.
3. Aliran
Realisme
Filsafat yang mencari kebenaran di dunia
ini sendiri. Melalui pengamatan dan penelitian ilmiah dapat ditemukan
hukum-hukum alam. Mutu kehidupan senantiasa dapat ditingkatkan melalui kemajuan
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Tujuan hidup ialah memperbaiki kehidupan
melalui penelitian ilmiah.
Sekolah yang beraliran realisme
mengutamakan pengetahuan yang sudah mantap sebagai hasil penelitian ilmiah yang
dituangkan secara sistematis dalam berbagai disiplin ilmu atau mata pelajaran.
Di sekolah akan dimulai dengan teori-teori dan prinsip-prinsip fundamental,
kemudian praktek dan aplikasinya.
Karena mengutamakan pengetahuan yang
esensial, maka pelajaran seperti keterampilan dan kesenian dianggap tidak
perlu. Kurikulum ini tidak memperhatikan minat anak, namun diharapkan agar
siswa menaruh minat terhadap pelajaran akademis. Penguasaan ilmu yang banyak
dikarenakan studi yang intensif adalah persiapan yang sebaik-baiknya bagi
lanjutan studi dan kehidupan dalam masyarakat. Dapat dibayangkan banyaknya
murid yang tidak mampu mengikuti studi
akademis.
4. Aliran
Pragmatisme
Disebut juga aliran instrumentalisme
atau utilitarianisme dan berpendapat bahwa kebenaran adalah buatan manusia
berdasarkan pengalamannya. Tidak ada kebenaran mutlak, kebenaran adalah
tentatif dan dapat berubah. Tujuan hidup adalah mengabdi kepada masyarakat
dengan peningkatan kesejahteraan manusia.
Tugas guru bukan mengajar dalam arti
menyampaikan pengetahuan, melainkan memberi kesempatan kepada anak untuk
melakukan berbagai kegiatan guna memecahkan masalah, atas dasar kepercayaan
bahwa belajar itu hanya dapat dilakukan oleh anak sendiri, bukan karena
“dipompakan ke dalam otaknya”. Terpenting adalah bukan “what to think”
melainkan “how to think” yakni melalui pemecahan masalah.
Aliran pragmatisme seiring sejalan
dengan aliran rekonstruksionisme yang berpendirian bahwa sekolah harus berada
pada garis depan pembangunan dan perubahan masyarakat. Dalam perencanaan
kurikulum, orang tua dan masyarakat sering dilibatkan agar dapat memadukan
sumber-sumber pendidikan formal dengan sumber sosial, politik, dan ekonomi guna
memperbaiki ekonomi kondisi hidup manusia. Penganut aliran ini memandang
sekolah sebagai masyarakat kecil.
5. Aliran
Eksistensialisme
Filsafat ini mengutamakan individu
sebagai faktor dalam menentukan apa yang baik dan benar. Norma-norma hidup
berbeda secara individual dan ditentukan masing-masing secara bebas, namun
dengan pertimbangan jangan menyinggung perasaan orang lain. Tujuan hidup adalah
menyempurnakan diri, merealisasikan diri.
Sekolah yang berlandaskan
eksistensialisme mendidik anak agar dapat menentukan pilihan dan keputusan
sendiri dengan menolak otoritas orang lain. Siswa harus bebas berpikir dan
mengambil keputusan sendiri secara bertanggung jawab. Sekolah menolak segala
kurikulum, pedoman, instruksi, buku wajib, dan lain-lain dari pihak luar. Anak
mencari identitas, standard dan kurikulum sendiri.
Dari segala mata pelajaran, mungkin
ilmu-ilmu sosial yang paling menarik mereka (siswa,red). Pendidikan moral tidak
diajarkan kepada mereka, juga tidak ditetapkan aturan-aturan yang harus mereka
patuhi. Bimbingan yang diberikan sering bersifat non-direcitve, dimana guru
banyak mendengarkan dan mengajukan pertanyaan tanpa mengingatkan apa yang harus
dilakukan anak.
C. Landasan
Falsafah Negara Pancasila sebagai Dasar Pendidikan Nasional
Dalam ketetapan MPR-RI No. IV/MPR/1973
tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), dikemukakan bahwa pendidikan
pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah, serta berlangsung seumur hidup. Oleh
karenanya, agar pendidikan dapat dimiliki oleh seluruh rakyat sesuai dengan
kemampuan masing-masing individu, maka pendidikan tersebut merupakan tanggung
jawab keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Pembangunan di bidang pendidikan
didasarkan atas Falsafah Negara Pancasila dan diarahkan untuk membentuk
manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, mampu mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, mampu
mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, dan
mencintai bangsa dan sesama manusia, sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Setiap negara di dunia ini, baik negara
berkembang maupun negara maju, memiliki falsafah atau pandangan pokok mengenai
pendidikan yang kadang tidak sama dengan pandangan umum. Keberadaan kurikulum adalah untuk memelihara
keutuhan dan persatuan bangsa dan negara. Persoalannya, bagaimana upaya
menyatukan beragam pandangan yang ada pada masyarakat ke dalam satu kerangka pemikiran yang
konsisten dalam upaya menyokong proses pengembangan kurikulum yang dapat
disetujui oleh semua kalangan.
Agaknya, memang tidak mudah menciptakan
falsafah pendidikan yang dapat diterima semua pihak. Kondisi masyarakat
menyangkut suku, agama, golongan, kepentingan politik tertentu akan turut
mempengaruhinya. Namun, bagi bangsa Indonesia, persoalan falsafah pendidikan
bukanlah persoalan, mengingat Pancasila dan UUD 1945 telah diterima secara
resmi menjadi filsafat dan dasar pendidikan nasional. Keberadaan filsafat
Pancasila telah diterima oleh semua pihak, bahkan tidak bertentangan dengan
filsafat Pendidikan Islam atau filsafat pendidikan (agama) lain.
Keselarasan filsafat pendidikan nasional
dengan filsafat Pendidikan Islam terletak pada tujuan filosofi pendidikan
masing-masing. Menurut UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
tujuan pendidikan adalah menciptakan manusia Indonesia yang beriman, bertakwa,
berbudi pekerti luhur, berakhlak, berketerampilan, bertanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan (UUSPN No. 2 Tahun 1989, Bab II Pasal 4).
Atau, bertujuan agar potensi anak didik
berkembang dan menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, beilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003
Bab III Pasal 3). Kedua UU Sisdiknas itu merumuskan manusia yang diinginkan dan
dibentuk oleh dan melalui pendidikan.
Dalam UU No. 2 Tahun 1989, tujuan
pendidikan ditegaskan sebagai upaya mengembangkan manusia seutuhnya. Setelah
itu baru diberi keterangan tentang sifat-sifat dasar yang dipandang penting.
Kata “Indonesia” juga tidak disebutkan. Satu hal yang pasti akan mutlak adalah
bahwa pembentukan kemanusiaan, meskipun tafsirannya dapat beragam, menjadi
tujuan penting dalam pendidikan nasional. Dalam hal ini, pendidikan menghargai
martabat dan hak asasi manusia.
Sementara itu, tujuan filsafat
Pendidikan Islam pada dasarnya sama dengan dasar dan tujuan ajaran Islam.
Filsafat Pendidikan Islam berisi teori umum tentang Pendidikan Islam yang
tercantum dalam al-Qur’an dan Hadits. Jadi, tujuan filsafat pendidikan Islam
adalah mencapai tingkat penciptaan manusia (QS 51:56). Tujuan filosofis
pendidikan nasional dan Pendidikan Islam tidaklah saling bertentangan bahkan
saling mengisi, mengingat tujuan pendidikan nasional sangat mementingkan
persoalan iman, takwa dan keterampilan sebagaimana halnya dengan tujuan
filosofi Pendidikan Islam, namun tujuan filosofis Pendidikan Islam bersifat
hakiki dan mutlak atas keberadaannya.
Dari pemahaman mengenai dua tujuan
(filosofis) pendidikan diatas, dapatlah dimengerti bahwa dalam menentukan
(proses) filsafat pendidikan nasional Indonesia bukanlah hal yang mudah,
ternyata masih banyak lagi aspek lain yang perlu diperhatikan oleh para
pengembang (developers), agar keberadaan suatu kurikulum pendidikan nasional
memang betul, betul menjadi milik semua pihak.
Keberadaan falsafah Pancasila harus
dijadikan kerangka utama (mainstream) dalam mengontrol pelaksanaan
lembaga-lembaga pendidikan suatu negara, karena keberadaan filsafat tersebut
akan mempengaruhi semua kebijakan dan keputusan dalam pengembangan kurikulum.
Dengan demikian, pelaksanaan lembaga pendidikan pada tingkat tertentu masih
merupakan kelanjutan atas tingkat pendidikan sebelumnya, yang menggambarkan
pencapaian tingkat pendidikan nasional, sejak jenjang pendidikan dasar (SD/MI),
menengah (SMP/MTs, SMA/MA), dan perguruan tinggi (PT/PTAI), dengan tetap
berdasar pada filosofi Pancasila.
· Falsafah Lembaga
Pendidikan
Pancasila merupakan falsafah nasional
yang tegas dan telah diterima oleh segenap bangsa Indonesia. Dalam konteks
pendidikan, Pancasila dijadikan pedoman bagi lembaga pendidikan untuk
mengembangkan falsafah atau pandangan masing-masing sesuai dengan misi dan
tujuan nasional serta nilai-nilai masyarakat yang dilayaninya. Tiap lembaga
pendidikan, sebagai contoh UIN/IAIN, mempunyai misi yang merupakan bagian dari
sistem pendidikan nasional, namun tiap UIN/IAIN bisa jadi mempunyai sesuatu
yang khas yang ada perbedaannya dengan UIN/IAIN/STAIN di daerah lain.
Falsafah suatu lembaga pendidikan
(Universitas, UIN, IAIN, STAIN, akademik, maupun sekolah) jarang dinyatakan
secara jelas, spesifik dan eksplisit dalam bentuk tulisan. Ada juga rumusan
falsafah pendidikan yang sangat umum, sehingga dalam memberi arah yang jelas
bagi proses pengembangan kurikulum belum menemui sasaran yang tepat. Nasution
(1989:21) mengungkapkan bahwa dalam merumuskan falsafah lembaga pendidikan
secara tertulis, perlu memiliki komponen-komponen berikut:
a) Alasan rasional mengenai eksistensi lembaga
pendidikan itu
b) Prinsip-prinsip pokok yang mendasarinya
c) Nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang
dijunjung tinggi, dan
d) Prinsip-prinsip pendidikan mengenai hakikat
anak didik, hakikat proses belajar mengajar, dan hakikat pengetahuan.
· Falsafah Pendidikan
Adanya pengetahuan tentang falsafah
lembaga pendidikan dimana dia bertugas menjadi suatu tuntutan pokok. Keberadaan
falsafah membuat seorang pendidik dituntut untuk selalu relevan dengan falsafah
yang berlaku, sebagaimana dirumuskan dalam kurikulum yang ditetapkan lembaga
pendidikan itu.
Dalam operasional kurikulum, peran
pendidik memang sangat penting. Ia selalu terlibat dan karenanya peran falsafah
dalam perencanaan, pengorganisasian, dan penyampaian pelajaran merupakan suatu
hal yang menentukan tercapainya tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam
kurikulum sekolah tersebut. Akan sangat tidak berarti suatu kurikulum yang baik
jika pendidik memiliki falsafah yang berbeda dalam memahami, menafsirkan dan
melaksanakan kurikulum. Jadi, dalam konteks operasional kurikulum, pendidik
merupakan pemegang peran utama.
Keberadaan falsafah bagi seorang
pendidik memang sangat berpengaruh terhadap proses belajar mengajar. Oleh
karenanya, seorang pendidik mesti professional secara implisit selalu
menempatkan dirinya untuk menerima dan memikul sebagian tanggung jawab
pendidikan yang dipikul orangtua, dan orangtua pun sangat mengharapkan anaknya
memiliki pendidikan yang baik dan professional.
Nabi Saw bersabda:
“Barang siapa ditanya tentang ilmu
kemudian menyimpan ilmunya (tidak mau mengajarkan), maka Allah akan mengekang
dia dengan kekangan api neraka pada hari kiamat” (Hadits)
Keberhasilan anak didik menerima ilmu
pengetahuan dan perubahan tingkah laku yang diharapkan orangtua, masyarakat,
dan bangsa sangat ditentukan oleh falsafah pendidik terhadap profesinya. Karena
itu, dimensi filsafat perlu memperoleh perhatian serius dalam wacan pendidikan
nasional.
BAB
III
PENUTUP
2.1. Kesimpulan
Dalam pengembangan kurikulum, banyak hal
yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan sebelum mengambil keputusan. Apa
pun jenis kurikulumnya pasti memerlukan asas-asas yang harus dipegang. Landasan
atau asas tersebut cukup kompleks dan tidak jarang memiliki hal-hal yang
bertentangan, karenanya harus memerlukan seleksi.
Pengembangan kurikulum pada suatu
negara, baik di negara-negara berkembang (developing countries), negara
terbelakang (underdeveloping countries), dan negara-negara maju (developed
countries), bisa dipastikan mempunyai perbedaan-perbedaan yang mendasar,
tetapi tetap ada persamaannya.
Falsafah yang berlainan bersifat
otoriter, demokrasi, sekuler atau religious, akan memberi warna yang berbeda
dengan kurikulum yyang dimiliki oleh bangsa bersangkutan. Begitu juga apabila
dilihat dari perbedaan masyarakat, organisasi dan pilihan psikologi belajar
dalam mengembangkan kurikulum tersebut.
2.2. Saran
Makalah ini pun tak luput dari kesalahan
penulisan kata-kata yang telah kami buat, serta penjelasan yang dirasa masih
jauh dari kata “memuaskan”. Maka dari itu kami selaku penulis meminta saran
terhadap pembaca jika ditemukan kekeliruan dalam penulisan makalah ini.
Sehingga dengan demikian kami ucapkan terima kasih atas bantuan, saran dan
kritiknya agar dengan adanya itu semua kami dapat lebih meningkatkan kemampuan
dalam hal tulis-menulis.
DAFTAR
PUSTAKA
Idi,
Abdullah. 2007, Pengembangan Kurikulum Teori & Praktik, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media
Hamalik,
Oemar. 2007, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, Bandung: Rosda
Sudjana,
Nana. 1998, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Bandung:
Sinar Baru
Nasution,
S. 2006, Asas-Asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara
Nurgiyantoro,
Burhan. 1988, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah, Yogyakarta:
BPFE Yogyakarta
No comments:
Post a Comment